Diferensiasi Kelamin dan Performansi Tiga Genotipe Ikan Nila yang diberi Bahan Aromatase Inhibitor hingga Tahap Pembesaran

(1)

DIFERENSIASI KELAMIN DAN PERFORMANSI

TIGA GENOTIPE IKAN NILA YANG DIBERI BAHAN

AROMATASE INHIBITOR HINGGA TAHAP

PEMBESARAN

DIDIK ARIYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Diferensiasi Kelamin dan Performansi Tiga Genotipe Ikan Nila yang diberi Bahan Aromatase Inhibitor

hingga Tahap Pembesaran adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2010


(3)

ABSTRACT

DIDIK ARIYANTO. Sex Differensiation and Performance of Three Genotypes of Nile Tilapia Administered with Aromatase Inhibitor until The Grow-out Period. Under direction of KOMAR SUMANTADINATA and AGUS OMAN SUDRAJAT .

Tilapias are endemic to Africa, but interest in their aquacultural potential led to nearly worldwide distribution within more than the past fifty years. The desirability of monosex populations for tilapia culture is well established. Grow-out of monosex male populations prevents or minimizes recruitment and thereby competition between recruits and stocked fish which, in mixed sex populations, can significantly reduce harvested yields. This study conducted to know the effect of dietary administration of aromatase inhibitor imidazole for sex reversal in three genotypes of Nile tilapia i.e. XX, XY and YY genotype. Sex reversed tilapia with methyl-testosterone was used as positive control. Application of imidazole was given to 7 days after-hatching larvae for 28 days. Both of control negative and mixed sex population were fed a standard commercial ration. We also want to evaluate the performance of these populations in growing period in ponds. Mixed sex population, consisting of 50% XX genotype and 50% XY genotype was used as check population. The results showed that dietary administration of imidazole in XX genotype were significantly increased male proportion.The same treatment in XY genotype did not significantly increased the proportion of male but significantly increased male proportion in YY genotype. Until the end of fingerling rearing period, all genotypes and treatments did not significantly affect on both of growth and survival rate, except in YY genotype.Over the grow-out culture period of 120 days, all male populations especially in XY genotype and sex reversed from XX genotype have a better both of growth rate and harvest yield than those of all female and mixed sex populations. All genotypes and all treatments did not significantly affect on size variability, survival rate and food conversion ratios, except in YY genotype. Generally, YY genotype has a lowest performance until the end of grow-out period.

Keywords : Nile tilapia, aromatase inhibitor, sex ratio, phenotypic performances, grow-out period.


(4)

RINGKASAN

DIDIK ARIYANTO. Diferensiasi Kelamin dan Performansi Tiga Genotipe Ikan Nila yang diberi Bahan Aromatase Inhibitor hingga Tahap Pembesaran. Dibimbing oleh KOMAR SUMANTADINATA dan AGUS OMAN SUDRAJAT. Laju pertumbuhan ikan nila dipengaruhi oleh jenis kelamin (sexual dimorphism). Ikan nila jantan mempunyai laju pertumbuhan lebih cepat dibanding ikan betina sehingga budidaya menggunakan populasi tunggal kelamin jantan diharapkan mempunyai produktivitas lebih baik dibanding populasi campuran. Salah satu metode produksi masal benih ikan nila tunggal kelamin jantan adalah dengan menambahkan hormon sintetik 17a-methyltestosterone. Namun demikian, saat ini penggunaan bahan sintetik tersebut sudah sangat dibatasi. Selain karena bersifat karsinogenik, hormon tersebut berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Dalam rangka mendapatkan bahan alternatif penggantinya, dilakukan penelitian pemanfaatan bahan aromatase inhibitor, khususnya imidazole. Bahan ini dapat digunakan dalam proses pembalikan kelamin karena menghambat sekresi enzim aromatase yang bertanggung jawab dalam konversi hormon androgen menjadi estrogen. Tingginya kadar androgen dalam tubuh akan mengarahkan proses diferensiasi kelamin ke arah kelamin jantan. Beberapa kegiatan penelitian sex reversal, umumnya menggunakan bahan genotipe campuran antara XX dan XY sehingga akurasi tingkat efektivitas dan efisiensi bahan aktif yang digunakan tidak optimal. Selain itu, sebagain besar penelitian sex reversal berhenti pada hasil nisbah kelamin yang diperoleh. Evaluasi performansi banih yang dihasilkan melalui kegiatan sex reversal, kaitannya dengan kegiatan akuakultur belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan bahan aromatase inhibitor, khususnya imidazole terhadap tiga genotipe ikan nila, yaitu genotipe XX, XY dan YY, khususnya terhadap nisbah kelamin yang dihasilkan, laju pertumbuhan serta tingkat sintasan sampai tahap pendederan. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengevaluasi performansi benih tiga genotipe ikan nila yang diberi imidazole tersebut sampai tahap pembesaran, khususnya pada karakter laju pertumbuhan, sintasan, keragaman ukuran, food conversion ratios, bobot panen dan perkembangan organ reproduksi.

Penelitian dibagi menjadi 2 tahap. Bahan utama pada percobaan tahap 1 adalah larva ikan nila genotipe XX, XY dan YY. Perlakuan yang diberikan adalah penambahan imidazole, hormon sintetik 17a-methyltestosterone sebagai kontrol (+) dan tanpa pemberian bahan apapun sebagai kontrol (-). Pemberian imidazole dilakukan melalui pakan pada larva ikan nila yang berumur 7 hari setelah menetas selama 28 hari. Setelah itu, benih dipelihara dalam hapa pendederan yang ditempatkan di kolam selama 60 hari. Pada akhir pendederan, dilakukan identifikasi jenis kelamin, bobot individu rata-rata dan sintasan benih ikan nila pada setiap ulangan dan perlakuan. Selain itu, juga dilakukan pemilihan individu-individu yang berkelamin jantan untuk dipelihara lebih lanjut pada tahap pembesaran. Sebagai pembanding digunakan populasi tunggal kelamin betina dan populasi campuran, terdiri atas 50% individu berkelamin jantan dan 50% berkelamin betina. Pemeliharaan benih pada tahap pembesaran dilakukan di


(5)

dalam jaring ukuran 4x4x1,5 m yang ditempatkan di kolam. Pemeliharaan tahap pembesaran dilakukan selama 120 hari.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan imidazole secara nyata meningkatkan rasio kelamin jantan, khususnya pada genotipe XX, yaitu mencapai 82,44%. Populasi kontrol (-) genotipe XX mempunyai persentase kelamin jantan sebesar 7,55%. Penambahan hormon 17a-mt sebagai kontrol (+) menghasilkan persentase kelamin jantan sebesar 82,42% tidak berbeda nyata dibanding pemberian imidazole. Pemberian imidazole dan hormon 17a-mt pada genotipe XY, meskipun tidak terlalu nyata tetapi juga meningkatkan rasio kelamin jantan, yaitu mencapai 82,03 dan 85,13 % dari populasi kontrol (-) genotipe XY sebesar 79,81%. Namun demikian, perlakuan yang sama pada genotipe YY secara signifikan meningkatkan rasio kelamin jantan mencapai 97,12 dan 99,10 % dari kontrol (-) genotipe YY sebesar 83,01%. Sampai akhir tahap pendederan, semua perlakuan dan genotipe yang berbeda tidak memberikan efek yang berbeda nyata terhadap laju pertumbuhan maupun nilai sintasan, kecuali pada genotipe YY yang mempunyai bobot dan sintasan paling rendah. Pada tahap pembesaran, penggunaan populasi tunggal kelamin jantan selain genotipe YY, yaitu genotipe XY maupun genotipe XX yang diberi imidazole mempunyai laju pertumbuhan dan hasil panen lebih baik dibandingkan populasi populasi campuran XX- XY, masing-masing sebesar 38,14 dan 23,58%. Sampai akhir tahap pembesaran, semua perlakuan dan genotipe yang berbeda tidak memberikan dampak yang berbeda nyata terhadap nilai keragaman ukuran, sintasan maupun nilai food conversion ratios, kecuali pada genotipe YY. Rendahnya laju pertumbuhan, sintasan dan hasil panen serta tingginya tingkat keragaman ukuran dan nilai food conversion ratios pada genotipe YY disebabkan tingkat inbreeding yang tinggi pada populasi tersebut. Selama kegiatan penelitian, organ reproduksi pada semua populasi berkembang normal. Populasi campuran genotipe XX- XY mempunyai perkembangan organ reproduksi lebih cepat dibanding populasi tunggal kelamin. Kata kunci : Ikan nila, aromatase inhibitor, ratio kelamin, performansi benih,


(6)

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2010

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa ijin IPB.


(7)

DIFERENSIASI KELAMIN DAN PERFORMANSI

TIGA GENOTIPE IKAN NILA YANG DIBERI BAHAN

AROMATASE INHIBITOR HINGGA TAHAP

PEMBESARAN

DIDIK ARIYANTO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

Judul Tesis : Diferensiasi Kelamin dan Performansi Tiga Genotipe Ikan Nila yang diberi Bahan Aromatase Inhibitor hingga Tahap Pembesaran

Nama : Didik Ariyanto

NRP : C151070181

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Komar Sumantadinata, M.Sc.

Anggota Ketua

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini bisa diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilakukan sejak bulan Oktober 2008 ini adalah teknik sex reversal

ikan nila dan performansi benih ikan hasil sex reversal dalam kegiatan budidaya, dengan judul ”Diferensiasi Kelamin dan Performansi Tiga Genotipe Ikan Nila yang diberi Bahan Aromatase Inhibitor hingga Tahap Pembesaran”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Komar Sumantadinata, MSc. dan Bapak Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, MSc., selaku pembimbing. Disamping itu, terima kasih juga disampaikan kepada Komisi Pengembangan SDM Badan Riset Kelautan dan Perikanan, DKP atas kesempatan dan beasiswa untuk mengikuti Program Magister Ilmu Akuakultur, di IPB dan juga kepada Ibu Ir. Retna Utami, MSc., selaku Kepala Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi atas segala dukungan dana dan fasilitas penelitian serta masukannya. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Mennofatria Boer atas saran dan masukannya dalam analisis statistik hasil penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman peneliti dan teknisi di Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi dan juga teman-teman di Program Studi Ilmu Akuakultur, IPB atas segala kebersamaan dan dukungannya. Selain itu, kepada ibu, bapak (alm.), saudara-saudaraku, istri dan anak-anakku, terima kasih atas segala doa, dorongan dan kasih sayang yang tiada terhingga.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan bidang akuakultur pada khususnya.

Bogor, Januari 2010


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 29 Maret 1973 di Kulonprogo, D.I. Yogyakarta, merupakan putra ke 4 dari 4 bersaudara, anak dari pasangan Bapak Sadiyo dengan Ibu Siswantinah.

