Relationship between Disease Incidence of Chlorosis and Leaf Curl and Two Species of Whitefly in Tomato Crop

HUBUNGAN ANTARA KEJADIAN PENYAKIT
KLOROSIS DAN KERUPUK DENGAN KEBERADAAN DUA
SPESIES KUTUKEBUL PADA TANAMAN TOMAT

ACEU WULANDARI AMALIA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Hubungan Antara
Kejadian Penyakit Klorosis dan Kerupuk dengan Keberadaan Dua Spesies
Kutukebul pada Tanaman Tomat adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2013
Aceu Wulandari Amalia
NIM A 352090031

RINGKASAN
ACEU WULANDARI AMALIA. Hubungan Antara Kejadian Penyakit Klorosis
dan Kerupuk dengan Keberadaan Dua Spesies Kutukebul pada Tanaman Tomat.
Dibimbing oleh GEDE SUASTIKA, ALI NURMANSYAH, dan DEWI
SARTIAMI.
Crinivirus dan Begomovirus telah dilaporkan banyak menimbulkan
kerusakan pada berbagai komoditas penting dunia, khususnya pada pertanaman
tomat di berbagai negara penghasil tomat. Crinivirus (Tomato infectious chlorosis
virus/TICV dan Tomato chlorosis virus/ToCV) menyebabkan penyakit klorosis
dan Begomovirus (Tomato yellow leaf curl virus/TYLCV) menyebabkan penyakit
kerupuk pada tanaman tomat. TICV dan ToCV ditransmisikan oleh serangga
vektor secara semipersisten, sementara itu TYLCV ditransmisikan secara
persisten. Penyakit ini sudah ditemukan di Indonesia, terutama di Jawa Barat.
Informasi tentang kedua penyakit tersebut yang menginfeksi tanaman tomat masih
sangat terbatas. Penyebaran kedua penyakit pada tanaman tomat berdasarkan

kelimpahan serangga vektor di berbagai ketinggian tempat dianalisis pada
penelitian ini.
Penelitian terdiri atas tiga kegiatan utama, yaitu (1) survei kejadian penyakit
yang dilakukan di areal pertanaman tomat di beberapa ketinggian tempat di Jawa
Barat mulai dari 100 sampai dengan 1500 meter di atas permukaan laut (mdpl),
dengan mengamati variabel-variabel berikut: (a) kejadian penyakit, (b) kondisi
iklim (suhu dan kelembaban nisbi), (c) kelimpahan populasi Trialeurodes
vaporariorum dan Bemisia tabaci, dan (d) kondisi tanaman, seperti umur
tanaman, varietas tomat, karakteristik budidaya dan penggunaan pestisida; (2)
deteksi virus dan identifikasi kutukebul, dan (3) analisis hubungan kejadian
penyakit dengan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Gen protein selubung minor Crinivirus sebesar 360 bp dan 417 bp serta gen
protein selubung Begomovirus sebesar 780 bp dari sampel tanaman bergejala pada
seluruh ketinggian tempat yang dikaji telah berhasil diamplifikasi dengan PCR.
Beberapa stadia pertumbuhan T. vaporariorum dan B. tabaci yang ditemukan saat
pengamatan telah berhasil diidentifikasi. Penyakit klorosis dan kerupuk
ditemukan menginfeksi tanaman tomat di ketinggian tempat di atas 1200 mdpl
sampai dengan 1500 mdpl. Juga, B. tabaci ditemukan menyerang tanaman tomat
pada ketinggian tempat tersebut yang sebelumnya hanya ditemukan di bawah
ketinggian 1200 mdpl. Hasil analisis regresi memperlihatkan adanya korelasi

positif antara kejadian penyakit klorosis dan kerupuk dengan keberadaan kedua
spesies kutukebul dan peningkatan ketinggian tempat. Faktor lain seperti
kelembaban nisbi, varietas tomat, dan umur tanaman tidak memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap perubahan kejadian kedua penyakit tersebut.
Kata kunci: Begomovirus, Bemisia tabaci, Crinivirus, ketinggian tempat,
Trialeurodes vaporariorum.

SUMMARY
ACEU WULANDARI AMALIA. Relationship between Disease Incidence of
Chlorosis and Leaf Curl and Two Species of Whitefly in Tomato Crop. Under
direction of GEDE SUASTIKA, ALI NURMANSYAH, and DEWI SARTIAMI.
Crinivirus and Begomoviruses have been reported to cause serious diseases
in a number of economic crops in the world, especially in tomato crop. Crinivirus
(Tomato infectious chlorosis virus/TICV and Tomato chlorosis virus/ToCV)
causes chlorosis while Begomovirus (Tomato yellow leaf curl virus/TYLCV)
causes curl diseases. TICV and ToCV are transmitted by vector insects in
semipersistent, but TYLCV in persistent manner. The diseases have been found in
Indonesia, especially in West Java. Information about the infecstation of both
diseases in tomato crops are still limited. The spread of both diseases on tomato
crops based on vector insect abundance in various altitude in Indonesia was

evaluated in this study.
The study consists of three main activities: (1) a field survey on disease
incidence conducted in various altitudes from 100 to 1500 meters above sea level
(m asl), which observed variables as follows: (a) diseases incidence, (b) climate
condition (temperature and relative humidity (RH)), (c) abundaces of
Trialeurodes vaporariorum and Bemisia tabaci, and (d) cropping condition, such
as age of plant, varieties, and planting system; (2) the detection and identification
of viruses and whiteflies; and (3) the analysis of the relationship between disease
incidence and its determinant factors.
Minor coat protein gene of Crinivirus (360 bp and 417 bp) and coat
protein gene of Begomovirus (780 bp) from symptomed samples in all studied
altitudes were successfully amplified by PCR. Some stadia of T. vaporariorum
and B. tabaci found during observations had also been identified. The chlorosis
and curl diseases infected tomato crops in altitude above 1200 m asl until 1500 m
asl. Also, B. tabaci was found at those altitudeswhich previously only found at
altitudes below 1200 m asl. The result of regression analysis showed there were
positive correlations between the incidence of chlorosis and curl diseases with the
presence of the two whitfly spesieses and the increase in altitude. Other factors
such as relative humidity, tomato varieties, and plant age did not show significant
contributions to the change in the incidence of both diseases.

Keywords: Altitude, Begomovirus, Bemisia tabaci, Crinivirus, Trialeurodes
vaporariorum.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

HUBUNGAN ANTARA KEJADIAN PENYAKIT
KLOROSIS DAN KERUPUK DENGAN KEBERADAAN DUA
SPESIES KUTUKEBUL PADA TANAMAN TOMAT

ACEU WULANDARI AMALIA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada Mayor Fitopatologi
Departemen Proteksi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Supramana, MSi

