Keterkaitan spasial perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa

(1)

KETERKAITAN SPASIAL PERBEDAAN PRODUKTIVITAS

TENAGA KERJA KABUPATEN/KOTA DI PULAU JAWA

ARBA IN NUR BAWONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keterkaitan Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011

Arba in Nur Bawono


(4)

ABSTRACT

ARBA IN NUR BAWONO. Spatial Dependence of Labour Productivity Disparities of Districts/Cities at Java Island. Under Direction of SETIA HADI,

KOMARSA GANDASASMITAand DIDIT OKTA PRIBADI

Using 115 districts/cities at Java Island and 9 sectors on the 2001-2008, this study use Esteban s shift share analysis to investigate the extent to which the existing interregional disparities in labour productivity can be attributed. The different between labour productivity of districts/cities and Java Island average is regressed on the three shift share components: industrial mix, productivity different, and allocative. However, labour productivity is not only influenced by three shift share components as explanatory variables but also by aspects related to surrounding districts/cities (neighborhood). Therefore, this research employed spatial econometric models, i.e. spatial lag model and spatial error model. We observed significant spatial effect for productivity different and the industrial mix component, productivity different as well as allocative components. The result found that labor productivity disparities across districts/cities in Java Island could be attributed to the industry mix, productivity different and allocative components. Whereas the highest coefficient regression value indicated by industrial mix component. Therefore, policies are needed not only for the transformation of labor from one sector (eg. primary sector) to other sectors (eg. secondary sector). It s necessary to promote policy emphasis on increasing sectoral labour productivity, for example through empowering labor skills and improving of socioeconomic infrastructure.


(5)

RINGKASAN

ARBA IN NUR BAWONO. Keterkaitan Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa. Dibimbing oleh SETIA HADI, KOMARSA GANDASASMITA dan DIDIT OKTA PRIBADI

Terdapat tiga macam ukuran yang biasa digunakan untuk mengkaji kinerja suatu wilayah, yaitu: output, output per kapita, dan output per pekerja. Ukuran yang akan dipilih tergantung dari tujuan penelitian. Penggunaan ouput per pekerja, yang sering didefinisikan sebagai produktivitas tenaga kerja memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut: (i) lebih sensitif terhadap perbedaan jumlah penduduk (pekerja) dibanding dengan penggunaan output yang biasanya diwakili oleh PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) yang bersifat agregat; (ii) dapat dilakukan dekomposisi secara sektoral dibanding dengan output per kapita (PDRB perkapita).

Penggunaan unit spasial (misalnya, kabupaten/kota) sebagai unit analisis perlu mempertimbangkan efek spasial, yaitu kemungkinan terjadinya nilai yang mirip pada wilayah yang berdekatan sebagaimana dinyatakan hukum geografi I (Tobler s first law of geography). Memperhatikan uraian di atas, permasalahan yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah: (i) Apakah terdapat efek spasial pada perbedaan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota tetangga di sekitarnya (neighborhood)? (ii) Apakah yang menyebabkan terjadinya perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa? Sehubungan dengan masalah tersebut maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kontribusi masing-masing komponenshift share terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa dengan menggunakan pendekatan model regresi spasial.

Produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota secara sektoral atau menurut lapangan usaha diukur oleh rasio PDRB kabupaten/kota menurut lapangan usaha terhadap jumlah tenaga kerja kabupaten/kota menurut lapangan usaha. Penelitian ini menggunakan pendekatan Kamarianakis dan Le Gallo yang memformulasikan penyebab perbedaan produktivitas antar wilayah dengan menggunakan analisis

shift share yang dikembangkan Esteban. Dengan teknik dekomposisi, Esteban yang menggunakan data negara-negara Eropa menemukan bahwa perbedaan produktivitas antara suatu megara dengan produktivitas rata-rata Eropa, merupakan penjumlahan dari tiga faktor, yaitu: (i) struktur ekonomi masing-masing negara secara sektoral, (ii) perbedaan produktivitas tenaga kerja pada sektor yang sama di negara yang berbeda, dan (iii) perbedaan alokasi tenaga kerja di masing-masing sektor.

Analisis spasial dalam penelitian ini difokuskan untuk menguji keberadaan efek spasial perbedaan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja kabupaten-kabupaten/kota-kota tetangga di sekitarnya (neighborhood). Autokorelasi spasial dapat didefinisikan sebagai kejadian suatu nilai yang mirip berada pada lokasi yang mirip. Autokorelasi spasial akan bernilai positif jika terdapat pengelompokan (clustering) kabupaten/kota yang memiliki nilai yang sama, yaitu kabupaten/kota dengan tingkat produktivitas yang tinggi (rendah) dikitari oleh kabupaten/kota tetangga yang juga memiliki tingkat produktivitas yang tinggi (rendah). Sebaliknya nilai autokorelasi spasial akan


(6)

negatif jika terjadi penyebaran nilai, yaitu kabupaten/kota yang memiliki tingkat produktivitas yang tinggi (rendah) dikelilingi oleh kabupaten-kabupaten/kota-kota lain yang justru bernilai rendah (tinggi).

Keberadaan pola spasial tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar perlunya menyusun sebuah model ekonometri spasial kontribusi masing-masing komponen shift share terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama tahun 2001 sampai dengan 2008 relatif tidak terdapat perubahan yang signifikan pada peringkat perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota terhadap rata-rata produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa. Pengujian menggunakan uji beda peringkat Kendall (Kendall concordance test) menghasilkan nilai probabilitas, yaitu nilai asymp. Sig (asymptotic significant) sebesar < 0,05 dan koofisien konkordansi Kendall sebesar 0,975 yang berarti tingkat keselarasannya sangat tinggi atau peringkat kabupaten/kota berdasarkan nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja antar tahun tidak banyak mengalami perubahan.

Persebaran tingkat produktivitas tenaga kerja tersebut dapat dipetakan berdasarkan nilai rata-rata dan standar deviasinya. Rata-rata perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa pada tahun 2001 sebesar 1,022 dengan standar deviasi 21,59. Dibandingkan dengan data tahun 2008 tidak didapatkan perbedaan yang signifikan. Meskipun demikian terdapat kecenderungan penurunan pada rata-rata produktivitas tenaga kerja menjadi -0,21, sedangkan nilai deviasi standar cenderung meningkat dan pada tahun 2008 menjadi 29,39 yang mengindikasikan peningkatan perbedaan produktivitas tenaga kerja antar kabupaten/kota yang semakin senjang.

Terdapat perbedaan distribusi antara kabupaten/kota yang nilai perbedaan produktivitas tenaga kerjanya berada di bawah dan di atas rata-rata. Seluruh kabupaten/kota yang berada di bawah rata-rata memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja antara rata-rata dikurangi dengan standar deviasi. Sedangkan pada kabupaten/kota yang memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja di atas rata-rata lebih tersebar, sebagian berada pada rata-rata ditambah standar deviasi bahkan sampai rata-rata ditambah dengan tiga kali standar deviasi.

Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar kabupaten/kota memiliki produktivitas tenaga kerja yang rendah. Dengan kata lain terjadi kemerataan produktivitas tenaga kerja pada tingkat produktivitas tenaga kerja yang rendah.

Hasil analisis menggunakan regresi spasial dengan data panel yang menggabungkan sekaligus antara data 115 kabupaten/kota selama 8 tahun (dari 2001 sa,pai 2008) menyimpulkan bahwa ketiga komponen shift share

berpengaruh secara nyata terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa. Pengujian dengan menggunakan Lagrange Multiplier (LM), uji Hausman dan membandingkamn antara R2 dan Corr2 dapat disimpulkan bahwa untuk masing-masing variabel penjelas the Industry-Mix Component ( i) dan the Productivity Differential Component ( i) model terbaik

yang didapatkan adalahspatial lag atauspatial autoregressive(SAR)fixed effect. Sementara untuk variabel penjelas the Allocative Component ( i) model terbaiknya adalahspatial error(SEM)fixed effect.


(7)

Model regresi spasial yang dikembangkan juga memperlihatkan signifikansi efek spasial pada hubungan antara masing-masing komponen shift share terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja. Hal tersebut berarti perbedaan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota juga dipengaruhi oleh perubahan komponen

shift share (alokasi tenaga kerja dan produktivitas tenaga kerja sektoral) di kabupaten/kota tetangga.

Oleh karena itu, disarankan untuk merancang kebijakan yang tidak hanya memperhatikan transformasi tenaga kerja dari suatu sektor ke sektor lain, misalnya dari sektor primer ke sektor sektor sekunder. Tetapi perlu untuk memperhatikan produktivitas tenaga kerja secara sektoral, misalnya melalui peningkatan ketrampilan tenaga kerja, perbaikan infrastruktur sosial ekonomi pendukung, dan lain-lain. Peningkatan keahlian dan ketrampilan tersebut juga dapat menjadi solusi adanya hambatan perpindahan tenaga kerja dari satu sektor ke sektor lainnya.

Berdasarkan temuan adanya keterkaitan spasial maka disarankan koordinasi antar kabupaten/kota yang bertetangga untuk bersinergi meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Misalnya, untuk peningkatan infrastruktur sosial ekonomi yang dapat mendorong peningkatan produktivitas sektoral perlu memperhatikan skala layanan dan efek limpahan manfaat (spillover effect) sehingga dapat dirancang lebih efisien dalam pembiayaan dan pemanfaatan barang publik.

Kata kunci : produktivitas tenaga kerja, analisisshift share, autokorelasi spasial, regresi spasial data panel


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(9)

KETERKAITAN SPASIAL PERBEDAAN PRODUKTIVITAS

TENAGA KERJA KABUPATEN/KOTA DI PULAU JAWA

ARBA IN NUR BAWONO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(10)

(11)

Judul Tesis : Keterkaitan Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa

Nama : ARBA IN NUR BAWONO

NRP : A156070071

Disetujui: Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ketua

Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc Didit Okta Pribadi, SP, M.Si

Anggota Anggota

Diketahui:

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(12)

(13)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Keterkaitan Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa dapat diselesaikan.

Penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Setia Hadi, MS, Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc dan Didit Okta Pribadi, SP, M.Si masing-masing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing serta Dr. Ir. Baba Barus, M. Sc selaku penguji luar komisi atas motivasi, arahan dan masukan terhadap penulis untuk terus berusaha menyempurnakan karya ini. Terimaksih juga disampaikan kepada Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dan jajaran manajemen, segenap dosen pengajar, asisten dan staf kependidikan program studi Ilmu Perencanaan Wilayah SPs IPB. Rekan-rekan Mahasiswa SPs PWL Angkatan 2007 yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas kebersamaan dan dorongan semangat untuk dapat menyelesaikan tesis ini. Dede Rosdiana perlu disebut secara khusus bukan saja karena menjadi teman seperjuangan hingga deadline, tetapi juga atas kontribusinya membantu karya ini lebih rapi dan enak dibaca.

Terakhir, secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada ayah H. Nurul Huda (alm), ibu Hj. Sumini, dan seluruh keluarga terutama untuk Evi, Izzan, dan Hanan (istri dan kedua anak penulis) atas segala doa, perhatian, kasih sayang, pengertian, dan kesabarannya yang menjadi motivasi lebih bagi penulis untuk tetap terus melangkah.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2011


(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Surakarta Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1969 dari ayah H. Nurul Huda (Alm) dan ibu Hj. Sumini. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara.

Setelah menyelesaikan pendidikan dari SMA Negeri 1 Surakarta pada tahun 1988, penulis melanjutkan pendidikan ke Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Program Studi yang dipilih adalah Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan selesai pada tahun 1998.

Pada tahun 2007 penulis melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah. Selama mengikuti perkulihan, penulis tetap bekerja sebagai konsultan dan terlibat pada berbagai kegiatan di beberapa instansi, diantaranya Bappeda Kota Depok, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pekerjaan Umum dan Bappenas. Penulis juga merupakan anggota tim penulisan buku Melayani Rakyat Menjaga Negara: Sejarah Sosial, Politik dan Ekonomi PT Pos Indonesia (Persero) yang diterbitkan pada tahun 2011 oleh Lspeu Indonesia (Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha Indonesia) dan PT Pos Indonesia (Persero).


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 4

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 5

Ruang Lingkup Penelitian ... 5

Kerangka Pemikiran ... 6

TINJAUAN PUSTAKA Perbedaan Kinerja Pembangunan Antar Wilayah ... 9

Produktivitas Tenaga Kerja Sebagai Ukuran Kinerja Pembangunan ... 11

Perbedaan Kinerja Pembangunan Antar Wilayah di Indonesia ... 13

Interaksi dan Keterkaitan Spasial (Spatial Dependence)... 17

Permodelan Ekonometri Spasial ... 20

Kajian Penelitian Terdahulu ... 25

METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data ... 29

Analisis Dekomposisi Produktivitas Tenaga Kerja (Shift Share Analysis)... 32

Analisis Data Spasial (Exploratory Spatial Data Analysis/ESDA) ... 35

Matriks Keterkaitan Spasial (Spatial Weight Matrices) ... 37

Analisis Regresi Spasial Data Panel ... 39

HASIL DAN PEMBAHASAN Tinjauan Umum ... 41

Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Antar Kabupaten/Kota ... 51

Perhitungan Komponen Shift Share ... 54

KomponenIndustrial Mix ... 55

KomponenProductivity Different ... 58

KomponenAllocative ... 60

Pola Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja ... 61

Matrik Kontiguitas Spasial ... 61

Pengujian Autokorelasi Spasial ... 63

Klaster Kabupaten/Kota Berdasar Perbedaaan Produktivitas Tenaga Kerja ... 64

Model Regresi Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja ... 68


(16)

Permodelan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja denganFixed Effect

Spasial ... 73

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 79

Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 83


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Perkembangan Pangsa Produk Domestik Bruto (PDB) dan Tenaga Kerja berdasarkan Sektor tahun 1987, 1997, 2007 (dalam persen) ... 1 2. Variabel, Definisi dan Indikator yang Digunakan dalam Penelitian ... 32 3. Tipe Hubungan Wilayah dengan Wilayah Tetangganya ... 37 4. PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Pulau Jawa menurut Lapangan

Usaha, Tahun 2001-2008 ... 44 5. Sepuluh Teratas dan Terbawah Peringkat Kabupaten/Kota Berdasarkan

Perbandingan PDRB Terhadap PDRB Pulau Jawa, 2001-2008 ... 45 6. Persentase Tenaga Kerja di Pulau Jawa menurut Lapangan Usaha Tahun

2001-2008 ... 46 7. Sepuluh Teratas dan Terbawah Peringkat Kabupaten/Kota Berdasarkan

Perbandingan Jumlah Tenaga Kerja Terhadap Rata-rata Jumlah Tenaga Kerja di Pulau Jawa, 2001-2008 ... 47 8. Rata-rata Produktivitas Tenaga Kerja Menurut lapangan Usaha Tahun

2001 2008 ... 49 9. Sepuluh Teratas dan Terbawah Peringkat Produktivitas Tenaga Kerja

Kabupaten/Kota Berdasarkan Perbandingan Terhadap Produktivitas Tenaga Kerja Pulau Jawa, 2001-2008 ... 50 10. Ringkasan Nilai Perbedaan Produktivitas Tenaga kerja Kabupaten/Kota di

Pulau Jawa, 2001 2008... 51 11. Hasil Pengujian Statistik Uji Keselarasan Kendall ... 54 12. Peringkat Sepuluh Teratas dan Terbawah Berdasarkan Nilai Komponen

Industrial Mix ( = (Pij - Pjawa) * Xj.jawa) Tahun 2001 2008 ... 55 13. Perbandingan Konsentrasi Tenaga Kerja di Jakarta Selatan dan Kabupaten

Pamekasan Tahun 2008 ... 56 14. Perkembangan Struktur Tenaga Kerja di Kota Cirebon Tahun 2001 dan

2008 ... 57 15. Peringkat Sepuluh Teratas dan Terbawah Berdasarkan Nilai Komponen

Productivity Differential i= jpjjawa(xji xjjawa) Tahun 2001 2008 ... 59 16. Produktivitas Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha di Kota Kediri dan

Kabupaten Blora serta Perbandingannya dengan Produktivitas Tenaga Kerja Pulau Jawa Tahun 2008 ... 60 17. Peringkat Sepuluh Teratas dan Terbawah Berdasarkan Nilai Komponen

Allocative i= j(xji xjjawa)(pji pjjawa) Tahun 2001 2008 ... 61 18. Ringkasan Hasil Perhitungan Moran s I ... 63 19. Uji Likelihood Ratio Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja


(18)

20. Uji Likelihood Ratio Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa:the Productivity Differential Component ... 70 21. Uji Likelihood Ratio Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja

Kabupaten/Kota di Pulau Jawa:the Allocative Component ... 70 22. Uji Hausman Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di

Pulau Jawa: the Industry-Mix Component... 71 23. Uji Hausman Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di

Pulau Jawa: the Productivity Differential Component ... 71 24. Uji Hausman Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di

Pulau Jawa: the Allocative Component ... 71 25. Nilai R2 dan Corr2Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota

di Pulau Jawa:the Industry-Mix Component ... 72 26. Nilai R2 dan Corr2Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota

di Pulau Jawa:the Productivity Differential Component ... 72 27. Uji Nilai R2 dan Corr2 Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di

Pulau Jawa: the Allocative Component ... 72 28. Hasil Pengujian Koefisien Parameter SpasialLag Model ... 73 29. Hasil Pengujian Koefisien Parameter SpasialError Model ... 75


(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Pikir Penelitian ... 7

2. Ketimpangan Pembangunan Antar Provinsi di Indonesia, 1993-2003 (berdasar Indeks Williamson) ... 13

3. Ilustrasi Model Keterkaitan antar Variabel Spasial ... 18

4. Tipe Keterkaitan antar Wilayah ... 38

5. Diagram Alir Algoritma Penentuan Model Regresi Spasial Data Panel ... 41

6. Perkembangan Agregat Produktivitas Tenaga Kerja Pulau Jawa, 2001-2008 ... 49

7. Persebaran Kabupaten/Kota Berdasarkan Nilai Rata-rata dan Standar Deviasi Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Tahun 2001 dan 2008... 52

8.a. Moran Scatter Plot Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Tahun 2001 ... 64

8.b. Moran Scatter Plot Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa 2008 ... 65

9. Klaster Kabupaten/Kota Berdasarkan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja... 66


(20)

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Kabupaten/Kota di Pulau Jawa ... 88 2. Rangking dan Nilai Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja

Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, 2001-2008 ... 91 3. Rangking dan Nilai Komponen Industry-Mix Kabupaten/Kota di Pulau

Jawa, 2001-2008 ... 94 4. Rangking dan Nilai Komponen Productivity Different Kabupaten/Kota di

Pulau Jawa, 2001-2008 ... 97 5. Rangking dan Nilai KomponenAllocativeKabupaten/Kota, 2001-2008 ... 100 6.a.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan

KomponenShift Share, Tahun 2001 ... 103 6.b.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan

KomponenShift Share, Tahun 2002 ... 106 6.c.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan

KomponenShift Share, Tahun 2003 ... 109 6.d.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan

KomponenShift Share, Tahun 2004 ... 112 6.e.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan

KomponenShift Share, Tahun 2005 ... 115 6.f.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan

KomponenShift Share, Tahun 2006 ... 118 6.g.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan

KomponenShift Share, Tahun 2007 ... 121 6.h.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan

KomponenShift Share, Tahun 2008 ... 124 7. Output Hasil RegresiSpasial Lag danSpatial Error ... 127


(22)

(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan merupakan proses transformasi struktural yang mendorong pergeseran alokasi sumberdaya. Model pembangunan ekonomi dengan penawaran buruh yang tidak terbatas (unlimited labour supply) misalnya, menjelaskan bahwa pembangunan akan berlangsung apabila sumberdaya terakumulasi sebagai akibat peralihan surplus kapital dari sektor pertanian yang subsisten ke sektor kapitalis. Atas nama pembangunan, terjadilah pengalihan surplus melalui penarikan tenaga kerja, modal dan sumberdaya-sumberdaya lainnya.

