Pengembangan Teknik Deteksi Fusarium Patogenik pada Umbi Bibit Bawang Merah (Allium cepa L. var ascalonicum Backer)

PENGEMBANGAN TEKNIK DETEKSI Fusarium
PATOGENIK PADA UMBI BIBIT BAWANG MERAH
(Allium cepa L. var ascalonicum Backer)

SITI FADHILAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan Teknik
Deteksi Fusarium Patogenik pada Umbi Bibit Bawang Merah (Allium cepa L.
var ascalonicum Backer) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Siti Fadhilah
NIM A352110091

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

RINGKASAN
SITI FADHILAH. Pengembangan Teknik Deteksi Fusarium Patogenik pada
Umbi Bibit Bawang Merah (Allium cepa L. var ascalonicum Backer). Dibimbing
oleh SURYO WIYONO dan MEMEN SURAHMAN.
Bawang merah (Allium cepa L. var ascalonicum Backer) merupakan salah
satu tanaman hortikultura penting di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS)
menyatakan bahwa luas areal produksi bawang merah di Indonesia pada tahun
2010 mencapai 109 ribu hektar dan perkiraan kebutuhan benih bawang merah di
Indonesia lebih dari 90 ribu ton. Sebagian besar petani menggunakan umbi
sebagai bibit, dan diketahui bahwa beberapa patogen dapat terbawa oleh bibit.
Salah satu penyakit penting yang banyak dilaporkan menyerang pertanaman dan
terbawa bibit bawang merah adalah layu fusarium yang disebabkan oleh Fusarium

oxysporum.
Berbagai metode dapat digunakan dalam pengujian kesehatan benih di
laboratorium. Salah satu metode yang cukup sederhana dan mudah, namun tetap
mampu memberikan hasil yang cukup akurat adalah metode blotter test. Metode
ini juga merupakan salah satu metode standar International Seed Testing
Association (ISTA) untuk pengujian beberapa cendawan antara lain Drechslera
oryzae dan Pyricularia oryzae pada benih padi (ISTA 2011). Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa F. oxysporum yang terbawa umbi bawang merah tidak
seluruhnya bersifat patogenik dan terdapat beberapa strain F. oxysporum yang
bersifat non patogenik. Kedua strain F. oxysporum tersebut tidak dapat dibedakan
secara morfologi. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan parameter yang
efektif pada blotter test untuk deteksi Fusarium patogenik pada umbi bibit
bawang merah, serta menentukan jumlah sampel minimal deteksi Fusarium
patogenik pada umbi bibit bawang merah.
Media yang digunakan pada tahap blotter test adalah kertas filter steril,
sedangkan media pada tahap growing on test (GOT) adalah pasir steril. Terdapat
dua parameter yang diamati pada blotter test yaitu tingkat infeksi Fusarium sp.
dan persen nekrosis pada basal plate setelah masa inkubasi. Parameter yang
diamati pada GOT adalah tingkat serangan penyakit layu Fusarium selama fase
pembibitan. Uji patogenisitas isolat Fusarium yang diisolasi pada blotter test

dilakukan pada umbi bawang merah. Penentuan jumlah minimal umbi bibit
bawang merah untuk blotter test dilakukan dengan menggunakan beberapa jumlah
sampel yang berbeda yaitu 25, 50, 75, 100, 125, 150, 175 dan 200 umbi. Umbi
yang digunakan dalam pengujian ini berasal dari satu varietas dan satu lot yang
sama. Pengamatan hasil uji berdasarkan persen nekrosis pada umbi setelah masa
inkubasi.
Diperoleh 20 sampel dari empat daerah sentra produksi bawang merah di
pulau Jawa yaitu dari daerah Nganjuk (6 sampel), daerah Brebes (6 sampel),
daerah Bantul (2 sampel) dan daerah Cirebon (6 sampel). Hasil blotter test
menunjukkan hasil rata-rata tingkat infeksi pada sampel umbi bibit bawang merah
adalah 78.7%, dengan kisaran tingkat infeksi Fusarium sp. antara 32% - 97.5%.
Tingkat rata-rata nekrosis dari seluruh sampel yang diuji adalah 17.3%, dengan
kisaran tingkat nekrosis antara 1.5% - 43%. Nekrosis pada umbi diamati pada
bagian basal plate umbi. Ciri nekrosis pada umbi adalah adanya jaringan yang

mengalami kematian yang diindikasikan dengan warna coklat pada jaringan
tersebut. Pada tingkat lanjut beberapa umbi menunjukkan gejala nekrosis parah
pada seluruh jaringan umbi. Rata-rata tingkat serangan layu fusarium berdasarkan
hasil GOT adalah 9.5%, dengan kisaran tingkat infeksi penyakit antara 0% - 30%.
Gejala penyakit layu fusarium pada bawang merah selama masa pertumbuhan di

rumah kasa dapat diamati berdasarkan gejala yang tampak, antara lain pada tahap
awal pucuk daun yang mucul mulai melingkar (beberapa helai atau semua helai
daun yang ada), kemudian terjadi yellowing atau perubahan warna daun yang
melingkar menjadi kuning dimulai dari pucuk daun ke arah pangkal daun. Pada
tahap selanjutnya daun akan mengering dan mengalami kematian. Gejala ini dapat
muncul pada tahap awal perkecambahan maupun pada tahap akhir perkecambahan.
Hasil pengujian menunjukkan parameter nekrosis pada basal plate umbi
bawang merah mempunyai koefisien korelasi (r) sebesar 0.77 terhadap tingkat
infeksi layu fusarium pada GOT dan lebih besar dari tingkat infeksi Fusarium sp.
(0.34) pada blotter test. Oleh karena itu, nekrosis pada basal plate dapat
digunakan sebagai parameter untuk mendeteksi Fusarium patogenik pada blotter
test. Hasil persamaan regresi yang diperoleh dari tingkat nekrosis dan tanaman
sakit adalah y = 0.61x + 0.564 dengan nilai R2 sebesar 0.591. Hasil pengujian
patogenisitas 195 isolat Fusarium sp. menunjukkan bahwa sebagian besar isolat
bersifat non patogenik terhadap umbi bawang merah (71.3%).
Penentuan jumlah minimal umbi menggunakan dua sampel yaitu varietas
Timur Carwan dari daerah Cirebon dan varietas Bima dari daerah Brebes. Hasil
pengolahan data dengan plot kurva rata-rata jumlah nekrosis pada basal plate dan
standar deviasi menunjukan jumlah sampel umbi minimal untuk blotter test
adalah 150 umbi. Perhitungan jumlah sampel dengan formal probabilty statement

yang menunjukkan jumlah umbi minimal untuk blotter test adalah 125 dan 138
umbi.
Kata kunci: basal plate,blotter test, jumlah sampel, nekrosis
.