PRAKATA
Alhamdulillahhirabil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT karena hanya atas ridhonya dan karuniaNYA tesis dengan judul
Hubungan Antara Kejadian Penyakit Klorosis dan Kerupuk dengan Keberadaan
Dua Spesies Kutukebul pada Tanaman Tomat ini dapat diselesaikan dengan baik.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Gede Suastika, Dr Ir Ali
Nurmansyah, dan Dra Dewi Sartiami atas kesempatan dan kepercayaan yang
diberikan kepada penulis serta segala bimbingan yang diberikan dengan setulus

hati kepada penulis demi lahirnya sebuah karya tesis ini.
Terimakasih penulis sampaikan kepada: Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat,
Saudari Tuti S. Legiastuti dan Ibu Aisyah yang telah banyak memberikan saran,
nasihatnya dan pengarahan kepada penulis selama bekerja di Laboratorium
Virologi dan Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Di samping itu terima kasih kepada Dr Trijoko
Santoso, Dr Ifa Manzila dan Saudari Fitrianingrum Kuriawati yang telah
memberikan pengarahan bagi penulis selama bekerja di Lab Biologi Molekuler,
BB-BIOGEN (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian) Bogor, serta Saudari Dwi Astuti atas bantuannya
saat penulis bekerja di Laboratorium Biologi Molekuler, LIPI (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia).
Terimakasih penulis ucapkan untuk semua anggota Laboratorium Virologi
dan Biosistematika Serangga, kepada bapak/ibu staff kepegawaian dan
laboratorium HPT yang selalu mendukung penulis agar tetap semangat, temanteman Fitopatologi angkatan 2008, 2009, 2010 dan 2011, HPT’41, adik-adik HPT,
JICA serta semua sahabat untuk kebersamaan dan dukungan moril selama ini
kepada penulis. Semoga Allah senantiasa melimpahi kesuksesan dan kebahagiaan
bagi kita semua. Amin.
Rasa terimakasih yang tiada henti berikut penghargaan yang tak terhingga
penulis persembahkan kepada ayahanda Ir Ahmad Husen, ibunda Tutin Suryatin

BSCf, kakak dan adik-adikku Susan Irmayani, Feri Ferdiansyah Solihin dan Fajar
Ramadhani Hikmatullah, keluarga besar H. Nawi dan Hj. Siti Sadiah (Bandung)
serta H. Furqon dan Hj. Djadja Tedjaningsih (Garut) atas limpahan cinta, kasih
sayang serta doa sepenuh hati kepada penulis demi terselesaikan tesis ini. Semoga
Allah SWT senantiasa memberikan ridhoNya bagi kita semua dunia dan akhirat
dalam ikatan kekeluargaan yang indah selamanya. Amin.
Pada akhirnya penulis berharap semoga karya ini mampu berkontribusi
bagi kemajuan dan kearifan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang. Amin.

Bogor, Maret 2013
Aceu Wulandari Amalia

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Kerangka Alur Penelitian

1
1
2
2
3
3
4


2 TINJAUAN PUSTAKA
Interaksi Organisme Pengganggu Tanaman dan Tanaman Tomat
Bioekologi Crinivirus (ToCV dan TICV)
Bioekologi Begomovirus (TYLCV)
Bioekologi Trialeurodes vaporariorum dan Bemisia
tabaci
Faktor Penentu Kejadian Penyakit Virus
Deteksi Asam Nukleat dengan Polymerase Chain Reaction (PCR)

5
5
5
7
8
9
11

3 METODE
Tempat dan Waktu Penelitian

Metode Penelitian
Survei Kejadian Penyakit dan Pengambilan Sampel
Deteksi Keberadaan Virus
Ekstraksi RNA Total TICV dan ToCV
Prosedur RT-PCR dan PCR TICV dan ToCV
Ekstraksi DNA Total TYLCV
Prosedur PCR DNA TYLCV
Identifikasi dan Penghitungan Populasi Kutukebul
Pembuatan Preparat Mikroskop dan Identifikasi
Kutukebul
Analisis Hubungan Kejadian Penyakit dan Kelimpahan Vektor

13
13
13
13
13
14
14
15
15
16

4

18
18
18
19
21
22
22
24
25

HASIL DAN PEMBAHASAN
Insiden Begomovirus dan Crinivirus pada Tanaman Tomat
Gejala Penyakit
Verifikasi Infeksi Virus
Kejadian Penyakit oleh Begomovirus dan Crinivirus
Kutukebul pada Pertanaman Tomat
Spesies Kutukebul
Kelimpahan Populasi Kutukebul
Hubungan Kejadian Penyakit oleh Crinivirus dan Begomovirus
dengan Kelimpahan Populasi Kutukebul
Pembahasan Umum

5 SIMPULAN

16
17

28
32

DAFTAR PUSTAKA

33

LAMPIRAN

38

RIWAYAT HIDUP

47

DAFTAR TABEL
1 Kejadian penyakit Crinivirus dan Begomovirus di lapangan
2 Populasi kutukebul di pertanaman tomat di Jawa Barat
3 Koefisien model dan hasil uji kejadian penyakit

21
24
26

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Kerangka alur penelitian
Gejala Crinivirus di lahan pertanaman tomat
Organisasi genom TICV dan ToCV
Gejala penyakit Begomovirus pada tanaman tomat
Imago B. tabaci dan T. vaporariorum
Gejala Begomovirus dan Crinivirus saat pengamatan survei
Hasil amplifikasi DNA Crinivirus
Hasil amplifikasi DNA Begomovirus
Morfologi kutukebul T. vaporariorum dan B. tabaci
Identifikasi pupa kutukebul

4
6
6
7
8
18
20
21
22
23

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil analisis regresi berganda kejadian penyakit Crinivirus terhadap
ketinggian tempat dan kelimpahan T. vaporariorum
2 Plot kenormalan kejadian penyakit Crinivirus terhadap ketinggian
tempat dan kelimpahan T. vaporariorum
3 Plot residual versus fits kejadian penyakit Crinivirus terhadap ketinggian
tempat dan T. vaporariorum
4 Plot histogram kejadian penyakit Crinivirus terhadap ketinggian tempat
dan kelimpahan T. vaporariorum imago B. tabaci dan T. vaporariorum
5 Plot residu versus order kejadian penyakit Crinivirus terhadap
ketinggian tempat dan kelimpahan T. vaporariorum
6 Hasil analisis regresi berganda kejadian penyakit Begomovirus terhadap
ketinggian tempat, kelimpahan B. tabaci, dan umur tanaman
7 Plot kenormalan kejadian penyakit Begomovirus terhadap ketinggian
tempat, kelimpahan B. tabaci, dan umur tanaman
8 Plot residual versus fits kejadian penyakit Begomovirus terhadap
ketinggian tempat, kelimpahan B. tabaci, dan umur tanaman
9 Plot residual histogram kejadian penyakit Begomovirus terhadap
ketinggian tempat, kelimpahan B. tabaci, dan umur tanaman
10 Plot residual histogram kejadian penyakit Begomovirus terhadap
ketinggian tempat, kelimpahan B. tabaci, dan umur tanaman
11 Hasil analisis regresi berganda kejadian penyakit virus ganda terhadap
ketinggian tempat, kelimpahan T. vaporariorum, kelimpahan B. tabaci,
dan umur tanaman

38
39
39
40
40
41
42
42
43
43

44

12 Plot kenormalan kejadian penyakit virus ganda terhadap ketinggian
tempat, kelimpahan T. vaporariorum, kelimpahan B. tabaci, dan umur
tanaman
13 Plot residual versus fits kejadian penyakit virus ganda terhadap
ketinggian tempat, kelimpahan T. vaporariorum, kelimpahan B. tabaci,
dan umur tanaman
14 Plot residual histogram kejadian penyakit virus ganda terhadap
ketinggian tempat, kelimpahan T. vaporariorum, kelimpahan B. tabaci,
dan umur tanaman
15 Plot residual versus order kejadian penyakit virus ganda terhadap
ketinggian tempat, kelimpahan T. vaporariorum, kelimpahan B. tabaci,
dan umur tanaman

