BAB II Dasar Teori
Hydraulic fracturing ialah cabang dari proses stimulasi sumur dengan tujuan memperbesar pemeabilitas batuan dan mulai populer sekitar tahun 1948 & sejak tahun 1980 keatas mulai meningkat kembali karena penggunaan pada formasi yang permeabilitas yang besar. Pada saat ini hydraulic fracturing bukan saja digunakan untuk meningkatkan produksi dengan menembus zona damage & meningkatkan permeabilitas namun juga digunakan untuk menahan fines / produksi pasir pada formasi yang berpermeabilitas besar.
Hydarulic fracturing didefinisikan sebagai suatu cara untuk meningkatkan produktivitas lapisan penghasil hidrokarbon dengan cara peretakan lapisan tersebut secara hidrolik. Untuk melakukan peretakan digunakan cairan peretak yang dipompakan ke permukaan reservoir hingga melampaui batas kekuatan batuan maksimum dengan pemompaan fluida dengan tekanan yang sangat tinggi. Setelah terjadi retakan, pemompaan cairan hidrolik masih dilanjutkan agar retakan yang terjadi bertambah lebar & memanjang jauh kedalam batuan.
Untuk menghindari tertutupnya kembali retakan tersebut, sebagai tahap terakhir pada cairan peretak yang di injeksikan ditambahkan material pengganjal atau biasa disebut proppant (propping agent). Propping agent ini akan terbawa masuk kedalam reatakan & akan mengisi seluruh bagian retakan. Bila semua proppant telah dipompakan kedalam sumur, maka
(2)
pemompaan dihentikan. Meskipun pemompaan dihentikan, proppant akan tetap berada pada retakan. Dengan demikian didalam retakan batuan terisi proppant yang permeabilitasnya lebih baik dari permeabilitas batuan formasi. Sebagai pemilihan sumur untuk di lakukan hydraulic fracturing ialah sumur dengan karakteristik “Damage Ratio” yang kecil.
Damage Ratio adalah perbandingan antara permeabilitas nyata terhadap permeabilitasaslinya. Permeabilitas absolut asli diperoleh dari data re, sedangkan permeailitas nyata diperoleh dari dari uji tekanan dalam bentuk permeabilitas efektif.
Retakan yang dihasilkan dapat menembus zona yang rusak (damage zone) dan mungkin pula dapat menghubungkan daerah yang porous permeabel dengan lubang sumur yang semula terhalang oleh suatu penghalang (barrier). Karena permeabilitas retakan lebih besar daripada permeabilitas formasi, maka aliran fluida dari reservoir meuju lubang sumur akan lebih lancar. Perbaikan permeabilitas ini juga akan memperbesar daerah penyerapan sumur (drainage area).
Hasil stimulasi dengan cara hydraulic fracturing tergantung dari karakteristik batuan, cara penyelesaian sumur & keberhasilan dari proses hydraulic fracturing itu sendiri. Adapun keberhasilan operasi hydraulic fracturing itu sendiri sangat bergantung pada penentuan parameter peretak, yaitu : tekanan hidrolik yang diberikan, pemilihan jenis fluida peretak & pemilihan jenis maupun ukuran proppant sebagai material pengganjalnya.
(3)
Untuk dapat meretakan batuan reservoir, batuan tersebut harus diberi tekanan hidrolik sampai melebihi kekuatan & gaya - gaya yang mempertahankan keutuhan dari batuan itu. Ada dua gaya utama yang mempertahankan keutuhan batuan untuk tidak retak, yaitu gaya vertikal dan horizontal.
Apabila gaya horizontal yang mempertahankan keutuhan batuan lebih kecil dari gaya vertikalnya, maka batuan tersebut akan dapat diretakan dengan arah vertikal. Besar tekanan hidrolik untuk memecahkan batuan pada umumnya berkisar antara 600 psi – 1000 psi untuk setiap 1000 ft kedalaman. Besar tekanan reatak batuan formasi tergantung dari :
1. Kekuatan batuan pembentuk formasi. Semakin besar tensil strength & compressional strength batuan, semakin besar pula tekanan retak yang dibutuhkan.
2. Tekanan oveburden. Semakin dalam lapisan, maka semakin besar pula tekanan formasi dan semakin besar pula tekanan retak yang dibutuhkan. 3. Permeabilitas batuan formasi. Penetrasi fluida peretak ke dalam formasi
semakin efektif bila permeabilitas batuan semakin besar. Hal ini akan mempermudah proses batuan tersebut.
4. Keseragaman lapisan. Lapisan – lapisan yang terbentuk dari batuan yang mempunyai sifat – sifat fisik yang seragam akan semakin mudah untuk diretakkan.
