The isolation and molecular identification of papillomavirus in macaca fascicularis and macaca nemestrina at animal facility of primate research centre – Bogor Agricultural University.

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI MOLEKULER VIRUS PAPILLOMA
PADA Macaca fascicularis DAN Macaca nemestrina DI FASILITAS
PENANGKARAN PUSAT STUDI SATWA PRIMATA-INSTITUT
PERTANIAN BOGOR

ISTI KARTIKA SARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Isolasi dan
Identifikasi Molekuler Virus Papilloma pada Macaca fascicularis dan Macaca
nemestrina di Fasilitas Penangkaran Pusat Studi Satwa Primata – Institut
Pertanian Bogor adalah benar hasil karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2013
Isti Karika Sari
P053110031

RINGKASAN
ISTI KARTIKA SARI Isolasi dan Identifikasi Molekuler Virus Papilloma
Macaca fascicularis dan Macaca nemestrina di Fasilitas Penangkaran Pusat Studi
Satwa Primata Institut Pertanian Bogor di bawah bimbingan IRMA HERAWATI
SUPARTO dan DIAH ISKANDRIATI
Penyakit kanker leher rahim yang disebabkan oleh virus papilloma manusia
(human papillomavirus/HPV) masih dianggap sebagai penyebab kematian utama
pada wanita di seluruh dunia, sehingga penelitian mengenai virus papilloma
beserta obat-obatan dan vaksin untuk pencegahannya terus dilakukan. Virus
papilloma adalah virus DNA dari famili papillomaviridae. Virion papilloma tidak
memiliki selubung, berdiameter 55 nm dan mempunyai kapsid ikosahedral. Virus
ini memperbanyak diri pada inti sel serta menyebabkan infeksi laten yang kronis.
Genom virus papilloma berbentuk sirkuler, ukuran panjangnya 8 kbp, mempunyai
8 jendela baca terbuka (open reading frame) dan dibagi menjadi gen early (E) dan
late (L). Gen E menyintesis 6 protein E, yaitu E1, E2, E4, E5, E6 dan E7, yang

banyak terkait pada proses replikasi virus dan onkogen. Sementara itu gen L
menyintesis 2 protein, yaitu L1 dan L2 yang terkait pada pembentukan kapsid
(Hakim2010).
Untuk keperluan penelitian biomedis, sering kali dibutuhkan hewan model
yang dapat mencerminkan aspek-aspek penyakit pada manusia. Satwa primata
memiliki kemiripan yang tinggi dengan manusia, baik dalam segi evolusi genetik,
anatomis, fisiologis, biokimia, dan sistem organ, juga gen kankernya. Satwa
primata dari genus macaca adalah genus dengan penyebaran tertinggi di bumi
yang tersebar dari Jepang hingga Afganistan. Sejauh ini terdapat 22 spesies yang
termasuk dalam genus macaca. Pada awalnya, monyet rhesus atau M. mulatta
yang banyak digunakan untuk penelitian biomedis, akan tetapi pemerintah India
menerapkan larangan untuk mengimpor hewan ini. Sejak saat itu, Macaca
fascicularis (monyet ekor panjang/MEP) dan Macaca nemestrina (beruk) yang
jumlah dan populasinya banyak terdapat di Asia Tenggara, mulai digunakan
sebagai hewan untuk penelitian. Sebagai hewan model, berbagai aspek medis
yang berkaitan dengan kedua spesies tersebut banyak dipelajari oleh para peneliti.
Dalam penelitian ini digunakan metode polymerase chain reaction (PCR)
dan perunutan nukleotida untuk mengidentifikasi jenis virus papilloma yang
menginfeksi saluran genital pada MEP dan beruk di penangkaran Pusat Studi
Satwa Primata Institut Pertanian Bogor. Analisis runutan nukleotida dilakukan

dengan menggunakan program Clustal W 2.1 dan Mega 5.1. Pembentukan pohon
filogenetik mengunakan neighbor joining dengan pengulangan bootstrap 1000
kali.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa virus papilloma yang menginfeksi
MEP sebesar 32.7% (78/238) dan beruk 12% (4/31). Kedua spesies tersebut
terinfeksi oleh Macaca fascicularis papillomavirus (MfPV) tipe 3, 4, 5, 7, dan 9
yang termasuk genus Alpha papillomavirus dengan homologi sebesar 80 - 100%.
Virus papilloma yang menginfeksi beruk adalah jenis yang sama dengan virus
papilloma yang menginfeksi MEP dengan kemiripan antara 82% - 99%
berdasarkan daerah L1. Untuk lebih menjelaskan jenis virus papilloma yang
menginfeksi beruk, perlu dilakukan identifikasi keseluruhan genom virus

tersebut, karena untuk menentukan jenis virus tersebut diperlukan identifikasi
urutan nukleotida yang lebih lengkap. Ternyata salah satu dari beruk terinfeksi
virus papilloma yang memiliki homologi sebesar 76% dengan HPV tipe 52. Ini
merupakan laporan pertama mengenai kejadian infeksi virus papilloma pada beruk
sehingga analisis genom lanjutan perlu dilakukan. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa kedua spesies satwa primata tersebut dapat dimanfaatkan
menjadi hewan model untuk penelitian virus papilloma maupun penyakit kanker
serviks pada manusia.

Kata kunci: Virus papilloma, kanker serviks, hewan model, Macaca fascicularis,
Macaca nemestrina

SUMMARY
ISTI KARTIKA SARI The Isolation and Molecular Identification of
Papillomavirus in Macaca fascicularis and Macaca nemestrina at Animal Facility
of Primate Research Centre – Bogor Agricultural University. Under supervision
of IRMA HERAWATI SUPARTO and DIAH ISKANDRIATI
Cervical cancer is still regarded as a major cause of death in women world
wide, hence research on papilloma viruses, their drugs and vaccines for the
prevention are still continued. Papilloma virus is a DNA virus of the family
papillomaviridae. Papilloma virions have no sheath, the diameter of 55 nm, and
icosahedral capsid. The virus multiplies in the cell nucleus and causes chronic
latent infection. The virus genome has a circular form, 8 kbp in length with 8 open
reading frames. The genome is divided into early (E) and late (L) genes. The E
gen synthesizes 6 E proteins, namely E1, E2, E4, E5, E6 and E7, which are linked
into the process of viral replication and oncogenes. Meanwhile, the L gene
synthesizes 2 proteins, the L1 and L2, which are related to the formation of the
capsid (Hakim 2010).
In order to obtain the best result of the cancer research, it is highly

requested to obtain appropriate animal model that reflect aspects of human
disease. Non-human primates have high similarity with humans, both in terms of
the evolution of the genetic, anatomical, physiological, biochemical and organ
systems, as well as in cancer genes. Non-human primates of the genus Macaca is
a genus with the highest distribution worldwide, from Japan to Afghanistan. So
far, there are 22 species are included in the genus Macaca. Originally rhesus
monkeys or M. mulatta are widely used for biomedical research, but since the
Indian government imposed a ban on importing these animals, then Macaca
fascicularis (Long-tailed Macaque, cynomolgus) and Macaca nemestrina (Pigtailed Macaque), which has high population in Southeast Asia, began to be used
as research animal. Various medical aspects related to both species are
commonly studied by many researchers as an animal model for human diseases.
This study is using the polymerase chain reaction (PCR) method and
nucleotide tracking to identify papillomavirus tipes that infect the genital tract of
Macaca fascicularis and Macaca nemestrina, which is kept in breeding facilities
of Primate Research Center, IPB. The analysis of nucleotide sequences were
performed using the Clustal W 2.1 and 5.1 Mega program. The establishment of
phylogenetic tree using neighbor joining with 1000 times bootstrap repetition.
The results showed that the papillomavirus that infect Macaca fascicularis
was 32.7% (78/238) and Macaca nemestrina 12% (4/31). Both species were
infected by Macaca fascicularis papillomavirus (MfPV) tipe 3, 4, 5, 7 and 9,

