Pemberitaan Kasus Kelangkaan Minyak Tanah di Pulau Jawa (Analisis Wacana Mengenai Kasus Kelangkaan Minyak Tanah di Pulau Jawa pada Harian KOMPAS).

(1)

(Analisis Wacana Mengenai Pemberitaan Kasus Kelangkaan Minyak Tanah di Pulau Jawa pada Harian KOMPAS)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Diajukan Oleh :

NOVITA DINA YOSEPHINE PANJAITAN 040904047

ILMU KOMUNIKASI

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Birowo, Antonius. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Gitanyali. Yogyakarta Bulaeng, Andi. 2004. Metode Penelitian Komunikasi Kontemporer. ANDI. Yogyakarta.

Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. PT. Rajawali Grafindo Persada. Jakarta.

. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. PT. Rajawali Grafindo Persada. Jakarta.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana. Pengantar Analisis Teks Media. LKIS Cetakan Pertama. Yogyakarta.

Fairclough, Norman. 1998. Critical Discourse Analysis. Logman London & New York. London.

Hadiyanto. 2001. Membudayakan Kebiasaan Menulis. PT. Fikahati Aneska Jakarta.

Ishwara, Luwi. 2005. Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar. Penerbit Buku KOMPAS. Jakarta.

Kaplan, David & Manners. 2002. Teori Budaya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Kovach, Bill & Rossenstiel, Tom. 2004. Elemen-Elemen Jurnalisme. ISAI. Cetakan Kedua. Jakarta.

Krippendorf, Klaus. 1993. Analisis Isi : Pengantar Teori & Metodologi. PT. Rajawali Grafindo Persada. Jakarta.

Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Prenada Media. Jakarta.

Kusumaningrat, Hikmat dan Kusumaningrat, Purnama. 2005. Jurnalistik Teori dan Praktik. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Leeuwen, Theo Van. 2005. Introducing Social Semiotics. Routledge. Taylor & Francis group. New York.


(3)

Mcquail, Dennis. 1989. Teori Komunikasi Massa. Penerbit Erlangga. Jakarta. Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Rakhmat, Jalalludin. 2001. Metode Penelitian Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Singarimbun, Masri. 1981. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta. Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media. Remaja Rosdakarya. Bandung. Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media dan Petarungan Wacana. LKIS. Cetakan

Pertama. Yogyakarta.

Sumadiria, Haris. 2005. Jurnalistik Indonesia. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial. Prenada Media. Jakarta.

Surat Kabar dan Web- Site Kompas, Jumat 25 Januari 2008.

Kompas, Senin 21 April 2008.

www.kompas.co.id, diakses pada tanggal 13 Februari 2008 dan 26 Maret 2008. http :// 202.146 /.4.17/ read. php ?cnt =, xml. 2008.01.07. 165 22282& channel = 1& mn = 2& idx =4. Diakses pada tanggal 14 April 2008.


(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

Lembar Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Novita Dina Yosephine Panjaitan NIM : 040904047

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : Pemberitaan Kasus Kelangkaan Minyak Tanah di Pulau Jawa ( Analisis Wacana Mengenai Kasus Kelangkaan Minyak Tanah di

Pulau Jawa pada Harian KOMPAS).

Medan, Mei 2008 Dosen Pembimbing Kepala Departemen

Dr. Iskandar Zulkarnain, MSi Drs. Amir Purba, MA NIP 131 882 279 NIP 131 654 104

Dekan Fisip USU

Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA NIP. 131 757 010


(5)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara oleh:

Nama : Novita Dina Yosephine Panjaitan NIM : 040904047

Pada hari : Kamis Tanggal : 8 Mei 2008 Pukul : 10.10 s/d selesai

Tim Penguji

Ketua : Drs. Dewi Kurniawati, MSi ( ) NIP.131 837 036 Penguji I : Dr. Iskandar Zulkarnain, MSi ( ) NIP. 131 882 279 Penguji II : Dra. Lusiana Andriani Lubis, MA ( ) NIP.131 881 145


(6)

 

Tanah di Pulau Jawa pada harian KOMPAS). Secara umum penelitian ini bertujuan untuk membedah bagaimana pemberitaan tentang kelangkaan minyak tanah yang terjadi di pulau Jawa yang ditampilkan dalam surat kabar KOMPAS.

Ada banyak cara bagaimana media mengemas berita sedemikian rupa dari berita ekonomi maupun berita politik sehingga tetap tampak “baik” di hadapan khalayak. Dalam penelitian ini sendiri, peneliti memakai cara pandang paradigma kritis dengan metode analisis wacana kritis versi Theo van Leeuwen yakni dengan cara eksklusi (pengeluaran aktor) dan inklusi (walaupun menghadirkan aktor akan tetapi media telah mengemasnya sedemikian rupa).

Hasil penelitian ini menemukan bahwa isi teks berita kasus kelangkaan minyak tanah di pulau Jawa lebih mengekslusikan pemerintah dan pertamina namun pihak agen/ pengecer juga mendapat bagian eksklusi. Meskipun dalam setiap pemberitaan strategi wacana eksklusi jarang terdapat, namun ketika terdapat strategi tersebut, maka pihak pemerintah maupun pertamina yang paling sering dikeluarkan dari pemberitaan. Strategi inklusi merupakan strategi yang sering terjadi dalam pemberitaan ini, dan warga/ masyarakat yang menjadi elemen yang paling sering dihadirkan namun informasi yang ada telah dibuat sedemikian rupa sehingga mengakibatkan wacana yang positif maupun negatif. Berita yang ada cukup bervariasi namun penentuan narasumber menentukan adanya pemarjinalan. Hasil penelitian ini juga telah dibandingkan dengan hasil para rechecker yang menemukan adanya proses eksklusi pemerintah, Pertamina dan para pihak pengecer. Proses eksklusi ini lebih banyak didapat dari strategi pasivasi dan nominalisasi. Hasil dari rechecker kebanyakan sesuai atau sama dengan peneliti. Perbedaan yang tampak jelas hanya rechecker tidak menemukan banyaknya strategi inklusi terutama objektivasi-abstraksi pada berita, tidak seperti peneliti dan untuk strategi inklusi lainnya hanya ada 2-3 perbedaan hasil.


(7)

 

kepada Tuhan Yesus yang telah memberikan berkat dan anugerah-Nya yang berkelimpahan kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pemberitaan Kasus Kelangkaan Minyak Tanah di Pulau Jawa pada harian KOMPAS. Adapun skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada Universitas Sumatera Utara untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial dari Departemen Ilmu Komunikasi.

Peneliti menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini mengingat terbatasnya waktu, pengetahuan, dan kemampuan peneliti. Oleh karena itu, dengan hati yang tulus dan ikhlas peneliti menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca yang nantinya berguna di hari yang akan datang.

Dalam penyelesaian skripsi ini peneliti banyak mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Pertama sekali peneliti mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada orangtua peneliti yakni Bapak Soaloon Panjaitan dan Mama Rosdiana Tampubolon yang selalu ada di rumah untuk membimbing dan memberikan semangat, cinta dan kasih sayangnya. Terima kasih telah selalu mendoakan peneliti dalam setiap kesempatan dan yang selalu berharap bahwa peneliti nantinya akan menjadi manusia yang berguna di masa yang akan datang. Kepada kedua abang peneliti, Ferry Alex H Panjaitan, ST dan Johannes Tumpal Panjaitan, ST yang meskipun berada di Jakarta dan Bandung namun banyak memberikan pencerahan dan semangat kepada peneliti agar selalu berjuang.


(8)

 

1. Bapak Prof. Dr. H. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Amir Purba, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Iskandar Zulkarnain, MSi selaku dosen pembimbing peneliti yang telah banyak membantu memotivasi dan membimbing peneliti selama penulisan skripsi ini. Terima kasih sedalam-dalamnya atas waktu, nasehat dan pemikiran yang telah diberikan kepada peneliti.

4. Ibu Dra. Dayana, MSi selaku dosen wali yang telah banyak membimbing peneliti selama perkuliahan.

5. Bapak/ Ibu dosen Ilmu Komunikasi pada khususnya dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik pada umumnya yang telah memberikan bekal pengetahuan selama masa perkuliahan.

6. Kak Icut, Kak Ros, Maya, Rotua dan seluruh staf yang ada di Departemen Ilmu Komunikasi yang membantu peneliti dalam hal administrasi selama ini.

7. Teman-teman dekat seperjuangan peneliti : Yoyo, J’c, Ndank, Nva, Selly dan Maya. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas pertemanan kita selama hampir 4 tahun ini. Terima kasih karena selalu ada buat peneliti, selalu memberikan canda tawa yang khas dan yang memberikan semangat


(9)

 

dan yang menjadi rechecker dalam skripsi ini Semoga pertemanan kita selalu ada meskipun jarak akan memisahkan kita nantinya.

8. Senior-senior Komunikasi ‘02 dan ‘03 yang banyak memberikan pinjaman buku, nasehat, ilmu-ilmunya selama perkuliahan dan skripsi terutama kak Risa yang masih mau memberikan saran-sarannya meskipun telah bekerja.

9. Teman-teman Kom ’04 yang selalu mau memberikan informasi-informasi penting dan selalu mau berteman dengan peneliti terutama Sudi, yang selalu mau untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari peneliti selama skripsi. Terima kasih telah mau membantu peneliti.

10. Semua pihak yang turut membantu kelancaran penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membaca dan dapat memperluas pemikiran di masa yang akan datang. Terima kasih.

Medan, Mei 2008 Peneliti


(10)

 

Kata Pengantar ……… ii

Daftar Isi ……….. v

Daftar Tabel ……… vii

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

I.1 Latar Belakang ……….. 1

I.2 Perumusan Masalah ……….. 6

I.3 Pembatasan Masalah ………. 7

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………. 7

I.4.1 Tujuan Penelitian ……… 7

I.4.2 Manfaat Penelitian ………. 8

I.5 Kerangka Teori ………. 8

I.5.1 Komunikasi Massa ……….. 8

I.5.2 Analisis Isi ……… 9

I.5.3 Analisis Wacana ……… 11

I.5.4 Analisis Wacana Versi Theo Van Leeuwen ………. 13

I.5.5 Berita ……… 14

I.6 Kerangka Konsep ……… 16

I.7 Operasional Variabel ……….. 17

I.8 Definisi Operasional ……… 17

I.8.1 Eksklusi ……….. 17

I.8.2 Inklusi ………. 19

BAB II URAIAN TEORITIS ………. 23


(11)

 

II.4. Analisis Wacana Versi Theo Van Leeuwen ……….. 34

II.5. Berita ………. 39

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……….. 48

III.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ………. 48

III.1.1 Harian Umum KOMPAS ……….. 48

III.2. Metode Penelitian ……… 52

III.3. Populasi dan Sampel ……… 53

III.4. Teknik Pengumpulan Data ……. ...……….. 53

III.5. Unit dan Tingkat Analisis ………... 54

III.6. Metode Analisis Data ………. 54

BAB IV ANALISA DATA …...……….. 55

IV.1. Analisis Data Berita Surat Kabar KOMPAS ……….. 55

IV.2. Pembahasan ……….. 95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 99

V.1 Kesimpulan ……… 99

V.2 Saran ……….. 101

Daftar Pustaka ……….. 104 Lampiran


(12)

 

Tabel IV.1 Berita Kelangkaan Minyak Tanah di Pulau Jawa pada Surat Kabar KOMPAS ... 53 Tabel IV.2 Ringkasan Hasil Penelitian Analisis Wacana Berita Kelangkaan Minyak Tanah di Pulau Jawa pada Surat Kabar KOMPAS …... 85


(13)

 

Polisi Selidiki Kemungkinan Kebocoran Distribusi).