5. Diameter lubang sumur. Sumur dengan diameter besar akan memperbesar proses peretakan batuan. Hal ini karena lapisan batuan sudah mengalami damage yang cukup besar.
Untuk meretakan batuan reservoir, disamping harus melawan gaya - gaya yang mempertahankan keutuhan batuan juga harus melawan tekanan
(4)
formasi, sehingga tekanan minimal yang diperlukan untuk meratakan batuan reservoir adalah sbb :
 Untuk retakan horizontal :
PF = Go . D + Pr ...(2.1)
 Untuk retakan vertikal :
PF=
1
2
−
V
V
(Go.D) + St + Pr ...(2.2) Dimana :PF = Tekanan peretakan (Psi)
Go = Gradient tekanan overburden (Psi/ft)
D = Kedalaman lapisan (ft) Pr = Tekanan reservoir statik (Psi)
V = Poisson’s ratio (tanpa dimensi) St = Tensile strength batuan (Psi)
Besarnya tekanan di permukaan yang diperlukan untuk peretakan formasi adalah tekanan retak batuan ditambah dengan tekanan hilang karena gesekan pipa dan tekanan hidrostatik fluida itu sendiri. Secara matematis, hubungan tersebut dapat dituliskan dalam persamaan sbb :
 Pwh = PF+ Pf + Ppf - Ph ...(2.3)
Dimana :
Pwh = Tekanan injeksi di kepala sumur (Psi)
(5)
Pf = Kehilangan tekanan karena gesekan antara fluida peretak dengan
lubang perforasi (Psi)
Ppf = Kehilangan tekanan karena gesekan antara fluida peretak dengan
lubang perforasi (Psi)
Ph = Tekanan hidrostatik fluida peretak(Psi)
Bentuk kurva tekanan di permukaan selama dilakukan peretakan hidrolik adalah seperti pada gambar berikut ini
Gambar 2.1 Grafik Fungsi Retak Batuan
Retakan batuan yang terjadi sebagai akibat penekanan secara hidrolik dapat berarah horizontal maupun vertikal seperti pada gambar 2.2 berikut ini dan bergantung dari arah gaya dominan yang mempertahankan ketahanan batuan.
(6)
Gambar 2.2 Jenis Arah Rekahan Batuan
Pada umumnya ketahanan terhadap gaya vertikal lebih kecil daripada gaya horizontal sehingga retakan yang terjadi umumnya berarah vertikal.
Gambar 2.3 Arah Retakan Batuan Terhadap Gaya Yang Diderita
2.2.1 Penentuan Harga PF, Pf , Ppf , Ph
Selain dapat diperkirakan oleh rumus empiris (persamaan (2.1) &
(7)
diperkirakan dengan grafik gradien tekanan tekanan retak batuan sebagai fungsi kedalaman pada lapangan tersebut.
Penentuan harga Pf = Δ Pf x D ...(2.4)
Dimana :
Pf = Kehilangan tekanan karena gesekan fluida peretak dengan
dinding pipa (Psi)
Δ Pf = Gradien kehilangan tekanan karena adanya gesekan
(Psi/1000 ft)
D = Panjang pipa alir (ft)
Harga Δ Pf dapat ditentukan dengan bantuan chart hubungan
antara gradien kehilangan tekanan karena gesekan terhadap kapasitas alir. Data yang diperlukan untuk pembacaan gradien kehilangan tekanan karena gesekan adalah diameter pipa, kapasitas alir, jenis fluida peretak maupun viskositasnya.
Penentuan harga Ppf =
0,2369
x
(
Qpf
)
2x N x ρ
(
dpf
)
4x α
2...(2.5)
Dimana :
Ppf = Kehilangan tekanan karena gesekan cairan peretak dengan
perforasi (Psi)
Qpf = Kapasitas alir per lubang perforasi (bbl/m)
N = Diameter lubang perforasi (inch) ρ = Massa jenis fluida peretak (ppg) α = Coefficient of discharge factor (0,82)
(8)
Pada umumnya, harga Ppf ini relatif kecil, sehingga terkadang
dapat diabaikan perhitungannya. Adapun perhitungan untuk tekanan hidrostatik ialah sbb :
Penentuan harga Ph = 0,052 x ρ x h ...(2.6)
Dimana :
Ph = Tekanan hidrostatik kolom fluida peretak (Psi)
h = Ketinggian kolom fluida (ft) ρ = Massa jenis fluida peretak (ppg)
2.3 Fluida Peretak
Fluida peretak pada umumnya ialah suatu cairan yang digunakan untuk menghantarkan daya pompa ke batuan formasi, dn juga befungsi sebagai pembawa material pengganjal (proppant) ke dalam hasil retakan.