Gagasan yang dikemukan oleh Lewis (1954, diacu dalam Jhingan 1990) tersebut didasarkan pada pandangan bahwa di sektor subsisten tersedia buruh dalam jumlah yang tak terbatas dan bersedia menerima upah sekadar cukup untuk hidup. Karena penawaran buruh tersedia tidak terbatas, maka suatu industri dapat terus didirikan dan dikembangkan tanpa batas dengan cara menarik buruh dari sektor subsisten (pertanian) ke sektor industri.

Pada kenyataannya, pemikiran di atas tidak sepenuhnya tepat untuk menggambarkan proses transformasi yang terjadi di Indonesia sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perkembangan Pangsa Produk Domestik Bruto (PDB) dan Tenaga Kerja berdasarkan Sektor tahun 1987, 1997, 2007 (dalam persen)

Pangsa PDB Pangsa Tenaga Kerja

Sektor

1987 1997 2007 1987 1997 2007

Primer 35.49 23.78 24.90 55.55 42.08 42.24

Sekunder 18.34 24.84 27.10 0.15 0.27 12.38

Tersier 46.18 51.39 48.00 44.31 57.65 45.40

Sumber : BPS (diolah)

Kontribusi sektor primer cenderung mengalami penurunan dari 35,5 persen pada tahun 1987 menjadi 24,9 persen pada tahun 2007. Sebaliknya, sektor sekunder justru memperlihatkan kecenderungan memberikan kontribusi semakin besar. Jika pada tahun 1987 baru mencapai 18,3 persen, yang berarti masih di


(24)

bawah kontribusi sektor primer, pada tahun 2007 telah mencapai lebih dari 27 persen, melampaui kontribusi sektor primer.

Sementara jika dilihat dari penyerapan tenaga kerja, sektor primer dan tersier masih menjadi sektor yang menyerap tenaga paling besar. Meskipun cenderung menurun, sampai dengan tahun 2007 masih diatas 40 persen dari total tenaga kerja di Indonesia. Sektor sekunder yang memiliki pertumbuhan pangsa terbesar terhadap PDB justru kurang memperlihatkan kemampuan menyerap tenaga kerja.

Gambaran data tersebut menyajikan bahwa pertumbuhan sektor industri modern tidak mengakibatkan pertumbuhan jumlah tenaga kerja yang diserap ke dalam proses produksi karena proses tersebut bersifat hemat tenaga kerja (Arief dan Sasono 1984). Transformasi stuktur ekonomi dan struktur tenaga kerja yang kurang seimbang dikuatirkan menyebabkan proses pemiskinan dan eksploitasi sumberdaya manusia pada sektor primer (Kariyasa 2003). Lebih lanjut, perbedaan pola transformasi ekonomi dengan ketenagakerjaan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan tingkat produktivitas tenaga kerja secara sektoral. Karena terdapat perbedaan struktur perekonomian antar wilayah, perbedaan produktivitas tenaga kerja secara sektoral tersebut akan menyebabkan disparitas pembangunan antar wilayah.

Dinamika spasial pembangunan Indonesia memperlihatkan ketidakseimbangan pertumbuhan antara Pulau Jawa dengan pulau-pulau lainnya. Perkembangan antar daerah memperlihatkan bahwa daerah di Pulau Jawa umumnya mengalami perkembangan ekonomi jauh lebih cepat dibandingkan dengan daerah lainnya di luar Jawa (Bhinadi 2002).

Bhakti (2004) melakukan kajian tentang kecenderungan disparitas antar wilayah di Pulau Jawa dengan menggunakan analisis koefisien variasi tertimbang (weighted coefficient of variation) yang diformulasikan oleh Williamson dengan menggunakan PDRB perkapita tahun 1983-2001. Penelitian tersebut menggunakan PDRB harga konstan dan provinsi-provinsi di Pulau Jawa sebagai unit analisis. Secara umum dapat disimpulkan bahwa pada rentang waktu pengamatan kesenjangan antar daerah di Pulau Jawa relatif meningkat.


(25)

Penelitian tersebut juga digunakan untuk mengetahui sektor mana yang memberikan kontribusi terhadap disparitas wilayah dengan mengestimasi

weighted coefficient of variation (CV) masing-masing sektor dan covariation

(COV) antar sektor. Perekonomian dikelompokan menjadi tiga sektor, yaitu: (i) sektor pertanian, yang terdiri dari pertanian tanaman bahan makanan dan perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan; (ii) sektor industri, yang mencakup pertambangan dan pengglian, industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, dan bangunan; (iii) sektor jasa, yaitu perdagangan, restoran dan hotel, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta pemerintahan umum dan jasa-jasa kemasyarakatan.

Hasil estimasi menunjukkan nilai CV sektor pertanian relatif lebih kecil dibanding sektor industri maupun jasa. Artinya, sektor pertanian tidak signifikan memberikan kontribusi gejala terjadinya disparitas antar wilayah di Pulau Jawa. Sebaliknya, nilai CV sektor industri dan sektor jasa relatif jauh lebih tinggi dibanding sektor pertanian. Kondisi ini menggambarkan ketidakseimbangan antar wilayah di kedua sektor tersebut.

Perhitungan covariation (COV) antara sektor industri dan sektor jasa menunjukkan nilai positif yang cukup tinggi. Hal tersebut bermakna bahwa sektor jasa merupakanderived demand atas sektor industri. Sedangkan nilaicovariation

(COV) antara sektor pertanian dan sektor industri maupun sektor pertanian dan sektor jasa bernilai negatif, yang menunjukkan pergeseran PDRB sektor pertanian ke sektor industri maupun sektor jasa.

Uraian di atas menggambarkan beberapa hal, yaitu: (i) terdapat kecenderungan ketidakseimbangan proses transformasi ekonomi dan ketenagakerjaan yang ditandai oleh perbedaan perubahan struktur ekonomi dan struktur tenaga kerja secara sektoral, (ii) disparitas spasial di Pulau Jawa yang cenderung meningkat diukur dari perbedaan pembangunan antar kabupaten/kota, dan (iii) terdapat kontribusi sektoral dalam disparitas pembangunan antar wilayah. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai disparitas atau perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa dengan mempertimbangkan keterkaitan spasial di antara kabupaten-kabupaten/kota-kota tersebut.


(26)

Perumusan Masalah

Memahami karakterisik pertumbuhan suatu wilayah, merupakan hal yang penting untuk dapat mengetahui faktor-faktor yang dapat meningkatkan atau menghambat pembangunan, termasuk di dalamnya adalah pertumbuhan output dan pergeseran alokasi tenaga kerja. Analisis dekomposisi pertumbuhan menyediakan teknik analisis yang sangat berguna untuk melihat dinamika pertumbuhan secara sektoral maupun spasial.

Pendekatan ekonometri spasial mempertegas pengakuan bahwa pertumbuhan yang terjadi bukan berlangsung tanpa ruang (spaceless), akan tetapi menempati ruang/wilayah tertentu bahkan memiliki keterkaitan secara spasial (spatial dependence).

Memperhatikan uraian di atas, permasalahan yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah yang menyebabkan terjadinya perbedaan (disparitas) produktivitas tenaga kerja antar kabupaten/kota di Pulau Jawa?

2. Apakah terdapat pola spasial (klaster) antara produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota lain di sekitarnya (kabupaten/kota tetangga)?

3. Bagaimanakah model ekonometeri spasial kontribusi masing-masing komponen shift share terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa?

Tujuan Penilitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Mengidentifikasi sumber-sumber perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa melalui analisis dekomposisishift share.

2. Mengidentifikasi keberadaan pola spasial dalam bentuk klaster kabupaten/kota berdasarkan tingkat perbedaan produktivitas tenaga kerja, 3. Mengembangkan model regresi spasial untuk mengestimasi kontribusi

masing-masing komponen shift share terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa.


(27)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk memahami kondisi ketenagakerjaan kabupaten/kota di Pulau Jawa, khususnya alokasi tenaga kerja dan tingkat produktivitas tenaga kerja secara agregat pada masing-masing sektor perekonomian. Oleh karena itu hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi perencana pembangunan dalam merumuskan perencanaan pembangunan bidang ketenagakerjaan sehingga pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan.

Kontribusi penting yang juga dapat disumbangkan oleh penelitian ini adalah memasukkan pertimbangan keterkaitan spasial untuk memperdalam pemahaman sumber-sumber perbedaan produktivitas tenaga kerja. Menyadari keterkaitan spasial tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi perencana pembangunan di suatu kabupaten/kota untuk dapat merancang program peningkatan produktivitas tenaga kerja bersama-sama dengan kabupaten/kota lain disekitarnya secara sinergis sehingga program yang dijalankan dapat lebih efektif dan efisien.

Ruang lingkup Penelitian

Lingkup lokasi penelitian ini adalah Pulau Jawa dengan unit analisa sebanyak 115 kabupaten/kota keadaan tahun 2001-2008. Kabupaten/Kota tersebut tersebar di 6 provinsi, yaitu sebanyak 6 wilayah administrasi di Provinsi DKI Jakarta, 25 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, 5 kabupaten/kota di Provinsi DI Yogyakarta, 38 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur, dan 6 kabupaten/kota di Provinsi Banten (Lampiran 1).

Pemilihan Pulau Jawa sebagai wilayah kajian didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: (i) merupakan pusat aktifitas perekonomian dengan pangsa ekonomi sekitar 59% terhadap PDRB Nasional berdasarkan data Pendapatan Nasional Indonesia 2004-2007; (ii) berdasarkan data Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2005, dihuni oleh sebagian besar penduduk Indonesia, mencapai hampir 60% dari jumlah penduduk; (iii) secara sektoral, industri manufaktur cenderung terkonsentrasi di Pulau Jawa sejak tahun 1970-an (Aziz 1994). Demikian juga jika diamati dari sisi ketenagakerjaan, Pulau Jawa menyumbang


(28)

lebih dari 80 persen tenaga kerja yang bekerja di sektor Industri dari tahun 1975 sampai dengan 1995 (Kuncoro 2004).

Lingkup subtansi adalah produktivitas tenaga kerja yang diukur secara agregat (makro) yaitu rasio antara Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha atau sektor perekonomian. Atribut Pulau Jawa untuk setiap indikator yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada penjumlahan agregat dari seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa. PDRB Pulau Jawa misalnya, dengan demikian merupakan hasil penjumlahan PDRB seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa. Demikian juga dengan jumlah tenaga kerja Pulau Jawa juga merupakan hasil penjumlahan agregat seluruh tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa.

