Abundance and Potency of Endophytic Fungi to Suppress Yellow Leaf Curl Disease in Chilli Pepper (Capsicum annuum L)

KELIMPAHAN DAN POTENSI CENDAWAN ENDOFIT
UNTUK MENEKAN PENYAKIT KUNING PADA TANAMAN
CABAI (Capsicum annuum L.)

DAMAYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kelimpahan dan
Potensi Cendawan Endofit untuk Menekan Penyakit Kuning pada Tanaman
Cabai (Capsicum annuum L.) adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013

Damayanti
NIM A352100011

RINGKASAN
DAMAYANTI. Kelimpahan dan Potensi Cendawan Endofit untuk Menekan
Penyakit Kuning pada Tanaman Cabai (Capsicum annuum L.) . Dibimbing oleh
SRI HENDRASTUTI HIDAYAT dan SURYO WIYONO.
Penyakit kuning yang disebabkan oleh Pepper yellow leaf curl
begomovirus (PepYLCV), telah menjadi ancaman utama di daerah penanaman
cabai, terutama di Jawa dan Sumatera sejak awal tahun 2000. Gejala penyakit di
lapangan sangat mudah dikenali yaitu daun berwarna kuning cerah dan keriting,
tanaman menjadi kerdil. Kejadian penyakit di lapangan dilaporkan mencapai
20% sampai 100% dan upaya pengendalian penyakit yang telah dilakukan belum
berhasil menekan penyakit secara nyata.
Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari kelimpahan
cendawan endofit dari daerah endemis penyakit kuning cabai di Yogyakarta dan
mengevaluasi potensinya dalam menekan penyakit kuning cabai. Penelitian terdiri

dari tiga kegiatan yaitu (1) Isolasi cendawan endofit yang diambil dari tanaman
cabai di daerah endemis di Sleman, Yogyakarta, sampel terdiri dari daun yang
bergejala yaitu daun keriting dan kuning dan daun yang tidak bergejala; (2) Uji
patogenisitas menggunakan benih cabai TM 888; dan (3) Uji keefektivan
cendawan endofit terpilih untuk menekan penyakit kuning dilakukan di rumah
kaca.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa cendawan endofit yang diperoleh
dari tanaman cabai didaerah endemis penyakit daun keriting kuning cabai di
Yogyakarta memiliki kelimpahan dan keragaman yang tinggi. Tanaman yang
tidak menunjukkan gejala infeksi virus memiliki keragaman dan kelimpahan
cendawan endofit yang lebih tinggi dibandingkan pada tanaman yang
menunjukkan gejala. Spesies cendawan endofit yang diidentifikasi dari tanaman
tidak bergejala berjumlah 19, sedangkan yang berasal dari tanaman yang bergejala
berjumlah 13. Komunitas spesies cendawan endofit diantara keduanya berbeda,
hal tersebut didukung dengan rendahnya indeks sorensen, SC: 0,5625 yang artinya
kemiripan komunitas spesies cendawan endofit diantara keduanya hanya 56,25%.
Berdasarkan uji patogenisitas menggunakan 17 isolat terpilih, cendawan
endofit dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu patogenik (13 isolat) dan nonpatogenik (4 isolat). Dengan demikian cendawan endofit yang diisolasi sebagian
besar berpotensi sebagai patogen. Diantara 4 spesies cendawan endofit non
patogenik, Cercospora nicotianae, Pleosporaceae, Guignardia mangifera dan

Dothideomycete sp. diketahui berpotensi sebagai plant growth promoting fungi
(PGPF) dan 2 spesies yaitu C. nicotianae dan Pleosporaceae berpotensi sebagai
agens biokontrol terhadap penyakit kuning.
Cendawan endofit hasil isolasi yang berpotensi sebagai agens biokontrol
diperoleh dari frekuensi kelimpahan rendah. C nicotianae berdasarkan isolasi
bersifat singleton dan berpotensi sebagai agens biokontrol terhadap penyakit
kuning.

Kata kunci: agens biokontrol, daun keriting kuning, geminivirus.

SUMMARY
DAMAYANTI. Abundance and Potency of Endophytic Fungi to Suppress Yellow
Leaf Curl Disease in Chilli Pepper (Capsicum annuum L.). Supervised by SRI
HENDRASTUTI HIDAYAT and SURYO WIYONO.
Incidence of yellow leaf curl diseases caused by Pepper yellow leaf curl
begomovirus (PepYLCV) has become a major problem in chilli pepper growing
area, especially in Java and Sumatra since early 2000. Disease incidence in the
field may reach 20 % to 100% and the disease was obviously recognized by its
unique symptoms involving bright yellow mosaic, mottle, curling, and stunting. A
research was conducted to explore the potency of endophytic fungi as an

alternative strategy to suppress PepYLC disease.
Research activities consisted of 3 parts, i.e. (1) Isolation of endophytic
fungi collected from chilli pepper plants at endemic area in Sleman, Yogyakarta;
(2) Pathogenicity assay using chilli pepper seeds, and (3) Efficacy of selected
endophytic fungi to suppress disease incidence.
The result showed that diversity of endophytic fungi isolated from
unsymptomatic plants were significantly higher than those from infected plants.
There were 19 isolates of species identified from unsymptomatic plants; whereas
13 isolates from infected plants. Based on pathogenicity assay using 17 selected
isolates, the endophytic fungi could be differentiated into 2 groups, i.e. pathogenic
(13 isolates) and non-pathogenic (4 isolates). Further screening of non-pathogenic
isolates showed that 4 isolates might have a potential as plant growth promoting
fungi (PGPF) and 2 isolates, identified as Cercospora nicotianae and
Pleosporaceae, might be recommended as bio-control agent.
Endophytic fungi isolated in this study having potency as biocontrol agent
was taken from low abundance population C. nicotianae was singleton and has
potency as biocontrol agent for PepYLC disease.

Key words: biocontrol agens, geminivirus, yellow leaf curl


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KELIMPAHAN DAN POTENSI CENDAWAN ENDOFIT
UNTUK MENEKAN PENYAKIT KUNING PADA TANAMAN
CABAI (Capsicum annuum L.)

DAMAYANTI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada

Program Studi Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, MSc.

Judul Tesis
Nama
NIM

: Kelimpahan dan Potensi Cendawan Endofit untuk Menekan
Penyakit Kuning pada Tanaman Cabai (Capsicum annuum L.)
: Damayanti
: A352100011

Disetujui
Komisi Pembimbing


Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc.
Ketua

Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc.Agr.
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi
Fitopatologi

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc.

Tanggal Ujian: 30 Januari 2013

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr Ir . Dahrul Syah, MSc.Agr.