SUMMARY
SITI FADHILAH. Development of Detection Technique for Pathogenic
Fusarium on Shallot Bulb (Allium cepa L. var ascalonicum Backer). Supervised
by SURYO WIYONO and MEMEN SURAHMAN.
Shallot (Allium cepa L. var ascalonicum Backer) is one of common
vegetable plant in Indonesia. Based on statistical data from Center of Statistical
Agency, Indonesia had almost 109 thousand hectares of shallot area production in
2010, and it needed more than 90 thousand ton of bulb as propagation material.
Most of Indonesian farmers prefer to use shallot bulbs for their planting material.
However, these bulbs can transmit some seed-borne diseases to the field. One of
the most important seed-borne diseases of shallot is fusarium wilt caused by
Fusarium oxysporum.
There are many methods for seed health testing such as blotter test method.
Blotter test is a simple, effective and accurate method for seed health testing in
laboratory. International Seed Testing Association (ISTA) also has applied this

method to detect some pathogenic fungus in Oryza sativa seed such as Drechslera
oryzae and Pyricularia oryzae (ISTA 2011). Some research showed that not all
Fusarium oxysporum which transmitted by shallot bulb are pathogenic. Moreover,
both strains could not be distinguished morphologically. The research aimed to
determine the appropriate parameter and the minimum sampel number of bulb to
detect the pathogenic Fusarium sp. on shallot bulb using blotter test.
Steriled filter paper and sand were used in blotter test and growing on test
respectively. There were two kind of parameter that observed in blotter test, i.e.
infection of Fusarium sp. and necrotic rate of the basal plate. Fusarium wilt
infection in seedling was the parameter that observed in growing on test.
Pathogenicity test on shallot bulb was conducted for Fusarium sp. that isolated
from the blotter test. There were some different sizes of sample (25, 50, 75, 100,
125, 150, 175, 200) to determine minimum sample size of shallot bulb for the
blotter test. Furthermore, the shallot bulb that used in this step should be drawn
from the same lot. Necrosis rate of basal plate after bulb incubation was observed
to determine the sample size.
There were 20 samples that tested for blotter test and growing on test.
These samples came from four different regions of shallot production center
around Java, i.e. Nganjuk (6 samples), Brebes (6 samples), Bantul (2 samples),
and Cirebon (6 samples). The average infection of Fusarium sp. in blotter test was

78.7% with the infection range of 32% - 97.5% and the average necrotic rate of
basal plate was 17.3% with the range of 1.5% - 43%. The discoloration of basal
plate tissue could be observed as symptom of necrosis that indicated by the
browning of basal plate tissue. Then, some of infected bulb showed the severe
necrosis throughout the bulb tissue. The growing on test result showed the
average of fusarium wilt disease was 9.5% with the range of 0% - 30%. The
symptoms of fusarium wilt disease are twisting leaves of younger ones, continued
by yellowing and necrosis of these leaves that starting from the tip to the base of
the leaves, and ended by the death of plant. The symptoms appear in either early
or late stage of plant development.

The result showed that necrosis on basal plate of shallot bulb had correlation
coefficient (r) 0.77 to the disease infection in GOT and it was higher than
Fusarium sp. infection with correlation coefficient (0.34) in the blotter test.
Therefore, necrosis of basal plate can be applied as parameter in blotter test to
detect pathogenic Fusarium in blotter test. The 195 isolates of Fusarium sp. were
tested their pathogenicity on shallot bulb, and the result showed that most of the
isolates were not pathogenic (71.3%) and only 28.7% were pathogenic on the
bulbs. It was indicated that many isolates that found in blotter test were not
pathogenic to shallot, thus the correlation index of Fusarium sp. infection rate to

the disease infection rate in GOT was low.
Curve plot of necrosis rate and its deviation standard were used to
determine the minimum sample number of shallot bulb should be tested in the
blotter test. The samples used for this test were Timur Carwan (from Cirebon
region) and Bima (from Brebes). The result showed that the minimum sample for
blotter test was 150 bulbs, and the formal probability statement also showed that
minimum number of shallot were 125 and 138 bulbs.
Keyword: basal plate, blotter test, necrosis, sample number

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGEMBANGAN TEKNIK DETEKSI Fusarium

PATOGENIK PADA UMBI BIBIT BAWANG MERAH
(Allium cepa L. var ascalonicum Backer)

SITI FADHILAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Bonny Poernomo W. S., MS.

Judul Tesis : Pengembangan Teknik Deteksi Fusarium Patogenik pada Umbi
Bibit Bawang Merah (Allium cepa L. var ascalonicum Backer)
Nama

: Siti Fadhilah
NIM
: A352110091

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc.Agr.
Ketua

Prof. Dr. Ir. Memen Surahman, M.Sc.Agr.
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Fitopatologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc.


Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.

Tanggal Ujian: 30 mei 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari sampai dengan
bulan Desember 2013 ini ialah deteksi penyakit pada bawang merah dengan judul
Pengembangan Teknik Deteksi Fusarium Patogenik pada Umbi Bibit Bawang
Merah (Allium cepa L. var ascalonicum Backer).
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc.Agr.
dan Prof. Dr. Ir. Memen Surahman, M.Sc.Agr. selaku pembimbing, Dr. Ir. Sri
Hedrastuti Hidayat, M.Sc dan Dr. Ir. Bonny Poernomo WS, M.Si atas masukan
yang telah diberikan kepada penulis, serta Ir. Tri Susetyo, MM dan seluruh staf
Balai Besar PPMBTPH yang telah memberikan ijin, dukungan dan fasilitas
laboratorium sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dengan baik.
Terimakasih juga penulis ucapkan kepada orang tua, suami (Sugeng Widodo),
anak-anak (Sabrina dan Syifana) dan keluarga besar tercinta yang selalu
memberikan dukungan dan doa selama penulis menempuh studi di IPB. Penulis
juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman Program Studi Fitopatologi
angkatan 2011 atas dukungan dan kekompakan selama masa studi di Program
Studi Fitopatologi IPB. Hasil penelitian ini akan dipublikasikan di jurnal
Hortikultura, Litbang Hortikultura, Kementerian Pertanian.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2014
Siti Fadhilah

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Pengujian Kesehatan Benih
Metode Blotter Test untuk Pengujian Cendawan Terbawa Benih
Cendawan Terbawa Benih Bawang Merah
Fusarium oxysporum Schlecht emend. Snyder dan Hansen
Standar Mutu dan Sertifikasi Benih Bawang Merah di Indonesia
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Metode Penelitian
Sampel Pengujian
Blotter test
Growing on Test di Rumah Kasa
Uji Patogenisitas Isolat Fusarium sp. Asal Umbi Bawang
Merah
Penentuan Jumlah Minimal Umbi Bibit Bawang Merah untuk
Blotter Test
HASIL
Sampel Umbi Bibit Bawang Merah
Blotter Test Pada Umbi Bibit Bawang Merah
Growing on Test (GOT) di Rumah Kasa
Korelasi Parameter Blotter Test dengan Tingkat Infeksi Penyakit
Layu Fusarium pada Pengujian Growing on Test (GOT) di Rumah
Kasa
Penentuan Jumlah Sampel Minimum untuk Blotter Test
PEMBAHASAN
SIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vii
1
1
2
2
2
3
3
4
6
8
8
9
9
9
10
11
11
12
12
12
14