Lampiran II : KOMPAS Jumat 4 Januari 2008 (Kelangkaan Minyak Tanah Turut Dipicu Rembesan).

Lampiran III : KOMPAS Sabtu 5 Januari 2008 (Minyak Tanah Langka. Harga Eceran Rp.6.000 Per Liter).

Lampiran IV : KOMPAS Senin 7 Januari 2008 (Minyak Tanah Sulit Didapat di Banten).

Lampiran V : KOMPAS Senin 7 Januari 2008 (Minyak Tanah Langka, Nelayan Stress).

Lampiran VI : KOMPAS Kamis 10 Januari 2008 (Transisi Minyak Tanah Ke LPG Picu Antrean Minyak Tanah ).

Lampiran VII : KOMPAS Jumat 11 Januari 2008 (Pedagang Borong Minyak Tanah. Memanfaatkan Operasi Pasar di Beberapa Lokasi).

Lampiran VIII : KOMPAS Jumat 25 Januari 2008 (Gas Rp 120.000 Per Tabung. Antrean Minyak Tanah Masih Terjadi di Tegal).


(14)

 

Tanah di Pulau Jawa pada harian KOMPAS). Secara umum penelitian ini bertujuan untuk membedah bagaimana pemberitaan tentang kelangkaan minyak tanah yang terjadi di pulau Jawa yang ditampilkan dalam surat kabar KOMPAS.

Ada banyak cara bagaimana media mengemas berita sedemikian rupa dari berita ekonomi maupun berita politik sehingga tetap tampak “baik” di hadapan khalayak. Dalam penelitian ini sendiri, peneliti memakai cara pandang paradigma kritis dengan metode analisis wacana kritis versi Theo van Leeuwen yakni dengan cara eksklusi (pengeluaran aktor) dan inklusi (walaupun menghadirkan aktor akan tetapi media telah mengemasnya sedemikian rupa).

Hasil penelitian ini menemukan bahwa isi teks berita kasus kelangkaan minyak tanah di pulau Jawa lebih mengekslusikan pemerintah dan pertamina namun pihak agen/ pengecer juga mendapat bagian eksklusi. Meskipun dalam setiap pemberitaan strategi wacana eksklusi jarang terdapat, namun ketika terdapat strategi tersebut, maka pihak pemerintah maupun pertamina yang paling sering dikeluarkan dari pemberitaan. Strategi inklusi merupakan strategi yang sering terjadi dalam pemberitaan ini, dan warga/ masyarakat yang menjadi elemen yang paling sering dihadirkan namun informasi yang ada telah dibuat sedemikian rupa sehingga mengakibatkan wacana yang positif maupun negatif. Berita yang ada cukup bervariasi namun penentuan narasumber menentukan adanya pemarjinalan. Hasil penelitian ini juga telah dibandingkan dengan hasil para rechecker yang menemukan adanya proses eksklusi pemerintah, Pertamina dan para pihak pengecer. Proses eksklusi ini lebih banyak didapat dari strategi pasivasi dan nominalisasi. Hasil dari rechecker kebanyakan sesuai atau sama dengan peneliti. Perbedaan yang tampak jelas hanya rechecker tidak menemukan banyaknya strategi inklusi terutama objektivasi-abstraksi pada berita, tidak seperti peneliti dan untuk strategi inklusi lainnya hanya ada 2-3 perbedaan hasil.


(15)

 

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki kebutuhan yang cukup banyak. Mulai dari sandang, pangan dan kebutuhan lainnya. Tidak semua kebutuhan itu dapat dipenuhi oleh pemerintah. Kurangnya ketersediaan pasokan kebutuhan tersebut, membuat pemerintah Indonesia harus melakukan suatu kegiatan ekonomi yakni melakukan impor atau mendatangkan kebutuhan tersebut dari negara lain.

Melihat sejarah ke belakang, Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai kekuatan dalam hal ekspor, di beberapa bidang. Misalnya, pada pemerintahan (alm) presiden Soeharto, Indonesia merupakan negara yang dapat melakukan ekspor beras ke negara-negara di Asia. Dan hal ini memang terbukti, bahwa dulunya beras-beras dari Indonesia merupakan jaminan mutu. Oleh karena itu ekspor beras selalu dilakukan dalam kegiatan perekonomian Indonesia.

Semuanya itu hanya merupakan masa lalu. Sekarang ini, pemerintah Indonesia sudah melakukan kebijakan impor beras. Hal ini sebenarnya sudah lama terjadi sehingga terdapat pihak-pihak yang pernah mempertanyakan kebijakan tersebut karena, mengingat sebagian masyarakat Indonesia berprofesi sebagai petani dan lahan-lahan di daerah-daerah di Indonesia telah banyak menghasilkan bahan kebutuhan tersebut namun karena kerusakan lahan dan persoalan lainnya,


(16)

 

membuat pemerintah Indonesia melaksanakan kebijakan impor beras dari negara lain.

Kembali ke persoalan kebutuhan, terdapat juga kebutuhan yang sangat dirasakan penting. Hal ini berkaitan dengan minyak, terutama dengan minyak tanah. Sebagaimana kita tahu, bahwa masyarakat kita masih membutuhkan minyak tanah dalam kehidupan mereka sehari-hari karena masih terdapat masyarakat Indonesia yang berada di garis kemiskinan, sehingga masyarakat tersebut tidak mampu untuk memakai bahan bakar lainnya seperti gas elpiji.

Belakangan ini, terjadi suatu fenomena yang telah melanda hampir di seluruh daerah pulau Jawa dan bahkan di beberapa daerah di Indonesia. Terjadi kelangkaan minyak tanah yang cukup berarti. Terdapatnya pemberitaan di media akan kelangkaan minyak tanah. Penduduk rela mengantri selama beberapa jam di hampir semua pangkalan minyak tanah di daerah mereka masing-masing, demi untuk mendapatkan minyak tanah yang bahkan hanya sedikit mereka terima. Berdesakan merupakan kegiatan “biasa” yang harus dilalui oleh penduduk yang mengantungkan kehidupan mereka pada persediaan minyak tanah tersebut. Kata ‘biasa’ ini mempunyai makna berarti kegiatan berdesakan merupakan suatu kegiatan yang sudah sering terjadi dan semacam menjadi rutinitas tersendiri bagi masyarakat yang memerlukan minyak tanah. Bahkan penduduk di beberapa daerah seperti di Bekasi, Depok dan daerah lainnya, kesulitan untuk mendapatkan persediaan minyak tanah.

Masyarakat atau penduduk dibuat bingung akan kelangkaan minyak tanah tersebut atau bahkan tidak mengetahui mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pada


(17)

 

pemberitaan-pemberitaan yang dihadirkan di beberapa surat kabar mengenai kelangkaan minyak tanah ini, telah diberitahukan penyebab dari fenomena tersebut. Sebagaimana kita ketahui, bahwa telah terjadi kenaikan harga minyak mentah dunia yang sangat berarti. Bahkan sempat mencapai level psikologis 117 dollar AS per barrel (Kompas, Senin 21 April 2008). Hal inilah yang memicu mengapa terjadi kenaikan minyak tanah di daerah-daerah di Indonesia termasuk di pulau Jawa. Selain itu program pemerintah untuk mengurangi subsidi minyak tanah juga menjadi penyebab kenaikan harga minyak tanah.

Hal lain yang menyebabkan kelangkaan minyak tanah yakni karena minyak tanah dialihkan ke industri-industri. Ini didorong karena ada disparitas harga antara minyak tanah yang disubsidi dan minyak tanah untuk industri. Dalam hal ini juga terjadi penyeludupan tradisional dan penyeludupan fungsi (ke industri).

Terjadinya kelangkaan minyak tanah bukanlah semata-mata karena pengaruh dari negara luar namun, ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa karena adanya penyalahgunaan minyak tanah tersebut bersubsidi. Banyaknya versi jawaban yang diberitakan, membingungkan masyarakat. “Lempar argumentasi” dilakukan oleh beberapa pihak yang tidak ingin dijadikan sasaran akibat persoalan kelangkaan minyak tanah ini.

Persoalan ini merupakan persoalan yang cukup krusial mengingat minyak tanah masih banyak diminati oleh kalangan masyarakat bawah. Bahkan program pemerintah yang melakukan konversi minyak tanah ke gas elpiji, menjadi alasan yang masuk akal dalam penyebab kelangkaan minyak tanah ini. Pemerintah dalam


(18)

 

setiap pemberitaannya mengatakan selalu berusaha untuk mengatasi kelangkaan minyak tanah ini. Dalam permasalahan ini, belum jelas siapa yang dapat disalahkan atau bahkan mungkin tidak ada yang perlu dipersalahkan.

Kelangkaan minyak tanah ini juga bisa diperparah oleh adanya penumpukan minyak tanah oleh sebagian pangkalan termasuk di daerah-daerah di pulau Jawa. Meskipun aktivitas pemerintahan Indonesia dominan berada di pulau Jawa, namun peristiwa tersebut malah terjadi lebih parah di beberapa daerah di pulau Jawa.

Melihat persoalan di atas, apakah dalam setiap pemberitaan mengenai kelangkaan minyak tanah di pulau Jawa, ada aktor-aktor yang dikeluarkan atau dimasukkan? Hal ini dapat dirasa oleh peneliti mengingat adanya pihak-pihak yang merasa pihak mereka tidak perlu untuk bertanggung jawab akan kelangkaan minyak tanah tersebut. Seakan-akan terdapat adanya pembenaran bahwa kelangkaan minyak tanah di pulau Jawa disebabkan oleh alasan-alasan yang dengan sengaja dibuat, sehingga seakan-akan menjadi suatu yang dilegalkan. Padahal bisa terjadi pengeluaran aktor-aktor yang, minimal sedikit bertanggung jawab akan terjadinya kelangkaan minyak tanah di pulau Jawa.

Kita mungkin tidak mengetahui apakah yang terjadi sebenarnya. Apakah benar terjadi “pengeluaran” aktor-aktor dalam pemberitaan tersebut? karena dalam setiap pemberitaannya, pastilah ada individu atau kelompok yang menjadi narasumber. Dalam setiap individu, kelompok atau instansi yang menjadi narasumber telah melakukan suatu pencitraan, ketika mereka mengeluarkan pendapat atau fakta mengenai kelangkaan minyak tanah di pulau Jawa ini.


(19)

 

Masyarakat akan mempunyai suatu persepsi tentang keterkaitan mereka dalam kelangkaan minyak tanah ini.

Adapun persepsi itu muncul dipengaruhi oleh media massa. Dimana media massa dalam hal ini melakukan pemberitaan mengenai kasus kelangkaan minyak tanah di pulau Jawa. Media massa dapat bertindak adil atau tidak, dapat dilihat dari berita yang mereka tampilkan di media massa tersebut namun kita sendiri kurang mengetahui apakah berita yang ditampilkan oleh media massa tersebut sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan.

