The relationship between population density of Globodera spp. with disease severity and tuber yield of potato crop

HUBUNGAN ANTARA KERAPATAN POPULASI
Globodera spp. DENGAN TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT
DAN HASIL UMBI PADA TANAMAN KENTANG

SELAMET

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Hubungan antara Kerapatan Populasi
Globodera spp. dengan Tingkat Keparahan Penyakit dan Hasil Umbi Pada
Tanaman Kentang” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2012

Selamet
A352100084

i

ABSTRACT
SELAMET. The Relationship Between Population Density of Globodera spp.
with Disease Severity and Tuber Yield of Potato Crop. Supervised by
SUPRAMANA and ALI NURMANSYAH.
This study was carried out to estimate the population of Globodera spp.
associated with disease severity and potato yield. This research was conducted
from September 2011 until January 2012 in one of the central potato plantation in
Dieng Plateau, Central Java. Identification of Potato Cyst Nematoda (PCN)
species using morphological character was performed by the perennial pattern
method. Research was conducted using 2-stages sampling method with the first
stage as altitude and second stage as disease severity. Soil and plant sampling was
taken from two levels of elevation, i.e 1250-1500 m and 1750-2000 m above sea
level (asl). Three locations were selected for each elevation and 3 focus for each
location. Five plant with different level of disease severity were taken. Disease
severity was assessed based on the plant height, degree of chlorosis, fresh weight

and tuber weight per plant. PCN population were counted based on the number of
cyst per 100 ml soil and the average number of eggs and juvenile’s per cyst. The
increasing of NSK density has a positive correlation with the increasing of disease
severities which shown by a decrease in plant height as well as fresh plant weight,
and an increase in percentage of plant chlorosis. In contrary, there was a negative
correlation in number of tuber produced by plant which shown by the decrease of
tuber yield when there was an increase of NSK population. Population of
G. pallida dominated population of G. rostochiensis at both altitudes. The
prevalence levels of G. pallida to G. rostochiensis were 63% at 1250-1500 m and
70% at 1750-2000 m asl.

Keywords: Disease severity, Population density, Globodera rostochiensis,
G. pallida

ii

iii

RINGKASAN
SELAMET. Hubungan antara Kerapatan Populasi Globodera spp. dengan

Tingkat Keparahan Penyakit dan Hasil Umbi Pada Tanaman Kentang. Dibimbing
oleh SUPRAMANA dan ALI NURMANSYAH.
Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan komoditas yang memiliki arti
penting di Indonesia dan merupakan bahan makanan alternatif yang mampu
menggantikan beras. Nematoda Sista Kentang/NSK merupakan nematoda penting
pada tanaman kentang karena kemampuan merusak dan mematikan tanaman
kentang yang sangat besar. Di Indonesia belum pernah dilakukan estimasi untuk
mengetahui pengaruh populasi NSK terhadap kerusakan yang ditimbulkan serta
hasil umbi pada tanaman kentang. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan
penelitian mengenai hubungan antara tingkat kerapatan Globodera spp. dengan
tingkat keparahan penyakit dan hasil umbi tanaman kentang.
Survei dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 sampai dengan Januari 2012
di sentra pertanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. Identifikasi
spesies NSK dengan menggunakan karakter morfologi yang dilakukan dengan
metode pola perineal (perineal pattern). Penelitian menggunakan metode
penarikan contoh berlapis 2 tahap dengan lapisan tahap pertama adalah ketinggian
tempat dan lapisan tahap kedua merupakan keparahan penyakit. Pengambilan
contoh dilakukan pada dua kisaran ketinggian yaitu: 1250-1500 m (T1) diatas
permukaan laut (dpl) dan 1750-2000 m dpl (T2). Pada tiap ketinggian diambil 3
lokasi (lahan pertanaman kentang) dimana tiap lokasi diambil sebanyak 3 foci.

Pada setiap foci diambil 5 tanaman contoh dengan tingkat keparahan penyakit
yang berbeda yaitu: tinggi (P4); agak tinggi (P3); sedang (P2); rendah (P1) dan
tidak bergejala (P0). Keparahan penyakit diduga berdasarkan tinggi tanaman,
derajat klorosis, berat segar dan berat umbi per tanaman. Pertambahan populasi
NSK dihitung berdasarkan jumlah sista per 100 ml tanah, rata-rata jumlah telur
dan juvenil per sista.
Pengambilan contoh tanah dilakukan pada tanaman yang menunjukkan
gejala kerusakan tinggi sampai tidak bergejala. Contoh tanah yang diambil pada
kedalaman 0-20 cm (daerah perakaran tanaman/rizosfer) sebanyak 250 ml.
Contoh tanah tersebut kemudian dilakukan homogenitas secara merata kemudian
ekstraksi sista NSK dilakukan terhadap 100 ml tanah/lokasi lahan contoh. Tanah
dilakukan penyaringan dengan 2 saringan bertingkat yaitu yang berukuran 850 µm
(bagian atas) dan 300 µm (bagian bawah). Tanah tersebut kemudian disemprot
dengan air agar dapat terpisah antara partikel besar dan kecil. Bagian yang
tersaring pada mesh berukuran 850 µm dibuang, dan yang tertampung dengan
mesh berukuran 300 µm ditiriskan sampai kering, kemudian dicampur dengan
ethanol 96% (1:3) dan diaduk hingga sista terangkat ke permukaan. Larutan yang
mengandung sista disaring, sista yang menempel di kertas saring diambil dan
dihitung.
Identifikasi spesies dengan menggunakan karakter morfologi dilakukan

dengan metode pola perineal sista. Spesies Globodera spp. dapat diketahui
dengan melihat ciri-ciri morfologi pola perineal yaitu jumlah tonjolan kutikula
(ridge) antara anus dan fenestra dan penghitungan rasio ganeks. Karakter

iv
morfologi lain yang dipergunakan untuk membedakan spesies Globodera spp.
adalah dengan melihat bentuk knob stilet dari J2.
Parameter yang diamati setelah proses ekstraksi ini dilakukan meliputi,
jumlah sista per 100 ml tanah serta rata-rata jumlah telur dan juvenil 2 (J2) per
sista. Analisis sidik ragam dan regresi menggunakan program Minitab 16 untuk
mengetahui hubungan antara kerapatan populasi dengan setiap variabel yang
diamati.
Kerapatan populasi NSK cenderung meningkat seiring dengan semakin
tingginya tempat dimana populasi terendah berada pada ketinggian 1450 m yaitu
2897 ekor/100 ml tanah yang berada di Desa Serang Kecamatan KejajarWonosobo dan tertinggi pada 1924 m dpl yaitu 563 266 ekor/100 ml tanah di
Desa Karang Tengah Kecamatan Batur-Banjarnegara. Berdasarkan analisis
regresi hubungan antara ketinggian tempat dan kerapatan NSK dapat dimodelkan
bahwa pada ketinggian 1450 m dpl sampai 2000 m dpl, penambahan populasi
NSK untuk setiap satu meter kenaikan tempat adalah sebesar 581 ekor/100 ml
tanah.