15
17
18
22
22
22
26
35

DAFTAR GAMBAR
1
2

3

4

5
6
7

8
9
10
11
12

Label sertifikat benih bawang merah kelas benih sebar
Tahapan blotter test: a) sterilisasi permukaan umbi, b) dan c)
umbi diletakkan pada kotak plastik dengan media kertas filter,
d) inkubasi didalam inkubator
Growing on test (GOT) di rumah kasa: a) media pasir, b) penanaman
umbi pada media, c) pengujian GOT sampai dengan 21 hari, d) rumah
kasa
Uji patogenisitas Fusarium sp. dengan umbi: a) sterilisasi permukaan
umbi, b) umbi dibelah secara vertikal, c) penempelan isolat pada
bagian basal plate, d) inkubasi di dalam inkubator
Hasil blotter test: a) dan b) umbi tidak bergejala, c) dan d) umbi
bergejala
Gejala nekrosis pada basal plate umbi: a) umbi tidak bergejala; b)
umbi bergejala nekrosis pada basal plate
Gejala layu fusarium pada tanaman: a) Perbandingan antara tanaman
sehat dan tanaman bergejala layu fusarium, b) bagian pangkal
tanaman sehat, c) bagian pangkal tanaman bergejala layu fusarium, d)
Fusarium sp. yang diisolasi dari tanaman bergejala layu fusarium
Tingkat infeksi layu fusarium berdasarkan wilayah asal sampel
Hubungan tingkat infeksi Fusarium sp. umbi pada blotter test dan
tingkat tanaman sakit pada GOT di rumah kasa
Hubungan tingkat nekrosis umbi pada blotter test dan tingkat
tanaman sakit pada GOT di rumah kasa
Pengujian patogenisitas pada umbi a) kontrol, b) isolat non patogenik,
c) dan d) isolat patogenik
Hubungan jumlah sampel dan tingkat nekrosis basal plate umbi pada
blotter test: a) varietas Timur Carwan, b) varietas Bima
Brebes;
: SD nekrosis,
: nekrosis pada basal plate

8

9

10

11
13

13

14
15
15
16
17

16

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

5
6
7
8
9
10
11

Gejala nekrosis pada basal plate umbi bawang merah: a) c) e) dan g)
gejala luar pada umbi, b) d) f) dan h) gejala pada basal plate umbi
Gejala awal serangan layu fusarium pada bawang merah: daun
melingkar atau meliuk, warna daun hijau pucat atau kekuningan
Gejala nekrosis pada daun bawang merah dimulai dari ujung daun ke
arah pangkal daun
Gejala serangan penyakit layu fusarium pada tanaman bawang merah:
daun meliuk dan mengalami nekrosis kemudian tanaman menjadi
layu dan mati
Patogenisitas Fusarium sp. pada umbi bawang merah
Tingkat infeksi Fusarium dan tingkat nekrosis pada blotter test, serta
tingkat tanaman sakit pada growin g on test (GOT)
Daftar varietas bawang merah yang telah dilepas oleh Kementerian
Pertanian
Deskripsi bawang merah varietas Bima Brebes
Deskripsi bawang merah varietas Crok Kuning
Deskripsi bawang merah varietas Super Philip
Deskripsi bawang merah varietas Katumi

26
27
27
27
28
29
30
31
32
33
34

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bawang merah (Allium cepa L. var ascalonicum Backer) merupakan salah
satu tanaman hortikultura penting di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS)
menyatakan bahwa luas areal produksi bawang merah di Indonesia pada tahun
2010 mencapai 109 ribu hektar, dan tersebar hampir di seluruh Indonesia.
Beberapa daerah sentra produksi dengan luas lahan terbesar antara lain Jawa
Tengah, Jawa Barat, NTB dan Jawa Timur. Perkiraan kebutuhan benih bawang
merah di Indonesia lebih dari 90 ribu ton dan menjadi satu peluang besar bagi
petani untuk mengembangkan dan memperbanyak benih bawang merah. Sebagian
besar petani di Indonesia menggunakan umbi untuk bahan perbanyakan tanaman
di lapangan.
Permasalahan dalam produksi umbi bibit bawang merah baik di lapangan
maupun di gudang penyimpanan adalah penyakit tanaman. Penyakit tanaman
dapat disebabkan oleh berbagai faktor baik biotik maupun abiotik. Salah satu
faktor biotik penyebab penyakit tanaman adalah cendawan patogen. Laporan
Direktorat Perlindungan Hortikultura, Direktorat Jenderal Hortikultura,
Kementerian Pertanian tahun 2011 menyebutkan bahwa salah satu cendawan
patogen dominan yang menyerang tanaman bawang merah di Indonesia yaitu
Fusarium oxysporum. Cendawan ini menyebabkan penyakit busuk pangkal umbi
dengan LTS (luas tambah serangan) sebesar 618 ha. Selain itu cendawan ini juga
merupakan salah satu cendawan patogen utama yang tercantum dalam spesifikasi
persyaratan mutu umbi SNI bawang merah.
Fusarium oxysporum Schlecht emend. Snyder dan Hansen merupakan
salah satu cendawan patogen yang mampu bertahan di jaringan tanaman yang
hidup atau mati, serta mampu bertahan di tanah. Cendawan ini menyebabkan
penyakit busuk dan layu vaskular yang dapat menyebabkan tanaman mati.
F. oxysporum dilaporkan memiliki banyak forma spesiales sesuai dengan inang
yang diinfeksi, dan masing-masing dibagi ke dalam ras fisiologi yang pola
karakteristik virulensi pada berbagai tanaman inang yang berbeda (Armstrong dan
Armstrong 1968; Agrios 2005).
Peraturan perbenihan di Indonesia, seperti Undang-Undang No. 12 Tahun
1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman menyebutkan definisi benih tanaman
adalah tanaman atau bagiannya yang digunakan untuk memperbanyak dan/atau
mengembangbiakkan tanaman. Benih bina (benih varietas unggul yang telah
dilepas) yang akan diedarkan harus melalui sertifikasi dan memenuhi standar
mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah. Di dalam UU No. 13 Tahun 2010 tentang
Hortikultura juga ditetapkan bahwa sarana hortikultura termasuk di dalamnya
benih wajib memenuhi standar mutu dan terdaftar, jika telah memiliki Standar
Nasional Indonesia (SNI) maka wajib mencantumkan label SNI pada benih yang
diedarkan. SNI Bawang Merah yang diterbitkan pada tahun 2004 telah
menetapkan standar kesehatan umbi bawang merah. Pemeriksaan tersebut
meliputi pemeriksaan di lapangan dan pemeriksaan umbi di gudang penyimpanan,
namun belum terdapat prosedur pengujian kesehatan benih di laboratorium. ISTA
(International Seed Testing Association) Rules merupakan acuan dalam pengujian

