Combination of Methanotrophic Bacteria, Nitrous Oxide Reducing Bacteria, and N2 Fixing Bacteria as Biofertilizer and Greenhouse Gases Reducing Agent in Paddy
ABSTRACT
MAFRIKHUL MUTTAQIN. Combination of Methanotrophic Bacteria, Nitrous Oxide Reducing Bacteria, and N2 Fixing Bacteria as Biofertilizer and Greenhouse
Gases Reducing Agent in Paddy. Under direction of IMAN RUSMANA and MIFTAHUDIN.
High CH4 oxidation activity was found in methanotrophic bacteria (BGM 1,
BGM 5, BGM 9, and SKM 14) isolated from paddy fields in Bogor and Sukabumi. Other bacteria, BL1 and BL2, are denitrifier that possess high N2O
reduction activity. Those isolates combined with nitrogen (N2) fixing bacteria
(Azotobacter sp. and Azospirillum sp.) could be used as biofertilizer to reduce CH4
and N2O emissions and enhance paddy’s growth. The objective of this research
was to evaluate the effectiveness of those bacterial combinations as biofertilizer and greenhouse gases reducing agent in paddy. This research was consisted of two experiments. The 1st experiment was arranged in a completely randomized design (CRD) with four replicates and consisted of fertilizer types (inorganic and bacteria) and watering system (submerged and periodically intermittent) treatments. The 2nd experiment was arranged in CRD with four replicates that consisted of bacterial fertilizer types, types of inorganic fertilizer dosages, and watering system factor (submerged and periodically intermittent). The result of the 1st experiment showed that the plant height was not affected by the treatment. Plant fresh weight, dry weight, number of productive tiller, grain per panicle were affected by type of fertilizer. Inorganic fertilizer increased CH4 flux and bacterial
fertilizer reduced CH4 flux from paddy field. The best reduction of CH4 flux
achieved by bacterial fertilizer contained BGM 1 and BGM 5 isolates. The result of the 2nd experiment showed that combination of BGM 5 – BGM 9 isolates and N2 fixing bacteria enhanced paddy vegetative and generative growth under N
fertilizer with the dosage of 166.67 or 250 kg/ha. There was no clear pattern in the CH4 and N2O flux reduction from paddy under bacterial fertilizer application. In
general, methanotrophic bacteria and N2O reducing bacteria isolates could reduce
CH4 and N2O flux in certain dosage of inorganic fertilizer. In addition, CH4 flux
was decreased and N2O flux was increased in periodically intermittent condition.
(2)
RINGKASAN
MAFRIKHUL MUTTAQIN. Kombinasi Bakteri Metanotrof, Pereduksi Dinitrogen Oksida, dan Penambat N2 sebagai Agen Pereduksi Gas Rumah Kaca
dan Pupuk Hayati pada Tanaman Padi. Di bawah bimbingan IMAN RUSMANA dan MIFTAHUDIN.
Salah satu masalah utama yang dihadapi manusia saat ini dan yang akan datang adalah pemanasan global. Pemanasan global berkaitan dengan perubahan iklim yang dapat mempengaruhi perubahan biodiversitas. Peningkatan jumlah gas rumah kaca (GRK) mempengaruhi komposisi gas di atmosfer dan menyebabkan pemanasan global. Metan (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O) merupakan gas
rumah kaca yang dapat terbentuk dari lahan persawahan. Indonesia sebagai salah satu negara agraris memiliki potensi dalam menyumbang emisi CH4 dan N2O
global.
Secara biologis, CH4 direduksioleh bakteri metanotrof dan N2O direduksi
oleh beberapa jenis bakteri denitrifikasi. Aktivitas oksidasi CH4 yang tinggi telah
ditemukan pada beberapa isolat bakteri metanotrof (BGM 1, BGM 5, BGM 9, and SKM 14) asal sawah di Bogor dan Sukabumi. BL1 dan BL2 adalah isolat bakteri denitrifikasi yang memiliki kemampuan tinggi dalam aktivitas reduksi N2O.
Isolat-isolat tersebut dapat digabungkan dengan bakteri penambat nitrogen (N2)
(Azotobacter sp. dan Azospirillum sp.) sebagai pupuk hayati yang berpotensi dalam reduksi emisi CH4 dan N2O serta meningkatkan pertumbuhan padi. Tujuan
dari penelitian ini ialah untuk mengetahui efektivitas kombinasi bakteri tersebut sebagai pupuk hayati dan agen pereduksi GRK pada tanaman padi.
Penelitian dilakukan dalam dua tahap percobaan. Tahap pertama percobaan dilakukan dengan rancangan acak lengkap (RAL) 2 faktor, yaitu, jenis pupuk dan sistem pengairan. Jenis pupuk terdiri dari 6 taraf, yaitu, 2.5 g N per pot (≈ 250 kg/ha), 1.25 g N per pot (≈ 125 kg/ha), pupuk bakteri isolat BGM 1 dan BGM 5, pupuk bakteri isolat BGM 1 dan BGM 9, pupuk bakteri semua isolat metanotrof dan penambat N2, dan tanpa pemupukan. Sistem pengairan terdiri dari 2 taraf,
yaitu, tergenang dan macak-macak. Rancangan percobaan tahap kedua penelitian ini dengan rancangan acak lengkap (RAL) 3 faktor, yaitu, pupuk bakteri, dosis pupuk anorganik N, dan sistem pengairan. Pupuk bakteri terdiri dari 3 taraf, yaitu, tanpa bakteri, kombinasi isolat BGM 5 – BGM 9 dan bakteri penambat N2, dan
kombinasi isolat BGM 1 – SKM 14 dan bakteri pereduksi N2O. Dosis pupuk
anorganik N terdiri dari 4 taraf, yaitu, 0.625 g N per pot (≈ 62.5 kg/ha), 1.25 g N per pot (≈ 125 kg/ha), 1.875 g N per pot (≈ 166.67 kg/ha), dan 2.5 g N per pot (≈ 250 kg/ha). Sistem pengairan terdiri dari 2 taraf, yaitu, tergenang dan macak-macak. Setiap perlakuan diulang empat kali.
Hasil dari penelitian tahap pertama adalah tinggi tanaman tidak dipengaruhi oleh semua perlakuan. Bobot basah tajuk, bobot kering tajuk, jumlah anakan produktif, dan jumlah gabah per malai dipengaruhi oleh jenis pupuk. Emisi CH4
dipengaruhi oleh jenis pupuk. Pupuk anorganik meningkatkan fluks CH4 dan
pupuk bakteri menurunkan fluks CH4. Reduksi fluks CH4 terbaik diperoleh pada
pupuk bakteri isolat BGM 1 and BGM 5.
Hasil penelitian tahap kedua adalah kombinasi isolat BGM 5 – BGM 9 dan penambat N2 diketahui mampu mendukung pertumbuhan vegetatif dan generatif
(3)
padi pada dosis pupuk anorganik N 166.67 kg/ha atau 250 kg/ha. Tidak ada pola yang jelas mengenai aktivitas reduksi fluks CH4 dan N2O. Secara umum, bakteri
metanotrof dan bakteri pereduksi N2O mampu mereduksi fluks CH4 dan N2O pada
berbagai dosis pupuk anorganik. Selain itu, kondisi macak-macak diketahui menyebabkan adanya penurunkan fluks CH4 namun meningkatkan fluks N2O.
(4)
Latar Belakang
Salah satu masalah utama yang dihadapi manusia saat ini dan yang akan datang adalah pemanasan global. Pemanasan global berkaitan dengan perubahan iklim yang dapat mempengaruhi perubahan biodiversitas. Peningkatan jumlah gas rumah kaca (GRK) mempengaruhi komposisi gas di atmosfer dan menyebabkan pemanasan global. Metan (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O) merupakan gas
rumah kaca yang dapat terbentuk dari lahan persawahan (Setyaningsih et al. 2010; Weber et al. 2001; Whitman et al. 2006).
Indonesia sebagai salah satu negara agraris memiliki potensi dalam menyumbang emisi CH4 dan N2O global. Emisi CH4 dan N2O yang dihasilkan
dari lahan persawahan dapat direduksi secara biologis dengan menggunakan bakteri metanotrof dan pereduksi N2O. Aktivitas oksidasi metan yang tinggi telah
ditemukan pada bakteri yang diisolasi dari lahan persawahan di Bogor dan Sukabumi (Hapsari 2008). Isolat bakteri tersebut dapat digunakan sebagai agen pereduksi CH4 dari lahan persawahan. Berkaitan dengan emisi N2O, telah
ditemukan isolat bakteri denitrifikasi potensial yang mampu melakukan aktivitas reduksi N2O (Setyaningsih et al. 2010).
Penggunaan bakteri metanotrof dan bakteri pereduksi N2O dapat dilakukan
bersama-sama dengan bakteri penambat nitrogen (N2) sebagai pupuk hayati pada
lahan persawahan. Jenis Azotobacter spp. dan Azospirillum spp. adalah bakteri penambat N2 yang umum digunakan sebagai pupuk hayati di lahan persawahan
(Halbleib & Ludden 2000; Razie & Anas 2005).
Efektivitas kombinasi ketiga jenis bakteri tersebut perlu diketahui melalui suatu penelitian. Formula yang tepat dapat digunakan pada lahan persawahan di Indonesia sebagai pupuk hayati sekaligus agen pereduksi gas rumah kaca CH4 dan
N2O.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efektivitas kombinasi bakteri metanotrof, pereduksi N2O, dan penambat N2 sebagai agen pereduksi gas rumah
(5)
2
kaca CH4 dan N2O serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan vegetatif dan
generatif padi varietas Ciherang.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai landasan ilmiah untuk pengembangan pupuk hayati untuk memacu pertumbuhan padi sawah yang berbasis bakteri pereduksi CH4 dan N2O.
(6)
Pemanasan Global dan Pertanian Sawah
Pemanasan global berkaitan dengan peningkatan gas rumah kaca (GRK) di atmosfer dan perubahan iklim. Metan (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O)
merupakan GRK utama yang dapat terbentuk dari lahan persawahan. Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), CH4 dan N2O memiliki
potensi pemanasan global berturut-turut sebanyak 21 dan 310 kali dibandingkan karbon dioksida (CO2) (EPA 2010). Indonesia sebagai salah satu negara agraris
memiliki potensi dalam menyumbang emisi CH4 danN2O global.
Menurut Dubey (2005), CH4 merupakan GRK penting yang memiliki
kemampuan tinggi dalam menyerap radiasi infra merah. Jerami padi pada lahan persawahan tergenang merupakan substrat utama pembentukan CH4 (Weber et al.
2001; Whitman et al. 2006). Emisi CH4 ke atmosfer secara umum dipengaruhi
oleh produksi CH4 oleh metanogen, aktivitas penggunaan CH4 oleh metanotrof,
dan transfer CH4 secara vertikal melalui sistem transportasi dalam tanaman padi
atau difusi antara permukaan air sawah dan udara (Dubey 2005).
Metanogen merupakan mikroorganisme dari domain Arkea yang membentuk metan sebagai hasil utama metabolisme secara anaerob (Whitman et al. 2006). Produksi metan oleh metanogen dilakukan melalui aktivitas metanogenesis yang melibatkan enzim-enzim khusus seperti C1-carrier dan koenzim redoks. Metanogenesis oleh metanogen dapat berupa metanogenesis dari H2, CO2, atau asam asetat (Dubey 2005).
Selain metan, N2O merupakan salah satu GRK yang berperan dalam
pemanasan global. Gas N2O dikenal sebagai ozone depleting substance (ODS)
yang mampu merusak lapisan atmosfer sebagai pelindung bumi. Emisi N2O salah
satunya dihasilkan dari lahan persawahan (Setyaningsih et al. 2010). Pemberian pupuk nitrogen pada lahan persawahan dan kelebihan atau hanyutannya menuju lingkungan perairan lain berpotensi sebagai sumber N2O melalui denitrifikasi oleh
mikroorganisme (Dong et al. 2002; Beaulieu et al. 2001).