45

45

46

46

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Crinivirus dan Begomovirus adalah dua kelompok virus yang
penyebarannya di lapangan sangat cepat dan telah dilaporkan banyak
menimbulkan kerusakan pada berbagai komoditas penting dunia (Wisler et al.
1998). Beberapa tahun terakhir, ini kedua virus tersebut telah menjadi kendala
penting bagi tanaman hortikultura dan menginfeksi tanaman khususnya pada
pertanaman tomat di berbagai negara penghasil tomat di dunia (Dalmon et al.
2008; Louro et al. 2000). Crinivirus merupakan kelompok virus dalam famili
Closteroviridae yang mempunyai genom berupa dua jenis RNA (bipartite)
(Wisler et al. 1998), sedangkan Begomovirus adalah salah satu genus dalam famili
Geminiviridae yang bergenom DNA (bipartite) (Tsai et al. 2006).
Tomato chlorosis virus (ToCV) dan Tomato infectious chlorosis virus
(TICV) adalah dua virus anggota Crinivirus yang dilaporkan menginfeksi
tanaman tomat. Kedua spesies virus ini dapat menginfeksi tanaman tomat secara
tunggal maupun ganda, sehingga dalam gejalanya seringkali tidak dapat
dibedakan. Ciri khas dari penyakit klorosis yang ditimbulkannya adalah antara
tulang daun menguning (interveinal yellowing), daun menjadi rapuh (leaf
brittleness), adanya nekrotik yang menjadi merah keunguan (bronzing),
kebugaran (vigor) tanaman berkurang, buah berukuran lebih kecil dari ukuran
normal dan tanaman mudah gugur (early senescence) (Duffus et al. 1996; Dalmon
et al. 2008). Begomovirus yang diidentifikasi menyerang tanaman tomat adalah
Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV). Pada tanaman tomat, virus ini
menimbulkan penyakit kerupuk karena daun-daun yang tumbuh setelah terinfeksi
mengalami pertumbuhan terhambat sehingga berukuran lebih kecil dan
mengalami malformasi melengkung ke atas menyerupai kerupuk. Gejala lain
yang mengikuti penyakit kerupuk ini adalah penebalan daun, lamina daun
berkerut,daun menguning, tepi daun melengkung ke atas, daun keriting dan
tanaman kerdil (Sugiarman dan Hidayat 2000).
Di Indonesia, insiden penyakit yang disebabkan oleh Crinivirus maupun
Begomovirus sudah sangat luas dan sampai saat ini telah dilaporkan ditemukan di
sentra-sentra produksi tomat di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta,
Bali, dan Lombok (Sudiono et al. 2004; Hartono dan Wijonarko 2007; Suastika
2010). Epidemi kedua virus ini ditenggarai berhubungan dengan aktivitas
serangga vektornya. Crinivirus ataupun Begomovirus ditularkan oleh kutukebul
masing-masing secara semi persisten dan persisten (Duffus et al. 1994; Wisler et
al. 1996; Wintermantel 2004). Kutukebul yang efektif menjadi vektor kedua virus
ini adalah Bemisia tabaci dan Trialeurodes vaporariorum. Kedua spesies
kutukebul ini mempunyai daya adaptasi yang berbeda terhadap lingkungan
terutama terhadap temperatur udara (Xie et al. 2006). Kutukebul B. tabaci,
misalnya, lebih beradaptasi pada lingkungan dengan suhu hangat (Smith 2009),
sedangkan T. vaporariorum lebih beradaptasi pada suhu lingkungan yang lebih
dingin (Xie et al. 2006). Daya adaptasi kutukebul terhadap suhu lingkungan dapat
tercermin dari kelimpahan populasinya pada ketinggian tempat.

2
Populasi vektor yang tinggi pada pertanaman tomat di lapangan dapat
menimbulkan terjadinya epidemik penyakit klorosis ataupun kerupuk. Faktorfaktor lain yang mendukung terjadinya epidemik penyakit klorosis ataupun
kerupuk pada pertanaman tomat antara lain jenis tanaman tomat yang rentan, virus
yang virulen, lingkungan yang mendukung untuk perkembangan penyakit seperti:
suhu, kelembaban udara, dan teknik budidaya tanaman tomat secara monokultur
dan terus-menerus (Wisler et al. 1998).
Informasi mengenai distribusi kejadian penyakit klorosis dan kerupuk pada
tanaman tomat di Indonesia yang masing-masing disebabkan oleh Crinivirus dan
Begomovirus masih sangat terbatas. Penelitian untuk mempelajari kelimpahan
kutukebul yang berasosiasi dengan penyakit klorosis di berbagai ketinggian
tempat di Jawa Barat perlu dilakukan, mengingat Jawa Barat merupakan salah
satu sentra produksi tomat di Indonesia dengan ketinggian tempat yang beragam
(100 - > 1200 mdpl).

Perumusan Masalah
Penyakit klorosis oleh Crinivirus dan penyakit kerupuk oleh Begomovirus
dilaporkan sebagai virus yang berperan menyebabkan penurunan produksi yang
sangat besar di pertanaman tomat baik di daerah sub tropis maupun tropis
termasuk Indonesia. Kedua penyakit tersebut juga memiliki daerah penyebaran
yang sangat luas akibat peran kutukebul sebagai serangga vektornya. Kelompok
Crinivirus yang menyerang tanaman tomat teridentifikasi sebagai ToCV dan
TICV, sedangkan kelompok Begomovirus adalah TYLCV. Penyebaran ketiga
virus tersebut sangat cepat karena ditularkan dengan serangga vektor
T. vaporariorum dan B. tabaci. Kedua penyakit tersebut telah tersebar luas di
Indonesia dengan kejadian penyakit sampai dengan 100%.
Salah satu upaya dalam pencegahan perkembangan penyakit tersebut adalah
dengan melakukan pengendalian terhadap serangga vektornya. Pengendalian
tersebut dengan cara menekan populasi kutukebulnya. Hal tersebut diperlukan
pengetahuan mengenai habitat dan kondisi yang kondusif bagi perkembangan
hidup kutukebul. Selain itu lingkungan yang mendukung bagi perkembangan
penyakit dan tanaman inang juga sangat diperlukan. Dalam penelitian ini
dilakukan pengamatan faktor-faktor berpengaruh terutama faktor ketinggian
tempat serta analisis hubungan kejadian penyakit dengan kelimpahan populasi
kutukebul.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daerah sebaran penyakit klorosis
atau kerupuk yang disebabkan baik oleh TICV, ToCV, maupun TYLCV (menurut
ketinggian tempat), dan untuk mengetahui korelasi antara kejadian penyakit
klorosis dan kerupuk dengan populasi kutukebul dan anasir iklim.

3
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi tentang daerah sebaran
penyakit klorosis (Crinivirus) dan penyakit kerupuk (Begomovirus) serta populasi
kutukebul Trialeurodes vaporariorum dan Bemisia tabaci pada pertanaman tomat
di berbagai ketinggian tempat di Jawa Barat.