belongs to the genus Alpha papillomavirus with homology of 80 - 100%.
Papilloma virus that infected the pig-tailed macaque was the same tipe of
papillomavirus that infected the cynomolgus with similarity between 82% - 99%
based on L1 region. To further explain the tipes of papilloma viruses that infected
the pig-tailed macaque, it is necessary to identify the entire genome of the virus.
To determine the tipe of the virus, it requires the identification of a more complete
nucleotide sequence. It is interesting because papillomavirus that infected the
pigtail macaques has 76% homology with the HPV tipe 52. This is the first report

on the incidence of papillomavirus infection in the pigtail macaque genome that
further analysis needs to be done. The results also showed that the two species of
non-human primates can be utilized as an animal model for the study of
papillomavirus and cervical cancer in humans.
Keywords: Papillomavirus, cervic cancer, animal model, Macaca fascicularis,
Macaca nemestrina

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI MOLEKULER VIRUS PAPILLOMA
PADA Macaca fascicularis DAN Macaca nemestrina DI FASILITAS
PENANGKARAN PUSAT STUDI SATWA PRIMATA-INSTITUT
PERTANIAN BOGOR

ISTI KARTIKA SARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Primatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2013

Penguji pada sidang : Dr. Ir. Dedy Duryadi Sholihin, DEA

-

Judul Tesis : Isolasi dan Identifikasi Molekuler Virus Papilloma pada Macaca
fascicularis dan Macaca nemestrina di Fasilitas Penangkaran Pusat
Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor
:
Isti
Kartika Sari
Nama
: P053110031
NIM

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Dr. dr. Irma H. Suparto, MS
Ketua

Dr. drh. Diah Iskandriati
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Primatologi

lャc|Nゥ[uセGZI\Q@

Pascasruj ana

Prof.Dr.drh. Dondin Sajuthi MSc

Tanggal Ujian: 26 Agustus 2013

Tanggal Lulus:


2 2 0CT 2013

Judul Tesis : Isolasi dan Identifikasi Molekuler Virus Papilloma pada Macaca
fascicularis dan Macaca nemestrina di Fasilitas Penangkaran Pusat
Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor
Nama
: Isti Kartika Sari
NIM
: P053110031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. dr. Irma H. Suparto, MS
Ketua

Dr. drh. Diah Iskandriati
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi Primatologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof.Dr.drh. Dondin Sajuthi MSc

Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 26 Agustus 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah mengenai virus papilloma pada dua spesies
satwa primata yang banyak di gunakan sebagai hewan model biomedis. Virus ini
merupakan penyebab kanker serviks yang menyebabkan banyak kematian pada
wanita.
Terimakasih yang sebesar-besarkan penulis ucapkan kepada Ibu Dr dr Irma
H. Suparto, MS dan Ibu Dr drh. Diah Iskandriati selaku pembimbing yang sangat
banyak memberikan arahan dan masukan berharga bagi penulis. Kepada bapak Dr
Ir Dedy Duryadi S, DEA selaku penguji luar komisi serta atas bimbingannya. Juga
kepada Prof drh Dondin Sajuthi, PhD, MST sebagai ketua program studi
Primatologi atas kesempatan yang diberikan kepada penulis. Kepada Dr drh Joko
Pamungkas MSc atas dana dan fasilitas laboratorium yang diberikan kepada
penulis termasuk dispensasi waktu untuk menuntut ilmu. Ibu Profesor Supraptini
Mansyur atas perbaikan dan masukkan untuka thesis saya. Kepada rekan-rekan
tercinta: Maryati, Silmi, Mita, Uus, Dede, Dewiyanti, Sri, Sela, Tri, Iin, Elis,
Permanawati, Suryo, Devy, Diah Pawitri, Ramdan, pak Budi, pak Dede, mbak
Yanti dan Yana atas kerjasama dan diskusi yang sangat berharga. Ananda Rifqi R
Sukmana atas editing gambarnya yang hebat. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada suami tercinta, putri-putriku yang cantik Usi dan Dila serta
ayah, mamah, ibu, beserta adik-adik tersayang, atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2013
Isti Kartika Sari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA
Virus Papilloma
Patogenesis
Virus papilloma pada Satwa Primata
Genus Macaca

2
3
4
5
7

METODE
Isolasi DNA virus dengan Teknik PCR
Koleksi Sampel dan Kontrol Positif
Ekstraksi DNA dan PCR
Identifikasi DNA Virus
Perunutan Nukleotida
Analisis dan Pembuatan Pohon Filogenetik

8
8
8
8
9
10

HASIL DAN PEMBAHASAN

10

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

21
21

DAFTAR PUSTAKA

22

LAMPIRAN

25

RIWAYAT HIDUP

29

DAFTAR TABEL
1. Virus Papilloma pada Satwa Primata dan Homologinya dengan
Virus Papilloma Manusia
2. Hasil Pensejajaran Daerah L1
3. Indeks Kesamaan menurut CLUSTALW 2.1
4. Matriks Jarak berdasarkan Kimura2 Parameter
5. Matriks Jarak berdasarkan Kimura2 Parameter HPV Berbeda Genus

6
13
15
17
18

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Angka Kejadian HPV menurut Geografi
Organisasi Genetik HPV tipe 16
Lapisan epitel skuamosa serviks
Pohon Filogenetik Virus Papilloma
Genom Lengkap Virus Papilloma dan Daerah yang di Amplifikasi
Elektroforegram
Angka Kejadian Infeksi Virus Papilloma di Fasilitas Penangkaran
Pusat Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor
8 Hasil Elektroferegram Sampel untuk Purifikasi
9 Hasil Pensejajran dengan CLUSTAL W 2.1
10 Pohon Filogenetik dari Virus Papilloma dengan Pembandingnya

3
4
5
7
9
10
11
12
16
17

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Hasil Pensejajaran Nukleotida
Hasil CLUSTAL W 2.1
27
Adendum Penelitian

