Pengembangan Kawasan Taman Nasional Sembilang Untuk Mendukung Peningkatan Cadangan Karbon Dan Kesejahteraan Masyarakat

PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN NASIONAL SEMBILANG
UNTUK MENDUKUNG PENINGKATAN CADANGAN KARBON
DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

ATHUR DANIEL SINAGA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan Kawasan
Taman Nasional Sembilang untuk Mendukung Peningkatan Cadangan Karbon
dan Kesejahteraan Masyarakat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, April 2015
Athur Daniel Sinaga
NIM A156130294

RINGKASAN
ATHUR DANIEL SINAGA. Pengembangan Kawasan Taman Nasional
Sembilang untuk Mendukung Peningkatan Cadangan Karbon dan Kesejahteraan
Masyarakat. Dibimbing oleh BABA BARUS dan DARMAWAN.
Penetapan kawasan hutan Sembilang menjadi Taman Nasional (TN)
Sembilang menimbulkan beberapa permasalahan mendasar, antara lain: konflik
mengenai kepemilikan lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Keberadaan
desa di dalam TN Sembilang dan desa transmigasi di sekitar TN Sembilang
memberikan tekanan yang dapat berpengaruh terhadap cadangan karbon di TN
Sembilang. Oleh karena itu diperlukan penelitian yang bertujuan: 1) Menghitung
perubahan tutupan lahan di TN Sembilang, 2) Menghitung perubahan cadangan
karbon permukaan di TN Sembilang, 3) Mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan cadangan karbon permukaan di TN Sembilang, 4)
Menyusun arahan pengembangan kawasan TN Sembilang untuk meningkatkan
cadangan karbon dan kesejahteraan masyarakat.

TN Sembilang adalah taman nasional yang terletak di pesisir provinsi
Sumatera Selatan, Indonesia. TN Sembilang ditunjuk sebagai taman nasional
dengan SK Menteri Kehutanan No.76/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 dengan
luas ± 202.896,31 hektar termasuk kawasan perairannya. Sebagian fungsi dari
kawasan hutan Sembilang mengalami perubahan setelah ditunjuk sebagai TN
Sembilang.
Penelitian menggunakan data 20 titik cek lapangan, 56 plot survei
pengukuran cadangan karbon dan diperkuat dengan wawancara dan kuesioner.
Teknik analisis data menggunakan metode analisis perubahan tutupan lahan,
metode deskriptif, metode alometri, metode NDVI, metode skalogram dan metode
AHP.
Klasifikasi tutupan lahan pada kawasan TN Sembilang menghasilkan lima
tipe tutupan lahan yaitu hutan mangrove, hutan rawa, semak belukar, lahan
terbuka dan tambak. Tipe tutupan lahan yang dominan adalah hutan mangrove.
Hasil pengukuran biomasa skala plot menunjukkan kawasan TN Sembilang
memiliki kisaran pendugaan biomasa sebesar 35,08-306,8 ton/ha dan cadangan
karbon permukaan sebesar 17,54-153,4 ton/ha. Biomasa dan cadangan karbon
permukaan tertinggi diperoleh dari hutan mangrove masing-masing sebesar 306.8
ton/ha dan 153.4 ton/ha sedangkan biomasa dan cadangan karbon permukaan
terendah dimiliki oleh lahan terbuka masing-masing sebesar 35,08 ton/ha dan

17,54 ton/ha. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan cadangan karbon
permukaan sebesar 2.34 % di TN Sembilang dari 2002 hingga 2013.
Faktor yang mempengaruhi perubahan cadangan karbon permukaan di TN
Sembilang yaitu aksesibilitas, pengaturan zonasi dan tingkat kemiskinan. Prioritas
alternatif kebijakan yang direkomendasikan dalam pengembangan kawasan TN
Sembilang yaitu: penyempurnaan peraturan, pemberian insentif kepada
masyarakat, rehabilitasi lahan, sosialisasi, dan pemberian sanksi.
Kata kunci: cadangan karbon, pengembangan kawasan, perubahan tutupan lahan