Jurnalisme pada dasarnya lebih berurusan dengan fakta sosiologis. Persoalannya fakta media (berita) seringkali berbeda dengan realitas empirik yang ada di tengah masyarakat. Realitas simbolik yang dihadirkan media, kerap ditunggangi oleh kekuasaan eksternal media dalam pemberitaannya. Belum lagi kepentingan internal jurnalis dan pemilik media. Pada akhirnya, hak publik untuk memperoleh informasi menjadi tidak terjadi dengan seutuhnya.

Dalam hal ini peneliti menentukan penelitian ini berjalan dengan paradigma kritis. Titik penting dalam memahami atau mengkonsumsi media menurut paradigma kritis adalah bagaimana media melakukan politik pemaknaan. Dalam hal ini bahasa dapat mengungkapkan segala makna yang hendak ditampilkan oleh media massa tersebut.

Dari pemberitaan mengenai kasus kelangkaan minyak tanah di pulau Jawa, peneliti melihat adanya suatu citra yang ditimbulkan dalam setiap pemberitaan yang dilakukan oleh media massa. Dalam beberapa pemberitaan terdapat pernyataan yang berbentuk keluh kesah ataupun opini masyarakat di


(20)

daerah- 

daerah di pulau Jawa atas kelangkaan minyak tanah ini. Pernyataan mereka dapat menjadi suatu masukan bagi pemerintah untuk melihat bahwa mereka benar-benar kesulitan mendapatkan minyak tanah. Begitu juga dengan pihak Hiswana Migas maupun Pertamina yang melontarkan pernyataan seputar penyebab kelangkaan minyak tanah tersebut sehingga masyarakat dapat melihat suatu pandangan yang dapat merubah image suatu pihak kearah yang lebih baik atau buruk.

Dari permasalahan itulah, peneliti merasa tertarik untuk meneliti bagaimana pemberitaan mengenai kasus kelangkaan minyak tanah di pulau Jawa ditampilkan karena pemberitaan inilah yang dapat menimbulkan suatu citra tersendiri dan akan mengetahui pihak-pihak yang terkait atau terlibat, lewat pemberitaannya di Surat kabar KOMPAS. Dalam hal ini, peneliti memilih Surat Kabar KOMPAS sebagai bahan penelitian dengan pertimbangan kemapanan secara ekonomis dan jangkauan sirkulasi surat kabar tersebut. Seperti yang telah kita ketahui, Surat Kabar KOMPAS termasuk surat kabar berskala nasional dan sehubungan dengan berita yang hendak diteliti, mengenai kelangkaan minyak tanah di pulau Jawa, berarti KOMPAS telah memenuhi persyaratan dalam lingkup tersebut.

I.2. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan yang menjadi permasalahan sebagai berikut :

“Bagaimana Pemberitaan mengenai kasus kelangkaan minyak tanah di pulau Jawa, ditampilkan dalam surat kabar KOMPAS?”.


(21)

  I.3. PEMBATASAN MASALAH

Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas, maka peneliti merasa perlu untuk membuat pembatasan masalah agar menjadi lebih jelas. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah :

a. Penelitian ini hanya dilakukan pada Harian KOMPAS.

b. Penelitian dilakukan pada pemberitaan yang berhubungan kasus kelangkaan minyak tanah di pulau Jawa.

c. Penelitian ini dilakukan sejak 1 Desember 2007 – 31 Januari 2008.

d. Penelitian ini menggunakan analisis wacana.

I.4. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN I.4.1 Tujuan Penelitian

1. Untuk melihat bagaimana wacana mengenai kasus kelangkaan minyak tanah yang terjadi di pulau Jawa, dihadirkan dalam media massa, khususnya surat kabar KOMPAS.

2. Untuk mengetahui isi teks berita tentang kasus kelangkaan minyak tanah yang terjadi di pulau Jawa, pada surat kabar KOMPAS.

3. Untuk menganalisis isi teks berita tentang kasus kelangkaan minyak tanah yang terjadi di pulau Jawa, pada surat kabar KOMPAS.


(22)

  I.4.2 Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis dan akademis, peneliti dapat menerapkan ilmu yang didapat selama menjadi mahasiswa Ilmu Komunikasi USU sekaligus menambah khasanah wawasan khususnya mengenai media dan penelitian analisis wacana.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar lebih kritis terhadap informasi yang disajikan media.

I.5. KERANGKA TEORI

Setiap penelitian memerlukan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti sebuah masalah. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan diri dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 1995: 39-40). Menurut Kerlinger, teori adalah himpunan konstruk (konsep), definisi, dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2002 :6). Dalam penelitian ini, beberapa teori yang digunakan antara lain adalah:

I.5.1 Komunikasi Massa

Komunikasi massa merupakan salah satu bentuk kegiatan komunikasi yang dilakukan melalui atau dengan menggunakan media massa ( mass media of communication). Komunikasi massa menyiarkan informasi, pendapat-pendapat,


(23)

 

nilai-nilai kepada komunikan yang beraneka ragam dan dalam jumlah yang banyak dan sekaligus menggunakan media massa.

Adapun yang menjadi ciri-ciri utama dari komunikasi massa adalah: 1. Sumber komunikasi massa bukan hanya satu orang. Biasanya yang

menjadi sumber informasi dari komunikasi massa bukan individu perorangan melainkan suatu organisasi yang bersifat formal dan pengirimnya seringkali merupakan komunikator professional.

2. Pesannya tidak unik dan beranekaragam. Pesan yang disampaikan komunikasi massa biasanya bersifat sesuatu yang umum, kompleks, mudah dicerna dan diingat oleh audiencenya. Hubungan yang terjalin anatara pengirim dan penerima juga bersifat satu arah dan jarang sekali terjadi interaksi (bukan hubungan yang sifatnya khusus).

3. Komunikasi massa memiliki cakupan kontak yang sifatnya luas. Kontak terdapat dalam komunikasi massa bukan bersifat khusus, atau bersifat hubungan interpersonal. Hubungan yang terjalin dalam komunikasi massa adalah kontak secara serentak antara satu pengirim dengan banyak penerima. Tujuan dari kontak ini adalah untuk menciptakan pengaruh yang luas dalam waktu yang singkat dan respon seketika dari banyak orang secara serentak (Quail, 1994: 33-34).

I.5.2 Analisis Isi.

Analisis isi (content analysis) adalah teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicable), dan sahih data dengan


(24)

 

memperhatikan konteksnya. Analisis isi berhubungan dengan komunikasi atau isi komunikasi. Logika dasar dalam komunikasi, bahwa setiap komunikasi selalu berisi pesan dalam sinyal komunikasinya itu, baik berupa verbal maupun nonverbal. Sejauh itu makna komunikasi menjadi amat dominan dalam setiap peristiwa komunikasi.

Sebenarnya analisis isi komunikasi amat tua umurnya, setua umur manusia namun penggunaan teknik ini diintroduksikan di bawah analisis isi (content analysis). Dalam metode penelitian tidak setua umur penggunaan istilah tersebut. Tuanya umur penggunaan analisis isi dalam praktik kehidupan manusia, disebabkan sejak adanya manusia di dunia, manusia saling menganalisis makna komunikasi yang dilakukan antara satu dengan lainnya.

Gagasan untuk menjadikan analisis isi sebagai teknik penelitian muncul dari Bernard Berelson. Ia telah menaruh banyak perhatian pada analisis isi. Berelson mendefinisikan analisis isi dengan; Content Analysis is a research technique for the objective, systematic and quantitive of the manifest content of communication (Bungin, 2003:173). Tekanan Berelson pada menjadikan analisis isi sebagai teknik penelitian yang objektif, sistematis, dan deskripsi kuantitatif dari apa yang tampak dalam komunikasi. Salah satu tekanan Berelson dalam analisis isi yaitu deskripsi kuantitatif. Hal ini menunjukkan pada analisis isi adalah teknik yang bersisi ganda. Dapat digunakan pada teknik kuantitatif, maupun kualitatif, tergantung pada sisi mana peneliti memanfaatkannya.

Dalam penelitian kualitatif, analisis isi ditekankan pada bagaimana peneliti memaknakan isi komunikasi secara kualitatif, membaca simbol-simbol,


(25)

 

memaknakan isi interaksi simbolik yang terjadi dalam komunikasi (Bungin, 2003:174). Menurut McQuail dalam buku Mass Communication Theory (Kriyantono, 2006: 229) mengatakan bahwa tujuan dilakukan analisis terhadap isi pesan komunikasi adalah:

1. Mendeskripsikan dan membuat perbandingan terhadap isi media.

2. Membuat perbandingan antara isi media dengan realitas sosial.

3. Isi media merupakan refleksi dari nilai-nilai sosial dan budaya serta sistem kepercayaan masyarakat.

4. Mengetahui fungsi dan efek media.

5. Mengevaluasi media performance.

6. Mengetahui apakah ada bias media.

I.5.3 Analisis Wacana

Lubis dalam Sobur menyatakan bahwa analisis wacana adalah ilmu baru yang muncul beberapa puluh tahun belakangan ini. Aliran-aliran linguistik selama ini membatasi penganalisisannya hanya kepada soal kalimat dan barulah belakangan ini sebagian ahli bahasa memalingkan perhatiannya kepada penganalisisan wacana (Sobur, 2004:47).

Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada gradasi yang besar dari berbagai defenisi, titik singgungnya adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa/ pemakaian bahasa (Eriyanto, 2001 :3-4).


(26)

 

Analisis wacana secara teoritis memiliki prinsip yang hampir sama dengan beberapa pendekatan metodologis, seperti analisis struktural, pendekatan dekonstruksionisme, interaksi simbolik dan hermeneutik, yang semuanya lebih menekankan pada pengungkapan makna yang tersembunyi (Bungin, 2003: 152-153).

Seperti yang banyak dilakukan dalam penelitian mengenai organisasi pemberitaan selama dan sesudah tahun 1960-an, analisis wacana menekankan pada bagaimana signifikasi ideologis berita merupakan bagian dan menjadi paket metode yang digunakan untuk memproses media (How the ideological significance of news is part of the methods used to process news ) (Sobur, 2004:48).

Analisis wacana dikatakan sebagai alternatif dari analisis isi, tentu saja hal itu bukan berarti analisis wacana lebih baik dari analisis isi kuantitatif. Kata alternatif digunakan untuk menunjukkan bahwa analisis wacana dapat melengkapi dan menutupi kelemahan dari analisis isi kuantitatif. Perbandingan di sini bukan dimaksudkan untuk mengatakan metode yang satu lebih baik dibandingkan metode yang lain, tetapi untuk menjelaskan setiap metode mempunyai karakter tersendiri, kelebihan dan kekurangan sendiri. Analisis wacana berbeda dengan apa yang dilakukan oleh analisis isi kuantitatif yaitu : pertama, analisis wacana dalam analisisnya lebih bersifat kualitatif dibandingkan dengan analisis isi yang umumnya kuantitatif. Analisis wacana lebih memperhitungkan pemaknaan teks dari pada penjumlahan unit kategori seperti dalam analisis isi. Dasar dari analisis wacana adalah interpretasi, karena analisis wacana merupakan bagian dari metode interpretatif yang mengandalkan interpretasi dan penafsiran peneliti. Isi dipandang


(27)

 

bukan sebagai sesuatu yang mempunyai arti yang tepat, setiap teks pada dasarnya bisa dimaknai secara berbeda, dapat ditafsirkan secara beraneka ragam.