Ruang Lingkup Penelitian
Perkembangan penyakit yang disebabkan oleh Crinivirus (ToCV dan TICV)
dan Begomovirus (TYLCV) pada pertanaman tomat meningkat secara cepat di
Indonesia. Hal tersebut memerlukan upaya dalam menentukan faktor-faktor yang
secara signifikan berpengaruh terhadap penyebarannya serta untuk mengetahui
habitat vektor sebagai awal dari pencegahan terjadinya epidemi penyakit.
Crinivirus (ToCV dan TICV) dan Begomovirus (TYLCV) sudah dilaporkan
memiliki vektor serangga yang berperan dalam penyebaran penyakit. Vektor
tersebut adalah kutukebul Trialeurodes vaporariorum dan Bemisia tabaci,
sehingga dalam penelitian ini dilakukan kajian terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi habitat dan daya adaptasi kutukebul tersebut. Suhu merupakan
faktor yang paling mendekati dalam perkembangan kutukebul sehingga
pengamatan di berbagai ketinggian tempat dilakukan sebagai cerminan dari
perbedaan suhu.

4

Tahap I. Survei Kejadian Penyakit pada Pertanaman Tomat di
Jawa Barat pada Ketinggian 100 - 1500 mdpl

Pengamatan faktor biotik (kelimpahan kutukebul; penghitungan kejadian
penyakit klorosis dan kerupuk) dan abiotik (suhu, kelembaban nisbi, umur tanaman
tomat, varietas tanaman tomat dan budidaya tomat)

Pengambilan sampel daun tanaman tomat bergejala klorosis dan kerupuk dan
koleksi imago, nimfa, pupa dan kantung pupa kutukebul

Tahap II. Deteksi dan Identifikasi Secara Laboratorium terhadap
Virus (Crinivirus dan Begomovirus) dan Spesies Kutukebul

1. Deteksi virus ToCV, TICV dan TYLCV menggunakan metode RT-PCR dan PCR
2. Identifikasi kutukebul T. vaporariorum dan B. tabaci melalui preparasi pupa dan
kantung pupa

Tahap III. Analisis Data

Analisis Hubungan antara Kejadian Penyakit dengan Kelimpahan
Kutukebul dan Faktor Abiotik

Keterangan :
= Kegiatan induk utama penelitian
= Aktivitas penelitian
= Alur kegiatan

Gambar 1 Kerangka alur penelitian

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Interaksi Organisme Pengganggu Tanaman dan Tanaman Tomat
Kendala utama pada budidaya tanaman hortikultura termasuk tanaman
tomat adalah organisme pengganggu tanaman (OPT) yang terdiri dari hama,
penyakit dan gulma. Pada dasarnya penyakit maupun hama hanya dapat terjadi
jika adanya tiga faktor yang saling mendukung yaitu patogen, inang dan
lingkungan yang berawal dari konsep Ilmu Penyakit Tumbuhan. Adanya
perubahan dari salah satu komponen akan berpengaruh terhadap intensitas
penyakit yang muncul. Inang dalam keadaan rentan, patogen bersifat virulen
(daya infeksi tinggi) dan jumlah yang cukup, serta lingkungan yang mendukung.
Lingkungan berupa komponen lingkungan fisik (suhu, kelembaban, cahaya)
maupun biotik (musuh alami, organisme kompetitor).
Penyakit penting tanaman tomat adalah penyakit rebah kecambah
(Rhizoctonia solani Kuhn), penyakit bercak daun Septoria (Septoria lycopersici
Speg), penyakit bercak daun (Alternaria solani Ell.), penyakit busuk daun
(Phytophthora infestans (Mont) de Bary.), penyakit layu cendawan (Verticillium
albo-atrum Reinke & Berth.), penyakit layu fusarium (Fusarium oxyporum
Schlecht.), penyakit layu bakteri (Pseudomonas solanacearum Smith.), penyakit
mosaik yang disebabkan oleh salah satu atau gabungan berbagai jenis virus
seperti Tomato infectious chlorosis virus (TICV) dan Tomato chlorosis virus
(ToCV), virus tomat mosaik (tomato mosaic virus: ToMV), virus mosaik
tembakau (tobbaco mosaic virus: TMV), virus mosaik ketimun (cucumber mosaic
virus: CMV), virus kentang Y (potato virus Y: PVY) dan virus X kentang (potato
virus X: PVX), penyakit kuning dan daun menggulung (Tomato yellow leaf curl
virus: TYLCV), dan penyakit bengkak akar (Meloidogyne incognita). Hama
penting yang menyerang tanaman tomat adalah ulat buah (Helicoverpa armigera
Hubn.), ulat tanah (Agrotis ipsilon Hufn.), kutukebul (Bemisia tabaci Genn. dan
Trialeurodes vaporariorum), ulat grayak (Spodoptera litura F.), dan penggorok
daun (Liriomyza sp.) (Setiawati 1990).
Beberapa tahun terakhir ini penyakit yang menjadi kendala penting bagi
pertanaman tomat di berbagai negara penghasil tomat di dunia adalah penyakit
yang disebabkan oleh virus yaitu Crinivirus dan Begomovirus (Dalmon et al.
2008; Louro et al. 2000) dan juga menjadi ancaman penting karena ditransmisikan
oleh serangga vektor. Adapun spesies virus yang termasuk ke dalam anggota
kedua genus tersebut yang menginfeksi tomat adalah Tomato infectious chlorosis
virus (TICV) dan Tomato chlorosis virus (ToCV) merupakan Crinivirus dan
Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV) merupakan Begomovirus. Crinivirus
ditransmisikan kutukebul Trialeurodes vaporariorum dan Begomovirus
ditransmisikan kutukebul Bemisia tabaci.
Bioekologi Crinivirus (Tomato chlorosis virus/ToCV dan Tomato infectious
chlorosis virus/TICV)
Infeksi Crinivirus pada tanaman tomat menyebabkan daun-daun tomat
klorosis, yaitu menguning di antara tulang daun (interveinal yellowing) yang
berasosiasi dengan berkurangnya kemampuan fotosintesisnya (Gambar 2). Pada

6
perkembangan selanjutnya daun-daun menjadi rapuh (leaf brittleness), mengalami
nekrotik pada beberapa bagian dan warna bagian yang nekrotik menjadi merah
keunguan (bronzing), kebugaran (vigor) tanaman menjadi sangat berkurang, dan
apabila menghasilkan buah maka ukurannya jauh lebih kecil dari normal dan
proses pematangannya terganggu, serta mudah gugur (early senescence) sehingga
sangat menurunkan bahkan meniadakan nilai ekonomi tanaman yang terinfeksi
(Duffus et al. 1996; Dalmon et al. 2008). Gejala terbatas pada jaringan floem
dengan konsentrasi virus rendah dimana hal tersebut salah satu kendala untuk
diagnosis keberadaan virus.