2.3.1 Pemilihan Jenis Fluida Peretak
Pemilihan fluida peretak yang tepat untuk pengerjaan ini adalah syarat mutlak. Fluida yang digunakan harus memenuhi syarat – syarat sebagai berikut :
1. Stabil pada temperatur formasi
2. Tidak menyebabkan kerusakan terhadap formasi 3. Tingkat kehilangan cairan (Filttration loss) kecil
4. Kehilangan tekanan karena gesekan dengan pipa (casing,tubing) rendah
5. Mempunyai kemampuan yang efektif untuk membawa proppant (material pengganjal) ke dalam batuan
6. Dapat dikeluarkan dengan mudah setelah operasi peretakan selesai
(9)
8. Mudah didapat, ekonomis & relatif mudah dipompakan 2.3.2 Jenis Fluida Peretak
2.3.2.1 Fluida Peretak Berbahan Dasar Air
Dapat digunakan pada reservoir minyak maupun gas dengan kapasistas pemompaan tinggi. Adapun keuntungan fluida berbahan dasar air yaitu :
a. Tidak ada bahaya kebakaran yang ditimbulkan b. Murah & mudah didapat
c. Mempunyai friction loss rendah
d. Mudah & sangat efektif untuk di “treat” dengan friction loss additive
e. Mempunyai viskositas rendah, sehingga mudah untuk dipompakan (hal ini sangat menguntungkan terutama pada kapasitas injeksi yang tinggi & kondisi aliran turbulen)
f. Mempuntai spesific gravity (Sg) tinggi, sehingga relatif terhadap minyak. Dengan demikian tekanan hidrostatiknya besar & mengurangi tekanan pompa yang diperlukan untuk peretakan
g. Mempunyai daya pengangkutan yang baik terhadap proppant ke dalam retakan
Adapun kerugiannya ialah sbb :
a. Kurang efektif tehadap formasi bertekanan rendah b. Kurang efektif untuk batuan formasi yang bersifat
dibasahi minya (water wet formation) 2.3.2.2 Fluida Peretak Berbahan Dasar Minyak
Fluida peretak jenis ini tidak dapat digunakan untuk reservoir gas, karena sangat berpotensi terjadi kebakaran. Ada beberapa jenis fluida peretak berbahan dasar minyak yaitu :
a. Napalm Gel : bahan dasar yang digunakan ialah kerosen / minyak diesel / crude oil, yang dipadatkan
(10)
dengan penambahan napalm (alumunium fatty acid salt). Gel ini mempunyai viskositas tinggi & mampu membawa proppant & fluid loss-nya rendah
b. Viscous Refined Oil : mudah didapatkan (dari refinery) dan dapat dihasilkan kembali sebagai hasil produksi. Viskositasnya akan berkurang apabila bercampur dengan fluida formasi, sehingga mudah dikeluarkan kembali setelah operasi peretakan selesai.
c. Crude Oil : minyak mentah yang pekat & kental dapat digunakan sebagai fluida peretak setelah ditambah fluid loss agent. Additive yang digunakan biasanya ialah Adormite Mark II (sulfonated Alkylbenzene)
d. Gelled Oil : fluida peretak ini merupakan hasil campuran minyak air dengan sedikit fatty acid soap & caustik sehingga dapat berbentuk gel.
Adapun jenisnya yang paling sering digunakan ialah gelled oil, karena selain mudah didapat, koefisien geseknya terhadap dinding pipa realtif kecil. Namun jenis fluida ini tidak dapat digunakan untuk temperatur tinggi & sistem gel-nya sangat dipengaruhi oleh kadar air serta sifat dasar alamiah dari minyaknya.
2.3.2.3 Fluida Peretak Berbahan Dasar Emulsi
Biasanya jenis fluida ini digunakan hanya untuk lapisan karbonat. Emulsi asam HCl digunakan sebagai fluida peretakpada formasi bertekanan tinggi (diatas 2500F).
Untuk temperatu di bawah 2500F,digunakan asam HCl
(11)
diperlukan, bergantung pada jenis batuan karbonat yang akan diretakkan.