Kedua, analisis isi kuantitatif pada umumnya hanya dapat digunakan untuk membedah muatan teks komunikasi yang bersifat nyata (manifest), sedangkan analisis wacana justru memfokuskan pada pesan yang tersembunyi (latent). Makna suatu pesan dengan demikian tidak dapat hanya ditafsirkan sebagai apa yang tampak nyata dalam teks, tetapi harus dianalisis dari makna yang tersembunyi. Ketiga, analisis kuantitatif hanya dapat mempertimbangkan “apa yang dikatakan” (what), tetapi tidak dapat menyelidiki “bagaimana ia mengatakan” (how). Dalam pendekatan ini, pengandaian yang digunakan untuk memeriksa makna tersembunyi yang dimiliki wacana juga dapat dipelajari dan dibedah.

Selain itu juga dapat dilihat bagaimana suatu peristiwa dapat digambarkan dengan sedikit atau banyak detil dalam teks. Intinya, semua elemen yang membentuk teks baik yang terlihat secara eksplisit maupun tersamar dapat dibedakan dengan analisis wacana. Keempat, analisis wacana tidak berpretensi melakukan generalisasi dengan beberapa asumsi. Salah satunya yaitu setiap peristiwa pada dasarnya selalu bersifat unik, karena itu tidak dapat diperlakukan prosedur yang sama yang diterapkan untuk isu dan kasus yang berbeda (Eriyanto, 2001: 337-340).

I.5.4 Analisis Wacana versi Theo Van Leeuwen

Theo Van Leeuwen memperkenalkan model analisis wacana untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan


(28)

 

posisinya dalam suatu wacana. Bagaimana suatu kelompok dominan lebih memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa dan pemaknaannya, sementara kelompok lain yang posisinya rendah cenderung untuk terus menerus sebagai objek pemaknaan, dan digambarkan secara buruk (Eriyanto, 2001 :171).

Dalam analisisnya, Van Leeuwen memusatkan perhatian pada dua hal, yaitu eksklusi dan inklusi. Eksklusi, melihat apakah dalam suatu teks ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dari pemberitaan dan strategi wacana apa yang dipakai dalam melakukan hal tersebut. Eksklusi dapat dilakukan dengan cara pasivasi, nominaliasi dan penggantian anak kalimat. Sementara inklusi, melihat bagaimana masing-masing pihak atau kelompok dimunculkan dalam pemberitaan atau bagaimana cara penggambarannya. Inklusi dapat dilakukan dengan cara diferensiasi-indeferensiasi, objektivasi-abstraksi, kategorisasi, nominasi-identifikasi, determinasi-indeterminasi, asimilasi-individualisasi, dan asosiasi-disosiasi.

I.5.5 Berita

Berita adalah sesuatu yang nyata-news is real. Berita adalah juga peristiwa yang segar, yang baru saja terjadi, plus dan minus. Dalam berita itu tersirat pesan yang ingin disampaikan wartawan kepada pembacanya. Dalam berita ada karakteristik intrinsik yang dikenal sebagai nilai berita (news value). Nilai berita ini menjadi ukuran yang berguna, atau yang biasa diterapkan, untuk menentukan layak berita (Ishwara, 2005:52-53).


(29)

 

a. Kaitannya dengan peristiwa atau kejadian (komponen tindakan).

b. Kehangatannya.

c. Keberhargaannya sebagai berita atau kaitannya dengan beberapa hal atau orang penting. Lanjutnya bahwa berita itu sendiri bertanggung jawab menciptakan ‘konsensus’ di sepanjang waktu, atas dasar mana keberhargaan berita dikenali oleh para wartawan dan diterima oleh publik (McQuail, 1994:191).

Berita adalah bagian dari realitas sosial yang dimuat media karena memiliki nilai yang layak untuk disebarkan kepada masyarakat (Bungin, 2003:153). Dalam pandangan lain berita bukanlah realitas sebenarnya. Berita adalah realitas yang sudah diseleksi dan disusun menurut pertimbangan-pertimbangan redaksi, istilahnya disebut “second-hand reality”. Artinya, ada faktor-faktor subjektivitas awak media dalam proses produksi berita. Oleh karena itu, fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi awak media. Isi media, misalnya menurut Brian McNair dapat lebih ditentukan oleh:

a. Kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik (the political-economy approach).

b. Pengelola media sebagai pihak yang aktif dalam proses produksi berita (organizational approach).

c. Gabungan berbagai faktor, baik internal media ataupun eksternal media (culturalis approach) (Kriyantono, 2006:249).


(30)

  I.6. KERANGKA KONSEP

Konsep adalah generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Singarimbun, 1995: 17). Kerangka konsep adalah hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai (Nawawi, 1995 :40). Kerangka konsep dalam penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis dengan memakai model analisis Theo van Leeuwen.

Secara umum model analisis ini dipergunakan untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam suatu wacana serta menggambarkan bagaimana pelaku ditampilkan dalam pemberitaan. Theo van Leeuwen membuat suatu model analisis yang bisa dipakai untuk melihat bagaimana peristiwa dan aktor-aktor sosial ditampilkan dalam media. Dalam analisisnya, Theo van Leeuwen memusatkan perhatian pada dua hal, yaitu ekslusi dan inklusi. Tataran ekslusi, melihat apakah dalam suatu teks berita ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dari pemberitaan dan strategi wacana apa yang dipakai dalam melakukan hal tersebut. Proses pengeluaran ini, secara tidak langsung bisa mengubah pemahaman khalayak akan suatu isu dan melegitimasi posisi pemahaman tertentu. Tataran inklusi, melihat bagaimana pihak atau kelompok dimunculkan dalam pemberitaan dan bagaimana cara penggambarannya. Dengan memakai kata, kalimat, informasi atau susunan bentuk kalimat tertentu, cara bercerita tertentu, masing-masing kelompok direpresentasikan dalam teks.


(31)

  I.7. OPERASIONAL VARIABEL

VARIABEL TEORITIS PENELITIAN

OPERASIONAL SUBJEK PENELITIAN

1.Eksklusion a. Pasivasi

b. Nominalisasi

c. Penggantian anak kalimat

2.Inklusion a. Diferensiasi-Indeferensiasi b. Objektivasi-Abstraksi c. Nominasi-Kategorisasi d. Nominasi-Identifikasi e. Determinasi-Indeterminasi f. Assimilasi-Individualisasi g. Asosiasi-Disosiasi

I.8. DEFENISI OPERASIONAL

I.8.1 Eksklusi, apakah dalam suatu teks berita ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dalam pemberitaan.

a. Pasivasi, yaitu suatu cara menghilangkan aktor atau pelaku dengan pemakaian kalimat pasif. Lewat pemakaian kalimat pasif, aktor dapat tidak hadir dalam teks, sesuatu yang tidak mungkin terjadi dalam kalimat yang berstruktur aktif. Dalam hal ini yang menjadi subjek dan inti pembicaraan adalah individu atau kelompok sosial tertentu yang termarjinalkan bukan aktor atau kelompok sosial yang melakukan


(32)

 

permarjinalan. Wartawan dan khalayak pembaca lebih memperhatikan dan tertarik unuk melihat adanya individu atau kelompok sosial yang dimarjinalkan daripada pelaku pemarjinalan. Padahal pelaku tindakan pemarjinalan adalah hal yang sangat penting yang sebetulnya layak diketahui oleh pembaca.

b. Nominalisasi, yaitu menghilangkan aktor dengan cara mengubah kata kerja menjadi kata benda, yaitu dengan cara memberi imbuhan pe-an. Nominalisasi ini dapat menghilangkan aktor/ subjek dalam pemberitaan karena berhubungan dengan transformasi dari bentuk kalimat aktif. Dalam struktur kalimat yang berbentuk aktif, selalu membutuhkan subjek. Kalimat aktif juga selalu berbentuk kata kerja, yang menunjuk pada apa yang dilakukan (proses) oleh subjek. Nominalisasi bukan hanya bisa menghilangkan posisi subjek yang melakukan tindakan, bahkan ia dapat mengubah makna kalimat ketika diterima oleh khalayak.

c. Penggantian anak kalimat, yaitu penggantian subjek dengan memakai anak kalimat yang sekaligus berfungsi sebagai pengganti aktor. Hal ini dilakukan karena penulis atau wartawan umumnya percaya dan menganggap bahwa khalayak pembaca mengetahui aktor yang melakukan tindakan pemarjinalan. Karena dianggap tahu, dan untuk efisiensi kata itulah, pelaku dihilangkan akan tetapi perubahan itu kemungkinan tanpa disadari oleh penulisnya yang membuat pelaku tindakan itu tersembunyi dalam kalimat.


(33)

 

I.8.2 Inklusi, bagaimana masing-masing pihak atau kelompok itu ditampilkan lewat pemberitaan.

Diferensiasi-Indeferensiasi, yaitu bagaimana suatu peristiwa atau seorang aktor sosial bisa ditampilkan dalam teks secara mandiri, sebagai suatu peristiwa yang unik atau khas tetapi bisa juga dibuat kontras dengan menampilkan peristiwa atau aktor lain dalam teks. Penghadiran kelompok atau peristiwa lain itu secara tidak langsung ingin menunjukkan bahwa kelompok itu tidak bagus dibandingkan dengan kelompok lain. Ini merupakan strategi wacana bagaimana suatu kelompok disudutkan dengan menghadirkan kelompok atau wacana lain yang dipandang lebih dominan atau lebih bagus.

b. Objektivasi-Abstraksi, yaitu bagaimana aktor sosial ditampilkan dengan memberi petunjuk yang konkret dan aktor sosial ditampilkan dengan memberi petunjuk yang abstrak. Jumlah dari suatu aktor sosial dapat dikatakan menunjuk angka yang jelas, dapat juga dengan membuat suatu abstraksi seperti ratusan, ribuan, atau banyak sekali. Makna yang diterima khalayak akan berbeda, karena dengan membuat abstraksi peristiwa atau aktor yang sebetulnya secara kuantitatif berjumlah kecil dengan abstraksi dikomunikasikan seakan berjumlah banyak.

c. Nominasi-Kategorisasi, yaitu bagaimana aktor tersebut ditampilkan apa adanya, yang ditampilkan adalah kategori yang menunjukkan ciri penting dari seseorang aktor sosial tersebut. Kategori ini bisa macam-macam, yang menunjukkan ciri penting dari seseorang: bisa berupa


(34)

 

agama, status, bentuk fisik, dan sebagainya. Kategori itu sebetulnya tidak penting, karena umumnya tidak akan mempengaruhi arti yang ingin disampaikan kepada khalayak. Kategori apa yang ingin ditonjolkan dalam pemberitaan, menurut van Leeuwen, sering kali menjadi informasi yang berharga untuk mengetahui lebih dalam ideologi dari media bersangkutan, karena kategori itu menunjukkan representasi bahwa suatu tindakan tertentu atau kegiatan tertentu menjadi ciri khas atau atribut yang selalu hadir sesuai dengan kategori bersangkutan. Sering kali pemberitaan kategori itu tidak menambah pengertian atau informasi apa pun. Peneliti harus kritis melihat bagaimana suatu kelompok dimarjinalkan atau dikucilkan dengan memberikan kategori atau label yang buruk.