Gambar 2 Gejala klorosis di lahan pertanaman tomat (koleksi pribadi)
Partikel TICV dan ToCV berbentuk seperti benang, memanjang
(filamentous) dan lentur (flexuous). Partikel TICV memiliki panjang 850 – 900
nm (Duffus et al. 1996, Liu et al. 2000), sedikit lebih panjang dibandingkan
ToCV yaitu 800-850 nm. Keduanya masing-masing memiliki dua jenis genom
(bipartite) berupa RNA utas tunggal yaitu RNA 1 dan RNA 2 (Gambar 3a). RNA
1 dan RNA 2 TICV berukuran 7.8 dan 7.4 kb, dan ToCV berukuran 7.8 dan 8.2
kb (Wintermantel et al. 2005). RNA 1 pada TICV dan ToCV berfungsi dalam
mengkode dua jenis protein yang terlibat dalam replikasi virus (Martelli et al.
2000).
a)

b)
Gambar 3 Organisasi genom TICV RNA 1 dan RNA 2 (a) dan ToCV sekuen
RNA 2 (b) (Lozano et al. 2005)
Selubung protein minor (CPm) pada TICV dan ToCV yang membentuk
bagian ujung atau ekor virion memiliki peranan dalam penularan dengan
kutukebul. CPm dari kedua virus tersebut memiliki kespesifikan dengan reseptor
Trialeurodes vaporariorum dan Bemisia tabaci. Kespesifikan virus dengan

7
vektornya sangat ditentukan oleh reseptor yang ada pada stilet serangga dengan
CP dari virus yang bersangkutan (Wintermantel 2006). Duffus et al. (1994) dan
Wisler et al. (1996) melaporkan bahwa penularan virus TICV oleh kutukebul
T.vaporariorum secara semi-persisten selama 4 hari, dengan periode retensi
sampai 2 hari (Wisler et al. 1998a).
Bioekologi Begomovirus (Tomato yellowing leaf curl virus/TYLCV)
Gejala yang ditimbulkan oleh TYLCV adalah khlorosis yang muncul dari
tunas daun kemudian menyebar ke daun-daun bagian bawah disertai gejala
keriting atau berbentuk seperti mangkok (cupping), keras, daun berkerut
(puckering), bunga rontok dan terdapat enasi pada permukaan bawah daun juga
khlorotik (Butter dan Rataul 1977; Jones et al. 1991). Menurut Sugiarman dan
Hidayat (2000), gejala dari infeksi TYLCV di Indonesia pada umumnya
menimbulkan penebalan daun, lamina daun berkerut, daun menguning, tepi daun
melengkung ke atas, daun keriting dan tanaman kerdil.

Gambar 4 Gejala penyakit pada tanaman tomat yang disebabkan oleh TYLCV
(koleksi pribadi)
Partikel TYLCV berbentuk isometrik ganda, yang dalam keadaan tunggal
berdiameter 18-20 nm dan dalam keadaan berpasangan berdiameter 20-30 nm
(Thsai et al. 2006). Virus ini memiliki genom bipartite dan memiliki asam
nukleat single stranded DNA (ss-DNA). Genom berukuran 2.6-2.8 kb yang
terselubung dalam virion ekosahedral kembar (gemini).
Vektor yang menyebarkan penyakit kuning ini adalah B. tabaci yang
mendapatkan virus dengan menghisap tanaman tomat yang terinfeksi selama 15
sampai 30 menit. Vektor menularkan secara persisten. Vektor dapat mentransmisi
virus ke tanaman sehat memerlukan waktu 15 menit setelah 24 jam inkubasi
(setelah periode makan akuisisi). Adapun hasil penelitian dari Uzcategui dan
Lastra (1978) menunjukkan bahwa periode makan akuisisi minimum B. tabaci
untuk menularkan Begomovirus adalah 2 jam dengan periode laten 20 jam. Vektor
bisa menyimpan virus dalam tubuhnya sampai 20 hari, tetapi tidak menularkan
kepada keturunannya.

8
Bioekologi Kutukebul T. vaporariorum dan B. tabaci
Kutukebul T. vaporariorum dan B. tabaci termasuk ke dalam famili
Aleyrodidae, superfamili Aleyrodoidea, ordo Hemiptera (Caerver et al. 1991).
Kutukebul baik nimfa maupun imago memiliki lapisan lilin yang dapat digunakan
sebagai dasar identifikasi karena penampilan dan pola lapisan lilin dapat
membedakan antara satu spesies dengan spesies lainnya (Botha et al. 2000).
Semua stadia kutukebul hidup dan makan di bawah permukaan daun hasil
ekskresinya adalah embun madu yang dapat menjadi media untuk cendawan
Capnodium sp. atau embun jelaga (Hoddle 2004). Siklus hidup serangga ini
dimulai dari telur, nimfa, pupa, dan imago. Cara reproduksi dengan cara seksual
atau partenogenesis. Telur diletakkan di permukaan daun dan menetas menjadi
nimfa instar pertama, kemudian akan bergerak untuk mencari tempat menghisap
makanan yang sesuai dan menetap disana selama fase nimfa. Kutukebul
menghentikan aktivitas makan pada stadia akhir (puparium). Kulit pupa akan
terbentuk dan menuju proses pembentukan menjadi imago (Kalshoven 1981).
Stadia nimfa dan imago merupakan stadia yang menyebabkan kerusakan tanaman
(Morales 2001).

A

B

Gambar 5 Imago B. tabaci (A) dan T. vaporariorum (B) (koleksi pribadi)
Kutukebul ini memiliki bentuk alat mulut menusuk-menghisap yang berisi
empat struktur tubular yang dinamakan stilet. Melalui stilet inilah penularan virus
ke tanaman inang terjadi. Proses penempelan partikel virus dimulai adanya
interaksi antara protein selubung virus dengan alat mulut kutukebul. Selanjutnya
partikel virus akan menempel pada reseptornya yang terletak di stilet tersebut.
Virus akan berada dalam tubuh vektor saat diakusisi kemudian menuju sel epitel
saluran pencernaan dan berasosiasi dengan kelenjar saliva serangga vektor. Virus
bersirkulasi dalam tubuh serangga sampai akhirnya virus mencapai stilet dan
masuk ke dalam tanaman sehat saat vektor makan cairan nutrisi di floem. Virus
memerlukan waktu akuisisi dan inokulasi satu jam hingga satu hari dan periode
laten satu hari hingga beberapa minggu dalam tubuh serangga (Gray dan Banerjee
1999).
Imago betina B. tabaci hidup sekitar 6 hari sampai 60 hari. Lama hidup
imago jantan lebih pendek sekitar 9-17 hari. Imago bertahan hidup pada suhu
14-35°C, sedangkan pada tanaman tomat imago mampu bertahan sampai suhu
30°C selama sekitar 15 hari dan menyerang tanaman pada musim kemarau (Smith

9
2009). Cohen dan Berlinger (1986) menyatakan bahwa serendah apapun populasi
B. tabaci cukup efektif menyebabkan kerusakan langsung maupun tidak langsung.
Imago T. vaporariorum meletakkan telur dan hidup di daun muda dekat titik
tumbuh tanaman. Imago betina mampu bertelur sampai 250 butir dengan siklus
hidup 30 sampai 45 hari (Smith 2009). Durasi perkembangan berbagai stadia
T. vaporariorum pada tanaman tomat adalah sebagai berikut: stadium telur adalah
sekitar 8 hari, lama perkembangan nimfa instar 1 sekitar 6 hari, nimfa instar 2
sekitar 2 hari, nimfa instar 3 sekitar 3 hari, lama stadium pupa adalah 9 hari dan
lama hidup imago rata-rata 7 sampai 8 hari (Roermund dan Lenteren 1992). Setiap
fase perkembangan kutukebul T. vaporariorum dapat ditemukan pada lingkungan
bersuhu dingin (Xie et al. 2006), dan Smith (2009) mengatakan fase imago dapat
bertahan hidup pada suhu 22-25°C. Fase imago tidak mampu berkembang pada
suhu 30°C dan akan mati pada suhu di atas 35°C (Smith 2009).