Gelar sarjana penulis diperoleh dari Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang pada tahun 1997. Penulis bekerja sebagai peneliti di Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi sejak tahun 2000 hingga sekarang. Pada tahun 2007, penulis diberi kesempatan dan dibiayai oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Jakarta untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana di Program Studi Ilmu Akuakultur, Institut Pertanian Bogor.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………. xii

DAFTAR GAMBAR ..………. xiii

DAFTAR LAMPIRAN .……….. xiv

PENDAHULUAN ... Latar Belakang .……….. Perumusan Masalah ……… Tujuan .……… Hipotesis …….……… 1 3 4 5 TINJAUAN PUSTAKA ... Ikan Nila ... Determinasi dan Diferensiasi kelamin ... Sex Reversal ... Hormon Steroid ... Aromatase dan Aromatase Inhibitor ... Genetically Male Tilapia ... 6 7 8 8 9 11 BAHAN DAN METODE ………... Tempat dan Waktu ...………... Bahan Penelitian ... Metode Percobaan 1 ... Pengamatan ... Analisis Data ... Metode Percobaan 2 ... Pengamatan ... Analisis Data ... 12 12 12 14 15 15 16 18 HASIL DAN BAHASAN ... Percobaan tahap 1 ... Percobaan tahap 2 ... 20 29 KESIMPULAN ... 47

SARAN ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Persentase kelamin jantan, bobot individu rata-rata dan sintasan

benih ikan nila pada akhir tahap pendederan ………... 21 2. Hasil analisis kualitas air media pemeliharaan ikan nila di akuarium

dan kolam pendederan …..…... 21 3. Bobot dan panjang akhir individu serta sintasan ikan nila pada akhir

tahap pembesaran ………....……… 30

4. Hasil analisis coefficient of variance (CV) karakter bobot, food corversion ratios (FCR) dan bobot panen ikan nila pada akhir tahap

pembesaran ………..……… 31

5. Indeks gonad somatik (IGS) ikan nila pada akhir tahap pembesaran .. 35 6. Hasil analisis kualitas air media pemeliharaan ikan nila selama tahap


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Ikan nila dewasa ... 6 2. Skema pelaksanaan penelitian dari percobaan tahap 1 sampai tahap

2 ………... 19 3. Hasil analisis histologis ovari ikan nila dari populasi tunggal

kelamin betina XX, umur 95 hari ... 28 4. Hasil analisis histologis ovari ikan nila dari populasi campuran

XX-XY, umur 95 hari ... 29 5. Pola pertumbuhan populasi ikan nila genotipe XX, XY dan YY

tanpa perlakuan, penambahan hormon 17a-mt serta penambahan

imidazole ...………. 35

6. Hasil analisis histologis gonad ikan nila genotipe XX yang diberi imidazole ……... 36 7. Hasil analisis histologis gonad ikan nila genotipe XX yang diberi

hormon 17a-mt ... 36 8. Hasil analisis histologis gonad ikan nila genotipe XX pada populasi

tunggal kelamin betina ………... 37 9. Hasil analisis histologis gonad ikan nila genotipe XY yang diberi

imidazole ……... 37 10. Hasil analisis histologis gonad ikan nila genotipe XY yang diberi

hormon 17a-mt ... 38 11. Hasil analisis histologis gonad ikan nila genotipe XY ... 38 12. Hasil analisis histologis gonad ikan nila genotipe YY yang diberi

imidazole ……... 39 13. Hasil analisis histologis gonad ikan nila genotipe YY yang diberi

hormon 17a-mt ... 39 14. Hasil analisis histologis gonad ikan nila genotipe YY ... 40

15 Hasil analisis histologis gonad ikan nila betina pada populasi campuran ……... 40 16. Contoh induk betina ikan nila yang mengerami telur ………... 43


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Jumlah kebutuhan ikan uji dan sarana penelitian ... 55 2a. Analysis of variance (ANOVA) untuk persentase kelamin jantan

ikan nila pada akhir tahap pendederan …...……...

56 2b. Analisis Duncan untuk persentase kelamin jantan ikan nila pada

akhir tahap pendederan ……….………

56 3a. Analysis of variance (ANOVA) untuk bobot ikan nila pada akhir

pendederan ……….……… 57 3b. Analisis Duncan untuk bobot ikan nila pada akhir tahap pendederan 57 4a. Analysis of variance (ANOVA) untuk sintasan ikan nila pada akhir

pendederan ………..………..

58 4b. Analisis Duncan untuk sintasan ikan nila pada akhir pendederan …. 58 5a. Analysis of variance (ANOVA) untuk bobot ikan nila pada akhir

tahap pembesaran ………...……… 59 5b. Analisis Duncan untuk bobot ikan nila pada akhir tahap

pembesaran ……….... 59 6a. Analisys of variance (ANOVA) untuk panjang total ikan nila pada

akhir tahap pembesaran ……….

60 6b. Analisis Duncan untuk panjang total ikan nila pada akhir tahap

pembesaran ....…. ……….

60 7a. Analysis of variance (ANOVA) untuk keragaman fenotip benih

ikan nila pada akhir tahap pembesaran …………..……… 61 7b. Analisis Duncan untuk keragaman fenotip ikan nila pada akhir

tahap pembesaran ………...……… 61 8a. Analysis of variance (ANOVA) untuk sintasan ikan nila pada akhir

tahap pembesaran ……….. 62 8b. Analisis Duncan untuk sintasan ikan nila pada akhir pembesaran .... 62 9a. Analysis of variance (ANOVA) untuk FCR ikan nila pada akhir

tahap pembesaran ……….. 63


(15)

9b. Analisis Duncan untuk FCR ikan nila pada akhir tahap pembesaran 63 10a. Analysis of variance (ANOVA) untuk bobot panen ikan nila pada

akhir tahap pembesaran ………. 64 10b. Analisis Duncan untuk bobot total panen pada akhir tahap

pembesaran ………... 64

11a. Analysis of variance (ANOVA) untuk nilai indeks gonad somatik (IGS) benih ikan nila pada akhir pembesaran (benih berumur 215 hari) ... 65 11b. Analisis Duncan untuk nilai indeks gonad somatik (IGS) benih ikan

nila jantan pada akhir pembesaran (benih berumur 215 hari) ……. 65 11c. Analisis Duncan untuk nilai indeks gonad somatik (IGS) benih ikan

nila betina pada akhir pembesaran (benih berumur 215 hari) …….

65


(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu jenis ikan tilapia yang indigenous di Benua Afrika. Namun demikian, pada saat ini ikan nila telah menyebar di berbagai negara di dunia termasuk Indonesia (Popma & Lovshin 1995). Secara global, ikan tilapia merupakan salah satu komoditas penting dengan produksi dan kebutuhan yang semakin meningkat (Fitzsimmons 2008). Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) juga menempatkan ikan nila sebagai salah satu ikan budidaya air tawar yang mempunyai nila i ekonomis penting dan merupakan salah satu dari 10 komoditas utama kegiatan budidaya.

Secara biologis, laju pertumbuhan ikan nila jantan lebih cepat dibandingkan dengan ikan nila betina (sexual dimorphism) (Popma & Masser 1999). Data-data empiris pada budidaya ikan nila menunjukkan penggunaan populasi tunggal kelamin (mono-sex) jantan akan memberikan produksi lebih baik dibandingkan populasi campuran (mixed-sex) (Rakocy & McGinty 1989; Tave 1993; Tave 1996; Chapman 2000; Dunham 2004; Gustiano 2006). Selain disebabkan oleh fenomena sexual dimorphism, budidaya ikan nila menggunakan benih dengan kelamin jantan dan betina yang dicampur juga mengalami pertumbuhan yang relatif lebih lambat. Hal ini karena terjadinya kematangan kelamin dini pada populasi campuran (Mair et al. 1995). Dijelaskan lebih lanjut bahwa kematangan kelamin dini tersebut dapat menghambat pertumbuhan populasi karena energi yang digunakan untuk pertumbuhan sebagian terbagi untuk perkembangan kematangan gonad. Selain itu, adanya anakan yang tidak dikehendaki pada populasi kelamin campuran juga mengakibatkan energi yang harus dikeluarkan dalam rangka kompetisi mencari makan semakin besar. Dampak yang terjadi adalah rendahnya biomasa ikan pada waktu panen yang dapat mencapai 30-50%. Untuk menghindari fenomena yang merugikan tersebut, perlu dilakukan budidaya ikan nila tunggal kelamin, khususnya tunggal kelamin jantan.

Salah satu metode untuk mendapatkan populasi ikan nila tunggal kelamin jantan yang banyak dilakukan adalah dengan metode pembalikan kelamin atau sex


(17)

reversal. Teknik sex reversal pada ikan nila yang banyak dilakukan adalah dengan penambahan hormon sintetik 17a-methyltestosterone (17a-mt). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan hormon 17a-mt pada pakan dengan dosis 40-60 mg/kg pakan selama 3-4 minggu pada benih ikan nila berumur 7-9 hari setelah menetas efektif untuk sex reversal dan mampu menghasilkan populasi jantan mendekati 100% ( Bowker et al. 2007). Namun berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor KEP.20/MEN/2003, hormon 17a-mt termasuk dalam klasifikasi obat keras yang berarti bahwa peredaran dan pemanfaatannya menjadi semakin dibatasi terkait dengan dampak negatif yang dapat ditimbulkan, baik kepada ikan, manusia maupun lingkungan. Hormon 17a-mt yang notabene merupakan hormon sintetik bersifat karsinogenik bagi manusia. Selain itu, hormon ini juga berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan karena sulit terdegradasi secara alami. Contreras-S?ncez et al. (2001) melaporkan bahwa residu anabolik 17a-mt masih tertinggal dalam sedimen kolam setelah 3 bulan penggunaannya pada maskulinisasi benih ikan nila.

Dalam rangka menggantikan fungsi hormon 17a-mt, mulai dikembangkan penggunaan bahan-bahan alternatif yang lebih aman untuk “dikonsumsi”. Salah satu bahan alternatif yang mulai banyak digunakan adalah bahan aromatase

inhibitor. Aromatase inhibitor adalah bahan kimia yang mampu menghambat sekresi enzim aromatase yang berperan dalam sintesis estrogen dari androgen. Penghambatan ini akan menyebabkan tidak aktifnya proses transkripsi gen-gen aromatase yang mengakibatkan mRNA tidak terbentuk, sehingga terjadi penurunan konsentrasi estrogen yang mengarah pada tidak aktifnya transkripsi dari gen aromatase sebagai feedback-nya (Sever et al. 1999). Penurunan rasio estrogen terhadap androgen menyebabkan terjadinya perubahan penampakan dari betina menjadi menyerupai jantan, atau terjadi maskulinisasi karakteristik seksual sekunder.

Penelitian pemanfataan bahan aromatase inhibitor untuk sex reversal ikan di Indonesia telah dilakukan pada beberapa spesies ikan antara lain pada ikan lele varietas Sangkuriang (Jufrie 2006; Utomo 2006), udang galah (Sarida 2006), ikan

platty (Supriatin 2005) dan ikan nila (Astutik 2004; Barmudi 2005; Tasdiq 2005; Lukman 2005; Saputra 2007). Sebagian besar hasil penelitian tersebut, khususnya


(18)

pada spesies ikan nila, menunjukkan bahwa bahan aromatase inhibitor berhasil meningkatkan nisbah kelamin jantan antara 65-85%. Pada umumnya, penelitian dilakukan menggunakan bahan uji berupa larva ikan nila hasil pemijahan normal yang terdiri atas genotipe campuran XX dan XY. Hal ini berimplikasi terhadap tidak akuratnya tingkat efektifitas dan efisiensi bahan aromatase inhibitor yang digunakan untuk sex reversal dalam meningkatkan persentase kelamin jantan. Selain itu, penelitian yang dilakukan berhenti sampai dengan diperolehnya nisbah kelamin ikan nila setelah diberi perlakuan, sedangkan evaluasi performansi benih ikan nila hasil sex reversal terutama pada tahap pembesaran belum dilakukan.

Selain melalui metode sex reversal, produksi benih ikan nila tunggal kelamin jantan juga dapat dilakukan dengan menggunakan induk jantan super (supermale). Program pembentukan induk ikan nila jantan super di Indonesia telah berhasil dengan dilepasnya varietas GESIT (Genetically Supermale of Indonesian Tilapia) oleh Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar, Sukabumi pada tahun 2006. Induk jantan super yang bergenotipe YY jika dikawinkan dengan induk betina normal dengan genotipe XX akan menghasilkan keturunan 100% bergenotipe XY atau biasa disebut GMT (Genetically Male Tilapia).