d. Nominasi-Identifikasi, yaitu bagaimana aktor ditampilkan apa adanya dengan memberi anak kalimat sebagai penjelas. Di sini, ada dua proposisi, di mana proposisi kedua adalah penjelas atau keterangan dari proposisi pertama. Umumnya dihubungkan dengan dengan kata hubung seperti : yang, di mana. Proposisi kedua ini dalam kalimat posisinya sebetulnya murni sebagai penjelas atau identifikasi atas sesuatu. Wartawan barangkali ingin memberikan penjelasan siapa seseorang itu atau apa tindakan atau peristiwa itu akan tetapi sering kali, dan ini harus dikritisi, pemberian penjelas ini mensugestikan makna tertentu karena umumnya berupa penilaian atas seseorang, kelompok, atau tindakan terentu. Ini merupakan strategi wacana di mana satu orang, kelompok,


(35)

 

atau tindakan diberi penjelasan yang buruk sehingga ketika diterima oleh khalayak akan buruk pula.

e. Determinasi-Indeterminasi, yaitu bagaimana aktor disebutkan secara jelas atau aktor disebutkan secara anonim. Anonimitas ini bisa jadi karena wartawan belum mendapatkan bukti yang cukup untuk menulis, sehingga lebih aman untuk menulis anonim. Bisa juga karena ada ketakutan struktural kalau kategori yang jelas dari seseorang aktor sosial tersebut disebut dalam teks. Apa pun alasannya, dengan membentuk anonimitas ini, ada kesan yang berbeda ketika diterima oleh khalayak. Hal ini karena anonimitas, menurut van Leeuwen, justru membuat suatu generalisasi, tidak spesifik sehingga bermakna jamak.

f. Asimilasi-Individualisasi, yaitu apakah kategori aktor sosial yang diberitakan ditunjukkan dengan jelas kategorinya. Asimilasi terjadi ketika dalam pemberitaan bukan kategori aktor sosial yang spesifik yang disebut dalam berita tetapi komunitas atau kelompok sosial di mana seseorang itu berada. Asimilasi sering kali berhubungan dengan identifikasi, bagaimana seseorang mengidentifikasi dirinya dengan kelompok yang sedang diberitakan. Teks menciptakan komunitas imajinatif di antara aktor sosial.

g. Asosiasi-Disosiasi, apakah aktor ditampilkan sendiri atau aktor ditampilkan menghubungkan dengan kelompok lain yang lebih besar. Kelompok sosial di sini menunjuk pada di mana aktor tersebut berada, tetapi persoalannya apakah disebut secara eksplisit atau tidak dalam


(36)

 

teks. Asosiasi menujuk pada pengertian ketika dalam teks, aktor sosial dihubungkan dengan asosiasi atau kelompok yang lebih besar, di mana aktor sosial itu berada. Sebaliknya disosiasi, jika tidak terjadi hal demikian. Dengan demikian, strategi asosiasi membuat makna menjadi besar (glorifikasi), karena asosiasi membuat khalayak membayangkan dan menghubungkan secara imajiner dengan komunitas yang lebih luas.


(37)

 

Teori adalah himpunan konstruk (konsep), definisi, dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala menjabarkan relasi diantara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2001:6). Teori bukanlah sekedar ikhtisar data yang ringkas, karena ia tidak hanya mengatakan “apa” yang terjadi melainkan juga “mengapa” sesuatu terjadi sebagai yang berlaku dalam kenyataan. Maka teori harus melaksanakan fungsi ganda. Pertama, yakni menjelaskan fakta yang sudah diketahui. Kedua, fungsi untuk membuka celah pemandangan baru yang dapat mengantar kita menemukan fakta yang baru pula (Kaplan dan Manners, 2002: 15).

II.1. Komunikasi Massa

Komunikasi massa merupakan salah satu bentuk kegiatan komunikasi yang dilakukan melalui atau dengan menggunakan media massa ( mass media of communication). Komunikasi massa menyiarkan informasi, pendapat-pendapat, nilai-nilai kepada komunikan yang beraneka ragam dan dalam jumlah yang banyak dan sekaligus menggunakan media massa.

Adapun yang menjadi ciri-ciri utama dari komunikasi massa adalah:

1. Sumber komunikasi massa bukan hanya satu orang. Biasanya yang menjadi sumber informasi dari komunikasi massa bukan individu perorangan melainkan suatu organisasi yang bersifat formal dan pengirimnya seringkali merupakan komunikator professional.


(38)

2. Pesannya tidak unik dan beranekaragam. Pesan yang disampaikan komunikasi massa biasanya bersifat sesuatu yang umum, kompleks, mudah dicerna dan diingat oleh audiencenya. Hubungan yang terjalin anatara pengirim dan penerima juga bersifat satu arah dan jarang sekali terjadi interaksi (bukan hubungan yang sifatnya khusus).

3. Komunikasi massa memiliki cakupan kontak yang sifatnya luas. Kontak terdapat dalam komunikasi massa bukan bersifat khusus, atau bersifat hubungan interpersonal. Hubungan yang terjalin dalam komunikasi massa adalah kontak secara serentak antara satu pengirim dengan banyak penerima. Tujuan dari kontak ini adalah untuk menciptakan pengaruh yang luas dalam waktu yang singkat dan respon seketika dari banyak orang secara serentak (Quail, 1994: 33-34).

Selain memiliki ciri-ciri, komunikasi massa juga memiliki beberapa fungsi. Adapun fungsi dari komunikasi massa menurut R. Dominick, yaitu:

1. Pengawasan (Surveillance). Pengawasan ini mengacu pada peranan berita dan informasi media massa. Media dianggap bertindak sebagai pengawas karena orang media inilah yang mengumpulkan segala informasi yang tidak dapat diperoleh oleh masyarakat luas.

2. Interpretasi. Selain menyajikan fakta dan data, media massa juga harus mampu melakukan interpretasi mengenai informasi yang disajikan atau tentang suatu peristiwa.


(39)

3. Hubungan (linkage). Media massa harus dapat berperan sebagai penghubung dari unsur-unsur yang terdapat di dalam masyarakat yang tidak bisa dilakukan secara langsung.

4. Sosialisasi. Media massa mentransmisikan nilai-nilai yang mengacu kepada cara-cara di mana seseorang mengadopsi perilaku dan nilai dari suatu kelompok.

5. Hiburan. Adapun 70 persen dari isi dan informasi yang diberikan media massa pada umumnya adalah untuk menghibur audience.

Setiap proses komunikasi mempunyai akhir yang disebut dengan efek. Efek menerpa seseorang yang menerimanya baik secara sengaja/ terasa/ yang tidak disengaja dan malah mungkin yang tidak dapat dimengerti. Secara umum terdapat tiga efek komunikasi massa, yakni:

1. Efek kognitif. Pesan komunikasi massa mengakibatkan khalayak berubah dalam hal pengetahuan, pandangan dan pendapat terhadap sesuatu yang diperolehnya. Efek ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, ketrampilan, kepercayaan ataupun informasi.

2. Efek afektif. Pesan komunikasi massa mengakibatkan berubahnya perasaan tertentu dari khalayak. Orang dapat menjadi lebih marah dan berkurang rasa tidak sukanya terhadap sesuatu akibat dari membaca surat kabar, mendengarkan radio ataupun menonton televisi. Efek ini berhubungan dengan emosi, sikap dan nilai.


(40)

3. Efek konatif. Akibat dari pesan komunikasi massa membuat seseorang mengambil keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Efek ini merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati yang meliputi pola-pola tindakan, kegiatan atau kebiasaan berperilaku.

II.2 Analisis Isi

Penelitian empiris mengenai isi komunikasi bermula sejak adanya studi-studi teologi. Pada akhir 1600-an gereja dicemaskan oleh beredarnya hal-hal nonreligius di berbagai media seperti surat kabar. Kasus analisis kualitatif pertama terhadap bahan cetakan terjadi di Swedia pada abad XVIII.

Pada pertemuan pertama Himpunan Sosiologi Jerman yang diadakan pada 1910, Max Weber (1911) mengusulkan analisis isi dalam skala besar terhadap pers, tetapi karena berbagai alasan usulan tersebut tidak terlaksana. Pada masa itu Markov (1913) merumuskan teori chains of Symbols dan menyebarluaskan analisis statistik terhadap sebuah novel dalam bentuk sajak, karya Pushkin, Eugene Onegin. Kebanyakan penelitian ditemukan baru-baru ini atau hanya mempengaruhi literatur analisis isi secara tidak langsung. Analisis isi telah berkembang menjadi sebuah metode ilmiah yang berjanji menghasilkan inferensi dari data yang secara esensial bersifat verbal, simbolik atau komunikatif. Di samping keberlanjutan keterlibatannya dengan masalah-masalah psikologis, sosiologis, dan politis yang substantif. Selama 80 tahun terakhir ini terjadi peningkatan secara eksponential perhatian terhadap penggunaan teknik analisis isi dan pemantapan kriteria kesahihan yang dibutuhkan dan itu mengindikasikan meningkatnya kematangan analisis isi (Krippendorff, 1993: 1-14).


(41)

Menurut Wazer dan Wiener, analisis isi adalah suatu prosedur sistematika yang disusun untuk menguji isi informasi yang terekam (Bulaeng, 2004: 171). Sedangkan menurut Budd, analisis isi (content analysis) merupakan suatu teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengolah pesan, atau suatu alat untuk mengobservasi dan menganalisis isi perilaku komunikasi yang terbuka dari komunikator yang terpilih.

Prinsip dasar analisis isi meliputi:

a. Prinsip sistematik, yaitu bahwa ada perlakuan prosedur yang sama pada semua isi yang dianalisis. Periset tidak dibenarkan menganalisis hanya pada isi yang sesuai dengan perhatian dan minatnya, tetapi harus pada keseluruhan isi yang telah ditetapkan untuk diriset.

b. Prinsip objektif, berarti hasilnya tergantung pada prosedur penelitian bukan pada orangnya. Kategori yang sama bila digunakan untuk isi yang sama dengan prosedur yang sama, maka hasilnya harus sama, walaupun risetnya berbeda.

c. Kuantitatif, diartikan dengan mencatat nilai-nilai bilangan atau frekuensi untuk melukiskan berbagai jenis isi yang didefinsikan. Diartikan juga sebagai prinsip digunakannya metode deduktif.

d. Isi yang nyata, artinya yang diteliti dan dianalisis hanyalah isi yang tersurat, yang tampak, bukan makna yang dirasakan oleh si peneliti. Perkara hasil akhir dari analisisnya nanti menunjukkan adanya suatu isi


(42)

yang tersembunyi, hal itu sah-sah saja. Namun, semuanya bermula dari analisis terhadap isi yang tampak (Kriyantono, 2006:229).