SUMMARY
ATHUR DANIEL SINAGA. Regional Development of Sembilang National Park
to Support Enhancement Carbon Stock and Public Welfare. Supervised by BABA
BARUS and DARMAWAN.
The establishment of Sembilang forest area into National Park (NP) caused
several fundamental problems; among others are the conflict on land tenure and
the use of natural resources. The existence of villages within and transmigration
villages around Sembilang NP give pressure to the park, which could influence
carbon stock sequestered in it. Therefore, a research was needed to: 1) To
identified land cover change in Sembilang NP, 2) To calculate above ground
carbon stock change in Sembilang NP, 3) Knowing the factors that affect the

surface of the carbon stock change in Sembilang NP, 4) To develop a
management plan to increase carbon stock and community welfare in Sembilang
NP.
Sembilang NP is a national park located in the coasts of South Sumatera,
Indonesia. Sembilang NP was appointed as national park based on Minister of
Forestry Decree Number 76/Kpts-II/2001 on 15 March 2001 with a total of
202.896,31 ha wide, including its waters area. Some functions of Sembilang forest
area changed after it was appointed as national park.
The research used the data from 20 check points in the field, 56 carbon
stock measurement survey plots, and strengthened by interview and questionnaire.
Data analysis technique used was land cover change analysis, descriptive,
allometry, NDVI, scalogram, and AHP methods.
Land cover classification in Sembilang NP resulted five types of land cover,
which are mangrove forest, swamp forest, shrubs, open land, and ponds. Based on
the classification, the dominant land cover type is mangrove forest. The result of
biomass measurement at plot scale showed that the estimated biomass in
Sembilang NP area is ranging from 79,27 – 306,8 ton/ha and the above ground
carbon stock is ranging from 39,64 – 153,4 ton/ha. The highest biomass and above
ground carbon stock recorded was in mangrove forest with 306,8 ton/ha and 153,4
ton/ha; while the lowest biomass and above ground carbon stock recorded was in

open land with 79,27 ton/ha and 39,64 ton/ha. The research showed that above
ground carbon stock in Sembilang NP increased by 1,34% from 2002 – 2013.
The influencing factors to above ground carbon stock change in Sembilang
NP were accessibility, zoning, and poverty rate. There were several recommended
alternative policy priority in developing Sembilang NP, which are completing
regulations, provide incentives to community, land rehabilitation, socialization,
and enforcing sanction.

Keywords: carbon stock, land cover change, regional development

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN NASIONAL SEMBILANG
UNTUK MENDUKUNG PENINGKATAN CADANGAN KARBON
DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

ATHUR DANIEL SINAGA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir M. Ardiansyah

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Baik atas
segala kasih dan berkat yang diberikan-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan
April 2014 ini adalah pengembangan wilayah dengan judul Pengembangan
Kawasan Taman Nasional Sembilang untuk Mendukung Peningkatan Cadangan
Karbon dan Kesejahteraan Masyarakat
Terima kasih dengan setulus hati penulis ucapkan kepada :
1. Dr Ir Baba Barus, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr Ir
Darmawan, MSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan
arahan, bimbingan dan saran dalam penyusunan tesis ini.
2. Dr Ir M. Ardiansyah selaku penguji luar komisi yang telah memberikan
koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini.
3. Ketua Program Studi Prof Dr Ir Santun RP Sitorus serta segenap dosen
pengajar, asisten, dan staf pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah.
4. Bapak Solichin Manuri dari Merang REDD Pilot Project, German
International Cooperation-GIZ, sebagai penyedia data dalam karya ilmiah ini.
5. Kepala Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren Bappenas) beserta
jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.
6. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian

Kehutanan dan Balai Taman Nasional Kepulauan Togean yang telah
memberikan kesempatan tugas belajar kepada penulis.
7. Balai Taman Nasional Sembilang, Bappeda Provinsi Sumatera Selatan dan
Badan Pusat Statistik yang telah membantu data dan informasi.
8. Istri dan Putri tercinta Maria Sae Helena Sitanggang dan Geby Rebecca
Eureka Sinaga yang menjadi motivasi dan inspirasi dalam penyelesaian karya
ilmiah ini.
9. Orang tua dan Keluarga yang terus mendukung dengan doa dan semangat.
10. Teman-teman satu angkatan PWL 2013 kelas Bappenas atas kebersamaan dan
semangat dalam penyusunan tesis.
11. Semua pihak yang berperan dalam proses penulisan tesis ini yang tak dapat
penulis sebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2015
Athur Daniel Sinaga

v

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Kerangka Pemikiran
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1