Untuk bisa memilih jenis fluida peretak yang tepat,harus dilakukan uji coba laboratorium dengan cara memompakan berbagai jenis fluida yang mungkin. Dalam pemilihan jenis cairan peretak, hal –hal yang harus dipertimbangkan adalah sbb :
1. Sifat – sifat alamiah dari batuan yang akan diretakkan, contohnya ialah :
a. Sifat kimiawi batuan : batuan pasir & batuan karbonat
b. Sifat fisik batuan : tekanan retak batuan, sifat fisik kebasahan, temperatur, tekanan overburden, dll 2. Jenis fluida yang terkandung dalam batuan. Jenis
kanduang fluida dalam batuan cenderung mempengaruhi sifat fluida peretak
3. Ekonomis, efektif & aman.
Temperatur & tekanan formasi harus ddijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan jenis proppant, jenis fluida peretak, konsentrasi bahan kimia (additive) pengontrol sifat fisik fluida peretak. Untuk jenis fluida peretak berbahan dasar minyak, konsentrasi fluid loss serta fluid friction additive yang diperlukan akan semakin banyak dengan makin bertambahnya temperatur. Sedangkan untuk fluida peretak berbahan dasar asam, pada temperatur tinggi perlu ditambahkan “thickening additive” karena kontur acid gel akan pecah pada temperatur yang tinggi.
(12)
Hal yang sama juga akan terjadi pada fluida peretak dengan bahan dasar air, tetapi pengaruh temperatur tersebut tidak sebesar pada bahan dasar asam atau minyak. Viskositas & spesific gravity (Sg) fluida peretak akan bertambah dengan bertambahnya tekanan. Keadaan ini harus diperhitungkan pada waktu penentuan viskositas dan spesific gravity (Sg) fluida peretak di permukaan. Bila tekanan formasi rendah, yang perlu diperhatikan ialah, fluida peretak harus mudah dikeluarkan kembali setelah operasi selesai dilakukan.
Apabila formasi mengandung minyak berat (aspal & parafin), jangan digunakan fluida peretak berbahan dasar minyak yang mempunyai 0API yang tinggi, karena dapat
menyebabkan pengendapan aspal & parafin. Oleh karena itu fluida peretak berbahan dasar air sangat lazim & bagus digunakan untuk berbagai jenis minyak, karena mempunyai sifat fluid disperse yang tinggi.
Untuk batuan formasi yang bersifat dibasahi minyak (oil wet formation), sebaiknya digunakan minyak sebagai fluida peretak karena untuk mencegah terjadinya penurunan permeabilitas realatif minyak serta kemungkinan terjadinya water blocking. Hal lain yang harus diperhatikan adalah efek pencampuran antara fluida peretak dengan fluida formasi. Apakah tidak akan terjadi emulsi stabil atau
(13)
pengendapan bahan kimia (scale). Untuk itu diperlukan penelitian di laboratorium terlebih dahulu.
2.3.3 Pengontrolan Sifat – Sifat Fisik Fluida Peretak
Dalam penggunaan fluida peretak, ada 3 hal utama yang harus dikontrol, yaitu :
1. Kehilangan cairan pada formasi (fluid loss) 2. Kekentalan (viscositas)
3. Kehilangan tekanan akibat gesekan dengan dindind pipa (friction loss)
Fluid loss yang kecil akan menghasilkan efisiensi yang baik untuk penekanan terhadap formasi, sehingga dapat dicapai luas daerah peretakan yang besar karena fluida yang masuk ke formasi sedikit. Untuk mengontrol kehilangan fluida dapat dilakukan dengan menambahkan bahan pengontrol kehilangan fluida (fluid loss control additive), dengan konsentrasi yang sesuai dengan sifat – sifat batuan formasi, temperatur dan tekanan dasar sumur. Adapun sifat dari additive ini ialah :
1. Sangat efektif pada konsentrasi rendah 2. Tidak reaktif padakonsentrasi rendah
3. Dapat dialirkan melalui pipa saluranmudah dikeluarkan dari formasi
Pada umumnya fluid loss control additive yang biasa digunakan adalah :
1. Silica Flour
2. Silica Flour & Polymer 3. Oil Solube Resin
(14)
4. Oil Solube Resin & Natural Polymer 5. Emulsions
6. Insoluble Gases
Daya penetrasifluida retak dipengaruhi oleh viskositas fluida retak & densitasnya, selain itu, viskositas juga mempengaruhi kapasitas pembawaan proppant ke dalam retakan. Adapun viskositas dari fluida peretak harus diperbesar karena :
1. Untuk menambah daya retakan 2. Memperkecil fluid loss
3. Menambah kapasitas pembawaan proppant ke dalam retakan
Cairan dengan viskositas tinggi mempunyai kemampuan penetrasi yang baik, sehingga dapat menghasilkan lebar retakan yang besar. Kapasitas pembawaan proppant juga semakin baik bila viskositas fluida peretak tinggi, sehingga dapat menghasilkan pendorong proppant ke dalam retakan yang baik.