Perumusan Masalah

Aplikasi hormon sintetik 17a-mt untuk sex reversal ikan nila sudah dilarang. Dalam rangka mencari bahan alternatif yang aman, telah dilakukan beberapa penelitian menggunakan bahan aromatase inhibitor, khususnya imidazole. Sebagian besar penelitian pemanfaatan imidazole untuk sex reversal

menggunakan bahan ikan nila genotipe campuran XX dan XY hasil pemijahan normal dalam proporsi yang tidak tetap. Hal ini menyebabkan efektivitas dan efisiensi bahan aromatase inhibitor dalam mengarahkan pembentukan kelamin jantan suatu populasi ikan nila menjadi bias. Selain itu, penelitian yang dilakukan dititikberatkan pada pengaruh bahan aromatase inhibitor terhadap peningkatan nisbah kelamin jantan yang dihasilkan, sedangkan dampak penggunaan bahan tersebut terhadap performansi benih jantan yang dihasilkan, kaitannya dengan kegiatan budidaya seperti laju pertumbuhan, sintasan, keragaman ukuran dan


(19)

produksi pada waktu panen belum dilakukan. Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut, perlu dilakukan penelitian sex reversal menggunakan bahan ikan nila tunggal genotipe (XX, XY dan YY). Selain itu, juga perlu dilakukan penelitian secara komprehensif untuk mengetahui pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor terhadap nisbah kelamin yang dihasilkan serta mengevaluasi dampak pemberian bahan tersebut terhadap performansi benih yang dihasilkan mulai dari larva sampai tahap pembesaran.

Di sisi lain, keberhasilan pembentukan induk jantan super ikan nila di Indonesia memungkinkan produksi masal benih tunggal kelamin jantan dapat dilakukan dengan ”aman”. Pemijahan induk jantan super dengan betina normal akan menghasilkan benih tunggal kelamin jantan genotipe XY. Aplikasi di lapangan menunjukkan bahwa tidak 100% genotipe XY bekelamin fenotipe jantan. Dalam rangka menjawab permasalahan tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh penambahan bahan aromatase inhibitor untuk meningkatkan persentase kelamin jantan pada populasi turunan induk jantan super yang bergenotipe XY. Selain itu, performansi benih berkelamin jantan anakan induk jantan super ini jika dibandingkan dengan benih berkelamin jantan hasil sex reversal juga belum banyak diketahui.

Evaluasi performansi ikan nila genotipe YY, turunan induk jantan super genotipe XY dan populasi hasil sex reversal genotipe XX hingga tahap pembesaran ini dilakukan dalam rangka mengetahui benih-benih ikan nila terbaik yang akan digunakan untuk kegiatan budidaya.

Tujuan

1. Mengetahui pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor terhadap nisbah kelamin, bobot individu rata-rata dan sintasan benih tiga genotipe (XX, XY dan YY) ikan nila sampai tahap pendederan.

2. Mengevaluasi dampak pemberian bahan aromatase inhibitor terhadap performansi benih meliputi bobot dan panjang individu, keragaman ukuran, sintasan, food conversion ratio, bobot panen serta perkembangan organ reproduksi tiga genotipe (XX, XY dan YY) ikan nila pada tahap pembesaran.


(20)

Hipotesis

1. Pemberian bahan aromatase inhibitor berpengaruh terhadap nisbah kelamin, bobot individu dan sintasan benih tiga genotipe (XX, XY dan YY) ikan nila sampai tahap pendederan.

2. Pemberian bahan aromatase inhibitor berdampak terhadap bobot dan panjang individu, keragaman ukuran, sintasan, food conversion ratio, bobot panen serta perkembangan organ reproduksi tiga genotipe (XX, XY dan YY) ikan nila pada tahap pembesaran.


(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan nila

Ikan nila (Oreochromis niloticus) termasuk dalam family Chiclidae. Ciri yang spesifik pada ikan nila adalah adanya garis vertikal berwarna gelap di tubuh berjumlah 6-9 buah dan di sirip ekor sebanyak 6-7 buah. Garis-garis tersebut juga ditemui di sirip punggung dan sirip dubur (Trewavas 1983).

Gambar 1. Ikan nila dewasa

Dilihat dari ciri kelamin primer, ikan nila jantan dan betina dapat dibedakan berdasarkan jumlah lubang di sekitar anus. Pada ikan nila jantan terdapat 2 lubang yaitu lubang anus dan lubang urogenital, sedangkan pada ikan nila betina terdapat 3 lubang yaitu lubang anus, lubang ureter dan lubang genital. Ciri kelamin sekunder biasanya ditunjukkan dengan ukuran ikan jantan yang lebih besar dibanding dengan ikan betina (Rokhmulyenti 2003).

Pada ikan nila terdapat fenomena sexual dimorphism, yaitu suatu kondisi yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan nila jantan lebih cepat dibandingkan dengan ikan betina. Popma dan Masser (1999) menyebutkan bahwa laju pertumbuhan ikan nila jantan 2 kali lebih cepat dibandingkan dengan ikan nila betina. Ditambahkan oleh Griffin (2005) bahwa selain tumbuh lebih cepat, nila i rasio konversi pakan ikan nila jantan juga lebih baik dibanding ikan nila betina. Beberapa penelitian lainnya juga melaporkan bahwa budidaya ikan nila tunggal kelamin jantan menghasilkan produksi yang lebih baik dengan waktu panen yang


(22)

lebih cepat (Rakocy & McGinty 1989; Tave 1993; Mair et al. 1995; Tave 1996; Chapman 2000; Dunham 2004; Gustiano 2006).

Kematangan seksual pada ikan nila dipengaruhi oleh umur, ukuran dan kondisi lingkungan. Populasi ikan nila yang berada pada perairan yang luas mencapai kematangan lebih lambat dibandingkan yang dipelihara di kolam. Sebagai gambaran, ikan nila pada beberapa danau di Afrika Timur matang kelamin pada umur 10-12 bulan pada ukuran 350-500 g. Jika dipelihara di kolam budidaya dengan kondisi optimal, ikan ini akan mencapai kematangan kelamin pada umur 5-6 bulan dengan ukuran 150-200 g, tetapi jika kondisi kolam budidaya tidak optimal, usia kematangan akan lebih lama sekitar 1-2 bulan tetapi akan memijah pada ukuran yang lebih kecil yaitu sekitar 20 g (Popma & Masser 1999).

Determinasi dan diferensiasi kelamin

Jenis kelamin individu ditentukan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Secara genetik, jenis kelamin ditentukan oleh kromosom dan sudah ditentukan sejak terjadinya proses pembuahan (Maty 1985). Yamamoto (1969) menyatakan jika faktor jantan lebih dominan daripada faktor betina maka zigot akan tumbuh dan berkembang menjadi jantan, demikian pula sebaliknya. Proses diferensiasi merupakan proses perkembangan gonad menjadi jaringan definitif. Hunter dan Donaldson (1983) menjelaskan bahwa proses ini terdiri dari serangkaian kejadian yang memungkinkan kelamin genotipe terekspresi menjadi kelamin fenotipe. Diferensiasi kelamin merupakan proses yang relatif labil khususnya diferensiasi kelamin pada ikan dibanding vertebrata yang lebih tinggi. Kondisi ini memungkin kan untuk dilakukannya rekayasa kelamin. Periode labil ini dapat digambarkan melalui studi histologi pada saat diferensiasi kelamin. Beberapa hasil studi yang telah dilakukan menyimpulkan bahwa terdapat 2 kelompok utama proses diferensiasi kelamin yang terjadi pada ikan teleostei

(bertulang keras). Kelompok pertama adalah spesies yang berdiferensiasi pada saat menetas dan berakhir selama waktu yang relatif pendek, yaitu 10-40 hari. Kelompok kedua adalah spesies yang berdiferensiasi mulai pada tahap akhir


(23)

juvenil dan berakhir selama periode 150-500 hari (Yamazaki 1983; Shelton & Jensen 1979, diacu dalam Pandian & Sheela 1995).

Walaupun determinasi kelamin individu pada awalnya ditentukan oleh genom individu tersebut, tetapi pengalihan dari kelamin genotipe ke kelamin fenotipe dilakukan melalui mekanisme biokimia yang dapat dipengaruhi oleh lingkungan (Chan & Yeung 1983). Ditambahkan oleh Dunham (1990) bahwa meskipun jenis kelamin genotipe ditentukan pada saat terjadinya fertilisasi, tetapi penetuan jenis kelamin fenotipe dipengaruhi oleh perkembangan individu tersebut. Jika selama perkembangan individu tersebut diintervensi dengan bahan-bahan tertentu, misalnya hormon androgen atau estrogen, maka perkembangan gonad dapat berlangsung secara berlawanan dengan yang seharusnya.

Sex reversal

Sex reversal merupakan suatu teknik untuk mengubah jenis kelamin secara buatan dari ikan jantan menjadi betina atau sebaliknya. Borg (1994) menyatakan bahwa sex reversal merupakan teknik pembalikan jenis kelamin pada saat diferensiasi kelamin, yaitu pada saat otak dan embrio masih berada pada keadaan

bi-potential dalam pembentukan kelamin secara fenotipe (morfologis, tingkah laku dan fungsi). Hal ini dijelaskan pula oleh Yamamoto (1969) bahwa perubahan kelamin secara buatan akan sempurna jika dilakukan pada saat mulainya proses diferensiasi kelamin dan berlanjut sampai diferensiasi kelamin terjadi.

Hormon steroid

Salah satu teknik sex reversal adalah dengan memberikan hormon steroid pada fase labil kelamin. Pada beberapa spesies ikan jenis teleost gonochoristic, fisiologi kelamin dapat dengan mudah dimanipulasi melalui pemberian hormon steroid (Piferrer et al. 1994). Nagy et al. (1981) menjelaskan bahwa keberhasilan manipulasi kelamin pada ikan menggunakan hormon dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis dan umur ikan, dosis hormon, lama waktu dan cara pemberian hormon serta lingkungan tempat pemberian hormon dilakukan. Ditekankan oleh Hunter dan Donaldson (1983) bahwa keberhasilan pemberian


(24)

hormon sangat tergantung pada interval waktu perkembangan gonad, yaitu pada saat gonad dalam keadaan labil sehingga mudah dipengaruhi oleh hormon.

Hormon steroid yang dihasilkan oleh jaringan steroidogenik pada gonad terdiri atas hormon androgen untuk maskulinisasi, estrogen untuk feminisasi dan progestin yang berhubungan dengan proses kehamilan (Hadley 1992). Namun, pada tahap perkembangan gonad belum terdiferensiasi menjadi jantan atau betina, hormon steroid belum terbentuk sehingga pembentukan gonad dapat diarahkan dengan menggunakan hormon steroid sintetik (Hunter & Donaldson 1983). Salah satu jenis hormon steroid sintetik yang banyak digunakan untuk proses sex reversal pada ikan, khususnya ikan nila, adalah hormon 17a-methyltestosterone (mt). Hormon 17a-mt merupakan hormon androgen yang bersifat stabil dan mudah dalam penanganan (Yamazaki 1983). Pemberiannya dapat dilakukan secara oral (Misnawati 1997), perendaman embrio alevin maupun larva (Laining 1995) maupun implantasi dan injeksi (Mirza & Shelton 1988).