Klasifikasi analisis isi menurut Kripendorff:

a. Analisis isi pragmatis, prosedur yang mengklasifikasikan tanda menurut sebab atau akibatnya yang mungkin.

b. Analisis isi semantik, prosedur yang mengklasifikasikan tanda menurut maknanya yang terdiri dari:

- Analisis penunjukkan atau disebut juga analisis pokok bahasan, menggambarkan frekuensi seberapa sering objek tertentu dirujuk.

- Analisis pensifatan, menggambarkan frekuensi seberapa sering karakterisasi tertentu dirujuk.

- Analisis pernyataan atau disebut juga analisis tematik, menggambarkan frekuensi seberapa sering objek tertentu dikarakterisasikan secara khusus.

c. Analisis isi sarana tanda, prosedur yang mengklasifikasikan isi menurut sifat psikofisik dari tanda (Krippendorff, 1993:35-36).

Menurut Wimmer dan Dominick setidaknya ada lima manfaat analisis isi yang dapat diidentifikasikan, yaitu:


(43)

a. Menggambarkan isi komunikasi. Yaitu mengungkap kecenderungan yang ada pada isi komunikasi, baik melalui media cetak maupun elektronik.

b. Menguji hipotesis tentang karakteristik pesan. Sejumlah peneliti analisis isi berusaha menghubungkan karakteristik tertentu dari komunikator (sumber) dengan karakteristik pesan yang dihasilkan.

c. Membandingkan isi media dengan dunia nyata. Banyak analisis isi digunakan untuk menguji apa yang ada di media dengan situasi aktual yang ada di kehidupan nyata.

d. Memperkirakan gambaran kelompok tertentu di masyarakat. Di sini, analisis isi digunakan untuk meneliti masalah sosial tentang diskriminasi dan prasangka terhadap kelompok minoritas, agama tertentu, etnis, dan lain-lainnya.

e. Mendukung studi efek media massa. Penggunaan analisis isi acapkali juga digunakan sebagai sarana untuk memulai penelitian efek media massa (Suyanto dan Sutinah, 2005:127-129).

Sebagaimana penelitian sosial yang lain, analisis isi juga terbagai dalam dua aliran metodologi, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Analisis isi kuantitatif memfokuskan risetnya pada isi komunikasi yang tersurat. Karena itu tidak dapat digunakan untuk mengetahui isi komunikasi yang tersirat. Sehingga diperlukan suatu analisis yang lebih mendalam dan detail untuk memahami produk isi media dan mampu menghubungkannya dengan konteks sosial/realitas yang terjadi


(44)

sewaktu pesan dibuat. Di sinilah analisis isi kualitatif dibutuhkan. Analisis isi media kualitatif lebih banyak dipakai untuk meneliti dokumen yang dapat berupa teks, gambar, simbol, dan sebagainya untuk memahami budaya dari suatu konteks sosial tertentu. Dalam analisis media kualitatif ini semua jenis data atau dokumen yang dianalisis lebih cenderung disebut dengan istilah “text” apapun bentuknya gambar, tanda, simbol, gambar bergerak, dan sebagainya. Analisis isi media kualitatif ini merujuk pada metode analisis yang integratif dan lebih secara konseptual untuk menemukan, mengidentifikasi, mengolah, dan menganalisis dokumen untuk memahami makna, signifikasi, dan relevansinya (Bungin, 2001:147).

Analisis isi kualitatif bersifat sistematis, analitis tapi tidak kaku seperti dalam analisis isi kuantitatif. Kategorisasi dipakai hanya sebagai guide, diperbolehkan konsep-konsep atau kategorisasi yang lain muncul selama proses riset. Saat ini telah banyak metode analisis yang berpijak pada pendekatan analisis isi kualitatif. Antara lain: analisis framming, analisis wacana, analisis tekstual, semiotik, analisis retorika, dan ideological criticism (Kriyantono, 2006:248).

II.3. Analisis Wacana

Analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dengan berbagai pengertian. Menurut Roger Fowler, wacana adalah komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya; kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman.


(45)

Analisis wacana merupakan salah satu cara mempelajari makna pesan sebagai alternatif lain akibat keterbatasan analisis isi. Analisis wacana memfokuskan pada pesan yang tersembunyi (laten). Yang menjadi titik perhatian bukan pesan (message) tetapi juga makna (Bungin, 2003: 151).

Penggunaan bahasa di surat kabar dapat dikaitkan dengan mengkonstruksi sesuatu pemberitaan di surat kabar. Hal ini berkaitan juga dengan proses komunikasi yang mencakup pengiriman pesan dari sistem saraf seseorang kepada sistem saraf orang lain dengan maksud untuk menghasilkan sebuah makna yang sama dengan yang ada dalam benak si pengirim. Pesan verbal melakukan hal tersebut melalui kata-kata, yang merupakan unsur dasar bahasa dan kata-kata sudah jelas merupakan simbol verbal.

Menurut Tubbs dan Moss, sekali kita sepakat atas suatu sistem simbol verbal, kita dapat menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Tentu saja, bila semua kata yang digunakan hanya merujuk pada benda maka masalah komunikasi akan menjadi sederhana. Kita dapat menentukan apa referen yang diperbincangkan hampir tanpa kesulitan, akan tetapi kata-kata juga merujuk pada perstiwa, sifat sesuatu, tindakan hubungan, konsep dan lain-lain (Sobur, 2004 : 42).

Analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai pemaknaan bahasa. Menurut A.S. Hikam ada tiga pandangan mengenai bahasa. Pertama, diwakili oleh kaum positivisme-empiris. Oleh penganut aliran ini, bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan


(46)

bahasa tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh mana ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Pandangan kedua, disebut sebagai konstruktivisme. Aliran ini menolak pandangan empirisme/positivisme yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukkan diri serta pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini yang mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat (Eriyanto, 2001:4-7).

Analisis wacana (discourse analysis) merupakan bagian dari paradigma kritis, oleh karena itu disebut dengan istilah analisis wacana kritis (critical discourse analysis). Analisis wacana berguna untuk menyibak permasalahan ketidakseimbangan yang terjadi dalam masyarakat (ketidakseimbangan yang mendasar tentang kelas, memaksakan ketidakseimbangan dalam hal ras, gender dan religi), klaim dengan mengatasnamakan orang banyak (Birowo, 2004:67).


(47)

Melalui analisis wacana kita bukan hanya melihat bagaimana isi teks berita tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frasa, kalimat metafora macam apa suatu berita disampaikan (Eriyanto, 2001: 15).

Paradigma kritis melihat bagaimana media dijadikan sebagai alat bagi kelompok dominan untuk melegitimasikan kekuasaannya. Oleh karena itu wacana tidak hanya dipahami sebagai studi bahasa, tetapi harus dikaitkan dengan konteks yang berada disekitarnya ketika wacana itu dibentuk. Paradigma ini memandang bagaimana media, dan pada akhirnya berita harus dipahami dalam keseluruhan proses produksi dan struktur sosial (Eriyanto, 2001:21).

Menurut Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing. Adapun karateristik analisis wacana kritis meliputi:

a. Tindakan. Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Dengan pemahaman semacam ini, ada beberapa konsekuensi bagaimana wacana harus dipandang. Pertama wacana dipandang sesuatu yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, menyangga, bereaksi dan sebagainya. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang diluar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran.

b. Konteks. Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana di sini dipandang, diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu.


(48)

c. Historis. Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu.

d. Kekuasaan. Di sini, setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan, atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat.

e. Ideologi. Ideologi juga konsep yang sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Teori-teori klasik tentang ideologi di antaranya mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka (Eriyanto, 2001: 7-14).

II.4. Analisis Wacana versi Theo Van Leeuwen

Dalam Introducing Social Semiotics, Van Leeuwen menyatakan “The term ‘discourse’ is often used to denote an extended stretch of connected speech or writing a ‘text’. Discourse analysis then means ‘the analysis of an extendend text or type of text’. (Istilah wacana sering digunakan untuk menunjukkan suatu bagian secara luas dari tuturan atau tulisan yang berhubungan, sebuah teks. Selanjutnya analisis wacana berarti ‘analisis dari suatu teks secara luas atau sejenis teks’). (Leeuwen, 2005:94).


(49)

Model analisis wacana versi Theo Van Leeuwen digunakan untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam pemberitaan. Bagaimana suatu kelompok dominan lebih memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa atau pemaknaan, sementara kelompok lain hanya menjadi objek dari pemaknaan dan selalu digambarkan secara buruk.

Berdasarkan buku Introducing Social Semiotics dapat disimpulkan beberapa kesimpulan utama mengenai wacana menurut Van Leeuwen (Van Leeuwen, 2005:95):

a. Wacana merupakan sumber utama representasi, pengetahuan tentang beberapa aspek dari realitas, yang dapat digunakan ketika aspek realitas tersebut harus ditampilkan. Wacana tidak dapat membatasi apa yang ingin disampaikan mengenai aspek tertentu dari realitas, sebaliknya kita juga tidak akan menampilkan apapun tanpa wacana. Kita memerlukan wacana sebagai ‘frameworks’ untuk membuat kesan atas berbagai hal.

b. Wacana bersifat jamak (plural). Bisa terjadi perbedaan wacana, perbedaan dalam menciptakan kesan atas aspek yang sama dari realitas, yang memasukkan dan mengeluarkan hal-hal yang berbeda, serta menyajikan minat yang berbeda pula.

c. Fakta untuk keberlangsungan atas wacana tertentu berasal dari teks, dari apa yang telah dikatakan dan ditulis sebelumnya. Lebih khusus lagi, fakta tersebut berasal dari kesamaan antara hal-hal dikatakan dan ditulis dalam teks yang berbeda mengenai aspek yang sama tentang realitas.


(50)

Sebagaimana halnya Fairclough dan Wodak, Leeuwen juga beranggapan bahwa wacana merupakan perwujudan atau realisasi dari praktik sosial. Menurutnya, wacana dan pengetahuan kita tentang dunia secara mutlak diperoleh dari apa yang kita kerjakan. Dengan kata lain, tindakan-tindakan kita memberikan kita alat untuk memahami dunia disekeliling kita.

Berdasarkan buku Introducing Social Semiotics dapat disimpulkan bahwa elemen-elemen yang ‘harus’ terdapat dalam setiap praktik sosial menurut Leeuwen (Van Leeuwen, 2005:106-109), yaitu:

a. Tindakan; yaitu hal-hal yang dikerjakan oleh orang-orang, atau kegiatan yang menyusun praktik sosial atau urutan kronologisnya.

b. Sikap; yaitu cara bagaimana suatu tindakan dipertunjukkan, misalnya: dengan ramah, secara tepat guna, penuh energi, dsb.

c. Aktor (pelaku); orang –atau kadang-kadang hewan- yang terlibat dalam praktik (sosial), dan peran-peran berbeda dimana mereka terlibat, apakah peran aktif maupun pasif.

d. Presentasi; cara bagaimana para aktor atau pelaku ‘dikemas’ atau ‘didandani’. Setiap praktik sosial memiliki aturan presentasi, meskipun mereka berbeda dalam jenis dan derajat kekerasannya.

e. Sumber; yaitu peralatan dan material yang diperlukan dalam membuat praktik sosial.

f. Waktu; praktik sosial yang tidak dapat dihindari adalah waktu yang pasti, dan bertahan untuk sejumlah waktu yang pasti pula.


