Deteksi Dan Eliminasi Virus Pada Umbi Bawang Merah

DETEKSI DAN ELIMINASI VIRUS PADA UMBI
BAWANG MERAH

ASTRI WINDIA WULANDARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Deteksi dan Eliminasi
Virus pada Umbi Bawang Merah adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Januari 2016
Astri Windia Wulandari
NIM A352120171

RINGKASAN
ASTRI WINDIA WULANDARI. Deteksi dan Eliminasi Virus pada Umbi
Bawang Merah. Dibimbing oleh SRI HENDRASTUTI HIDAYAT dan SOBIR.
Salah satu penyebab rendahnya produksi bawang merah secara nasional
adalah ketersediaan benih yang berkualitas tinggi. Kualitas benih bawang merah
ditentukan antara lain oleh status kesehatan benih. Benih yang berkualitas adalah
benih yang bebas patogen termasuk bebas dari infeksi virus. Oleh karena itu
sangat diperlukan upaya untuk menyediakan benih bawang merah yang bebas
virus. Tanaman bawang merah dapat terinfeksi oleh virus dari kelompok
Potyvirus (OYDV/Onion Yellow Dwarf Virus, SYSV/Shallot Yellow Stripe Virus,
dan LYSV/Leek Yellow Stripe Virus), Carlavirus (SLV/Shallot Latent Virus dan
GCLV/Garlic Common Latent Virus), dan Alexivirus (MbLV/Shallot Mite borne
Latent Virus, Gar-V-B, Gar-V-C, Gar-V-D dan GMV/Garlic Mosaic Virus).
Penyakit yang disebabkan oleh virus bersifat sistemik dan apabila sudah ada
dalam jaringan benih, akan sulit untuk dieliminasi dan dapat menyebabkan
degenerasi. Infeksi virus pada tanaman bawang merah di lapangan maupun umbi

di tempat penyimpanan belum banyak diketahui di Indonesia.
Tujuan penelitian adalah mendeteksi virus dari umbi bawang merah,
mempelajari potensi perlakuan air panas dalam mengeliminasi infeksi virus pada
umbi bawang merah dan mempelajari potensi perlakuan air panas yang
dikombinasi dengan teknik kultur jaringan dalam mengeliminasi infeksi virus
pada umbi bawang merah. Penelitian dilaksanakan mulai Agustus 2013 hingga
Juli 2015, bertempat di Laboratorium dan Rumah kaca Virologi Tumbuhan,
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, serta Laboratorium Kultur
Jaringan, Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT), Institut Pertanian Bogor
(IPB). Umbi benih bawang merah diambil dari daerah Jawa Barat dan Jawa
Tengah. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purpossive sampling,
yaitu sampel yang diambil mewakili 2 elemen pelaku usahatani bawang merah
(petani dan pedagang) dari 5 daerah penghasil bawang merah (Brebes, Cirebon,
Kuningan, Majalengka dan Bandung). Diperoleh 10 kultivar bawang merah yaitu
Bima Brebes, Nganjuk, Timur Carwan, Ilokos, Bima Curut, Sumenep, Jawa, Batu
Merah, Batu Putih dan Jalaksana.
Kegiatan penelitian diawali dengan identifikasi virus menggunakan metode
DIBA (Dot blot immunobinding assay) dengan antibodi OYDV, SLV, dan GCLV.
Sampel uji terdiri atas umbi, dan daun hasil penanaman umbi (metode growing on
test), masing-masing sebanyak 15 sampel/kultivar/daerah. Sampel uji yang positif

terinfeksi virus digunakan sebagai bahan perlakuan pemanasan. Pengamatan
morfologi umbi bawang merah pada kultivar Bima Curut, Sumenep, Batu Merah
dan Jalaksana meliputi karakter diameter, jumlah lapisan dan kekerasan umbi,
menggunakan 10 umbi untuk masing-masing karakter.
Sampel umbi kultivar Bima Curut, Sumenep, Batu Merah dan Jalaksana
yang terinfeksi virus diberi perlakuan air panas pada suhu 40 C, 45 C, 50 C dan
55 C selama 15 dan 30 menit. Umbi bawang merah yang telah diberi perlakuan
air panas kemudian ditanam pada media tanah dan pupuk kandang steril. Satu
bulan setelah penanaman umbi dilakukan pengujian keberadaan virus dengan

metode DIBA. Perlakuan air panas yang paling baik yaitu 45 C dan 50 C selama
15 dan 30 menit dikombinasikan dengan kultur jaringan pada media MS, 2ip 2 mg
L-1 dan GA3 0.3 mg L-1. Keberadaan virus pada planlet hasil kultur jaringan
dideteksi menggunakan metode RT-PCR.
Berdasarkan deteksi virus dengan metode DIBA, sampel bawang merah
positif terinfeksi OYDV, SLV dan GCLV dengan rata-rata persentase infeksi
virus pada jenis sampel umbi bawang merah berkisar antara 0% sampai 100%,
sedangkan pada sampel daun bawang merah jumlah sampel yang terinfeksi virus
berkisar antara 53.33% sampai 100%. Hasil deteksi tersebut dapat digunakan
untuk merekomendasikan metode deteksi virus dari umbi bawang merah, yaitu

dengan metode growing on test sebelum dilakukan uji serologi. Pengamatan
morfologi umbi bawang merah menunjukkan bawang merah kultivar Batu Merah
memiliki diameter lebih besar dibandingkan dengan kultivar Sumenep, Bima
Curut dan Jalaksana. Jumlah lapis kultivar Batu Merah lebih banyak dibandingkan
kultivar Sumenep dan Jalaksana. Kultivar Jalaksana mempunyai tingkat kekerasan
lebih tinggi dibandingkan dengan kultivar Sumenep, Bima Curut dan Jalaksana.
Hasil pengamatan setelah perlakuan air panas pada suhu 40 C, 45 C, 50 C
dan 55 C selama 15 dan 30 menit terhadap jumlah umbi yang tumbuh dan
insidensi virus yang dikonfirmasi dengan metode DIBA menunjukkan bahwa
pertumbuhan umbi kultivar Jalaksana lebih tinggi dibandingkan dengan kultivar
Bima Curut, Sumenep dan Batu Merah. Insidensi virus tertinggi pada kultivar
Jalaksana dan terendah pada kultivar Batu Merah. Perlakuan suhu 50 C selama
30 menit dapat menekan insidensi virus sebesar 90 % pada kultivar Batu Merah.
Perlakuan suhu pemanasan yang terbaik yaitu 45 °C dan 50 °C selama 15 menit
dan 30 menit karena dapat menekan insidensi virus tetapi tidak mengganggu
pertumbuhan umbi.
Perlakuan air panas pada suhu 45 C dan 50 C selama 15 dan 30 menit
yang dikombinasikan dengan kultur jaringan menunjukkan bahwa jumlah eksplan
yang tumbuh pada kultivar Bima Curut cenderung lebih banyak, hal tersebut
menunjukkan bahwa kultivar Bima Curut lebih toleran terhadap perlakuan

pemanasan dibandingkan kultivar Sumenep. Daya tumbuh eksplan dan jumlah
daun kedua kultivar menunjukan kecenderungan yang sama pada perlakuan suhu
dan waktu pemanasan. Berdasarkan hasil deteksi virus pada plantlet bawang
merah diketahui bahwa insidensi virus pada kultivar Sumenep cenderung lebih
tinggi dibandingkan dengan pada kultivar Bima Curut. Perlakuan suhu 45 °C
selama 15 menit pada kultivar Bima Curut dapat menekan insidensi Potyvirus dan
Carlavirus sampai 100%. Perlakuan suhu 50 °C selama 15 menit pada kultivar
Sumenep dapat menekan Potyvirus sampai 100%.
Penyediaan umbi bawang merah bebas virus perlu diupayakan dalam rangka
meningkatkan kualitas umbi benih. Perlakuan umbi dengan air panas yang
dikombinasikan dengan kultur jaringan mempunyai potensi yang baik untuk
dikembangkan menjadi metode penyediaan umbi bawang merah bebas virus.
Kata kunci: Dot immuno binding assay, Garlic common latent virus, Shallot latent
virus, Onion yellow dwarf virus, RT-PCR