1
2
3
4
5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Perubahan Tutupan Lahan
Biomasa dan Karbon Tersimpan
Aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh dalam Pendugaan Cadangan Karbon

5
5
6
8

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Alat
Jenis dan Sumber Data

Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data

9
9
10
10
11
15

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH

27

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Perubahan Tutupan Lahan
Analisis Perubahan Cadangan Karbon
Faktor Perubahan Cadangan Karbon
Analisis Perkembangan Desa di TN Sembilang
Arahan Pengembangan Kawasan TN Sembilang

31
31
35
40
43
45

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

51
51
51

DAFTAR PUSTAKA

52

LAMPIRAN

54

RIWAYAT HIDUP

67

vi

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Biomasa di atas permukaan tanah dan metode pengukurannya
Karbon permukaan di berbagai tipe penutupan lahan di beberapa lokasi
penelitian
Jenis data, sumber data, teknik analisis, dan hasil yang diharapkan
Kriteria stakeholders, instansi, dan jumlah responden
Persamaan alometrik untuk tutupan lahan hutan mangrove
Matriks perhitungan kesalahan
Matrik penyusunan pengaturan zonasi
Matriks alternatif peningkatan kesejahteraan masyarakat
Luas per tipe tutupan lahan TN Sembilang tahun 2002 dan 2013
Matrik perubahan lahan TN Sembilang (2002-2013)
Cadangan karbon di berbagai tipe tutupan lahan
Perubahan cadangan karbon permukaan tahun 2002-2013
Perbandingan model pendugaan cadangan karbon dengan NDVI
Perbandingan cadangan karbon berdasarkan tutupan lahan dengan
NDVI
Hasil regresi faktor yang mempengaruhi perubahan cadangan karbon

7
8
11
13
16
21
27
27
31
33
35
36
37
38
41

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

Alur kerangka berpikir
Peta lokasi penelitian
Diagram alur penelitian
Bentuk dan ukuran plot pengukuran biomasa hutan mangrove
Bentuk dan plot pengukuran biomasa hutan rawa, semak belukar dan
Peta lokasi plot karbon
Citra TN Sembilang tahun 2002
Citra TN Sembilang tahun 2013
Lokasi cek lapangan
Alur pembuatan peta perubahan tutupan lahan
Struktur hirarki proses AHP
Tutupan lahan TN Sembilang tahun 2002
Peta tutupan lahan TN Sembilang tahun 2013
Peta perubahan tutupan lahan TN Sembilang tahun 2002-2013
Peta perubahan cadangan karbon TN Sembilang berdasarkan LCC
Peta sebaran karbon berdasarkan NDVI tahun 2002 dan 2013
Perubahan cadangan karbon TN Sembilang berdasarkan NDVI
Peta perubahan cadangan karbon di TN Sembilang tahun 2002-2013
Peta aksesibilitas di TN Sembilang
Peta tingkat kemiskinan di TN Sembilang
Perubahan cadangan karbon berdasarkan zonasi
Peta hasil analisis skalogram
Hasil analisis faktor pada hirarki pengambilan keputusan

4
10
12
14
15
15
22
22
23
23
26
32
32
34
36
38
39
40
42
42
43
45
46

vii

24.
25.
26.
27.
28.

Hasil analisis aktor pada hirarki pengambilan keputusan
Hasil analisis alternatif pada hirarki pengambilan keputusan
Peta zonasi TN Sembilang
Peta arahan pengaturan zonasi kawasan TN Sembilang
Peta insentif dan sosialisasi di TN Sembilang

47
47
48
49
50

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Kuesioner AHP
Surat perjanjian penggunaan data
Biomasa dan cadangan Karbon per Plot
Pengukuran DBH pada berbagai kondisi pohon di lapangan
Hasil analisis skalogram 2005
Hasil analisis skalogram 2011
Peta pola ruang nasional
Peta pola ruang Provinsi Sumatera Selatan
Riwayat hidup