25

28

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kanker serviks merupakan salah satu jenis kanker yang paling sering
menyerang wanita, dan merupakan penyebab kematian terbesar kedua pada wanita,
setelah kanker payudara. Angka kematian akibat serangan kanker serviks diseluruh
dunia mencapai 50% dari seluruh kasus kanker serviks per tahun. Hampir 80%
kejadian kanker serviks yang menyerang wanita tersebut terjadi di negara-negara
berkembang. Saat ini di Asia tidak kurang dari 265 000 orang didiagnosa mengidap
kanker serviks setiap tahunnya, sekitar 142 000 diantaranya kemudian
mengakibatkan kematian. Menurut data WHO (2010), Indonesia memiliki jumlah
penderita kanker serviks terbesar kedua setelah Cina. Angka kejadian kanker di
Indonesia cukup tinggi, yaitu 100 kasus dari 100 000 orang. Setiap tahun terdapat 15
000 kasus baru dengan kematian sebanyak 8000 orang. Data diatas menunjukkan
bahwa kanker serviks termasuk penyakit berisiko tinggi dan penyebab kematian pada
wanita.
Kanker serviks pada manusia terutama disebabkan oleh virus papilloma
manusia (Human Papilloma Virus/HPV) (Willyman 2011). Selain menyebabkan
kanker serviks, HPV juga dapat menyebabkan berbagai jenis kutil pada tangan, kaki,
lidah, mulut, dan bibir. Pada keadaan yang lebih ganas, HPV dapat menyebabkan
kutil kelamin pada penis, vagina, dan dubur. Virus ini dapat menyebabkan
pertumbuhan sel yang tidak normal yang disebut displasia. Kelainan ini akan
berkembang menjadi anal intraepithelial neoplasia (AIN), kanker serviks (cervical
cancer), atau kanker penis (Thoma 2010).
Virus ini menginfeksi membran mukosa dan kulit epitel pada vertebrata
dengan cara menginduksi proliferasi sel. Selain pada manusia, virus papilloma juga
telah diidentifikasi pada lebih dari 20 spesies mamalia yang berbeda serta pada
burung dan reptil. Karena dianggap sangat penting secara medis, virus papilloma
dipelajari dengan sangat intensif dan sampai saat ini telah ditemukan lebih dari 100
jenis virus papilloma (Bernard dan Chan 2007). Selama ini, pemahaman tentang
biologi virus papilloma, khususnya untuk kepentingan manusia, terkendala oleh
sulitnya mendapatkan hewan model serta hewan yang terinfeksi secara alami oleh
virus papilloma manusia. Kemajuan penklonaan molekul genom virus papilloma
pada awal tahun 1980 merupakan terobosan untuk mempelajari gen virus tersebut.
Ketersediaan sekuens genomik, baik yang lengkap maupun sebagian, dari
berbagai tipe virus papilloma telah memungkinan pembentukan struktur taksonomi
virus tersebut dan memberikan gambaran mengenai evolusi virus papilloma dengan
inangnya. Virus papilloma terdeteksi pada berbagai jenis primata non-manusia, ada
sekitar 30 jenis virus papilloma pada satwa primata antara lain berasal dari saluran
genital M. fascicularis (monyet ekor panjang, MEP) dan M. mulatta (monyet rhesus)
betina, hyperplasia lapisan epitel mulut dan tenggorokan simpanse kerdil dan kanker
penis pada monyet rhesus jantan.
Satwa primata (Non-human Primate, NHP) khususnya MEP dan M.
nemestrina (beruk) merupakan satwa primata yang banyak digunakan sebagai hewan

2
model. Kedua spesies satwa primata tersebut diketahui memiliki kedekatan anatomi
dan fisiologi dengan manusia, sehingga merupakan hewan model yang ideal untuk
mempelajari virus papilloma. Pengetahuan mengenai urutan genom pada virus
papilloma dapat dimanfaatkan untuk pengembangan vaksin tidak hanya vaksin untuk
pencegahan tetapi juga vaksin untuk pengobatan. Untuk pengujian kedua jenis vaksin
tersebut dibutuhkan hewan model yang tepat dan dapat menjadi model penyakit yang
mirip dengan manusia.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan mengidentifikasi jenis virus
papilloma yang menginfeksi MEP dan beruk secara molekuler melalui conserve
genom L1.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini memberikan informasi jenis virus
papilloma yang menginfeksi MEP dan khususnya pada beruk yang belum pernah
diisolasi dan dilaporkan sebelumnya. Informasi ini dapat digunakan untuk keperluan
penelitian biomedis yang lebih lanjut dan pengembangan hewan model.

TINJAUAN PUSTAKA
Virus papilloma selalu dikaitkan dengan penyakit kanker serviks pada wanita.
Meskipun tidak seluruh anggota dari keluarga virus ini merupakan penyebab kanker
serviks, tetapi angka kematian yang disebabkan oleh kanker serviks merupakan yang
terbesar kedua setelah kanker payudara. Oleh karenanya famili virus ini terus
dipelajari dengan intensif. Badan kesehatan dunia (World Health
Organization/WHO) telah mengeluarkan suatu panduan yang terus diperbaharui
mengenai virus papilloma manusia dan kanker yang menyertainya. Hampir semua
(99%) kanker serviks disebabkan oleh infeksi HPV. Virus ini dapat menginfeksi
lapisan epitel kulit seluruh tubuh dan di daerah yang berselaput lendir, seperti mulut
dan kelamin. Lebih dari 40 jenis HPV diketahui menginfeksi daerah kelamin
(Moosavi et al. 2008). Berdasarkan tingkat keganasannya, HPV dibagi menjadi 2
tipe virus, yaitu tipe low-risk (risiko rendah) yang cenderung menyebabkan tumor
jinak dan tipe high-risk (risiko tinggi) yang menyebabkan tumor ganas (Munoz et
al.2003).
Menurut Paavonen et al. (2007), setiap tahun virus papilloma telah
menyebabkan 500 ribu kasus baru infeksi di seluruh dunia, 250 ribu diantaranya
menyebabkan kematian akibat kanker.serviks dan infeksi kanker vulva, vagina, anal,
dan penis. Kejadian infeksi virus papilloma diseluruh dunia dapat dilihat pada
Gambar 1 :

3

(ribu)

Gambar 1 Angka kejadian HPV menurut daerah geografi (Willyman 2011)
Gambar diatas menunjukkan bahwa kanker serviks tersebar di seluruh dunia, baik di
negara maju maupun negara berkembang. Menurut buku panduan WHO (2010),
terdapat banyak faktor yang menyebabkan begitu tingginya infeksi virus papilloma
diantaranya adalah karena kondisi sosial ekonomi, pelayanan kesehatan masyarakat,
serta tingkat pendidikan yang masih rendah. Selain itu, faktor penyebab lainnya
adalah gaya hidup yang kurang sehat, seperti berganti pasangan seksual, melakukan
hubungan seksual pada usia dini dan kebiasaan merokok. Karena berbagai alasan
tersebut diatas, maka penelitian mengenai virus papilloma terus dilakukan secara
intensif, baik untuk mengembangkan vaksin dan pengobatan; mempelajari struktur,
evolusi, dan perkembangan virus serta untuk mempelajari epidemologi dan angka
kejadian. Untuk melaksanakan berbagai penelitian tersebut, maka dibutuhkan hewan
sebagai model pengganti yang sesuai.
Virus papilloma
Virus papilloma adalah virus DNA dari famili papillomaviridae. Virion
papilloma tidak memiliki selubung, berdiameter 55 nm dan mempunyai kapsid
ikosahedral. Virus ini memperbanyak diri pada inti sel serta menyebabkan infeksi
laten yang kronis. Genom virus papilloma berbentuk sirkuler, ukuran panjangnya 8
kpb, mempunyai 8 jendela baca terbuka (open reading frame) dan dibagi menjadi
gen early (E) dan late (L). Gen E menyintesis 6 protein E, yaitu E1, E2, E4, E5, E6,
dan E7, yang banyak terkait pada proses replikasi virus dan onkogen. Sementara itu
gen L menyintesis 2 protein, yaitu L1 dan L2 yang terkait pada pembentukan kapsid
(Hakim2010). Gen L1 dan L2 menempati posisi yang berdekatan dan mencakup
sekitar 40% dari keseluruhan genom virus.
Pada pertengahan tahun 1950-1960, virus papilloma dan virus polio melalui
pengamatan dengan menggunakan mikroskop elektron, dimasukkan ke dalam famili
Papoviridae berdasarkan kesamaan yang dimilikinya, yaitu genom sirkuler dari
DNA untai ganda dan struktur simetris ikosahedral yang tidak memiliki selubung