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karuniaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian berjudul “Kelimpahan dan
Potensi Cendawan Endofit untuk Menekan Penyakit Kuning pada Tanaman Cabai
(Capsicum annuum L.)”. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan eksplorasi dan
seleksi cendawan endofit sebagai langkah awal eksplorasi agens biokontrol yang
berpotensi menekan perkembangan penyakit kuning cabai. Sumber dana
penelitian diperoleh dari Hibah Tim Pascasarjana, Direktorat Pendidikan Tinggi,
Kementrian Pendidikan Nasional atas nama Dr. Sri Hendrastuti Hidayat.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulusnya penulis sampaikan
kepada Dr. Sri Hendrastuti Hidayat dan Dr. Suryo Wiyono sebagai komisi
pembimbing, atas bimbingan, saran dan masukan selama penyelesaian penelitian
ini; kepada Prof. Dr. Meity Suradji Sinaga selaku dosen penguji luar komisi yang
telah memberikan saran, masukkan pada penulisan hasil penelitian ini; kepada
Program Beasiswa IM HERE B2C. IPB atas dana pendidikan Pascasarjana.
Penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada
Dr. Widodo dan Dr. Efi Toding Tondok atas saran dan masukkannya, kepada
teman-teman Laboratorium Virologi Tumbuhan, Pak Emput, Pak Edi, mbak Ita,

mbak Yuke, Tuti Susanti Legiastuti, SSi, teman-teman Fitopatologi angkatan
2010 dan seluruh rekan-rekan mahasiswa Program Studi Entomologi dan
Fitopatologi.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak dan ibu, serta
seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setulusnya penulis sampaikan kepada suami tercinta
Muhammad Nur Amin MSi atas kesabaran dan ketabahannya dalam
mendampingi, memberi motivasi dan inspirasi selama penulis menyelesaikan
penelitian. Kepada semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu
yang telah membantu selama penelitian diucapkan terima kasih.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Bogor, Juni 2013
Damayanti

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup
II. TINJAUAN PUSTAKA
Biologi dan Ekologi PepYLCV Penyebab Penyakit Kuning Cabai
Pengendalian Virus dengan Pemanfaatan Senyawa Antiviral
Pemanfaatan Cendawan Endofit sebagai Agens Biokontrol
III. BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Isolasi Cendawan Endofit
Deteksi Virus Kuning Cabai
Analisis Keragaman Cendawan Endofit
Uji Patogenisitas Cendawan Endofit
Identifikasi Cendawan Endofit
Perbanyakan Serangga Vektor
Perbanyakan Sumber Inokulum PepYLCV
Penyediaan Isolat Cendawan Endofit
Pengujian Efektivitas Cendawan Endofit sebagai Pemicu

Pertumbuhan Tanaman Cabai
Pengujian Efektivitas Cendawan Endofit sebagai Agens
Biokontrol Penyakit Kuning Cabai
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Deteksi Virus Penyebab Penyakit Kuning
Kelimpahan Cendawan Endofit
Patogenisitas Cendawan Endofit
Identifikasi Cendawan Endofit Potensial
Pengaruh Cendawan Endofit terhadap Pertumbuhan Tanaman
Cabai
Pengaruh Cendawan Endofit terhadap Infeksi Virus Kuning Cabai
Pembahasan
V. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

1
1
3
3
3
5
5
7
8
11
11
11
11
12
12
13
13
13
13
13
14
16
16
16
17
20
20
22
22
24
29
29
29
30
35
43

DAFTAR TABEL
1

Skoring keparahan gejala pada tanaman cabai yang terinfeksi
PepYLCV
2 Kelimpahan spesies cendawan endofit berbasis segmentasi dan
tanaman hasil isolasi dari daun tidak bergejala dan bergejala yang
berasal dari daerah endemis penyakit kuning di desa Minggir, DIY
3 Pengaruh cendawan endofit terhadap daya kecambah benih, panjang
akar dan tajuk bibit cabai
4 Identifikasi cendawan endofit potensial berdasarkan karakter morfologi
dan molekuler

15
19

20
21

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

4

5

6
7
8

Bagan alur penelitian”kelimpahan dan potensi cendawan endofit untuk
menekan penyakit kuning pada tanaman cabai (Capsicum annuum L.)
Organisasi genom Begomovirus : (a) genom monopartit dan (b) genom
bipartit
Kondisi lahan di Kecamatan Minggir pada waktu pengambilan sampel
daun cabai. (a) lahan cabai tumpangsari dengan terung; (b) gejala
penyakit kuning
Visualisasi fragmen DNA hasil amplifikasi dengan primer universal
Geminivirus pAL1v 1978/ pAR1c715. (A) sampel daun bergejala; (B)
sampel daun tidak bergejala; (M) penanda DNA 1 kb; (P) kontrol
positif (DNA Geminivirus); (N) kontrol negatif (tanpa DNA); nomor 120 kode sampel daun
Kelimpahan cendawan endofit pada tanaman cabai yang diisolasi pada
tanaman bergejala dan tanaman tidak bergejala dari daerah endemis
penyakit kuning
Pengaruh cendawan endofit terhadap tinggi tanaman (A) dan bobot
tajuk, bobot akar, volume akar pada tanaman cabai (B).
Pengaruh cendawan endofit terhadap kejadian penyakit (A), keparahan
penyakit (B) dan laju infeksi (C) penyakit kuning cabai
Pengaruh cendawan endofit terhadap tinggi tanaman (A) dan bobot
tajuk, bobot akar, volume akar (B) pada tanaman cabai yang
diinokulasi PepYLCV

4
5
16

17

18

22
23
24

DAFTAR LAMPIRAN
1

2
3
4

5

6

Uji patogenesis cendawan endofit. A, Benih yang ditanamn dalam
36
media PDA tanpa dan dengan cendawan endofit; B, Screening
cendawan patogenik dan non patogen (Gambar atas berpotensi non
patogen dan gambar bawah berpotensi patogen); C, panjang bibit cabai (ujung
kiri tanpa cendawan selainnya dengan cendawan endofit)
Identifikasi Isolat-isolat Non-patogenik
38
Identifikasi kutukebul Bemisia tabaci
39
Isolat PepYLCV dan gejala yang ditimbulkan. A, Sumber inokulum
40
virus dari lapang; B, Inokulum diperbanyak pada tanaman tomat
varietas Ratna; C, Gejala yang ditimbulkan ketika PepYLCV
ditularkan pada cabai TM 888
Kriteria skoring gejala pada waktu 1 bulan setelah inokulasi. A; Tanpa
41
gejala; B; gejala skor 1; C; gejala skor 2; D; gejala skor 3; E; skor
gejala 4; F; skor gejala 5
Hasil sekuensing isolat virus kuning Yogyakarta.
42