Emisi N2O sebagai hasil dari pemberian pupuk nitrogen pada lahan
(7)
4
et al. 2010). Emisi langsung N2O didefinisikan sebagai emisi N2O dari tanah di
lahan pertanian yang telah diberikan pupuk nitrogen, sedangkan hanyutan pupuk nitrogen pada badan air atau tanah di sekitar lahan pertanian yang menyebabkan terbentuknya emisi N2O disebut sebagai emisi N2O tak langsung. Pada lahan
persawahan kedua cara emisi N2O ini dapat dengan mudah terjadi.
N2O terutama dihasilkan dari proses denitrifikasi dan reduksi nitrat
disimilatif oleh mikroorganisme pada lingkungan perairan (Rusmana 2007). Mikroorganisme yang terlibat antara lain dari berbagai jenis arkaea, bakteri, dan bakteri ungu (Shapleigh 2006).
Proses denitrifikasi merupakan proses pengubahan nitrat (NO3-) menjadi
bentuk nitrogen yang lebih terreduksi, yaitu NO2-, NO, N2O, dan N2. Di antara
bentuk nitrogen terreduksi tersebut, N2O dan N2 kemudian diemisikan menuju
atmosfer.Rasio emisi N2O dan N2 + N2O menuju atmosfer terutama dipengaruhi
oleh pH di mana terjadi peningkatan emisi N2O ketika terjadi penurunan pH
(Cuhel et al. 2010). Reduksi nitrat disimilatif mereduksi nitrat menjadi NO2
-mengubahnya menjadi N2O dan NH4. Semua proses tersebut dilakukan oleh
bakteri denitrifikasi dan bakteri lain yang terlibat dalam siklus nitrogen.
Emisi gas CH4 dan N2O diketahui meningkat mendekati 17% dari tahun
1990 sampai 2005 (Smith et al. 2007). Angka tersebut secara keseluruhan berasal dari emisi dari pertanian. Emisi CH4 dari lahan persawahan diduga akan
meningkat 16% sepanjang tahun 2005 sampai dengan 2020 seiring dengan meningkatnya lahan sawah beririgasi. Sementara itu, pengurangan praktik budidaya padi sistem tergenang dan perkembangan kultivar padi baru rendah emisi CH4 dapat mereduksi emisi dari lahan pertanian sawah. Emisi N2O
diperkirakan meningkat 35-60% pada tahun 2030 akibat dari peningkatan penggunaan pupuk nitrogen dan penggunaan pupuk kandang. Peningkatan pengelolaan budidaya dan teknologi baru diharapkan dapat mereduksi emisi N2O.
Reduksi Metan (CH4) oleh Metanotrof
Pada lahan persawahan, emisi CH4 berkaitan dengan bakteri metanotrof
yang menggunakan CH4 sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan. Metanotrof
(8)
Dubey (2005), oksidasi CH4 pada tanah oleh bakteri metanotrof adalah
satu-satunya sistem biologis yang berperan sebagai sink metan. Bakteri ini disebut pula memiliki peran kunci dalam siklus metan di dunia (Dedysh et al. 2005).
Bakteri metanotrof didefinisikan sebagai kelompok bakteri aerobik obligat yang dapat menggunakan metan sebagai sumber karbon dan energi untuk tumbuh (Roslev & King 1994). Metanotrof memiliki metabolisme khas yaitu menggunakan metan dan metanol dan merupakan subset dari metilotrof (Bowman 2006). Metilotrof didefinisikan sebagai kelompok bakteri dan arkaea yang mampu menggunakan substrat komponen C1 seperti CO2 dan CH4. Bakteri metanotrof
mampu mengubah metan menjadi CO2 melalui proses oksidasi dengan
menggunakan metan monooksigenase (MMO).
Aktivitas oksidasi CH4 yang tinggi telah ditemukan pada bakteri yang
diisolasi dari lahan persawahan di Bogor dan Sukabumi (Hapsari 2008). Isolat bakteri tersebut adalah BGM 1, BGM 2, BGM 3, BGM 5, BGM 9, dan SKM 14. Isolat bakteri BGM 1, BGM 3, BGM 5, dan BGM 9 juga diketahui dapat memfiksasi nitrogen (Sagala 2009). Berdasarkan analisis sekuen gen 16S rRNA (Astuti 2009), BGM 1 diketahui sebagai Methylocystis rosea strain SV97T, BGM 3 diketahui sebagai Methylocystis parvus strain 57, BGM 2 dan BGM 9 diketahui sebagai Methylococcus capsulatus strain texas, dan SKM 14 diketahui sebagai Methylobacter sp. klon GASP-OKA-565-E11.
Reduksi Dinitrogen Oksida (N2O)
Emisi N2O dapat dikendalikan terutama dengan pengaturan pemberian
pupuk nitrogen pada lahan persawahan. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian pupuk secara bertahap dan pengurangan dosis pupuk nitrogen. Beberapa prosedur mengenai pengendalian pemberian pupuk nitrogen telah disusun di berbagai negara (Oenema & Velthof 2007; Wihardjaka 2010).
Secara biologis, emisi N2O dapat dimitigasi dengan menggunakan bakteri
yang terlibat dalam proses denitrifikasi. Beberapa bakteri yang terlibat dalam proses denitrifikasi memiliki kemampuan dalam mereduksi N2O di lingkungan.
N2O ini dimanfaatkan sebagai akseptor elektron dalam proses oksidasi bahan
(9)
6
Menurut Setyaningsih et al. (2010) telah ditemukan isolat-isolat bakteri denitrifikasi asal lahan sawah yang berpotensi dalam mereduksi emisi N2O.
Isolat-isolat yang diisolasi dari lahan sawah di Belendung Tangerang Banten tersebut adalah BL1, BL2, dan BLN1. Berdasarkan analisis gen penyandi 16S rRNA, ketiga isolat tersebut diketahui sebagai Ochrobactrum anthropi ATCC 49188.
Ochrobactrum anthropi termasuk ke dalam subdivisi beta bakteri ungu (Shapleigh 2006). Bakteri ini merupakan jenis bakteri Gram negatif dan aerob serta diketahui dapat juga ditemukan pada berbagai sampel klinis dengan peran yang belum diketahui (Swings et al. 2006). Enzim-enzim denitrifikasi O. anthropi telah dipelajari sebagai dasar untuk pengelolaan NO3- di lingkungan perairan
(Sung et al. 2002).
Bakteri Penambat Nitrogen (N2)
Telah dikenal dua jenis bakteri yang mampu menambat nitrogen dari atmosfer. Bakteri tersebut adalah Azotobacter spp. dan Azospirillum spp.. Azotobacter adalah spesies rizobakteri aerob obligat yang mengubah N2 menjadi
amonium melalui reduksi elektron dan protonisasi gas dinitrogen (Hindersah & Simamarta 2004). Azotobacter diketahui dapat pula menghasilkan fitohormon indol acetic acid (IAA) yang merupakan senyawa aktif hormon tumbuhan auksin (Razie & Anas 2005). Dalam konsentrasi rendah, IAA berperan sebagai pendorong pemanjangan koleoptil tumbuhan. Azotobacter umum dijumpai pada tanah, namun keberadaan Azotobacter sangat dipengaruhi oleh kondisi mikrohabitat yang komplek (Tejera et al. 2005). Pada lingkungan persawahan, Azotobacter dapat dijumpai pada daerah rizosfer padi (Wedhastri 2002).
Azospirillum termasuk ke dalam bakteri endofit fakultatif yang dapat mengkolonisasi permukaan atau bagian dalam akar. Azospirillum berbentuk batang, Gram negatif, dan tumbuh dalam keadaan mikroaerofilik. Azospirillum secara alami dapat ditemukan pada bagian perakaran tanaman padi atau tanah di sekitarnya (Hartmann & Baldani 2006). Azospirillum umum digunakan sebagai pupuk hayati pada berbagai tanaman pertanian (Halbleib & Ludden 2000). Kedua jenis bakteri penambat N2 tersebut dapat ditemukan pada lahan pertanian. Selain
(10)
Agromonas, Herbaspirillum spp., bakteri pereduksi sulfur, dan Azoarcus dapat ditemukan juga pada lahan persawahan (Martinez-Romero 2006).
(11)
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2010 - Mei 2012. Penelitian bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Institut Pertanian Bogor (IPB), Rumah Kaca Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB, dan Rumah Kaca Departemen Biologi FMIPA IPB.
Bahan Percobaan
Isolat bakteri yang digunakan adalah isolat bakteri metanotrof BGM 1, BGM 5, BGM 9 dan SKM 14 (Hapsari 2008), isolat bakteri pereduksi N2O BL1
dan BL2 (Setyaningsih et al. 2010), isolat bakteri penambat N2 (Azotobacter sp.
dan Azospirillum sp.) koleksi Departemen Biologi FMIPA IPB, dan padi varietas Ciherang.
Metode Percobaan
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap percobaan, yaitu Percobaan I dan Percobaan II. Secara umum, tahapan Percobaan I dan II adalah sama. Pembeda dari kedua percobaan ini adalah pada pemberian pupuk dan pengamatan emisi GRK. Percobaan I dilakukan dengan memisahkan perlakuan pemberian pupuk anorganik dengan pupuk bakteri. Sementara itu, Percobaan II dilakukan dengan menggabungkan perlakuan pemberian pupuk anorganik dan pupuk bakteri. Pengamatan emisi GRK CH4 dilakukan pada Percobaan I. Pada Percobaan II
dilakukan pengamatan emisi CH4 dan N2O.
Tahap Percobaan I dan II masing-masing terdiri dari peremajaan biakan bakteri, persiapan tanah dan tanaman padi, pemberian pupuk anorganik dan pupuk bakteri pada tanaman padi, serta pemeliharaan tanaman sampai panen. Peremajaan bakteri dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi. Persiapan tanaman padi dan pemeliharaannya dilakukan di Rumah Kaca PPSHB IPB (Percobaan I) dan Rumah Kaca Departemen Biologi FMIPA IPB (Percobaan II).
(12)
Rancangan Percobaan
Percobaan I dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua faktor yaitu jenis pupuk dan sistem pengairan. Faktor jenis pupuk terdiri dari enam taraf yaitu pupuk N 100% dosis rekomendasi (2.5 g per pot ≈ 250 kg/ha) (PU100), pupuk N 50% dosis rekomendasi (1.25 g per pot ≈ 125 kg/ha) (PU50), pupuk bakteri BGM 1 dan BGM 5 (PB15), pupuk bakteri BGM 1 dan BGM 9 (PB19), pupuk bakteri kombinasi bakteri penambat N2 dan seluruh
metanotrof (PMA), dan tanpa pemupukan (K). Faktor sistem pengairan terdiri atas dua taraf yaitu tergenang (T) dan macak-macak (M). Percobaan dilakukan dengan menggunakan empat ulangan.
Percobaan II dilakukan dengan menggunakan RAL dengan tiga faktor yaitu pupuk bakteri, pupuk anorganik N, dan sistem pengairan. Faktor pupuk bakteri terdiri dari tiga taraf yaitu tanpa bakteri (A), kombinasi bakteri metanotrof BGM 5 - BGM 9 dan penambat N2 (B), serta kombinasi bakteri metanotrof BGM 1 –
SKM 14 dan pereduksi N2O (C). Faktor pupuk anorganik N terdiri atas empat
taraf yaitu pupuk N 25% dosis rekomendasi (0.625 g per pot ≈ 62.5 kg/ha) (1), pupuk N 50% dosis rekomendasi (1.25 g per pot ≈ 125 kg/ha) (2), pupuk N 75% dosis rekomendasi (1.875 g per pot ≈ 166.67 kg/ha) (3), dan pupuk N 100% dosis rekomendasi (2.5 g per pot ≈ 250 kg/ha) (4). Faktor sistem pengairan terdiri dari dua taraf yaitu tergenang (T) dan macak-macak (M). Percobaan dilakukan dengan menggunakan empat ulangan.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007, Minitab 14.12.0, dan SAS 9.1.3 Services Pack 3 for Windows. Data-data dianalisis melalui sidik ragam, dengan analisis lanjutan menggunakan Duncan's Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5%.