SUMMARY
ASTRI WINDIA WULANDARI. Detection and Elimination of Shallot Viruses
from Bulbs. Supervised by SRI HENDRASTUTI HIDAYAT and SOBIR.
Availability of high quality seed became an important constraint for
productivity of shallot in Indonesia. One indicator of high quality seeds is

determined by its seed health status, including free from virus infection.
Therefore, the effort to provide virus-free seed bulbs should become a priority in
disease management scheme. Major viruses causing diseases on shallot has been
reported, i.e. Potyvirus (OYDV /Onion Yellow Dwarf Virus, SYSV/Shallot Yellow
Stripe Virus, and LYSV/Leek Yellow Stripe Virus), Carlavirus (SLV/Shallot
Latent Virus and GCLV/Garlic Common Latent Virus), and Alexivirus
(MbLV/Shallot Mite borne Latent Virus, Gar-V-B, Gar-V-C, Gar-V-D and
GMV/Garlic Mosaic Virus). Virus infection occurs systemically, difficult to
eliminate from plant tissues, and may cause degeneration. Limited data and
information is available for virus infection on shallot in field as well as storage in
Indonesia.
The aims of this research were to detect viruses from shallot’s bulbs, to
evaluate the potential of hot water treatment for elimination of virus infection
from shallot’s bulbs, and from tissue culture plantlets. Research was conducted
since August 2013 to July 2015, in Laboratory and Screen house of Plant
Virology, Department of Plant Protection, Faculty of Agriculture, and Laboratory
of Tissue Culture, Center for Tropical Horticulture Study, Bogor Agricultural
University (IPB). Bulbs was collected from West Java and Central Java with
purpossive sampling method, i.e. taken from farmers and bulb sellers in Brebes,
Cirebon, Kuningan, Majalengka and Bandung. Ten cultivars of shallot was

collected, i.e. Bima Brebes, Nganjuk, Timur Carwan, Ilokos, Bima Curut,
Sumenep, Jawa, Batu Merah, Batu Putih and Jalaksana.
Virus identification was first proceeded using DIBA (Dot blot immune
binding assay) method with specific antibodies for OYDV, SLV, and GCLV.
Bulbs and leaves collected from growing on test method was used for the
identification assay, i.e. 15 samples/cultivar/location. Samples giving positive
reaction was then used for hot water treatment assay. Observation of bulb’s (cv
Bima Curut, Sumenep, Batu Merah and Jalaksana) morphology, using 10 samples
for each character, involved bulb diameter, number of layers, and hardiness of
bulb. Hot water treatment was given to bulbs using one of 4 temperatures, i.e. 40
C, 45 C, 50 C and 55 C, each with 2 different times, i.e. 15 and 30 min. Bulbs
was then grown on soil media containing sterilized compost. One month later,
virus was detected using DIBA method. The best hot water treatment, i.e. 45 C
and 50 C for 15 and 30 min, was then combined with tissue cuture using MS
media, 2ip 2 mg L-1dan GA3 0.3 mg L-1. Confirmation of virus infection on tissue
culture plantlet was detected using RT-PCR method.
Based on detection using DIBA method, infection of OYDV, SLV, and
GCLV was found 0% to 100% from bulb samples, and 53.55% to 100% from leaf
samples. This result can be used to give recommendation for virus detection
method from shallot’s bulbs, i.e. growing on test method followed by serology

using specific antibodies. Observation on morphology of bulbs indicated that bulb

diameter of cv Batu Merah was bigger than those of cv Sumenep, Bima Curut and
Jalaksana. Number of layers was also higher in cv Batu Merah than those of cv
Sumenep, and Jalaksana. Level of hardiness was found higher in cv Jalaksana than
those of cv Sumenep, Bima Curut and Batu Merah.
Observation on bulb growth following hot water treatment showed that cv
Jalaksana grew better than cv Bima Curut, Sumenep, and Batu Merah. Highest
virus incidence was found on cv Jalaksana, where as the lowest virus incidence
was on cv. Batu Merah. Hot water treatment on 50 C for 30 min was able to
suppress virus incidence up to 90% on cv Batu Merah. Overall, the best hot water
treatment was 45 °C and 50 °C for 15 and 30 min due to its ability to suppress
virus incidence without effecting bulb’s growth.
Hot water treatment of bulb on 45 C and 50 C for 15 and 30 min that was
combined with tissue culture showed that the highest number of explants grown
and number of leaf was found on cv Bima Curut. This result indicated better
tolerance of cv Bima Curut compared to cv Sumenep. Virus detection from the
two cultivars showed that virus incidence is higher on cv Sumenep than those of
cv Bima Curut. Hot water treatment on 45 C for 15 min on cv Bima Curut was
able to suppress incidence of Potyvirus and Carlavirus up to 100%. Similarly, hot

water treatment on 50 C for 15 min on cv Sumenep was able to suppress
incidence of Potyvirus up to 100%.
It is necessary to provide virus-free shallot’s bulbs in order to improve seed
bulb quality. Hot water treatment of bulbs followed by tissue culture has the
potential to be used as one method to develop virus-free shallot bulb.
.
Keywords: Dot immuno binding assay, Garlic common latent virus, Shallot latent
virus, Onion yellow dwarf virus, RT-PCR

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DETEKSI DAN ELIMINASI VIRUS PADA UMBI

BAWANG MERAH

ASTRI WINDIA WULANDARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Efi Toding Tondok SP. MScAgr

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga tesis dengan judul “Deteksi dan Eliminasi Virus pada Umbi

Bawang Merah” ini dapat diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat,
MSc dan Prof Dr Ir Sobir, MSi selaku pembimbing yang telah banyak
memberikan saran, arahan, serta dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Tri Asmira Damayanti, MScAgr
yang telah memberikan pengayaan ilmu, Dr Efi Toding Tondok, SP. MScAgr
sebagai dosen penguji, Direktur Pusat Kajian Hortikultura Tropika IPB beserta
staf yang telah membantu selama penelitian, rekan-rekan di Laboratorium
Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi IPB, rekan-rekan Fitopatologi angkatan
2012, Kepala Balai dan rekan-rekan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran atas
dukungannya, serta Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah
memberikan beasiswa.
Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada Ibunda, Ayah
dan Mamih mertua serta seluruh keluarga atas doa dan dukungannya. Teruntuk
suami tercinta dan anak-anak, terima kasih banyak atas segala doa, curahan kasih
sayangnya, dukungan dan pengertiannya kepada penulis selama ini.
Penelitian ini dibiayai oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Proyek kerjasama Institut Pertanian Bogor dan Australian Centre for
International Agricultural Research (ACIAR) serta Pusat Kajian Hortikultura
Tropika IPB.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016