4
Pada sekitar tahun 1980, setelah teknik sekuensing ditemukan, ternyata diketahui
adanya perbedaan, yaitu virus polio memiliki ukuran genom 5000 pasang basa,
sedangkan virus papilloma memiliki ukuran genom 8000 pasang basa. Disamping
ketidaksamaan tersebut, ternyata keduanya juga memiliki perbedaan dalam urutan
asam amino, kecuali satu segmen yang homolog, yaitu gen E (de Villiers et al. 2004).

Gambar 2

Organisasi genetik HPV tipe 16. Genom berbentuk sirkular, molekul
utas ganda DNA 7,904 pb. Gen –gennya adalah E1 s/d E7 , L1 dan
L2 (Levine 1992).

Jendela baca terbuka (open reading frame) daerah (region) L1 yang
mengkodekan bagian kapsid mayor merupakan daerah gen yang paling lestari dalam
genom virus papilloma, dan telah digunakan untuk keperluan identifikasi jenis
selama 15 tahun terakhir. Suatu tipe virus papilloma diakui sebagai virus baru
apabila urutan genom pada daerah L1 berbeda 10% dari jenis virus papilloma
terdekat. Jika perbedaannya antara 2%-10% akan dikategorikan sebagai sub-tipe dan
apabila kurang dari 2% disebut sebagai varian (deVilliers et al 2004). Gen E meliputi
sekitar setengah dari keseluruhan genom, ada beberapa gen yang tumpang tindih
pada daerah ini. Diantara L1 dan E6 ada daerah yang tidak dikodekan oleh gen yang
merupakan daerah asal replikasi serta elemen yang mengatur transkripsi. Daerah ini
disebut sebagai LCR atau Long Control Region.
Patogenesis
Ciri khusus dari replikasi virus papilloma adalah hubungan yang erat antara
replikasi virion dengan perubahan sel epitel kulit. Infeksi dimulai dari virus yang
masuk ke dalam sel melalui mikro abrasi jaringan permukaan epitel, sehingga
memungkinkan virus masuk ke dalam sel basal. Pada sel basal, terutama sel punca,
sel-sel ini terus membelah kemudian bermigrasi mengisi sel bagian atas,
berdiferensiasi dan menyintesis keratin. Protein virus pada infeksi HPV mengambil
alih perkembangan siklus sel dan mengikuti diferensiasi sel. Saat ini masih terdapat
kontroversi mengenai mekanisme HPV masuk ke dalam sel. Sebagian bukti
menunjukkan bahwa virus masuk ke dalam sel melalui reseptor α6-integrin dan
heparin sulfat serta laminin 5. Genom virus bermigrasi ke dalam inti dalam bentuk

5
episom dan terjadi aktivasi promoter awal virus papilloma (gen E). Sintesis DNA
virus terjadi di dalam sel yang terinfeksi dengan salinan episom sekitar 50-100
genom setiap sel. Setelah sel basal membelah, episom HPV mengalami replikasi dan
didistribusikan diantara sel baru yang terbentuk. Virus akan mengikuti perjalanan sel
dengan melakukan diferensiasi dan tetap aktif saat sel yang mengandung HPV
berdiferensiasi, promoter akhir (gen L) teraktivasi dan membentuk kapsid, dan
kemudian terbentuklah virion baru HPV hasil replikasi (Hakim 2010).

Gambar 3 Lapisan epitel skuamosa pada serviks dan ekspresi protein setelah infeksi
virus papilloma (Frazer 2004)
Virus Papilloma pada Satwa Primata
Virus papilloma merupakan virus yang umum menginfeksi hewan dan
manusia, banyak jenis hewan yang diketahui memiliki virus papilloma yang spesifik.
Bos taurus (BPV/ Bovine papillomavirus), memiliki 12 tipe virus papilloma yang
menginfeksi epitel kulit, penis, dan saluran pencernaan. Virus papilloma kuda
(EqPV/Equine papillomavirus) menginfeksi bagian genital, kulit dan oral. Selain itu,
virus papilloma terdapat pada berbagai spesies cervidae (rusa), anjing dan kucing
serta banyak spesies hewan lainnya masing-masing memiliki virus papillomanya
sendiri. Spesifitas spesies tersebut dimungkinkan karena adanya interaksi molekul
yang sangat spesifik antara virus dan inangnya. Pada primata, spesifitas tersebut
menjadi semakin nyata, yang berarti setiap primata memiliki virus papillomanya
sendiri (Bernard dan Chan 2007). Virus papilloma primata yang telah diidentifikasi
secara mikroskopis, imunologi dan molekuler, diantaranya:
Rhesus Monkey papillomavirus (RhPV) adalah virus papilloma asal satwa
primata yang pertama kali dan satu-satunya yang diakui sebagai spesies oleh ICTV
(International Committee on Taxonomy of Viruses), virus ini ditularkan secara

6
seksual dalam suatu koloni monyet rhesus. Sekuens virus papilloma spesifik telah
dideteksi dari metastasis nodus limpa suatu sel tumor penis (penile squamous cell
carcinoma) seekor monyet rhesus. Hasil analisisnya, berupa genom lengkap RhPV
yang terintegrasi pada tumor ini dan memperlihatkan homologi yang tinggi dengan
HPV 16 (91%).
Macaca fascicularis papillomavirus (MfPV) pertama kali dilaporkan pada
tahun 1997. MfPV diidentifikasi berdasarkan daerah gen L1 dengan primer
MY09/MY11, kemudian partikel virus papilloma dideteksi dari papilloma penis
seekor MEP liar. Hasil histologi dari spesimen serviks dan vagina MEP
menunjukkan adanya neoplasia intraepitel serta banyak yang menunjukkan lesi jinak
papilloma pada vagina. MEP terinfeksi oleh 7 varian virus papilloma berdasarkan
sekuens gen daerah L1.
Chimpanzee papillomavirus adalah virus papilloma ditemukan pada simpanse
dan simpanse kerdil sehingga dinamakan Common Chimpanzee Papillomavirus
(CCPV) dan Pygmy Chimpanzee Papillomavirus (PCPV). Keduanya memiliki
kesamaan relatif 89% sebagai virus papilloma simpanse.
Colobus guereza papillomavirus (CgPV) merupakan partikel virus dengan
morfologi virus papilloma yang ditemukan pada lesi tangan dan kaki pada monyet
colobus. Kemudian ditemukan juga partikel virus pada penis seekor monyet colobus
yang berasosiasi sangat erat dengan HPV11. Hasil sekuen daerah L1 menunjukkan
ada 2 jenis virus papilloma Colobus guereza yang masuk ke dalam genus Alpha dan
Beta papillomavirus. Sementara itu, belum ada data mengenai virus papilloma yang
berasal dari beruk yang tersedia di bank gen, baik data terkait urutan nukleotidanya
maupun letaknya dalam pohon filogenetik.
Tabel 1

Virus papilloma pada satwa primata dan homologinya dengan virus
papilloma manusia.