Pelaksanaan Percobaan
Peremajaan isolat bakteri dilakukan dengan menumbuhkan kembali isolat bakteri sesuai dengan media tumbuhnya (Lampiran 1). Isolat bakteri metanotrof diremajakan pada media agar Nitrate Mineral Salt (NMS) + 1% metanol. Isolat Azotobacter dan Azospirillum masing-masing diremajakan pada media agar NMS + 1% sukrosa dan media NMS + 1% asam malat. Isolat BL 1 dan BL 2
(13)
10
diremajakan pada media denitrifikasi padat. Masing-masing biakan kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 3-7 hari. Bakteri-bakteri hasil peremajaan dikulturkan dalam media cair sesuai jenisnya.Kultur kemudian diinkubasi selama 5-7 hari pada penangas bergoyang dalam suhu ruang (± 37 oC).
Tanah yang digunakan adalah tanah Latosol dengan pH 5.6 (agak masam), kandungan bahan organik C 2.39 % (sedang), bahan organik N-total 0.2 % (rendah), kapasitas tukar kation tanah 17.28 me/100g (sedang), dan kejenuhan basa 37.96 % (rendah). Tanah berasal dari lahan persawahan Darmaga Bogor. Sifat fisik dan kimia tanah disajikan pada Lampiran 2.
Tanah untuk penanaman padi disiapkan pada ember volume 8 kg. Tanah yang digunakan dilumpurkan kembali selama satu minggu. Sementara itu, benih tanaman padi varietas Ciherang disemai selama tujuh hari, kemudian ditanam pada ember yang telah berisi media tanah dengan satu tanaman untuk setiap ember.
Percobaan I. Inokulasi bakteri terhadap tanaman padi yang mendapat perlakuan PB15 dan PB19 dilakukan pada saat tanaman berumur 10 HST masing-masing sebanyak 1 ml bakteri (108 sel/ml). Perlakuan PB15 dan PB19 ini tidak ditambahkan pupuk anorganik. Penambahan pupuk anorganik juga tidak dilakukan pada perlakuan kontrol. Pupuk anorganik diberikan pada perlakuan PU100 dan PU50. Pupuk P dan K dengan dosis standar standar (50 P2O5/ha dan
50 kg K2O/ha) diberikan pada umur 25 HST. Pupuk P dan K yang digunakan
adalah pupuk tunggal dalam bentuk SP36 dan KCl. Pada umur 35 HST dilakukan pemberian pupuk N (Urea) sesuai dengan perlakuan (PU100 = 100% = 250 kg N/ha, PU50 = 50% = 125 kg N/ha).
Percobaan II. Dosis dan waktu inokulasi bakteri dan pemberian pupuk P, K, dan N dilakukan seperti pada Percobaan I. Pada Percobaan II diterapkan kombinasi perlakuan antara pemberian pupuk anorganik dan pupuk bakteri yang disesuaikan dengan perlakuan pada rancangan percobaan.
Dosis rekomendasi pemberian pupuk anorganik berdasarkan rekomendasi Kalender Tanam Kabupaten Bogor (Litbang 2012). Waktu inokulasi bakteri berdasarkan pada kondisi fisiologis tanaman padi dan mikroorganisme lokal (Lu-sheng et al. 2005).
(14)
Perlakuan sistem pengairan pada Percobaan I dan II dimulai pada saat tanam. Kondisi tergenang diberikan sesuai dengan kondisi pada budidaya padi konvensional dengan tingkat genangan rata-rata 5 cm dari permukaan tanah. Kondisi macak-macak merupakan kondisi air pada media tanam dengan mengikuti sistem pengairan dari budidaya padi System of Rice Intensification (SRI).
Tanaman padi kemudian dipelihara sampai panen. Peubah yang diamati meliputi peubah vegetatif dan generatif tanaman padi serta gas CH4 dan N2O.
Peubah vegetatif padi yang diamati adalah tinggi tanaman, bobot basah, dan bobot kering tanaman padi, sedangkan peubah generatif padi yang diamati adalah jumlah anakan produktif, jumlah gabah isi per malai, dan bobot 1000 butir gabah.
Gas CH4 dan N2O dikumpulkan dengan menggunakan sungkup statis
tertutup pada tanaman padi. Sampel gas sebanyak 10 ml diambil dengan menggunakan syringe dan dimasukkan ke dalam tabung vakum. Sampel gas diambil pada saat setelah penyungkupan (t0), menit ke 180 (t1), menit ke 360 (t2),
dan menit ke 540 (t3). Pada Percobaan II, sampel gas diambil pada saat setelah
penyungkupan (t0) dan menit ke 540 (t1). Fluks CH4 dan N2O dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
) 2 . 273 (
2 . 273
T x
mV mW x Ach Vch x dt dc F
(Hou et al. 2000)
Keterangan:
F = Fluks gas CH4 (mg/m2/menit), fluks gas N2O (µg/m2/menit)
dc/dt = Perbedaan konsentrasi CH4 per waktu (ppm/menit), perbedaan konsentrasi N2O per waktu (ppb/menit)
Vch = Volume sungkup (m3) Ach = Luas sungkup (m2)
mW = Bobot molekul CH4 (mg), berat molekul N2O(mg) T = Suhu rata-rata selama pengambilan sampel (oC)
(15)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Percobaan I
Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Padi
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tinggi tanaman padi pada 75 hari setelah tanam (HST) tidak dipengaruhi oleh jenis pupuk dan sistem pengairan. Secara umum, dapat diketahui bahwa tinggi tanaman padi kontrol lebih rendah dibandingkan perlakuan lain dalam kondisi tergenang dan macak-macak. Tinggi tanaman padi pada berbagai perlakuan pemupukan dan sistem pengairan ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1 Grafik hubungan antara tinggi tanaman padi pada berbagai perlakuan pemupukan. A: kondisi tergenang. B: kondisi macak-macak. Error bar menunjukkan standard error dari rata-rata.
0 20 40 60 80 100
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Ti
n
ggi
(c
m
)
hari setelah tanam (HST) A
PU100 PU50 PB15
PB19 PMA Kontrol
0 20 40 60 80 100
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Ti
n
ggi
(c
m
)
hari setelah tanam (HST) B
PU100 PU50 PB15
(16)
Tinggi tanaman padi varietas Ciherang dalam penelitian ini diketahui lebih rendah dibandingkan deskripsi padi varietas Ciherang menurut BB Padi (2010). Hal ini diduga berkaitan dengan adanya kerusakan akar ketika penyungkupan untuk analisa CH4. Akar diketahui berperan penting dalam penyerapan air dan
hara mineral. Air digunakan tanaman untuk menjaga tekanan turgor sel dan berbagai media proses fisiologi lain (Taiz & Zeiger 2002). Sementara hara mineral digunakan dalam berbagai proses metabolisme untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Selain itu, tidak dilakukan pemberian pupuk dasar menyebabkan tidak cukup hara untuk menyokong pertumbuhan cepat pada awal pertumbuhan padi.
Gambar 2 dan 3 menunjukkan bobot basah dan bobot kering tajuk tanaman padi. Faktor yang diujikan tidak berpengaruh terhadap hasil bobot basah dan bobot kering tajuk tanaman padi. Adanya interaksi menunjukkan pengaruh faktor utama lebih lemah terhadap hasil (bobot basah dan bobot kering tajuk tanaman padi) (Quinn & Keough 2002). Dengan kata lain, kedua faktor saling berinteraksi dan mempengaruhi hasil bobot basah atau bobot kering tajuk tanaman padi.
Gambar 2 Bobot basah tajuk tanaman padi. Error bar menunjukkan standard error dari rata-rata. Sidik ragam dua arah menunjukkan pengaruh nyata interaksi antara jenis pupuk dan sistem pengairan (p < 0.05).
Gambar 3 Bobot kering tajuk tanaman padi. Error bar menunjukkan standard error dari rata-rata. Sidik ragam dua arah menunjukkan pengaruh nyata interaksi antara jenis pupuk dan sistem pengairan (p < 0.05).
0 20 40 60 80 100
PU100 PU50 PB15 PB19 PMA Kontrol
B
o
b
o
t
B
as
ah
(g)
Perlakuan
Tergenang Macak-macak
0 5 10 15 20 25
PU100 PU50 PB15 PB19 PMA Kontrol
B
o
b
o
t
K
e
r
in
g
(g)
Perlakuan
(17)
14
Gambar 2 dan 3 menunjukkan bahwa pemberian pupuk anorganik (PU100 dan PU50) memberikan hasil bobot basah dan bobot kering tajuk yang lebih tinggi dibanding pupuk bakteri dan kontrol. Bobot basah dan bobot kering tajuk tanaman padi pada pemberian pupuk anorganik lebih tinggi pada kondisi macak-macak dibandingkan tergenang. Bobot basah dan kering tajuk tanaman padi perlakuan PU50 lebih tinggi pada kondisi macak-macak dibanding tergenang dan berbeda nyata. Hal ini berarti pengairan macak-macak dapat meningkatkan bobot basah dan kering tajuk pada tanaman yang mendapat pupuk anorganik setengah dosis rekomendasi.
Pupuk bakteri PB19, PMA, dan kontrol memberikan hasil bobot basah dan bobot kering tajuk tanaman padi lebih tinggi pada kondisi tergenang. Bobot basah dan bobot kering tajuk tanaman padi perlakuan PMA dan kontrol tidak berbeda nyata pada kedua sistem pengairan. Hal sebaliknya terjadi pada bobot basah dan bobot kering tajuk tanaman padi perlakuan PB19. Sementara itu, bobot basah dan bobot kering tajuk tanaman padi perlakuan PB15 tidak berbeda nyata pada kedua sistem pengairan. Secara umum, faktor tinggi tanaman diduga berpengaruh pada bobot basah dan bobot kering tajuk tanaman padi.
Tinggi tanaman dan pembentukan anakan merupakan indikator pertumbuhan sebagai hasil interaksi dari proses-proses fotosintesis, respirasi, dan transport hara jarak jauh (Lambers et al. 2008), yang selanjutnya dapat mempengaruhi bobot basah dan bobot kering tajuk tanaman padi. Dalam penelitian ini indikator pertumbuhan tersebut terutama dipengaruhi oleh ketersediaan hara.
Perkembangan Reproduktif Tanaman Padi
Gambar 4 menunjukkan jumlah anakan produktif tanaman padi. Berdasarkan Gambar 4, perlakuan PB15 dan PU50 memiliki jumlah anakan produktif lebih banyak pada kondisi macak-macak dibanding tergenang. Hal sebaliknya terjadi pada perlakuan Kontrol dan PB19. Sementara itu, jumlah anakan produktif perlakuan PMA dan PU 100 tidak berbeda pada kondisi tergenang dan macak-macak.
(18)
Gambar 4 Jumlah anakan produktif tanaman padi. Error bar menunjukkan standard
error dari rata-rata. Sidik ragam dua arah menunjukkan pengaruh nyata
interaksi antara jenis pupuk dan sistem pengairan (p < 0.05).