2
benih di laboratorium baik untuk pengujian mutu fisik, fisiologis maupun
kesehatan benih. Namun di dalam ISTA Rules belum ditetapkan metode standar
dan jumlah sampel yang harus diuji untuk pengujian kesehatan benih bawang
merah dalam bentuk umbi.
Beberapa patogen terutama cendawan, dapat terbawa benih bawang merah
khususnya umbi. Salah satu cendawan patogen yang dilaporkan menyerang dan
terbawa umbi bawang merah di lapangan adalah Fusarium oxysporum penyebab
penyakit busuk dan layu vaskular. Cendawan ini juga merupakan salah satu
cendawan yang terdaftar dalam standar mutu kesehatan benih SNI Bawang Merah
dengan toleransi maksimal sebesar 5%. Fusarium sp. juga merupakan cendawan
dominan yang ditemukan pada pengujian pendahuluan yang dilakukan pada
penelitian ini yaitu sebesar 90.63%.
Berbagai metode dapat digunakan dalam pengujian kesehatan benih di
laboratorium. Salah satu metode yang cukup sederhana dan mudah, namun tetap
mampu memberikan hasil yang cukup akurat adalah metode blotter test. Metode
ini juga merupakan salah satu metode standar ISTA untuk pengujian beberapa
cendawan antara lain Drechslera oryzae dan Pyricularia oryzae pada benih padi
(ISTA 2011). Namun, beberapa penelitian menyebutkan bahwa F. oxysporum
yang terbawa umbi bawang merah tidak seluruhnya bersifat patogenik dan
terdapat beberapa F. oxysporum yang bersifat non patogenik. Groenewald (2006)
menyebutkan bahwa secara morfologi, Fusarium sp. yang bersifat patogenik tidak
dapat dibedakan dengan non patogenik, sehingga diperlukan pengujian lebih
lanjut untuk mengetahui apakah cendawan tersebut bersifat patogenik atau non
patogenik.
TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan parameter yang efektif pada
blotter test untuk deteksi Fusarium patogenik pada umbi bibit bawang merah,
serta menentukan jumlah sampel minimal untuk deteksi Fusarium patogenik pada
umbi bibit bawang merah.

TINJAUAN PUSTAKA
Pengujian Kesehatan Benih
Penggunaan benih yang sehat untuk pertanaman di lapangan merupakan
salah satu upaya mengurangi intensitas serangan dan penyebaran penyakit di
lapang. Benih dinyatakan sehat apabila tidak menunjukkan adanya gejala
serangan penyakit atau tidak terinfeksi patogen penyebab penyakit. Untuk
mengetahui atau memastikan bahwa benih yang digunakan sehat, diperlukan
adanya pengujian kesehatan benih di laboratorium.
Tujuan dari pengujian kesehatan benih di laboratorium adalah mengetahui
status (keadaan) kesehatan dari suatu kelompok benih. Pengujian ini mempunyai
beberapa arti penting antara lain inokulum yang terbawa benih berpotensi
menyebabkan serangan lapang dan patogen terbawa benih dapat mengintroduksi
penyakit dari satu daerah ke daerah lain. Selain itu, hasil pengujian kesehatan
benih dapat memberikan penjelasan rendahnya persentase daya berkecambah atau
buruknya pertumbuhan benih dilapang, dan dapat menjadi dasar rekomendasi

3
dalam perlakuan benih dalam upaya menekan resiko penularan penyakit (ISTA
2010). Pengujian kesehatan benih penting untuk tujuan karantina dalam proses
perdagangan benih, selain itu juga dapat digunakan untuk keperluan sertifikasi
benih, sebagai pengujian dalam rangka penentuan perlakuan benih yang tepat dan
efektifitas perlakuan tersebut, serta untuk menentukan ketahanan suatu kultivar
terhadap patogen yang menginfeksi benih (Neergaard 1977).
Metode umum dalam pengujian kesehatan benih antara lain pengamatan
lapang, pengamatan visual secara langsung, inkubasi, perkecambahan atau
pembibitan, dan serologi. Metode pengujian dengan inkubasi pada benih bertujuan
memberikan kondisi yang memungkinkan patogen untuk tumbuh dan berkembang.
Beberapa faktor yang harus diperhatikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan
patogen target antara lain perlakuan pendahuluan pada benih dengan sterilisasi
permukaan, penggunaan berbagai media tumbuh, dan manipulasi faktor
lingkungan selama masa inkubasi (Machado et al. 2002).
Metode Blotter Test untuk Pengujian Cendawan Terbawa Benih
Blotter test merupakan salah satu metode pengujian dengan inkubasi yang
telah direkomendasikan oleh ISTA untuk pengujian kesehatan benih di
laboratorium. Pengujian ini menggunakan kertas yang telah dilembabkan dengan
air steril. Jumlah air yang ditambahkan pada kertas harus cukup untuk menjaga
kelembaban lingkungan selama masa inkubasi dan dapat digunakan benih untuk
berimbibisi. Benih yang diuji diletakkan di media dalam kondisi aseptik, dan
diberikan jarak antar benih yang cukup untuk perkembangan patogen selama masa
inkubasi. Suhu inkubasi yang digunakan merupakan suhu optimum untuk
perkembangan patogen pada benih. Tingkat infeksi dihitung berdasarkan jumlah
patogen yang tumbuh pada benih yang diuji. Salah satu inti dari pencatatan dalam
blotter test ini adalah pengamatan secara cepat karakter masing-masing spesies
cendawan yang muncul seperti bentuk, panjang dan susunan konidiofor, bentuk,
ukuran, warna, jumlah septa, pembentukan rantai dari konidia cendawan, serta
karakter lain yang menjadi penciri suatu spesies cendawan yang diamati
(Neergaard 1977).
Metode ini secara umum digunakan dalam pengujian kesehatan benih
secara rutin, terlebih apabila benih tidak dapat diuji menggunakan metode agar.
Kelebihan dari metode ini adalah dapat digunakan untuk semua jenis benih, baik
benih sereal, sayuran, bunga, maupun benih kehutanan. Tingkat sensitifitas
metode ini cukup tinggi, metode pengujian cukup sederhana, mudah serta tidak
dibutuhkan peralatan laboratorium yang kompleks dan mahal. Namun terdapat
beberapa keterbatasan dari metode ini yaitu tingkat sensitivitas dapat berkurang
jika lot benih yang diuji memiliki tingkat kontaminasi saprofit yang tinggi. Selain
itu, metode ini hanya cocok untuk patogen yang menghasilkan struktur yang dapat
diidentifikasi, serta membutuhkan waktu inkubasi minimal 7 hari (Neergaard
1977; Machado et al. 2002).
Cendawan Terbawa Benih Bawang Merah
Salah satu permasalahan yang dihadapi petani di lapangan adalah serangan
penyakit. Penyakit tanaman dapat disebabkan oleh faktor biotik maupun abiotik.