Perhatian ditekankan pada mengkaji perbedaan alokasi tenaga kerja antar kabupaten/kota dan perbedaan produktivitas tenaga kerja antar kabupaten/kota pada masing-masing lapangan usaha. Kedua hal tersebut, yaitu perbedaan jumlah alokasi tenaga kerja pada masing-masing sektor dan perbedaan produktivitas tenaga kerja sektoral di setiap kabupaten/kota diduga menjadi penyebab perbedaan produktivitas tenaga kerja.

Kerangka Pemikiran

Penelitian ini akan menganalisis sumber-sumber perbedaan produktivitas tenaga kerja antar kabupaten/kota di Pulau Jawa dengan mempertimbangkan keterkaitan spasial antar kabupaten/kota tersebut. Perbedaan produktivitas tenaga kerja tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan struktur ekonomi maupun alokasi tenaga kerja untuk masing-masing sektor ekonomi yang berbeda antara suatu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya. Dengan demikian, perbedaan produktivitas tenaga kerja tersebut perlu dikenali melalui analisis dekomposisi untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkannya.

Pentingnya memasukkan analisis spasial didasari pemikiran bahwa suatu unit spasial, dalam hal ini suatu kabupaten/kota melakukan interaksi dan dipengaruhi oleh kabupaten-kabupaten/kota-kota yang menjadi tetangganya (neighbors). Hubungan atau pengaruh antara suatu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota yang menjadi tetangganya dapat bersifat positif maupun negatif.


(29)

Berdasarkan uraian tersebut, maka kerangka pikir penelitian ini dapat digambarkan sebagaimana disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian Keterkaitan produktivitas

tenaga kerja kabupaten/kota tetangga (spatial weight

matrix)

Fenomena Pembangunan Kabupaten/Kota di Pulau Jawa

 Transformasi struktur perekonomian (PDRB Sektoral)

 Pergeseran penyerapan tenaga kerja secara sektoral

Produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota i

(Xi)

Produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa (XJAWA)

Perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota i (Xi- XJAWA)

Analisis dekomposisi (Shift Share Analysis)

 Komponen industry mix

i= j(pji pjJAWA).xjJAWA

 Komponenproductivity different

i= jpjJAWA(xji xjJAWA)

 Komponenallocative i= j(x

j i x

j JAWA)(p j i p j JAWA)

Model ekonometri spasial

Estimasi pengaruh komponenshift share terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa

Analisis keterkaitan spasial

(ESDA/Exploratory Spatial Data Analysis)

Uji global Uji lokal

Moran s I statistic

Moran scatterplot

Local indicator of spatial association

Moran significant maps

Klaster perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di


(30)

(31)

TINJAUAN PUSTAKA

Perbedaan Kinerja Pembangunan Antar Wilayah

Kuznets (1955) mengawali penelitian yang melihat perubahan kesenjangan distribusi pendapatan. Menggunakan data beberapa negara (cross section) secara runtun waktu (time series), Kuznets menemukan hubungan antara kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan per kapita yang berbentuk huruf U terbalik (inverted U hypothesis). Penamaan itu sesuai dengan pola distribusi pendapatan yang karena perubahan longitudinal (time series) tampak seperti kurva berbentuk huruf U yang terbalik. Pada awal proses pembangunan, disparitas distribusi pendapatan akan naik sebagai akibat proses industrialisasi dan urbanisasi. Akhirnya, pada tahap pembangunan lebih lanjut ketimpangan tersebut akan menurun, yaitu ketika sektor industri di perkotaan sudah menyerap sebagian besar tenaga kerja yang datang dari sektor pertanian di perdesaan.

Hasil kajian Williamson (1965) yang menggunakan data GDP berbagai negara juga mendukung hipotesa U terbalik tersebut. Nilai indeks Williamson menggambarkan disparitas yang terjadi akibat pertumbuhan output dan jumlah penduduk di negara-negara yang menjadi wilayah kajian. Pengukuran disparitas didasarkan pada penyimpangan pendapatan per kapita suatu wilayah dengan pendapatan per kapita nasional. Dengan kata lain, indeks Williamson merupakan modifikasi dari standar deviasi. Semakin besar nilainya menunjukkan tingkat disparitas antar wilayah yang semakin lebar.

Salah satu penjelasan terhadap ketidakmerataan pembangunan antar wilayah adalah distribusi sumberdaya alam yang tidak merata. Kekhasan sumberdaya alam di suatu wilayah yang digunakan sebagai input produksi menjadi salah satu penentu corak aktivitas ekonomi wilayah. Terlebih lagi, pada kenyataannya terdapat hambatan yang menjadikan ketidaksempurnaan interaksi antar wilayah (Hoover and Giarratani 1999), yang meliputi: (i) imperfect factor mobility

(ketidaksempurnaan mobilitas faktor produksi); (ii) imperfect factor divisibility

(ketidaksempurnaan pemisahan antar faktor produksi); dan (iii)imperfect mobility of goods and services(ketidaksempurnaan mobilitas barang dan jasa).

Perbedaan faktor produksi yang dimiliki oleh suatu daerah (endowment factor) dan hambatan mobilitasnya tersebut mendorong setiap daerah


(32)

mengembangkan skala ekonomi (economies of scale) dan mengambil keuntungan dari peningkatan spesialisasi ekonomi. Proses akumulasi dan mobilisasi sumberdaya berdasarkan kekhasan masing-masing daerah tersebut, baik berupa akumulasi modal, ketrampilan tenaga kerja dan kepemilikan sumberdaya alam merupakan pemicu laju pembangunan daerah bersangkutan. Heterogenitas sumberdaya dan keragaman karakteristik suatu wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya disparitas antar daerah dan antar sektor di wilayah tersebut (Kuncoro 2004).

Perroux 1955, diacu dalam Sjafrizal (2008) mengemukakan konsep kutub pertumbuhan (growth pole). Dasar teorinya adalah adanya ketidakseimbangan pada interaksi antar industri. Pembangunan diawali oleh sektor industri manufaktur yang dinamis, penggunaan teknologi modern yang secara relatif berskala besar. Sektor ini biasanya disebut sebagai leading sector, yang kemudian menjalar ke sektor-sektor lainnya. Dengan demikian, perkembangan tidak terjadi secara serentak di berbagai daerah.

Model basis ekspor (export-base model) dapat digunakan untuk menjelaskan perbedaan pertumbuhan ekonomi antar daerah. Model yang diperkenalkan oleh North 1956, diacudalamSjafrizal (2008) tersebut menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditentukan oleh keuntungan kompetitif (competitive advantage) daerah bersangkutan. Suatu daerah yang dapat mendorong pertumbuhan sektor-sektor yang mempunyai keuntungan kompetitif sebagai basis untuk ekspor (engine of growth), maka pertumbuhan daerah yang bersangkutan dapat ditingkatkan (Sjafrizal 2008; Blair 1995). Perbedaan keuntungan kompetitif yang dimiliki oleh masing-masing daerah sebagai engine of growth dapat menjelaskan kenyataan laju pertumbuhan ekonomi wilayah yang bervariasi. Terdapat daerah yang memiliki laju pertumbuhan tinggi dan ada pula laju pertumbuahan ekonomi daerah yang sangat rendah.

Model basis ekonomi menjadi landasan analisis terjadinya spesialisasi di suatu daerah. Permintaan eksternal terhadap output daerah akan memiliki efek dominan dalam pertumbuhan daerah yang bersangkutan. Proses tersebut bersifat kumulatif, karena stimulus ekspor selain memiliki dampak pengganda (multiplier effect) terhadap pendapatan, juga akan mendorong investasi di daerah tersebut.


(33)

Proses akumulasi dan mobilisasi faktor produksi baik akumulasi modal, tenaga kerja dan sumberdaya alam yang dimiliki suatu daerah merupakan pemicu dalam laju pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan. Heterogenitas karakteristik suatu wilayah mendorong perbedaan pertumbuhan antar sektor, dan selanjutnya menyebabkan ketimpangan antar daerah.

Produktivitas Tenaga Kerja Sebagai Ukuran Kinerja Pembangunan

Terdapat tiga macam ukuran pertumbuhan yang biasa digunakan untuk mengkaji kinerja pembangunan suatu wilayah, yaitu: output, output per kapita, dan output per pekerja. Ukuran yang akan dipilih tergantung dari tujuan analisis dalam penelitian (Armstrong and Taylor 1993). Pertumbuhan output, biasanya digunakan untuk mengukur kapasitas produksi yang bergantung pada kemampuan suatu wilayah untuk menarik modal dan tenaga kerja dari wilayah lain. Pertumbuhan output per kapita dianggap dapat menggambarkan perubahan kesejahteraan ekonomi wilayah. Pertumbuhan output per pekerja digunakan sebagai indikator perubahan tingkat keunggulan wilayah melalui pertumbuhan produktivitas.

Perbandingan antara ouput dan tenaga kerja, yang sering didefinisikan sebagai produktivitas tenaga kerja dipandang paling dapat menggambarkan fenomena transformasi ketenagakerjaan yang tidak sejalan dengan transformasi struktur ekonomi. Penggunaan produktivitas tenaga kerja sebagai ukuran disparitas juga memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut: (i) lebih sensitif terhadap perbedaan jumlah pekerja dibanding dengan penggunaan output total yang biasanya diwakili oleh PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) yang bersifat agregat; (ii) dapat dilakukan dekomposisi secara sektoral dibanding dengan output perkapita (PDRB perkapita).

Pada dasarnya ada dua pengertian produktivitas tenaga kerja, yaitu dari pendekatan mikro dan pendekatan makro. Pengertian produktivitas tenaga kerja dengan pendekatan mikro lebih mudah karena dikaitkan langsung dengan produk barang atau jasa yang dihasilkan oleh suatu perusahaan. Misalnya pada usaha pembuatan batu bata maka produktivitas tenaga kerja diukur dengan jumlah batu


(34)

bata yang dihasilkan dalam satu satuan waktu tertentu (misalnya, satu bulan) dibagi dengan jumlah pekerja pada waktu yang sama.