Faktor Penentu Kejadian Penyakit Virus
Perkembangan organisme pengganggu tanaman dipengaruhi oleh
lingkungan sekitar. Topografi dan faktor iklim sangat menentukan
keberlangsungan siklus hidup baik dari hama serangga maupun penyakitnya.
Faktor iklim baik secara langsung maupun tidak langsung di antaranya
temperatur, kelembaban relatif udara dan curah hujan, memiliki pengaruh yang
berbeda untuk tiap spesies serangga dan dampak secara langsung dapat terlihat
pada siklus hidup, keperidian, lama hidup, serta kemampuan diapause serangga
(Ganaha et al. 2007; Lastuvka 2009). Keragaman iklim dapat mempengaruhi
pertumbuhan populasi dan penyebaran serangga sehingga dalam kurun waktu
singkat dapat menimbulkan ledakan populasi serangga hama tertentu (Wiyono
2007; Dale 1994). Serangga-serangga hama yang kecil seperti kutu-kutuan
umumnya menjadi masalah pada musim kemarau atau rumah kaca karena tidak
ada terpaan air hujan. Seiring dengan timbulnya ledakan populasi serangga hama
itupun dapat meningkatkan kejadian penyakit sebagai akibat dari serangga hama
yang berperan sebagai vektor, terutama penyakit virus. Pengaruh faktor iklim
terhadap patogen pun dapat berpengaruh terhadap siklus hidup patogen, virulensi
(daya infeksi), penularan, dan reproduksi patogen. Pengaruh perubahan iklim
akan sangat spesifik untuk masing masing penyakit. Perubahan iklim berpengaruh
terhadap penyakit melalui pengaruhnya pada tingkat genom, seluler, proses
fisiologi tanaman dan patogen (Garret et al. 2006).
Suhu lingkungan dapat tercermin dari keadaan topografi daerahnya yaitu
ketinggian tempat. Dalam hal ini, kelimpahan populasi serangga hama dapat
terukur melalui keberadaannya di ketinggian tempat tertentu sebagai bagian dari
kemampuannya untuk beradaptasi terhadap lingkungan. Sebagai contoh hama
kutukebul (B. tabaci) mempunyai suhu optimum 32.5ºC untuk pertumbuhan
populasinya (Bonaro et al. 2007). Hal tersebut juga menjelaskan bahwa
karakteristik tempat suatu spesies untuk hidup sangat berhubungan erat dengan
kisaran suhu yang sesuai bagi pertumbuhan serangga. Oleh karena itu, dalam hal
adaptasi lingkungan pada tempat yang berbeda karakteristik tempatnya, suhu
akan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan suatu spesies (Gutierrez et al.
2008) dan akan pula terjadi respon berbeda untuk semua spesies serangga pada

10
keadaan suhu rendah maupun suhu tinggi (Leather dan Awmack 1998).
Keterangan tersebut telah dibuktikan pada beberapa studi tentang adanya
keterikatan antara suhu dengan perkembangan hidup serangga yang selama ini
telah dikembangkan diantaranya adalah studi oleh Xie et al. (2006) dan Smith
(2009) tentang perkembangan hidup kutukebul. Menurut Xie et al. (2006),
perkembangan optimum dan kemampuan bertahan kutukebul berbeda-beda.
Lebih lanjut Xie et al. (2006) melaporkan bahwa B. tabaci dan T. vaporariorum
bisa beradaptasi pada suhu 2°C sampai dengan diatas 24°C. Selanjutnya, Xie et al.
(2006) menyatakan bahwa pada dasarnya semua stadium T. vaporariorum
memiliki kemampuan beradaptasi di suhu dingin. T.vaporariorum mampu
bertahan di suhu -8°C selama 10 jam, kelangsungan hidupnya 78% pada suhu 5°C
selama 2 hari dan berkembang baik pada suhu 15°-18°C, sedangkan menurut
Smith (2009), suhu optimum untuk perkembangan T. vaporariorum adalah 20°C 25°C. Imago masih dapat berkembang pada suhu di bawah 8°C dan akan berhenti
meletakkan telur pada suhu di bawah 7°C (Smith 2009). Adapun suhu optimum
untuk perkembangan B. tabaci adalah diatas 24°C (Xie et al. 2006). Menurut
Smith (2009), B. tabaci cenderung lebih menyukai suhu yang lebih hangat
dibandingkan dengan T. vaporariorum. Perkembangan B. tabaci terjadi di kisaran
14-35°C, tetapi optimum pada suhu 25-30°C. Pada lahan tomat yang bersuhu
30°C, waktu perkembangan dari mulai telur sampai dewasa ialah pendek yaitu
selama 18 hari. Imago B. tabaci hidup selama 10-15 hari pada suhu 28-30°C.
Pada suhu 25°C, B. tabaci betina memproduksi sekitar 195 telur dalam hidupnya.
Pada suhu 16-19°C, perkembangan B. tabaci sangatlah lambat, dengan siklus
hidup selama 140-70 hari berturut-turut, dan tingkat kematiannya sangat tinggi.
Nimfa mati pada suhu 9°C dan kelembaban udara yang rendah. Selama musim
dingin, imago B. tabaci dapat bertahan beberapa minggu tanpa tanaman inang
atau di dalam sebuah rumah kaca yang kosong.
Salah satu hubungan penyakit dengan keberadaan serangga vektornya yang
terpenting adalah peningkatan kejadian penyakit Crinivirus dan Begomovirus atau
virus gemini yang disebabkan oleh ledakan populasi kutukebul T. vaporariorum
dan B. tabaci. Sekitar lima sampai 10 tahun yang lalu, virus gemini yang
menyebabkan daun menjadi menguning (yellowing) serta gejala lebih jelas pada
daun muda ini pada awalnya bukan merupakan penyakit yang penting, tetapi
sekarang ini sudah menjadi penyakit cabai dan tomat yang paling penting hampir
di semua daerah pertanaman di Pulau Jawa seperti Bogor, Cianjur, Brebes,
Wonosobo, Magelang, Klaten, Boyolali, Kulonprogo, Blitar, dan Tulungagung
(Wiyono 2007). Pergeseran status penyakit tersebut dan terjadinya epidemi
penyakit ini salah satunya disebabkan oleh dinamika populasi serangga vektor
yaitu kutukebul Bemisia tabaci. Selanjutnya Wiyono (2007) menjelaskan bahwa
laju pertumbuhan intrinsik B. tabaci dipengaruhi oleh suhu yang terlihat dari data
biologi populasi B. tabaci. Adapun hal tersebut diperkuat dengan pengujian suhu
yang dilakukan pada B. tabaci yang menunjukkan bahwa laju pertumbuhan
intrinsik B. tabaci pada tomat meningkat dengan meningkatnya suhu uji yaitu
0.0450 (pada 17 °C) menjadi 0.123 ( 30 °C) (Bonaro et al. 2007). Boland et al.
(2004) dalam studinya juga telah meramalkan bahwa peningkatan keparahan
penyakit-penyakit tanaman oleh virus yang disebabkan oleh perubahan iklim di
Kanada juga berkaitan dengan perkembangan serangga vektor.