1

I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura
penting di Indonesia dan mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi.
Berdasarkan data statistik 2010 luas panen cabai mencapai 237, 520 ha dengan
produktivitas 6.50 ton/ha untuk cabai besar dan 4.56 ton/ha untuk cabai rawit
(Direktorat Jenderal Hortikultura 2012). Hasil tersebut lebih rendah dibandingkan
dengan potensinya yang dapat mencapai 18 ton/ha. Banyak faktor pembatas yang
dihadapi petani dalam sistem budidaya cabai salah satunya adalah gangguan
penyakit yang disebabkan oleh virus. Tanaman cabai dilaporkan dapat terinfeksi
oleh 35 jenis virus, dari jumlah tersebut lebih dari setengahnya ditularkan oleh
vektor kutudaun dan sisanya ditularkan melalui vektor nematoda, trips, wereng,
kutukebul, kumbang, cendawan maupun secara mekanis (Green dan Kim 1991).
Hidayat et al. (1999) melaporkan adanya penyakit kuning pada tanaman
cabai di daerah Bogor yang disebabkan oleh Pepper yellow leaf curl begomovirus
(PepYLCV), anggota kelompok Geminivirus. Penyakit kuning cabai umumnya
menimbulkan gejala berupa mosaik kuning, belang-belang klorotik, daun
mengerut, dan kerdil. Penularan di lapangan terjadi melalui serangga vektor
Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera : Aleyrodidae) (Mason et al. 2000), dan
PepYLCV dilaporkan memiliki tanaman inang alternatif yang luas (Shafiq et al.
2010).
Pada tahun 2000 sampai 2003 terjadi epidemi penyakit kuning di daerah
Jawa Tengah (Sulandari et al. 2006). Kerusakan karena penyakit kuning cabai
juga sudah dilaporkan terjadi di beberapa sentra produksi sayuran seperti di
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta,
Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat, dengan intensitas penyakit berkisar antara
20% sampai 100% (Hikmat 2005).
Strategi pengelolaan penyakit kuning yang umum dilakukan adalah dengan
mengendalikan serangga vektor, baik secara fisik maupun menggunakan
insektisida kimia. Pengendalian fisik dapat dilakukan dengan menggunakan
sungkup kedap serangga di tempat persemaian yang berfungsi menghalangi
masuknya serangga vektor ke areal pesemaian. Penggunaan kultivar yang tahan
ataupun toleran merupakan alternatif yang cukup baik dalam upaya pengendalian.
Walaupun demikian, upaya untuk mendapatkan varietas tahan tidak mudah karena
sumber ketahanan terhadap penyakit kuning cabai sangat terbatas. Pengendalian
hayati yang sudah dilakukan menggunakan mikrob pemacu pertumbuhan tanaman
(misalnya plant growth promoting rhizobactera) dan penggunaan ekstrak
tanaman seperti bunga pukul empat (Mirabilis jalapa), bayam duri (Amaranthus
spinosus) dan eceng gondok (Eichhornia crassipes) memberikan efek yang cukup
baik dalam menekan perkembangan penyakit kuning cabai (Badan Litbang
Pertanian 2011).
Strategi lain untuk pengendalian penyakit kuning cabai yang perlu diteliti
adalah pemanfaatan cendawan endofit. Petrini (1991) menyatakan bahwa endofit
ialah semua organisme yang hidup pada organ tanaman, yang dalam beberapa
waktu dalam hidupnya dapat mengolonisasi bagian dalam jaringan tanaman tanpa
menimbulkan kerusakan nyata bagi inangnya. Keragaman dan kelimpahan mikrob

2
endofit di alam cukup tinggi. Pada tahun 2000 ada rata-rata 50 jenis cendawan
endofit per tanaman yang ditemukan dan jumlahnya semakin meningkat ketika
metode molekuler mulai digunakan untuk identifikasi (Zabalgogeazcoa 2008).
Umumnya, cendawan mitosporik, Ascomycetes, dan beberapa cendawan steril
tercatat sebagai endofit yang berhasil diisolasi dari semua tanaman inang. Isolasi
yang dilakukan pada Deschampsia antarctica Desv. (Poaceae), yang merupakan
tanaman vaskular dari benua Antartika dan hidup pada kondisi lingkungan
ekstrim, berhasil memperoleh 26 isolat dari 273 segmen daun yang diambil.
Diantaranya 91 individu tanaman teridentifikasi sebagai genus Alternaria dan
Phaeosphaeria dengan kelimpahan tinggi (Rosa et al. 2009). Suryanaranan et al.
(2000) melakukan isolasi cendawan endofit dari beberapa jaringan tanaman yang
berbeda, dan melaporkan hasil sebagai berikut: pada jaringan batang Abutilon
indicum diperoleh 14 spesies, dari Cucurbita maxima 2 spesies, dari Achyranthes
aspera 11 spesies, dari Colotropis gigantea 6 spesies, dari Pongamia gabra 11
spesies, dari Phyllantus reticulantus 14 spesies, dan dari Zizyphus jujuba 11
spesies. Hasil tersebut menunjukkan adanya beberapa derajat spesifisitas antara
inang dengan cendawan endofit.
Kajian cendawan endofit di bidang pertanian sudah banyak dilakukan,
antara lain berkaitan dengan potensinya meningkatkan toleransi tanaman terhadap
kekeringan, menghambat perkembangan serangga herbivora, cendawan patogen,
virus dan nematoda (Rranzluebbers et al. 1999). Beberapa hasil penelitian
menunjukkan potensi cendawan endofit dalam menekan populasi serangga vektor.
Penelitian Lehtonen et al. (2006) menyatakan bahwa aplikasi cendawan endofit
secara nyata mampu mengurangi frekuensi tanaman Meadow ryegrass (Lolium
pratense) yang terinfeksi oleh Barley yellow dwarf virus (BYDV). Penurunan
frekuensi tanaman yang terinfeksi BYDV berkorelasi positif terhadap penurunan
kutudaun vektor BYDV pada Meadow ryegrass. Dilaporkan lebih lanjut
cendawan endofit Acremonium coenophialum dapat mengendalikan
Rhopalosiphum padi L. (Hemiptera: Aphididae) yang merupakan vektor BYDV
yang menginfeksi tanaman Festuca arundinacea.
Eksplorasi dan seleksi cendawan endofit merupakan langkah awal untuk
menyediakan agens biokontrol yang berpotensi menekan penyakit kuning pada
tanaman cabai.
Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari
kelimpahan cendawan endofit dari daerah endemis penyakit kuning cabai di
Yogyakarta dan potensinya dalam menekan penyakit kuning cabai.
Perumusan Masalah
Begomovirus dilaporkan sebagai salah satu virus yang berpotensi
menurunkan produktivitas tanaman baik di daerah tropis maupun sub tropis dan
memiliki daerah penyebaran yang sangat luas. Kelompok Begomovirus yang
menginfeksi tanaman cabai teridentifikasi sebagai PepYLCV. Penyebaran
PepYLCV sangat cepat karena ditularkan melalui serangga vektor B. tabaci. Di
Indonesia, PepYLCV sudah tersebar luas dengan intensitas serangan berkisar
antara 20% sampai 100%, bahkan dilaporkan bahwa 1.4 ha tanaman cabai besar
mengalami puso di Sumatera Barat.
Usaha pengendalian Begomovirus yang sudah dilakukan adalah dengan
cara menekan populasi serangga vektor menggunakan insektisida kimia maupun
dengan kultur teknis, penggunaan varietas tahan, aplikasi mikrob bermanfaat dan