Aromatase dan Aromatase Inhibitor

Selain dengan pemberian hormon steroid, diferensiasi kelamin juga dipengaruhi oleh ekspresi dari gen yang menghasilkan enzim aromatase (Patino 1997). Aromatase adalah enzim cytochrome P-450 yang mengkatalis perubahan dari androgen menjadi estrogen. Aktivitas enzim aromatase terbatas pada daerah dengan target estradiol dan berfungsi untuk mengatur jenis kelamin, reproduksi dan tingkah laku (Callard et al. 1990). Ada 2 bentuk gen aromatase pada ikan yaitu aromatase otak dan aromatase ovari. Aromatase otak berperan sebagai pengatur perilaku sex spesifik pada mamalia dan burung (Schlinger & Callard 1990, diacu dalam Melo & Ramsdell 2001) dan juga mengatur reproduksi pada ikan (Pasmanik et al. 1988, diacu dalam Melo & Ramsdell 2001). Aktivitas enzim aromatase pada otak teleostei 100-1000 kali lebih tinggi dibanding pada mamalia. Aktivitas enzim aromatase ovari kurang dari 1/10 kali aktivitas enzim aromatase otak (Gelinas & Callard 1993, diacu dalam Tchaudakova & Callard 1998).

Fungsi cytocrome P-450 pada determinasi jenis kelamin telah teruji karena merupakan enzim yang bertanggung jawab dalam proses aromatisasi dari androstenedione menjadi estrone atau testosterone menjadi estradiol-17ß


(25)

(Jeyasuria et al. 1986, diacu dalam Kwon et al. 2000). Aktivitas enzim aromatase berkorelasi dengan struktur gonad, yaitu larva dengan aktivitas aromatase rendah akan mengarah pada terbentuknya testis, sedangkan aktivitas aromatase yang tinggi akan mengarah pada terbentuknya ovari (Sever et al. 1999).

Pada ikan tilapia, sel yang memproduksi enzim aromatase positif terdapat pada gonad XX berumur 7 hari setelah menetas. Aromatase ini penting bagi sintes is estrogen yang selanjutnya akan mempengaruhi penentuan jenis kelamin. Aromatase diekspresikan pada gonad XX 10 hari sampai dengan 2 minggu sebelum diferensiasi ovari (Brodie 1991). Selain pada genotipe XX, aktivitas enzim aromatase juga terdeteksi pada genotipe XY dengan tingkat yang lebih rendah (D’Cotta et al. 2001).

Aromatase inhibitor berfungsi untuk menghambat kerja enzim aromatase dalam sintesis estrogen. Adanya penghambatan ini mengakibatkan terjadinya penurunan konsentrasi estrogen yang mengarah kepada tidak aktifnya transkripsi gen aromatase sebagai feedback-nya (Sever et al. 1999). Penurunan rasio estrogen terhadap androgen menyebabkan terjadinya perubahan penampakan dar i betina menjadi menyerupai jantan, dengan kata lain terjadi maskulinisasi karakteristik seksual sekunder (Davis et al. 1990). Secara umum, aromatase inhibitor

menghambat aktivitas enzim melalui 2 cara, yaitu dengan menghambat proses transkripsi gen aromatase sehingga mRNA tidak terbentuk dan sebagai konsekuensinya enzim aromatase tidak ada (Sever et al. 1999). Cara kedua adalah melalui cara bersaing dengan substrat selain testosterone sehingga aktivitas enzim aromatase tidak berjalan (Brodie 1991).

Pada beberapa spesies, penghambatan aromatase menyebabkan pengaruh maskulinisasi sama seperti pengaruh androgen (Kwon et al. 2000). Pada ikan salmon, penambahan aromatase inhibitor jenis imidazole mampu menghasilkan jantan fungsional sebesar 20% melalui perendaman telur selama 2 jam dengan dosis 10 mg/liter (Piferrer et al. 1994). Pada ikan nilem, perendaman telur selama 4 jam dengan dosis 45 mg/liter mampu menghasilkan 84,83% anakan berkelamin jantan (Wijayanti 2002). Pada ikan nila merah, perendaman embrio dengan dosis 30 mg/liter menghasilkan anakan berkelamin jantan sebesar 82,22% (Wulansari 2002), bahkan hasil penelitian Kwon et al. (2000) mendapatkan hasil populasi


(26)

ikan nila hampir 100% jantan melalui penambahan aromatase inhibitor jenis fadrozole pada pakan dengan dosis 400 dan 500 mg/kg pakan.

Genetically Male Tilapia

Genetically Male Tilapia (GMT) diperoleh dengan mengawinkan ikan nila jantan super (supermale) yang bergenotipe YY dangan induk betina normal yang bergenotipe XX. Perkawinan antara jantan super dengan betina normal diperkirakan akan menghasilkan keturunan 100% berkelamin jantan jika sistem determinasi kelamin dari spesies tersebut hanya melibatkan kromosom kelamin X dan Y (Mair et al. 1997). Namun dalam perkembangan lebih lanjut, diferensiasi kelamin ikan tidak hanya ditentukan oleh faktor genetik, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, photoperiod, salinitas dan kepadatan. Selain itu, diferensiasi kelamin ikan juga dipengaruhi oleh adanya interaksi antara faktor genetik dan lingkungan (Tave 1993).

Secara umum, pembentukan ikan nila jantan super dilakukan melalui suatu proses yang cukup panjang. Pada awal pembentukannya, benih ikan nila normal diberi hormon estrogen untuk mendapatkan induk betina fungsional bergenotipe XY. Kepastian induk betina fungsional tersebut dilakukan melalui uji anakan (progeny). Setelah didapatkan induk betina fungsional bergenotipe XY kemudian dikawinkan dengan induk jantan normal bergenotipe XY. Secara teori, anakan yang dihasilkan akan terdistribusi sebanyak 25% berkelamin betina (genotipe XX), 50% berkelamin jantan (genotipe XY) dan 25% berkelamin jantan (genotipe YY). Untuk mengidentifikasi genotipe individu, anakan dipelihara sampai tahap induk, kemudian dilakukan uji anakan (progeny) kedua. Uji anakan ini ditujukan untuk mendapatkan induk jantan bergenotipe YY yang dicirikan dengan anakannya yang 100% berkelamin jantan. Selanjutnya jika induk- induk jantan bergenotipe YY tersebut dikawinkan dengan induk- induk betina normal (genotipe XX) akan menghasilkan anakan 100% bergenotipe XY (Genetically Male Tilapia) (Tave 1993).


(27)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan waktu

Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika dan kolam percobaan pada Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Jl. Raya 2 Sukamandi, Subang, Jawa Barat pada Bulan Oktober 2008 sampai Juli 2009.

Metode penelitian

Penelitian dibagi menjadi 2 tahap. Tahap 1 adalah evaluasi pemberian bahan aromatase inhibitor terhadap nisbah kelamin, bobot individu dan sintasan benih 3 genotipe ikan nila (XX, XY dan YY). Tahap 2 adalah evaluasi performansi benih 3 genotipe ikan nila (XX, XY dan YY) yang diberi penambahan bahan aromatase inhibitor pada tahap pembesaran meliputi bobot dan panjang individu, keragaman ukuran, sintasan, konversi rasio pakan, bobot panen dan perkembangan organ reproduksi. Secara keseluruhan, tahapan penelitian dari percobaan tahap 1 sampai tahap 2 disajikan secara skematik pada Gambar 2.

Percobaan 1. Pengaruh pe mberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah r ancangan faktorial, 2 faktor. Faktor uji 1 terdiri atas 3 taraf, yaitu pemberian bahan aromatase inhibitor, penambahan hormon 17a-mt sebagai kontrol (+) dan tanpa penambahan bahan apapun sebagai kontrol (-). Faktor uji 2 juga terdiri atas 3 taraf, yaitu genotipe ikan nila XX, XY dan YY. Sebagai pembanding digunakan populasi ikan nila genotipe campuran antara XX dan XY. Masing-masing perlakuan dilakukan pengulangan 4 kali.

Bahan utama percobaan berupa larva ikan nila genotipe XX diperoleh dengan mengawinkan induk ikan nila jantan genotipe XX dengan induk betina normal. Larva ikan nila genotipe XY diperoleh dengan mengawinkan induk ikan nila jantan genotipe YY varietas GESIT dengan induk betina normal, sedangkan


(28)

larva genotipe YY diperoleh dengan mengawinkan induk ikan nila jantan genotipe YY varietas GESIT dengan induk betina genotipe YY. Induk ikan nila jantan genotipe YY dan nila jantan genotipe XX berasal dari BBPBAT Sukabumi, sedangkan induk betina yang digunakan adalah varietas NIRWANA (Nila Ras Wanayasa) yang berasal dari BPBI Wanayasa. Khusus larva genotipe YY diperoleh dari BBPBAT, Sukabumi. Hal ini karena induk betina genotipe YY hanya tersedia di institusi tersebut dan tidak diperjual-belikan. Sebagai populasi pembanding digunakan populasi larva ikan nila genotipe campuran XX dan XY, diperoleh dengan mengawinkan induk jantan normal dengan induk betina normal. Induk jantan dan betina yang digunakan dalam perkawinan normal ini adalah ikan nila varietas NIRWANA.

Sebelum pemijahan, dilakukan pemilihan induk dari masing-masing genotipe dan dipelihara secara terpisah antara jantan dan betina. Setelah melalui masa conditioning selama 2 minggu, induk jantan dan betina dimasukkan ke kolam pemijahan ukuran 4x4x0,75 m. Jumlah induk yang dipijahkan untuk masing-masing kombinasi sebanyak 10 jantan dengan 20 betina. Setelah 10 hari di kolam pemijahan, dilakukan pengecekan induk betina. Telur yang terdapat di dalam mulut induk- induk betina yang memijah diambil dan ditampung dalam wadah berisi air yang diaerasi. Selanjutnya telur hasil koleksi dimasukkan ke dalam bak penetasan dengan kepadatan 3.000 butir/bak. Jumlah bak penetasan yang digunakan untuk masing-masing kombinasi pemijahan sebanyak 2 unit. Selanjutnya larva hasil penetasan telur ditampung dalam bak fiber volume 500 liter secara terpisah untuk masing-masing genotipe. Pada hari ke 5 setelah menetas, larva ditebar dalam akuarium ukuran 60x40x40 cm yang diisi 75 liter air dan diaerasi. Padat tebar yang digunakan adalah 4 ekor/l atau setara dengan 300 ekor per akuarium. Jumlah akuarium yang digunakan sebanyak 3 perlakuan x 3 genotipe x 4 ulangan = 36 buah, ditambah 4 buah akuariu m untuk populasi campuran XX-XY sehingga jumlah total akuarium sebanyak 40 buah.

Bahan aromatase inhibitor yang digunakan adalah imidazole. Pemberian imidazole dilakukan melalui pakan, yaitu dengan mencampur 25 mg imidazole yang dilarutkan dalam alkohol 70% ke dalam 1 kg pakan komersial dengan kandungan protein kasar 40% (Ariyanto et al. 2009). Penambahan hormon 17a-mt


(29)

sebagai kontrol (+) juga dilakukan melalui pakan, yaitu dengan mencampur 60 mg hormon 17a-mt yang sudah dilarutkan dalam alkohol 70% ke dalam 1 kg pakan komersial dengan kandungan protein kasar 40%. Pakan yang diberikan untuk populasi kontrol (-) dan populasi campuran XX-XY berupa pakan komersial yang sama dengan pakan di atas tanpa penambahan bahan apapun. Pemberian pakan kepada larva dimulai pada hari 7 setelah menetas dan dilakukan secara ad-satiasi dengan frekuensi 5-6 kali sehari. Pemberian perlakuan melalui pakan dilakukan selama 28 hari.

Selanjutnya 10 populasi benih ikan nila tersebut dipindahkan ke dalam 40 unit hapa pendederan ukuran 2x2x1 m yang ditempatkan di kolam tanah ukuran 400 m2. Jarak antar masing-masing hapa adalah 0,5 m. Kepadatan benih yang ditebar sebanyak 250 ekor/hapa. Selama 60 hari masa pendederan, benih diberi pakan komersial dengan kandungan protein 32% secara ad-satiasi dengan frekuensi 3 kali sehari yaitu pagi, siang dan sore.