Viskositas yang terlalu tinggi akan mengakibatkan kehilangan tekanan yang besar dan memperberat kerja pompa. Apabila terlalu rendah & mengakibatkan terjadinya akumulasi proppant didalam lubang bor. Untuk itu, harus ditentukan viskositas yang paling efektif untuk peretakan. Untuk mengontrol viskositas fluida peretak dapat dilakukan dengan menambah “Gelling Agent”. Beberapa “Gelling Agent” yang biasa digunakan untuk fluida peretak bahan dasar air ialah :
(15)
2. Hydroxyethyl Cellulose 3. Polyacrylamide
Untuk mengefektifkan daya pompa / mengurangi daya pompa yang diperlukan untuk peretakan, besar gesekan yang terjadi antara fluida peretak harus sekecil mungkin. Untuk itu dapat dilakukan dengan menambahkan material friction reducing. Berikut ini ialah jenis friction reducing yang sering digunakan :
1. Untuk fluida berbahan dasar minyak : Fatty Acid Soap – Oil Gel & Linier High – Molecular – Weight Hydrocarbon Polymer
2. Untuk fluida berbahan dasar air : Guar Gum, Essentially Polyacrylamide, Partially Hydrolized Polyacrylamide, & Cellulose
Apabila fluida peretak yang digunakan adalah jenis fluida peretak berbahan dasar air, maka additive yang perlu ditambahkan lagi ialah :
1. Bactericide : berperan untuk melindungi polimer dari perusakan bakteri formasi. Hanya perlu ditambahkan ke dalam fluida peretak jika ditambahkan polimer
2. Surfactant : berperan untuk meretakan tegangan permukaan dan tekanan kapiler di dalam ruang – ruang berpori. Pada fluida peretak berbahan dasar air ditambahkan additive ini
(16)
3. Scale Removal Additive : berperan sebagai pencegah tejadinya scale (pengendaan calcium carboate & calcium sulfate) pada tubing maupun peralatan lain.
2.4 Propping Agent (Proppant)
Propping agent (Proppant) ialah suatu material pengganjal celah hasil peretakan yang dihantarkan ke dalam retakan oleh fluida peretak. Fungsi utama dari proppant ini ialah mengisi celah – celah setelah proses peretakan dilakukan agar celah tersebut tidak kembali pada bentuk semula.
2.4.1 Fungsi Propping Agent
Salah satu yang dianggap paling penting dalam berhasil tidaknya pekerjaan peretakan hidrolik ialah pemilihan jenis & ukuran proppant yang harus digunakan. Berdasarkan fungsi utamanya, proppant harus memiliki sifat sbb :
1. Berbentuk bulat & simetris
2. Mempunyai specific gravity antara 0,8 s/d 3.0 3. Berdiameter cukup besar
4. Mempunyai compressive strength tinggi 5. Memiliki ukuran butiran yang seragam
6. Inert / mudah bercampur terhadap semua jenis fluida formasi dan treating chemicals
7. Mudah didapat & relatif murah
Jenis proppant yang biasa dipakai dalam operasi hydraulic fracturing antara lain sbb :
1. Pasir Kwarsa, Sg : 2,7 2. Wall Nutshells, Sg : 1,4 3. Glass Beads, Sg : 2,7 4. Allumunium Pallet,Sg : 2,7 5. Most Plastics, Sg : 1,1 2.4.2 Pengendapan Propping Agent
Berhasil tidaknya pelaksanaan proses hydraulic fracturing, banyak ditentukan oleh kapasitas aliran dari proppant dan kemampuan distribusinya dalam retakan. Pada mulanya kita menganggap bahwa proppant terdistribusi merata di dalam fluida peretak kemudian mengisi seluruh hasil retakan. Anggapan ini tidak realistis karena
(17)
fluida peretak ialah fluida yang berviskositas tinggi, sehingga menyulitkan proppant untuk tercampur secara merata.
Hal ini akan mempersulit penempatan proppant ke dalam semua celah retakan, sehingga tidak semua celah hasil retakan akan akan terisi proppant. Celah retakan yang tidak terisi proppant akan tertutup kembali. Masalah tersebut dapat juga terjadi karena tidak cukupnya jumlah proppant yang berfungsi di dalam celah retakan serta sulitnya menempatkan proppant pada semua posisi. Kejadian ini pada umumnya disebut “sand out” dan diakibatkan beberapa hal yaitu :
1. Viskositas fluida peretak terlalu rendah
2. Konsentrasi Proppant dalam fluida peretak terlalu tinggi 3. Pengendapan proppant terlalu cepat
Ketiga faktor tersebut akan mengurangi kemampuan pembawaan proppant & fluida peretak untuk masuk ke dalam celah retakan, sehingga proppant akan terakumulasi pada dasar sumur maupun tubing. Konsentrasi proppant yang terlalu tinggi akan mengakibatkan tersumbatnya celah retakan oleh pada daerah yang dekat dengan lubang sumur, sehingga daera – daerah yang jauh dari lubang sumur tidak terisi oleh proppant.