Jumlah anakan akan berpengaruh terhadap jumlah anakan produktif. Jumlah anakan dipengaruhi oleh kadar nitrogen dalam tanaman dan dosis pupuk nitrogen yang diberikan (Pirngadi & Abdulrahman 2005). Pada perlakuan pupuk bakteri, ketersediaan nutrisi dipengaruhi oleh tanah dan mikroorganisme lokal di dalamnya. Mikroorganisme tanah ini terutama berperan dalam dekomposisi bahan organik, mineralisasi, dan proses daur materi (Buée et al. 2009). Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa, pupuk bakteri saja tidak mampu menggantikan peran pupuk anorganik.
Jumlah gabah per malai dan bobot 1000 butir gabah disajikan pada Gambar 5. Jenis pupuk diketahui mempengaruhi jumlah gabah per malai berdasarkan sidik ragam. Sementara itu, perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap bobot 1000 butir gabah. Dari hasil pengamatan parameter generatif padi, diketahui bahwa pupuk anorganik (PU100 dan PU50) secara umum berpengaruh pada fase generatif padi yang lebih baik dibandingkan pupuk bakteri (PB15, PB19, dan PMA) dan kontrol.
Gambar 5 Jumlah gabah per malai tanaman padi. Error bar menunjukkan standard error dari rata-rata. Sidik ragam dua arah menunjukkan pengaruh nyata jenis pupuk (p < 0.05).
0 1 2 3 4 5 6
PU100 PU50 PB15 PB19 PMA Kontrol
Ju m lah A n ak an P r o d u k ti f Jenis Pupuk Tergenang Macak-macak 0 200 400 600 800
PU100 PU50 PB15 PB19 PMA Kontrol
Ju m lah G ab ah p e r M al ai Jenis Pupuk Tergenang Macak-macak
(19)
16
Jumlah gabah per malai tanaman padi lebih tinggi pada jenis pupuk anorganik dibanding pupuk bakteri. Ketersediaan nitrogen dalam tanah akibat pemupukan N berpengaruh pada perkembangan jumlah gabah per malai. Ketersediaan nitrogen pada tanah dengan inokulasi bakteri diduga tidak cukup untuk meningkatkan jumlah gabah per malai. Kekurangan nitrogen pada saat pembentukan anakan diketahui akan penghambat pembentukan malai. Penghambatan pembentukan malai akan menurunkan tingkat ketahanan padi terhadap gulma (Pramudyani & Djufry 2006).
Bobot 1000 butir gabah tidak dipengaruhi oleh perlakuan (Gambar 6). Hal ini sejalan dengan Pirngadi & Abdulrahman (2005) yang menyatakan bahwa dengan berbagai kondisi pemupukan, bobot 1000 butir gabah tidak terpengaruh. Bobot 1000 butir gabah lebih berkaitan dengan faktor genetis daripada faktor lingkungan.
Gambar 6 Bobot 1000 butir gabah tanaman padi. Error bar menunjukkan standard error dari rata-rata.
Pemberian pupuk anorganik dan pengolahan tanah pada pertanian padi diketahui berpengaruh pada komposisi dan dinamika populasi mikroorganisme lokal. Pemberian pupuk nitrogen berlebih akan meningkatkan hanyutan nitrogen menuju badan air dan mempengaruhi siklus materi oleh mikroorganisme di dalamnya (Millar et al. 2010). Pengolahan tanah diketahui mampu mereduksi partikel tanah sehingga meningkatkan jumlah bakteri pada tiap partikel tanah (Zhang et al. 2007). Selama pengolahan tanah, terjadi perubahan kondisi oksigen tanah yang akan merubah populasi dan jenis bakteri tanah (Doi et al. 2007).
0 5 10 15 20 25 30
PU100 PU50 PB15 PB19 PMA Kontrol
B
o
b
o
t
1000
B
u
ti
r
G
ab
ah
(g)
Jenis Pupuk
(20)
Dinamika populasi mikroorganisme ini berkaitan dengan produksi padi dan emisi GRK (Macalady et al. 2002).
Pengamatan Gas Rumah Kaca Metan
Fluks CH4 setelah pemupukan dengan pupuk bakteri dan pupuk anorganik
serta saat akhir masa vegetatif ditunjukkan pada Gambar 7. Fluks CH4 yang
bernilai positif menunjukkan adanya emisi CH4 menuju atmosfer. Fluks CH4 yang
bernilai negatif menunjukkan adanya serapan CH4 oleh aktivitas metanotrof.
Gambar 7 Fluks CH4 tanaman padi pada saat setelah pemupukan (atas) dan akhir masa vegetatif (bawah). T: tergenang, M: macak-macak. Error bar menunjukkan
standard error dari rata-rata. Sidik ragam dua arah menunjukkan pengaruh
nyata jenis pupuk (p < 0.05) saat setelah pemupukan.
Berdasarkan Gambar 7 (atas), perlakuan PU50 menghasilkan fluks CH4
paling tinggi (7.9E-04 mg/m2/menit) yang diikuti oleh diikuti PU50 (0.4E-04 mg/m2/menit). Pupuk bakteri PB15, PB19, dan PMA menghasilkan fluks CH4
-0.0015 -0.001 -0.0005 0 0.0005 0.001 0.0015 P U 100 T P U 100 M P U 50 T P U 50 M P B 15 T P B 15 M P B 19 T P B 19 M P M A T P M A
M K T
K M F lu k s C H4 (m g/ m 2/m e n it ) Perlakuan -0.05 -0.04 -0.03 -0.02 -0.01 0.00 0.01 0.02 P U 100 T P U 100 M P U 50 T P U 50 M P B 15 T P B 15 M P B 19 T P B 19 M P M A T P M A
M K T
K M F lu k s C H4 (m g/ m 2/m e n it ) Perlakuan
(21)
18
lebih rendah dibandingkan perlakuan pupuk anorganik dan berada dalam satu grup menurut DMRT. Sementara itu, kontrol memberikan fluks CH4 yang paling
rendah. Pada akhir masa vegetatif, perlakuan tidak memberikan pengaruh pada fluks CH4 yang dihasilkan.
Gas CH4 diemisikan dari semua perlakuan pupuk anorganik pada kondisi
tergenang dan macak-macak saat setelah pemupukan. Perlakuan PU50 pada kondisi tergenang dan macak-macak menghasilkan fluks CH4 yang lebih tinggi
dibandingkan PU100. Pemberian pupuk anorganik dan budidaya padi sistem tergenang diketahui merupakan salah satu penyebab dari peningkatan emisi CH4
(Cuhel et al. 2010). Pemupukan anorganik diketahui mampu mengubah komunitas bakteri pada tanah fraksi clay dan meningkatkan aktivitas metanogen pada tanah fraksi coarse (Zhang et al. 2007). Menurut Das dan Adhya (2012), kondisi tergenang diketahui menurunkan potensi redoks tanah, meningkatkan mineralisasi karbon, dan meningkatkan populasi metanogen.
Pupuk bakteri PMA diketahui mampu mereduksi CH4 paling baik dan
diikuti oleh PB19 pada kondisi tergenang. Sementara itu, perlakuan PB15 tidak mampu mereduksi emisi CH4. Hal ini diduga berkaitan dengan ketersediaan
oksigen yang rendah pada kondisi tergenang yang menurunkan efektivitas BGM1 dan BGM5 dalam perlakuan PB15. Selain itu, kondisi tergenang memungkinkan pertumbuhan metanogen lebih baik dibanding metanotrof. Pada kondisi macak-macak, PB15 diketahui mampu mereduksi CH4 paling baik, diikuti PMA dan
PB19.
Berdasarkan uji laboratorium (Rusmana & Akhdiya 2009), isolat BGM 9 memiliki aktivitas reduksi CH4 yang paling baik. Perbedaan dengan percobaan ini
diduga isolat BGM 9 tidak mampu berkompetisi dengan mikroorganisme lokal dalam memperebutkan nutrisi. Perbedaan nutrisi dan lingkungan dalam kondisi laboratorium dan lapang mengakibatkan perbedaan aktivitas mikroorganisme.
Perlakuan kontrol merupakan perlakuan yang tidak dilakukan penambahan pupuk anorganik maupun bakteri di dalamnya. Nilai fluks CH4 negatif diperoleh
pada perlakuan kontrol kondisi tergenang dan macak-macak. Hal ini diduga akibat dari aktivitas metanotrof lokal di dalam tanah yang mampu menggunakan CH4
(22)
diketahui memiliki fluks CH4 yang lebih rendah dibanding kondisi tergenang.
Ketersediaan oksigen yang rendah pada kondisi tergenang diduga berpengaruh kepada kinerja metanotrof lokal dalam mengurangi emisi CH4. Metanotrof lokal
bekerja mengoksidasi CH4 sebagai sumber karbon dan sumber energi.
Pada akhir masa vegetatif, terjadi penurunan fluks CH4 secara umum dengan
pola yang berbeda. Menurut Das dan Adhya (2012), emisi CH4 akan menurun
pada saat menjelang masa generatif. Hal ini berkaitan suksesi mikroorganisme yang terpengaruh oleh turunnya kadar oksigen selama masa pertumbuhan padi. Tidak terdapat pola fluks CH4 yang sama pada setiap perlakuan. Hal ini diduga
akibat perubahan populasi mikroorganisme yang dipengaruhi oleh kondisi hara tanah dan rizosfer tanaman padi yang berbeda pada setiap perlakuan.
Secara umum, pemberian pupuk anorganik menghasilkan emisi CH4 dari
tanah menuju atmosfer (nilai fluks positif). Sebaliknya, pemberian jenis pupuk bakteri menyerap emisi CH4 dalam tanah (nilai fluks negatif atau lebih rendah).
Percobaan II
Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Padi
Pertumbuhan tinggi tanaman padi pada Percobaan II disajikan pada Lampiran 3. Tinggi tanaman padi pada akhir masa pengamatan (105 HST) disajikan pada Gambar 8. Gambar 8 menunjukkan bahwa kombinasi bakteri metanotrof BGM 5 - BGM 9 - penambat N2 diketahui menghasilkan tinggi
tanaman yang lebih tinggi dibandingkan kombinasi bakteri metanotrof BGM 1 – SKM 14 - penambat N2O dan tanpa bakteri pada kondisi macak-macak dan
tergenang. Kombinasi bakteri metanotrof BGM 5 - BGM 9 - penambat N2
diketahui menghasilkan tinggi tanaman yang lebih tinggi pada kondisi macak-macak dibanding tergenang. Pada kondisi tergenang kombinasi bakteri metanotrof BGM 5 - BGM 9 - penambat N2 menghasilkan tinggi tanaman paling tinggi pada
100% dosis pupuk N. Tidak terdapat pola yang seragam terkait kombinasi bakteri metanotrof BGM 1 – SKM 14 - penambat N2O dan tanpa bakteri dengan pupuk
(23)
20
Keterangan :
A : tanpa bakteri, B : bakteri metanotrof BGM 5 - BGM 9 - penambat N2, C: kombinasi
bakteri metanotrof BGM 1 – SKM 14 - pereduksi N2O; 1 : 25% dosis N, 2 : 50% dosis N, 3
: 75% dosis N, 4 : 100% dosis N; M : macak-macak, T : tergenang
Gambar 8 Tinggi tanaman padi pada 105 HST. Error bar menunjukkan standard error dari rata-rata. Sidik ragam tiga arah menunjukkan pengaruh nyata pupuk bakteri (p < 0.05) dan interaksi antara pupuk bakteri, pupuk anorganik N, dan sistem pengairan (p < 0.05).
Tanah yang digunakan diketahui memiliki kandungan bahan organik N rendah. Dilihat dari data tinggi tanaman pada 105 HST, suplai nitrogen tanaman diketahui dapat tercukupi oleh pemberian pupuk anorganik dan aktivitas bakteri penambat N2. Selain itu, isolat bakteri metanotrof BGM 5 - BGM 9 diketahui
mampu melakukan penambatan N2 (Sagala 2009). Jika dibandingkan dengan
kondisi pengairan, kondisi macak-macak memungkinkan pertumbuhan bakteri metanotrof dan penambat N2 lebih baik karena ketersediaan oksigen. Dapat
dikatakan bahwa pemenuhan kebutuhan nitrogen tanaman telah tercukupi oleh pupuk nitrogen dan bantuan isolat bakteri metanotrof dan penambat N2 tersebut.