Pendekatan makro produktivitas tenaga kerja tidak semudah menghitung dari segi mikro. Angka produktivitas yang diperoleh merupakan produktivitas rata-rata pada suatu sektor ekonomi secara agregat. Ukuran produksi yang digunakan adalah nilai tambah yang dihasilkan dalam suatu perekonomian, yaitu menggunakan output ekonomi (PDRB). Sehingga produktivitas tenaga kerja diukur berdasarkan besaran nilai output di suatu sektor dibagi dengan jumlah penduduk yang bekerja di sektor tersebut.

Pengukuran produktivitas tenaga kerja tersebut memang mengandung kelemahan karena tidak memasukkan perhitungan faktor produksi lainnya. Perubahan produktivitas pada kenyataannya dapat disebabkan oleh penggunaan peralatan/mesin yang lebih canggih, penggunaan teknologi baru, dan lain-lain. Meskipun demikian, cara pengukuran di atas masih memadai untuk menunjukkan perbandingan dan kecenderungan perubahan produktivitas tenaga kerja (BPS DKI Jakarta 2008).

Disparitas produktivitas tenaga kerja antar daerah dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu: perbedaan produktivitas sektor yang sama di daerah yang berbeda, dan perbedaan struktur ekonomi antar daerah. Dengan demikian, kedua hal tersebut menyebabkan suatu daerah memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi dibanding rata-rata wilayahnya. Pertama, produktivitas tenaga kerja di daerah tersebut, untuk seluruh atau sebagian besar sektor, memiliki tingkat yang lebih tinggi di banding daerah-daerah lain di sekitarnya. Kedua, meskipun tidak memiliki keunggulan produktivitas sektoral, tetapi daerah tersebut melakukan spesialisasi pada sektor-sektor yang memiliki produktivitas tenaga kerja yang tinggi.

Esteban (2000) memformulasikan pandangan di atas dengan menggunakan analisis shift share. Esteban yang menggunakan data negara-negara Eropa menemukan bahwa perbedaan produktivitas antara suatu region dengan produktivitas rata-rata Eropa, merupakan penjumlahan dari tiga faktor, yaitu: komposisi atau struktur masing-masing wilayah secara sektoral, perbedaan


(35)

produktivitas sektor yang sama di wilayah yang berbeda, dan perbedaan alokasi tenaga kerja di sektor-sektor yang lebih efisien.

Perbedaan Kinerja Pembangunan Antar Wilayah di Indonesia

Perbedaan kinerja pembangunan antar wilayah merupakan salah satu topik kajian yang telah mendapat banyak perhatian di Indonesia. Akita dan Lukman (1995) menggunakan koefisien Williamson tertimbang untuk mengukur ketimpangan pendapatan antar wilayah tahun 1975 1992. Selain itu, untuk mengetahui kontribusi sektor-sektor ekonomi dilakukan analisis dekomposisi sektoral. Temuan pentingnya adalah bahwa meskipun ketimpangan antar wilayah dengan menggunakan data PDRB non migas relatif stabil, terdapat perubahan yang signifikan pada pengamatan kontribusi secara sektoral. Sektor tersier masih memberikan kontribusi yang besar terhadap ketimpangan tetapi terlihat penurunan secara gradual. Kontribusi sektor sekunder terhadap ketimpangan antar wilayah mengalami peningkatan, seiring dengan peningkatan perannya dalam PDRB.

Sjafrizal (2008) memaparkan hasil penelitian ketimpangan pembangunan dan tendesinya pada tahun 1993-2003. Penelitian ini juga melihat pengaruh DKI Jakarta terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, ketimpangan berdasarkan indeks Wiliamson diukur dengan menggunakan data termasuk DKI Jakarta dan tanpa DKI Jakarta (Gambar 2).

Sumber: diolah dari Sjafrizal (2008)


(36)

Temuan yang menarik adalah bahwa pengaruh DKI Jakarta terhadap ketimpangan antar wilayah di Indonesia ternyata cukup besar. Sjafrizal juga membandingkan antara indeks Williamson Indonesia dengan beberapa negara. Hasilnya perhitungan dengan mengeluarkan data DKI Jakarta masih menghasilkan angka indeks Williamson di Indonesia yang tinggi dibanding negara-negara lain dan tendensinya terus meningkat sepanjang waktu.

Akita (2003) membandingkan pola disparitas wilayah antara Indonesia dan China. Temuan pentingnya adalah terdapat hubungan yang paralel antara disparitas perekonomian (output) dan disparitas tenaga kerja. Artinya, pada saat disparitas tinggi, disparitas tenaga kerja juga tinggi. Sebaliknya, jika disparitas tenaga kerja rendah maka disparitas perekonomian juga rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan kontribusi penting tenaga kerja terhadap pembentukan output (GDP) di kedua negara yang menjadi wilayah penelitian. Signifikansi tenaga kerja dibanding faktor produksi modal (kapital) kemungkinan disebabkan kemiripan perekonomian di kedua negara yang labor intensive, sehingga penyerapan tenaga kerja cukup besar.

Hubungan antara produksi (output) dan faktor produksi tenaga kerja bersifat kausalitas, yang berarti terjadi hubungan timbal balik sebagai faktor penyebab maupun akibat. Disparitas perekonomian dapat menjadi sebab yang mengakibatkan disparitas tenaga kerja, karena muncul kecenderungan mobilitas arus tenaga kerja dari daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan rendah ke tinggi. Sebaliknya, ketersediaan faktor produksi tenaga kerja di suatu daerah menyebabkan pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan lebih tinggi dibanding daerah lainnya.

Kataoka (2007) mengidentifikasi ketimpangan antar wilayah dengan menggunakan teknik dekomposisi yang diperkenalkan oleh Duro dan Esteban (1998). Melalui analisis dekomposisi, Kataoka mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan ketimpangan pendapatan antar wilayah di Indonesia pada periode tahun 1983-2006, sebelum dan setelah krisis ekonomi. Indeks Theil yang dibobot dengan jumlah penduduk (Theil L index) didekomposisi menjadi empat komponen, yaitu: (i) produktivitas tenaga kerja, (ii) tingkat penggunaan tenaga


(37)

kerja, (iii) rasio tenaga kerja yang benar-benar bekerja terhadap penduduk usia kerja, dan (iv) rasio penduduk usia kerja terhadap total penduduk.

Temuannya menunjukkan terdapat perbedaan kecenderungan disparitas antar wilayah antara perhitungan menggunakan PDRB dengan migas dan PDRB tanpa migas. Perhitungan dengan PDRB dengan migas menunjukkan kenaikan disparitas dibanding dengan PDRB tanpa migas. Hal ini mengindikasikan peran penting migas dalam perekonomian Indonesia.

Lebih lanjut, kajian tersebut diperluas dengan analisis dekomposisi sektoral produktivitas tenaga kerja. Disparitas produktivitas tenaga kerja antar daerah, didekomposisi menjadi dua komponen, yaitu komponen dalam sektor ( within-sector component) dan komponen antar sektor (between sector component).

Hasil analisis dekomposisi sektoral menunjukkan penurunan disparitas produktivitas tenaga kerja pada periode penelitian. Kecenderungan tersebut terutama disebabkan oleh penurunan disparitas antar sektor (between sector component), yang turun dari 628,6 pada tahun 1989 menjadi 308,4 pada 2006. Penurunan kontribusi komponen antar sektor terhadap disparitas antar daerah tersebut, terutama disebabkan oleh penurunan produktivitas tenaga kerja sektor pertambangan, konstruksi dan jasa keuangan, yang secara nasional memiliki tingkat produktivitas tenaga kerja rata-rata yang tinggi.

Di sisi lain, analisis terhadap komponen dalam sektor (within sector) menunjukkan faktor yang menyebabkan fluktuasi disparitas produktivitas tenaga kerja berbeda antara satu sektor dengan sektor lainnya. Produktivitas tenaga kerja sektor primer, kontruksi, utilitas, transportasi dan komunikasi, dan keuangan mengalami peningkatan sedangkan sektor lainnya berkurang.

McCulloch dan Sjahrir (2008) menemukan beberapa kesimpulan menarik terkait dengan faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan kabupaten/kota di Indonesia pada era desentralisasi. Pertama, secara umum terjadi proses konvergensi pendapatan antar wilayah. kabupaten/kota yang memiliki PDRB rendah cenderung tumbuh lebih cepat dan relatif tidak terkena dampak krisis yang menyebabkan penurunan pertumbuhan. Kedua, terdapat kecenderungan proses klaster, yaitu kabupaten/kota yang tumbuh dengan tinggi akan memberikan dampak pertumbuhan yang tinggi pula terhadap kabupaten/kota disekitarnya.


(38)

Ketiga, terjadi dampak komposisi sektoral meskipun sulit diidentifikasi karena tidak cukup bukti bahwa secara sistemik distibusi sektoral yang lebih terkonsentrasi akan memberikan dampak pertumbuhan yang lebih cepat.Keempat, kuantitas dan kualitas tenaga kerja berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota.

Susanti (2005) meneliti proses konvergensi produktivitas tenaga kerja pada tingkat sektoral antar provinsi di Indonesia selama periode 1987-2003. Metode yang dipakai untuk mengukur konvergensi adalah konvergensi sigma ( -convergence) dan konvergensi beta ( -convergence). Konvergensi sigma berhubungan dengan proses dispersi antar daerah yang umumnya diukur dengan standar deviasi terhadap log PDB riil per kapita, semakin menurun sepanjang waktu. Sedangkan konvergensi beta merupakan indikasi seberapa cepat suatu indikator, misalnya output per tenaga kerja mendekati nilaisteady state-nya.

Analisis konvergensi sigma ( -convergence) memperlihatkan hasil konvergensi produktivitas tenaga kerja terjadi secara kuat pada sektor pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, dan produktivitas tenaga kerja agregat. Artinya, terjadi penurunan disparitas produktivitas tenaga kerja antar provinsi pada sektor-sektor tersebut. Sebaliknya sektor bangunan, sektor keuangan, sektor persewaan dan jasa perusahaan mengalami divergensi, atau disparitas produktivitas tenaga kerja antar provinsi pada sektor-sektor tersebut semakin melebar.