Pengamatan

1. Persentase kelamin jantan. Persentase kelamin jantan =

? ? ?

? ? ? ? ?

N? = Jumlah individu berkelamin jantan

N = Jumlah total individu yang diamati. 2. Bobot individu

Bobot individu ditimbang menggunakan alat timbang digital dengan ketelitian 0,01 g. Jumlah sample sebanyak 30 ekor setiap ulangan pada semua perlakuan. Penimbangan bobot individu sample dilakukan setiap 30 hari. 3. Sintasan

Sintasan dihitung berdasarkan jumlah individu yang mampu bertahan hidup sampai batas akhir percobaan. Nilai sintasan dihitung berdasarkan formula sebagai berikut :

Sintasan = ? ?

? ?

? ? ? ? ?

Nt = Jumlah individu pada waktu t (akhir percobaan)


(30)

4. Kualitas air

Pengamatan dilakukan terhadap air media pemeliharaan di akuarium selama perlakuan dan di kolam pendederan. Parameter kualitas air yang diamati meliputi suhu, kandungan oksigen terlarut, pH, amonia dan nitrit. Pengamatan menggunakan alat ukur digital dan dilakukan setiap 2 minggu sekali. Termometer maksimum-minimum digunakan untuk mengukur kisaran suhu maksimal dan minimal pada media perairan.

Analisis data

Data persentase kelamin jantan, bobot individu dan sintasan benih ikan nila dianalisis menggunakan analysis of variance (ANOVA). Jika hasilnya berbeda nyata, maka untuk membedakan nila i tengah antar semua genotipe dan perlakuan digunakan uji wilayah ganda Duncan (Duncan’s multiple range test) pada taraf kepercayaan 95%. Tabulasi dan analisis data di komputer dilakukan menggunakan program Excell 2007 dan SPSS versi 12. Data kualitas air dianalisis secara deskriptif dan dibandingkan denganreferensi yang ada.

Percobaan 2. Performansi tiga genotipe ikan nila yang diberi imidazole, sebagai bahan aromatase inhibitor, pada tahap pembesaran.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah r ancangan faktorial, 2 faktor. Faktor uji 1 terdiri atas 3 taraf, yaitu pemberian imidazole, penambahan hormon 17a-mt sebagai kontrol (+) dan tanpa penambahan bahan apapun sebagai kontrol (-). Faktor uji 2 terdiri atas 3 taraf, yaitu genotipe ikan nila XX, XY dan YY. Sebagai pembanding digunakan populasi ikan nila genotipe campuran antara XX dan XY. Masing-masing perlakuan dilakukan pengulangan 4 kali.

Bahan utama pada percobaan 2 adalah benih ikan nila hasil percobaan 1 yang berumur 95 hari setelah menetas, terdiri atas 8 populasi benih berkelamin jantan, 1 populasi benih berkelamin betina dan 1 populasi benih berkelamin campuran antara jantan dan betina dalam proporsi yang sama. Delapan populasi benih berkelamin jantan terdiri atas dua populasi benih genotipe XX yang diberi imidazole dan hormon 17a-mt (kontrol (+)), tiga populasi benih genotipe XY (penambahan imidazole, kontrol (+) dan kontrol (-)) dan tiga populasi benih


(31)

genotipe YY (penambahan imidazole, kontrol (+) dan kontrol (-)). Populasi benih tunggal kelamin betina adalah populasi benih genotipe XX tanpa perlakuan, sedangkan 1 populasi benih berkelamin campuran adalah populasi benih genotipe XX-XY yang terdiri atas 50% jantan dan 50% betina. Selanjutnya 10 populasi benih ikan nila yang mempunyai bobot individu rata-rata relatif sama ditebar dalam 40 unit waring pembesaran ukuran 4x4x1,5 m yang ditempatkan di kolam tanah ukuran 400 m2. Penempatan masing-masing ulangan pada setiap perlakuan dilakukan secara acak. Namun demikian, benih dengan jenis kelamin jantan, betina dan campuran ditempatkan di kolam yang terpisah untuk menghindari terjadinya kematangan gonad lebih awal. Padat penebaran benih yang digunakan sebanyak 5 ekor/m2 sehingga jumlah benih di dalam masing-masing waring sebanyak 80 ekor. Selama 120 hari pemeliharaan, benih diberi pakan buatan komersial berbentuk pelet dengan kandungan protein 30-32%. Jumlah pakan yang diberikan pada 30 hari pertama sampai ke-empat secara berturut sebanyak 10; 7,5; 5 dan 2,5% dari biomasa ikan per hari. Pemberian pakan dilakukan dengan frekuensi 3 kali sehari yaitu pagi, siang dan sore.

Pengamatan

1. Bobot dan panjang individu

Bobot individu ditimbang menggunakan alat timbang digital dengan ketelitian 0,01 g sedangkan panjang diukur menggunakan mistar dengan ketelitian 0,1 cm. Jumlah sample sebanyak 30 ekor setiap perlakuan dan setiap ulangan. Pengamatan bobot dan panjang individu dilakukan setiap 30 hari. Sample yang telah diamati dimasukkan kembali dalam unit percobaan yang sama.

2. Keragaman ukuran

Keragaman ukuran bobot individu equivalen dengan nilai coefficient of variance (CV) karakter tersebut. Keragaman ukuran bobot dapat dihitung dengan formula sebagai berikut :

Keragaman ukuran = ? ?

?

? ? ? ? ?

SD = standar deviasi bobot individu setiap perlakuan


(32)

3. Sintasan

Sintasan dihitung berdasarkan jumlah individu yang mampu bertahan hidup sampai batas akhir percobaan. Nilai sintasan dihitung berdasarkan formula : Sintasan = ? ?

? ?

? ? ? ? ?

Nt = Jumlah individu pada waktu t (akhir percobaan)

N0 = Jumlah individu pada waktu awal penebaran. 4. Food conversion ratio

FCR dihitung berdasarkan jumlah pakan yang diberikan dan pertambahan bobot yang dihasilkan sampai akhir percobaan.

FCR =

? ?

?? ?? ? ? ?

Wp= bobot total pakan yang diberikan Wt = bobot total panen

W0= bobot total awal 5. Bobot panen

Bobot panen dihitung menggunakan alat timbang digital dengan ketelitian 0,01 g. Penimbangan dilakukan pada setiap perlakuan dan setiap ulangan. 6. Perkembangan organ reproduksi

Perkembangan organ reproduksi diamati pada akhir percobaan yaitu dengan menghitung indeks gonad somatik (IGS) dan melakukan analisis histologis. Jumlah sample yang dibedah sebanyak 5 ekor setiap ulangan. Sample diambil secara acak pada waktu panen. Indeks gonad somatik dihitung sesuai dengan formula sebagai berikut :

IGS = ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

? ? ? ?

7. Kualitas air

Parameter kualitas air media pemeliharaan meliputi suhu, kandungan oksigen terlarut, pH, amonia dan nitrit. Pengamatan menggunakan alat ukur digital dan dilakukan setiap 2 minggu sekali. Pengukuran dilakukan pada kedalaman ±40 cm dari permukaan air. Pada awal, pertengahan dan akhir percobaan dilakukan pengukuran suhu dan kandungan oksigen terlarut setiap 2 jam sekali selama 24 jam.


(33)

Analisis data

Bobot dan panjang individu, sintasan, keragaman individu, food conversion ratios dan bobot panen dianalisis menggunakan prosedur analysis of variance ( ANOVA). Jika hasilnya berbeda nyata, maka untuk membedakan nila i tengah antar semua genotipe dan perlakuan digunakan uji wilayah ganda Duncan (Duncan’s multiple range test) pada taraf kepercayaan 95%. Tabulasi dan analisis data di komputer dilakukan menggunakan program Excell 2007 dan SPSS versi 12. Data kualitas air dianalisis secara deskriptif dan dibandingkan dengan referensi yang ada.


(34)

Gambar 2. Skema pelaksanaan penelitian dari percobaan tahap 1 sampai tahap 2.

10 induk jantan XX 20 betina XX

10 induk jantan YY 20 betina XX

10 induk jantan YY 20 betina YY

10 induk jantan XY 20 betina XX

6000 btr telur, 2 bak penetasan telur

3000 btr telur, 1 bak penetasan telur 6000 btr telur, 2 bak

penetasan telur 6000 btr telur, 2 bak

penetasan telur

5000 ekor larva XX

5000 ekor larva XY

2500 ekor larva XX-XY 5000 ekor larva YY

akuarium (XX-MT) 300 ekor x 4 akuarium (XX-AI)

300 ekor x 4 akuarium (XX)

(XX-MT) 250 ekor x 4 hapa

(XX-AI) 250 ekor x 4 hapa

(XX)

300 ekor x 4

akuarium 250 ekor x 4 hapa

(XX-MT) 80 ekor jantan x 4 jaring

(XX-AI) 80 ekor betina x 4 jaring

(XX)

(40 ekor jantan + 40 ekor betina) x 4 jaring (XX-XY) 300 ekor x 4

akuarium (MT) 300 ekor x 4 akuarium (AI) 300 ekor x 4 akuarium (kontrol)

300 ekor x 4 akuarium (MT)

300 ekor x 4 akuarium (AI) 300 ekor x 4 akuarium (kontrol)

250 ekor x 4 hapa (MT) 250 ekor x 4 hapa

(AI) 250 ekor x 4 hapa

(kontrol)

250 ekor x 4 hapa (MT) 250 ekor x 4 hapa

(AI) 250 ekor x 4 hapa

(kontrol)

80 ekor jantan x 4 jaring (XY-MT) 80 ekor jantan x 4 jaring

(XY-AI) 80 ekor jantan x 4 jaring

(XY)

80 ekor jantan x 4 jaring (YY-MT) 80 ekor jantan x 4 jaring

(YY-AI) 80 ekor jantan x 4 jaring

(YY)

Pemijahan induk H1-H10

Koleksi dan penetasan telur

H11-H20 Pemeliharaan larva H21-H27 Perlakuan H28-H56 Pendederan H57-H116 Pembesaran H117-H236


(35)

HASIL DAN BAHASAN

Hasil penelitian ini dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama adalah hasil percobaan tahap 1 meliputi nisbah kelamin, bobot individu dan sintasan benih ikan nila sampai umur 95 hari setelah menetas. Bagian kedua adalah hasil percobaan tahap 2 meliputi bobot dan panjang individu, keragaman ukuran karakter bobot, sintasan, FCR dan bobot panen serta perkembangan organ reproduksi sampai benih berumur 215 hari setelah menetas.

Percobaan 1. Pengaruh pe mberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai akhir tahap pendederan.

Persentase jumlah individu berkelamin jantan, bobot individu rata-rata dan sintasan pada masing-masing genotipe dan perlakuan disajikan pada Tabel 1. Analisis dilakukan pada akhir tahap pendederan, yaitu pada saat benih beumur 95 hari. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa genotipe dan perlakuan maupun interaksi antara genotipe dan perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap persentase ikan nila berkelamin jantan (lampiran 2). Pemberian imidazole sebagai bahan penghambat sekresi enzim aromatase secara nyata meningkatkan persentase individu berkelamin jantan pada genotipe XX, dari 7,55% menjadi 82,44%. Penambahan imidazole pada genotipe YY secara nyata juga meningkatkan persentase kelamin jantan dari 83,01% menjadi 97,12%. Pada genotipe XY, pember ian imidazole tidak berpengaruh terhadap persentase kelamin jantan populasi tersebut. Semua populasi, kecuali genotipe XX tanpa perlakuan, secara nyata mempunyai persentase kelamin jantan lebih tinggi daripada populasi campuran XX-XY. Secara umum, genotipe XX dan XY mempunyai bobot individu rata-rata lebih baik dibanding genotipe YY pada semua perlakuan maupun populasi campuran XX-XY (lampiran 3). Pada percobaan ini, genotipe YY mempunyai bobot individu rata-rata paling kecil dibandingkan genotipe lainnya. Selain itu, genotipe YY pada semua perlakuan secara nyata juga mempunyai tingkat sintasan paling rendah dibandingkan dengan genotipe lainnya (lampiran 4).