Gambar 9 menunjukkan bobot basah dan bobot kering tajuk tanaman padi. Berdasarkan Gambar 9, kombinasi bakteri metanotrof BGM 5 - BGM 9 - penambat N2 dan pupuk NPK dengan N 50% dosis rekomendasi diketahui
memiliki rata-rata bobot basah dan bobot kering tajuk tanaman yang lebih tinggi dibandingkan yang lain. Sementara itu, kondisi sistem pengairan tidak memberikan pengaruh terhadap bobot basah dan bobot kering tajuk tanaman padi.
75 80 85 90 95 100 105 A
1M A1T
A
2M A2T
A
3M A3T
A
4M A4T
B
1M B1T
B
2M B2T
B
3M B3T
B
4M B4T
C
1M C1T
C
2M C2T
C
3M C3T
C
4M C4T
T in ggi 105 H S T ( c m ) Perlakuan
(24)
Keterangan :
A : tanpa bakteri, B : bakteri metanotrof BGM 5 - BGM 9 - penambat N2, C: kombinasi
bakteri metanotrof BGM 1 – SKM 14 - pereduksi N2O; 1 : 25% dosis N, 2 : 50% dosis N, 3
: 75% dosis N, 4 : 100% dosis N; M : macak-macak, T : tergenang
Gambar 9 Bobot basah (atas) dan bobot kering (bawah) tajuk tanaman padi. Error bar menunjukkan standard error dari rata-rata. Sidik ragam tiga arah menunjukkan pengaruh nyata pupuk bakteri dan pupuk anorganik N (p < 0.05) baik pada bobot basah maupun bobot kering.
Pertambahan tinggi tanaman dipengaruhi oleh pupuk bakteri dan interaksi ketiga faktor yang diujikan. Bobot basah dan bobot kering dipengaruhi oleh pupuk bakteri dan pupuk anorganik. Diduga bobot basah dan bobot kering berkaitan dengan pembentukan anakan tanaman padi. Jumlah anakan yang lebih rendah akan berpengaruh pada jumlah anakan produktif yang lebih rendah (Gambar 10).
Perkembangan Reproduktif Tanaman Padi
Perkembangan reproduktif tanaman padi diketahui dari pengamatan komponen produksi padi. Komponen produksi padi disajikan pada Gambar 10. Komponen produksi tersebut meliputi jumlah anakan produktif, jumlah gabah per malai, dan bobot 1000 butir gabah.
0 20 40 60 80 100 A
1M A1T
A
2M A2T
A
3M A3T
A
4M A4T
B
1M B1T
B
2M B2T
B
3M B3T
B
4M B4T
C1M C1T C2M C2T C3M C3T C4M C4T
B o b o t B as ah (g) Perlakuan 0 5 10 15 20 A
1M A1T
A
2M A2T
A
3M A3T
A
4M A4T
B
1M B1T
B
2M B2T
B
3M B3T
B
4M B4T
C1M C1T C2M C2T C3M C3T C4M C4T
B o b o t K e r in g (g) Perlakuan
(25)
22
Keterangan :
A : tanpa bakteri, B : bakteri metanotrof BGM 5 - BGM 9 - penambat N2, C: kombinasi
bakteri metanotrof BGM 1 – SKM 14 - pereduksi N2O; 1 : 25% dosis N, 2 : 50% dosis N, 3
: 75% dosis N, 4 : 100% dosis N; M : macak-macak, T : tergenang
Gambar 10 Jumlah anakan produktif, jumlah gabah per malai, dan bobot 1000 butir gabah tanaman padi. Error bar menunjukkan standard error dari rata-rata. Sidik ragam tiga arah menunjukkan pengaruh nyata pupuk bakteri, pupuk anorganik N, dan sistem pengairan (p < 0.05) pada jumlah anakan produktif; pupuk bakteri dan pupuk anorganik N (p < 0.05) pada bobot 1000 butir gabah.
Gambar 10 menunjukkan bahwa kombinasi bakteri metanotrof BGM 5 - BGM 9 - penambat N2, pupuk NPK dengan N 50% dosis rekomendasi, dan
kondisi macak-macak serta tergenang diketahui memiliki rata-rata jumlah anakan produktif yang lebih tinggi dibandingkan yang lain. Hal ini sejalan dengan
0 2 4 6 8 10 12 A
1M A1T
A
2M A2T
A
3M A3T
A
4M A4T
B
1M B1T
B
2M B2T
B
3M B3T
B
4M B4T
C1M C1T C2M C2T C3M C3T C4M C4T
Ju m lah A n ak an P r o d u k ti f Perlakuan 0 20 40 60 80 100 120 140 160 A
1M A1T
A
2M A2T
A
3M A3T
A
4M A4T
B
1M B1T
B
2M B2T
B
3M B3T
B
4M B4T
C1M C1T C2M C2T C3M C3T C4M C4T
Ju m lah G ab ah p e r M al ai Perlakuan 0 5 10 15 20 25 30 35 40 A
1M A1T
A
2M A2T
A
3M A3T
A
4M A4T
B
1M B1T
B
2M B2T
B
3M B3T
B
4M B4T
C1M C1T C2M C2T C3M C3T C4M C4T
B o b o t 1000 B u ti r G ab ah (g) Perlakuan
(26)
pengaruh faktor-faktor tersebut pada bobot basah dan bobot kering tajuk tanaman padi. Sistem pengairan macak-macak memberikan hasil jumlah anakan produktif dibandingkan tergenang.
Kombinasi bakteri metanotrof BGM 5 - BGM 9 - penambat N2 danpupuk
NPK dengan N 100% dosis rekomendasi diketahui memiliki rata-rata bobot 1000 butir gabah yang lebih tinggi dibandingkan yang lain. Jika dibandingkan dengan jumlah anakan produktif, kombinasi bakteri metanotrof BGM 5 - BGM 9 - penambat N2 mampu meningkatkan bobot 1000 butir gabah dan jumlah anakan
produktif.
Berdasarkan analisis komponen vegetatif dan generatif padi, dapat disimpulkan bahwa kombinasi bakteri metanotrof BGM 5 - BGM 9 - penambat N2
mampu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan padi pada pupuk anorganik NPK dengan N 50% dan 100% dosis rekomendasi. Keduanya berkaitan dengan suplai nitrogen yang akan digunakan dalam berbagai metabolisme pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi. Pada karakter generatif, hara nitrogen secara umum berpengaruh pada persentase serbuk sari fertil, persentase gabah bernas dan produksi gabah kering giling (Limbongan et al. 2009).
Pengamatan Gas Rumah Kaca CH4 dan N2O
Pengamatan GRK pada Percobaan II dilakukan pada fluks CH4 dan N2O.
Fluks CH4 pada saat setelah pemupukan ditunjukkan pada Gambar 11. Pada saat
setelah pemupukan, fluks CH4 pada tanaman padi perlakuan tanpa bakteri lebih
tinggi dibandingkan dengan perlakuan pupuk bakteri pada berbagai dosis pupuk anorganik N. Sistem pengairan macak-macak menghasilkan fluks CH4 dari
tanaman padi yang lebih rendah dibandingkan kondisi tergenang. Fluks CH4
tanaman padi dengan pupuk NPK dengan N 50% dosis rekomendasi (2) dan pupuk NPK dengan N 75% dosis rekomendasi (3) lebih tinggi pada kondisi tergenang dibandingkan dua dosis N pupuk NPK yang lain dan sebaliknya pada kondisi macak-macak.
(27)
24
Keterangan :
A : tanpa bakteri, B : bakteri metanotrof BGM 5 - BGM 9 - penambat N2, C: kombinasi
bakteri metanotrof BGM 1 – SKM 14 - penambat N2O; 1 : 25% dosis N, 2 : 50% dosis N, 3
: 75% dosis N, 4 : 100% dosis N; M : macak-macak, T : tergenang
Gambar 11 Fluks CH4 tanaman padi pada saat setelah pemupukan pada berbagai dosis N pupuk anorganik dan sistem pengairan. Error bar menunjukkan standard
error dari rata-rata. Sidik ragam tiga arah menunjukkan pengaruh nyata
pupuk bakteri dan sistem pengairan (p < 0.05) serta interaksi pupuk anorganik N dengan sistem pengairan (p < 0.05).
Fluks CH4 dari tanaman padi atau lahan persawahan berkaitan dengan
metanogenesis dan oksidasi CH4 oleh metanotrof. Oksidasi CH4 oleh metanotrof
diketahui meningkat pada kondisi tidak tergenang (Das & Adhya 2012). Kondisi tergenang berkaitan dengan rendahnya kadar oksigen yang kurang baik bagi pertumbuhan metanotrof yang dikenal sebagai mikroorganisme aerob obligat (Roslev & King 1994) namun meningkatkan populasi metanogen (Das & Adhya 2012). Introduksi bakteri metanotrof dalam penelitian ini menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan oksidasi CH4 yang diduga dilakukan bersama dengan
bakteri metanotrof lokal di sekitar rizosfer padi. Hal ini terlihat dari fluks CH4
pada kondisi tanpa bakteri (A) yang lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk bakteri (B dan C).
Terjadi kenaikan fluks CH4 dari tanaman padi pada saat akhir masa
vegetatif. Fluks CH4 dari tanaman padi pada saat akhir masa vegetatif ditunjukkan
pada Gambar 12. Fluks CH4 tanaman padi pada saat akhir masa vegetatif secara
umum lebih tinggi dibandingkan saat setelah pemupukan. Das dan Adhya (2012) menyebutkan bahwa emisi CH4 menurun pada saat menjelang masa generatif.
Perbedaan ini diduga berkaitan dengan pemberian pupuk anorganik N yang mempengaruhi komunitas bakteri yang diberikan. Pemberian pupuk nitrogen diketahui berpengaruh pada siklus materi oleh mikroorganisme di dalamnya
0 0.00002 0.00004 0.00006 0.00008 0.0001 0.00012
1M 1T 2M 2T 3M 3T 4M 4T
F
lu
k
s
C
H4
(m
g/
m
2/m
e
n
it
)
Dosis Pupuk Anorganik N dan Sistem Pengairan
(28)
(Millar et al. 2010). Hal ini dapat diketahui dari adanya interaksi antara pupuk bakteri dengan pupuk anorganik N. Tidak terdapat pola fluks CH4 yang sama pada
setiap perlakuan. Hal ini diduga akibat perubahan populasi mikroorganisme yang dipengaruhi oleh kondisi hara tanah dan rizosfer tanaman padi yang berbeda pada setiap perlakuan. Dinamika populasi mikroorganisme ini diketahui berkaitan dengan emisi GRK menuju atmosfer (Macalady et al. 2002).
Keterangan :
A : tanpa bakteri, B : bakteri metanotrof BGM 5 - BGM 9 - penambat N2, C:
kombinasi bakteri metanotrof BGM 1 – SKM 14 - penambat N2O; 1 : 25% dosis N,
2 : 50% dosis N, 3 : 75% dosis N, 4 : 100% dosis N; M : macak-macak, T : tergenang
Gambar 12 Fluks CH4 tanaman padi pada akhir masa vegetatif pada berbagai dosis N pupuk anorganik dan sistem pengairan. Error bar menunjukkan standard
error dari rata-rata. Sidik ragam tiga arah menunjukkan pengaruh nyata
masing-masing faktor (p < 0.05), interaksi pupuk bakteri dan pupuk anorganik N (p < 0.05), serta interaksi ketiga faktor (p < 0.05).