3
aplikasi ekstrak tanaman. Pengendalian menggunakan insektisida dirasa kurang
efektif dan apabila digunakan secara intensif dapat mengganggu keseimbangan
lingkungan. Aplikasi insektisida tidak efektif untuk serangga vektor PepYLCV
karena satu serangga viruliferous sudah mampu menularkan virus. Selain itu
vektor Begomovirus ini memiliki kisaran inang yang banyak, pergerakannya
cepat, dan kemampuannya menjadi resisten terhadap insektisida sangat cepat.
Penggunaan varietas tahan merupakan alternatif pengendalian yang cukup
menjanjikan, akan tetapi untuk mendapatkan varietas tahan tidaklah mudah.
Diperlukan kajian secara mendalam untuk mendapatkan teknik pengendalian
Begomovirus tersebut, salah satunya mengkaji peranan cendawan endofit.
Kajian tentang cendawan endofit sudah banyak dilakukan di sektor
pertanian, farmasi bahkan di sektor industri. Beberapa studi cendawan endofit di
bidang pertanian yang sudah dilakukan dalam kaitannya sebagai agens biokontrol
yaitu pemanfaatan cendawan endofit dalam mengendalikan nematoda, serangga
hama, dan cendawan patogen tumbuhan, sedangkan terhadap virus tumbuhan di
Indonesia tergolong sebagai hal yang relatif baru. Dalam penelitian ini dilakukan
analisis kelimpahan cendawan endofit pada tanaman cabai di daerah endemis
penyakit kuning serta seleksi cendawan endofit yang bermanfaat sebagai agens
biokontrol terhadap penyakit tersebut.
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui keragaman dan kelimpahan cendawan endofit pada tanaman
cabai yang tidak bergejala dan yang menunjukkan gejala penyakit kuning
cabai.
2. Melakukan eksplorasi cendawan endofit non patogenik yang berpotensi
menekan perkembangan penyakit kuning cabai.
3. Melakukan pengujian untuk mencari cendawan endofit yang potensial
sebagai agens biokontrol untuk penyakit kuning cabai.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan menghasilkan agens biokontrol yang dapat
dimanfaatkan dalam upaya pengendalian penyakit kuning cabai melalui strategi
pengendalian berbasis biointensif.
Ruang Lingkup
Kegiatan penelitian dimulai dengan pengambilan sampel daun cabai di
daerah endemis penyakit kuning, kemudian dilakukan isolasi cendawan endofit
dari sampel lapangan tersebut. Cendawan endofit yang berhasil diisolasi dan
ditumbuhkan pada media buatan kemudian digunakan untuk uji patogenisitas.
Cendawan yang bersifat non patogenik kemudian diidentifikasi dan dilakukan
pengujian efektivitasnya sebagai agens biokontrol di rumah kaca. Tahapan
penelitian yang dilakukan mengikuti alur penelitian seperti terlihat dalam
Gambar 1.

4

Tahap I. Isolasi Cendawan Endofit
Asal Tanaman Cabai dan Analisis
Kelimpahannya

Tahap II. Seleksi Cendawan Endofit
yang Berpotensi sebagai Agens
Biokontrol Penyakit Kuning Cabai

Pengumpulan Sampel Lapangan, yaitu
Tanaman Cabai Sehat dan Bergejala

Evaluasi Pengaruh Cendawan Endofit
Terhadap Pertumbuhan Tanaman Cabai

Isolasi Cendawan Endofit
Cendawan Endofit
Berpotensi sebagai
Agens Biokontrol
Analisis
Kelimpahan
Cendawan
Endofit

Uji
Patogenisitas
Cendawan
Endofit

Evaluasi Pengaruh
Cendawan Endofit
Terhadap Penyakit
Kuning Tanaman Cabai

Cendawan Endofit Non
Patogenik
Cendawan Endofit
Berpotensi sebagai Agens
Biokontrol
Keterangan :
= Tahapan topik penelitian
= Aktivitas fisik penelitian
= Pemanfaatan data

Gambar 1.

= Luaran penelitian
= Garis luaran

Bagan alur penelitian “Kelimpahan dan Potensi Cendawan Endofit
untuk Menekan Penyakit Kuning pada Tanaman Cabai (Capsicum
annuumL.)”.

5

II. TINJAUAN PUSTAKA
Biologi dan Ekologi PepYLCV Penyebab Penyakit Kuning Cabai
Penyebab penyakit kuning yang menginfeksi tanaman cabai termasuk
dalam famili Geminiviridae, genus Begomovirus. Berdasarkan struktur genom,
serangga vektor, dan jenis tanaman inangnya famili Geminiviridae dibedakan
menjadi empat genus yaitu Mastrevirus, Curtovirus, Begomovirus, dan
Topocuvirus (Hull 2002). Mastrevirus adalah anggota Geminivirus yang
menginfeksi tanaman monokotil, ditularkan oleh vektor wereng daun, dan
memiliki genom monopartit. Curtovirus adalah anggota Geminivirus yang
menginfeksi tanaman dikotil, ditularkan oleh vektor wereng daun, dan memiliki
genom monopartit. Topocuvirus adalah anggota Geminivirus yang menginfeksi
tanaman dikotil, ditularkan oleh wereng pohon, dan memiliki genom mirip
Curtovirus karena genus ini merupakan bagian dari genus Curtovirus.
Begomovirus adalah anggota Geminivirus yang menginfeksi tanaman dikotil,
ditularkan oleh vektor kutukebul, dan memiliki genom bipartit atau monopartit.
Begomovirus yang memiliki genom bipartit terdiri dari dua molekul DNA
utas tunggal berbentuk sirkuler yang berbeda yaitu DNA A dan DNA B masingmasing berukuran 2.7-2.8 kb yang terkapsidasi dalam partikel kembar (geminate).
Begomovirus dengan genom monopartit semua gennya terletak pada satu molekul
DNA utas tunggal berbentuk sirkuler yang berukuran 2.8 kb (Gambar 2).

Gambar 2. Organisasi genom Begomovirus : (a) Genom monopartit dan (b)
Genom bipartit (Sumber : Hull 2002)
Pada umumnya Begomovirus yang berasal dari bumi belahan barat
memiliki genom bipartit dengan komponen DNA A dan DNA B. Molekul DNA
A mempunyai peranan menyandi gen yang bertanggung jawab terhadap replikasi
virus, regulasi ekspresi gen, dan enkapsidasi partikel, sedangkan molekul DNA B
mempunyai peranan menyandi protein yang berperan dalam pergerakan virus,
membedakan kisaran inang dan perkembangan gejala penyakit. Begomovirus
yang menginfeksi tanaman cabai memiliki genom monopartit, mengandung DNA
A dan β-segmen (Sinha et al. 2011).
Inang Begomovirus meliputi tanaman pangan penting termasuk
diantaranya tomat, mentimun, cabai, kacang-kacangan, ubikayu; dan tanaman
serat seperti kapas (Sinha et al. 2011). Berdasarkan penelitian Meliansyah (2010),
diketahui bahwa terdapat beberapa spesies gulma di area pertanaman cabai di
Jawa yang terbukti terinfeksi Begomovirus. Menurut Sukamto et al. (2005)