54
60
61
62
63
64
65
66
67

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peranan hutan sebagai penyerap karbon mulai menjadi perhatian pada saat
bumi dihadapkan pada persoalan efek rumah kaca, berupa kecenderungan
peningkatan suhu udara atau biasa disebut sebagai pemanasan global. Perubahan
iklim merupakan dampak langsung dari adanya pemanasan global. Pemanasan
global adalah peristiwa meningkatnya suhu bumi yang terkait langsung dengan
gas-gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Istilah GRK
digunakan karena sistem kerjanya seperti rumah kaca yaitu menahan panas
matahari di dalam rumah kaca agar suhu tetap hangat. Akumulasi berlebihan dari
gas-gas seperti CO2, methana (CH4), NOx, dan lain-lain dapat menyebabkan suhu
bumi meningkat tinggi. Solusi efektif mengatasi perubahan iklim akibat
pemanasan global dapat dilakukan dengan dua aspek yaitu adaptasi dan mitigasi.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak perubahan iklim
saat ini adalah meningkatkan penyerapan karbon dan/atau menurunkan emisi
karbon. Penurunan emisi karbon dapat dilakukan dengan: (a) mempertahankan
cadangan karbon yang telah ada dengan: mengelola hutan lindung, mengendalikan
deforestasi, menerapkan praktek silvikultur yang baik, mencegah degradasi lahan
gambut dan memperbaiki pengelolaan cadangan bahan organik tanah, (b)
meningkatkan cadangan karbon melalui penanaman tanaman berkayu dan (c)
mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang dapat diperbarui secara
langsung maupun tidak langsung (angin, biomasa, aliran air), radiasi matahari,
atau aktivitas panas bumi (Lasco et al. 2004).
Hutan merupakan salah satu penyerap CO2 terbesar. Konservasi hutan
secara global akan mengurangi GRK termasuk CO2 di atmosfer. CO2 tersebut
akan disimpan dalam biomasa hutan. Hampir 50% dari biomasa hutan tersusun
atas karbon (Brown 1997). Hutan dikatakan sebagai penyerap karbon terbesar
karena memiliki keragaman pohon yang tinggi dengan tumbuhan bawah dan
serasah di permukaan tanah yang banyak. Hutan memiliki peranan yang penting
dalam mengurangi dampak perubahan iklim global. Pengukuran biomasa hutan
dapat digunakan untuk menduga potensi karbon yang diserap oleh hutan (Hairiah
dan Rahayu 2007).
Hutan Indonesia terdiri atas berbagai jenis hutan, salah satunya adalah hutan
bakau atau hutan mangrove. Kawasan Taman Nasional (TN) Sembilang sebagian
besar terdiri dari ekosistem hutan mangrove. Kawasan TN Sembilang dengan
banyak muara sungai dan dataran lumpur yang luas, merupakan kawasan pesisir
yang kaya akan keanekaragaman hayati. Mangrove tidak hanya sebagai habitat
satwa liar dan berbagai vegetasi, tetapi juga penyerap cadangan karbon yang
tinggi (Donato et al. 2011). Ekosistem mangrove memiliki peran penting dalam
mencegah terjadinya perubahan iklim.
TN Sembilang adalah taman nasional yang terletak di pesisir Provinsi
Sumatera Selatan, Indonesia. TN Sembilang ditunjuk sebagai taman nasional
dengan SK Menteri Kehutanan No. 76/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001
dengan luas ± 202.896,31 hektar termasuk kawasan perairannya. Sebagian fungsi
dari kawasan hutan Sembilang mengalami perubahan setelah ditunjuk sebagai TN