Peningkatan kerapatan populasi NSK berkorelasi positif dengan
peningkatan tingkat keparahan penyakit, yang ditunjukkan pada penurunan tinggi
dan berat segar tanaman serta peningkatan persentase klorosis tanaman kentang,
dan berkorelasi negatif dengan banyaknya umbi yang dihasilkan oleh tanaman
kentang. Gejala kerusakan yang ditimbulkan oleh NSK adalah daun menjadi tebal
dan seluruh tangkai menjadi memendek dan kerdil serta bagian tepi daun
mengalami nekrotik bahkan seluruh daun menjadi kekuningan (klorosis).
Sista NSK berisi telur dan juvenil, berwarna putih atau kuning keemasan
dengan bentuk yang tidak seragam (bulat, sedikit elips atau ovoid). Juvenil
berbentuk seperti cacing dan bagian kepala set off berkembang dengan baik. Satu
sista berisi massa telur dan J2 sekitar 500 butir sampai 600 butir. Bagian knob
stilet J2 untuk G. rostochiensis membulat ke arah belakang, sedangkan G. pallida
bentuknya agak datar/cekung. Spesies NSK yang dominan pada areal pertanaman
kentang adalah G. pallida. Prevalensi G. pallida terhadap G. rostochiensis pada
ketinggian 1250-1500 m dpl sebesar 63% sedangkan pada 1750 – 2000 m dpl
mencapai 70%.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut kerapatan populasi NSK dapat
dipergunakan untuk melakukan perkiraan terhadap potensi kerugian yang
diakibatkan oleh NSK pada tanaman kentang di Indonesia.
Kata kunci : Keparahan penyakit, kerapatan populasi, G. rostochiensis, G. pallida,


v

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

vi

vii

HUBUNGAN ANTARA KERAPATAN POPULASI
Globodera spp. DENGAN TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT

DAN HASIL UMBI PADA TANAMAN KENTANG

SELAMET

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

viii

Penguji Luar Komis pada Ujian Tesis: Dr Ir Arifin Tasrif, MSc MM.

ix
Judul Tesis


Nama Mahasiswa
NIM

: Hubungan Antara Kerapatan Populasi Globodera spp.
Dengan Tingkat Keparahan Penyakit dan Hasil Umbi
Pada Tanaman Kentang
: Selamet
: A352100084

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Dr Ir Supramana, MSi
Ketua

Dr Ir Ali Nurmansyah, MSi
Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi
Fitopatologi

Dekan
Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian : 26 April 2012

Tanggal Lulus :

x

xi

PRAKATA
Bismillahi rohmaani rohiim. Alhamdulillahi robbil’alamin.

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulisan tesis yang berjudul “Hubungan
Antara Kerapatan Populasi Globodera spp. dengan Tingkat Keparahan Penyakit
dan Hasil Umbi pada Tanaman Kentang” dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada
Dr Ir Supramana, MSi dan Dr Ir Ali Nurmansyah, MSi atas bimbingan, kesabaran,
pengkayaan wawasan, saran, kritik dan dukungan moril yang sangat besar
peranannya dalam penyelesaian penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada Ir Banun Harpini, MSc selaku kepala Badan Karantina
Pertanian atas kesempatan dan sumber dana yang diberikan kepada penulis untuk
mengikuti program S2 di Institut Pertanian Bogor dan kepada Dr Ir Arifin Tasrif,
MSc MM yang bersedia menjadi Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis.
Rasa hormat yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada kedua orang
tua tercinta, ayahanda Danuji, ibunda Suhermi, kakanda Sadikin, Adinda Siti
Aminah, Suyatmi dan Achmad Mulyadi yang telah mencurahkan kasih sayang,
doa dan bimbingan. Ucapan terima kasih yang tidak terhingga juga penulis
ucapkan kepada istri tercinta Galih Nurani Murni dan ananda tersayang Eka
Auliya Ardiningrum atas kesabaran, pengertian, kasih sayang dan dukungannya.
Ucapan terima kasih disampaikan pula pada Mertua Bapak Sukiran dan Ibu
Tuminah, dan adik ipar Desi, Yanik dan Gentur atas doa, dorongan semangat dan
bantuan moril selama ini.
Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada rekan-rekan kepada
sahabat-sahabat saya Ratih, Hendro, Yuli, Arief, Riri, Aulia, Joni, Fitri, Aprida,
Nurul, Uwi, Erna, Rahma dan Lulu atas persahabatan dan kerjasamanya. Kepada
teman-teman di Lab. BBKP Tanjung Priok dan Wilker Kantor Pos Bogor yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas kebersamaan dalam suka dan duka.
Akhir kata saya haturkan terima kasih kepada semua pihak dan semoga hasil
penelitian ini bermanfaat untuk kepentingan umat manusia dan khasanah ilmu
pengetahuan di Indonesia khususnya.
Wassalam.

Bogor, Mei 2012

Selamet

xii

xiii

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sangasanga Kabupaten Kutai Kartanegara tanggal
01 Maret 1980, sebagai anak kedua dari lima bersaudara, pasangan Bapak Danuji
dan Ibu Suhermi. Penulis menikah dengan Galih Nurani Murni pada tahun 2006
dan dikaruniai anak bernama Eka Auliya Ardiningrum pada tahun 2007.
Gelar Sarjana Strata I penulis peroleh dari Program Studi Ilmu Hama dan
Penyakit Tumbuhan Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian, Universitas
Mulawarman di Samarinda Kalimantan Timur pada tahun 2004.
Pada Tahun 2006 penulis diterima sebagai tenaga Pengendali Organisme
Pengganggu Tumbuhan (POPT) di Stasiun Karantina Tumbuhan Kelas I
Balikpapan. Pada tahun 2010 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan ke
Program Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Program Studi Fitopatologi. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari
Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian.

xiv

xv

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .........................................................................................

xvii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................

xix

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................

xxi

PENDAHULUAN
Latar Belakang .....................................................................................
Tujuan Penelitian .................................................................................
Hipotesis ..............................................................................................

1
2
3

TINJAUAN PUSTAKA
Nematoda Sista Kentang ......................................................................
Klasifikasi .....................................................................................
Morfologi ......................................................................................
Bioekologi ....................................................................................
Sebaran Nematoda Sista Kentang ........................................................
Sebaran Geografis .........................................................................
Sebaran Lokal ...............................................................................
Karakteristik NSK Berdasarkan Morfologi .........................................
Pengaruh NSK pada Tanaman kentang ..............................................

5
5
5
7
10
10
14
15
17

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian ..............................................................
Metode Penelitian ................................................................................
Pengujian Awal .............................................................................
Pelaksanaan Penelitian .................................................................
Analis Data ..........................................................................................