Jenis
Satwa Primata
Colobus guereza

Pan paniscus

Virus
Papilloma

Genus
Spesies

Homologi

CgPV 1

Alpha 9/7

HPV-16/18

CgPV2

Beta 1

HPV-5/8

PCPV

Alpha 10

HPV-13

b

Alouatta fusca

HMPV

Alpha

Macaca mulatta

RhPV

Alpha 12

HPV-16

Macaca fascicularis

RhPV
MfPV1

Alpha
Beta

HPV 11/17

Pustaka
O’Banion et al.
(1987)
Kloster et al.
(1988)
van Ranst et al.
(1991
Sá et al. (2000)
Kloster et al.
(1988)
Chan et al.
(1997b)
Joh et al. (2009)

Taksonomi virus papilloma modern tergantung derajat homologi sekuens
genom yang membagi virus papilloma pada genera dan taksa yang lebih rendah
berdasarkan kesamaan hasil sekuens genom baik yang lengkap maupun parsial
daerah L1.Ada 3 genera utama pada pohon filogenetik PV, yaitu alpha, beta, dan
Gamma, selain itu terdapat genera dengan jumlah anggota yang lebih kecil yang

7
dinamai berdasarkan alphabet Yunani seperti Omega. Lambda, Kappa, Sigma, Nu,
Mu, Iota, Delta dan sebagainya. Untuk penamaan jenis PV disesuaikan dengan
inangnya, ada yang berdasarkan nama ilmiah inangnya

Gambar 4 Pohon filogenetik virus papilloma (Bernard dan Chan 2007)
Genus Macaca
Genus macaca saat ini diketahui menjadi model paling penting dalam riset
biomedis untuk berbagai penyakit pada manusia. Lebih dari 70 jenis penyakit
infeksius dari berbagai etiologi seperti bakteri, virus, jamur, parasit dan prion yang
telah dimodelkan oleh satwa primata. Keragaman yang luar biasa dari penyakit
manusia meliputi penyakit anak-anak (children diseases), penyakit tropis, penyakit
menular seksual, onkogenik, neurologis, penyakit degeneratif, penyakit berpotensi
bioterorisme dan penyakit-penyakit lain yang belum diketahui menyebabkan
penelitian terus dilakukan dan membutuhkan hewan model yang tepat (Gardner dan
Luciw 2008).
Disamping manusia, macaca adalah genus dengan penyebaran tertinggi di
bumi, tersebar dari Jepang hingga Afganistan. Sejauh ini terdapat 22 spesies
(Voevodin dan Marx 2009) yang termasuk dalam genus macaca. Awalnya monyet
rhesus atau M. mulatta yang banyak digunakan untuk penelitian biomedis, tetapi
sejak pemerintah India menerapkan larangan untuk mengimpor hewan ini, maka
MEP dan beruk yang jumlah dan populasinya banyak terdapat di Asia Tenggara,
mulai digunakan sebagai hewan untuk penelitian. Oleh karena itu, berbagai aspek
medis yang berkaitan dengan kedua spesies tersebut banyak dipelajari oleh para
peneliti untuk dijadikan hewan model bagi penyakit manusia.
Dalam penelitian mengenai virus papilloma ditemukan bahwa sekitar 50%
monyet rhesus di berbagai pusat penelitian primata terinfeksi oleh virus papilloma

8
yang menular melalui interaksi seksual (Ostrow et al.1990). Hasil analisis PCR pada
sampel genital MEP dan monyet rhesus menunjukkan keduanya merupakan inang
alami virus papilloma genital yang memiliki keragaman genetik yang mirip dengan
virus papilloma pada manusia (Chan et al. 1997). Terdapat neoplasia epitel pada
bagian vagina dan serviks MEP yang berasosiasi dengan virus papilloma, yang tidak
ditemukan pda hewan lain (Wood et al. 2004).

METODE
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu pengambilan sampel,
ekstraksi DNA sampel, amplifikasi dengan PCR, ekstraksi dari gel agarosa,
perunutan nukleotida, dan analisis bioinformatika. Daerah yang diamplifikasi oleh
primer adalah daerah L1 yang merupakan pembentuk kapsid mayor dari virus
papilloma, merupakan daerah paling lestari dari genom virus dan telah digunakan
untuk identifikasi jenis selama 15 tahun terakhir
Isolasi DNA Virus dengan Teknik PCR
Koleksi sampel dan kontrol positif
Seluruh prosedur yang dilakukan terhadap hewan laboratorium ini telah
disetujui oleh Komisi Pengawasan Kesejahteraan dan Penggunaan Hewan Penelitian
Pusat Studi Satwa Primata IPB nomor 11-B006-IR. Ulasan serviks dikoleksi dari 238
ekor MEP dan 31 ekor beruk betina dewasa, dengan pertumbuhan gigi M3/M3
(setara dengan usia 6 tahun ke atas) yang dipelihara di fasilitas penangkaran Pusat
Studi Satwa Primata IPB, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan ulasan sampel
dengan menggunakan vaginal cytobrush di daerah serviks dan vagina. Sample ini
disimpan dalam media TEN Buffer (2 ml Tris HCl 1M pH 7.5; 0.2 ml EDTA 0.5M;
0.2 ml NaCl 5M dan 97.6 ml akuades) dan disimpan dalam suhu 4 oC sampai siap
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Kontrol positif yang digunakan dalam penelitian ini adalah sel HeLa (ATCC
CCL-2) yang dikembangkan dari jaringan kanker serviks. Sel ini merupakan sel
lestari yang berasal dari kanker serviks dan jumlah sel yang digunakan untuk kultur
jaringan sebanyak 5x106.
Ekstraksi DNA dan PCR
DNA dari sampel dan kontrol positif diekstraksi dengan menggunakan QIAmp
DNA Blood mini kit (QIAGEN, Hilden, Germany) sesuai dengan petunjuk
perusahaan. Primer yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Chen et al
(2009), yaitu Mac26. MY11 (forward) 5’ GCCCAAGGCCACAACAATGG3’ dan
Mac26. MY09 (reverse) 5’ CGACCCAAGGGAAACTGGTC3’. Primer ini akan
mengamplifikasi daerah L1 sebesar 450 pasang basa. Reagen mastermix PCR terdiri
dari 1 µl (10 pmol) primer dan 12.5 µl Go Taq green mastermix (Promega) yang
terdiri dari Taq DNA Polymerase 400 µM, dNTP konsentrasi 400 µM, MgCl 3 mM,
bufer pereaksi,serta 5.5 µl free nuclease water dan 5 µl DNA hasil ekstraksi.
Amplifikasi dilakukan dengan menggunakan mesin PCR Perkin Elmer tipe 9700
melalui tahapan pre PCR 95 ⁰C 3 menit, denaturasi 95 ⁰C 20 detik, annealing 55
⁰C, ekstensi 72 ⁰C 20 detik dan post PCR 72 ⁰C selama 10 menit dengan 40 kali

9
pengulangan. Hasil amplifikasi DNA divisualisasikan pada gel agarosa konsentrasi
1.8% dan dibaca pada mesin geldock (Biorad) dengan menggunakan penanda DNA
(Vivantis 100bp) sebesar 1000 pasang basa.