2
Sembilang. Kawasan hutan produksi terbatas dan tambak yang termasuk dalam
kawasan TN Sembilang berubah menjadi hutan konservasi. Perubahan fungsi
kawasan hutan menjadi TN Sembilang dapat menyebabkan perubahan cadangan
karbon di TN Sembilang.
Penetapan kawasan hutan Sembilang menjadi taman nasional telah
menimbulkan beberapa permasalahan mendasar, antara lain: konflik mengenai
kepemilikan lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Permasalahan ini, erat
kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat yang berada di dalam
dan di sekitar kawasan TN Sembilang, dengan sumber mata pencaharian utama
dari bidang perikanan dan pertanian. Menurut Balai TN Sembilang pada beberapa
bagian kawasan hutan yang ditetapkan menjadi kawasan TN Sembilang telah
lama digunakan oleh masyarakat sebagai tambak dan lahan pertanian.
Masyarakat di sekitar TN Sembilang sebagian besar termasuk dalam
kabupaten Banyuasin. Berdasarkan data Bappeda Perovinsi Sumatera Selatan
jumlah penduduk miskin di Kabupaten Banyuasin pada tahun 2012 mencapai
87.600 jiwa. Peningkatan jumlah penduduk dan meningkatnya berbagai
kebutuhan untuk perumahan, pendidikan anak, kesehatan, kendaraan bermesin,
barang elektronik untuk informasi dan hiburan, dll adalah faktor yang harus
diwaspadai oleh pihak pengelola Taman Nasional Sembilang, karena akan
mendorong intensitas pemanfaatan sumberdaya hutan dan perairan secara tidak
terkendali dan tidak lestari, sehingga mempercepat proses penurunan kualitas
SDA dan lingkungan yang akan berakibat berkurangnya cadangan karbon di TN
Sembilang.
Beberapa tahun terakhir ini TN Sembilang mengalami tekanan berat yang
dapat berpengaruh terhadap cadangan karbon di TN Sembilang. Menurut balai TN
Sembilang selama kurun waktu 2009-2013 terjadi pencurian kayu sebanyak 1.777
batang dan 21 m3 kayu serta pembukaan 327 ha sawah di TN Sembilang.
Keberadaan desa di dalam TN Sembilang dan desa transmigasi di sekitar TN
Sembilang memberikan tekanan terhadap kawasan TN Sembilang. Desakan
kebutuhan hidup akan mendorong masyarakat mengeksploitasi hutan dengan
motif ekonomi, sehingga terjadi degradasi sumberdaya dan deforestasi hutan.
Degradasi dan deforestasi hutan dapat menyebabkan perubahan cadangan karbon
di TN Sembilang.
Berdasarkan hal tesebut maka diperlukan penelitian yang mengkaji
bagaimana perubahan cadangan karbon di TN Sembilang dan apa saja faktor
penyebabnya. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada seluruh
pihak terkait terutama Balai TN Sembilang untuk meningkatkan cadangan karbon
dan kesejahteraan masyarakat di TN Sembilang.

Perumusan Masalah
Deforestasi dan degradasi hutan di kawasan TN Sembilang dapat
diakibatkan oleh berbagai sebab. Beberapa penyebab deforestasi dan degradasi
kawasan hutan antara lain terjadi baik secara terencana (planned deforestation)
berdasarkan alih fungsi RTRW maupun secara tidak terencana (unplanned
deforestation), seperti adanya kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam ilegal,
perambahan hutan oleh masyarakat sekitar serta permasalahan yang disebabkan

3
oleh kondisi alam seperti kebakaran hutan. Selama tahun 1995-2000 sebanyak
18% ekosistem mangrove terdegradasi di sekitar Semenanjung Banyuasin (BTNS
2007). Hal ini akan menyebabkan semakin meningkatnya penetrasi terhadap
kawasan TN Sembilang apabila tidak ditangani sesegera mungkin,.
Penunjukan dan penetapan kawasan hutan Sembilang di Semenanjung
Banyuasin menjadi TN Sembilang menyebabkan berubahnya fungsi kawasan
hutan tersebut. Kawasan hutan yang sebelumnya terdiri dari Suaka Margasatwa
Terusan Dalam 25.750 ha, Hutan Produksi Terbatas Terusan Dalam 49.000 ha,
Hutan Lindung Sembilang 113.173 ha berubah status dan fungsinya menjadi TN
Sembilang. Perubahan status dan fungsi hutan tersebut menyebabkan perubahan
tutupan lahan di kawasan TN Sembilang.
Pemukiman penduduk dan daerah transmigrasi yang berada di dalam dan di
sekitar TN Sembilang yang terus berkembang dapat menyebabkan perubahan
tutupan dan penggunaan lahan di kawasan TN Sembilang. Perubahan tutupan
lahan ini dapat berupa alih fungsi lahan dari hutan menjadi lahan pertanian atau
tambak. Perubahan penggunaan lahan di kawasan TN Sembilang dapat
menyebabkan berubahnya cadangan karbon di TN Sembilang.
Beberapa upaya telah dilakukan untuk mengurangi deforestasi dan degradasi
hutan di TN Sembilang antara lain pengaturan zonasi dan pembinaan terhadap
masyarakat di dalam dan di sekitar TN Sembilang, serta pengaturan pengusahaan
kawasan pada zona pemanfaatan dan peruntukan lain. Namun belum ada suatu
arahan penataan dan pengelolaan kawasan TN Sembilang untuk peningkatan
cadangan karbon dan kesejahteraan masyarakat.
Atas dasar permasalahan tersebut maka dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perubahan tutupan lahan di kawasan TN Sembilang?
2. Bagaimanakah perubahan cadangan karbon permukaan di kawasan TN
Sembilang?
3. Faktor apa saja yang menyebabkan perubahan cadangan karbon permukaan di
kawasan TN Sembilang?
4. Bagaimanakah arahan pengembangan kawasan TN Sembilang dalam
mendukung peningkatan cadangan karbon dan kesejahteraan masyarakat?

Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran penelitian ini dibangun atas dasar potensi kawasan TN
Sembilang terhadap peningkatan cadangan karbon untuk mengatasi isu perubahan
iklim global saat ini. Hutan dalam konteks perubahan iklim, dapat berperan baik
sebagai sink (penyerap/penyimpan karbon) maupun source (pengemisi karbon).
Perubahan tutupan lahan di kawasan TN Sembilang dapat mengindikasikan
dinamika cadangan karbon di wilayah tersebut. Penyerapan karbon dalam
pengelolaan hutan lestari merupakan jasa yang dapat diberikan oleh sektor
kehutanan kepada wilayah sekitar TN Sembilang. Peta perubahan tutupan lahan
yang dikombinasikan dengan data pengukuran karbon di lapangan dapat
digunakan untuk menduga peta perubahan cadangan karbon di TN Sembilang.
Peta perubahan cadangan karbon di TN Sembilang dapat menjadi dasar
untuk analisis faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan cadangan karbon di

4
TN Sembilang. Beberapa aktor yang berperan dalam perubahan cadangan karbon
di TN Sembilang yaitu masyarakat, pemerintah dan swasta. Jumlah penduduk
yang bertambah, tingkat pendidikan yang rendah serta tingkat kemiskinan dapat
berpotensi menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan. Pemanfaatan kawasan
di sekitar TN Sembilang oleh swasta sebagai hutan tanaman industri dan
perkebunan akan berpengaruh terhadap perubahan cadangan karbon di kawasan
TN Sembilang. Peraturan pemerintah daerah yang mengatur RTRW di sekitar TN
Sembilang berpengaruh terhadap pola pemanfaatan ruang di sekitar TN
Sembilang. Pengaturan zonasi di dalam kawasan oleh Balai TN Sembilang telah
membagi kawasan taman nasional menjadi zona-zona sesuai dengan bentukbentuk aktivitas yang diperbolehkan.
Dinamika perubahan cadangan karbon dalam hubungannya dengan faktor
penyebab perubahan, sebagai dasar pemilihan alternatif kebijakan yang dapat
meningkatkan cadangan karbon dan dalam waktu yang sama dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Penyusunan arahan peningkatan cadangan karbon di
TN Sembilang menggunakan Analisis Hirarki Proses (AHP) berdasarkan faktor
penyebab perubahan cadangan karbon, aktor dan preferensi stakeholder. Alur
kerangka penelitian dapat dijelaskan pada Gambar 1.
Perumusan masalah

Masyarakat :
Jumlah penduduk
Tingkat pendidikan
Aksesibilitas
Tingkat pendapatan

Pemerintah :
RTRW
Pengaturan zonasi

Analisis perubahan
tutupan lahan tahun
2002 dan 2013

Peta perubahan
cadangan karbon
Pendugaan cadangan
karbon

Faktor yang mempengaruhi
perubahan cadangan karbon

Preferensi stakeholder

Swasta :
Hutan tanaman industri
Perkebunan

Arahan pengembangan TN Sembilang untuk
meningkatkan cadangan karbon dan kesejahteraan
masyarakat

Gambar 1 Alur kerangka berpikir

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi perubahan tutupan lahan di TN Sembilang.
2. Menghitung perubahan cadangan karbon permukaan di TN Sembilang.