(51)

g. Ruang; elemen nyata yang paling akhir dari sosial praktik adalah ‘ruang’ dimana tindakan mengambil tempat, termasuk cara bagaimana mereka harus disusun untuk membuat praktik tersebut menjadi mungkin.

Dalam realitasnya, elemen-elemen diatas harus terdapat dalam sebuah praktik sosial tetapi, teks-teks khusus mungkin hanya memasukkan beberapa elemen saja. Pengetahuan bersifat selektif, apa yang diseleksi tergantung pada maksud dan keinginan institusi yang membantu perkembangan pengetahuan tersebut.

Berdasarkan buku Introducing Social Semiotics dapat dismpulkan bahwa ada 4 tipe dasar transformasi bagaimana suatu realitas diubah ke dalam suatu wacana menurut Leeuwen (Van Leeuwen, 2005:110-111) yaitu:

a. Eksklusi: wacana dapat mengeluarkan unsur-unsur praktik sosial, misalnya beberapa jenis pelaku (aktor). Hal ini dapat menimbulkan efek distorsi. Misalnya dalam wacana tentang perang, yang mengeluarkan atau tidak menyebutkan para korbannya.

b. Penyusunan kembali: wacana dapat menyusun elemen-elemen dari praktik sosial. Misalnya, ketika wacana mengadakan atau memaksakan urutan khusus dalam suatu tindakan, padahal dalam realitasnya tindakan tersebut tidak diperlukan.

c. Penambahan: wacana dapat menambahkan elemen-elemen ke dalam representatif.


(52)

d. Substitusi (penggantian): substitusi merujuk kepada fakta bahwa wacana dapat menggantikan konsep bagi elemen nyata dari praktik sosial. Dalam prosesnya, konkret dapat diubah menjadi abstrak dan hal-hal khusus diubah ke dalam hal-hal umum.

Dalam analisisnya, Van Leeuwen memusatkan perhatian pada dua hal, yaitu eksklusi dan inklusi. Eksklusi, melihat apakah dalam suatu teks ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dari pemberitaan dan strategi wacana apa yang dipakai dalam melakukan hal tersebut. Inklusi, melihat bagaimana masing-masing pihak atau kelompok dimunculkan dalam pemberitaan atau bagaimana cara penggambarannya.

1. Eksklusi, apakah dalam suatu teks berita ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dalam pemberitaan.

a. Pasivasi, yaitu suatu cara menghilangkan aktor atau pelaku dengan pemakaian kalimat pasif.

b. Nominalisasi, yaitu menghilangkan aktor dengan cara mengubah kata kerja menjadi kata benda, yaitu dengan cara memberi imbuhan pe-an.

c. Penggantian anak kalimat, yaitu penggantian subjek dengan memakai anak kalimat yang sekaligus berfungsi sebagai pengganti aktor.

2. Inklusi bagaimana masing-masing pihak atau kelompok itu ditampilkan lewat pemberitaan.

a. Diferensiasi-Indeferensiasi, yaitu bagaimana aktor sosial bisa ditampilkan dalam teks secara mandiri - Suatu kelompok disudutkan


(53)

dengan menghadirkan kelompok atau wacana lain yang dipandang lebih dominan atau lebih bagus.

b. Objektivasi-Abstraksi, yaitu bagaimana aktor sosial ditampilkan dengan memberi petunjuk yang konkret dan aktor sosial ditampilkan dengan memberi petunjuk yang abstrak.

c. Nominasi-Kategorisasi, yaitu bagaimana aktor tersebut ditampilkan apa adanya - yang ditampilkan adalah kategori yang menunjukkan ciri penting dari seseorang.

d. Nominasi-Identifikasi, yaitu bagaimana aktor ditampilkan apa adanya dengan memberi anak kalimat sebagai penjelas.

e. Determinasi-Indeterminasi, yaitu bagaimana aktor disebutkan secara jelas atau aktor disebutkan secara anonim.

f. Asimilasi-Individualisasi, yaitu adanya kategori aktor sosial yang spesifik yang disebut dalam berita- komunitas atau kelompok sosial di mana seseorang itu berada.

g. Assosiasi-Disosiasi, apakah aktor ditampilkan sendiri atau aktor ditampilkan menghubungkan dengan kelompok lain yang lebih besar.

II.5. Berita

Berita lebih mudah diketahui daripada didefinisikan. Seorang jurnalis, apakah ia koresponden, reporter atau redaktur, telah terlatih dalam “mencium’ berita melalui indera keenamnya atau intuisi mereka. Prof Mitchel V. Charnley


(54)

mendefinisikan berita sebagai laporan tercepat mengenai fakta atau opini yang mengandung hal-hal yang menarik minat atau penting, atau kedua-duanya, bagi sejumlah besar orang. Sementara Henshall dan Ingram mengartikan berita adalah susunan kejadian setiap hari, sehingga masyarakat menerimanya dalam bnetuk yang tersusun dan dikemas rapi menjadi cerita, pada hari yang sama di radio atau televisi dan keesokan harinya di berbagai surat kabar (Hadiyanto, 2001: 80).

1. Nilai berita

Suatu peristiwa dikatakan mempunyai nilai berita jika mengandung: a. Keluarbiasaan (unusualness). Berita adalah sesuatu yang luar biasa.

Nilai berita peristiwa luar biasa, paling tidak dapat dilihat dari lima aspek; lokasi, waktu, jumlah korban, daya kejut peristiwa, dan dampak yang ditimbulkan peristiwa tersebut.

b. Kebaruan (newness). Berita adalah semua apa yang terbaru. Semua hal yang baru, apa pun namanya, pasti memiliki nilai berita.

c. Akibat (impact). Berita adalah segala sesuatu yang berdampak luas. Dampak suatu pemberitaan bergantung pada beberapa hal: seberapa banyak khalayak terpengaruh, pemberitaan itu langsung mengena kepada khalayak atau tidak, dan segera tidaknya efek berita itu menyentuh khalayak media surat kabar, radio, atau televisi yang melaporkannya.

d. Aktual (timeliness). Berita adalah apa yang terjadi hari ini, apa yang masih belum diketahui tentang apa yang akan terjadi hari ini,


(55)

atau adanya opini berupa pandangan dan penilaian yang berbeda dengan opini sebelumnya sehingga opini itu mengandung informasi penting dan berarti.

e. Kedekatan (proximity). Kedekatan mengandung dua arti. Pertama, kedekatan geografis menunjuk kepada suatu peristiwa atau berita yang terjadi di sekitar tempat tinggal kita. Kedua, kedekatan psikologis yang lebih banyak ditentukan oleh tingkat keterkaitan pikiran, perasaan, atau kejiwaan seseorang dengan suatu objek peristiwa atau berita.

f. Informasi (information). Hanya informasi yang memiliki nilai berita, atau memberi banyak manfaat kepada publik yang patut mendapat perhatian media.

g. Konflik (conflict). Konflik atau pertentangan merupakan sumber berita yang tak pernah kering dan tak kan pernah habis.

h. Orang penting (prominence). Berita adalah tentang orang-orang penting, orang-orang ternama, pesohor, selebriti, figur publik. Teori jurnalistik menegaskan, nama menciptakan berita.

i. Ketertarikan manusiawi (human interest). Cerita human interest, lebih banyak mengaduk-aduk perasaan daripada mengundang pemikiran. Apa saja yang dinilai mengundang minat insani, menimbulkan ketertarikan manusiawi, mengembangkan hasrat dan


(56)

naluri ingin tahu dapat digolongkan ke dalam cerita human interest.

j. Kejutan (suprising). Nilai berita kejutan, ditentukan oleh subjek pelaku, situasi saat itu, peristiwa sebelumnya, bidang perhatian, pengetahuan, serta pengalaman orang-orang atau masyarakat di sekitarnya.

k. Seks (sex). Seks adalah berita. Sepanjang sejarah peradaban manusia, segala hal yang berkaitan dengan perempuan pasti menarik dan menjadi sumber berita. Seks memang identik dengan perempuan. Di berbagai belahan dunia, perempuan dengan segala aktivitasnya selalu layak muat, layak siar, layak tayang. Segala macam tentang perempuan, tentang seks, selalu banyak peminatnya. (Sumadiria, 2005: 80-89).

2. Sumber Berita.

Adapun empat hal yang menjadi sumber berita yaitu:

a. Observasi langsung dan tidak langsung dari situasi berita. Wartawan yang mengamati langsung suatu peristiwa dapat membuat cerita itu menjadi hidup. Sedangkan observasi tidak langsung akan melengkapi keterbatasan observasi langsung yakni dengan prosedur pra-peristiwa dan pasca-peristiwa.


(57)

b. Proses wawancara. Kunci wawancara yang baik adalah mendengarkan dengan baik dan jika sumber tahu bahwa wartawan mempunyai rasa empati maka mereka akan bicara.

c. Pencarian atau pnelitian bahan-bahan melalui dokumen publik. Caranya dengan mencari catatan, dokumentasi, buku dan sebagainya yang ada hubungannya dengan peristiwa yang akan diliput.

d. Partisipasi dalam berita (Ishwara, 2005: 67).

3. Isi Berita

Ada beberapa kategori yang menunjukkan bahwa isi berita itu disebut layak berita yaitu:

a. Berita harus akurat. Kehati-hatian dimulai dari kecermatannya terhadap ejaan nama, angka, tanggal dan usia serta disiplin diri untuk senantiasa melakukan periksa ulang atas keterangan dan fakta yang diteminya. Tidak hanya itu, akurasi juga berarti benar dalam memberikan kesan umum, benar dalam sudut pandang pemberitaan yang dicapai oleh penyajian detil-detil fakta dan oleh tekanan yang diberikan pada fakta-faktanya.

b. Berita harus lengkap, adil dan berimbang. Yang dimaksud dengan bersikap adil dan berimbang adalah bahwa seorang wartawan harus melaporkan apa yang sesungguhnya terjadi. Unsur adil dan berimbang mungkin sama sulitnya untuk dicapai seperti juga keakuratan dalam menyajikan fakta. Seorang wartawan harus senantiasa berusaha


(58)

menempatkan setiap fakta atau kumpulan fakta-fakta menurut proporsinya yang wajar, untuk mengaitkannya secara berarti dengan unsur-unsur lain, dan untuk membangun segi pentingnya dengan berita secara keseluruhan.

c. Berita harus objektif. Dalam pengertian objektif ini, termasuk pula keharusan wartawan menulis dalam konteks peristiwa secara keseluruhan, tidak dipotong-potong oleh kecenderungan subjektif. Dengan sikap objektif, berita yang dibuat akan objektif, artinya berita yang dibuat itu selaras dengan kenyataan, tidak berat sebelah, bebas dari prasangka. Akan tetapi poin ini adalah kebingungan terbesar dalam jurnalisme. Makna asli dari pemikiran ini sering disalahpahami dan sebagian besar bahkan hilang (Kovach dan Rossenstiel, 2004:88).

d. Berita harus ringkas dan jelas. Berita yang disajikan haruslah dapat dicerna dengan cepat. Ini artinya suatu tulisan yang ringkas, jelas, dan sederhana. Tulisan berita harus tidak banyak menggunakan kata-kata, harus langsung, dam padu. Penulisan berita yang efektif memberikan efek mengalir, ia memiliki warna alami tanpa berelok-elok atau tanpa kepandaian bertutur yang berlebihan. Ia ringkas, terarah, tepat, dan menggugah.

e. Berita harus hangat. Peristiwa-peristiwa bersifat tidak kekal, dan apa yang nampak benar hari ini belum tentu benar esok hari. Karena konsumen berita menginginkan informasi segar, informasi hangat, kebanyak berita berisi laporan peristiwa-peristiwa “hari ini” dalam


(59)

harian sore, atau paling lama, “tadi malam” atau “kemarin” dalam harian pagi (Kusumaningrat, 2005:48-57).