Astri Windia Wulandari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1

2

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian

2

Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian

3

TINJAUAN PUSTAKA

5

Syarat Tumbuh Bawang Merah

5

Virus Utama pada Bawang Merah

5

Metode Deteksi Virus pada Bawang Merah

7

Eliminasi Virus dengan Perlakuan Air Panas

8

Teknik Kultur Jaringan dengan Metode Propagasi Tanaman In- 8
vivo
3

4

METODE

11

Waktu dan Tempat Penelitian

11

Bahan dan Alat

11

Pengambilan Sampel

11

Deteksi Virus dari Sampel Umbi dengan Metode DIBA

11

Deteksi Virus dengan Metode RT-PCR

12

Pengamatan Morfologi Umbi Bawang Merah

14

Perlakuan Panas pada Umbi Bawang Merah

15

Kultur Jaringan Bawang Merah

15

Analisa Data

16

HASIL dan PEMBAHASAN

17

Survei dan Pengambilan Sampel

17

Deteksi Virus dari Sampel Umbi

18

Deteksi Virus dari Sampel Daun

19

Morfologi Umbi Bawang Merah

21

Pengaruh Perlakuan Air Panas terhadap Pertumbuhan umbi dan 22
Insidensi Virus

DAFTAR ISI
Pengaruh Perlakuan Air Panas yang Dikombinasikan dengan 24
Kultur Jaringan
5

SIMPULAN

29

DAFTAR PUSTAKA

30

LAMPIRAN

34

RIWAYAT HIDUP

38

DAFTAR TABEL
1

Komposisi bahan RT-PCR untuk volume satu reaksi (10 µl)

13

2

Komposisi bahan PCR untuk volume satu reaksi (25 µl)

14

3

Primer yang digunakan untuk amplifikasi virus bawang merah 14
menggunakan metode PCR

4

Kultivar bawang merah yang diperoleh dari beberapa lokasi di daerah 17
Jawa Barat dan Jawa Tengah

5

Rata-rata infeksi virus pada sampel umbi bawang merah

18

6

Rata-rata infeksi virus pada sampel daun bawang merah

19

7

Rata-rata diameter umbi, jumlah lapis dan kekerasan umbi pada empat 21
kultivar bawang merah

8

Insidensi virus (%) di rumah kaca pada 29 HST setelah perlakuan air 22
panas pada umbi beberapa kultivar bawang merah

9

Insidensi virus pada daun bawang merah setelah perlakuan air panas 23
berdasarkan hasil deteksi dengan metode DIBA

10 Insidensi virus pada planlet bawang merah setelah kombinasi perlakuan 26
pemanasan dan kultur jaringan berdasarkan hasil deteksi dengan metode
RT-PCR

DAFTAR GAMBAR
1

Alur penelitian “Deteksi dan Eliminasi Virus pada Umbi Bawang 4
Merah”

2

Reaksi perubahan warna pada membrane dengan metode DIBA pada 20
sampel umbi (A) dan sampel daun (B) menggunakan antibody SLV.
Kolom 1-15, sampel bawang merah; kolom 16, bufer; kolom 17,
kontrol positif; dan kolom 18, kontrol negatif

3

Sampel bawang merah kultivar Sumenep (A), Bima Curut (B), Batu 21
Merah (C) dan Jalaksana (D)

4

Pertumbuhan eksplan kultivar Sumenep pada media MS+2ip+GA3, (A) 26
perlakuan 45°C, 15’; (B) 45°C, 30’; (C) 50°C, 15’; (D) 50°C, 30’; dan
(E) tanpa perlakuan

5

Pertumbuhan eksplan kultivar Bima Curut pada media MS+2ip+GA3, 27
(A) perlakuan 45°C, 15’; (B) 45°C, 30’; (C) 50°C, 15’; (D) 50°C, 30’;
dan (E) tanpa perlakuan

6

Hasil RT-PCR kultivar Bima Curut setelah perlakuan air panas 27
dikombinasikan dengan kultur jaringan menggunakan primer universal
Potyvirus (A) dan Carlavirus (B), (1,3,5) 45°C, 15 menit; (7,9,11)
45°C, 30 menit; (13,15,17) 50°C, 15 menit; (19,21,23) 50°C, 30 menit;
(25,27,29) kontrol (suhu ruang); (k+) kontrol positif

7

Hasil RT-PCR kultivar Sumenep setelah perlakuan air panas 28
dikombinasikan dengan kultur jaringan menggunakan primer universal
Potyvirus (A) dan Carlavirus (B), (A) 45°C, 15 menit; (B,D,F) 45°C,
30 menit; (H,I,J) 50°C, 15 menit; (K,M,O) 50°C, 30 menit; (Q,S,U)
kontrol (suhu ruang); (k+) kontrol positif

DAFTAR LAMPIRAN
1

Perbandingan diameter umbi, jumlah lapis dan kekerasan umbi pada 34
empat kultivar bawang merah

2

Pengaruh perlakuan kultivar, suhu pemanasan dan waktu pemanasan 34
terhadap pertumbuhan umbi

3

Pengaruh perlakuan kultivar, suhu pemanasan, waktu pemanasan dan 37
kombinasi ketiganya terhadap daya tumbuh dan jumlah daun eksplan