Untuk menempatkan proppant pada lokasi yang cukup jauh dari lubang sumur, kadang – kadang perlu dilakukan operasi peretakan ulang dengan arah vertikal. Pengaruh besar butir proppant (mesh) dengan kapasitas alir (md - ft) dapat dilihat pada gambar 2.4. Dalam beberapa hal, dapat disimpulkan dari gambar tersbut bahwa semakin besar partikel proppant (8 – 12 sand) akan semakin besar kapasitas alirnya dengan konsentrasi pasir & clossure stress yang sama.
(18)
Gambar 2.4 Grafik Korelasi Proppant Vs Kapasitas Alir Sedangkan untuk clossure stress diatas 4.500 Psi dan konsentrasi pasir diatas 1.000 lbs /1.000 Sq ft, pasir dengan ukuran 20 – 40 mesh mempunyai kapasitas alir lebih besar dari pasir ukuran yang lebih kecil (8 – 12 mesh). Kecepatan pengendapan proppant dipengaruhi oleh diameter proppant & viskositas cairan. Semakin besar diameternya, kecepatan pengendapanya semakin besar namun apabila semakin besar viskositas fluida maka akan semakin kecil kecepatan alirannya.
Pengendapan proppant di dalam celah reatakan dapat terjadi dalam pola :
a. Partial Monolayer System (sand proppant terakumulasi sejajar pada 1 lapisan & terdapat celah / jarak)
(19)
Gambar 2.5 Partial Mono Layer System
b. Multilayer System (sand proppant terakumulasi bertumpuk & rapat)
Gambar 2.6 Multilayer System
Penempatan proppant di dalam celah retakan mempunyai kecendrungan untuk mengendap pada dasar celah retakan. Bagian dasar celah retakan menjadi dipadati beberapa lapis proppant, sedangkan bagian atasnya terdiri dari bebrapa atau tanpa proppant. Jumlah lapisan partikel proppant bergantung pada ukuran, bentuk, konsentrasi partikel dalam fluida, lebar celah retakan & kapasitas penginjeksian.
(20)
Embedment dari proppant (penumpukan) pada celah retakan terjadi karena adanya kecendrungan retakan untuk menutup kembali akibat adanya retakan overburden. Konsentrasi optimal proppant monolayer adalah 0,2 s/d 0,5. Hal bergantung pula dari jenis & ukuran proppant yang digunakan, formasinya, dan kedalaman sumur.
2.4.3 Propping Agent Spacer
Agar diperolehnya distribusi proppant optimal, proppant sendiri harus dicampur dengan bahan lain yang mempunyai kesamaan dalam hal ukuran, bentuk, densitas, & bahan tersebut tidak larut dalam cairan peretak. Bahan pencampur tersebut menempati ruang retakan dan menekan proppant untuk mengendap, sehingga endapan proppant dalam bentuk mono layer dapat dicegah. Bahan yang di gunakan sebagai bahan pencampur disebut proppant spacer. Sesuai dengan sebutannya, maka spacer harus bersifat :
1. Mudah di transport
2. Tidak mudah larut di dalam fluida peretak yang digunakan 3. Mudah dikeluarkan / dihilangkan dari retakan, baik dengan
cara menginjeksikan pelarut atau dapat larut di dalam fluida reservoir.
4. Tahap terhadap tekanan pemompaan
Bahan – bahan yang digunakan sebagai proppant spacer ialah sbb :
1. Urea (NH2COONH2) : digunakan untuk fluida peretak berbahan
dasar minyak. Urea memiliki Sg : 1,3 dan dapat larut dalam air formasi atau dapat dilarutkan dengan air yang diinjeksikan kedalam retakan
(21)
2. Hydrocarbon Resin : digunakan sebagai fluida peretakberbahan dasar air. Spacer jenis ini memiliki Sg : 2,7 dan dapat larut dalam minyak
3. Sodium Bisulfate : digunakan untuk fluida peretak berbahan dasar minyak dengan Sg : 2,7 dan dapat larut di dalam air formasi atau dapat dilarutkan dengan air yang diinjeksikan ke dalam retakan. Spacer jenis ini tidak dapat digunakan untuk reservoir karbonat karena mengakibatkan scale.