4
Faktor biotik penyebab penyakit tanaman antara lain cendawan, bakteri, virus,
nematoda, maupun serangga. Sumber infeksi di lapang dapat berasal dari lahan
atau pertanaman disekitarnya, maupun benih atau bibit yang digunakan dalam
proses pertanaman. Umbi bawang merah yang merupakan bahan perbanyakan
vegetatif, sangat berpotensi membawa penyakit atau sebagai sumber infeksi di
lapang. Penyakit terbawa umbi juga dapat menyebabkan kerugian pada masa
penyimpanan umbi sebelum tanam karena menimbulkan penyakit busuk umbi.
Rajapakse dan Edirimanna (2002) mengisolasi cendawan dari umbi sakit
dan umbi sehat yang sedang di simpan di Sri Lanka dan diperoleh beberapa isolat
kelompok cendawan yang berbeda antara lain spesies Fusarium, Colletotrichum
gloeosporoides, Altenaria, dan Sclerotium. Diantara isolat cendawan yang
ditemukan Fusarium sp. Colletotrichum sp. dan Sclerotium sp. terbukti berperan
dalam menyebabkan terjadinya busuk umbi selama penyimpanan. Cavanagh dan
Hazzard (2012) melaporkan beberapa penyakit pascapanen dan penyakit pada
penyimpanan bawang putih dan bawang bombai antara lain busuk pangkal
fusarium yang disebabkan oleh F. oxysporum f. sp cepae, busuk leher botrytis
oleh Botrytis sp., bercak abu-abu oleh A. porri, busuk putih oleh Sclerotium
cepivoru, dan blue mold oleh Penicillium sp..
Fusarium oxysporum penyebab penyakit busuk dan layu vaskular pada
bawang merah merupakan salah satu penyakit utama yang banyak dilaporkan
menyerang tanaman di lapangan. Penyakit ini juga dilaporkan terbawa oleh benih
bawang merah dalam bentuk umbi. Hasil studi pada pengujian pendahuluan yang
dilakukan pada penelitian ini diketahui bahwa Fusarium sp. merupakan cendawan
yang dominan ditemukan di umbi bawang merah dengan tingkat infeksi 90.63%,
dibandingkan dengan cendawan lain yaitu Alternaria sp. (6.25%), Cladosporium
sp. (9.38%), dan Botrydiplodia sp. (3.13%).

Fusarium oxysporum Schlecht emend. Snyder dan Hansen
Fusarium oxysporum Schlecht emend. Snyder dan Hansen merupakan
cendawan tular tanah yang mampu beradaptasi dan ditemukan di berbagai jenis
tanah baik di daerah tropis, temperate, maupun daerah gurun. Strain-strain F.
oxysporum menyebar sebagai penghuni tanah yang mampu bertahan sebagai
saprofit, mendegradasi lignin dan karbohidrat komplek, serta dapat bertahan
dalam partikel organik tanah. Cendawan ini juga dapat menjadi endofit tanaman
yang mengkolonisasi akar tanaman, dan bahkan dapat melindungi tanaman atau
dapat menekan penyakit tanaman. Meskipun secara umum cendawan ini pada
habitat asalnya di tanah tidak berbahaya atau bahkan berfungsi sebagai endofit
tanaman yang menguntungkan atau saprofit tanah, namun ditemukan banyak
strain kompleks F. oxysporum bersifat patogenik terhadap tanaman khususnya
pada lahan pertanian (Kistler 2001).
F. oxysporum termasuk dalam Deuteromycetes, cendawan ini
berkembangbiak melalui fase aseksual dengan menghasilkan tiga jenis konidia
yaitu mikrokonidia, makrokonidia dan klamidospora. Belum ditemukan fase
seksual dari cendawan ini. Konidia dihasilkan pada phialid tunggal dan di dalam
sporodochia. Mikrokonidia pada umumnya mononukleat, memiliki viabilitas dan
daya berkecambah yang rendah, sedangkan makrokonidia dihasilkan dalam

5
jumlah banyak, multinukleat, dan mampu berkecambah lebih cepat. Klamidospora
dihasilkan dari modifikasi segmen hifa vegetatif, sel konidia memiliki dinding
yang tebal dan merupakan struktur bertahan F. oxysporum di alam. Cendawan ini
dapat menyebar melalui sisa-sisa tanaman dan tanah yang terinfeksi, air irigasi,
alat-alat pertanian, serta benih tanaman.
Strain patogenik F. oxysporum telah lama diteliti dan memiliki kisaran
inang yang cukup beragam. Namun beberapa individu isolat biasanya hanya
mampu menyebabkan penyakit pada jenis tanaman inang tertentu, sehingga
dikelompokkan dalam forma spesiales. Forma spesiales didefinisikan sebagai
klasifikasi berdasarkan karakteristik cendawan yang mampu menimbulkan
penyakit pada tanaman inang tertentu. Armstrong dan Armstrong (1968)
menyebutkan terdapat 65 forma spesiales dengan 36 ras dari F. oxysporum
penyebab penyakit layu pada tanaman, dan salah satunya adalah Fusarium
oxysporum f. sp cepae. Selain formae spesiales, Fusarium juga dikelompokan
berdasarkan vegetative compatibility group (VCG). Pada kelompok VCG yang
sama hifa pada strain cendawan yang kompatibel secara vegetatif, dapat menyatu
selama pertumbuhan cendawan dan sel yang menyatu tersebut dapat bertahan
hidup, dan pada spesies tertentu sel tersebut dapat tumbuh. Jika hifa dari dua
strain tidak dapat menyatu, atau jika satu atau kedua sel yang menyatu mati, maka
sel tersebut dianggap tidak kompatibel secara vegetatif. Isolat dalam kelompok
VCG yang sama mempunyai karakter genotipik dan fenotipik yang hampir sama
(Klein dan Correl 2001). Appel dan Gordon (1994) mengidentifikasi 56 VCG dari
197 isolat F. oxysporum yang diisolasi dari lahan pertanian melon di Maryland.
Widodo (2000) juga melaporkan terdapat 4 VCG yang berbeda dari 38 isolat F.
oxysporum f. sp. cepae yang diisolasi dari tanah di Hokaido, Jepang.
F. oxysporum f. sp. cepae dilaporkan menyebabkan penyakit layu
fusarium dan busuk basal pada tanaman bawang-bawangan seperti bawang
bombai (Allium cepa), bawang putih (Allium sativum) maupun bawang merah
(Allium cepa var. ascalonicum). Cendawan ini juga dilaporkan menyerang
pertanaman bawang merah dan menyebabkan leaf twisting disease di Sri Lanka
(Kuruppu 1999), serta di Indonesia (Tondok 2001). F. oxysporum f. sp. cepae
menyebabkan basal rot pada bawang bombai di Iran (Rabiei-Motlagh et al. 2010)
dan menyebabkan busuk fusarium pada umbi bawang putih (Jepson 2008).
F. oxysporum f. sp. cepae bertahan antar musim tanam di dalam tanah
dalam sisa-sisa tanaman terinfeksi dalam bentuk miselium dan berbagai bentuk
spora seperti klamidospora, makrokonidia dan mikrokonida. Cendawan ini dapat
aktif dalam berbagai tingkat kadar air tanah yang memungkinkan tanaman dapat
tumbuh dan berkembang, dengan kisaran kelembaban optimum 60-70%. Kisaran
suhu optimum untuk pertumbuhan F. oxysporum f. sp. cepae di media kultur
adalah 24-27OC, sedangkan kisaran suhu optimum di tanah adalah 25-28OC, serta
jarang ditemukan pada suhu di bawah 15OC. Tingkat infeksi pada tanaman akan
semakin parah pada periode iklim basah sebelum fase panen. Cendawan ini dapat
menyebar melalui air, alat-alat pertanian terkontaminasi, bahan tanaman termasuk
benih yang terinfeksi serta tanah yang terbawa bagian tanaman tersebut (Abawi
dan Lorbeer 1972; Agrios 2005; Havey 2008).
Tanaman dapat terinfeksi F.oxysporum f.sp. cepae pada berbagai tingkat
umur, dan dapat menginfeksi umbi sejak di lapangan. Penetrasi secara langsung
pada umbi merupakan salah satu cara penularan yang sangat penting. Ketika