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas sayuran yang
mempunyai arti penting bagi masyarakat baik dari aspek nilai ekonomisnya yang
tinggi maupun aspek kandungan gizinya. Dalam dekade terakhir ini permintaan
akan bawang merah untuk konsumsi dan bibit dalam negeri mengalami
peningkatan, sehingga Indonesia harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Peningkatan produksi dan mutu hasil bawang merah harus senantiasa
ditingkatkan melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi untuk mengurangi
volume impor (Sumarni dan Hidayat 2005). Luas panen bawang merah di
Indonesia pada tahun 2011, 2012, 2013 dan 2014 berturut-turut 93 667, 99 519,
98 937 dan 119 966 ha dengan produksi berturut-turut 893 124, 964 221, 1 010
773 dan 1 227 838 ton (BPS 2015).
Salah satu penyebab rendahnya produksi bawang merah secara nasional
adalah terbatasnya ketersediaan benih yang berkualitas tinggi. Beberapa faktor
yang berperan dalam menentukan kualitas benih bawang merah ialah umur
simpan benih (2.5-3 bulan), umur panen yang tepat, ukuran benih (5-6 g), umbi
benih berwarna cerah dengan kulit mengkilat, umbi benih bernas, sehat, padat
tidak keropos dan tidak lunak, umbi benih tidak terserang hama dan penyakit
(Iriani 2013). Penyakit yang disebabkan oleh virus bersifat sistemik dan apabila
sudah ada dalam jaringan benih, akan sulit untuk dieliminasi dan dapat
menyebabkan degenerasi. Penurunan hasil panen umbi bawang merah akibat
penyakit mosaik berkisar antara 21.57-54.90% dengan kehilangan hasil panen
bawang merah akibat virus mencapai rata-rata 35.95% (Gunaeni et al. 2001).
Menurut Fajaro et al. (2001) dan Shahraeen et al. (2008), bawang merah
dapat terinfeksi oleh virus dari kelompok Potyvirus (OYDV/Onion Yellow Dwarf
Virus, SYSV/Shallot Yellow Stripe Virus, dan LYSV/Leek Yellow Stripe Virus),
Carlavirus (SLV/Shallot Latent Virus dan GCLV/Garlic Common Latent Virus),
dan Allexivirus (SMbLV/Shallot Mite borne Latent Virus, Gar-V-B, Gar-V-C,
Gar-V-D dan GMV/Garlic Mosaic Virus). Diantara virus yang menginfeksi
bawang merah, OYDV dan SYSV paling banyak dilaporkan menginfeksi tanaman
bawang-bawangan (Barg 1995, Helguera et al. 1997).
Jenis virus yang menginfeksi bawang merah di Indonesia dilaporkan oleh
Duriat (1990), Duriat et al. (1990) dan Sutarya et al. (1993) terdiri atas OYDV,
LYSV, dan SLV dengan insidensi penyakit berkisar antara 29.75-76.36%.
Kehilangan hasil akibat infeksi virus pada bawang merah belum banyak yang
melaporkan karena selama ini petani menganggap penurunan produksi bawang
merah diakibatkan oleh patogen lain. Menurut Walkey (1990), tanaman bawang
putih yang terinfeksi OYDV dan LYSV dapat menyebabkan kehilangan hasil
masing-masing sebesar 63% dan 54%. Kehilangan hasil akibat virus pada
bawang putih varietas Lumbu Hijau dan Lumbu Hitam di Indonesia berkisar
antara 16.67-39.35% (Gunaeni dan Sutarya 1996). Pengaruh infeksi virus-virus
tersebut terhadap produksi tanaman bawang merah belum banyak dilaporkan.
Virus yang sudah menginfeksi jaringan tanaman akan terus berkembang
sehingga dapat mempengaruhi kualitas bahan tanaman yang dihasilkan. Salah

2
satu teknik yang dapat mengeliminasi virus dari jaringan umbi bawang merah
adalah teknik kultur jaringan. Kultur jaringan adalah suatu teknik isolasi bagian
tanaman, seperti protoplasma, sel/sekelompok sel, jaringan, dan organ, serta
menumbuhkannya dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat
memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi individu tanaman lengkap. Kultur
jaringan biasanya dilakukan menggunakan media buatan yang ditambahkan
dengan beberapa zat pengatur tumbuh (ZPT) tertentu untuk menghasilkan
tanaman seperti yang diharapkan (Gunawan 1987).
Kultur jaringan saat ini dikembangkan untuk membantu mengeliminasi
patogen yang terdapat dalam tumbuhan, berguna juga untuk memperbanyak
tanaman secara cepat, biotransformasi, dan manipulasi genetik. Hasil penelitian
Noveriza et al. (2012) menunjukkan bahwa tanaman nilam, yang diperbanyak dari
kultur meristem apikal ukuran 0.5-1 mm, menghasilkan 33.3-99.9% tanaman
bebas Potyvirus. Teknik kultur meristem menjadi pilihan untuk pemurnian bibit
dari induk tanaman yang terinfeksi virus seperti pada kentang, bawang merah dan
bawang putih. Bibit yang bebas virus akan menunjukkan pertumbuhan dan hasil
yang baik. Hasil penelitian kultur meristem untuk bawang merah dan bawang
putih menunjukkan bahwa bibit yang dihasilkan tidak terinfeksi virus, diharapkan
bibit yang sudah dimurnikan dari virus tersebut mempunyai produksi yang tinggi.
Hasil penelitian dengan menggunakan pucuk mikro bawang merah menunjukkan
peningkatan hasil yang cukup tinggi dibandingkan dengan menggunakan bibit
biasa (Yunus 2009).
Efisiensi teknik kultur jaringan untuk eliminasi virus dapat ditingkatkan
dengan kombinasi perlakuan fisik seperti terapi pemanasan dan kimiawi
menggunakan senyawa antiviral sintetik. Hasil penelitian Budiarto et al. (2008)
menunjukkan bahwa perlakuan pemanasan dalam inkubator pada kondisi hari
panjang pada suhu 38-40 oC selama 3 minggu yang diikuti kultur meristem dapat
membebaskan 100% plantlet krisan dari infeksi Chrysanthemum Virus-B (CVB).
Upaya mengeliminasi virus dari umbi bawang merah masih perlu dilakukan
karena kebutuhan benih sehat akan terus meningkat seiring dengan target
pencapaian produktivitas bawang merah nasional. Kombinasi teknik kultur
jaringan dan perlakuan fisik maupun kimiawi diharapkan dapat menjadi metode
yang tepat untuk menghasilkan benih bawang merah bebas virus.

Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian
Data mengenai jenis-jenis virus yang menginfeksi umbi bawang merah di
Indonesia masih sangat terbatas. Padahal, salah satu upaya penyediaan benih
bawang merah bebas virus adalah melalui cara verifikasi yaitu dengan
pemeriksaan ulang keberadaan virus pada benih bawang merah. Upaya
penyediaan benih bawang merah bebas virus di Indonesia harus dapat dilakukan
dengan teknik yang sederhana tetapi efektif. Salah satu teknik yang potensial ialah
melalui perlakuan suhu panas dan kultur jaringan. Permasalahannya, belum ada
pengetahuan mengenai suhu air panas dan waktu pemanasan yang efisien untuk
eliminasi virus. Selain itu, varietas bawang merah yang ditanam oleh petani sangat
bervariasi dan dapat menentukan efisiensi metode eliminasi virus. Oleh karena itu,
beberapa pertanyaan ilmiah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah :

3
1. Jenis virus apa saja yang menginfeksi bawang merah?
2. Berapa suhu optimum dan waktu yang dibutuhkan untuk eliminasi virus?
3. Apakah kombinasi perlakuan air panas dan kultur jaringan dapat
mengeliminasi virus?
Penelitian berjudul “Deteksi dan Eliminasi Virus pada Umbi Bawang
Merah” telah dilakukan untuk menjawab permasalahan tersebut. Alur pelaksanaan
kegiatan penelitian adalah survei lapangan, pengambilan sampel, dan deteksi
virus, dilanjutkan dengan perlakuan panas dan kultur jaringan (Gambar 1).

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah :
1. Mendeteksi virus dari umbi bawang merah
2. Mempelajari potensi perlakuan air panas dalam mengeliminasi infeksi virus
pada umbi bawang merah
3. Mempelajari potensi perlakuan air panas yang dikombinasi dengan teknik
kultur jaringan dalam mengeliminasi infeksi virus pada umbi bawang merah.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat menyediakan metode eliminasi virus dari
jaringan umbi bawang merah untuk memproduksi bibit bebas virus. Penggunaan
bibit bebas virus akan menekan insidensi penyakit di lapangan sehingga dapat
meningkatkan produksi bawang merah di Indonesia.