21
21
21
22
23

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Awal ....................................................................................
Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit Tanaman dengan Populasi
NSK .....................................................................................................
Identifikasi Spesies NSK ....................................................................
Sista .............................................................................................
Telur .............................................................................................
Juvenil ..........................................................................................
Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit dengan Pertumbuhan dan
Hasil Umbi ...........................................................................................
Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit dengan Tinggi Tanaman
Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit dengan Persentase
Klorosis Tanaman .........................................................................
Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit dengan Berat Segar
Tanaman ......................................................................................
Hubungan Tingkat Keparahan Penyakit dengan Hasil Umbi
Tanaman ......................................................................................

25
26
29
29
32
32
33
33
35
38
40

xvi
xvi
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................

43

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

45

LAMPIRAN ....................................................................................................

49

xvii

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Daerah sebaran NSK di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah ................

12

2

Perbedaan ciri morfologi G. rostochiensis dengan G. pallida . .............

17

3

Rata-rata kerapatan NSK pada tiga tingkat keparahan penyakit
tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng ............................................

25

Rata-rata tinggi tanaman, klorosis, berat segar dan berat umbi tanaman
kentang pada tiga tingkat keparahan penyakit di Dataran Tinggi Dieng

26

Rata-rata kerapatan NSK pada lima tingkat keparahan penyakit dan
dua kisaran ketinggian tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng . ......

29

Rata-rata persentase klorosis pada lima tingkat keparahan penyakit
dan dua kisaran ketinggian tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng

36

4
5
6

xviii

xix

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Morfologi G. rostochiensis dan G. pallida . ...........................................

6

2

Skema siklus hidup Globodera spp. . .....................................................

8

3

Perbedaan warna sista antara G. rostochiensis dengan G. pallida .........

15

4

Karakteristik morfologi untuk identifikasi NSK . ...................................

16

5

Pola pengambilan contoh tanah dan tanaman . .......................................

22

6

Hubungan antara ketinggian tempat dengan kerapatan populasi NSK ...

27

7

Hubungan kerapatan NSK dengan tingkat keparahan penyakit pada
ketinggian 1250 m dpl -1500 m dpl dan 1750 m dpl - 2000 m dpl ......

28

Sista Globodera spp. pada tanaman kentang yang berasal dari Dataran
Tinggi Dieng yang tidak memiliki terminal cone (lingkaran kuning) ....

30

Proporsi spesies NSK pada lokasi-lokasi penelitian di Dataran Tinggi
Dieng; Gr: Globodera rostochiensis; GP: G. pallida ............................

31

10 Sista Globodera spp.: (a) yang dipecahkan, (b) telur dan J2 ................

32

11 Bagian anterior NSK: (a) knob stilet G. rostochiensis yang bentuknya
membulat kearah posterior (1000 x), (b) knob stilet G. pallida yang
bentuknya agak datar/cekung (10009x) ................................................

33

12 Hubungan tinggi tanaman dengan tingkat keparahan penyakit pada
ketinggian 1250 m dpl -1500 m dpl dan 1750 m dpl - 2000 m dpl .....

34

13 Gejala NSK: (a) pada pertanaman kentang, (b) pada individu tanaman,
(c) sista NSK yang ada di perakaran tanaman kentang .........................

35

14 Hubungan persentase klorosis dengan tingkat keparahan penyakit
pada ketinggian 1250 m dpl -1500 m dpl dan 1750 m dpl - 2000 m
dpl ..........................................................................................................

37

15 Hubungan berat segar tanaman dengan tingkat keparahan penyakit
pada ketinggian 1250 m dpl -1500 m dpl dan 1750 m dpl - 2000 m
dpl ..........................................................................................................

38

16 Hubungan berat umbi tanaman dengan tingkat keparahan penyakit
pada ketinggian 1250 m dpl -1500 m dpl dan 1750 m dpl - 2000 m
dpl .........................................................................................................

40

8
9

xx

xxi

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Hasil analisis sidik ragam tingkat keparahan penyakit terhadap
tinggi, persentase klorosis, berat segar, berat umbi tanaman populasi
nematoda pada penelitian pendahuluan ………..………………….…

51

2

Data lokasi pengambilan sampel ……………………………………..

52

3

Hasil analisis regresi: kerapatan populasi NSK dengan ketinggian
tempat ………………………………………………………………...

54

Hasil analisis sidik ragam hubungan tingkat keparahan penyakit
terhadap kerapatan populasi nematoda ……………………………….

55

5

Identifikasi morfologi sista NSK …………………..…………………

56

6

Hasil pengamatan pola perineal NSK ………………………………...

58

7

Jumlah telur dan J2 per sista Globodera spp. pada 6 lokasi tanaman
kentang di Dataran Tinggi Dieng …………………………………….

59

Hasil analisis sidik ragam tingkat keparahan penyakit terhadap tinggi
tanaman …...………………………………………………………......

60

Hasil analisis sidik ragam tingkat keparahan penyakit terhadap
persentase klorosis ………………………………………….…...........

61

10 Hasil analisis sidik ragam tingkat keparahan penyakit terhadap berat
segar tanaman ……...……………………………………….…...........

62

11 Hasil analisis sidik ragam tingkat keparahan penyakit terhadap hasil
umbi kentang …………………………………………….…………...

63

12 Hasil analisis regresi antara tinggi tanaman dan persentase klorosis
terhadap jumlah nematoda ……………………………………………

64

13 Hasil analisis regresi antara berat segar dan hasil umbi tanaman
terhadap jumlah nematoda …………….……………………………..

65

14 Korelasi tinggi tanaman, persentase klorosis, berat segar, dan hasil
umbi terhadap jumlah nematoda ……………………………………..

66

15 Beberapa tingkat persentase klorosis tanaman kentang karena infeksi
NSK ………………………………………………………………….

67

4

8
9

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menurut O’Sullivan (1997), kentang (Solanum tuberosum L.) mempunyai
kandungan zat karbohidrat yang lebih tinggi (205) dari sumber lain seperti beras
(138), jagung (155), sorgum (100) atau gandum (142 Mega Joule/ha/hari). Hal
tersebut menjadikan kentang sebagai bahan makanan alternatif yang mampu
mensubstitusi ketergantungan masyarakat terhadap beras. Bahkan untuk kalangan
tertentu (misalnya penderita diabetes), kentang merupakan makanan pokok untuk
diet karena kandungan kadar gulanya yang rendah sehingga kentang merupakan
komoditas yang penting dan mampu berperan untuk memenuhi gizi masyarakat.
Berdasarkan data BPS (2011), di Indonesia pada beberapa tahun terakhir
mengalami penurunan produksi kentang.

Pada tahun 2007 terjadi penurunan

produksi kentang dari produksi 1 011 911 ton pada tahun 2006 menjadi 1 003 732
ton pada tahun 2007 atau turun sebesar 8179 ton.