Gambar 5

Genom lengkap virus papilloma dan daerah yang diamplifikasi oleh
primer Mac26 MY 11 dan Mac26 MY 09 (Molijn 2004).

Identifikasi DNA Virus
Perunutan Nukleotida
Hasil positif PCR selanjutnya dipurifikasi untuk analisis runutan DNA.
Pemotongan gel dilakukan pada bagian pita yang berpendar saat diradiasi oleh sinar
ultraviolet. Potongan gel hasil amplifikasi kemudian dipurifikasi dengan
menggunakan kit ekstraksi gel, sesuai dengan prosedur dari QIAquick gel extraction
kit dari Qiagen (Qiagen, Hilden, Germany). Hasil purifikasi produk PCR tersebut
selanjutnya dirunutkan di Macrogen Inc., Korea.
Analisis Runutan Nukleotida dan Pembuatan Pohon Filogenetik
Runutan nukleotida selanjutnya dianalisis dengan metode BLAST (Basic Local
Alignment) dan disejajarkan menggunakan program komputer CLUSTALW 2.1,
sedangkan jarak ditentukan dengan Kimura 2 parameter. Pohon filogenetik
dikonstruksi menggunakan program Mega 5.1 dengan metode neighbor-joining.
Sebagai pembanding untuk pohon filogenetik, diambil virus papilloma berasal dari
bank gen. Analisis bootstrap 1000 kali untuk menvalidasi bentuk pohon filogenetik
terbaik.
Sebagai pembanding digunakan Pan troglodytes papillomavirus tipe 2 protein
kapsid mayor (Bank Gen: JF806547.1), Colobus monkey papillomavirustipe 1
protein kapsid mayor gen (L1), cds parsial, Bank Gen: U72629.1, Rhesus monkey
papillomavirusstrain gen RhPV-e L1, cds parsial Bank Gen: U89660.1, Macaca
fascicularis papillomavirusisolate MfAA18 protein kapsid mayor gen (L1), cds
parsial Bank Gen: AF364496.1, Bovine papillomavirus tipe1 genom lengkap Bank
Gen: X02346.1, Caretta caretta papillomavirus, genom lengkap Bank Gen:

10
EU493092.1, Canine oral papillomavirus genom lengkap Bank Gen: D55633.1,
Equinepapillomavirus2, genom lengkap Bank Gen: EU503122.1, Rattus novergicus
papillomavirus Bank Gen: GQ180114, Human papillomavirus Tipe 16 Bank Gen:
AF548854.1 dan Sus scrofa papillomavirus Bank Gen: NC_011280.1.

Hasil dan Pembahasan
Isolasi DNA Virus
Pemilihan umur betina dewasa dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa
hewan betina tersebut aktif secara seksual karena mikroabrasi pada dinding serviks
biasanya terjadi saat aktivitas tersebut. Mikroabrasi mengakibatkan virus mudah
masuk ke dalam lapisan basal epitel serviks. Aktivitas seksual juga mengakibatkan
regenerasi sel epitel yang lebih cepat untuk menggantikan sel-sel epitel yang
terbuang. DNA virus yang terdapat dalam sel epitel serviks diekstraksi dan diuji
keberadaannya secara molekuler dengan teknik PCR.
Berdasarkan hasil PCR pada daerah L1 menunjukkan bahwa sampel yang
positif terhadap virus papilloma, baik MEP maupun beruk, dapat teramplifikasi
dengan baik oleh primer Mac26 MY11 dan Mac26 MY09. Hasil elektroforesis
horizontal dengan gel agarosa 1.8% memperlihatkan gambaran pita yang jelas pada
daerah 450 pasang basa, sejajar dengan kontrol positif virus papilloma dari DNA sel
HeLa (Gambar 6).

1000 pb
500pb

450 bp

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10 11 12 13 14 15

Gambar 6 Elektroforegram terhadap 8 dari 238 sampel Macaca fascicularis (Mf)
dan 3 dari 31 sampel Macaca nemestrina (Mn). (1) marker Vivantis 100
bp; (2), (5), (8) sampel negatif Mf; (3), (4), (6), (7) sampel positif Mf;
(9) sampel negatif Mn; (10), (11), (12) sampel positif Mn; (13), (14)
kontrol positif sel HeLa; dan (15) kontrol negatif Mastermix.
Daerah L1 yang berukuran sekitar 450 pasang basa merupakan wilayah yang
membentuk kapsid mayor dari virus papilloma, protein tersebut akan diekspresikan
pada akhir pembentukan virion yang terjadi pada lapisan superbasal kulit. Daerah ini

11
merupakan daerah yang paling lestari dalam genom virus serta menjadi wilayah
konsensus (consensus region) untuk identifikasi suatu jenis virus. Primer MY
ditujukan untuk menguatkan daerah nt 6582–7033 dan menghasilkan produk sebesar
450 pasang basa (Morris 2005). Primer MY09/011 digunakan secara luas untuk
mempelajari sejarah alami virus papilloma dan perannya hingga menjadi kanker di
daerah genital. Selanjutnya pasangan primer ini banyak digunakan untuk berbagai
studi penting terkait kanker serviks dan HPV. Sensitivitas dan kemampuan primer ini
untuk mendeteksi lebih dari 25 genotip virus papilloma yang menginfeksi saluran
genital memberikan kesempatan yang sangat luas dan menjadikannya sebagai
“standar emas” untuk deteksi virus papilloma. Primer ini terus dikembangkan untuk
menambah sensitivitas dalam mendeteksi virus papilloma dan resistensinya terhadap
pengaruh dari inang virus tersebut mengingat virus papilloma adalah virus yang
sangat spesies spesifik.

Gambar 7 Angka kejadian infeksi virus papilloma pada monyet ekor panjang (M.
fascicularis) dan beruk (M. nemestrina) di fasilitas penangkaran Pusat
Studi Satwa Primata-Institut Pertanian Bogor ( jumlah seluruh sampel,
jumlah sampel positif).
Berdasarkan hasil identifikasi virus dengan menggunakan teknik PCR pada
sampel ulasan serviks, angka kejadian infeksi virus papilloma pada MEP di fasilitas
penangkaran PSSP-IPB adalah 32.7% (78/238), sedangkan pada beruk adalah 12%
(4/31) Wood et al. (2004) dalam laporannya menyampaikan bahwa identifikasi virus
papilloma secara molekuler di fasilitas Wake Forest University sebesar 35% pada
MEP betina dan 29% pada monyet rhesus betina. Menurut Chen et al (2007), angka
kejadian infeksi virus papilloma pada MEP betina dewasa yang diimpor dari Cina
dan Indonesia sebesar 24.9%. Secara deteksi molekuler pada M. mulatta, menurut
laporan Ostrow et al. (1990) terdapat 29% hewan yang terinfeksi. Hasil perhitungan
di fasilitas penelitian lain menunjukkan bahwa infeksi virus papilloma genital pada
MEP dan M. mulatta berkisar pada angka 25 - 35%. Temuan dalam penelitian
tersebut berada dalam kisaran yang sesuai dengan hasil penelitian di PSSP-IPB yang
menunjukkan angka kejadian 32.7% pada MEP, pada beruk angka kejadian infeksi
virus papilloma lebih kecil (12%).
Penelitian mengenai infeksi virus papilloma pada beruk belum pernah
dilaporkan maka angka kejadian yang relatif kecil (12%) tersebut belum tentu
menunjukkan angka kejadian infeksi yang sesungguhnya, baik di alam maupun di