Interaksi antara ketiga faktor berpengaruh pada fluks CH4 pada akhir masa
vegetatif. Pada kondisi macak-macak, perlakuan tanpa bakteri memberikan fluks CH4 tertinggi pada 75% dosis pupuk N. Fluks CH4 dari perlakuan kombinasi
bakteri metanotrof BGM 1 – SKM 14 – pereduksi N2O tidak dipengaruhi oleh
dosis pupuk N dan lebih rendah dibanding tanpa bakteri. Sementara itu, fluks CH4
terendah kombinasi bakteri metanotrof BGM 5 - BGM 9 - penambat N2 diperoleh
pada 100% dosis pupuk N. Pada kondisi tergenang, pupuk bakteri memberikan hasil fluks CH4 yang lebih rendah daripada tanpa bakteri pada semua dosis pupuk
N kecuali kombinasi bakteri metanotrof BGM 1 – SKM 14 – pereduksi N2O pada
50% dosis pupuk N. Tidak terdapat pola mengenai hubungan kenaikan dosis pupuk anorganik N dan fluks CH4 pada kondisi tergenang dan macak-macak.
-0.00005 0 0.00005 0.0001 0.00015
1M 1T 2M 2T 3M 3T 4M 4T
F
lu
k
s
C
H4
(m
g/
m
2/m
e
n
it
)
Dosis Pupuk Anorganik N dan Sistem Pengairan
(29)
26
Namun, kondisi macak-macak diketahui memiliki fluks CH4 yang lebih rendah
dibandingkan kondisi tergenang.
Percobaan I menunjukkan bahwa pada akhir masa vegetatif terjadi penurunan fluks CH4 dari tanaman padi secara umum dan terjadi serapan CH4
(fluks negatif).Pada Percobaan II, nilai fluks negatif tidak ditemukan dan terjadi kenaikan fluks CH4.Namun,secara umumterjadiaktivitas reduksi emisi CH4 oleh
bakteri metanotrof yang digunakan pada Percobaan II jika dibandingkan dengan tanpa pemberian bakteri metanotrof.
Pada akhir masa vegetatif, tidak terdapat pola mengenai hubungan kenaikan dosis pupuk anorganik N dan fluks CH4 tanaman padi pada kondisi tergenang dan
macak-macak. Hal ini berbeda dengan Oenema & Velthof (2007) dan Pretty et al. (2002) yang menyatakan bahwa pengurangan pupuk nitrogen pada lahan pertanian akan mengurangi emisi CH4 menuju atmosfer. Namun, emisi CH4 berkaitan pula
dengan kultivar padi (Smith et al. 2007) dan jenis tanah (Zhang et al. 2007), sehingga memungkinkan produk emisi CH4 yang berbeda pada setiap kondisi
budidaya.
Fluks N2O tanaman padi pada saat setelah pemupukan ditunjukkan pada
Gambar 13. Aktivitas reduksi N2O pada tanaman padi tidak memiliki pola yang
seragam. Jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa bakteri pada setiap dosis pupuk N (A), aktivitas reduksi N2O kombinasi bakteri metanotrof BGM 1 – SKM
14 dan pereduksi N2O diketahui terjadi pada perlakuan NPK dengan N 25% dosis
rekomendasi kondisi macak-macak dan tergenang (1M, 1T), NPK dengan N 50% dosis rekomendasi kondisi macak-macak (2M), NPK dengan N 75% dosis rekomendasi kondisi tergenang (3T), dan NPK dengan N 100% dosis rekomendasi kondisi tergenang (4T). Selain itu terdapat pola yang menunjukkan bahwa fluks N2O lebih tinggi pada kondisi macak-macak dibandingkan tergenang.
(30)
Keterangan :
A : tanpa bakteri, B : bakteri metanotrof BGM 5 - BGM 9 - penambat N2, C: kombinasi
bakteri metanotrof BGM 1 – SKM 14 - penambat N2O; 1 : 25% dosis N, 2 : 50% dosis N, 3 :
75% dosis N, 4 : 100% dosis N; M : macak-macak, T : tergenang
Gambar 13 Fluks N2O tanaman padi pada saat setelah pemupukan pada berbagai dosis N pupuk anorganik dan sistem pengairan. Error bar menunjukkan standard
error dari rata-rata. Sidik ragam tiga arah menunjukkan pengaruh nyata
pupuk anorganik N dan sistem pengairan (p < 0.05), interaksi pupuk bakteri dan pupuk anorganik N (p < 0.05), serta interaksi ketiga faktor (p < 0.05).
Berdasarkan Gambar 13 terdapat kecenderungan turunnya fluks N2O seiring
dengan peningkatan dosis pupuk N. Sementara itu, secara umum kondisi macak-macak menghasilkan fluks N2O yang lebih tinggi dibandingkan tergenang. Pada
kondisi macak-macak, fluks N2O dari perlakuan kombinasi bakteri metanotrof
BGM 1 – SKM 14 dan pereduksi N2O cenderung tidak dipengaruhi oleh
perbedaan dosis pupuk N. Pada kondisi tergenang, tidak terdapat pola yang seragam yang dapat menyimpulkan pengaruh dosis pupuk N pada aktivitas reduksi fluks N2O. Namun, pada kondisi ini aktivitas reduksi fluks N2O tertinggi
oleh kombinasi bakteri metanotrof BGM 1 – SKM 14 dan pereduksi N2O
diperoleh pada 75% dosis pupuk N.
Fluks N2O tanaman padi pada akhir masa vegetatif ditunjukkan pada
Gambar 14. Aktivitas reduksi N2O dari tanaman padi tidak memiliki pola yang
seragam. Jika dibandingkan dengan kontrol pada setiap dosis pupuk N (A), aktivitas reduksi N2O dari faktor C (kombinasi bakteri metanotrof BGM 1 – SKM
14 dan pereduksi N2O) diketahui terjadi pada perlakuan NPK dengan N 25% dosis
rekomendasi kondisi macak-macak dan tergenang (1M dan 1T), NPK dengan N 50% dosis rekomendasi kondisi macak-macak (2M), dan NPK dengan N 100% dosis rekomendasi kondisi macak-macak dan tergenang (4M dan 4T).
-0.1 0.0 0.1 0.2
1M 1T 2M 2T 3M 3T 4M 4T
F
lu
k
s
N2
O
(µ
g/
m
2/m
e
n
it
)
Dosis Pupuk Anorganik N dan Sistem Pengairan
(31)
28
Keterangan :
A : tanpa bakteri, B : bakteri metanotrof BGM 5 - BGM 9 - penambat N2, C: kombinasi bakteri
metanotrof BGM 1 – SKM 14 - penambat N2O; 1 : 25% dosis N, 2 : 50% dosis N, 3 : 75% dosis
N, 4 : 100% dosis N; M : macak-macak, T : tergenang
Gambar 14 Fluks N2O tanaman padi pada akhir masa vegetatif pada berbagai dosis N pupuk anorganik dan sistem pengairan. Error bar menunjukkan standard
error dari rata-rata. Sidik ragam tiga arah menunjukkan pengaruh nyata
ketiga faktor (p < 0.05), interaksi pupuk bakteri dan pupuk anorganik N (p < 0.05), interaksi pupuk anorganik N dan sistem pengairan (p < 0.05), serta interaksi pupuk bakteri dan sistem pengairan (p < 0.05).
Terdapat interaksi pupuk bakteri dan pupuk anorganik N, interaksi pupuk anorganik N dan sistem pengairan, serta interaksi pupuk bakteri dan sistem pengairan yang berpengaruh terhadap fluks N2O pada akhir masa vegetatif.
Kondisi tergenang menghasilkan fluks N2O yang lebih rendah dibandingkan
macak-macak. Pada perlakuan pupuk bakteri, terdapat kenaikan fluks N2O seiring
dengan peningkatan dosis pupuk N.
Fluks N2O lebih tinggi pada kondisi macak-macak dibandingkan tergenang.
Kondisi macak-macak memiliki ketersediaan oksigen yang lebih tinggi. Kondisi oksigen inilah yang mempengaruhi pembentukan N2O (Oenema & Velthof 2007).
Hal yang sama terjadi pada lahan persawahan dengan pengaturan irigasi (tidak selalu tergenang) yang memiliki emisi N2O lebih besar dibandingkan lahan
persawahan tergenang (Yang et al. 2011).
Pemberian pupuk anorganik N berpengaruh pada aktivitas bakteri yang diberikan. Hal ini diduga berkaitan dengan siklus nitrogen yang dilakukan oleh berbagai mikroorganisme tanah di sekitar tanaman padi. Namun, pengaruh pasti dari dosis N yang diberikan ini belum diketahui terutama pada sistem genetik bakteri-bakteri yang berperan dalam siklus nitrogen (Baggs et al. 2010).
Aktivitas reduksi GRK CH4 dan N2O pada tanaman padi pada penelitian ini
terjadi dalam pola yang tidak seragam. Secara umum, bakteri metanotrof dan 0.00
0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60
1M 1T 2M 2T 3M 3T 4M 4T
F
lu
k
s
N2
O
(µ
g/
m
2/m
e
n
it
Dosis Pupuk Anorganik N dan Sistem Pengairan
(32)
pereduksi N2O mampu melakukan aktivitas reduksi CH4 dan N2O pada berbagai
dosis pupuk anorganik N. Kondisi macak-macak akan menurunkan emisi CH4 dan
sebaliknya meningkatkan emisi N2O.
Bakteri Metanotrof, Pereduksi N2O, dan Penambat N2 sebagai Pupuk Hayati Percobaan I menunjukkan pengaruh pupuk anorganik dan pupuk bakteri yang diberikan terpisah pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi serta emisi CH4 yang dihasilkan. Kedua dosis pupuk anorganik N (PU100 dan PU50)
diketahui menghasilkan bobot basah dan bobot kering tanaman padi, jumlah anakan produktif serta jumlah gabah per malai tanaman padi yang lebih tinggi dibanding pupuk bakteri (PB15, PB19, dan PMA). Percobaan I menunjukkan bahwa aplikasi pupuk bakteri yang memiliki aktivitas penambatan N2 saja tidak
cukup untuk menggantikan peran pupuk anorganik. Dalam berbagai aplikasi pupuk bakteri, biasanya dilakukan bersama dengan pupuk anorganik (Suriadikarta & Simanungkalit 2006).
Pengaruh pupuk anorganik dan pupuk bakteri yang digunakan bersamaan diketahui dari hasil Percobaan II. Hasil Percobaan II menunjukkan bahwa kombinasi bakteri metanotrof BGM 5 - BGM 9 - penambat N2 mampu
meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan padi pada pupuk anorganik NPK dengan N 50% dan 100% dosis rekomendasi. Berdasarkan hasil Percobaan II, pupuk bakteri mampu memacu pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi sehingga dapat digunakan sebagai landasan ilmiah produk pupuk hayati.
Pada penelitian ini, istilah pupuk bakteri (PB15, PB19, PMA, B, dan C) digunakan untuk membedakannya dengan pupuk anorganik (PU100, PU50, 1, 2, 3, dan 4). Pada dasarnya, penggunaan istilah pupuk bakteri dalam penelitian ini memiliki arti yang sama dengan pupuk hayati. Istilah pupuk hayati diketahui digunakan sebagai nama kolektif untuk semua kelompok fungsional mikroorganisme tanah yang dapat berfungsi sebagai penyedia hara dalam tanah, sehingga dapat tersedia bagi tanaman (Suriadikarta & Simanungkalit 2006). Sementara itu, pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman. Dalam penelitian ini tidak digunakan bahan organik tambahan seperti
(33)
30
kompos, jerami padi, atau pupuk kandang. Dengan kata lain, penelitian ini tidak menggunakan pupuk organik.