(36)

Tabel 1 Persentase kelamin jantan, bobot individu rata-rata dan sintasan benih ikan nila sampai akhir tahap pendederan

Genotipe Perlakuan Persentase jantan (%)

Bobot (g)

Sintasan (%) Imidazole 82,44±8,67c 20,93±2,26c 93,30±3,42c

XX Kontrol (+) 82,42±2,29c 18,23±2,12c 94,20±3,27c Kontrol (-) 7,55±2,83a 18,69±2,12c 93,60±2,17c

Imidazole 82,03±6,29c 20,44±2,45c 95,50±3,63c XY Kontrol (+) 85,13±8,24c 20,78±2,54c 93,60±4,88c Kontrol (-) 79,81±1,66c 18,63±2,29c 86,65±502b Imidazole 97,12d 9,43±4,73a 87,20b YY* Kontrol (+) 99,10d 9,70±4,54a 77,20a Kontrol (-) 83,01c 9,21±3,93a 76,80a XX-XY -- 56,56±2,30b 14,74±2,46b 92,40±3,12c Keterangan : XX : hasil perkawinan induk jantan XX dengan betina XX, XY : hasil perkawinan

induk jantan YY dangan betina XX, YY : hasil perkawinan induk jantan YY dengan betina YY, XX-XY : hasil perkawinan induk jantan XY dengan betina XX. Kontrol (+) : pakan dengan penambahan hormon 17a-mt, kontrol (-) : pakan tanpa penambahan bahan apapun. Nilai yang diikuti huruf superscript yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata, P>0,05. Tanda * : Semua perlakuan genotipe YY dilakukan tanpa ulangan karena keterbatasan jumlah individu.

Sebagai data pendukung, dilakukan analisis kualitas air media pemeliharaan di akuarium dan di kolam pendederan. Hasil analisis kualitas air media pemeliharaan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil analisis kualitas air media pemeliharaan di akuarium dan di kolam pendederan ikan nila

Parameter Akuarium Kolam pendederan

Suhu (ºC) 24,45 – 26,60 28,23 – 29,75 O2 terlarut (mg/l) 3,64 – 7,34 1,23 – 4,00

pH 7,91 – 8,22 7,26 – 7,33

NO2

(mg/l) 0,03 – 0,13 0,04 – 0,05


(37)

Bahasan

Diferensiasi kelamin ikan dipengaruhi oleh faktor internal (genetik), eksternal (lingkungan) maupun interaksi antara keduanya. Faktor genetik yang mempengaruhi arah diferensiasi kelamin antara lain sistem hormonal (endokrin) dan aksi gen pada kromosom maupun autosom. Sedangkan pengaruh lingkungan antara lain penambahan bahan-bahan tertentu seperti hormon (exogenous hormone) dan bahan kimia lainnya serta kondisi fisiko-kimia media pemeliharaan ikan selama periode labil kelamin (Devlin & Nagahama 2002).

Pengaruh penambahan suatu bahan pada organisme dalam diferensiasi kelamin dapat dilihat melalui beberapa parameter antara lain nisbah jenis kelamin, pertumbuhan dan sintasan. Nagy et al. (1981) menjelaskan bahwa tingkat keberhasilan suatu bahan dalam mempengaruhi pengarahan pembentukan jenis kelamin dipengaruhi oleh umur organisme, waktu pemberian, lama waktu pemberian dan dosis pemberian serta faktor lingkungan. Ditambahkan oleh Hunter dan Donaldson (1983) bahwa keberhasilan pemberian bahan tambahan sangat tergantung pada interval waktu perkembangan gonad, yaitu pada saat gonad dalam keadaan labil sehingga mudah dipengaruhi oleh bahan tersebut. Menurut Yamazaki (1983), usaha pengubahan jenis kelamin setiap spesies harus dilakukan pada waktu yang tepat dan jangka waktu yang tepat pula. Hal ini berkaitan dengan diferensiasi yang bersifat khas pada setiap spesies. Pemberian bahan tertentu yang berakhir sebelum masa diferensiasi kelamin hasilnya tidak efektif. Hal ini karena sel-sel germinal sebelum masa diferensiasi kelamin tidak memberikan respon terhadap bahan tertentu tersebut. Demikian juga pemberian perlakuan yang dimulai setelah masa diferensiasi kelamin. Yamamoto (1969) menyatakan bahwa pengubahan kelamin akan sempurna jika perlakuan mulai diberikan pada saat dimulainya diferensiasi kelamin dan berlanjut sampai periode diferensiasi kelamin berakhir.

Penambahan imidazole sebagai bahan penghambat sekresi enzim aromatase pada populasi ikan nila genotipe XX menghasilkan persentase individu berkelamin jantan sebesar 82,44%. Jika dibandingkan dengan populasi kontrol (-) genotipe XX yang mempunyai persentase individu berkelamin jantan sebesar 7,55%, hasil ini menunjukkan bahwa pemberian imidazole dengan dosis 25 mg/kg


(38)

pakan cukup efektif mempengaruhi proses diferensiasi kelamin ikan nila. Mengacu kepada beberapa teori diatas, hasil percobaan ini menunjukkan bahwa waktu awal perlakuan benih ikan nila yaitu pada umur 7 hari setelah menetas sudah tepat. Pada umur 7 hari setelah menetas, benih mulai mengalami proses diferensiasi kelamin, tetapi belum terjadi pembentukan organ kelamin secara definitif. Demikian juga lama waktu pemberian imidazole dalam percobaan ini relatif sesuai dalam mempengaruhi terbentuknya kelamin jantan. Hasil percobaan ini sesuai dengan pernyataan Brodie (1991) bahwasanya pada ikan tilapia, sel yang memproduksi aromatase positif terdapat pada gonad XX benih umur 7 hari setelah menetas. Selanjutnya aromatase diekspresikan pada gonad XX pada saat 10 hari sampai dengan 2 minggu sebelum diferensiasi ovari. Seperti telah diketahui bahwa aromatase merupakan enzim yang bertanggung jawab pada sintesis estrogen dari androgen. Pemberian aromatase inhibitor dalam pakan benih memberikan pengaruh terhadap pembentukan jenis kelamin, karena bahan ini menghambat kerja enzim aromatase di otak dalam bio-sintesis estrogen (proses aromatisasi) dari androgen. Mekanismenya adalah dengan cara menghambat proses transkripsi dari gen aromatase sehingga mRNA tidak terbentuk. Ketiadaan mRNA aromatase berakibat pada tidak berlangsungnya proses translasi dalam rangka pembentukan enzim aromatase. Hal ini mengakibatkan laju konversi androgen menjadi estrogen menurun sehingga terjadi penurunan konsentrasi estrogen dibanding androgen. Penurunan konsentrasi estrogen ini selanjutnya mengarah pada tidak aktifnya transkripsi dari gen aromatase sebagai feedback-nya (Sever et al. 1999). Penelitian Ankley et al. (2002) pada fathead minnow (Pimephales promelas) menunjukkan bahwa pemberian aromatase inhibitor

secara nyata menurunkan aktivitas aromatase otak sehingga mengakibatkan sintesis estradiol dan produksi vitelogenin menurun. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Lee et al. (2002) pada ikan protandi black porgy (Acanthopagrus schlegeli) yang menunjukkan bahwa pemberian bahan aromatase inhibitor secara nyata menurunkan tingkat aktivitas aromatase otak serta meningkatkan konsentrasi plasma 11-ketotestosterone dan LH yang merupakan produk hormon karakteristik pada individu jantan. Fenomena yang sama diduga terjadi pada percobaan ini. Penurunan aktivitas aromatase akan mengakibatkan penurunan


(39)

rasio estrogen terhadap androgen. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan penampakan dari betina menjadi menyerupai jantan, dengan kata lain terjadi maskulinisasi karakteristik seksual sekunder.

Penambahan hormon 17a-mt sebagai kontrol (+) juga berhasil meningkatkan persentase individu berkelamin jantan genotipe XX sebesar 82,42%. Menurut Phelps dan Popma (2000), hormon 17a-mt yang merupakan hormon sintetis berperan sebagai hormon androgenik yang mengarahkan perkembangan gonad ke pembentukan kelamin jantan. Penambahan hormon androgen yang diberikan bersama pakan pada percobaan ini diduga meningkatkan level testosterone dalam tubuh ikan nila sehingga mempengaruhi proses diferensiasi ke arah terbentuknya kelamin jantan.Hasil percobaan ini menunjukan bahwa penambahan imidazole dengan dosis 25 mg/kg pakan dapat meningkatkan persentase individu berkelamin jantan pada ikan nila setara dengan penambahan 60 mg hormon 17a-mt/kg pakan.

Pemberian imidazole pada genotipe XY menghasilkan persentase kelamin jantan sebesar 82,03%. Nilai ini tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol (-) genotipe XY sebesar 79,81%. Pemberian imidazole sebagai penghambat sekresi enzim aromatase pada genotipe XY diduga tidak terlalu berpengaruh terhadap aktivitas enzim aromatase. Hasil penelitian D’Cotta et al. (2001) menunjukkan bahwa penurunan aktifitas aromatase di otak ikan nila genotipe XY yang dipelihara pada suhu tinggi tidak sebesar penurunan aktivitas aromatase ikan nila genotipe XX yang dipelihara pada suhu yang sama. Aktivitas aromatase pada genetipe XX pada perlakuan tersebut mencapai 1/3 kali kondisi normal sedangkan pada genotipe XY pada perlakuan yang sama menghasilkan aktivitas aromatase sebesar 2/3 kali kondisi normal. Penelitian Lee et al. (2002) juga menunjukkan bahwa pemberian beberapa jenis aromatase inhibitor pada ikan black porgy betina secara signifikan menurunkan aktifitas aromatase, tetapi pemberian bahan yang sama pada populasi jantan tidak mengakibatkan penurunan aktivitas aromatase secara signifikan. Hal yang sama diduga terjadi pada percobaan ini. Rendahnya pengaruh imidazole terhadap aktivitas enzim aromatase pada genotipe XY menyebabkan proses diferensiasi kelamin berlangsung seperti pada populasi normal (kontrol (-) genotipe XX). Kondisi ini menghasilkan persentase kelamin


(40)

jantan pada kedua populasi tersebut tidak berbeda. Kontrol (+) genotipe XY pada percobaan ini menghasilkan persentase kelamin jantan sebesar 85,13%. Meskipun peningkatan persentase kelamin jantan yang dihasilkan lebih tinggi tetapi secara statistik tidak berbeda.