12
penangkaran. Hal ini disebabkan karena jumlah sampel yang diambil lebih rendah
dari jumlah sampel MEP.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi angka infeksi virus adalah kondisi
fasilitas hewan dapat dianggap sebagai fasilitas yang bersih dengan kondisi
kesehatan hewan yang baik, serta pakan dan perawatan yang juga baik. Faktor-faktor
tersebut dapat mengurangi resiko penularan virus. Kejadian infeksi di alam belum
tentu menunjukkan angka yang mirip dengan kejadian di fasilitas penangkaran.
Hasil analisis PCR sampel ulas serviks dari monyet rhesus dan MEP
menunjukkan bahwa kedua spesies tersebut merupakan induk semang alami dari
virus papilloma genital yang memiliki kesamaan relatif dengan virus papilloma pada
manusia. Neoplasia sel epitel yang berasosiasi dengan virus papilloma ditemukan
pada 5% MEP yang ditangkarkan, sehingga pada monyet yang terinfeksi ditemukan
kelainan sitologi yang mirip dengan kelainan pada manusia (Wood et. al. 2007).
Kemiripan yang lain, yaitu cara penularan melalui hubungan seksual seperti yang
terjadi pada koloni monyet rhesus dilaporkan oleh Ostrow et al. (1990). Sampai saat
ini belum ada laporan mengenai gambaran sitologi dari monyet Indonesia yang
terinfeksi virus papilloma, kedepannya perlu dilakukan analisis sitologi dari hewanhewan yang terinfeksi diatas untuk menambah informasi mengenai patogenesis virus
papilloma pada MEP dan beruk.
Gambar 8 menunjukkan elektroforegram hasil perbanyakan sampel positif
yang akan dipurifikasi untuk mendapatkan runutan nukleotida melalui proses
perunutan

Mf 7616

Mf AB543

Mn 9439

Mn 5434

Gambar 8 Hasil elektroforesis sampel positif untuk purifikasi gel
Perunutan nukleotida adalah suatu proses penentuan urutan nukleotida pada
suatu fragmen DNA. Pengetahuan akan runutan nukleotida dari suatu gen atau
genom akan sangat bermanfaat untuk memahami cara kerja gen dan protein dalam
mempengaruhi aktivitas pada suatu organisme. Pada virus papilloma, perbedaan
urutan nukleotida di daerah E-6 dan E-7 dapat mempengaruhi keganasan jenis virus
papilloma tersebut, sementara perbedaan di daerah L1 dapat mempengaruhi jenis dan
klasifikasinya. Tujuan dari runutan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
jenis virus papilloma yang menginfeksi kedua jenis macaca yang dipelihara di
fasilitas hewan PSSP-IPB serta mengetahui kedudukannya dalam pohon filogenetik.

13
Virus papilloma adalah salah satu jenis virus yang banyak dipelajari dan
memiliki kekhususan spesies yang sangat tinggi. Hingga saat ini terdapat lebih dari
100 tipe virus papilloma yang telah tercatat. Virus papilloma pada genus macaca
yang telah banyak dipelajari berasal dari MEP dan M. mulatta. Macaca fascicularis
papillomavirus (MfPV) terbagi atas 11 tipe, yaitu MfPV1 sampai dengan MfPV11.
Virus MfPV 1 dan MfPV2 termasuk dalam genus Beta Papillomavirus, sedangkan
sisanya MfPV3 hingga MfPV11 termasuk genus Alpha Papillomavirus (Bernard
2010).
Hasil perunutan nukleotida virus papilloma MEP dan beruk pada penelitian ini
selanjutnya dibandingkan dengan runutan nukleotida virus papilloma yang ada di
bank gen menggunakan program BLAST dan NCBI (National Centre for
Biotechnology Information) dan hasilnya ditampilkan pada Tabel 2
Tabel 2

Hasil pensejajaran daerah L1 sampel dibandingkan tingkat homologinya
dengan tipe virus papilloma yang ada di Bank Gen

Sampel

%

Tipe Papilloma

Nomor Akses

Mf AB411

83%

Macaca fascicularis papillomavirus tipe 7
Mac 18 genom lengkap
Rhesus papillomavirus stran a-L1 parsial
CDS

EF 558838.1

99%

Macaca fascicularis papillomavirus tipe 4
Mac 54 genom lengkap

EF 558841.1

76%

Macaca fascicularis papillomavirus tipe
52 Isolat QU07294 genom lengkap

EF 558841.1

100%

Macaca fascicularis papillomavirus tipe 3
Mac 52 genom lengkap

EF 558839.2

98%

Macaca fascicularis papillomavirus tipe
36 Isolat MOC 171 genom lengkap

EF 591299.1

98%

Macaca fascicularis papillomavirus tipe 9
Isolat Mac 592 genom lengkap

EU 490516.1

87%

Macaca fascicularis papillomavirus tipe 5
Mac 76 genom lengkap

EF 558843.1

83%

Macaca fascicularis papillomavirus tipe 5
Mac 76 genom lengkap

EF 558843.1

82%

Macaca fascicularis papillomavirus tipe 9
isolat genom lengkap

EU 490576.1

99%

Macaca fascicularis papillomavirus tipe 4
Mac 54 genom lengkap

EF 558841.1

76%

Human papillomavirus tipe 52 isolat 7294
genom lengkap

HQ 537751.1

84%
Mf AB4847

Mf 7616

Mf AB453

Mn 9439

Mn 5434

U89656.1

Perbandingan deduksi urutan asam amino dari L1 kapsid virus papilloma
sampel menunjukkan kemiripan yang sangat tinggi, yaitu antara 76-100% dengan