Bakteri penambat N2 (Azotobacter sp. dan Azospirillum sp.) yang digunakan
dalam penelitian ini adalah jenis bakteri yang umum digunakan sebagai pupuk hayati. Produk pupuk hayati jenis bakteri ini umum menggunakan bahan cair, gambut, atau kotoran ayam (FNCA 2006). Berkaitan dengan produksi masal pupuk hayati, perlu dilakukan peningkatan standar kualitas produksi pupuk bakteri. Menurut Husen et al. (2007) telah terjadi penurunan kualitas pada berbagai produk pupuk hayati yang beredar di Indonesia. Penurunan kualitas tersebut terjadi pada jumlah mikroorganisme yang terkandung di dalamnya. Sementara itu, kualitas aktivitas mikroorganisme di dalamnya tetap terjaga.
Bakteri metanotrof dan pereduksi N2O belum digunakan sebagai produk
pupuk hayati komersil. Hal ini berkaitan dengan aktivitas keduanya yang tidak berkaitan dengan pertumbuhan tanaman. Namun, aktivitas yang baik sebagai agen pereduksi GRK perlu dipertimbangkan penggunaannya sebagai salah satu upaya mitigasi dampak pemanasan global.
Berdasarkan penelitian ini, upaya reduksi GRK CH4 dan N2O pada lahan
persawahan dapat dilakukan dengan menggunakan bakteri metanotrof dan bakteri denitrifikasi pereduksi N2O. Sementara itu, walaupun kondisi macak-macak
diketahui mampu meningkatkan emisi N2O, penggunaan sistem pengairan ini
diketahui mampu mengurangi kebutuhan air irigasi lahan persawahan. Kondisi macak-macak juga diketahui memiliki tingkat emisi CH4 yang lebih rendah
dibandingkan dengan kondisi tergenang.
CH4 pada lahan persawahan dihasilkan dari aktivitas metanogen dalam
tanah melalui metanogenesis. Metanogenesis terjadi tepat saat penggenangan tanah dengan air dimulai ketika kondisi menjadi anaerob. Keberadaan bahan organik tanah dan oksigen mempengaruhi pertumbuhan metanogen (Zhang et al. 2007). Kadar oksigen yang rendah pada kondisi sawah tergenang meningkatkan populasi metanogen. Selain itu, peningkatan CO2 dan turunnya suhu akan
meningkatkan laju metanogenesis (Das & Adhya 2012).
Emisi CH4 ke atmosfer dipengaruhi oleh oksidasi CH4 oleh metanotrof dan
(34)
(Dubey 2005). Pertumbuhan metanotrof tidak terlalu dipengaruhi oleh akar padi dan rizosfer melainkan oleh permukaan tanah-air pada sawah tergenang (Macalady et al. 2002). Menurut Ikenaga et al. (2003), akar padi diketahui berperan dalam menciptakan relung ekologi aerob dan anaerob di rizosfer yang mempengaruhi keseluruhan dinamika populasi mikroorganisme rizosfer. Sementara itu, oksidasi metan terutama terjadi pada daerah mikroaerofilik, asam asetat rendah, dan tidak secara langsung terjadi pada permukaan akar (Bodegom et al. 2001). Kajian mengenai tingkat oksidasi CH4 in vivo isolat bakteri
metanotrof dalam penelitian ini dapat dilihat pada Astuti (2009), Hapsari (2008), dan Sagala (2009).
Pada penelitian ini, pemberian pupuk bakteri pada perakaran tanaman padi dilakukan pada umur 10 HST. Menurut Lu-sheng et al. (2005), pada masa ini padi tumbuh lambat dan memiliki kemampuan absorpsi hara yang lemah yang memberi keuntungan pada perkembangan mikroorganisme. Kara & Özdilek (2010) menyebutkan bahwa awal masa pertumbuhan padi, khususnya 3 HST, sangat menentukan tingkat oksidasi CH4 dan berbagai macam kinetiknya. Dengan
kata lain, kolonisasi metanotrof (PB15, PB19, PMA, B, dan C) saat awal pertumbuhan padi merupakan faktor penting dalam menjamin daya hidup selama masa pertumbuhan dan perkembangan padi.
Berkaitan dengan emisi N2O, penggunaan bakteri denitrifikasi pereduksi
N2O dapat ditambahkan dengan pengaturan pupuk N sesuai kebutuhan tanaman
padi. Aplikasi pupuk hayati bakteri denitrifikasi pereduksi N2O pada lahan
persawahan dapat dilakukan bersamaan dengan pupuk hayati bakteri metanotrof. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan petani yang memberikan pupuk anorganik pada masa awal pertumbuhan padi. Pupuk anorganik ini diduga berperan penting dalam peningkatan emisi N2O asal lahan persawahan.
Berbagai cara mitigasi emisi N2O dari lahan persawahan telah dipelajari.
Salah satu cara mitigasi emisi N2O adalah dengan penggunaan kompos jerami dan
berbagai penghambat nitrifikasi (Wihardjaka 2010) serta pengaturan input nitrogen dengan penggunaan pupuk yang berimbang (Oenema & Velthof 2007).
Pengurangan input nitrogen tidak semata-mata mampu menurunkan emisi N2O. Baggs et al. (2010) menyebutkan bahwa terjadi peningkatan bakteri
(35)
32
nitrifikasi denitrifikasi pada kondisi nitrogen rendah. Pilihan yang dapat dilakukan adalah dengan mengatur input pada rizosfer tanaman padi terkait eksudat akar, siklus nitrogen, pengaturan bahan organik, dan pemupukan anorganik terintegrasi. Dari sisi mikroorganisme, mitigasi dapat dilakukan dengan memahami aktivitas N2O reduktase, untuk dapat meningkatkan reduksi N2O menjadi N2 dibandingkan
menghilangkan denitrifikasi. Mitigasi emisi N2O dengan menggunakan bakteri
nitrifikasi pereduksi N2O dilakukan dalam penelitian ini. Bakteri yang digunakan
(BL1 dan BL1) memiliki aktivitas yang baik dalam reduksi N2O. Kajian mengenai
tingkat reduksi N2O in vivo isolat bakteri tersebut dapat dilihat pada Setyaningsih
(36)
KESIMPULAN
Hasil Percobaan I menunjukkan bahwa jenis pupuk dan sistem pengairan tidak memberikan perbedaan pada pertambahan tinggi tanaman padi varietas Ciherang selama fase vegetatif. Jenis pupuk diketahui berpengaruh pada bobot basah dan bobot kering tanaman padi, jumlah anakan produktif serta jumlah gabah per malai. Jenis pupuk diketahui memberikan pengaruh kepada fluks CH4 saat
setelah pemupukan di mana pemberian pupuk anorganik menghasilkan emisi CH4
dari tanahmenuju atmosfer. Sebaliknya, pemberian jenis pupuk bakteri menyerap emisi CH4 dari tanah.
Hasil Percobaan II menunjukkan bahwa kombinasi bakteri metanotrof BGM 5 - BGM 9 - penambat N2 mampu meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan padi pada pupuk anorganik NPK dengan N 50% dan 100% dosis rekomendasi. Aktivitas reduksi GRK CH4 dan N2O terjadi dalam pola yang tidak
seragam. Bakteri metanotrof dan pereduksi N2O mampu melakukan aktivitas
reduksi CH4 dan N2O pada berbagai dosis pupuk anorganik N. Kondisi
macak-macak diketahui menurunkan emisi CH4 dan sebaliknya meningkatkan emisi N2O.
SARAN
Berdasarkan dari hasil penelitian ini, perlu dilakukan uji aktivitas reduksi GRK dan pemacu tumbuh padi dengan menggunakan bakteri metanotrof, pereduksi N2O, dan penambat N2 pada lahan persawahan. Selain itu, perlu
dilakukan kajian mengenai bahan pembawa yang dapat digunakan sebagai produk pupuk hayati bakteri tersebut.
(37)
KOMBINASI BAKTERI METANOTROF, PEREDUKSI DINITROGEN OKSIDA, DAN PENAMBAT NITROGEN SEBAGAI AGEN PEREDUKSI
GAS RUMAH KACA DAN PUPUK HAYATI PADA TANAMAN PADI
MAFRIKHUL MUTTAQIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
(38)
DAFTAR PUSTAKA
[BB Padi] Balai Penelitian Tanaman Padi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. 2010. Deskripsi Varietas Padi. Subang: Balai Penelitian Tanaman Padi.
[Balittan] Balai Penelitian Tanah Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Bogor: Balai Penelitian Tanah.
[EPA] U.S. Environmental Protection Agency. 2010. Inventory of U.S. Greenhouse Gas Emissions and Sinks: 1990 – 2008. Washington: EPA. [FNCA] Forum for Nuclear Cooperation in Asia. 2006. Biofertilizer Manual.
Tokyo: FNCA.
[Litbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementrian Pertanian. 2012. Peta dan Tabel Kalender Tanam Terpadu. Jakarta: Litbang Deptan. Agus F, Yusrial, Sutono. 2006. Penetapan Tekstur Tanah. Di dalam: Kurnia U,
Agus F, Adimiharja, Dariah Ai, editor. Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya. Bogor: BB Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Hlm 43-62 Astuti DD. 2009. Karakterisasi fisiologi dan identifikasi molekuler isolat-isolat
bakteri metanotrof asal sawah wilayah Bogor dan Sukabumi [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Baggs EM, Streminska M, Barrett G, Morley A. 2010. Nitrous oxide production in soil: Microbial source partitioning to inform management options for mitigation. Di dalam: Congress Symposium 4 Greenhouse Gases from Soils. Prosiding 19th World Congress of Soil Science, Soil Solutions for a Changing World; Brisbane, 1 – 6 Agu 2010. Brisbane IUSS. hlm 191 – 194. Beaulieu JJ et al. 2001. Nitrous oxide emission from denitrification in stream and
river networks. PNAS 108: 214–219.
Bodegom P Van, Stams F, Mollema L, Boeke S, Leffelaar P. 2001. Methane oxidation and the competition for oxygen in the rice rhizosphere. Appl Environ Microbiol 67: 3586–3597.
Bowman J. 2006. The Methanotrophs—The Families Methylococcaceae and Methylocystaceae. Di dalam: Dworkin M, Falkow S, Rosenberg E, Schleifer KH, Stackebrandt E, editor. The Prokaryotes. Volume ke-5, Proteobacteria: Alpha and Beta Subclasses. Ed ke-3. New York: Springer. hlm 266–289. Buée M, DeBoer W, Martin F, vanOverbeek L, Jurkevitch E. 2009. The
rhizosphere zoo: An overview of plant-associated communities of microorganisms, including phages, bacteria, archaea, and fungi, and of some of their structuring factors. Plant Soil 321: 189–212.
Cuhel J et al. 2010. Insights into the effect of soil pH on N2Oand N2 emissions
and denitrifier community size and activity. Appl Environ Microbiol 76: 1870–1878.
(39)
35
Das S, Adhya TK. 2012. Dynamics of methanogenesis and methanotrophy in tropical paddy soils as influenced by elevated CO2 and temperature interaction. Soil Biol Biochem 47: 36-45.
Dedysh SN, Knief C, Dunfield PF. 2005. Methylocella species are facultatively methanotrophic. J Bacteriol 187: 4665–4670.
Doi T, Hagiwara Y, Abe J, Morita S. 2007. Analysis of rhizosphere bacteria of rice cultivated in Andosol lowland and upland fields using molecular biological methods. Plant Root 1: 66-74.
Dong LF, Nedwell DB, Underwood GJC, Thornton DCO, Rusmana I. 2002. Nitrous oxide formation in the Colne estuary, England: the central role of nitrite. Appl Environ Microbiol 68: 1240–1249
Dubey SK. 2005. Microbial ecology of methane emission in rice agroecosystem: a review. Appl Ecol Environ Res 3: 1-27.