Sementara analisis konvergensi absolute dari produktivitas tenaga kerja sektoral dengan menggunakan konvergensi beta ( -convergence). menunjukkan variasi selama periode penelitian. Kecepatan perubahan konvergensi absolute produktivitas agregat lebih rendah jika dibandingkan dengan pengukuran secara sektoral. Menggunakan regresi dengan metode panel data yang memungkinkan perbedaan fungsi produksi antar perekonomian, maka sektor industri dan jasa merupakan sektor-sektor yang memiliki kecepatan konvergensi paling tinggi. Hal tersebut dapat dipahami karena sebagian besar aktivitas perekonomian sektor industri dan jasa tersebut terkonsentrasi di Pulau Jawa, sementara di daerah lainnya menyebar relatif tidak merata.


(39)

Interaksi dan Keterkaitan Spatial (Spatial Dependence)

Keragaman karakteristik merupakan faktor penting yang menjadi penyebab perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Latar belakang sejarah, komposisi sosial demografi, kondisi geografi, sebaran sumberdaya alam, kelembagaan dan kebijakan politik adalah komponen yang menentukan perbedaan perkembangan struktural wilayah (Todaro & Smith 2003). Kekhasan karakteristik wilayah secara substantial (unique substances) tersebut ketika berpadu dengan keterkaitan fungsional (functional interaction) dengan wilayah lain merupakan sumber perubahan ke arah berbagai bentuk kemajuan, atau sebaliknya justru memunculkan output yang tidak tepat secara ruang dan waktu (Saefulhakim, 2008).

Myrdal 1957, diacu dalam Jhingan (1990) dengan menggunakan konsep dampak balik (backwash effect) dan dampak sebar (spread effect) menganalisis pola hubungan antar wilayah. Dampak balik didefinisikan sebagai semua perubahan yang bersifat merugikan dari ekspansi ekonomi di suatu wilayah karena sebab-sebab di luar wilayah tersebut. Sedangkan dampak sebar merujuk pada dampak momentum pembangunan yang menyebar secara sentrifugal dari pusat pembangunan ke wilayah-wilayah lainnya. Masalahnya adalah dampak balik dan dampak sebar tersebut tidak mungkin berjalan seimbang. Merujuk pada hasil kajian Komisi Ekonomi PBB untuk Eropa, Myrdal menyimpulkan bahwa keterbelakangan suatu negara terletak pada lemahnya dampak sebar dan kuatnya dampak balik.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa proses pertumbuhan suatu daerah selain dipengaruhi oleh karakteristik daerah itu sendiri juga ditentukan oleh karakteristik wilayah di sekitarnya dan pola interaksi atau keterkaitan yang terjadi secara spasial. Aziz (1994) menyatakan bahwa analisis yang mengabaikan unsur spasial layak untuk dipertanyakan karena mempostulatkan bahwa segala proses dan mekanisme terjadi di alam tanpa ruang (spaceless). Akibat lebih lanjut, hasil pelaksanaan kebijakan yang didukung oleh kajian yang mengabaikan unsur spasial berdeviasi terlalu besar dari hipotesa yang diharapkan.

Saefulhakim (2008) mengilustrasikan bahwa intensitas serangan hama dan penyakit tanaman yang terjadi pada suatu petak sawah, tidak hanya ditentukan


(40)

oleh karakteristik dan pola budidaya yang dilakukan di petak sawah tersebut. Intensitas serangan hama dan penyakit, karakteristik lingkungan dan pola budidaya yang dilakukan di petak-petak sawah sekitarnya dan petak-petak sawah lain yang terkait dalam satu sistem jaringan irigasi/drainase juga turut mempengaruhinya. Terdapat banyak bukti terhadap keterkaitan antar wilayah seperti perdagangan antar wilayah, dampak eksternalitas infrastruktur dan mobilitas tenaga kerja.

Fenomena keterkaitan antar wilayah tersebut, dalam teori ilmu wilayah diformulasikan dalam berbagai konsep, antara lain: (i) interaksi spasial (spatial interaction); (ii) difusi spasial (spatial diffusion); (iii) hirarki spasial (spatial hierarchy); dan (iv) aliran antar daerah (interregional spillover).

Pola interaksi dan keterkaitan spasial tersebut, terkait dengan kinerja pembangunan suatu daerah yang tidak hanya ditentukan oleh karakteristik lingkungan dan manajemen daerah tersebut tetapi juga merupakan hasil dari pengaruh dan interaksi dengan kinerja pembangunan, karakteristik lingkungan dan manajemen pembangunan di daerah-daerah lain di sekitarnya. Ilustrasi keterkaitan antar wilayah tersebut dapat digambarkan sebagaimana Gambar 3.


(41)

Dengan demikian, mengabaikan aspek spasial dalam penelitian wilayah yang menggunakan unit spasial, misalnya kabupaten/kota sebagai unit analisis dapat memberikan hasil yang bias. Akibat lebih lanjut, formulasi kebijakan yang ditarik dari temuan penelitian tersebut juga menjadi tidak tepat.

Kajian yang memadukan antara analisis dekomposisi dan analisis spasial dilakukan Nazara (2003) yang menggunakan teknik dekomposisi untuk melihat pengaruh region tetangga terhadap kesenjangan antar provinsi di Indonesia. Untuk keperluan tersebut, Nazara memodifikasi analisis dekomposisi shift share standar yang diperkenalkan Dunn (1960) untuk analisis spasial. Modifikasi tersebut diperlukan untuk mempertimbangkan terjadinya interaksi antara suatu region dengan tetangganya. Interaksi tersebut, dapat memberikan manfaat posisif maupun negatif terhadap region bersangkutan.

Teknik dekomposisishift share spasial tersebut diimplementasikan terhadap data PDRB provinsi untuk tahun 1976-1998. Pengertian region, didasarkan pada sistem konfigurasi provinsi di Indonesia, yaitu 26 provinsi dikelompokkan ke dalam 5 super region: Sumatera, Jawa dan Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Timur. Interaksi diasumsikan hanya terjadi antar provinsi di dalam super region yang sama. Asumsi ini didasarkan pada hasil perhitungan matrik

Input-Output antar regional (Interregional IO) tahun 1999 yang menunjukkan transaksi input antara lebih banyak terjadi dalam region di banding antar region.

Nazara mengemukakan beberapa temuan penting. Pertama, terdapat kecenderungan ketimpangan spasial yang makin besar dalam lima super region tersebut selama tahun 1990-an dibanding tahun-tahun awal pengamatan.

Kedua, sektor tersier merupakan sektor yang paling kecil menunjukkan perbedaan antara satu region dengan region yang lain. Hal tersebut diduga disebabkan oleh perkembangan Indonesia yang belum berorientasi pada sektor jasa/tersier. Jawa sebagai super region yang paling maju, sehingga dapat dikatakan sebagai wilayah yang paling berorientasi pada sektor jasa, fluktuasi efek sektor tersebut yang paling besar terutama pada tahun 1980-an dan awal 1990-an. Sedangkan di region lain yang sektor jasa belum memberikan kontribusi signifikan terhadap PDRB, fluktuasinya relatif kecil.


(42)

Ketiga, kecenderungan ketimpangan spasial lebih stabil setalah akhir 1980-an. Pola yang menarik terjadi selama masa krisis ekonomi pada tahun 1997-1998. Pada periode itu, Ketimpangan spasial super region Kalimantan dan Indonesia Timur menjadi semakin besar, sementara ketimpangan spasial super region Sumatera dan Jawa sebaliknya justru semakin menurun. Sedangkan di dalam super region Sulawesi relatif tidak terjadi perubahan ketimpangan spasial. Hal tersebut diduga sebagai akibat krisis ekonomi yang lebih berdampakn pada wilayah perkotaan di Indonesia bagian barat, khususnya Pulau Jawa. Sebaliknya, di luar Pulau Jawa krisis ekonomi yang ditandai depresiasi rupiah justru memberikan keuntungan nilai pada barang-barang ekspor khususnya produksi minyak dan gas, dan juga perdagangan komoditas perkebunan.

Permodelan Ekonometri Spasial

Suatu model regresi linier menyatakan hubungan antara satu atau lebih variabel independen yang dapat dinyatakan dalam model regresi linier (Drapper dan Smith 1992). Adapun model regresi linier secara umum sebagai berikut.

   

x pxp

y 0 1 1 

dengan yadalah variabel respon, 0,1p adalah koefisien parameter yang diestimasi, dan adalah nilaierror regresi.

Suatu model ekonometrika harus memenuhi uji asumsi model regresi, yaitu

0, 2I

~

IIDN (suatu variable random yang identik, independen, dan berdistribusi normal). Uraian mengenai pengujian masing-masing asumsi adalah sebagai berikut:

Asumsi Berdistribusi Normal

Asumsi residual berdistribusi normal harus terpenuhi. Cara pengujian residual berdistribusi normal atau tidak salah satunya dapat dilakukan dengan

Kolmogorov-Smirnov test. Apabila pengujian residual berdistribusi normal tidak dapat dipenuhi maka solusinya dapat dilakukan transformasi data, pendeteksian dataoutlier(pencilan), dan regresibootstrap.


(43)

Asumsi Homoskedastisitas

Asumsi homoskedastisitas adalah variansi residual bersifat identik atau konstan, artinya varian setiap residual i Apabila varians residual tidak identik maka disebut heteroskedastisitas. Salah satu cara untuk melihat ada tidaknya pola heterokedastisitas dapat dilakukan dengan membuat plot antara residual yang dikuadratkan denganytaksiran. Selain itu juga dapat dilakukan dengan uji Glejser yaitu meregresikan nilai mutlak residual dengan variable independen. Bentuk umum persamaannya adalah X  (Gujarati, 2004). Jika parameter variabel independen signifikan berarti varian residual cenderung tidak homogen.

Asumsi Independen

Asumsi independen menunjukkan tidak terdapat autokorelasi. Autokorelasi adalah hubungan yang terjadi diantara residual yang tersusun dalam rangkaian waktu (time series) atau dalam rangkaian ruang (data crossection). Salah satu metode untuk mendeteksinya dengan cara melihat plot Autocorrelation Function

(ACF). Bila lag-nya tidak keluar dari garis batas maka tidak terjadi kasus autokorelasi.