2.4.4 Pemilihan Jenis, Ukuran dan Konsentrasi Propping Agent
Produktivitas sumur setelahperetakan sangat dipengaruhi oleh kapasitas retakan dan distribusi proppant. Sedangkan kapasitas retakan sangat dipengaruhi oleh :
1. Karakteristik formasi, terutama tekanan embedment 2. Jenis dan ukuran proppant yang digunakan
3. Distribusi proppant di dalam celah retakan
Pemilihan jenis proppant dapat dilakukan dengan bantuan chart hubungan antara fracture capacity dengan embedment pressure.
(22)
Gambar 2.7 Grafik Penentuan Ukuran Sand Proppant Adapun langkah – langkah yang harus dilakukan untuk memilih jenis ukuran dan konsentrasi proppant adalah sbb :
1. Tentukan fracture capacity yang diinginkan untuk mendapatkan produktivitas sumur yang dimaksud
2. Tentukan embedment pressure dari formasi di laboratorium 3. Dari data yang diperoleh diatas, tentukan jenis proppant yang
(23)
Gambar 2.8 Grafik Jenis Sand Proppant
4. Tentukan ukuran dan konsentrasi dari proppant sesuai dengan jenis &ukuran yang akan digunakan dengan bantuan grafik berikut.
(24)
Gambar 2.9 Grafik Ketahanan Sand Proppant 2.5 Pemilihan Sumur Untuk Distimulasi Dengan Hydraulic Fracturing
Ada beberapa kriteria untuk menentukan pemilihan suatu sumur yang cocok untuk dilakukan stimulasi dengan cara hydraulic fracturing. Adapun kriteria sumur – sumur tersebut ialah sbb :
1. Karena tujuannya untuk menaikan produksi, maka tentunya sebelum dilakukan pekerjaan hydraulic fracturing, pada sumur tesebut harus diketahui lebih dahulu apakah volume hidrokarbon (minyak atau gas) dalam lapisan tersebut apakah masih cukup ekonomis untuk dilakukan pekerjaan stimulasi hydraulic fracturing.
2. Apakah sumur tersebut masih mempunyai tekanan yang cukup untuk mengalirkan fluida dari reservoir ke dalam retakan kemudian masuk ke dalam lubang bor. Keterangan ini dapat diambil berdasarkan hasil uji produksi seperti Drill Stem Test (DST) atau Pressure Build Up Test (PBU Test). Hal ini dilakukan untuk
(25)
mengetahui tenaga pendorong yang masih tersedia, permeabilitas zona produksi & permeabilitas sekitar lubang bor.
3. Sumur yang diproduksi dari lapisan yang mempunyai permeabilitas rendah ialah sumur yang tepat untuk pengerjaan hydraulic fracturing. Karena pada lapisan yang memiliki permeabilitas rendah tidak akan memberikan produksi yang cuku ekonomis, karena aliran fluidanya terhambat sehingga kehilangan tekanan sebelum minyak masuk ke dalam lubang bor sangat besar. Hasil peretakan akan memperbesar zona produksi sehingga minyak dapat lebih mudah mengalir ke dalam lubang bor.
4. Hydraulic fracturing juga baik untuk sumur yang diproduksi dari lapisan dengan kadar lempung yang tinggi atau lapisan yang tercemar filtrat lumpur pemboran meskipun lapisan tersebut sebetulnya memiliki permeabilitas yang cukup besar. Jika kerusakan yang terjadi cukup parah & masuk kedalam lapisan jauh dari lubang bor, stimulasi dengan asam / surfactant untuk membersihkan lapisan tidak akan memperoleh hasil yang baik. Oleh karena itu peretakan dilakukan untuk lapisan yang mengalami kerusakan tersebut.
5. Sumur yang diproduksi dari lapisan yang telah memiliki rekahan – rekahan alamiah akan bisa memberikan tambahan jumlah perolehan hidrokarbon bila dilakukan operasi hydraulic fracturing. Adapun yang diharapkan ialah akan menghubungkan rekahan – rekahan alamiah dengan yang baru, sehingga ada tambahan kapasitas aliran dari formasi menuju ke lubang sumur. Dengan demikian produksi yang diharapkan akan semakin bertambah.
(26)
6. Hydraulic fraturing tidak hanya dilakukan pada sumur produksi, tetapi juga dilakukan pada sumur injeksi atau sumur pembuangan (dissposal well).
(1)
26
2. Hydrocarbon Resin : digunakan sebagai fluida peretakberbahan dasar air. Spacer jenis ini memiliki Sg : 2,7 dan dapat larut dalam minyak
3. Sodium Bisulfate : digunakan untuk fluida peretak berbahan dasar minyak dengan Sg : 2,7 dan dapat larut di dalam air formasi atau dapat dilarutkan dengan air yang diinjeksikan ke dalam retakan. Spacer jenis ini tidak dapat digunakan untuk reservoir karbonat karena mengakibatkan scale.