4
Penelitian I
Identifikasi virus dari
umbi benih

Penelitian II
Eliminasi virus dengan
perlakuan air panas

Penelitian III
Eliminasi virus dengan
perlakuan air panas dan
kultur jaringan

Umbi dan daun hasil
growing on test

Perlakuan panas pada
umbi
menggunakan
suhu 40 C, 45 C, 50
C, 55 C selama 15
dan 30 menit

Perlakuan panas pada
umbi
menggunakan
suhu 45 C dan 50 C,
selama 15 dan 30 menit

Deteksi virus dengan
metode
DIBA
menggunakan
antiserum OYDV, SLV
dan GCLV

Pengamatan morfologi
umbi bawang merah :
diameter umbi, jumlah
lapis dan kekerasan
umbi

Penanaman
umbi
setelah perlakuan panas
pada media tanah dan
pupuk kandang steril

Deteksi virus dengan
metode
DIBA
menggunakan
antiserum OYDV, SLV
dan GCLV

Penanaman
umbi
setelah perlakuan panas
dengan kultur jaringan

Deteksi virus dengan
metode
RT-PCR
menggunakan primer
Potyvirus
dan
Carlavirus

Teknik eliminasi virus
Perlakuan
berpotensi
eliminasi virus

yang
untuk

Gambar 1 Alur penelitian “Deteksi dan Eliminasi Virus pada Umbi Bawang
Merah”
`

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Syarat Tumbuh Bawang Merah
Bawang merah (Allium ascalonicum L.) termasuk famili Liliaceae dan
merupakan sayuran semusim, berumur pendek dan diperbanyak secara vegetatif
menggunakan umbi, maupun secara generatif dengan biji (True shallot seed/TSS).
Tanaman bawang merah cocok tumbuh di dataran rendah sampai tinggi, yaitu
berkisar 0-1000 m di atas permukaan laut (dpl). Ketinggian optimum untuk
pertumbuhan dan perkembangan bawang merah adalah 0-450 m dpl.
Tanaman bawang merah peka terhadap curah hujan dan intensitas hujan
yang tinggi serta cuaca berkabut. Tanaman ini membutuhkan cahaya matahari
minimal 70% penyinaran, suhu udara 25 C-32 C, dan kelembaban nisbi 50%70%. Waktu tanam bawang merah yang baik adalah pada musim kemarau dengan
ketersediaan pengairan yang cukup, yaitu pada bulan April/Mei setelah padi dan
pada bulan Juli/Agustus. Penanaman bawang merah di musim kemarau biasanya
dilakukan pada lahan bekas padi sawah atau tebu, sedangkan penanaman di
musim hujan dilakukan pada lahan tegalan. Bawang merah dapat ditanam secara
tumpangsari dengan tanaman cabai merah. Dalam budidaya tanaman bawang
merah, perlu diperhatikan beberapa hal seperti pola tanam, pemilihan varietas,
kualitas umbi bibit, kerapatan tanaman, pengolahan tanah, penanaman dan
pemupukan, pengairan, pengendalian hama dan penyakit, serta pemanenan
(Sumarni dan Hidayat 2005).
Tanaman bawang merah memerlukan tanah berstruktur remah, tekstur
sedang sampai liat, drainase dan aerasi yang baik, mengandung bahan organik
yang cukup dan pH tanah netral (5.6-6.5). Tanah yang paling cocok untuk
tanaman bawang merah adalah tanah aluvial atau kombinasinya dengan tanah
glei-humus atau latosol. Tanah lembap dengan air yang tidak menggenang disukai
oleh tanaman bawang merah. Di Indonesia, daerah yang merupakan sentra
produksi bawang merah adalah Cirebon, Brebes, Tegal, Kuningan, Wates
(Yogyakarta), Lombok Timur dan Samosir (Sunarjono dan Soedomo 1989).

Virus Utama pada Bawang Merah
Virus utama yang menginfeksi bawang merah di Indonesia dilaporkan oleh
Duriat (1990), Duriat et al. (1990) dan Sutarya et al. (1993) yaitu OYDV, LYSV,
dan SLV. Hasil penelitian Mohammad et al. (2007) menunjukkan bahwa OYDV,
SLV, LYSV dan GCLV menginfeksi tanaman bawang putih di Siria Selatan
dengan insidensi penyakit sebesar 15 – 90%.
Onion yellow dwarf virus (OYDV)
Gejala pada tanaman bawang merah yang terinfeksi OYDV berupa tanaman
tumbuh kerdil dan ukuran daun mengecil. Warna daun belang hijau pucat sampai
bergaris kekuningan, pertumbuhan daun berpilin, sehingga tanaman nampak
menjadi kerdil walaupun daunnya tidak mengalami pemendekan. Ukuran umbi

6
mengecil walaupun tetap padat. OYDV menginfeksi 86% tanaman bawang putih
dan bawang merah di Asia. OYDV apabila bergabung dengan SLV dan SYSV
menunjukkan gejala semakin parah, namun gejala dapat tidak tampak dengan
bertambahnya umur tanaman (Chen et al. 2005; Yanju et al. 2010).
OYDV termasuk genus Potyvirus, partikel virus berbentuk filamen, tidak
terbungkus, umumnya berlekuk-lekuk (flexuous), panjang sekitar 772–823 nm
dengan berat protein selubung sekitar 34 kDa (Takaichi et al. 2001). Virus ini
ditularkan oleh M. persicae dan beberapa famili dari Aphididae secara non
persisten serta dapat ditularkan secara mekanis. Virus tidak ditularkan secara
kontak antara tanaman terinfeksi dan tanaman sehat, tidak ditularkan melalui biji
maupun serbuk sari. Penyebaran virus secara alami dibantu serangga vektor dan
melalui bahan perbanyakan vegetatif dari bawang yang terinfeksi (Brunt et al.
1996; Diekmann 1997). Virus dapat dideteksi secara serologi dengan EnzymeLinked Immunosorbent Assay (ELISA), namun pada awal pertumbuhan tanaman
sulit dideteksi karena konsentrasi virus sangat rendah (Van Dijk 1993; Brunt et al.
1996).
Shallot yellow stripe virus (SYSV)
Infeksi SYSV menimbulkan gejala pada daun bawang merah berupa garisgaris mosaik berwarna kuning tipis dan merupakan gejala ringan. Isolat SYSV
yang virulen dapat menyebabkan malformasi, hambatan pertumbuhan tanaman,
dan nekrosis. Inokulasi pada tanaman indikator C. quinoa dan C. amaranticolor
menyebabkan terjadinya lesio lokal (Diekmann 1997).
Virus ini termasuk genus Potyvirus, bentuk partikel virus berlekuk-lekuk
(flexuous) dengan panjang sekitar 700–800 nm. Virus ini ditularkan oleh kutudaun
secara non persisten, dapat ditularkan secara mekanis namun tidak ditularkan
melalui biji. Selain melalui vektor, penyebaran virus ini lebih banyak melalui
bahan tanaman yang terinfeksi (Van Dijk 1993; Van der Vlugt et al. 1999). Virus
ini telah dilaporkan tersebar luas di Asia (Diekmann 1997) termasuk di Indonesia,
China, dan Thailand (Van der Vlugt et al. 1999), namun belum dilaporkan
menyebabkan kehilangan secara ekonomi. Inang SYSV adalah bawang merah,
bawang multiplier, chinese chive, bawang putih, bawang bombai dan rakkyo.
SYSV dapat dideteksi dengan Triple Antibody Sandwich (TAS)-ELISA
menggunakan antibodi monoklonal (Barg et al. 1997).
Shallot latent virus (SLV)
Infeksi tunggal SLV pada bawang merah, bawang putih, bawang bombai
dan bawang daun tidak menunjukkan gejala dan kurang mempunyai arti penting.
Tetapi jika infeksinya menyertai infeksi virus lain (dari genus Potyvirus), virus ini
dapat memperparah kerusakan dan menyebabkan kehilangan hasil yang serius.
Selain pada bawang merah dan bawang putih, SLV mempunyai kisaran inang
yang luas dalam famili Alliaceae dan ditemukan pada lebih dari 80 jenis Allium
spp. Virus ini tersebar luas di Asia dan Eropa, serta pernah dilaporkan di Meksiko
(Van Dijk 1993; Barg et al. 1997).
Virus ini termasuk genus Carlavirus, partikel virus berbentuk filamen
sedikit berlekuk (flexuous) dengan panjang sekitar 650 nm (Diekmann 1997;
Antoniw dan Adams 2012). Virus ini dapat ditularkan secara mekanis maupun
melalui vektor kutudaun secara non persisten. Namun demikian, penularan SLV