6
tanaman sehat ditanam pada tanah yang terkontaminasi, maka spora akan
membentuk tabung kecambah atau miselium untuk melakukan penetrasi pada
ujung akar secara langsung atau memasuki akar melalui luka atau pada titik
pembentukan akar lateral (Abawi et al.1971a; Agrios 2005; Havey 2008). Pada
bawang Bombai, F. oxysporum f. sp. cepae menginvasi akar melalui penentrasi
secara langsung maupun melalui luka. Patogen tumbuh pada bagian bawah
pangkal batang menginvasi pangkal batang tanaman dan daun yang muncul dari
umbi. Patogen tumbuh di dalam ruang interseluler akar atau pangkal batang,
kemudian menginvasi sel-sel yang ada (Abawi et al.1971a).
Gejala serangan penyakit pada tanaman dapat muncul pada umur 15
sampai 20 hari setelah tanam, dengan gejala antara lain berupa daun menguning
pada pucuk daun ke arah pangkal daun. Bentuk daun menjadi rata dan tebal (daun
normal berbentuk seperti pipa), daun tidak tumbuh tegak tetapi meliuk karena
daun tumbuh lebih panjang, serta warna daun hijau pucat atau kekuningan.
Tanaman terkadang menjadi kerdil atau mengalami pertumbuhan yang berlebihan,
pada tahap selanjutnya tanaman akan mengalami nekrosis dan umbi pada tanaman
bergejala akan membusuk. Akar tanaman berwarna coklat pucat dan berukuran
lebih pendek dibandingkan dengan akar tanaman sehat. Pada umumnya tanaman
yang bergejala tidak dapat menghasilkan umbi atau bahkan akan kering dan mati
pada 38 hari setelah tanam. Pada tingkat serangan penyakit ringan umbi yang
dihasilkan akan berukuran lebih kecil dan lebih sedikit dibandingkan dengan
tanaman sehat (Tondok 2001; Wiyatiningsih et al. 2009).
Cendawan F. oxysporum menghasilkan enzim pendegradasi dinding sel
yang merupakan salah satu alat penetrasi cendawan pada sel tanaman. Beberapa
enzim yang dihasilkan antara lain selulosa, glucanase, xylanase, glucosidase,
pektinase dan poligalakturonase (Leslie et al. 2006). Dua peranan penting enzim
pendegradasi dinding sel dalam perkembangan penyakit layu vaskular antara lain
pada saat penentrasi lapisan kortek akar untuk memperoleh akses ke dalam sistem
vaskular dan selama proses kolonisasi tanaman inang melalui penyebaran di
jaringan xylem (Roncero et al. 2003). Aktivitas pektinase dan xylanase ditemukan
pada tanaman chickpea yang terinfeksi Fusarium oxysporum f. sp. ciceris,
sedangkan aktivitas enzim poligalakturonase terjadi pada jaringan tanaman yang
terinfeksi pada saat gejala penyakit mulai berkembang. Aktivitas enzim
pendegradasi dinding sel di akar dan batang tanaman ini memiliki korelasi positif
dengan perkembangan gejala kuning dan layu (Jorge et al. 2006). Enzim
pectinolitic extracellular ditemukan pada akar dan batang tanaman tomat yang
terinfeksi oleh F. oxysporum f.sp. lycopersici, sedangkan poligalakturonase
terdeteksi pada batang tanaman terinfeksi dan pektatliase terdeteksi pada akar
tanaman selama fase infeksi awal (Pietro dan Roncero 1996).

Standar Mutu dan Sertifikasi Benih Bawang Merah di Indonesia
Bawang merah (Allium cepa L. var ascalonicum Backer) termasuk dalam
famili Liliaceae, tanaman ini diyakini berasal dari daerah Asia Selatan. Bawang
merah merupakan salah satu tanaman hortikultura penting di Indonesia. Tanaman
ini dapat diperbanyak melalui benih baik yang berasal dari bahan perbanyakan
vegetatif seperti umbi maupun bahan perbayakan generatif seperti biji. Petani

7
bawang merah di Indonesia sebagian besar menggunakan umbi untuk bahan
perbanyakan di lapangan. Sebagai bahan pembiakan vegetatif, umbi sangat
berpotensi membawa dan menyebarkan penyakit di lapangan
Penggunaan benih yang bermutu merupakan salah satu upaya untuk
mendapatkan hasil produksi yang maksimal di lapangan. Penggunaan benih
bermutu dapat mengurangi resiko kegagalan budidaya karena bebas dari serangan
hama dan penyakit, serta mampu tumbuh baik pada kondisi lahan yang kurang
menguntungkan. Kebutuhan benih bawang merah di Indonesia belum sepenuhnya
dapat dipenuhi oleh produsen atau penangkar benih yang ada. Maemunah (2013)
menyebutkan dari total kebutuhan benih bawang merah yang ada, baru dapat
terpenuhi sekitar 9 524 ton kelas benih sebar atau setara 9.24% dari total
kebutuhan benih. Oleh karena itu, masih banyak petani di Indonesia yang
menggunakan benih asalan yang berasal dari umbi untuk konsumsi untuk ditanam
di lapangan. Penggunaan benih yang bermutu rendah dapat mengakibatkan
terjadinya penurunan produksi sekitar 2.6% untuk satu kali tanam.
Standar mutu benih merupakan syarat mutu yang telah ditetapkan oleh
pemerintah dan harus dipenuhi oleh benih yang akan diedarkan. Proses penetapan
dan pengawasan mutu benih yang dihasilkan oleh petani dilaksanakan melalui
proses sertifikasi benih. Sertifikasi benih adalah proses pemberian sertifikat
kepada kelompok benih yang sudah lulus pemeriksaan, pengujian laboratorium
dan pengawasan, serta memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh
pemerintah untuk diedarkan. Tujuan dari sertifikasi benih secara umum adalah
untuk menjamin kemurnian dan kebenaran varietas dan menjamin tersedianya
benih bermutu secara berkesinambungan. Hal ini dapat mendukung penangkar
benih dalam memproduksi benih berkualitas tinggi yang sehat dan ekonomis,
serta membantu konsumen untuk mendapatkan benih yang berkualitas. Sertifikasi
juga menjamin suatu lot benih memenuhi standar mutu tertentu dan sejarah lot
benih tersebut dapat tertelusur dengan baik. Proses sertifikasi juga diharapkan
mampu mengendalikan patogen terbawa benih dan mencegah penyebaran
penyakit di lapangan.
Berbagai negara di dunia telah menerapkan proses sertifikasi benih secara
ketat. Standar Phoma lingam untuk benih dasar guna perbanyakan tanaman di
Inggris adalah 0% dalam 1000 benih. Hal ini juga berlaku untuk Phoma betae
pada red beet, Phoma apiicola dan Septoria apiicola pada seledri, Colletotrichum
lindemuthianum pada buncis, dan Aschochyta fabae pada faba bean. Pengujian
benih untuk tingkat infeksi cucumber mosaic virus (CMV) pada benih Lupinus
angustifolius di Australia tidak boleh melebihi 0.5%. Di New South Wales
terdapat hubungan antara infeksi benih dan serangan penyakit di pertanaman,
sehingga penerapan sertifikasi dalam proses produksi benih mampu menekan
infeksi Sclerotia sclerotiorum. Penerapan program sertifikasi benih yang ketat di
Idaho juga berperan dalam mengeliminasi bakteri terbawa benih pada benih
buncis (Agarwal dan Sinclair 1996).
Sertifikasi benih di Indonesia untuk benih hortikultura maupun benih
tanaman pangan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah yang terdapat di setiap
provinsi, yaitu Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan
Hortikultura (BPSBTPH). Standar mutu dalam proses sertifikasi benih bawang
merah terdiri atas standar mutu di lapangan dan standar mutu umbi di gudang
penyimpanan. Berdasarkan SNI untuk benih bawang merah dalam bentuk umbi