Pada tahun 2010 terjadi

penurunan produksi kentang sebesar 115 725 ton, yaitu dari produksi 1 176 304
ton pada tahun 2009 menjadi 1 060 579 ton pada tahun 2010. Selain penurunan
produksi kentang secara nasional pada tahun 2010 juga terjadi penurunan
produktivitas sebanyak 0.56 ton/ha. Rendahnya produktivitas sangat dipengaruhi
oleh berbagai hal antara lain iklim, teknik budidaya, mutu benih, kesuburan tanah
serta gangguan hama dan penyakit. Gangguan hama dan penyakit ini merupakan
salah satu penyebab utama menurunnya produksi kentang di Indonesia
dibandingkan faktor-faktor lainnya.
Salah satu organisme pengganggu tumbuhan yang menjadi kendala utama
dalam penanaman kentang adalah nematoda Globodera spp.. Nematoda tersebar
di wilayah dingin di daerah tropis, subtropis dan daerah yang beriklim sedang di
dunia (Luc et al. 2005). Nematoda sista kentang/NSK (Globodera spp.)
merupakan nematoda terpenting pada pertanaman kentang pada beberapa dataran
tinggi antara lain dataran tinggi di Filipina, Amerika Serikat serta pegunungan
Andes di Amerika Selatan (EPPO 2011). Di Indonesia, penyebaran telah ada di
Sumatra Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (Hadisoeganda 2006).
Berdasarkan Lisnawita (2007) sebaran G. rostochiensis meliputi Jawa Timur,

2
Jawa Tengah, dan Jawa Barat. sedangkan G. pallida terdapat di wilayah
Pegunungan Dieng Jawa Tengah (Lisnawita 2007; Nurjanah 2009).
Globodera spp. (NSK) merupakan nematoda terpenting pada tanaman
kentang karena kemampuan merusak dan mematikan tanaman kentang yang
sangat besar. Di luar negeri, kerugian yang ditimbulkan cukup besar yaitu antara
50% sampai 80% (Mulyadi et al. 2003) bahkan di Australia biaya yang harus
dikeluarkan akibat adanya infeksi nematoda ini dalam kurun kurun waktu 20
tahun terakhir sangat besar yaitu rata-rata mencapai $18.7 milyar dengan kisaran
$11.9 – 27.0 milyar per tahun (Hodda dan Cook 2009). Di wilayah kota Batu,
Jawa Timur dari areal seluas 1.5 ha yang biasanya mampu menghasilkan sekitar
24 ton produksinya hanya sekitar 7 ton (Hadisoeganda 2006).
Kehilangan hasil oleh NSK disebabkan berkurangnya jumlah luas daun
untuk melakukan fotosintesis dan sistem perakaran yang terganggu. Sejauh ini
belum pernah dilakukan penelitian mengenai jumlah telur maupun sista nematoda
Globodera spp. yang mampu menimbulkan kehilangan hasil pada tanaman
kentang di Indonesia. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut maka perlu
dilaksanakan penelitian mengenai hubungan antara jumlah sista/telur Globodera
spp./g tanah dengan tingkat kerusakan/intensitas penyakit yang ditimbulkan pada
tanaman kentang.
Perumusan Masalah
Menurut Nurjanah (2009), di Dataran Tinggi Dieng pada ketinggian 1250 –
1500 m diketahui bahwa spesies NSK yang dominan adalah G. rostochiensis
sedangkan G. pallida lebih dominan pada pada ketinggian 1750-2000 m dpl.
Ditambahkan oleh Hadisoeganda (2006) bahwa hasil penelitian di Chili
menunjukkan bahwa apabila populasi awal NSK sebesar 12, 32, dan 128 telur per
g tanah, produksi kentang akan turun sebanyak 20, 50 dan 70%. Hasil penelitian
di Jerman memperlihatkan bahwa pada populasi awal sebesar 100, 1000, dan 10
000 juvenil per 100 g tanah, kehilangan hasil kentang mencapai 11, 27, dan 43%.
Hasil penelitian di Belarusia mencatat bahwa pada populasi awal NSK sebesar
1000, 5000, 10 000, dan 25 000 juvenil per 100 g tanah, kerugian produksi
kentang mencapai bertutut-turut 18, 5, 31, 45, dan 74%. Di Indonesia sendiri

3

belum pernah dilakukan estimasi untuk mengetahui pengaruh populasi sista baik
itu untuk G. rosthochiensis maupun G. pallida terhadap kerusakan yang
ditimbulkan serta hasil umbi pada tanaman kentang.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara tingkat
kerapatan Globodera spp. dengan tingkat keparahan penyakit dan hasil umbi
tanaman kentang.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Nematoda Sista Kentang
Klasifikasi
Globodera spp. merupakan nematoda yang membentuk sista yang
menimbulkan masalah di Eropa sejak abad XIX. Nama ‘nematoda sista’ berasal
dari tubuh betina dewasa yang mengalami penggelembungan dengan kutikula
tebal dan keras apabila mati dan tetap berada di dalam tanah sebagai sista yang
mengandung telur yang berembrio (Dropkin 1991). Menurut CABI (2007) dan
Luc et al. (2005), klasifikasi NSK dalam sistematika taksonomi adalah sebagai
berikut:
- Domain

: Eukaryota

- Kingdom

: Metazoa

- Phylum

: Nematoda

- Ordo

: Tylenchida

- Sub ordo

: Tylenchina

- Superfamili : Tylenchoidea
- Family

: Heteroderidae

- Genus

: Globodera spp.

- Species

: - G. rostochiensis (Wollenweber) Mulvey dan Stone
- G. pallida (Stone) Mulvey dan Stone

Morfologi
G. rostochiensis.

Menurut CABI (2007), telur berada di dalam tubuh sista.

Nematoda ini tidak membentuk kantung telur. Permukaan telurnya halus dan tidak
terdapat mikrovili, berukuran panjang 101-104 µm dan lebar 46-48 µm. Betina
dewasa dapat terlihat di bagian korteks akar pada saat 1-6 bulan setelah invasi oleh
juvenile stadia 2 (J2).

Betina dewasa memiliki tubuh berwarna putih hingga

kuning emas. Memiliki stilet yang panjangnya 23 ± 1 µm; lebar kepala 5.2 ± 0.7
µm.

Knob stilet cenderung mengarah ke bagian belakang.

Pori ekskresi

(excretory pore) terbentuk dengan baik di bagian pangkal leher. Sista berukuran

6
panjang 445 ± 50 µm dan lebar 382 ± 60 µm; panjang bagian leher 104 ± 19 µm.
Di dalam sista terdapat telur-telur. Sista terbentuk dari kutikula tubuh imago
betina. Jantan dewasa memiliki tubuh berukuran panjang 0.89-1.27 mm dan lebar
28 ± 1.7 µm; lebar kepala 11.8 ± 0.6 µm dan panjangnya 7.0 ± 0.3 µm; panjang
stilet 26 ± 1.0 µm; panjang ekor 5.4 ± 1.0 µm dan lebarnya 13.5 ± 0.4 µm; panjang
spikula 35.0 ± 3.0 µm; dan panjang gubernakulum 10.3 ± 1.5 µm. Imago jantan
tubuhnya vermiform dengan ekor yang pendek dan tidak memiliki bursa. Tubuh
berukuran 468 ± 100 µm dan lebar 18 ± 0.6 µm; panjang kepala 4.6 ± 0.6 µm;
panjang stilet 22 ± 0.6 µm; dan panjang area hialin pada ekor adalah 26.5 ± 2.0
µm.