7
melalui kutudaun kurang efisien dibandingkan Potyvirus, sehingga penyebaran
virus ini lebih banyak melalui bahan perbanyakan vegetatif. Penularan SLV
melalui benih khususnya pada bawang merah dan bawang putih belum dilaporkan
(Van Dijk 1993). Menurut Klukackova et al. (2004), virus dapat terbawa biji
bawang putih, yaitu OYDV (51%), GarCLV (33%), SLV (31%), dan GarMbFV
(33%)
Metode serologi (ELISA) dapat digunakan untuk deteksi SLV. Namun
untuk deteksi sampai tingkat strain agak sulit, karena adanya keragaman antar
strain SLV (Barg et al. 1994).

Metode Deteksi Virus pada Bawang Merah
Virus pada tanaman umumnya dideteksi menggunakan metode serologi.
Prinsip uji serologi adalah interaksi antara antigen dan antibodi yang bersifat
spesifik sehingga terbentuk komplek antigen-antibodi. Beberapa metode serologi
yang sering digunakan ialah ELISA (Enzyme linked immunosorbent assay), DIBA
(Dot blot immunobinding assay) dan TBIA (Tissue blot immunosorbent assay)
(Harlow dan Lane 1999). Perez-Egusquiza (2009) menggunakan ELISA untuk
mendeteksi ShMbLV (Shallot Mite-borne Latent Virus) pada tanaman bawang
merah.
Metode DIBA menggunakan membran nitropure nitrocellulose (NPN)
sebagai media reaksi. Cairan tanaman hasil penggerusan tanaman segar diteteskan
pada kertas membran kemudian direaksikan dengan antibodi (Lin et al. 1990).
Metode ini mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi, prosedur yang digunakan
sangat sederhana dan dapat digunakan untuk deteksi rutin dengan jumlah sampel
yang banyak (Dijkstra dan De Jager 1998). Dalam pengerjaannya, teknik DIBA
sangat mudah dan cepat dalam mendeteksi virus. Selain itu sampel yang sudah
diteteskan pada kertas membran dapat disimpan dalam jangka waktu yang
panjang (Chang et al. 2010). Teknik DIBA dapat mendeteksi keberadaan TMV
dalam ekstrak tanaman sakit yang telah disimpan dalam nitrocellulose membrane
(NCM) selama 42 hari pada suhu 29 C (Somowiyarjo et al. 1997).
Pengujian berdasarkan sifat asam nukleat (RNA, DNA) sebagai pembawa
informasi genetik merupakan aplikasi biologi molekuler dalam bidang ilmu
penyakit tumbuhan. Pengujian ini semakin banyak dilakukan karena hasilnya
dapat dipercaya, akurat dan reproducible, terutama untuk tujuan deteksi dan
identifikasi patogen yang masih asing. Kelebihan metode ini adalah dapat
membedakan jenis atau strain-strain virus dari suatu grup, mengetahui hubungan
kekerabatannya, serta tingkatan evolusi (mutasi) nya (Wahyuni 2005). Metode
molekuler yang banyak digunakan untuk mendeteksi virus tumbuhan adalah
polymerase chain reaction (PCR) atau reverse transcription-PCR (RT-PCR).

8
Eliminasi Virus dengan Perlakuan Air Panas
Metode yang umum digunakan untuk memproduksi propagul tanaman yang
bebas virus, viroid dan fitoplasma adalah dengan perlakuan panas (heat
treatment). Awalnya perlakuan panas diperlakukan pada keseluruhan tanaman
pada suhu konstan yang berkisar 35 C- 40 C. Meskipun banyak tanaman yang
mati setelah perlakuan tersebut, beberapa tanaman yang bertahan dapat menjadi
tanaman yang bebas virus. Bagian tanaman tersebut lebih tahan terhadap suhu
tinggi daripada jaringan tanaman lainnya. Sutrawati (2009) melaporkan bahwa
perlakuan air panas pada suhu 58°C selama 40 menit pada bahan stek nanas
mampu mengeliminasi PMWaV-2 tanpa mengurangi daya tumbuh dan vigor stek
nanas.
Banyak virus yang dapat dieliminasi dari tanaman inangnya dengan
perlakuan panas. Setelah beberapa tahun, untuk memperbesar peluang
mendapatkan tanaman bebas virus metode perlakuan panas dimodifikasi yaitu
dikombinasikan dengan kultur meristem apikal. Perlakuan panas dapat dilakukan
dengan penggunaan udara panas (hot air treatment) maupun air panas (hot water
treatment). Perlakuan air panas dengan waktu yang singkat lebih sering digunakan
daripada perlakuan udara panas. Selain menyebabkan terjadinya dehidrasi
tanaman, perlakuan udara panas kurang efektif dibandingkan perlakuan air panas.
Perlakuan air panas umumnya diperlakukan pada bagian tanaman dorman seperti
biji, maupun tunas. Namun untuk tanaman yang sedang tumbuh lebih sering
digunakan perlakuan udara panas, pada suhu 35 C sampai 40 C selama beberapa
hari atau beberapa minggu (Hadidi et al. 1998).
Perlakuan panas in vivo menghambat replikasi virus di dalam tanaman,
translokasi virus dan proses-proses dalam tanaman. Perlakuan panas dengan suhu
di atas 37 C mampu menghambat multiplikasi banyak virus, merusak movement
dan coat protein virus yang juga berperan dalam translokasi sistemik virus dalam
tanaman. Perlakuan panas in vivo tidak hanya berpengaruh terhadap virus di
dalam tanaman, tetapi juga menghambat proses fotosintesis, meningkatkan
respirasi gelap, dan mereduksi translokasi karbohidrat, mempengaruhi sintesis
protein, mempengaruhi pembelahan sel, pertumbuhan sel dan hormon tumbuhan.
Perubahan proses dalam tumbuhan juga dapat mempengaruhi virus dalam
tumbuhan tersebut (Hadidi et al. 1998).