4. Jenis Berita

a. Straight news report adalah laporan langsung mengenai suatu

peristiwa.

b. Depth news report merupakan laporan yang menghimpun informasi

dengan fakta-fakta mengenai peristiwa itu sendiri sebagai informasi tambahan untuk peristiwa tersebut.

c. Comprehensive news merupakan laporan tentang fakta yang bersifat

menyeluruh ditinjau berbagai aspek.

d. Interpretative report biasanya memfokuskan sebuah isu, masalah, atau

peristiwa-peristiwa kontroversial dengan fokus laporan berupa fakta.

e. Feature story menyajikan suatu pengalaman khalayak yang lebih

bergantung pada gaya penulisan dan humor daripada pentingnya informasi yang disajikan.

f. Depth reporting adalah pelaporan jurnalistik yang bersifat mendalam,

tajam, lengkap dan utuh tentang suatu peristiwa fenomenal atau aktual.

g. Investigative reporting biasanya memusatkan pada sejumlah masalah


(60)

memperoleh fakta yang tersembunyi demi tujuan. Pelaksanannya sering ilegal atau tidak etis.

h. Editorial writing adalah pikiran sebuah institusi yang diuji di depan

sidang pendapat umum. Editorial adalah penyajian fakta dan opini yang menafsirkan berita-berita yang penting dan mempebgaruhi pendapat umum (Sumadiria, 2005: 69-71).

Dalam penyajian berita, ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi:

1. Faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media, bagaimana aspek-aspek personal pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak.

2. Rutinitas media. Rutinitas media sangat erat kaitannya dengan mekanisme dan proses penenuan berita karena setiap media mempunyai pandangan tertentu dengan apa yang disebut berita, ciri-ciri dan juga kelayakannya.

3. Organisasi. Level organisasi berkaitan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media bukan orang tunggal di dalam organisasi berita melainkan mereka merupakan bagian kecil didalam organisasi media di mana masing-masing komponen memiliki kepentingan.


(61)

4. Level ideologi. Ideologi disini diartikan kerangka berpikir atau kerangka referensi terentu yang dipakai individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya (Sudibyo, 2001:7-13).

5. Ekstramedia. Level ini berhubungan dengan faktor lain diluar media. Ada beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan luar media yaitu:

Pertama, Sumber berita. Sumber berita bukanlah dipandang sebagai pihak yang netral dalam memberikan informasi, dia juga memiliki banyak kepentingan mempengaruhi isi media. Kedua, Sumber penghasilan media. Media harus survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Ketiga, pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis, pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan eksternal media.


(62)

 

III.1. Deskripsi lokasi penelitian III.1.1 Harian Umum KOMPAS

Harian umum KOMPAS merupakan surat kabar nasional yang tidak bisa dilupakan peranannya dalam sejarah pers nasional di Indonesia. Hal ini karena harian KOMPAS termasuk harian yang memberi masukan dalam sejarah jurnalistik, khususnya jurnalistik surat kabar. Hal lain yang perlu diingat dari harian ini adalah manajemen yang diterapkan dalam organisasi harian merupakan sumbangsih terbesar yang pernah diberikan oleh harian KOMPAS kepada jurnalistik di Indonesia.

Sejumlah uraian di atas merupakan hasil kerja keras dari kedua tokoh pendiri harian KOMPAS yang sekaligus merupakan tokoh pers juga. Petrus Kanisius (PK) Ojong dan Jakob Oetama merupakan nama pendiri harian KOMPAS. Pada tahun 1965, merupakan masa-masa dimana mendirikan KOMPAS tersebut tercetus. Pada masa itu dimana PKI merajalela, hubungan PKI dan militer memburuk terutama Angkatan Darat, sampai akhirnya Let.Jend Ahmad Yani sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat (1962-1965) melemparkan ide agar Frans Seda Menteri Perkebunan (1964-1966) menerbitkan Koran. Ide itu sejalan pula dengan terbitnya koran-koran yang bernaung di bawah partai atau corong partai. Frans Seda selaku ketua umum Partai Katolik menanggapi ide tersebut.


(63)

Jakob Oetama dan PK Ojong menggarap ide mendirikan koran tersebut. Ditetapkan nama Bentara Rakyat yang secara harfiah berarti pegawai rakyat yang sebenarnya bukanlah PKI (catatan : waktu itu semua yang berbau PKI memakai kata rakyat). Suatu saat, ketika Bentara Rakyat hampir terbit, Frans Seda datang ke Presiden Soekarno untuk urusan dinas selaku Menteri Perkebunan. Bung Karno mendesak Partai Katolik untuk menerbitkan sebuah koran. Bung Karno sudah mendengar bahwa Frans Seda dengan rekan-rekannya dari Partai Katolik akan mendirikan koran. Ketika disebut nama Bentara Rakyat, Bung Karno menyarankan nama “KOMPAS” agar jelas sebagai penunjuk arah. Jadilah dipilih sebagai nama KOMPAS sedangkan Bentara Rakyat dipilih sebagai nama yayasan yang menerbitkan KOMPAS. PKI bereaksi keras dengan terbitnya KOMPAS, dengan menghasut masyarakat dengan ledekan kepanjangan KOMPAS adalah Komando Pastor. Plesetan kata “Komando Pastor” lebih gencar ditiupkan oleh kaum komunis pda masa itu, dengan maksud menhasut dan menjatuhkan nama baik KOMPAS menjadi “Komt Pas Morgen”, artinya KOMPAS yang akan datang, pada keesokan harinya karena memang sering telat terbit.

Para pendiri yayasan Bentara Rakyat adalah pemimpin dari organisasi-organisasi Katolik, seperti Partai Katolik, Pemuda Katolik, Wanita Katolik. Pengasuh sehari-hari dipegang oleh dua serangkai Jakob Oetama dan PK Ojong dengan otonomi profesional yang penuh meski ada restu dari Presiden Soeharto. Berkat usaha dari Mgr. Soegipranata, dan bantuan dari pimpinan Angkatan Darat, proses minta izin usaha dan izin terbit menemui kesulitan. Karena pada saat itu PKI menguasai aparatur khususnya aparatur perizinan di Pusat dan Daerah. PKI agaknya tidak mentolerir saingan dari sebuah harian yang menurut mereka “pasti”


(1)

Minyak Tanah.

Memanfaatkan Operasi Pasar di Beberapa

Lokasi. Masyarakat

Masyarakat Hiswana Migas Objektivasi-Abstraksi Diferensiasi-Indiferensiasi Diferensiasi-Indiferensiasi sehingga menimbulkan makna yang berlebihan. Mengabstraksikan jumlah warga yang kesulitan memperoleh minyak tanah. Menyudutkan warga yang tidak mendapat minyak tanah. Menyamarkan perkataan sehingga apa yang dikatakan warga dari pemberitaan yang ada. Namun pedagang yang bertanggung jawab juga disamarkan. Hiswana Migas juga turut ditampilkan secara buruk.


(2)

masyarakat Determinasi-Indeterminasi

berbeda dengan di lapangan.

Menyamarkan warga yang memberi informasi.

Gas Rp120.00 Per Tabung. Antrean

Minyak Tanah Masih Terjadi Di Tegal.

Berita hanya

menampilkan kelangkaan

minyak tanah serta antrean warga di Tegal. Berita tidak menampilkan

Pertamina/

Hiswana Migas sebagai pihak yang


(3)

bertanggung

jawab atas kelangkaan


(4)

BIODATA

Nama : NOVITA DINA YOSEPHINE PANJAITAN NIM : 040904047

Tempat/ Tgl lahir : Medan, 13 November 1986 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jln. Sei Tuntung Baru Dalam No.22 Medan Nama Orangtua :

Ayah : Drs. Soaloon Panjaitan Ibu : Rosdiana Tampubolon, BA Saudara Kandung : Ferry Alex H Panjaitan, ST

Johannes Tumpal Panjaitan, ST Pendidikan :

TK Perguruan Kristen Immanuel Medan SD Perguruan Kristen Immanuel Medan SLTP Perguruan Kristen Immanuel Medan SMU St. Thomas 1 Medan

Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU Pengalaman Organisasi :

Anggota Divisi Pendidikan dan Penalaran, IMAJINASI FISIP USU Periodesasi 2006-2007.

Relawan Angkatan Ke-18 saHIVa (Pusat Informasi HIV/AIDS) Universitas Sumatera Utara.

Peer Educator Champion Competition Warung saHIVa- USU.


(5)

   

DAFTAR PUSTAKA

Birowo, Antonius. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Gitanyali. Yogyakarta Bulaeng, Andi. 2004. Metode Penelitian Komunikasi Kontemporer. ANDI. Yogyakarta.

Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. PT. Rajawali Grafindo Persada. Jakarta.

. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. PT. Rajawali Grafindo Persada. Jakarta.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana. Pengantar Analisis Teks Media. LKIS Cetakan Pertama. Yogyakarta.

Fairclough, Norman. 1998. Critical Discourse Analysis. Logman London & New York. London.

Hadiyanto. 2001. Membudayakan Kebiasaan Menulis. PT. Fikahati Aneska Jakarta.

Ishwara, Luwi. 2005. Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar. Penerbit Buku KOMPAS. Jakarta.

Kaplan, David & Manners. 2002. Teori Budaya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Kovach, Bill & Rossenstiel, Tom. 2004. Elemen-Elemen Jurnalisme. ISAI. Cetakan Kedua. Jakarta.

Krippendorf, Klaus. 1993. Analisis Isi : Pengantar Teori & Metodologi. PT. Rajawali Grafindo Persada. Jakarta.

Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Prenada Media. Jakarta.

Kusumaningrat, Hikmat dan Kusumaningrat, Purnama. 2005. Jurnalistik Teori dan Praktik. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.


(6)

   

Mcquail, Dennis. 1989. Teori Komunikasi Massa. Penerbit Erlangga. Jakarta. Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Rakhmat, Jalalludin. 2001. Metode Penelitian Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Singarimbun, Masri. 1981. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta. Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media. Remaja Rosdakarya. Bandung. Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media dan Petarungan Wacana. LKIS. Cetakan

Pertama. Yogyakarta.

Sumadiria, Haris. 2005. Jurnalistik Indonesia. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial. Prenada Media. Jakarta.

Surat Kabar dan Web- Site Kompas, Jumat 25 Januari 2008.

Kompas, Senin 21 April 2008.

www.kompas.co.id, diakses pada tanggal 13 Februari 2008 dan 26 Maret 2008.

http :// 202.146 /.4.17/ read. php ?cnt =, xml. 2008.01.07. 165 22282& channel = 1& mn = 2& idx =4. Diakses pada tanggal 14 April 2008.