Asumsi Tidak Ada Multikolinearitas

Multikolinearitas merupakan korelasi atau hubungan yang kuat diantara variabel-variabel prediktor. Ada beberapa cara untuk mendeteksi adanya multikolinearitas, diantaranya dengan :

1. Variance Inflation Factor(VIF) yang tinggi, biasanya > 10 2. Korelasi antar variabel prediktor tinggi

3. Koefisien determinasi (R2) tinggi tetapi tidak ada variabel prediktor yang signifikan

Model Regresi Spasial Data Panel

Dalam model regresi spasial data panel, data yang digunakan adalah data gabungan antara time seriesdan crossection atau disebut juga dengan data panel. Unit crossection dapat berupa individu, rumah tangga, perusahaan, negara, ataupun lainnya yang berulang selama beberapa waktu. Dalam penelitian ini


(44)

digunakan data panel seimbang (balance panel data) dimana setiap unit

crossectionmemiliki jumlah observasitime seriesyang sama.

Secara umum model regresi spasial data panel dinyatakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut.

     n 1 j it i it jt ij

it W y x ,

y

   n 1 j it it ij it W

dimanai adalah indeks pada dimensicrossection dengani = 1, .,n dant adalah indeks pada dimensi waktu dengan t = 1, ,T. yit adalah unit pengamatan pada variabel dependen unit ke i dan waktu ke t, Wijadalah matriks

pembobot/penimbang spasial dengan elemen-elemen diagonalnya sama dengan nol. adalah koefisien spasial lag, adalah autokorelasi spasial pada error dan adalah koefisien autokorelasi spasial. xit menunjukkan vektor observasi pada variabel prediktor pada unit spasial ke-iuntuk periode waktu ke-t, adalah vektor parameter dan itadalah error berdistribusi

2

, 0 ~

IIDN untuk setiap i dan t.

imenunjukkan efek spasial.

Efek spasial dibedakan menjadi dua bagian yaitu dependensi spasial dan heterogenitas spasial (Anselin 1988). Dependensi spasial terjadi akibat adanya dependensi dalam data wilayah, sedangkan heterogenitas spasial terjadi akibat adanya perbedaan antara satu wilayah dengan lainnya. Model spasial dengan efek dependensi spasial terdiri atas spasial lag dan spasial error. Interaksi diantara unit-unit spasial pada data panel juga akan memiliki variabel dependenlag spasial atau spasial proses padaerror yang biasa disebut model spatial lag dan model spatial error (Elhorst 2009).

a. Model SpasialLag (SAR)

Model spasial lag dinyatakan dengan persamaan berikut.

     n 1 j it i it jt ij

it W y x

y

adalah koefisien spasial lag. b. Model SpasialError (SEM)


(45)

Model spasial error dinyatakan dengan persamaan berikut.

      n 1 j it it ij it it i it

it x ; W

y

adalah autokorelasi spasial pada error dan koefisien autokorelasi spasial.

Estimasi Model Spasial Data Panel

Berdasarkan Elhorst (2009) estimasi model pada data panel meliputi model

fixed effectdanrandom effect. Modelfixed effectadalah teknik mengestimasi data panel dengan menggunakan variabel dummy untuk mendapatkan adanya perbedaan intercept. Model ini tergantung asumsi yang dibuat tentang intercept, koefisien slope, dan residualnya. Ada beberapa kemungkinan yang akan muncul yaitu:

1. Diasumsikaninterceptdanslopeadalah tetap sepanjang waktu

2. Diasumsikanslopeadalah tetap tetapiinterceptberbeda antar individu

3. Diasumsikan slope tetap tetapi intercept berbeda baik antar waktu maupun antar individu

4. Diasumsikaninterceptdanslopeberbeda antar individu

5. Diasumsikaninterceptdanslopeberbeda antar waktu dan antar individu

ModelFixed Effect

a. Fixed Effect Spatial Lag Model

Model spasial lag dinyatakan dengan persamaan berikut.

     n 1 j it i it jt ij

it W y x

y

adalah koefisien spasial lag.

Anselin dan Hudak (1992) menyajikan estimasi parameter ,dan 2pada model spasial lag dengan menggunakan Maksimum likelihood data crossection. Prosedur estimasi pada persamaan (2) juga dapat menggunakan fungsi log-likelihooddengan memperhatikan ,dan 2. Perbedaannya adalah bahwa data tersebut diperpanjang dari n pengamatan ke panel n x T pengamatan.


(46)

b. Fixed Effect Spatial Error Model

Anselin dan Hudak (1992) menyajikan parameter ,dan 2

dari model regresi linier termasukerrorautokorelasi dengan datacrossection.

Likelihood Ratio(LR)Test

Pengujian likelihood Ratio dilakukan untuk mengetahui apakah fixed effect

dan random effect memberikan pengaruh secara bersama-sama. Pengujian ini dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut (Elhorst 2009).

a. Fixed Effect

H0 : 0 H1 : 0

b. Random Effect

H0 : 1

H1 : 1

Statistik uji yang digunakan adalah -2s, dimana s adalah selisih antara log-likelihood model restricted dan model unrestricted. Keputusan yang digunakan adalah tolak H0 jikap-value<

Hausman Test

Untuk mengetahui apakah suatu model termasuk fixed effect atau random effect pada model panel data digunakan uji Hausman. Model fixed effect

mengasumsikan variabel prediktor berkorelasi dengan residualnya, sedangkan

random effect mengasumsikan variabel prediktor tidak berkorelasi dengan residualnya. Random Effect akan menghasilkan suatu estimasi yang tidak konsisten bila terdapat korelasi. Adapun hipotesis yang digunakan dalam uji

Hausmansebagai berikut. H0 : h0

H1 : h0

Statistik Uji yang digunakan adalah

 

FE RE

1 '

d d, d var d


(47)

dimana

 

2

*' *

1 FE 1 * *' 2

RE X X X X

d

var      

Keputusan adalah tolak H0 jikap-value<

Goodness of Fit

Koefisien determinasi (R2) pada regresi spasial data panel lebih sulit dilakukan karena R2 pada regresi OLS dengan disturbance covariance 2Ike bentuk umum model regresi dengan matriksdisturbance covariance 2

1

.

Persamaan yang sering digunakan :

Y Y

 

Y Y

e e 1 e, R ' ' 2   

 atau

 

Y Y

 

Y Y

e e 1 e R ' ' 2     ~ ~ ~

Yadalah rata-rata variabel respon daneadalah residual model. Cara lain e' e dapat digantikan dengan jumlah kuadrat ~e'~e

Sementara itu, perhitungancorr2 menggunakan persamaan sebagai berikut.

 

 

 

 

        Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y, corr ' ' 2 ' 2

Yadalah vektor dari nilai taksiran. Berbeda dengan R2 perhitungan corr2 tanpa melibatkan variasi pada spasial effect sehingga selisih antara R2 dan corr2

menunjukkan variasi yang dapat dijelaskan oleh spasialeffect.

Kajian Penelitian Terdahulu

Penggunaan produktivitas tenaga kerja untuk menjelaskan variasi disparitas antar daerah telah dilakukan di beberapa negara. Kamarianakis (2003) mengaplikasikan untuk kasus negara-negara Uni Eropa. Kajian tersebut merupakan pengembangan lebih lanjut analisisshift shareyang dilakukan Esteban dengan menambahkan dua analisis. Pertama, menguji persamaan produktivitas antar Negara yang perbedaannya ditentukan setiap komponen shift share untuk beberapa tahun pengamatan antara 1975 - 2000. Hal tersebut dilakukan untuk menangkap evolusi perbedaan produktivitas antar negara untuk setiap komponen


(48)

shift share. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada alasan mengasumsikan tidak terdapat hubungan antar tahun yang berbeda.

Kedua, Kamarianakis memasukkan pertimbangan spasial dalam analisis disparitas produktivitas tenaga kerja Negara-negara Uni Eropa dengan menguji keberadaanspatial autocorrelation. Hasil temuannya menujukkan bahwa terdapat kecenderungan penurunan perbedaan produktivast tenaga kerja antar Negara. Dibanding komponen lainnya, komponen industrial mix merupakan komponen yang lebih signifikan menjadi faktor penyebab perbedaan antar Negara-negara Uni Eropa.

Shkurpat (2006) mengaplikasikan analisis dekomposisi perbedaan produktivitas tenaga kerja di Ukraina. Kajian tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab utama terjadinya perbedaan produktivitas tenaga kerja di Ukraina dan mencari bukti keberadaan klaster wilayah berdasarkan perbedaan produktivitas tenaga kerja. Secara statistik ditemukan dua klaster di Ukraina, yaitu di bagian barat merupakan wilayah yang memiliki produktivitas tenaga kerja yang rendah dan klaster di bagian timur yang merupakan wilayah dengan produktivitas tenaga kerja yang tinggi.

Berdasarkan keberadaan klaster tersebut selanjutnya dilakukan pengujian model kontribusi komponen shift share terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja dengan memasukkan pertimbangan spasial. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk kasus Ukraina pada komponenproductivity differential danallocative perlu memasukkan analisis spasial dalam bentuk model spasialerror.

Model Esteban dengan pendekatan spasial dari Kamarianakis juga diimplementasikan oleh Salim (2006) untuk kasus kabupaten/kota di Pulau Jawa dengan menggunakan data tahun 2003. Temuannya menegaskan pentingnya pengaruh kabupaten/kota yang menjadi tetangga untuk dimasukkan dalam analisis perbedaan produktivitas tenaga kerja.

Salim memodelkan interaksi spasial dengan pendekatan matrik ketetanggaan (contiguity) dan membandingkan orde 1 dengan orde 4. Hasilnya menunjukkan bahwa di Jawa, region-region berkelompok secara positif, yaitu region-region yang memiliki perbedaan produktivitas regional yang besar (kecil) berkelompok dengan yang bernilai besar (kecil). Penggunaan orde yang lebih


(49)

tinggi, yaitu orde 4 yang menghitung interaksi sampai dengan empat lapis ketetanggaan menguatkan kesimpulan terjadinya klaster perbedaan produktivitas tenaga kerja di Jawa.