11
Deteksi Asam Nukleat dengan Polymerase chain reaction (PCR)
Reverse transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR) tidak dapat
dilakukan dengan menggunakan RNA sebagai cetakan maka terlebih dahulu
dilakukan proses transkripsi balik (reverse transcriptation) terhadap molekul
mRNA sehingga diperoleh molekul cDNA (complemantery DNA). Molekul
cDNA tersebut kemudian digunakan sebagai cetakan dalam proses PCR. RT-PCR
memerlukan enzim reverse transkiptase. Enzim ini adalah enzim DNA polimerase
yang menggunakan molekul RNA sebagai cetakan untuk menyintesis molekul
DNA (cDNA) yang komplementer dengan molekul RNA tersebut. Beberapa
enzim reverse transkiptase yang dapat digunakan adalah mesophilic viral reverse
transcriptase (RTase) yang dikodekan oleh virus avian myoblastosis (AMV)
maupun oleh moloney murine leukimia (M-MuL V), dan Tht DNA polimerase.
Menurut Yuwono (2005) Reaksi trankripsi balik dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa macam primer yaitu Oligo dT (sepanjang 12 – 18
nukleotida yang akan melekat pada ekor poli-(A) pada ujung 3’ mRNA mamalia
primer semacam ini pada umumnya menghasilkan cDNA yang lengkap;
Heksanukleotida acak yang akan melekat pada cetakan mRNA yang
komplementer pada bagian manapun. Primer semacam ini akan menghasilkan
cDNA yang tidak lengkap (parsial); dan yang ketiga adalah urutan nukleotida
spesifik yang dapat digunakan secara selektif untuk menyalin mRNA tertentu.
Polymerase chain reaction (PCR) merupakan metode enzimatis untuk
melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan
cara in vitro. Metode ini merupakan teknik deteksi molekuler yang berbasis pada
asam nukleat yang pertama kali dirintis oleh Kary Mullis pada tahun 1983.
Penerapan PCR banyak dilakukan di bidang biokimia dan biologi molekular
karena relatif murah dan hanya memerlukan jumlah sampel yang sangat kecil.
Teknik ini berguna dalam membuat salinan DNA dan memungkinkan sejumlah
kecil sekuens DNA tertentu disalin untuk diperbanyak (diamplifikasi sehingga
dapat dianalisis). PCR dapat digunakan untuk menambahkan situs enzim restriksi,
atau untuk mengubah basa tertentu pada DNA. Metode ini juga dapat digunakan
untuk mendeteksi keberadaan sekuens DNA tertentu dalam suatu sampel. PCR
memanfaatkan enzim DNA polymerase yang secara alami berperan dalam
perbanyakan DNA pada proses replikasi. Namun demikian, tidak seperti pada
organisme hidup, PCR hanya dapat menyalin fragmen pendek DNA, biasanya
sampai dengan 10 kb (kb = kilo base pairs = 1000 pasang basa). Fragmen tersebut
berupa suatu gen tunggal, atau hanya bagian dari suatu gen (Sambrook & Russell
2001). Proses PCR adalah (1) DNA cetakan yang merupakan fragmen DNA yang
akan dilipatgandakan, (2) oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen
oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali
sintesis rantai DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) yang terdiri atas
dATP, dCTP, dGTP, dTTP, (4) senyawa buffer PCR, dan (5) enzim DNA
polymerase, yaitu enzim yang mengkatalis reaksi sintesis rantai DNA (Yuwono
2006). Hal tersebut terdapat di dalamnya adalah (1) Denaturation (degradasi atau
proses pemisahan DNA) pada suhu 94°C. Pada saat denaturasi, rantai ganda DNA
mengalami pemisahan sehingga media berisi rantai tunggal DNA sebagai DNA
template; (2) Annealing (penempelan primer) pada suhu 54 – 62°C. Pada tahap ini
molekul-molekul primer (rantai asam nukleat mengawali proses PCR) yang telah

12
ditambahkan pada media menempel pada rantai DNA. Primer dirancang secara
khusus agar bisa berpasangan dengan DNA template. Primer dirancang pula untuk
mengamplifikasi target DNA yang kita inginkan; (3) Extension (perpanjangan
rantai) pada suhu 72°C. Pada tahap ini enzim taq-DNA polymerase yang telah
ditambahkan pada media mulai bekerja untuk memanjangkan rantai sehingga
terbentuk rantai ganda DNA yang diinginkan. Siklus ini berlangsung 30 sampai
40 kali pada mesin thermalcycler PCR. Reaksi PCR yang berulang-ulang
membuat jumlah gen template (gen yang ingin kita ketahui) memadai untuk kita
periksa pada analisis selanjutnya (Campbell et al. 2002; Yuwono 2006).

13

3 METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian terdiri atas dua kegiatan utama, yaitu (1) survei kejadian penyakit
di lapangan dan (2) deteksi virus dan identifikasi kutukebul. Kegiatan pertama
dilakukan di areal pertanaman tomat pada lima strata ketinggian tempat yaitu:
100 – 300 m di atas permukaan laut (mdpl) (Anggada, Bogor), 300 – 600 mdpl
(Rancamaya, Sukabumi), 600 – 900 mdpl (Cibedug dan Ciampea, Bogor; Leles
dan Cilimus, Garut), 900 – 1200 mdpl (Bayongbong, Samarang, dan Cisurupan,
Garut; Ciherang, Cianjur), dan 1200 – 1500 mdpl (Pacet, Cianjur; Lembang dan
Pangalengan, Bandung). Kegiatan kedua dilakukan di Laboratorium Virologi
Tumbuhan dan Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor; Laboratorium Biologi
Molekuler, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); dan Laboratorium
Biologi Molekuler, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumber Daya Genetik Pertanian (BB-BIOGEN). Penelitian ini dilaksanakan pada
Maret 2011 sampai dengan Maret 2012.

Metode
Survei Kejadian Penyakit dan Pengambilan Sampel Tanaman Tomat
Kegiatan ini bertujuan untuk mengamati tingkat kejadian penyakit klorosis
dan kerupuk serta kelimpahan kutukebul di pertanaman tomat. Pada setiap lahan
tanaman tomat yang terserang kedua penyakit tersebut dihitung tingkat kejadian
penyakitnya dengan mengamati 100 tanaman sampel secara acak. Juga, pada
setiap tanaman sampel yang diamati dilakukan pengumpulan pupa dan kantung
pupa kutukebul yang ada pada tanaman tersebut. Pada kegiatan ini juga dilakukan
pencatatan terhadap kondisi suhu udara, kelembaban nisbi, dan karakteristik
budidaya seperti varietas tomat, umur tanaman, dan penggunaan pestisida. Untuk
mengindentifikasi jenis virusnya, sampel daun dari tanaman yang memperlihatkan
gejala kedua jenis penyakit tersebut diambil secara acak dari lima tanaman
terserang. Selanjutnya, daun-daun sampel ini dibawa ke laboratorium untuk
dianalisis lebih lanjut.
Deteksi Keberadaan Virus
Daun sampel diambil dari masing-masing tanaman yang memiliki gejala
penyakit klorosis, kerupuk maupun infeksi ganda. Deteksi virus dilakukan melalui
tahapan ekstraksi RNA/DNA total dan amplifikasi DNA dengan RT-PCR/PCR.
Ekstraksi RNA total Crinivirus menggunakan Rneasy Plant Mini Kits (Philekorea
Technology) mengikuti prosedur produsen sedangkan ekstraksi DNA
Begomovirus dilakukan dengan metode Cetyl triethylammonium bromide (CTAB)
(Doyle and Doyle 1990). Selanjutnya, sampel daun bergejala Crinivirus dideteksi
menggunakan metode reverse transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR)
dan untuk Begomovirus menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR).
Bagian minor coat protein (CPm) Crinivirus diamplifikasi menggunakan