Kepalanya membulat dengan 6-7 anulus, dan berkembang dengan baik

(Gambar 1).

a

b

d

e

f

k

l
m

g
c
h
i

q

n

j
r
p
o
Gambar 1 Morfologi G. rostochiensis: (a) juvenil, (b) bagian kepala dari juvenil
instar 2 (J2), (c) bagian tengah tubuh J2, (d) bagian faring dari J2,
(e) bagian faring dari jantan, (f) bagian ujung/ekor dari jantan,
(g) bagian lateral tubuh jantan, (h) sista, (i) bagian anterior betina,
(j) jantan. G. pallida: (k) seluruh tubuh, (l) anterior, (m) kepala,
(n) ekor, (o) bagian tengah tubuh, (p) bagian tengah ekor, (q) head en
faceat level of lips, (r) head en face at level of base (Stone 1972
dalam Nijs dan Karssen 2011).

7
G. pallida. Telur terdapat di dalam sista tetapi tidak menghasilkan kantung telur.
Permukaan telur halus dan tidak terdapat mikrovili. Telur berukuran 108.3 ± 2.0
µm x 43.2 ± 3.2 µm. Betina dewasa memiliki stilet berukuran 27.4 ± 1.1 µm,
bagian kepala melebar di bagian pangkalnya (berukuran 5.2 ± 0.5 µm). Betina
dewasa memiliki tubuh yang membulat, berwarna putih atau krem, tergantung
patotipe, fase ini terdapat di dalam sel akar dan berlangsung selama 4-6 minggu
(tidak ada fase yang berwarna kuning atau kuning emas seperti pada
G. rostochiensis). Betina dewasa dapat menghasilkan sista yang berdinding keras
yang berasal dari bagian tubuhnya yang sudah mati. Sista berwarna cokelat tua
dan merupakan pelindung bagi telur. Bentuk sista hampir identik dengan bentuk
tubuh betina dewasa, meskipun biasanya bagian kepala sudah tidak ada. Sista
berukuran lebar 534 ± 66 µm dan panjang (tidak termasuk bagian leher) 579 ± 70
µm, panjang bagian leher sendiri adalah 188 ± 20 µm. Jantan dewasa memiliki
bentuk tubuh vermiform, bagian ekornya yang pendek melingkar sebesar 90-180°,
memiliki satu testis, serta memilki satu gubernakulum yang kecil dan tidak
berornamen. Panjang tubuhnya adalah 1200 ± 100 µm, dan lebar 28.4 ± 1.0 µm,
panjang kepala 6 ± 0.3 µm dan lebar 13.5 ± 0.5 µm, panjang stilet 27.5 ± 1.0 µm,
panjang bagian ekor 5.2 ± 1.4 µm dan lebar 13.5 ± 2.1 µm. J2 merupakan fase
infektif dalam siklus hidup. Juvenil G. pallida biasanya memiliki tubuh yang
berukuran lebih besar dan panjang daripada G. rostochiensis. Selain itu, juvenil
G. pallida memiliki knob yang bentuknya membulat ke arah anterior (agak
datar/cekung), sedangkan G. rostochiensis memiliki knob stilet yang bentuknya
membulat ke arah posterior. Juvenil mengalami 4 kali ganti kulit. Bagian ujung
ekornya membulat, stiletnya berkembang dengan baik.

Tubuhnya berukuran

panjang 486 ± 2.8 µm dengan lebar 19.3 ± 0.9 µm, panjang stilet 23.0 ± 1.0 µm,
panjang bagian ekor 51.1 ± 2.8 µm dan lebar 12.1 ± 0.4 µm (Gambar 1) (CABI
2007).
Bioekologi
Menurut Turner dan Evans (1998), siklus hidup NSK berlangsung antara
38-48 hari (tergantung pada suhu tanah), dan terdiri dari 3 fase yaitu: fase telur,
fase juvenil (yang terdiri dari juvenil 1-juvenil 4) dan fase dewasa yang terdiri dari
nematoda jantan dan nematoda betina (Gambar 2).

8

Gambar 2 Skema siklus hidup Globodera spp. (Sumber: Evans dan Stone 1977
dalam Turners dan Evans 1998).
Telur berada di dalam sista dalam keadaan 1 sel, kemudian membelah
menjadi 2 sel, 3 sel, 4, sel dan seterusnya sehingga terbentuk juvenil stadia 1 (J1)
dan mengalami pergantian kulit menjadi J2 (Lisnawita 2007). Bagian yang aktif
dari siklus hidup dimulai ketika juvenil stadia 2 (J2) menetas dari telur. J2 yang
menetas dari telur, keluar dari sista, dan melakukan penetrasi pada ujung akar
tanaman inang. Selanjutnya J2 masuk ke dalam akar di dekat ujung/tudung akar
atau akar-akar lateral dengan menusukkan stiletnya pada sel epidermis, masuk dan
bergerak dalam akar secara intraseluler dan menyebabkan kerusakan pada sel-sel
yang dilalui. Interaksi inang-parasit mempengaruhi perkembangan juvenil untuk
menjadi betina atau jantan. Jenis kelamin dipengaruhi oleh kecukupan nutrisi.
Nutrisi yang kurang akan menghasilkan NSK jantan, sebaliknya jika nutrisi cukup
tersedia akan menghasilkan betina. Pada saat terjadi infeksi berat, NSK jantan
menjadi lebih dominan, dan sebaliknya. Proses pelukaan terjadi pada saat NSK
betina membengkak, memecah korteks akar, dan bagian posterior menyembul
keluar, sedangkan bagian kepala dan leher masih tetap berada di dalam akar.
Dalam perkembangannya, NSK jantan berbentuk cacing (vermiform) melingkar di
dalam kutikula larva J4 dan memecah kutikula, kemudian keluar dari akar dan
tinggal di tanah (Evans dan Turner 1998).

9
Penetasan J2 terjadi karena ada rangsangan dari akar tanaman inang
terutama bagian ujung akar. Rangsangan ini bersifat spesifik yaitu hanya terjadi
pada tanaman dari famili Solanaceae seperti kentang, tomat, terung dan
S. dulcamara (sejenis gulma dari famili Solanaceae) (Turner dan Evans 1998;
Jatala dan Bridge 1995). Menurut Perry (1998), sedikitnya ada 25 senyawa kimia
yang disebut faktor penetasan (hatching factors) yang berperan dalam penetasan
telur NSK. Rangsangan eksudat akar menyebabkan 60% - 80% telur menetas
(Padil 2011).
Reproduksi NSK terjadi secara seksual. Nematoda betina menghasilkan
feromon untuk memikat atau menarik jantan yang berada di dalam tanah.
Perkawinan segera terjadi beberapa saat kemudian. Setelah kawin, setiap betina
menghasilkan sekitar 200 – 500 telur, kemudian betina mati dan dinding tubuhnya
akan membungkus telur dan membentuk sista. Perkembangan embrio terjadi di
dalam telur hingga J2.