Pada genotipe YY, pemberian imidazole sebagai aromatase inhibitor

berpengaruh nyata dalam meningkatkan persentase individu berkelamin jantan. Pemberian imidazole pada populasi hasil persilangan YY supermale dengan betina YY ini menghasilkan persentase kelamin jantan sebesar 97,12%. Jika dibandingkan dengan kontrol (-) genotipe YY sebesar 83,01% menunjukkan bahwa imidazole efektif dalam mempengaruhi nisbah kelamin ikan nila genotipe YY. Selain adanya reduksi aktifitas aromatase sebagai akibat pemberian imidazole, peningkatan persentase individu berkelamin jantan pada populasi genotipe YY diduga dipengaruhi oleh aksi gen yang secara langsung linked

dengan kromosom Y. Pada genotipe yang mempunyai kromosom homogamet, diduga aksi gen ini bersifat epistasi (Tave, 1993). Kondisi yang sama juga terjadi pada genotipe XX, dimana pemberian imidazole mempunyai pengaruh yang nyata terhadap peningkatan jumlah individu berkelamin jantan. Pada genotipe XY yang notabene mempunyai kromosom heterogamet, aksi gen yang terjadi tidak bersifat epistasi sehingga pemberian imidazole tidak terlalu berdampak terhadap peningkatan individu berkelamin jantan. Pemberian bahan aromatase inhibitor

pada genotipe YY yang menghasilkan hampir 100% individu berkelamin jantan ini menjadi sesuatu yang sangat penting. Hal ini karena tujuan utama dari pembentukan YY supermale adalah untuk pembentukan induk jantan yang diharapkan dapat menghasilkan populasi anakan tunggal kelamin jantan.

Persentase kelamin jantan pada semua genotipe dan perlakuan pada percobaan ini tidak mencapai 100%. Seperti telah disampaikan di depan, selain ditentukan oleh faktor internal, diferensiasi kelamin ikan juga dipengaruhi oleh faktor eksternal. Salah satu faktor eksternal yang berpengaruh kuat terhadap arah diferensiasi kelamin ikan tilapia adalah suhu (Baroiller et al. 1999). Pemeliharaan ikan nila selama tahap diferensiasi kelamin pada suhu rendah cenderung akan menghasilkan persentase individu berkelamin betina lebih banyak. Selain suhu rendah, suhu yang berfluktusi juga cenderung menghasilkan individu berkelamin


(41)

betina lebih banyak. Dijelaskan oleh Phelps dan Popma (2000) bahwa sex reversal

ikan nila yang dilakukan pada suhu kurang dari 24°C akan mengurangi keberhasilan pembentukan individu berkelamin jantan dan juga akan berpengaruh terhadap penurunan laju pertumbuhan. Penelitian Varadaraj et al. ( 1994), diacu dalam Phelps dan Popma (2000) juga menunjukkan bahwa populasi ikan O. mossambicus yang dipelihara pada suhu rendah dan berfluktuasi antara 23-25 °C mempunyai jumlah individu betina lebih banyak dibandingkan dengan yang dipelihara pada suhu lebih tinggi dan stabil. Hasil analisis kualitas air pemeliharaan larva di akuarium selama percobaan relatif rendah dan berfluktuasi antara 24,45-26,60°C. Rendah dan relatif berfluktuasinya suhu pada media pemeliharaan tersebut diduga kuat menjadi salah satu faktor penyebab tidak tercapainya 100% individu yang berkelamin jantan pada percobaan ini. Selain suhu, beberapa faktor lingkungan media pemeliharaan larva yang diduga juga mempengaruhi proses diferensiasi kelamin antara lain pH (Rubin 1985), kepadatan (Olivier & Kaiser 1997), polusi (Andersson et al. 1999; Harries et al. 1999) dan interaksi sosial lainnya (Toguyeni et al. 1997).

Selain nisbah kelamin pada ketiga genotipe ikan nila yang diuji, pengamatan juga dilakukan terhadap karakter bobot individu dan sintasan. Pada percobaan ini, genotipe dan perlakuan maupun interaksi antara keduanya tidak mempengaruhi bobot ikan nila sampai akhir tahap pendederan kecuali pada genotipe YY. Genotipe YY mempunyai bobot individu rata-rata paling rendah dibandingkan semua populasi, berkisar antara 9,21-9,70 gram/ekor. Hasil ini berbeda dengan penelitian Saputra (2007) yang menerangkan bahwa sampai akhir masa pendederan, populasi benih ikan nila genotipe YY mempunyai bobot individu rata-rata tidak berbeda nyata dibandingkan benih ikan nila jantan hasil

sex reversal maupun GMT (Genetically Male Tilapia). Penelitian yang dilakukan Saputra (2007) di BBPBAT, Sukabumi menggunakan larva ikan nila yang diduga semuanya berasal dari sumber induk betina yang sama. Sedangkan pada percobaan ini, semua bahan percobaan berupa larva ikan nila didapatkan dari induk betina varietas Nirwana kecuali larva genotipe YY yang berasal dari BBPBAT, Sukabumi. Perbedaan sumber induk betina yang digunakan ini ditengarai sebagai penyebab perbedaan hasil antara kedua penelitian tersebut.


(42)

Selain itu, rendahnya bobot ikan nila genotipe YY pada percobaan ini diduga disebabkan adanya fenomena inbreeding. Inbreeding pada populasi genotipe YY terjadi karena keterbatasan jumlah individu terseleksi pada saat awal pembentukan induk jantan super genotipe YY maupun pada saat produksi masal induk jantan super genotipe YY pada tahap selanjutnya. Produksi masal induk jantan super genotipe YY dilakukan dengan menyilangkan induk jantan super genotipe YY dengan induk betina genotipe YY. Kedua induk bergenotipe YY ini berasal dari populasi yang sama sehingga peluang terjadinya inbreeding sangat tinggi. Namun demikian, rendahnya laju pertumbuhan ikan nila genotipe YY bukan menjadi masalah yang utama karena tujuan utama pembentukan ikan nila YY supermale

adalah untuk menghasilkan induk ikan nila yang secara genotipe mampu menghasilkan keturunan 100% berkelamin jantan, bukan menghasilkan ikan nila dengan laju pertumbuhan yang cepat.

Secara umum, populasi ikan nila genotipe XY dan XX mempunyai bobot individu rata-rata lebih baik dibandingkan dengan populasi campuran genotipe XX-XY. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya sharing energi untuk perkembangan gonad dan juga adanya pengaruh interaksi sosial. Meskipun masih relatif muda, ikan nila yang dipelihara secara campuran antara jantan dan betina diduga mempunyai perkembangan gonad lebih cepat dibandingkan populasi tunggal kelamin. Pada umur 95 hari setelah menetas, diameter oosit pada goand betina yang berasal dari populasi tunggal kelamin betina XX maupun campuran XX-XY relatif sama, yaitu sekitar 500-875 µm. Menurut Popma dan Masser (1999) bahwa ikan nila yang dipelihara di kolam akan mencapai kematangan gonad pada umur 5-6 bulan dengan bobot berkisar antara 150-200 gram. Selain itu, berdasarkan SNI No. 6138-2009 tentang induk ikan nila, disebutkan bahwa ikan nila matang gonad pada ukuran diameter oosit = 2.500 µm. Berdasarkan hal tersebut, mestinya populasi tunggal kelamin betina XX dan populasi campuran XX-XY mempunyai kondisi yang relatif sama. Namun demikian, meskipun diameter oosit antara kedua populasi tersebut relatif sama, hasil analisis histologis gonad ikan nila betina yang berasal dari populasi tunggal kelamin betina XX dan populasi campuran XX-XY menunjukkan adanya perbedaan. Oosit tertua pada ovari ikan yang berasal dari populasi tunggal kelamin betina XX baru mencapai


(43)

tahap perinukleolar (Gambar 3), sedangkan pada ovari ikan yang berasal dari populasi campuran XX-XY telah ditemukan oosit yang berada pada tahap vesikula kuning telur (Gambar 4), yaitu satu tahap lebih lanjut dibandingkan tahap perinukleolar. Bedasarkan hasil tersebut, meskipun pada umur 95 hari ikan nila belum mencapai tahap pematangan telur, tetapi perkembangan organ reproduksi pada populasi campuran XX-XY yang relatif lebih cepat diduga mempengaruhi laju pertumbuhan. Namun demikian, hasil percobaan sampai tahap pendederan ini belum bisa menggambarkan kondisi yang sebenarnya terjadi pada genotipe-genotipe ikan nila yang diuji. Untuk mengklarifikasi hal ini, kegiatan dilanjutkan dengan percobaan 2, yaitu evaluasi performansi benih ikan nila pada tahap pembesaran di kolam.

Secara umum, kualitas air media pemeliharaan ikan di dalam akuarium maupun kolam pendederan relatif sesuai dengan kebutuhan hidup ikan. Hal ini berdampak terhadap relatif tingginya nilai sintasan ikan nila yaitu antara 76,80-95,50%. Relatif lebih rendahnya sintasan ikan nila genotipe YY pada percobaan ini mendukung hasil penelitian Saputra (2007) yang menunjukkan bahwa populasi nila YY mempunyai tingkat sintasan lebih rendah dibanding populasi nila hasil

sex reversal maupun GMT.

Gambar 3 Hasil analisis histologis ovari ikan nila dari populasi tunggal kelamin betina XX, umur 95 hari. CN : tahap kromatin nukleolar, P : perinukleolar.

CN

P


(44)

Gambar 4 Hasil analisis histologis ovari ikan nila dari populasi campuran XX-XY, umur 95 hari. CN : tahap kromatin nukleolar, P : perinukleolar, YV : vesikula kuning telur.

Percobaan 2. Performansi tiga genotipe ikan nila yang diberi bahan aromatase inhibitor pada tahap pembesaran.

Benih terpilih pada masing-masing genotipe dan perlakuan dipelihara dalam waring ukuran 4x4x1,5 m yang ditempatkan di kolam pembesaran ukuran 400 m2 selama 120 hari. Hasil penghitungan bobot dan panjang individu serta sintasan masing-masing populasi ikan nila pada akhir percobaan disajikan pada Tabel 3. Analisis statistik menunjukkan bahwa masing-masing genotipe, perlakuan dan interaksi antara genotipe dan perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot akhir individu ikan nila (lampiran 5). Secara umum, genotipe XY pada masing-masing perlakuan mempunyai bobot individu rata-rata lebih baik dibandingkan genotipe lainnya pada perlakuan yang sama. Perlakuan pemberian imidazole sebagai bahan aromatase inhibitor pada genotipe XY berhasil meningkatkan laju pertumbuhan ikan nila sehingga menghasilkan bobot akhir lebih baik dibandingkan populasi kontrol (-) genotipe XY. Semua populasi, kecuali genotipe YY pada semua perlakuan mempunyai bobot individu rata-rata lebih baik dibanding populasi campuran XX-XY. Nilai sintasan pada percobaan


(45)

ini lebih dipengaruhi oleh genotipe daripada perlakuan yang diberikan, terutama pada genotipe YY yang mempunyai nilai sintasan lebih rendah (50,92-79,50%), berbeda nyata dengan genotipe XX dan XY pada semua perlakuan maupun populasi campuran XX-XY ( lampiran 7).

Tabel 3 Bobot dan panjang akhir individu serta sintasan ikan nila pada akhir tahap pembesaran

Genotipe Perlakuan Jenis kelamin

Bobot (g)

Panjang (cm)

Sintasan (%) Imidazole Jantan 215,75±52,72cd 21,84±1,89bc 90,94±9,43d XX Kontrol (+) Jantan 248,09±55,30ef 22,36±2,01c 88,81±2,70cd Kontrol (-) Betina 200,73±55,83c 21,53±2,28bc 94,06±4,49d

Imidazole Jantan 266,51±65,62f 25,94±1,82e 93,75±7,29d XY Kontrol (+) Jantan 310,20±49,32g 26,23±1,91e 84,06±8,19cd Kontrol (-) Jantan 238,86±42,66de 24,38±1,61d 90,00±8,29cd Imidazole Jantan 142,88±48,94a 20,77±1,55ab 63,75±8,84b YY Kontrol (+) Jantan 150,50±49,46ab 21,22±1,62bd 79,38±0,88c Kontrol (-) Jantan 140,99±44,10a 19,66±1,26a 50,63±6,19a

XX-XY -- 50%

jantan

174,58±61,25b 19,52±1,76a 91,88±9,49d Keterangan : XX : hasil perkawinan induk jantan XX dengan betina XX, XY : hasil

perkawinan induk jantan YY dangan betina XX, YY : hasil perkawinan induk jantan YY dengan betina YY, XX-XY : hasil perkawinan induk jantan XY dengan betina XX. Kontrol (+) : pakan dengan penambahan hormon 17a-mt, Kontrol (-) : pakan tanpa penambahan bahan apapun. Nilai yang diikuti huruf superscript yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata, P>0,05.