6

Ageratum conyzoides merupakan gulma yang umum menjadi inang Begomovirus
pada daerah tropis dan subtropis.
Begomovirus memiliki daerah penyebaran yang sangat luas terutama di
daerah tropis dan sub tropis. Begomovirus mempunyai anggota yang paling
banyak dibandingkan dengan genus lainnya dari famili Geminiviridae. Di
Indonesia Begomovirus pertama kali diketahui menginfeksi tanaman tembakau di
Bojonegoro, Jawa Timur yang menyebabkan kerusakan sebesar 30%
(Trisusilowati 1990 dalam Meliansyah R 2010). Hidayat et al. (1999)
melaporkan adanya penyakit kuning yang disebabkan oleh Begomovirus pada
tanaman cabai di wilayah Bogor yang kemudian dinamakan sebagai Pepper
yellow leaf curl Indonesia virus (PepYLCIV). PepYLCV juga sudah dilaporkan
di USA, Nigeria, Pakistan, Bangladesh. Di India PepYLCV telah terdeteksi dan
menjadi sebuah ancaman karena dapat menyebabkan kehilangan hasil mencapai
100% (Sinha et al 2011).
Infeksi PepYLCV pada umumnya menyebabkan daun menjadi lebih kecil
dibandingkan dengan tanaman normal, warna daun menjadi kekuningan, beberapa
menunjukkan mosaik kuning yang dimulai dari pangkal daun yang kemudian
menyebar disertai pelekukan tepi daun kearah atas, dan tanaman menjadi kerdil
(Rusli et al. 1999). Gejala yang timbul karena infeksi Begomovirus pada tanaman
cabai dipengaruhi oleh strain virus, kultivar, lingkungan, dan umur tanaman saat
terinfeksi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sulandari et al. (2006) infeksi
pada cabai rawit menyebabkan semua helaian daun menguning, sedangkan pada
cabai besar daun dibagian pucuk menguning sedangkan bagian bawah masih tetap
hijau. Tanaman cabai akan kehilangan produktivitasnya apabila terinfeksi pada
saat tanaman masih muda karena akan menjadi kerdil sehingga tidak berbuah.
Di Indonesia, PepYLCV sudah tersebar luas. Pada tahun 2001 kejadian
penyakit dan luas serangan pada cabai rawit sekitar 70 % sampai100% yang
diamati di daerah Yogyakarta (Bantul, Sleman, Kulon Progo dan Gunung Kidul),
Jawa Tengah (Klaten, Kopeng dan Muntilan), dan Jawa Barat (Segunung,
Cugenang, Lembang, dan Megamendung). Infeksi pada cabai merah jenis
keriting menyebabkan kejadian penyakit terjadi secara sporadis sekitar 10 %
sampai 35% dan pada pengamatan lapangan tahun 2002 di Kulon Progo dan awal
tahun 2003 di Sleman dan Kopeng meningkat mencapai 70 % sampai100%
dengan gejala yang sangat parah yaitu daun menguning dan tanaman kerdil
(Sulandari et al. 2006). Daryanto (2005) dalam Haryadi (2006) melaporkan
bahwa 1.4 ha tanaman cabai besar mengalami puso di Sumatera Barat. Di
Lampung, intensitas serangan penyakit berkisar antara 20 % sampai100%.
Begomovirus ditularkan oleh Bemisia tabaci secara persisten sirkulatif
tetapi tidak propagatif (Harrison dan Robinson 1999). Periode makan akuisisi
serangga vektor B. tabaci untuk dapat menularkan Begomovirus pada tomat
adalah 15 menit dan tidak tertular dibawah 15 menit dengan periode makan
inokulasi 48 jam, dan efektifitas penularan semakin meningkat ketika periode
makan akuisisi menjadi 4 jam. Pada tanaman cabai yang diinokulasi buatan
efektivitas penularan terjadi dengan menggunakan 10 serangga vektor per
tanaman dengan periode makan akuisisi selama 24 jam dan periode makan
inokulasi 48 jam. Rusli et al. (1999) menyatakan PepYLCV dapat ditularkan
melalui vektor B. tabaci dan penyambungan samping tetapi tidak dapat ditularkan
secara mekanis menggunakan sap tanaman sakit.
Efisiensi penularan

7

menggunakan vektor lebih tinggi dibandingkan dengan penyambungan. Satu ekor
B. tabaci viruliferous mampu menularkan virus dan menyebabkan infeksi.
Epidemi penyakit terjadi karena adanya inang yang rentan, patogen yang
virulen dan lingkungan yang mendukung. Pada kasus PepYLCV vektor sangat
mempengaruhi terjadinya epidemi karena satu ekor B. tabaci viruliferous mampu
menularkan virus dan menyebabkan infeksi. Ketahanan varietas tanaman juga
memiliki pengaruh nyata terhadap epidemi, peningkatan kejadian penyakit yang
cukup tinggi di daerah Kulon Progo, Kopeng dan Sleman terjadi sejak petani
menanam cabai varietas TM 999 yang rentan terhadap PepYLCV (Sulandari et al.
2006). Perkembangan penyakit yang disebabkan oleh PepYLCV meningkat
secara nyata seiring berjalannya waktu. Pengendalian penyakit tanaman yang
disebabkan oleh virus termasuk penyakit kuning cabai sulit dilakukan. Secara
umum pengendalian yang dilakukan untuk penyakit yang disebabkan oleh virus
adalah penggunaan bibit sehat, perlakuan benih, pengendalian vektor virus, secara
kultur teknis, pencegahan dengan menggunakan strain avirulen, aplikasi senyawa
antiviral dan penggunaan kultivar tahan (Su dan Chen 1991). Selama ini yang
dilakukan untuk mengendalikan penyakit kuning adalah dengan mengendalikan
serangga vektornya. Pengendalian vektor dilakukan secara kimiawi menggunakan
insektisida dan secara fisik dengan mengeradikasi sumber inokulum,
menggunakan sungkup kedap serangga pada waktu persemaian dan menanam
tanaman pinggir (border crop) sehingga menghalangi masuknya serangga vektor
ke areal pertanaman. Penggunaan kultivar tahan merupakan alternatif yang cukup
baik dalam pengendalian virus. Ganefianti et al. (2008) mendapatkan satu
genotipe cabai tahan (genotipe IPB12) dari 27 genotipe yang diuji terhadap
penyakit kuning cabai. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk mendapatkan
varietas tahan tidak mudah.
Pengendalian Virus dengan Pemanfaatan Senyawa Antiviral
Pemanfaatan senyawa antiviral atau inhibitor pada virus tanaman dapat
dibedakan menjadi dua kategori yaitu: inhibitor terhadap multiplikasi dan
inhibitor terhadap infeksi virus. Aplikasi subtansi inhibitor sebelum atau
bersamaan pada saat inokulasi virus dapat menghambat proses infeksi. Subtansi
antiviral yang sudah dipelajari berasal dari ekstrak tanaman, proteinaceous dan
subtansi dari mikroorganisme. Subtansi dari mikroorganisme yang sudah
dipelajari adalah polisakarida kelompok glucan dan turunannya. Rouhier et al.
(1995) melaporkan bahwa dinding sel Phytophtora infestans, yang mengandung
polisakarida, ketika dicampur dengan Potato virus x dapat menekan kejadian
penyakit pada tembakau. Disimpulkan bahwa glucan mempunyai aktivitas sebagai
antiviral pada beberapa virus.
Menurut Matthews (1970) subtansi metabolit yang dapat menekan
perkembangan virus adalah antibiotik dan bahan lain yang dihasilkan oleh
mikroorganisme, RNAse, enzim proteolitik dan subtansi yang dihasilkan oleh
tanaman tingkat tinggi. Beberapa metabolit yang dihasilkan mikroorganisme
dilaporkan memiliki aktivitas sebagai antiviral. Cytovirin adalah metabolit yang
dihasilkan oleh Streptomyces sp. pertama kali dilaporkan pada tahun 1957 oleh
Gray (Matthews 1970). Penyemprotan antiviral yang dilakukan di dekat daun
yang diinokulasi mencegah terbentuknya lesio lokal akibat infeksi Southern bean
mosaic pada buncis, Tobacco mosaic virus pada Nicotiana rustica dan infeksi