14
virus papilloma MEP yang telah diidentifikasi sebelumnya. Ada beberapa tipe virus
papilloma MEP yang menginfeksi sampel, yaitu MfPV tipe 3, 4, 5, 7, dan 9. Virus
papilloma yang menginfeksi beruk adalah jenis yang sama dengan virus papilloma
yang menginfeksi MEP dengan kemiripan antara 82-99% berdasarkan daerah L1.
Untuk lebih menjelaskan jenis virus papilloma yang menginfeksi beruk maka perlu
dilakukan identifikasi keseluruhan genom virus tersebut, karena untuk menentukan
jenis virus tersebut diperlukan identifikasi urutan nukleotida yang lebih lengkap.
Hasil analisis data menunjukkan informasi yang menarik, yaitu virus papilloma
yang menginfeksi Mn 5434 memiliki homologi 76% dengan virus papilloma pada
manusia tipe 52. HPV tipe 52 adalah jenis yang berisiko tinggi untuk menjadi
kanker serviks. Saat ini, penelitian untuk vaksin dan pencegahan kanker serviks lebih
banyak ditujukan pada HPV tipe 16 dan 18. Menurut hasil penelitian Takehara et al.
(2011), HPV tipe 16 dan 18 paling banyak terjadi di Asia, Afrika Utara, Eropa dan
Amerika Utara, sedangkan di wilayah Asia Timur, meliputi Jepang dan Cina, kanker
serviks yang paling banyak terjadi diakibatkan oleh HPV tipe 52 dan 58. Lin et al.
(2006) melaporkan hasil identifikasi jenis HPV berisiko tinggi pada 4383 wanita di
Hongkong dan Taiwan Selatan sebesar 63% adalah tipe 52 dan 58, sedangkan tipe
16/18 hanya menginfeksi 30%. Dengan demikian, prospek dimasa depan sangat
terbuka kemungkinan untuk pengembangan vaksin HPV yang berasal dari HPV tipe
52 dan 58 (Lin et al 2006).
HPV tipe 52 dan 58, keduanya berhubungan erat dengan HPV tipe 33, yang
terkait erat dengan HPV 16. HPV tipe 52 telah diisolasi dan diklona dari berbagai
sumber antara lain displasia serviks di Amerika Serikat dan kanker serviks invasif di
Jepang dan Indonesia. HPV58 telah diklon dari jaringan kanker serviks seorang
wanita Jepang. HPV 16, HPV 33, HPV 52, dan HPV 58 semuanya dikelompokkan
bersama-sama pada satu cabang pohon filogenetik HPV yang menunjukkan
kesamaan dalam potensi patogen mereka sebagai virus papilloma berisiko tinggi
penyebab kanker serviks.
Sejalan dengan pesatnya perkembangan teknik-teknik dalam biologi molekuler,
seperti PCR dan perunutan DNA, maka penggunaan runutan DNA dalam penelitian
filogenetika juga meningkat dengan pesat dan telah dilakukan pada semua tingkatan
taksonomi, misalnya famili, marga, dan spesies. Filogenetika molekuler
mengkombinasikan teknik biologi molekuler dengan statistik untuk merekonstruksi
hubungan antar mahluk hidup. Pemikiran dasar penggunaan sekuen DNA dalam
studi filogenetika adalah terjadinya perubahan basa nukleotida menurut waktu,
sehingga akan dapat diperkirakan kecepatan evolusi yang terjadi dan akan dapat
direkonstruksi hubungan evolusi antara satu kelompok organisme dengan yang
lainnya. Beberapa alasan digunakannya sekuen DNA, antara lain (1) DNA
merupakan unit dasar informasi yang mengkode organisme; (2) relatif lebih mudah
untuk mengekstrak dan menggabungkan informasi mengenai proses evolusi suatu
kelompok organisme, sehingga mudah untuk dianalisis; (3) peristiwa evolusi secara
komparatif mudah untuk dibuat model; dan (4) menghasilkan informasi yang banyak
dan beragam, dengan demikian akan ada banyak bukti tentang kebenaran suatu
hubungan filogenetik. Sekuen DNA telah menarik perhatian para praktisi taksonomi
dunia untuk dijadikan karakter dalam penelitian karena menawarkan data yang
akurat melalui pengujian homologi yang lebih baik terhadap karakter-karakter yang
ada dan sekuen DNA telah terbukti menghasilkan sebuah hubungan kekerabatan
yang lebih alami (Hidayat dan Pancoro 2006).

15
Sejak ditemukannya teknik perunutan DNA, telah lebih dari 100 tipe virus
papilloma baru ditemukan (Bernard dan Chan 2007). Virus papilloma termasuk ke
dalam famili Papillomaviridae yang kemudian dibagi menjadi beberapa tipe sesuai
dengan spesies inang yang ditumpanginya, misalnya HPV pada manusia, MfPV pada
monyet ekor panjang, RhPV, dan sebagainya. Dengan sistem klasifikasi terbaru,
virus papilloma terbagi menjadi beberapa genus, seperti Alpha papillomavirus, Beta
papillomavirus, Delta papillomavirus, dan Lambda papillomavirus.
Hasil pensejajaran nukleotida virus papilloma asal MEP dan beruk dilakukan
dengan menggunakan program CLUSTALW 2.1dan hasilnya ditunjukkan pada
Gambar 9. Berdasarkan pensejajaran terdapat kemiripan yang cukup tinggi antar
virus-virus isolat tersebut dengan kesamaan mencapai 88.5%. Hal ini ditunjang pula
dengan hasil pohon filogenetik yang menggambarkan semua isolat hasil penelitian
ini berada pada satu kelompok cabang pohon.
Hasil analisis dengan CLUSTALW 2.1 menunjukkan bahwa angka kesamaan
tertinggi (similarity) adalah antara sampel MfAB411 dan MfAB453 (Tabel 3).
Tabel 3 Indeks kesamaan menurut CLUSTALW 2.1
Indeks
kesamaan

MfAB4847

MfAB4847

Mf7167

MfAB411

MfAB453

Mn5434

Mn9349

88.5321

66.2844

66.2844

84.8624

67.8899

66.2844

66.2844

84.8624

67.8899

86.6972

72.0183

66.5138

72.0183

66.5138

Mf7167

88.5321

MfAB411

66.2844

66.2844

MfAB453

66.2844

66.2844

86.6972

Mn5434

84.8624

84.8624

72.0183

72.0183

Mn9349

67.8899

67.8899

66.5138

66.5138

66.9725
66.9725

Angka kesamaan (homologi) yang cukup tinggi pada sekuens virus papilloma
daerah L1 yang berasal dari fasilitas penangkaran PSSP-IPB. Hal ini sesuai dengan
hasil dari pohon filogenetik yang menempatkan seluruh sampel pada satu kelompok
(cluster)
Jarak evolusi antar virus papilloma dilihat dari perubahan runutan nukleotida
dihitung berdasarkan Kimura2 Parameter , dimana perubahan transversi dan transisi
dirubah menjadi matriks jarak dan dihitung, semakin sedikit perbedaan antar dua
runutan maka jarak yang diperoleh semakin kecil. Karena runutan nukleotida yang
sama dianggap berasal dari nenek moyang yang sama. Dua runutan yang terdekat
disebut sebagai tetangga (neighbour) . Matriks jarak memperlihatkan besarnya
perubahan runutan nukleotida antara spesies yang dibandingkan (table 4). Semakin
kecil nilai nilainya semakin dekat kekerabatan antara spesies tersebut. Matriks jarak
juga menunjukkan panjang cabang dari pohon filogenetik, dimana panjang cabang
adalah nilai matriks jarak dibagi 2.

16
CLUSTALW 2.1 multiple sequence alignment
MfAB411
MfAB453
MfAB4847
Mf7167
Mn5434
Mn9349
MfAB411
MfAB453
MfAB4847
Mf7167
Mn5434
Mn9349
MfAB411
MfAB453
MfAB4847
Mf7167
Mn5434
Mn9349
MfAB411
MfAB453
MfAB4847
Mf7167
Mn5434
Mn9349
MfAB411
MfAB453
MfAB4847
Mf7167
Mn5434
Mn9349
MfAB411
MfAB453
MfAB4847
Mf7167
Mn5434
Mn9349
MfAB411
MfAB453
MfAB4847
Mf7167
Mn5434
Mn9349
MfAB411
MfAB453
MfAB4847
Mf7167
Mn5434
Mn9349

AACCAGGTGTGTCCTACTGTGGTGGATACTACCAGAAGGCACAAACATGACACTCTGTGC
AACCAGGTGTGTCCTACT