2.4.4 Pemilihan Jenis, Ukuran dan Konsentrasi Propping Agent
Produktivitas sumur setelahperetakan sangat dipengaruhi oleh kapasitas retakan dan distribusi proppant. Sedangkan kapasitas retakan sangat dipengaruhi oleh :
1. Karakteristik formasi, terutama tekanan embedment 2. Jenis dan ukuran proppant yang digunakan
3. Distribusi proppant di dalam celah retakan
Pemilihan jenis proppant dapat dilakukan dengan bantuan chart hubungan antara fracture capacity dengan embedment pressure.
(2)
27
Gambar 2.7 Grafik Penentuan Ukuran Sand Proppant Adapun langkah – langkah yang harus dilakukan untuk memilih jenis ukuran dan konsentrasi proppant adalah sbb :
1. Tentukan fracture capacity yang diinginkan untuk mendapatkan produktivitas sumur yang dimaksud
2. Tentukan embedment pressure dari formasi di laboratorium 3. Dari data yang diperoleh diatas, tentukan jenis proppant yang
(3)
28
Gambar 2.8 Grafik Jenis Sand Proppant
4. Tentukan ukuran dan konsentrasi dari proppant sesuai dengan jenis &ukuran yang akan digunakan dengan bantuan grafik berikut.
(4)
29
Gambar 2.9 Grafik Ketahanan Sand Proppant 2.5 Pemilihan Sumur Untuk Distimulasi Dengan Hydraulic Fracturing
Ada beberapa kriteria untuk menentukan pemilihan suatu sumur yang cocok untuk dilakukan stimulasi dengan cara hydraulic fracturing. Adapun kriteria sumur – sumur tersebut ialah sbb :
1. Karena tujuannya untuk menaikan produksi, maka tentunya sebelum dilakukan pekerjaan hydraulic fracturing, pada sumur tesebut harus diketahui lebih dahulu apakah volume hidrokarbon (minyak atau gas) dalam lapisan tersebut apakah masih cukup ekonomis untuk dilakukan pekerjaan stimulasi hydraulic fracturing.
2. Apakah sumur tersebut masih mempunyai tekanan yang cukup untuk mengalirkan fluida dari reservoir ke dalam retakan kemudian masuk ke dalam lubang bor. Keterangan ini dapat diambil berdasarkan hasil uji produksi seperti Drill Stem Test (DST) atau Pressure Build Up Test (PBU Test). Hal ini dilakukan untuk
(5)
30
mengetahui tenaga pendorong yang masih tersedia, permeabilitas zona produksi & permeabilitas sekitar lubang bor.
3. Sumur yang diproduksi dari lapisan yang mempunyai permeabilitas rendah ialah sumur yang tepat untuk pengerjaan hydraulic fracturing. Karena pada lapisan yang memiliki permeabilitas rendah tidak akan memberikan produksi yang cuku ekonomis, karena aliran fluidanya terhambat sehingga kehilangan tekanan sebelum minyak masuk ke dalam lubang bor sangat besar. Hasil peretakan akan memperbesar zona produksi sehingga minyak dapat lebih mudah mengalir ke dalam lubang bor.
4. Hydraulic fracturing juga baik untuk sumur yang diproduksi dari lapisan dengan kadar lempung yang tinggi atau lapisan yang tercemar filtrat lumpur pemboran meskipun lapisan tersebut sebetulnya memiliki permeabilitas yang cukup besar. Jika kerusakan yang terjadi cukup parah & masuk kedalam lapisan jauh dari lubang bor, stimulasi dengan asam / surfactant untuk membersihkan lapisan tidak akan memperoleh hasil yang baik. Oleh karena itu peretakan dilakukan untuk lapisan yang mengalami kerusakan tersebut.
5. Sumur yang diproduksi dari lapisan yang telah memiliki rekahan – rekahan alamiah akan bisa memberikan tambahan jumlah perolehan hidrokarbon bila dilakukan operasi hydraulic fracturing. Adapun yang diharapkan ialah akan menghubungkan rekahan – rekahan alamiah dengan yang baru, sehingga ada tambahan kapasitas aliran dari formasi menuju ke lubang sumur. Dengan demikian produksi yang diharapkan akan semakin bertambah.
(6)
31
6. Hydraulic fraturing tidak hanya dilakukan pada sumur produksi, tetapi juga dilakukan pada sumur injeksi atau sumur pembuangan (dissposal well).