Penetasan kembali terjadi bila ada rangsangan yang

dihasilkan oleh akar tanaman inang dan kondisi lingkungan yang sesuai dan siklus
hidup akan berulang kembali. Keperidian NSK yang berasal dari Jawa Timur dan
Jawa Tengah mencapai optimum pada temperatur antara 15-21 ºC, dan menurun
pada temperatur di bawah 15 ºC atau di atas 21 ºC (Lisnawita 2007).
NSK mempunyai struktur untuk mempertahankan diri di dalam tanah yang
disebut sista. Sista merupakan tubuh betina yang telah mati, yang di dalamnya
berisi telur (Lisnawita 2007). Sista dan telur merupakan stadia yang persisten dari
siklus hidup NSK. Sista yang baru terbentuk mengandung sekitar 500 telur yang
dapat bertahan hidup selama 30 tahun. Ketika tidak ada tanaman kentang, sista
tetap tinggal di dalam tanah, sebagian dari sista akan menetas secara alami untuk
mengurangi kepadatan populasi, dan sebagian sista lainnya akan tetap berada di
dalam tanah untuk waktu yang lama tanpa inang. Kemampuan bertahan hidup,
reproduksi dan dinamika populasi NSK sangat dipengaruhi oleh temperatur,
kelembaban, panjang hari dan faktor lingkungan di sekitarnya (Lisnawita 2007).
Kondisi

yang

mendukung

perkembangan

kentang

juga

menguntungkan bagi perkembangan dan kelangsungan hidup

sangat

nematoda.

Nematoda ini berkembang sangat baik dalam suhu tanah yang sejuk, sehingga
pada suhu tanah yang tinggi dalam waktu yang lama akan membatasi

10
perkembangan dan reproduksinya. Kelembaban tanah pada kapasitas lapang akan
merangsang pergerakan juvenil sedangkan kandungan unsur hara (nutrisi) tanah
tidak berpengaruh pada nematoda kecuali yang disebabkan oleh aktivitas tanaman.
Selain itu tingkat toleransi pH tanah yang sesuai untuk perkembangan tanaman
kentang juga cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan nematoda sista emas
(Jatala dan Bridge 1995).
Telur nematoda dapat tetap hidup didalam sista selama 30 tahun di dalam
tanah pada lingkungan yang tidak mendukung (CABI 2007). Mereka mampu
bertahan terhadap suhu dingin yang ekstrim (-15 0C) dan di dalam tanah yang
kering untuk jangka waktu yang lama. Sebagian besar telur akan menetas apabila
dirangsang oleh eksudat akar tanaman inang. Nematoda akan tersebar sebagai
sista di dalam tanah yang terinfestasi dan terbawa ke tempat lain oleh alat-alat
pertanian serta umbi bibit yang telah terkontaminasi ataupun oleh air irigasi (Jatala
dan Bridge 1995).
Setelah terjadi perkawinan dan selanjutnya terbentuk sista, J2 yang belum
menetas akan tetap berada di dalam sista selama bertahun-tahun (mengalami
dormansi). Dormansi yang terjadi pada NSK dapat dibedakan menjadi 2 yaitu
quiescent dan diapause. Quiescent (diam) dipicu oleh faktor lingkungan yang
tidak mendukung bagi perkembangan (misalnya suhu terlalu tinggi/rendah,
kekeringan). Jika kondisi lingkungan mendukung atau karena ada rangsangan dari
eksudat akar kentang (Potato Root Difusate) maka telur yang berada dalam sista
tersebut akan menetas. Diapause dipicu faktor genetik, walaupun faktor
lingkungan mendukung bagi perkembangan NSK ataupun adanya rangsangan dari
eksudat akar kentang namun tidak terjadi penetasan (Perry 1998).

Sebaran Nematoda Sista Kentang
Sebaran Geografis
Berdasarkan EPPO (2006) G. rostochiensis telah terdapat di negara-negara Eropa
(Albania, Armenia, Austria, Belarusia, Belgia, Bulgaria, Kroasia, Cyprus,
Republik Czech, Denmark, Estonia, Kepulauan Faroe, Finlandia, Prancis, Jerman,
Yunani, Hungaria, Islandia, Irlandia, Italia, Latvia, Liechtenstein, Lithuania,
Luxembourg, Malta, Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal, Romania, Federasi

11
Rusia, Serbia, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Switzerland, Turki, Ukraina,
Inggis, negara-negara di Asia (India, Indonesia, Jepang, Lebanon, Oman,
Pakistan, Philippina, Sri Lanka, Tajikistan), negara-negara di Afrika (Algeria,
Mesir, Libya, Afrika Utara, Sierra Leone, Afrika Selatan, Tunisia), negara-negara
di Amerika (Pegunungan Andean, Bolivia, Amerika Tengah, Chile, Colombia,
Equador, Mexico, Panama, Peru, Amerika Selatan, Amerika Serikat dan
Venezuela), dan negara-negara di Oceania (Australia, Selandia Baru, Norfolk
Island).
G. pallida telah menyebar di negara- negara Eropa (Austria, Belgia,
Kroasia, Cyprus, Republic Chech, Kepulauan Faroe, Prancis, Jerman, Yunani,
Hungaria, Iceland, Irlandia, Italia, Luxembourg, Malta, Belanda, Polandia,
Romania, Spanyol, Swedia, Switzerland, Ukrainq, Inggris, Turki), negara-negara
di Asia (India, Jepang, Malaysia, Pakistan), negara-negara di Afrika (Algeria,
Tunisia), negara-negara di Amerika (Pegunungan Andean, Argentina, Bolivia,
Kanada, Chile, Colombia, Equador negara di Oceania, Falkland Islands, Panama,
Peru, Amerika Selatan, Amerika Serikat, Venezuela dan Selandia Baru (EPPO
2006).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lisnawita (2007) diketahui
bahwa NSK telah terdeteksi di sentra pertanaman kentang yang ada di Jawa
Tengah dengan kepadatan populasi yang bervariasi.

Di Desa Pawuhan

(Kabupaten Banjarnegara) ditemukan 400 sista per 100 ml tanah, Desa Karang
Tengah (Kabupaten Banjarnegara) dengan 270 sista, Desa Kepakisan (Kabupaten
Banjarnegara) dengan 21 sista dan Desa Patak Banteng (Kabupaten Wonosobo)
ditemukan 2 sista per 100 ml tanah.
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Nurjanah (2009) di sentra
pertanaman kentang yang ada di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah menemukan
sista NSK pada 17 lokasi. Hasil survei juga menunjukkan bahwa NSK tersebar
dari ketinggian tempat mulai dari 1460 m dpl sampai dengan 2123 m dpl (Tabel
1).