8

Potato virus Y pada tembakau. Pengujian lain yang dilakukan menggunakan
kultur filtrat dari Trichotesium roseum menunjukkan penghambatan yang
disebabkan oleh polisakarida termasuk D-galaktosa yang merupakan komponen
gula. Inhibitor trichothecin dinyatakan efektif jika disemprotkan di daun pada
waktu tidak lebih dari dua hari sebelum inokulasi atau tidak lebih dari satu hari
setelah inokulasi. Efisiensi dari inhibitor tergantung dari spesies inang dan virus
yang diinokulasikan. Antiviral yang lainnya seperti RNA ragi dengan konsentrasi
tinggi (5 mg/ml) diaplikasikan pada daun atau dicampur pada inokulum dapat
mengurangi jumlah lesio lokal yang disebabkan oleh TMV pada N. glutinosa.
Berdasarkan uraian di atas, eksplorasi antiviral dari mikroorganisme
termasuk cendawan endofit perlu dikaji lebih mendalam dalam upaya
pengendalian penyakit yang disebabkan oleh virus tanaman.
Pemanfaatan Cendawan Endofit Sebagai Agens Biokontrol
Endofit didefinisikan sebagai semua organisme yang menghuni organ
tanaman, yang dalam beberapa waktu dalam hidupnya dapat mengolonisasi
bagian dalam jaringan tanaman tanpa menimbulkan kerusakan nyata bagi
inangnya (Petrini 1991). Cendawan endofit telah dilaporkan terdeteksi pada
ratusan spesies tanaman, yang pada awalnya terdeteksi sebagai simbion pada
tanaman rumput (Zabalgogeazcoa 2008). Saat ini cendawan endofit banyak dikaji
pada tanaman komersial seperti gandum, pisang, kedelai, dan tomat (Vega et al.
2008).
Berdasarkan teori evolusinya, cendawan endofit berasal dari cendawan
patogen yang berkembang menjadi patogen minor dan kemudian menjadi simbion
yang bersifat mutualisme. Strategi hidup simbion ini berevolusi dari saprofit
fakultatif, parasit, exploitive, dan mutualisme. Lebih lanjut semua interaksi
cendawan endofit berperan dalam menyediakan nutrisi dan penyangga dari
tekanan lingkungan eksternal dan kompetisi mikrob (Schulz dan Boyle 2005).
Sifat mutualisme cendawan endofit pada tanaman mempunyai peranan yang
kompleks. Beberapa studi menyatakan bahwa cendawan endofit mempunyai
peranan penting sebagai sumber produk alami untuk farmasi dan pertanian
(Suryanarayanan et al. 2009).
Cendawan endofit pada awalnya dipelajari pada tanaman tahunan
Ryegrass (Lolium perenne L.) yang merupakan spesies rumput penting di New
Zealand. Tanaman ini biasanya berasosiasi dengan cendawan endofit
Neotyphodium lolii. Cendawan Neotypodium pada tanaman fescue merupakan
asosiasi yang bersifat mutualisme. Tanaman fescue memberikan energi, nutrisi,
tempat berlindung, dan perbanyakan. Sebaliknya Neotypodium memberi manfaat
terhadap tanaman dengan menghasilkan beberapa bahan biokimia yang bersifat
menghalangi organisme pemakan rumput dan tekanan terhadap insekta
(Rranzluebbers et al. 1999). Cendawan endofit menghasilkan alkaloid seperti
ergot alkaloid dan indole dipertenes yang toksik terhadap hewan. Alkaloid lain
yang dihasilkan oleh cendawan endofit adalah pyrrolopyrazine alkaloid peramine
yang berperan menekan serangga atau menghalangi serangga ke tanaman.
Alkaloid peramine ini dihasilkan oleh cendawan endofit karena tidak dihasilkan
oleh tanaman. Hipotesis yang ada bahwa alkaloid ini dihasilkan oleh cendawan
endofit yang kemudian dilepaskan ke dalam ruang apoplastic yang dapat terlihat
dari aliran gutasi. Konsentrasinya sangat rendah sehingga diperlukan metode

9

deteksi yang sangat sensitif untuk mendeteksi keberadaannya (Koulman et al.
2007).
Dewasa ini cendawan endofit secara nyata dapat meningkatkan nilai hasil
pertanian dan menekan gangguan hama dan penyakit (Koulman et al. 2007).
Cendawan endofit dari daun sudah dilaporkan dapat berperan sebagai agens
biokontrol terhadap panyakit pada tanaman kakao di daerah tropis. Beberapa
strain dari Trichoderma, seperti T. harzianum, T. stromaticum, dan T. asperellum
sudah dilaporkan mempunyai efek antagonis pada beberapa penyakit yang
disebabkan oleh cendawan (Gazis et al. 2010). Terdapat perbedaan mekanisme
endofit dalam melindungi tanaman, tetapi produksi antibiotik dan metabolit
seluler yang bersifat toksik merupakan mekanisme utama endofit dalam proteksi
tanaman (Chaves et al. 2009).
Peranan cendawan endofit di bidang pertanian yang sudah dikaji antara
lain sebagai proses adaptasi tanaman seperti peningkatan pertumbuhan, toleransi
terhadap cekaman kekeringan, anti serangga herbivora, dan pertahanan terhadap
penyakit tanaman. Mekanisme cendawan endofit dalam proses adaptasi tanaman
terhadap cekaman kekeringan dengan menurunkan proses fotosintesis, ketahanan
stomata terhadap kekeringan dan terjadinya proliferasi pada bagian akar
(Rranzluebbers et al. 1999). Selain itu cendawan endofit mampu menginduksi
atau mensintesis senyawa pemicu pertumbuhan tanaman seperti auksin, sitokinin,
dan fiksasi nitrogen (Hanoda et al. 2010). Mekanisme penghambatan cendawan
endofit terhadap patogen dapat secara langsung dengan mekanisme parasitisme,
antibiosis, kompetisi nutrisi penambahan pertumbuhan tanaman dan mekanisme
ketahanan terinduksi (Gaziz et al. 2010).
Pada mekanisme penghambatan patogen, cendawan endofit menghasilkan
metabolit fungsional yang termasuk dalam group terpenoids, steroids, xanthones,
chinones, phenol, isocoumarins, benzopyranones, tetralones, cytochalasines dan
enniatines. Metabolit fungsional yang dihasilkan mempunyai peranan sebagai
anti bakteri, antiviral, anti cendawan dan anti kanker (Suryanarayanan et al.
2009). Hasil penelitian Sumarah et al. (2010) menunjukkan tiga strain dari 150
ekstrak metabolit seluler dari cendawan endofit yang diisolasi pada tanaman Picea
rubens bersifat toksik terhadap serangga Choristoneura fumiferana. Metabolit
fungsional yang dihasilkan oleh cendawan endofit yang mempuyai peranan
sebagai insektisida diantaranya : Indol derivativ-lolitrem, Pyrrozilidin-lolin,
heptalidic acid (dihasilkan oleh cendawan Phyllosticta). Metabolit yang berfungsi
sebagai fungisida yaitu : chokol, phynilpropanoid, 6-isoprenylindole-3-carboxylic
acid, dan yang berfungsi sebagai bakterisida yaitu: subglutinol yang dihasilkan
oleh F. subglutinon sedangkan phenol dan phenolic mempunyai peranan yang
cukup luas dapat sebagai anti cendawan, anti bakteri dan antiviral. Beberapa
cendawan endofit yang telah dilaporkan berpotensi menekan cendawan patogen
yaitu Trichoderma, Fusarium, Penicillium, Phoma dan Acremonium.
Trichoderma dan Fusarium non patogen dapat menekan patogen F. oxysporum
secara in vitro (Istikorini 2008).
Kajian cendawan endofit terhadap pengendalian penyakit yang disebabkan
oleh virus belum banyak dilakukan.
Penelitian Lehtonen et al. (2006)
menyatakan pada tanaman Meadow ryegrass (Lolium pratense) yang terinfeksi
oleh Barley yellow dwarf virus (BYDV), aplikasi cendawan endofit secara nyata
mampu mengurangi frekuensi tanaman yang terinfeksi oleh BYDV. Penurunan