14
pasangan
primer
spesifik
ToCV-CF
(5’-GTGTCAGGCCATTGTAAACCA-3’)
dan
ToCV-CR
(5’-CACAAAGCGTTTCTTTTCATAAGCAGG-3’) yang berukuran 360 bp
dan untuk TICV menggunakan pasangan primer spesifik TICV-CF
(5’-AATCGGTAGTGACACGAGTAGCATC-3’)
dan
TICV-CR
(5’-CTTCAAACATCCTCCATCTGCC-3’) yang berukuran 417 bp. Gen protein
selubung (coat proteion) Begomovirus diamplifikasi menggunakan primer
spesifik untuk gen AV1 Begomovirus (AVRDC, Taiwan) yaitu CPPROTEIN-V1
(5’TAATTCTAGATGTCGAAGCGACCCGCCGA-3’) dan CPPROTEIN-C1
(5’-GGCCGAATTCTTAATTTTGAACAGAATCA-3’) berukuran 780 bp.
Ektraksi RNA Total TICV dan ToCV. Ekstraksi RNA total dengan jaringan
daun tanaman tomat bergejala Crinivirus menggunakan Rneasy Plant Mini Kits
(Philekorea Technology) mengikuti prosedur produsen. Sebanyak 0.1 g sampel
daun digerus menggunakan mortar dengan bantuan nitrogen cair. Hasil gerusan
dimasukkan ke dalam tabung mikro 2 ml lalu ditambahkan campuran 450 µl
buffer ekstraksi (buffer XPRB) dan 4.5 µl merkaptoetanol (perbandingan 1:100)
kemudian divorteks. Selanjutnya filter colomn berwarna putih disiapkan dan
ditumpuk diatas tabung mikro 2 ml yang baru. Sampel dipipet dan dimasukkan ke
dalam filter colomn berwarna putih, lalu disentrifugasi pada kecepatan 14000 rpm
selama 2 menit. Setelah itu, supernatan dipipet dan dipindahkan ke dalam tabung
mikro 2 ml yang baru kemudian volumenya diukur. Kemudian etanol absolut
ditambahkan sebanyak 0,5 vol supernatan kemudian homogenkan dengan menaik
turunkan pipet. Selanjutnya sampel dimasukan ke dalam XPPLR mini colomn
berwarna merah yang telah disiapkan dan ditumpuk diatas tabung mikro 2 ml
yang baru lalu disentrifugasi pada kecepatan 14000 rpm selama 1 menit. Cairan
yang tersisa lalu dibuang. Pada tahap pencucian, sebanyak 500 µl Wash buffer 1
dimasukan ke dalam tabung tadi, lalu disentrifugasi pada kecepatan 14000 rpm
selama 1 menit. Cairan yang tersisa lalu dibuang. Selanjutnya sebanyak 750 µl
Wash buffer 2 dimasukan ke dalam tabung tadi, lalu disentrifugasi pada kecepatan
12000 rpm selama 1 menit. Cairan yang tersisa lalu dibuang. Kemudian tabung
disentrifugasi kembali pada kecepatan 12000 rpm selama 3 menit. XPPLR mini
colomn berwarna merah (tanpa tabung koleksi 2 ml tadi) dipindahkan ke tabung
koleksi 2 ml yang baru. Kemudian RNase-free water 50 µl dipipet dan dimasukan
ke pusat membrane colomn lalu didiamkan selama 1 menit. Selanjutnya
disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 2 menit untuk mengelusi RNA.
Siapan RNA total disimpan di lemari pendingin -80°C dan digunakan sebagai
template dalam reaksi RT-PCR.
Prosedur RT-PCR dan PCR TICV dan ToCV. Reaksi RT dilakukan dengan
volume total 25 μl yang mengandung 3 μl RNA total; 0,75 pmol random primer,
500 mM dNTP, 5 mM MgCl2 , 4 μl buffer RT (250 mM Tris-HCl, pH 8,3; 375
mM KCl; 15 mM MgCl2; 50 mM DTT), 20unit RNasin ribonuclease inhibitor
(Promega, Madison, WI), dan 65 unit MMLV RT inhibitor (Promega, Madison,
WI). Reaksi RT dilakukan pada suhu 42°C selama 60 menit dan dilanjutkan
inakitivasi pada 95°C selama 5 menit. Selanjutnya dilakukan PCR dalam tabung
yang sama dengan menggunakan pasangan primer spesifik untuk ToCv dan
TICV. Reaktan PCR (total volume 50 μl) mengandung 0,75 pmol primer; 3 μl

15
buffer PCR 10x (500 mM KCl; 100 mM Tris-HCl, pH 9; 1% Triton X-100), dan
0,5 μl Taq DNA polymerase (Promega, Madison, WI). Reaksi PCR dengan
denaturasi inisiasi pada 94°C selama 1 menit, dilanjutkan 30 siklus yang terdiri
dari denaturasi pada 94°C selama 1 menit, penempelan primer pada 62°C selama
1 menit, dan pemanjangan pada 72°C selama 2 menit dan diikuti pemanjangan
akhir pada 72°C selama 10 menit. Produk PCR kemudian dielektroforesis dengan
mesin elektroforesis pada gel agarose 1% dalam buffer 0,5x TBE dan
divisualisasi dengan mesin UV transilluminator.
Ektraksi DNA Total. Ekstraksi DNA total dengan jaringan daun tanaman tomat
bergejala Begomovirus menggunakan metode Cetyl triethylammonium bromide
(CTAB) (Doyle and Doyle 1990). Proses ektraksi diawali dengan memanaskan
terlebih dahulu 500 µl buffer ekstraksi/ CTAB buffer untuk masing-masing
sampel ditambah dengan 1% merkaptoetanol dari volume total buffer di dalam
waterbath dengan suhu 65°C. Sementara itu sampel daun digerus dengan bantuan
nitrogen cair. Selanjutnya ekstrak daun hasil penggerusan dimasukkan ke dalam
tabung koleksi 2 ml dan ditambahkan 500 µl buffer ekstraksi yang telah
dipanaskan tadi, kemudian campur merata. Selanjutnya campuran hasil gerusan
tadi diinkubasi kembali dalam waterbath dengan suhu 65°C selama 60 menit dan
setiap 10 menit tabung tersebut dibolak-balik untuk membantu proses lisis.
Setelah 60 menit, campuran diambil dan didiamkan sebentar (± 2 menit) pada
suhu ruang, kemudian ditambahkan 500 µl campuran Chloroform : Isoamil (CI)
dengan perbandingan 24:1 lalu divorteks selama 5 menit. Kemudian disentrifugasi
dengan kecepatan 12000 rpm selama 15 menit. Supernatna yang terbentuk diambil
dan dihitung volumenya, kemudian dimasukkan ke dalam tabung koleksi 2 ml
yang baru. Selanjutnya tabung berisi supernatan ditambahkan 1/10 sodium asetat
(CH3COONA) dan dicampur dengan merata. Setelah itu tambahkan lagi ke
dalamnya dengan 2/3 x volume isopropanol atau 2.5 x volume etanol absolut
untuk presipitasi DNA. Selanjutnya diinkubasi semalaman dalam lemari
pendingin dengan suhu -20°C. Keesokan harinya, tabung tersebut disentrifugasi
kembali dengan kecepatan 12000 rpm selama 10 menit untuk mengendapkan
DNA. Selanjutnya cairan supernatan (yang