12
Tabel 1 Daerah sebaran NSK di Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah
No
Urut
1

Desa
Ds. Serang

Ketinggian
Tempat
1460 m

Posisi
Geogafi
S: 070 14' 39,7"

Suhu
Umur Jumlah
Tanah Tanaman Sista
23 0C

70 hari

94

21-23

60 hari

190

20 0C

70 hari

547

200C

80 hari

327

18,50C 80 hari

287

20 0C

70 hari

167

21 0C

100

397

E: 1090 57' 04,8"

Kec. Kejajar
Kab. Wonosobo
2

Dsn. Sidareja

1597 m

S: 070 14' 56,0"
E: 1090 48' 08,7"

Ds. Batur

0

C

Kec. Batur
Kab. Banjarnegara
3

Dsn. Kalianget

1626 m

S: 070 12' 11,0"
E: 1090 48' 38,7"

Ds. Batur
Kec. Batur
Kab. Banjarnegara
4

Dsn. Bujang Sari

1651 m

S: 070 12' 19,2"
E: 1090 49' 21,6"

Ds. Batur
Kec. Batur
Kab. Banjarnegara
5

Ds. Bakal

1787 m

S: 070 13' 22,4"
E: 1090 52' 16,6"

Kec. Batur
Kab. Banjarnegara
6

Ds. Bakal

1830 m

E: 1090 52' 45,6"

Kec. Batur
7

Ds. Bakal

1895 m

Dsn. Buntu

S: 070 13' 08,1"
0

Kec. Batur
8

S: 070 13' 09,0"

E: 109 52' 43,8"
1952 m

0

S: 07 13' 00,8"

hari
0

18 C

90 hari

289

18 0C

50 hari

413

21 0C

80 hari

258

E: 1090 53' 07,3"

Ds. Bakal
Kec. Batur
Kab. Banjarnegara
9

Ds. Patak Banteng

1974 m

S: 070 12' 63,0"
E: 1090 55' 47,7"

Kec. Kejajar
Kab. Wonosobo
10 Dsn. Buntu
Ds. Bakal
Kec. Batur

1980 m

S: 070 12' 52,9"
0

E: 109 53' 12,3"

13
Tabel 1 (Lanjutan)
No
Urut

Ketinggian
Tempat

Desa

11 Ds. Karang Tengah

1994 m

Posisi
Geogafi
S: 070 12' 39,1"

Suhu
Umur Jumlah
Tanah Tanaman Sista
17 0C

75 hari

1007

19 0C

80 hari

571

20 0C

90 hari

636

19 0C

80 hari

571

20 0C

90 hari

636

160C

60 hari

718

220C

50 hari

57

23 0C

85 hari

157

21 0C

100

102

0

Kec. Batur

E: 109 53' 05,7"

Kab. Banjarnegara
12 Dsn. Karang Tengah
Ds.

Karang

2037 m

S: 070 12' 17,2"
E: 1090 53' 13,0"

Tengah

Kec. Batur
Kab. Banjarnegara
13 Dsn. Pawuhan

2053 m

S: 070 11' 56,8"
E: 1090 53' 59,3"

Ds. Karang Tengah
Kec. Batur
Kab. Banjarnegara
12 Dsn. Karang Tengah
Ds.

Karang

2037 m

S: 070 12' 17,2"
E: 1090 53' 13,0"

Tengah

Kec. Batur
13 Dsn. Pawuhan

2053 m

S: 070 11' 56,8"
E: 1090 53' 59,3"

Ds. Karang Tengah
Kec. Batur
14 Dsn. Telaga Merdada

2055 m

S: 070 12' 14,3"
E: 1090 53' 25,3"

Ds. Karang Tengah
Kec. Batur
Kab. Banjarnegara
15 Ds. Dieng Kulon

2090 m

S: 070 12' 10,4"
E: 1090 54' 21,2"

Kec. Batur
Kab. Banjarnegara
16 Ds. Karang Sari

2089 m

S: 070 12' 47,6"
0

Kec. Batur

E: 109 54' 36,7"

Kab. Banjarnegara
17 Dsn. Pawuhan
Ds. Karang Tengah
Kec. Batur
Kab. Banjarnegara
Sumber: Nurjanah (2009).

2123 m

S: 070 12' 15,3"
0

E: 109 53' 59,3"

hari

14
Sebaran Lokal
Sebaran Horizontal. Sebaran sista di lahan yang telah terinfestasi tidak bersifat
acak. Setelah terjadi infestasi pada 1 (atau lebih dari 1) titik terlihat seperti terjadi
foci sekunder yang menyebar dengan cara yang serupa. Foci-foci kecil ini tampak
seperti terisolasi, tetapi seiring berjalannya waktu, sebenarnya seluruh lahan telah
terinfestasi oleh sista NSK walaupun di beberapa titik tingkat infestasinya masih
sangat rendah.

Diperlukan beberapa tahun dari awal terjadinya infestasi di

lapangan sebelum kerusakan pada areal pertanaman terlihat untuk pertama
kalinya. Foci biasanya berbentuk ellips/lonjong dengan kepadatan populasi yang
besar di pusat infeksi. Sebaran dan bentuk foci sangat ditentukan oleh kegiatan
mekanis seperti panen yang tentunya berpengaruh pada perpindahan tanah yang
sekaligus untuk persiapan untuk penanaman berikutnya. Sebaran yang merata
dari sista yang berada di suatu area dan penyebaran sista dari titik infeksi awal
menunjukkan bahwa posisi sista tidak bisa dipisahkan dengan sista lainnya yang
berada di suatu areal (Haydock dan Perry 1998).
Distribusi frekwensi jumlah nematoda tidak mengandung informasi spasial
yang benar karena lokasi unit sampel dikesampingkan. Oleh karena itu, lokasi,
bentuk, ukuran dan jarak antar foci tidak pernah dapat ditentukan dengan ditribusi
frekwensi, meskipun jumlah relatif dari unit kepadatan yang berbeda
menghasilkan beberapa unit informasi tentang terbentuknya foci (Haydock dan
Perry 1998).
Sebaran Vertikal.