Teknik Kultur Jaringan dengan Metode Propagasi Tanaman In-vivo
Kultur jaringan tanaman adalah suatu upaya mengisolasi bagian-bagian
tanaman seperti protoplas, sel, jaringan dan organ, kemudian mengkulturkannya
pada nutrisi buatan yang steril di bawah kondisi lingkungan terkendali sehingga
bagian-bagian tanaman tersebut dapat beregenersi menjadi tanaman lengkap
kembali. Gamborg dan Shyluk (1981), menyatakan bahwa berdasarkan jenis
eksplan yang digunakan dalam sistem kultur jaringan tanaman, dikenal sejumlah
tipe kultur, seperti kultur organ (biji, meristem, nodus tunggal, potongan daun,
akar, serta tunas), kultur kalus, kultur sel dan kultur protoplas.
Prinsip dasar kultur jaringan tumbuhan adalah teori totipotensi sel,
pengaturan regenerasi akar dan pucuk oleh hormon, organogenesis atau

9
embryogenesis, serta kompetensi dan determinasi inisiasi eksplan. Setiap tahapan
dari proses-proses tersebut dapat dimanipulasi melalui seleksi bahan eksplan,
medium kultur dan faktor-faktor lingkungan termasuk eliminasi mikroorganisme,
seperti cendawan dan bakteri. Semua faktor-faktor tersebut dimanipulasi untuk
memaksimalkan hasil yang dicapai dalam bentuk jumlah dan mutu propagul yang
didapatkan (Hartmann et al. 1990).
Menurut Biondi dan Thorpe (1982), terdapat 3 prinsip utama yang terlibat
dalam kultur jaringan dan mendasari terminologi kultur jaringan tersebut. Prinsipprinsip tersebut adalah (1) isolasi bagian tanaman dari tanaman utuh seperti organ,
jaringan, atau sel, (2) memelihara bagian tanaman tersebut dalam lingkungan yang
sesuai dan dalam kondisi yang tepat, dan (3) pemeliharaan dalam kondisi aseptik.
Keberhasilan teknik kultur jaringan dipengaruhi oleh interaksi antara faktorfaktor yaitu seleksi bahan tanaman, teknik sterilisasi eksplan, komposisi medium
dasar, keterlibatan zat pengatur tumbuh terutama auksin dan sitokinin, serta
faktor-faktor lingkungan dimana kultur ditempatkan. Faktor lain yang
mempengaruhi laju keberhasilan kultur jaringan adalah ukuran eksplan yang
digunakan. George dan Sherrington (1984), menyatakan bahwa semakin kecil
ukuran eksplan, akan semakin kecil pula kemungkinan terjadinya kontaminasi,
baik secara internal maupun eksternal, namun laju kehidupanpun akan rendah.
Sebaliknya, semakin besar ukuran eksplan, akan semakin besar pula kemungkinan
untuk berhasilnya proliferasi, namun kemungkinan terjadinya kontaminasi
mikroorganisme akan makin besar.
Perkembangan dan pertumbuhan eksplan meliputi proses organogenesis
yang terbagi dalam (1) organogenesis secara langsung adalah terbentuknya pucukpucuk adventif secara langsung pada permukaan eksplan, seperti daun, tanpa
melalui pembentukan kalus, (2) organogenesis secara tidak langsung yaitu bila
pembentukan pucuk-pucuk adventif terjadi pada permukaan kalus yang terbentuk
terlebih dahulu pada permukaan eksplan (Nagasawa dan Finer 1988; Hussey
1978). Kultur jaringan memerlukan media buatan yang terdiri atas unsur makro
dan mikro dalam bentuk garam, asam amino, vitamin, suplemen organik lain,
sumber karbon, dan ZPT. Media yang akan digunakan bergantung pada tujuan dan
jenis tanaman serta jenis dan umur jaringan yang akan dikulturkan.
Pada kultur jaringan bawang merah (A. ascalonicum L.) dapat digunakan
bahan tanam berupa tunas lateral. Hal ini mengacu pada salah satu konsep dasar
kultur jaringan yaitu organ yang digunakan dalam kultur jaringan harus
mempunyai sifat totipotensi. Penggunaan tunas lateral bawang merah bertujuan
untuk mendapatkan organ yang masih bersifat meristematik artinya organ tersebut
masih aktif membelah. Hasil penelitian Karjadi dan Buchori (2008) menunjukkan
bahwa ada perbedaan pertumbuhan plantlet akibat penambahan zat pengatur
tumbuh BAP dan pikloram. Persentase daun normal terbesar didapat dari
perlakuan B5 tanpa pikloram dan BAP, media MS tanpa pikloram. Pertumbuhan
akar plantlet lebih baik yang dikulturkan pada media MS tanpa hormon atau
dengan penambahan hormon dengan konsentrasi terendah. Keberhasilan kultur
jaringan dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh tanaman. Zat pengatur tumbuh ini
mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan
organ. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan
dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen, menentukan arah
perkembangan suatu kultur (Gunawan 1988). Inisiasi tunas dapat dirangsang

10
dengan penambahan zat pengatur tumbuh golongan sitokinin seperti benzilamino
purin (BAP). Fletcher et al. (2010) melaporkan bahwa perlakuan pemanasan yang
dikombinasikan dengan kultur jaringan pada bawang merah dapat mengeliminasi
SLV dan OYDV.

11

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai Agustus 2013 hingga Juli 2015, bertempat di
Laboratorium dan Rumah kaca Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, dan Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Kajian
Hortikutura Tropika (PKHT), Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi bawang merah
varietas lokal, antibodi OYDV, GCLV dan SLV, bahan dan alat untuk melakukan
kultur jaringan, deteksi virus dengan metode DIBA, dan RT-PCR.

Pengambilan Sampel
Umbi benih bawang merah diambil dari daerah Jawa Barat dan Jawa
Tengah. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purpossive sampling,
dimana sampel yang diambil mewakili 2 elemen pelaku usahatani bawang merah
(petani dan pedagang) dari 5 daerah penghasil bawang merah (Brebes, Cirebon,
Kuningan, Majalengka dan Bandung). Diperoleh 10 kultivar bawang merah yaitu
Bima Brebes, Nganjuk, Timur Carwan, Ilokos, Bima Curut, Sumenep, Jawa, Batu
Merah, Batu Putih dan Jalaksana. Sebanyak masing-masing 100 umbi bawang
merah diambil dari setiap kultivar, kemudian diambil 15 sub sampel untuk tahap
deteksi virus yang terdiri atas deteksi langsung dari sampel umbi dan daun hasil
penanaman umbi.

Deteksi Virus dari Sampel Umbi dengan Metode DIBA
Infeksi virus pada umbi dideteksi dari 2 jenis sampel, yaitu langsung dari
sampel umbi dan dari daun setelah umbi ditanam pada media tanam. Sebelum
ditanam, bagian kulit luar umbi yang mengering dibersihkan terlebih dahulu.
Bagian ujung umbi, sepanjang kurang lebih 1/4 bagian dari seluruh umbi,
kemudian dipotong. Tujuan pemotongan umbi untuk mempercepat pertumbuhan
tunas dan merangsang tumbuhnya umbi samping (Hidayat 2004). Umbi kemudian
ditanam di dalam polybag yang berisi media tanah dan pupuk kandang steril. Satu
bulan setelah penanaman umbi dilakukan pengujian keberadaan virus dengan
menggunakan metode DIBA.
Metode DIBA dilakukan berdasarkan metode Asniwita (2013) yang
dimodifikasi. Jaringan tanaman dilumatkan dengan konsentrasi 1 : 20 (b/v) dalam
bufer tris buffer saline (TBS) [Tris HCl 0.02 M, NaCl 0.5 M pH 7.5]. Cairan
perasan umbi atau daun diteteskan pada membran dan dikeringanginkan pada