10

frekuensi tanaman yang terinfeksi oleh BYDV berkorelasi positif terhadap
penurunan kutudaun pada Meadow ryegrass yang merupakan vektor BYDV.
Endofit Acremonium coenophialum dilaporkan dapat mengendalikan
Rhopalosiphum padi L. (Hemiptera: Aphididae) yang merupakan vektor dari
BYDV yang menyerang tanaman fescue (Festuca arundinacea). Pengaruh
cendawan endofit terhadap partikel virus patogen tumbuhan belum ada yang
melaporkan, akan tetapi sudah banyak dikaji dalam pengendalian virus yang
menyerang manusia.

11

III. BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan mulai bulan April 2011 sampai Desember 2012.
Pengambilan sampel daun cabai dilakukan di Kecamatan Minggir, Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Isolasi cendawan dilakukan di Laboratorium
Mikologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB, dan
kegiatan deteksi virus dilakukan di Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Kegiatan identifikasi serangga vektor
dilakukan di Laboratorium Taksonomi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, IPB dan kegiatan pengujian efektivitas cendawan endofit
dilakukan di rumah kaca Cikabayan, Fakultas Pertanian, IPB.
Isolasi Cendawan Endofit
Isolasi cendawan endofit dilakukan menggunakan sampel daun cabai yang
diambil di daerah endemis penyakit kuning cabai di Kabupaten Sleman, DIY.
Sampel terdiri dari daun yang bergejala, yaitu daun keriting dan kuning, dan daun
yang tidak bergejala.
Metode isolasi cendawan endofit mengikuti metode Photita et al. (2001)
dengan modifikasi. Sampel daun tanaman cabai dicuci bersih kemudian diberi
perlakuan sterilisasi permukaan. Perlakuan sterilisasi dilakukan secara bertahap,
pertama-tama merendam daun dalam alkohol 96% selama 30 detik, dilanjutkan
dalam larutan NaOCl 1% selama 1 menit, alkohol 70% selama 1 menit, alkohol
70% selama 30 detik, kemudian dibilas dua kali dengan air steril serta
dikeringkan pada kertas steril. Setelah tahap sterilisasi daun dipotong-potong
menjadi segmen kecil dan ditanam pada cawan petri yang berisi media potato
dextrose agar (PDA) 25%. Pada setiap cawan petri ditanam 4 segmen daun,
jumlah cawan petri masing-masing 20 untuk sampel daun bergejala dan tidak
bergejala. Miselium yang tumbuh pada potongan segmen daun kemudian
dimurnikan pada media PDA 100% dan isolat disimpan dalam media PDA 100%
pada agar miring sampai dilakukan pengujian.
Deteksi Virus Kuning Cabai
Konfirmasi infeksi virus pada sampel daun dari lapangan dilakukan
dengan metode polymerase chain reaction (PCR) menggunakan primer universal
Geminivirus yaitu PAL1v 1978 (5’GCATCTGCAGGCCCACATYGTCTTYCC
NGT3’) dan PAR1c 715 (5’GATTTCTGCAGTTDATRTTYTCRTCCATCC
A3’) (Rojas et al. 1993).
Deteksi diawali dengan isolasi DNA total, kemudian dilakukan amplifikasi
dan visualisasi hasil dengan elektroforesis. Isolasi DNA mengacu pada metode
CTAB Doyle dan Doyle (1990) yang telah dimodifikasi. Bufer ekstraksi (CTAB
2%, Tris-HCl 0,1 M, EDTA 0,02 M, NaCl 1,26 M, PVP 2%) yang mengandung
1% merkapto etanol dipanaskan dalam penangas air pada suhu 65 °C. Sampel
daun sebanyak 0,1 g digerus menggunakan mortar dan pistil dengan
menambahkan nitrogen cair sampai halus, kemudian ditambahkan 500 µl bufer
ekstraksi yang telah dipanaskan dan dimasukkan ke dalam tabung eppendorf 1,5
ml. Suspensi tersebut diinkubasi pada suhu 65 °C selama 60 menit dan setiap 10
menit tabung dibolak-balik untuk membantu proses lisis. Suspensi selanjutnya

12

diambil, diletakkan pada suhu ruang selama 2 menit kemudian ditambahkan 500
µl campuran kloroform:isoamil alkohol (CI) dengan perbandingan 24:1. Larutan
tersebut dicampur dengan vorteks selama 5 menit kemudian disentrifugasi selama
15 menit pada kecepatan 12,000 rpm. Supernatan yang terbentuk kemudian
diambil secara hati-hati dan dipindahkan ke tabung eppendorf baru dan
ditambahkan 1/10 sodium asetat (CH3CooNa 3 M pH 5,2), 2,5 x volume etanol
absolut dicampur dengan baik untuk presipitasi DNA, kemudian diinkubasi pada
-20 °C semalam. Suspensi tersebut kemudian disentrifugasi selama 10 menit pada
kecepatan 12,000 rpm. Supernatan dibuang dan endapan dicuci dengan etanol
80% kemudian disentrifugasi selama 5 menit pada kecepatan 12,000 rpm.
Supernatan dibuang, endapan dikeringkan di laminar flow atau mesin vacum.
Setelah kering endapan DNA dilarutkan kembali dengan 100 µl bufer TE dan
disimpan pada suhu -20 °C sampai dilakukan PCR.
Komponen reaksi PCR terdiri dari : H2O (18,8 µ)l; bufer 10x+Mg2+
(2,5µl); d NTP 10 mM (0,5 µl); primer PAL1v 1978 dan primer PAR1c 715
(masing-masing 1 µl); Dream taq DNA polymerase (0,2 µl) dan DNA template
(1 µl), sehingga total volume satu reaksi 25 µl. Program amplifikasi pada mesin
PCR terdiri atas pradenaturasi pada suhu 94 °C selama 4 menit, denaturasi 94°C
selama 1 menit, penempelan primer (anneling) pada suhu 55 °C selama 1 menit
dan extension 72 °C selama 5 menit. Siklus diulang sebanyak 35 kali. Hasil
amplifikasi PCR divisualisasi menggunakan gel agarosa (1%) dan dielektroforesis
pada tegangan 100 V selama 30 menit. Hasil elektroforesis dapat dilihat
menggunakan sinar ultraviolet pada transiluminator.
Analisis Keragaman Cendawan Endofit
Analisis keragaman dan kelimpahan cendawan endofit dihitung
berdasarkan frekuensi kolonisasi (FK) dan koefisien kemiripan (Cs). Frekuensi
kolonisasi cendawan endofit dapat dihitung mengikuti metode Hata et al. (1995)
dalam Suryanarayan et al. (2001), dengan rumus:
FK = (NcoI / Nt) x 100%
dengan Ncol adalah jumlah segmen yang dikolonisasi cendawan, Nt adalah
jumlah segmen yang diamati.
Koefisien kemiripan dapat dihitung berdasarkan indeks Sorensen (Cs)
(Maguran 1988), dengan rumus:
Cs = 2j/(a+b)
dengan j adalah jumlah spesies cendawan endofit pada kedua jaringan yang
diujikan, a adalah jumlah spesies cendawan yang mengolonisasi jaringan a dan b
adalah jumlah spesies cendawan yang mengolonisasi jaringan b.
Uji Patogenisitas Cendawan Endofit
Uji patogenisitas dilakukan dengan menanam biji cabai TM 888 pada
cawan petri yang mengandung media PDA yang telah ditumbuhi oleh cendawan
endofit berumur 2 minggu setelah tanam (Lampiran 1). Isolat cendawan endofit
ditumbuhkan pada cawan petri dengan media PDA 100%, setelah miselia tumbuh
memenuhi cawan perti yang berdiameter 9 cm maka isolat sudah dapat digunakan
untuk pengujian. Sebelum ditanam biji cabai diberi perlakuan desinfeksi dengan
perlakuan panas pada suhu 55 °C selama 20 menit dan perlakuan NaOCl 1%
selama 1 menit, kemudian dibilas dua kali menggunakan air steril. Dalam satu