Whitehead (1977) dalam Haydock dan Perry (1998)

menemukan bahwa ada hubungan variasi populasi NSK pada berbagai kedalaman
tanah. Populasi NSK biasanya ditemukan pada kedalaman 20-40 cm dan yang
paling banyak ditemukan pada kedalaman top soil tanah (20 cm) sedangkan pada
kedalaman lebih dari 40 cm sangat jarang dijumpai. Pada pertanaman kentang
populasi NSK banyak ditemukan di daerah sekitar perakaran. Ketika dilakukan
panen menggunakan alat/mesin pertanian terjadi pencampuran tanah secara besarbesaran di lahan tersebut. Kapan dilakukannya pengambilan sampel pada tanaman
budidaya dan pencampuran lahan sebelum dilakukan pengambilan sampel sangat
berpengaruh terhadap perkiraan populasi NSK. Sista biasanya terdistribusi secara

15
acak pada kedalaman 20 cm dari permukaan tanah karena pengaruh teknik
budidaya.
Sebaran Temporal. Sebaran temporal nematoda sista sangat dipengaruhi oleh
pertumbuhan tanaman inang. Reproduksi nematoda sista akan terus berlangsung
ketika tanaman inangnya berada pada masa pertumbuhan dan perkembangan
(Yeates dan Boag 2004). NSK dapat bertahan di dalam tanah ketika tidak
ditemukan inang yang sesuai bagi perkembanganya, Juvenil instar kedua tetap
berada di dalam sista dalam keadaan dorman (Turner dan Evans, 1998).
Karakteristik NSK Berdasarkan Morfologi
Salah satu metode konvensional yang dapat digunakan untuk melakukan
identifikasi spesies Globodera spp. adalah dengan mengamati ciri-ciri morfologi.
Metode sidik perineal merupakan metode yang cukup baik untuk mengetahui
spesies NSK. Menurut Stone (1973) dalam Mulyadi et al. (2003) spesies NSK
dapat diketahui dengan mengamati warna sista dan bentuk stilet pada stadia
juvenil. Nematoda betina G. rostochiensis pada awalnya berwarna putih kemudian
berubah menjadi kuning keemasan dan setelah menjadi sista berubah warna
menjadi cokelat atau cokelat kehitaman, sedangkan G. pallida berwarna putih
setelah menjadi sista berubah menjadi coklat atau cokelat kehitaman (Gambar 3).
Identifikasi dengan menggunakan karakter morfologi juga dapat dilakukan
terhadap beberapa karakter pada J2 dan sista. Knob stilet pada juvenil
G. rostochiensis berbentuk membulat sedang sedangkan G. pallida meruncing ke
arah anterior (Gambar 4 a-d).

a

b

Gambar 3 Perbedaan warna sista NSK: (a) G. rostochiensis,
(Sumber: EPPO 2011).

(b) G. pallida

16
Jarak antara anus – vulva basin
Diameter Vulva
basin

Jumlah ridge

e

Gambar 4 Karakteristik morfologi untuk identifikasi NSK: (a dan b) knob stilet
G. pallida, (c dan d) knob stilet G. rostochiensis, (e) dan pola perineal
NSK (Sumber: Fleming dan Powers 1998).
Metode sidik perineal dilakukan terhadap nematoda betina dengan cara
mencampur sista yang ditemukan pada setiap lokasi kemudian diambil 10 sista
untuk dilakukan pengamatan pola perineal. Pembuatan preparat untuk sista
dilakukan dengan mengambil satu sista menggunakan kuas, dan diletakkan di atas
gelas objek, kemudian sista dipotong ¾ bagian dari anterior di bawah mikroskop
stereo dengan pembesaran 50 x, kemudian bagian anteriornya dibuang dan ¼
bagian ujung posterior digunakan untuk didentifikasi. Telur dan juvenil yang
berada di dalam sista dikeluarkan dengan memencet bagian posterior dengan
menggunakan jarum dan kuas. Irisan sidik perineal dibersihkan dengan
menambahkan air sambil dibersihkan lemak yang ada di bagian posterior
perlahan-lahan dengan menggunakan kuas. Irisan dipindahkan dalam gliserin dan
disayat sehingga yang tersisa hanya bagian anus dan fenestra. Sidik perineal
kemudian dipindahkan ke objek glass lain yang telah berisi gliserin dan ditutup
dengan cover glass dan diberi kutek dibagian sisi-sisinya. Kemudian dilakukan
pengamatan dibawah mikroskop compound dengan perbesaran 200 x.
Perbedaan G. rostochiensis dengan G. pallida dapat diketahui dengan
melihat ciri-ciri morfologi antara lain jumlah tonjolan kutikula (ridges) antara anus
dan vulva, diameter vulva basin, jarak antara anus dan vulva basin, rasio Graneks
(Gambar 4 e) dan bentuk knob stilet (Tabel 2).

17
Tabel 2 Perbedaan ciri morfologi G. rostochiensis dengan G. pallida
Morfologi

Spesies
G. rostochiensis
Bagian anterior

G. pallida
Bagian anterior bentuknya

bentuknya bulat

datar hingga cekung

21-33

21-26

(umumnya 22)

(umumnya > 23)

12-31

8-20

anus dan vulva basin

(umumnya > 14)

(umumnya < 14)

Diameter vulva basin

8-20

18-21

(umumnya < 19)

(umumnya > 19)

37-77

22-67

(umumnya > 55)

(umumnya > 50)

1.3-9.5

1.2-3.5

(umumnya > 3)

(umumnya < 3)

Bentuk knob stilet J2
Panjang stilet J2

Jumlah tonjolan kutikula antara

Jarak anus – vulva basin
Rasio ganek

Sumber: Fleming dan Powers 1998

Pengaruh NSK pada Tanaman Kentang
Menurut petani (Hadisoeganda 2006) bahwa pertanaman kentang di Jawa
Timur terserang oleh hama gurem (NSK) dengan gejala infeksi yang dilaporkan
adalah tanaman kerdil, cenderung layu, daun menguning tetapi warna kuning
tersebut sangat cerah dan apabila rizosfer tanah digali maka akan terlihat perakaran
yang memendek, terkesan kotor, dan terlihat adanya gurem kecil-kecil berwarna
putih, kuning muda, kuning tua, coklat muda, dan coklat tua seperti tembaga.
Gurem tersebut menempel pada akar, sebagian jatuh dan terserak di tanah sekitar
perakaran tanaman.
Tanaman kentang memberikan respon yang bervariasi terhadap infeksi NSK,
namun kepadatan yang tinggi dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman. Pada tingkat populasi yang rendah tanaman mampu beradaptasi dengan
hanya menyebabkan kerusakan pada sistem perakaran tanpa mempengaruhi
perkembangan tanaman. Tanaman dapat memberikan respon lebih awal terhadap
luka dengan menghasilkan akar serabut sehingga struktur akar sedikit lebih besar

18
dari biasanya dan hasil panen umbi justru lebih meningkat. Namun pada saat
tingkat infeksi parah tanaman tidak mampu manunjukkan hal tersebut sehingga
timbul berbegai gejala sebagai akibat dari sistem perakaran yang buruk dan tidak
efisien (Turner dan Evans 1998).
Ambang ekonomi atas kehilangan hasil oleh NSK umumnya kurang dari 20
telur per g tanah dan nilai tersebut dapat bervariasi karena pengaruh faktor
lingkungan dan tingkat ketahanan tanaman inang yang berbeda-beda. Secara
umum rata-rata kehilangan hasil pada 20 telur per g tanah adalah 2.75 ton per ha
dan kehilangan hasil maksimal yang pernah tercatat adalah 2.2 ton per ha. NSK
mereduksi jumlah akar sehingga kemampuan tanaman untuk menyerap dan
menyimpa