12
suhu ruang. Membran kemudian direndam dalam larutan blocking non fat milk (50
ml TBS ditambah 2% Triton X-100 dan 2% skim milk) selama 1 jam sambil
digoyang menggunakan multi shaker EYELA dengan kecepatan 50 rpm pada
suhu ruang. Membran selanjutnya dicuci 5 kali selama 5 menit dengan dH2O
sambil digoyang dengan kecepatan 100 rpm. Membran kemudian direndam dalam
20 ml TBS yang mengandung 20 l antibodi pertama OYDV/SLV/GCLV
ditambah non fat milk dengan konsentrasi akhir 2% dan diinkubasi selama satu
malam pada suhu 4 C. Membran dicuci sebanyak 5 kali masing-masing dalam 1x
tris buffer saline tween dengan 0.05% Tween 20 (TBST) selama 5 menit sambil
digoyang dengan kecepatan 100 rpm, kemudian direndam dalam 20 ml TBS yang
mengandung konjugat (antibodi kedua) sebanyak 40 l untuk OYDV/SLV dan 20
l untuk GCLV ditambah non fat milk dengan konsentrasi akhir 2%. Membran
diinkubasi selama 60 menit sambil digoyang dengan kecepatan 50 rpm, kemudian
dicuci sebanyak 5 kali selama 5 menit dengan TBST sambil digoyang dengan
kecepatan 100 rpm. Khusus untuk deteksi SLV, membran selanjutnya direndam
dalam 20 ml TBS yang mengandung 20 l antibodi ketiga ditambah non fat milk
dengan konsentrasi akhir 2%, kemudian diinkubasi selama 60 menit sambil
digoyang dengan kecepatan 50 rpm, dan dicuci kembali dengan TBST. Tahap
terakhir, membran direndam selama 5 menit dalam 10 ml bufer AP (Tris-HCl 0.1
M, NaCl 0.1 M, MgCl2 5 mM dan air) yang mengandung 1 tablet nitro blue
tetrazolium dan bromochloroindolil phosphate (NBT+BCIP). Reaksi positif
ditandai oleh perubahan warna membran menjadi ungu pada tempat cairan
tanaman diteteskan dan reaksi dapat dihentikan dengan merendam membran
dalam dH2O.
Pengamatan persentase infeksi virus menggunakan rumus sebagai berikut :
Persentase infeksi virus =

Jumlah sampel terinfeksi
Jumlah sampel yang diuji

x 100%

Deteksi Virus dengan Metode RT-PCR
Deteksi virus dari plantlet hasil kultur jaringan dilakukan dengan metode
RT-PCR. Tahapan metode RT-PCR meliputi tahapan ekstraksi RNA, sintesis
complementary DNA (cDNA), amplifikasi target DNA, dan visualisasi hasil
amplifikasi.
Ekstraksi RNA. Ekstraksi RNA secara manual mengikuti metode CTAB
(Doyle dan Doyle 1990). Sebanyak 0.1 g sampel tanaman digerus dengan bantuan
nitrogen cair, kemudian ditambahkan 500 μ
β
. Hasil gerusan tersebut selanjutnya dimasukkan kedalam
tabung mikro 2 ml dan diinkubasi dalam penangas air pada suhu 65 °C selama 30
menit dan setiap 10 menit sekali dibolak-balik untuk membantu proses lisis.
Setelah 30 menit tabung yang berisi ekstrak tanaman diangkat dari penangas air
dan didiamkan selama 2 menit pada suhu ruang, kemudian ditambahkan 500 µl
campuran Chloroform:Isoamilalkohol (24:1). Agar tercampur dengan baik tabung
divortek dengan kecepatan tinggi selama 5 menit, kemudian disentrifugasi dengan

13
kecepatan 13 000 rpm selama 11 menit. Supernatan dipindahkan ke tabung baru
dengan hati-hati, kemudian ditambahkan Isopropanol (volume sebanding dengan
supernatan yang diperoleh). Tabung mikro dibolak-balik sehingga terlihat benangbenang RNA, lalu disentrifugasi dengan kecepatan 13 000 rpm selama 6 menit.
Setelah disentrifugasi campuran supernatan dan Isopropanol dipindahkan secara
hati-hati sehingga menyisakan pelet RNA. Etanol 70% sebanyak 500 µl
ditambahkan ke dalam tabung yang berisi pelet RNA, tabung disentrifugasi
dengan kecepatan 13 000 rpm selama 6 menit, etanol dibuang lalu pelet
dikeringkan dengan cara tabung diletakkan secara terbalik di atas tisu selama 15
menit. Pelet dilarutkan dalam 50 µl bufer TE 1x (10 mM Tris-HCl pH 8.0 mM
EDTA), dan RNA dapat langsung digunakan atau disimpan pada suhu -20 C.
Sintesis complementary DNA (cDNA). Produk ekstraksi RNA total
digunakan sebagai template untuk sintesis cDNA. Sintesis cDNA terjadi melalui
proses transkripsi balik RNA menggunakan ensim transcriptase MMuLV
(Moloney Murine Leukimia Virus) (Tabel 1). Sintesis cDNA dilakukan
μ RNA dan primer Poty 1 sebanyak 0.75 μ
diinkubasi pada suhu 65 C selama 2 menit dalam
penangas air. Setelah 2 menit tabung diangkat dari penangas air, kemudian tabung
direndam dalam es, selanjutnya dicampurkan komponen reaksi lainnya. Setelah
semua komponen reaksi dicampurkan, tabung diinkubasi pada suhu 37 C selama
60 menit menggunakan heat block dan dilanjutkan pada 70 C selama 2 menit
menggunakan penangas air. Produk reaksi transkripsi balik berupa cDNA
selanjutnya digunakan untuk tahapan amplifikasi
Tabel 1 Komposisi bahan RT-PCR untuk volume satu reaksi (10 l)
Komponen
Bufer RT
dNTP 10 mM
DTT 50 mM
RNAse Inhibitor
MMuLV
dH2O
Primer Poty 1
RNA
Volume total

Volume untuk 1 reaksi ( l)
2.00
0.50
0.35
0.35
0.35
3.70
0.75
2.00
10.00

Amplifikasi cDNA. Tahap amplifikasi DNA diawali dengan menyiapkan
semua bahan dalam tabung (Tabel 2 dan 3). Tahap amplifikasi DNA dilakukan
dengan teknik PCR mengikuti prosedur Jan et al. (2000). Untuk kontrol positif
digunakan cDNA dari tanaman terinfeksi virus.

14
Tabel 2 Komposisi bahan PCR untuk volume satu reaksi (25 l)
Komponen
dH2O
GTG Master mix
Primer F 10 mM
Primer R 10 mM
cDNA
Volume total

Volume untuk 1 reaksi ( l)
9.5
12.5
1.0
1.0
1.0
25.00

Tabel 3 Primer yang digunakan untuk amplifikasi virus bawang merah
menggunakan metode PCR
Virus
target
Potyvirus
(U341)

Carlavirus
(Alcar)

Pasangan primer*)

(5’…….3’)
R : GGATCCCGGGTTTTTTTTTT

Ukuran DNA
target (pb)
600-850

TTTTTTTV

F : CCGGAATTCATGRTITGGTG