Klaster positif tersebut terjadi pada komponen industry-mix maupun

productivity different. Sedangkan pada komponen allocative klaster tersebut tidak terlalu dapat didefinisikan. Pengaruh ketetanggaan tersebut juga muncul pada semua hubungan hubungan antara perbedaan produktivitas tenaga kerja dengan satu per satu komponenshift share.

Penelitian ini melengkapi kajian tersebut dengan mengambil rentang waktu tidak hanya satu titik tahun. Diharapkan model ekonometri spasial yang terbentuk lebih dapat menggambarkan kontribusi masing-masing komponen shift share

terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa, baik secara ruang antar kabupaten/kota (cross section) maupun antar waktu (time series).


(50)

(51)

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dikumpulkan dengan metode kepustakaan bersumber dari berbagai publikasi BPS. Data dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pendapatan regional menurut lapangan usaha dan data tenaga kerja menurut lapangan usaha. Data-data tersebut merupakan data sekunder yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan DKI Jakarta.

Data pendapatan regional adalah Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupaten-kabupaten/kota-kota di Pulau Jawa yang dirinci menurut lapangan usaha. Untuk menghilangkan pengaruh harga, digunakan PDRB harga konstan.

Data tenaga kerja menurut lapangan usaha merupakan data jumlah penduduk yang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja selama seminggu yang lalu menurut kabupaten-kabupaten/kota-kota di Pulau jawa dan dirinci menurut lapangan usaha. Lapangan usaha sebagai rincian data PDRB maupun jumlah tenaga kerja dirinci menjadi sembilan sektor yang meliputi:

1. Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan 2. Pertambangan & Penggalian

3. Industri Pengolahan

4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Bangunan dan Kontruksi

6. Perdagangan, Rumah Makan dan Hotel 7. Pengangkutan, Perdagangan & Komunikasi

8. Keuangan, Asuransi, Persewaan Bangunan & Jasa Perusahaan 9. Jasa-Jasa Kemasyarakatan

Secara praktis, produktivitas merupakan konsep yang mengukur efisiensi penggunaan input terhadap output yang dihasilkan. Sesuai dengan definisi tersebut, produktivitas tenaga kerja dapat diukur menggunakan data nilai tambah suatu daerah, yaitu PDRB dibandingkan dengan jumlah pekerja. Dengan demikian, produktivitas tenaga kerja masing-masing kabupaten/kota secara


(1)

Lampiran 7. (ç è éêë ìè é)

íî ïîð ñòó ñôî î õðòöô÷ øïù úùïîûüñõîýîþñòÿîô ñõýî õThe Allocative Component

Pooled model with spatially lagged dependent variable and spatial fixed effects Dependent Variable = produktivitas

R-squared = 0.9662 corr-squared = 0.3108 sigma^2 = 28.6327

Nobs,Nvar,#FE = 920, 2, 116 log-likelihood = -2852.6196 # of iterations = 1

min and max rho = -1.0000, 1.0000 total time in secs = 0.5310

time for optimiz = 0.0160 time for lndet = 0.3910 time for t-stats = 0.0470 No lndet approximation used

*************************************************************** Variable Coefficient Asymptot t-stat z-probability

AL 0.663100 18.798001 0.000000 W*dep.var. 0.346999 6.283612 0.000000

LR-test joint significance spatial fixed effects, degrees of freedom and probability = 2324.9766, 115, 0.0000

Pooled model with spatially lagged dependent variable and spatial random effects Dependent Variable = produktivitas

R-squared = 0.9612 corr-squared = 0.5307 sigma^2 = 32.8061 Nobs,Nvar = 920, 3 log-likelihood = -3191.9333 # of iterations = 4

min and max rho = -1.0000, 1.0000 total time in secs = 1.8440

time for optimiz = 1.7500 time for lndet = 0.2970 time for t-stats = 0.0310 No lndet approximation used

*************************************************************** Variable Coefficient Asymptot t-stat z-probability

konstan 0.157622 0.075236 0.940027 AL 0.709702 19.096330 0.000000 W*dep.var. 0.347999 6.323666 0.000000 teta 0.090170 10.756439 0.000000

LR-test significance spatial random effects, degrees of freedom and probability = 1646.3492, 1, 0.0000


(2)

Lampiran 7. ( ✁ ✂✄☎ ✆✁ ✂)

✝✞✟✠ ✞✟✡✠☛✟☞☛✌✍✎✎✝✎✏✡ ✍✑ ✒

✓✔ ✕✔✠ ✖✗✘ ✖✙✔ ✔ ✚✠✗✛ ✙✜ ✢ ✕✣ ✤✣ ✕✔ ✥✟ ✖✚✔ ✦✔✧✖✗★✔✙ ✖✚✦✔ ✚The Industry-Mix Component

Pooled model with spatial error autocorrelation and spatial fixed effects Dependent Variable = produktivitas

R-squared = 0.9517 corr-squared = 0.0502 sigma^2 = 37.5210 log-likelihood = -2980.4779 Nobs,Nvar,#FE = 920, 1, 116 # iterations = 17

min and max rho = -0.9900, 0.9900 total time in secs = 14.3130

time for optimiz = 13.6720 time for lndet = 0.4680 time for t-stats = 0.0310 No lndet approximation used

*************************************************************** Variable Coefficient Asymptot t-stat z-probability

IM 0.933516 6.691140 0.000000 spat.aut. 0.454993 8.085214 0.000000

LR-test joint significance spatial fixed effects, degrees of freedom and probability = 2579.4085, 115, 0.0000

Pooled model with spatial error autocorrelation and spatial random effects Dependent Variable = produktivitas

R-squared = 0.9492 corr-squared = 0.2426 sigma^2 = 42.9508 Nobs,Nvar = 920, 2 log-likelihood = -3313.4732 # of iterations = 4

min and max rho = Inf, 1.0000 total time in secs = 1.7960

time for optimiz = 1.5000 time for eigs = 0.1100 time for t-stats = 0.0780

*************************************************************** Variable Coefficient Asymptot t-stat z-probability

konstan 1.076345 0.500654 0.616615 IM 1.087751 7.682388 0.000000 spat.aut. 0.451695 7.472841 0.000000 teta 13.973105 9.544906 0.000000

LR-test significance spatial random effects, degrees of freedom and probability = 1913.4178, 1, 0.0000


(3)

Lampiran 7. (✩ ✪ ✫✬✭ ✮✪ ✫)

✯✰ ✱✰ ✲ ✳✴✵ ✳✶✰ ✰ ✷ ✲ ✴✸✶✹ ✺✱✻ ✼✻✱✰✽ ✾✳✷✰✿✰ ❀✳ ✴❁✰ ✶✳✷✿✰✷ The Productivity Differential

Component

Pooled model with spatial error autocorrelation and spatial fixed effects Dependent Variable = produktivitas

R-squared = 0.9699 corr-squared = 0.4086 sigma^2 = 23.5359 log-likelihood = -2765.4708 Nobs,Nvar,#FE = 920, 1, 116 # iterations = 17

min and max rho = -0.9900, 0.9900 total time in secs = 13.1090

time for optimiz = 12.7820 time for lndet = 0.2970 time for t-stats = 0.0150 No lndet approximation used

*************************************************************** Variable Coefficient Asymptot t-stat z-probability

PD 0.740538 24.896437 0.000000 spat.aut. 0.438969 7.605079 0.000000

LR-test joint significance spatial fixed effects, degrees of freedom and probability = 1227.1336, 115, 0.0000

Pooled model with spatial error autocorrelation and spatial random effects Dependent Variable = produktivitas

R-squared = 0.9680 corr-squared = 0.8778 sigma^2 = 27.0957 Nobs,Nvar = 920, 2 log-likelihood = -3069.9502 # of iterations = 5

min and max rho = Inf, 1.0000 total time in secs = 0.3750

time for optimiz = 0.2970 time for eigs = 0.0160 time for t-stats = 0.0320

*************************************************************** Variable Coefficient Asymptot t-stat z-probability

konstan -1.285059 -0.980169 0.327003 PD 0.814515 28.071363 0.000000 spat.aut. 0.432466 6.942489 0.000000 teta 8.102066 9.478253 0.000000

LR-test significance spatial random effects, degrees of freedom and probability = 618.1747, 1, 0.0000


(4)

Lampiran 7. (❂ ❃ ❄❅❆ ❇❃ ❄)

❈❉ ❊❉❋●❍■ ●❏❉ ❉ ❑❋ ❍▲❏▼ ◆❊❖ P❖❊❉◗❘●❑❉❙❉❚●❍❯❉❏ ●❑❙❉ ❑The Allocative Component

Pooled model with spatial error autocorrelation and spatial fixed effects Dependent Variable = produktivitas

R-squared = 0.9641 corr-squared = 0.2941 sigma^2 = 29.0627 log-likelihood = -2859.4397 Nobs,Nvar,#FE = 920, 1, 116 # iterations = 16

min and max rho = -0.9900, 0.9900 total time in secs = 13.9220

time for optimiz = 13.5620 time for lndet = 0.3130 time for t-stats = 0.0320 No lndet approximation used

*************************************************************** Variable Coefficient Asymptot t-stat z-probability

AL 0.661686 18.475513 0.000000 spat.aut. 0.350993 5.363660 0.000000

LR-test joint significance spatial fixed effects, degrees of freedom and probability = 2338.7662, 115, 0.0000

Pooled model with spatial error autocorrelation and spatial random effects Dependent Variable = produktivitas

R-squared = 0.9607 corr-squared = 0.5100 sigma^2 = 33.2388 Nobs,Nvar = 920, 2 log-likelihood = -3199.365 # of iterations = 4

min and max rho = Inf, 1.0000 total time in secs = 0.3750

time for optimiz = 0.2650 time for eigs = 0.0160 time for t-stats = 0.0470

*************************************************************** Variable Coefficient Asymptot t-stat z-probability

konstan 1.122040 0.561615 0.574379 AL 0.689778 18.410311 0.000000 spat.aut. 0.347695 4.950022 0.000001 teta 15.762693 9.535938 0.000000

LR-test significance spatial random effects, degrees of freedom and probability = 1658.9157, 1, 0.0000


(5)

(6)