8
dan standar dari Direktorat Perbenihan dan Sarana Hortikultura diketahui bahwa
standar mutu di lapangan terdiri atas campuran varietas lain maksimal 1.0%,
isolasi jarak minimal 1 meter, tingkat serangan penyakit di lapangan antara lain
OYDV (Onion Yellow Dwarf Virus), SLV (Shallot Laten Virus) dan LYTV (Leak
Yellow Tripe Virus) masing-masing maksimal sebesar 1.0-2.0%, bercak ungu
(Alternaria porri) 0.5% dan embun bulu (Peronospora destructor) 1.0%. Standar
mutu umbi di gudang penyimpanan antara lain campuran varietas lain maksimal
1.0%, gejala penyakit busuk leher batang (Botrytis allii), bercak ungu (Alternaria
porri), bakteri busuk lunak (Erwinia carotovora) masing-masing maksimal 2.0%,
busuk pangkal (Fusarium sp.) 5.0%, antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides)
1.0% dan lalat penggorok daun (Liriomyza chinensis) 0.0%.

Gambar 1 Label sertifikat benih bawang merah kelas benih sebar
Proses sertifikasi dalam menghasilkan benih bawang merah terdiri atas
beberapa tahap yaitu permohonan sertifikasi, pemeriksaan, penerbitan sertifikat
dan pelabelan. Untuk proses pemeriksaan terdiri atas beberapa tahap yaitu
pemeriksaan pendahuluan untuk pengecekan lahan, pemeriksaan lapang pada fase
vegetatif dan generatif, serta pemeriksaan umbi di gudang penyimpanan. Benih
yang telah lolos sertifikasi akan diberikan label sesuai dengan kelas benih yang
bersangkutan (Gambar 1). Label sertifikat benih berisi informasi mengenai
identitas benih antara lain nama dan alamat produsen, jenis tanaman, varietas,
nomor kelompok atau nomor lot, berat bersih, ukuran umbi, tanggal panen serta
tanggal masa berlaku label sertifikat benih. Benih yang telah habis masa berlaku
label sertifikatnya dapat mengajukan perpanjangan untuk setengah kali masa
berlaku label sertifikat tersebut (Direktorat Perbenihan dan Sarana Hortikultura
2009).

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di laboratorium cendawan dan rumah kasa Balai
Besar Pengembangan Pengujian Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (Balai
Besar PPMBTPH), Jalan Raya Tapos, Tapos, Depok, dari bulan Januari sampai
Desember 2013.

9
Metode Penelitian
Sampel Pengujian
Sampel umbi bibit bawang merah yang digunakan untuk tahap blotter test
dan GOT pada penelitian ini diambil dari empat daerah sentra produksi bawang
merah yaitu Cirebon, Brebes, Nganjuk dan Bantul. Umbi bibit diperoleh dari
penangkar benih yang merupakan penangkar binaan BPSBTPH setempat. Dari
masing-masing daerah diambil beberapa lot umbi dari beberapa lokasi
penangkaran yang berbeda. Penentuan jumlah sampel pada blotter test umbi
menggunakan sampel yang berasal dari satu lokasi dan satu lot yang sama. Umbi
bibit bawang merah yang digunakan sudah melalui proses sortasi dan beberapa lot
telah melalui proses sertifikasi sehingga memenuhi syarat untuk digunakan
sebagai benih di lapang.
Blotter Test
Blotter test dilakukan dengan cara meletakkan 200 umbi bibit bawang
merah di atas 2 lembar kertas saring steril lembab di dalam kotak plastik (panjang
x lebar x tinggi: 33.5 x 26.5 x 7 cm) dengan jumlah 25 umbi/kotak sebanyak 8
ulangan. Bawang merah kemudian diinkubasi di dalam inkubator yang dilengkapi
lampu NUV (dengan durasi penyinaran 12 jam terang dan 12 jam gelap) pada
ruangan dengan suhu AC (22-25 OC) selama 8 hari (Gambar 2).

a

b

c

d

Gambar 2 Tahapan blotter test: a) sterilisasi permukaan umbi, b) dan c) umbi
diletakkan pada kotak plastik dengan media kertas filter, d) inkubasi
pada inkubator
Terdapat dua parameter yang diamati pada pengujian ini yaitu tingkat
infeksi Fusarium sp. dan tingkat nekrosis pada basal plate setelah masa inkubasi.
Pengamatan tingkat infeksi Fusarium sp. dilakukan secara makroskopis
menggunakan mikroskop stereo dan mikroskopis menggunakan mikroskop
compound. Tingkat infeksi dihitung dalam persen dengan rumus:

10

Untuk pengamatan parameter nekrosis pada umbi yang diuji dengan
blotter test dilakukan dengan cara membelah tiap umbi secara vertikal, kemudian
diamati bagian basal plate di bawah mikroskop stereo. Bagian basal plate yang
menunjukkan gejala nekrosis dicatat dan dinyatakan dalam persen jumlah umbi
nekrosis pada tiap sampel uji dengan rumus:

Growing on Test di Rumah Kasa
Pengujian ini dilakukan di rumah kasa dengan cara menanam umbi pada
media pasir steril di dalam kotak plastik (p x l x t: 37 x 27.5 x 15 cm). Pasir yang
digunakan telah diayak dan disterilkan dengan air mendidih dan digunakan hanya
untuk satu kali penanaman. Syarat media pasir yang digunakan sebagai media
tumbuh pada pengujian ini adalah memiliki tingkat salinitas kurang dari
400µS/cm2, yang diukur dengan alat condutivity meter (ISTA 2011). Umbi
ditanam sebanyak 25 umbi/kotak sebanyak 8 ulangan dengan perlakuan
pemotongan 1/3 bagian pucuk umbi sebelum tanam (Gambar 3).

a

b

c

d

Gambar 3 Growing on test (GOT) di rumah kasa: a) media pasir, b) penanaman
umbi pada media, c) pengujian GOT sampai dengan 21 hari, d) rumah
kasa
Pengamatan pada pengujian ini dilakukan sampai 21 hari setelah tanam.
Parameter yang diamati adalah tingkat serangan penyakit layu fusarium selama
fase pembibitan dihitung dalam persen tanaman sakit sebagai berikut:

11

Uji Patogenisitas Isolat Fusarium sp. Asal Umbi Bawang Merah
Isolat Fusarium sp. diperoleh dengan cara mengisolasi Fusarium sp. dari
umbi bibit bawang yang telah diuji dengan blotter test pada media PDA. Isolat
murni yang diperoleh disimpan pada agar miring dan diuji tingkat
patogenisitasnya pada umbi bibit bawang merah.
Pengujian patogenisitas pada umbi dilakukan dengan cara menempelkan
isolat murni Fusarium sp. pada bagian basal plate umbi yang telah dibelah secara
vertikal. Umbi yang digunakan dalam pengujian ini terlebih dahulu disterilisasi
dengan NaOCl 1% selama 3 menit. Umbi yang telah ditempel isolat murni
diletakkan di atas 2 lembar kertas saring di dalam cawan petri, kemudian
diinkubasi selama 7 hari. Pengamatan dilakukan dengan melihat ada tidaknya
jaringan nekrosis pada bagian basal plate yang diinokulasi Fusarium sp.. Isolat
dikategorikan patogenik jika terjadi nekrosis pada basal plate, dan isolat
dikategorikan non patogenik jika tidak terdapat jaringan nekrosis pada basal plate
tersebut. Digunakan kontrol sebagai pembanding yaitu bawang merah yang tidak
diinokulasi dengan isolat murni (Gambar 4).

a

b

c

d

G

Gambar 4 Uji patogenisitas Fusarium sp. dengan umbi: a) sterilisasi permukaan
umbi, b) umbi dibelah secara vertikal, c) penempelan isolat pada
bagian basal plate, d) inkubasi di dalam inkubator
Penentuan Jumlah Minimal Umbi Bibit Bawang Merah untuk Blotter Test
Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan beberapa jumlah sampel
yang berbeda yaitu 25, 50, 75, 100, 125, 150, 175 dan 200 umbi. Umbi yang
digunakan dalam pengujian ini berasal dari satu varietas dan satu lot umbi yang
sama. Pengujian menggunakan metode blotter test dan masing-masing sampel

12
ditabur dalam 5 ulangan. Pengamatan hasil uji berdasarkan persen nekrosis pada
umbi setelah masa inkubasi.
Sampel yang digunakan untuk tahap pengujian ini berasal dari satu lot
yang diambil pada waktu yang sama. Sampel yang digunakan adalah umbi
bawang merah varietas Timur Carwan dari daerah Cirebon dan varietas Bima dari
daerah Brebes.
Penentuan jumlah sampel minimal berdasarkan data yang diperoleh dalam
penelitian menggunakan dua metode. Metode pertama data ditampilkan dalam
grafik berupa hubungan antara standar deviasi dan rata-rata nekrosis basal plate
dengan jumlah contoh yang diuji (Kranz 1987; Neher dan Campbell 1997).
Metode yang kedua adalah formal probability statement dengan cara menghitung
jumlah sampel secara statistik (Neher dan Campbell 1997), dengan rumus sebagai
berikut:

N
s2
t2
d2

: jumlah sampel yang dibutuhkan
: nilai rata-rata
: varian
: nilai dari t table dengan α 0.05
: setengah dari total panjang selang kepercayaan dalam bentuk
proporsi

HASIL
Sampel Umbi Bibit Bawang Merah
Sampel yang digunakan dalam pengujian tahap ini sebanyak 20 sampel
yang diperoleh dari empat daerah sentra produksi bawang merah di pulau Jawa.
Sampel yang diperoleh dari daerah Nganjuk sebanyak enam sampel dengan
beberapa varietas berbeda, yaitu Thailand (1 sampel), Super Philip (1 sampel),
Manjung (2 sampel), Mentes (1 sampel) dan Katumi (1 sampel). Sampel dari
daerah Brebes sebanyak enam sampel yang terdiri atas varietas Bima brebes (5
sampel) dan Manjung (1 sampel). Dari daerah Cirebon diperoleh enam sampel
yaitu varietas Bima curut (4 sampel), Mentes (1 sampel), dan Timur carwan (1
sampel). Dari daerah Bantul diperoleh dua sampel yaitu varietas Tiron (1 sampel)
dan Crok kuning (1 sampel).
Beberapa varietas yang berbeda diperoleh dari masing-masing daerah asal
sampel umbi bibit bawang merah. Perbedaan ini dikarenakan kesukaan petani
terhadap varietas yang biasa ditanam pada masing-masing daerah juga berbeda,
seperti di daerah Brebes sebagian besar petani menanam bawang merah varietas
Bima yang merupakan varietas lokal daerah tersebut, begitu pula di daerah Bantul
petani biasanya menanam varietas Tiron.
Blotter Test pada Umbi Bibit Bawang Merah
Pada pengamatan tingkat infeksi Fusarium sp. diketahui bahwa Fusarium
sp. menginfeksi pada bagian basal plate umbi. Namun tidak semua umbi yang
terinfeksi menunjukkan gejala nekrosis atau busuk. Sebagian umbi yang terinfeksi
masih segar dan tidak mengalami hambatan pertumbuhan selama masa inkubasi

13
(Gambar 5). Hasil rata-rata tingkat infeksi Fusarium sp. pada sampel umbi
bawang merah adalah 78.7%, dengan kisaran tingkat infeksi antara 32% - 97.5%
(Lampiran 6).

a

b

c

d

Gambar 5 Hasil blotter test: a) dan b) umbi tidak bergejala, c) dan d) umbi
bergejala
Nekrosis pada umbi diamati pada bagian basal plate umbi. Ciri nekrosis
pada umbi adalah adanya jaringan yang mengalami kematian yang diindikasikan
dengan warna coklat pada jaringan tersebut (Gambar 6). Pada tingkat lanjut
beberapa umbi menunjukkan gejala nekrosis parah pada seluruh jaringan umbi.
Tingkat rata-rata nekrosis dari seluruh sampel yang diuji adalah 17.3%, dengan
kisaran tingkat nekrosis antara 1.5% - 43% (Lampiran 6).

a

b

c

d

Gambar 6 Gejala nekrosis pada basal plate umbi: a) umbi tidak bergejala, b) c)
dan d) umbi bergejala nekrosis pada basal plate