13

cawan petri ditanam 20 biji cabai dan diulang tiga kali untuk masing-masing isolat
cendawan endofit. Setelah dua minggu diamati persentase daya kecambah,
panjang tajuk, dan panjang akar.
Identifikasi Cendawan Endofit
Berdasarkan hasil uji patogenisitas, isolat cendawan yang memiliki potensi
sebagai agens biokontrol diidentifikasi berdasarkan warna koloni dan morfologi
secara mikroskopik serta dibandingkan dengan kunci identifikasi menurut
Watanabe (2002) (Lampiran 2).
Perbanyakan Serangga Vektor
Serangga vektor yang digunakan untuk penularan virus adalah kutukebul
Bemisia tabaci yang telah dikonfirmasi melalui metode identifikasi menurut
Watson (2007) (Lampiran 3). Perbanyakan serangga vektor dilakukan pada
tanaman kapas dalam kurungan kedap serangga.
Perbanyakan Sumber Inokulum PepYLCV
Virus daun keriting kuning cabai (PepYLCV) yang digunakan dalam
penelitian ini adalah isolat yang berasal dari tanaman cabai di Desa Minggir,
Sleman, DIY yaitu pada lokasi yang sama dengan asal sampel cendawan endofit.
Isolat tersebut diperbanyak pada tanaman tomat varietas Ratna melalui penularan
dengan serangga vektor (Aidawati 2006) dan dua bulan setelah inokulasi tanaman
digunakan sebagai sumber inokulum (Lampiran 4).
Penyediaan Isolat Cendawan Endofit
Cendawan endofit yang digunakan merupakan hasil seleksi berdasarkan
hasil uji patogenisitas sebelumnya, yaitu Curvularia sp., C. nicotianae,
Pleosporaceae, Guignardia mangifera dan Dothideomycete sp. Cendawan
endofit yang disimpan dalam agar miring diremajakan pada media PDA 100%,
setelah miselia tumbuh satu cork borer miselia dipindahkan pada media Potato
Dextrose Broth (PDB) 100 ml dan digoyang pada kecepatan 100 rpm selama 2
minggu. Miselia dipanen dan dibersihkan dari media PDB dengan dicuci
menggunakan air steril dan divakum, kemudian miselia dihancurkan
menggunakan blender hingga menjadi segmen-segmen kecil, selanjutnya dihitung
konsentrasinya menggunakan haemositometer. Untuk pengujian efikasi,
cendawan endofit diencerkan dari larutan stok hingga mencapai konsentrasi
105miselia/ ml dan ditambahkan Tween dengan konsentrasi 0,001% sebagai
perekat.
Pengujian Efektivitas Cendawan Endofit sebagai
Pemicu Pertumbuhan Tanaman Cabai
Benih cabai yang digunakan untuk efikasi adalah varietas TM 888.
Aplikasi cendawan endofit dilakukan dengan dua metode yaitu: (1) Perlakuan
benih dan (2) Penyemprotan daun. Benih cabai terlebih dahulu diberi perlakuan
desinfeksi dengan perlakuan panas pada suhu 55 °C selama 20 menit, kemudian
diperam pada suspensi cendawan endofit pada konsentrasi 105 miselia/ml selama
48 jam dan selanjutnya ditanam pada media semai. Bibit berumur tiga minggu
dipindah ke polybag yang berukuran 20 cm x 20 cm yang telah diisi tanah dan

14

pupuk kandang steril (3:1). Satu minggu setelah pindah tanam, tanaman
disemprot dengan suspensi cendawan endofit pada konsentrasi 105 miselia/ml.
Sebagai kontrol adalah tanaman tanpa aplikasi suspensi cendawan endofit.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
dengan sepuluh ulangan, setiap ulangan terdiri dari 1 tanaman contoh. Data
diolah dengan analisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji selang berganda
Duncan (DMRT) pada taraf nyata 5% menggunakan SAS versi 6.12. Pengamatan
dilakukan terhadap peubah agronomis seperti tinggi tanaman, bobot tajuk, bobot
akar dan volume akar. Tinggi tanaman dihitung dari pangkal batang yang dekat
dengan tanah sampai ke titik tumbuh, bobot tajuk ditimbang dengan memotong
bagian pangkal batang sampai ke titik tumbuh, bobot akar ditimbang dari pangkal
batang sampai ujung akar dan volume akar dihitung menggunakan gelas ukur.
Pengujian Efektivitas Cendawan Endofit sebagai
Agens Biokontrol Penyakit Kuning Cabai
Cendawan endofit dan benih cabai yang digunakan sama dengan yang
digunakan dalam efikasi terhadap pertumbuhan tanaman cabai di atas. Demikian
pula penyiapan benih cabai sampai dengan pindah tanam dan aplikasi cendawan
endofit dengan penyemprotan dilakukan seperti diuraikan pada uji efikasi
cendawan endofit terhadap pertumbuhan tanaman di atas. Tanaman cabai
berumur 4 minggu setelah semai siap untuk diinokulasi dengan isolat virus kuning
melalui serangga vektor. Penularan dilakukan dengan 10 ekor serangga
viruliferous setiap tanaman, periode makan akuisisi 24 jam dan periode makan
inokulasi 48 jam (Aidawati 2006). Sebagai kontrol adalah tanaman tanpa aplikasi
suspensi cendawan endofit.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok
dengan tiga ulangan, setiap ulangan terdiri dari 25 tanam