Halbleib CM, Ludden PW. 2000. Regulation of biological nitrogen fixation. J Nutr 130: 1081–1084.
Hapsari W. 2008. Isolasi dan karakterisasi bakteri metanotrof dari lahan persawahan di daerah Bogor dan Sukabumi [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Hartmann A, Baldani JI. 2006. The genus Azospirillum. Di dalam: Dworkin M, Falkow S, Rosenberg E, Schleifer KH, Stackebrandt E, editor. The Prokaryotes. Proteobacteria: Alpha and Beta Subclasses. Volume ke-5. Ed ke-3. New York: Springer. hlm 115–140.
Hindersah R, Simamarta T. 2004. Potensi rizobakteri Azotobacter dalam meningkatkan kesehatan tanah. Natur Indones 5: 127-133.
Husen E, Simanungkalit RDM, Saraswati R, Irawan. 2007. Characterization and quality assessment of Indonesian commercial biofertilizers Indonesian. J Agri Sci 8: 31-38.
Hou AX, Chen GX, Wang ZP, Van Cleemput O, Patrick WH. 2000. Methane and Nitrous Oxide Emissions from a Rice Field in Relation to Soil Redox and Microbiological Processes. Soil Sci Soc Am J 64 : 2180-2186.
Ikenaga M, Asakawa S, Muraoka Y, Kimura M. 2003. Bacterial communities associated with nodal roots of rice plants along with the growth stages: estimation by PCR-DGGE and sequence analyses. Soil Sci Plant Nut 49: 591-602.
Kara EE, Özdilek HG. 2010. The effect of nitrogenous fertilizers on methane oxidation in soil. Ekoloji 19: 1-9.
Komiya S et al. 2010. Climatic impacts on greenhouse gas emissions in rice paddy fields. Di dalam: Congress Symposium 4 Greenhouse Gases from Soils. Prosiding 19th World Congress of Soil Science, Soil Solutions for a Changing World; Brisbane, 1 – 6 Agu 2010. Brisbane IUSS. hlm 17 - 19. Lambers H, Chapin FS, Pons TL. 2008. Plant Physiological Ecology. New York:
(40)
Limbongan YL, Purwoko BS, Trikoesoemaningtyas, Aswidinnoor H. 2009. Respon genotipe padi sawah terhadap pemupukan nitrogen di dataran tinggi. Agron Indones 37: 175 – 182.
Lu-sheng Z, Min L, Cheng-li C, Chang-yong H. 2005. Variation of soil microbial biomass and enzyme activities at different growth stages of rice (Oryza sativa). Rice Sci 12: 283-288.
Macalady JL, McMillan AMS, Dickens AF, Tyler SC, Scow KM. 2002. Population dynamics of type I and II methanotrophic bacteria in rice soils. Environ Microbiol 4: 148–157.
Martinez-Romero E. 2006. Dinitrogen-fixing prokaryotes. Di dalam: Dworkin M, Falkow S, Rosenberg E, Schleifer KH, Stackebrandt E, editor. The Prokaryotes. Ecophysiology and Biochemistry. Volume ke-2. Ed ke-3. New York: Springer. hlm 793–817.
Millar N, Robertson GP, Grace PR, Gehl RJ, Hoben JP. 2010. Nitrogen fertilizer management for nitrous oxide (N2O) mitigation inintensive corn (Maize)
production: an emissions reduction protocol for US. Midwest agriculture. Mitig Adapt Strateg Glob Change 15: 185–204.
Oenema O, Velthof GL. 2007. Analysis of international and European policy instruments: pollution swapping: Task 2 Service Contract “Integrated measures in agriculture to reduce ammonia emissions”. Wageningen: Alterra-rapport.
Pirngadi K, Abdulrahman S. 2005. Pengaruh pupuk majemuk NPK (15-15-15) terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah. Agrivigor 4: 188-197.
Pramudyani L, Djufry F. 2006. Respon tanaman padi dan gulma Fimbristylis miliacea (L.) Vahl. pada pemberian pupuk nitrogen dan genangan air. Agrivigor 5259-269
Pretty JN et al. 2002. The role of sustainable agriculture and renewable -resource management in reducing greenhouse -gas emissions and increasing sinks in China and India. Phil Trans R Soc Lond A 360: 1741-1761.
Quinn GP, Keough MJ. 2002. Experimental Desaign and Data Analysis for Biologists. Cambridge: Cambridge Univ Pr.
Razie F, Anas I. 2005. Potensi Azotobacter spp. (dari lahan pasang surut Kalimantan Selatan) dalam menghasilkan indole acetic acid (IAA). J Tanah Lingkungan 7: 35-39.
Roslev P, King GM. 1994. Survival and recovery of methanotrophic bacteria starved under oxic and anoxic conditionst. Appl Environ Microbiol 60: 2602-2608.
Rusmana I. 2007. Effects of temperature on denitrifying growth and nitrate reduction end products of comamonas testosteroni isolated from estuarine sediment. Microbiol Indones 1: 43-47.
Rusmana I, Akhdiya A. 2009. Isolation and characterization of methanotrophic bacteria from rice fields. Biotropia 16: 71 – 78.
(1)
Sagala BT. 2009. Seleksi dan uji aktivitas fiksasi nitrogen (N2) bakteri metanotrof asal sawah pada konsentrasi oksigen (O2) yang berbeda [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Setyaningsih R, Rusmana I, Setyanto P, Suwanto A. 2010. Physiological
characterization and molecular identification of denitrifying bacteria possesing nitrous oxide high reduction activity isolated from rice soils. Microbiol Indones 4: 75-78.
Shapleigh P. 2006. The Denitrifiying Prokaryotes. Di dalam: Dworkin M, Falkow S, Rosenberg E, Schleifer KH, Stackebrandt E, editor. The Prokaryotes. Volume ke-2, Ecophysiology and Biochemistry. Ed ke-3. New York: Springer. hlm 769–792.
Sung DW, Song SH, Kim JH, Yoo YJ. 2002. Effects of electron donors on nitrate removal by nitrate and nitrite reductases. Biotechnol Bioprocess Eng 7: 112-116.
Suriadikanta DA, Simanungkalit RDM. 2006. Pendahuluan. Di dalam: Simanungkalit RDM, Suriadikarta DA, Saraswati R, Setyorini D, Hartatik W, editor. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Smith P et al. 2007. Agriculture. Di dalam: Metz B, Davidson OR, Bosch PR, Dave R, Meyer LA, editor. Climate Change 2007: Mitigation. Contribution of Working Group III to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge: Cambridge University Pr. Hlm 499 – 532.
Swings J, Lambert B, Kersters K, Holmes B. 2006. The Genera Phyllobacterium and Ochrobactrum. Di dalam: Dworkin M, Falkow S, Rosenberg E, Schleifer KH, Stackebrandt E, editor. The Prokaryotes. Ecophysiology and Biochemistry. Volume ke-2, Ed ke-3. New York: Springer. hlm 747 – 750. Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. Edisi ke-3. Sunderland: Sinauer.
Tejera N, Lluch C, Martinez-Toledo MV, Lopez JG. 2005. Isolation and characterization of Azotobacter and Azospirillum strains from the sugarcane rhizosphere. Plant Soil 270: 223–232.
Weber S, Stubner S, Conrad R. 2001. Bacterial populations colonizing and degrading rice straw in anoxic paddy soil. Appl Environ Microbiol 67: 1318–1327.
Wedhastri S. 2002. Isolasi dan seleksi Azotobacter spp. penghasil faktor tumbuh dan penambat nitrogen dari tanah masam. J Ilmu Tanah Lingkungan 3: 45-51.
Wihardjaka A. 2010. Emisi gas dinitrogen oksida dari tanah sawah tadah hujan yang diberi jerami padi dan bahan penghambat nitrifikasi. Biol Indones 6: 211-224.
Whitman WB, Bowen TL, Boone DR. 2006. The methanogenic bacteria. Di dalam: Dworkin M, Falkow S, Rosenberg E, Schleifer KH, Stackebrandt E, editor. The Prokaryotes. Volume ke-3, Archaea, Bacteria: Firmicutes, Actinomycetes. Ed ke-3. New York: Springer. hlm 165–207.
(2)
38
Yang S, Peng S, Xua J, Luoa Y, Daoxi L. 2011. Methane and nitrous oxide emissions from paddy field as affected by water-saving irrigation [terhubung berkala]
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1474706511002403 [1 Agustus 2010].
Zhang P, Zheng J, Pan G, Zhang X, Li L, Tippkotte R. 2007. Changes in microbial community structure and function within particle size fractions of a paddy soil under different long-term fertilization treatments from the Tai Lake region, China. Coll Surf B: Biointerf 58: 264–270.
(3)
(4)
40
Lampiran 1 Media Tumbuh Bakteri
Nama Media Komposisi Jumlah (g) per 1 liter
dH2O Nitrate Mineral Salt
(NMS)
MgSO4.7H2O 1.000
CaCl2.6H2O 0.200
KNO3 1.000
KH2PO4 0.272
Na2HPO4 4.000
NH4Cl 4.000
Na2EDTA 0.500
FeSO4.7H2O 0.200
H3BO4 0.030
CoCl2.6H2O 0.020
ZnSO4.7H2O 0.010
MnCl2.4H2O 3.000
Na2MoO4. 2H2O 3.000
NiCl2.6H2O 2.000
CaCl2.2H2O 1.000
Media Denitrifikasi Na asetat 10.000
NaNO3 4.200
(NH4)Cl 0.176
KH2PO4 0.200
K2HPO4.3H2O 0.920
CaCl2.2H2O 0.100
MgSO4.7H2O 0.500
EDTA 0.200
Keterangan:
Isolat bakteri metanotrof diremajakan pada media agar Nitrate Mineral Salt (NMS) + 1% methanol. Isolat Azotobacter dan Azospirillum masing-masing diremajakan pada media agar NMS + 1% sukrosa dan media NMS + 1% asam malat. Isolat bakteri pereduksi N2O diremajakan pada media denitrifikasi.
(5)
Lampiran 2 Sifat Fisik dan Kimia Tanah
Sifat Fisik dan Kimia Tanah Hasil Analisis Nilai *)
pH
H2O 5,60 Agak masam
Tekstur Tanah (%)
Pasir 8,45
Liat
Debu 21,75
Liat 69,80
Bahan Organik C (%)
(Walkey & Black) 2,39
Sedang Bahan Organik N-total (%)
(Kjeldhal) 0,20
Rendah
N (me/100g) NH4OAc, pH 7
Ca 4,56 Rendah
Mg 1,15 Sedang
K 0,17 Rendah
Na 0,68 Sedang
KTK 17,28 Sedang
P (ppm)
HCl 25% 45,90 Tinggi
Bray 1 4,70 Rendah
Kejenuhan Basa (%) 37,96 Rendah
N (me/100g) KCl
Al Tidak terukur Sangat rendah
H 0,12 Sangat rendah
(6)
42
Lampiran 3 Perkembangan Tinggi Tanaman padi Percobaan II
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 91 98 105
Ti n ggi (c m )
Hari Setelah Tanam (hst) NPK dengan N 25% Dosis
A1M A1T B1M B1T C1M C1T A4M A4T 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 91 98 105
Ti n ggi (c m )
Hari Setelah Tanam (HST) NPK dengan N 50% Dosis
A2M A2T B2M B2T C2M C2T A4M A4T 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 91 98 105
Ti n ggi (c m )
Hari Setelah Tanam (HST) NPK dengan N 75% Dosis
A3M A3T B3M B3T C3M C3T A4M A4T 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 91 98 105
Ti n ggi (c m )
Hari Setelah Tanam (HST) NPK dengan N 100% Dosis
A4M A4T B4M B4T C4M C4T