Berdasarkan hasil pengukuran bobot individu, selanjutnya dilakukan analisis keragaman ukuran terutama untuk karakter bobot individu. Analisis keragaman ukuran dilakukan dengan menghitung nilai coefficient of variance

karakter bobot individu rata-rata pada masing-masing ulangan. Selain analisis keragaman ukuran bobot individu, juga dilakukan analisis food conversion ratios

dan analisis bobot panen. Hasil analisis coefficient of variance (CV), food conversion ratios (FCR) dan bobot panen disajikan pada Tabel 4.


(46)

Tabel 4 Hasil analisis coefficient of variance (CV) bobot, food corversion ratios

(FCR) dan bobot panen ikan nila pada akhir tahap pembesaran Genotipe Perlakuan Jenis

kelamin

CV (%) FCR Bobot panen (kg)

Imidazole Jantan 20,91±4,88a 2,49±0,15ab 15,61±0,79de XX Kontrol (+) Jantan 23,46±3,22ab 2,21±0,43ab 17,66±2,86ef Kontrol (-) Betina 24,48±7,18abc 2,42±0,22ab 15,06±1,31cd Imidazole Jantan 22,60±5,56ab 2,10±0,12a 19,96±1,08fg XY Kontrol (+) Jantan 18,09±2,50a 2,36±0,23ab 20,98±1,81g Kontrol (-) Jantan 19,27±2,52a 2,51±0,33ab 17,71±2,37ef Imidazole Jantan 34,19±3,54d 2,42±0,11ab 7,25±0,42ab YY Kontrol (+) Jantan 28,56±0,37bcd 2,18±0,50a 9,57±2,24b

Kontrol (-) Jantan 30,65±4,65cd 3,06±0,69c 5,75±1,37a XX-XY -- 50% jantan 24,13±4,53ab 2,81±0,35bc 12,82±1,14c Keterangan : XX : hasil perkawinan induk jantan XX dengan betina XX, XY : hasil perkawinan induk jantan YY dangan betina XX, YY : hasil perkawinan induk jantan YY dengan betina YY, XX-XY : hasil perkawinan induk jantan XY dengan betina XX. Kontrol (+) : pakan dengan penambahan hormon 17a-mt, Kontrol (-) : pakan tanpa penambahan bahan apapun. Nilai yang diikuti huruf superscript yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata, P>0,05.

Analisis statistik menunjukkan bahwa genotipe yang berbeda mempengaruhi keragaman ukuran bobot individu, khususnya antara genotipe YY dengan genotipe XX dan XY (P<0,05) (lampiran 8). Pada analisis efisiensi pakan, genotipe maupun perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh terhadap nilai FCR, namun interaksi antara keduanya memberikan pengaruh yang nyata (lampiran 9). Hal ini terlihat pada genotipe YY tanpa perlakuan yang mempunyi nilai FCR lebih tinggi dibanding genotipe YY yang mendapat penambahan imidazole dan hormon 17a-mt maupun dengan genotipe lainnya. Meskipun secara statistik tidak berbeda nyata, populasi genotipe campuran XX-XY mempunyai tingkat efisiensi pemanfaatan pakan yang lebih rendah dibanding genotipe XX maupun XY. Berdasarkan hasil analisis bobot panen, penggunaan populasi benih tunggal kelamin jantan, baik genotipe XY maupun hasil pengalihan kelamin genotipe XX secara nyata lebih baik dibandingkan dengan populasi campuran (P<0,05) (lampiran 10), sedangkan populasi tunggal kelamin betina XX, meskipun mampu


(47)

menghasilkan produksi panen yang relatif baik, tetapi secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan populasi campuran XX-XY. Pada percobaan ini, genotipe YY mempunyai bobot panen paling rendah dibandingkan dengan populasi lainnya.

Pola pertumbuhan benih ikan nila genotipe XX, XY dan YY serta pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor (imidazole) dan hormon 17a-mt dari awal percobaan 1 sampai akhir percobaan 2 disajikan pada Gambar 5. Pada Gambar 5 terlihat bahwa ukuran dan bobot benih ikan nila genotipe YY lebih kecil dibandingkan dengan genotipe lainnya sejak awal penebaran sampai akhir percobaan. Pertumbuhan populasi benih ikan nila genotipe XX dan XY sampai akhir masa pendederan (umur 95 hari) belum menunjukkan perbedaan yang nyata. Namun demikian, pada akhir bulan ke 4, bobot rata-rata individu pada populasi XY sudah mulai menunjukkan perbedaan. Genotipe XY mempunyai laju pertumbuhan lebih baik dibandingkan genotipe lainnya, sedangkan genotipe XX mempunyai pola pertumbuhan relatif sama dengan genotipe campuran XX- XY. Namun, pada awal bulan keenam populasi campuran XY-XX mengalami penurunan laju pertumbuhan sehingga bobot individu rata-rata yang dicapai pada akhir percobaan menjadi lebih rendah. Secara umum, pemberian bahan aromatase

inhibitor ( imidazole) meningkatkan laju pertumbuhan terutama pada genotipe XY sedangkan penambahan hormon 17a-mt secara nyata meningkatkan laju pertumbuhan populasi sehingga menghasilkan bobot individu lebih baik pada semua genotipe.

Pada akhir percobaan dilakukan pengamatan terhadap organ reproduksi masing-masing populasi. Pengamatan organ reproduksi meliputi analisis indeks gonad somatik (IGS) dan analisis histologis. Hasil analisis indeks gonad somatik disajikan pada Tabel 5, sedangkan visualisasi hasil analisis histologis sampel ikan nila pada masing-masing genotipe dan perlakuan disajikan pada Gambar 6-15.


(48)

Gambar 5 Pola pertumbuhan populasi ikan nila genotipe XX, XY dan YY tanpa perlakuan (atas), penambahan hormon 17a-mt (tengah) serta pemberian imidazole (bawah).

0 50 100 150 200 250 300 350 B o b o t (g ) XY XX YY XY-XX 0 50 100 150 200 250 300 350 B o b o t (g ) XY-M T XX-M T YY-M T XY-XX 0 50 100 150 200 250 300 350

5 35 65 95 125 155 185 215

B o b o t (g )

Wakt u (hari)

XY-AI XX-AI YY-AI XY-XX


(1)

dalam jaring ukuran 4x4x1,5 m yang ditempatkan di kolam. Pemeliharaan tahap pembesaran dilakukan selama 120 hari.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan imidazole secara nyata meningkatkan rasio kelamin jantan, khususnya pada genotipe XX, yaitu mencapai 82,44%. Populasi kontrol (-) genotipe XX mempunyai persentase kelamin jantan sebesar 7,55%. Penambahan hormon 17a-mt sebagai kontrol (+) menghasilkan persentase kelamin jantan sebesar 82,42% tidak berbeda nyata dibanding pemberian imidazole. Pemberian imidazole dan hormon 17a-mt pada genotipe XY, meskipun tidak terlalu nyata tetapi juga meningkatkan rasio kelamin jantan, yaitu mencapai 82,03 dan 85,13 % dari populasi kontrol (-) genotipe XY sebesar 79,81%. Namun demikian, perlakuan yang sama pada genotipe YY secara signifikan meningkatkan rasio kelamin jantan mencapai 97,12 dan 99,10 % dari kontrol (-) genotipe YY sebesar 83,01%. Sampai akhir tahap pendederan, semua perlakuan dan genotipe yang berbeda tidak memberikan efek yang berbeda nyata terhadap laju pertumbuhan maupun nilai sintasan, kecuali pada genotipe YY yang mempunyai bobot dan sintasan paling rendah. Pada tahap pembesaran, penggunaan populasi tunggal kelamin jantan selain genotipe YY, yaitu genotipe XY maupun genotipe XX yang diberi imidazole mempunyai laju pertumbuhan dan hasil panen lebih baik dibandingkan populasi populasi campuran XX- XY, masing-masing sebesar 38,14 dan 23,58%. Sampai akhir tahap pembesaran, semua perlakuan dan genotipe yang berbeda tidak memberikan dampak yang berbeda nyata terhadap nilai keragaman ukuran, sintasan maupun nilai food conversion ratios, kecuali pada genotipe YY. Rendahnya laju pertumbuhan, sintasan dan hasil panen serta tingginya tingkat keragaman ukuran dan nilai food conversion ratios pada genotipe YY disebabkan tingkat inbreeding yang tinggi pada populasi tersebut. Selama kegiatan penelitian, organ reproduksi pada semua populasi berkembang normal. Populasi campuran genotipe XX- XY mempunyai perkembangan organ reproduksi lebih cepat dibanding populasi tunggal kelamin. Kata kunci : Ikan nila, aromatase inhibitor, ratio kelamin, performansi benih,


(2)

vi

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2010

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa ijin IPB.


(3)

DIFERENSIASI KELAMIN DAN PERFORMANSI

TIGA GENOTIPE IKAN NILA YANG DIBERI BAHAN

AROMATASE

INHIBITOR

HINGGA TAHAP

PEMBESARAN

DIDIK ARIYANTO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(4)

viii

Judul Tesis : Diferensiasi Kelamin dan Performansi Tiga Genotipe Ikan Nila yang diberi Bahan Aromatase Inhibitor hingga Tahap Pembesaran Nama : Didik Ariyanto

NRP : C151070181

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Komar Sumantadinata, M.Sc.

Anggota Ketua

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini bisa diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilakukan sejak bulan Oktober 2008 ini adalah teknik sex reversal

ikan nila dan performansi benih ikan hasil sex reversal dalam kegiatan budidaya, dengan judul ”Diferensiasi Kelamin dan Performansi Tiga Genotipe Ikan Nila yang diberi Bahan Aromatase Inhibitor hingga Tahap Pembesaran”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Komar Sumantadinata, MSc. dan Bapak Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, MSc., selaku pembimbing. Disamping itu, terima kasih juga disampaikan kepada Komisi Pengembangan SDM Badan Riset Kelautan dan Perikanan, DKP atas kesempatan dan beasiswa untuk mengikuti Program Magister Ilmu Akuakultur, di IPB dan juga kepada Ibu Ir. Retna Utami, MSc., selaku Kepala Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi atas segala dukungan dana dan fasilitas penelitian serta masukannya. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Mennofatria Boer atas saran dan masukannya dalam analisis statistik hasil penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman peneliti dan teknisi di Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi dan juga teman-teman di Program Studi Ilmu Akuakultur, IPB atas segala kebersamaan dan dukungannya. Selain itu, kepada ibu, bapak (alm.), saudara-saudaraku, istri dan anak-anakku, terima kasih atas segala doa, dorongan dan kasih sayang yang tiada terhingga.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan bidang akuakultur pada khususnya.

Bogor, Januari 2010


(6)

x

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 29 Maret 1973 di Kulonprogo, D.I. Yogyakarta, merupakan putra ke 4 dari 4 bersaudara, anak dari pasangan Bapak Sadiyo dengan Ibu Siswantinah.

Gelar sarjana penulis diperoleh dari Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang pada tahun 1997. Penulis bekerja sebagai peneliti di Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi sejak tahun 2000 hingga sekarang. Pada tahun 2007, penulis diberi kesempatan dan dibiayai oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Jakarta untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana di Program Studi Ilmu Akuakultur, Institut Pertanian Bogor.