5
3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan cadangan karbon
permukaan di TN Sembilang.
4. Menyusun arahan pengembangan kawasan TN Sembilang.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam
pengelolaan TN Sembilang dan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
berkepentingan dalam pengelolaan kawasan TN Sembilang, untuk dapat
meningkatkan cadangan karbon dan kesejahteraan masyarakat di sekitar TN
Sembilang.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Perubahan Tutupan Lahan
Lahan adalah lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, dan
vegetasi serta benda-benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya
terhadap penggunaan lahan (Arsyad 2010). Penutupan lahan (land cover)
berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan
penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada obyek tersebut
(Lillesand dan Kiefer 1979). Penutupan lahan berdasarkan kenampakan fisiknya
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang memiliki vegetasi dan non-vegetasi.
Perubahan penggunaan lahan / tutupan lahan pada umumnya terjadi oleh
karena faktor manusia seperti pertambahan penduduk, ekonomi dan struktur
sosial; dan faktor alam seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan gunung
meletus. Perubahan karena manusia sangat menonjol terutama karena faktor
aksesibilitas, pesatnya laju pertumbuhan penduduk dan jarak lokasi terhadap pusat
kegiatan (infrastruktur). Perubahan karena sifat lahannya sendiri yang paling
banyak terjadi adalah di daerah pantai atau sungai yang berubah karena pengaruh
alam seperti iklim dan erosi.
Perubahan tutupan lahan dapat dibagi menjadi dua bentuk (FAO 2000
dalam Phong 2004) yaitu:
1. Konversi dari suatu kategori penutupan lahan menjadi kategori yang lain,
contohnya dari hutan menjadi padang rumput.
2. Modifikasi dari suatu kategori, contohnya dari hutan rapat menjadi hutan
jarang.
Hutan melepaskan CO2 ke udara lewat respirasi dan dekomposisi serasah,
namun terjadi secara bertahap. Pelepasan CO2 dalam jumlah besar secara terjadi
saat kebakaran hutan. Pembakaran vegetasi di atas permukaan tanah untuk
kegiatan konversi lahan akan menyebabkan kehilangan jumlah karbon tersimpan
sebesar 66% dibandingkan dengan pemotongan tanpa pembakaran yang
kehilangan jumlah karbon tersimpan relatif kecil hanya 22% (Hairiah dan Rahayu
2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan dan penutupan
lahan di kawasan hutan antara lain: pertumbuhan penduduk dan kemiskinan,

6
kepadatan penduduk, urbanisasi, perluasan lahan pertanian, perluasan pemukiman,
tingkat pendapatan, aksesibilitas terhadap sumberdaya alam, nilai sumberdaya
hutan, tingkat pendidikan, kebijakan, institusi, dan pengaruh masyarakat lokal
(Lasco et al. 2004).
Kehutanan, seperti halnya dengan pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi
atau padang rumput, merupakan pembagian utama penggunaan lahan pedesaan.
Kehutanan merupakan alternatif penggunaan yang akan berkompetisi langsung
dengan jenis penggunaan utama lainnya pada tipe lahan tertentu (Dent 1978 dalam
Sitorus 1985). Akan tetapi kehutanan berbeda dari pertanian paling tidak dalam
tiga hal berikut: 1) periode daur yang panjang sehingga untuk dapat bersifat
ekonomis, biaya-biaya pengembangan harus diusahakan agar tetap rendah; 2)
meliputi areal yang luas, sehingga teknik-teknik pengelolaan lahan yang mahal
tidak digunakan; 3) produktivitas yang rendah sehingga kehutanan umumnya
dialokasikan pada tanah-tanah marginal (Lee 1981 dalam Sitorus 1985).

Biomasa dan Karbon Tersimpan
Definisi Biomasa dan Karbon Tersimpan
Biomasa didefinisikan sebagai total jumlah materi hidup di atas permukaan
pada suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan ton berat kering per satuan luas
(Brown 1997). Biomasa hutan adalah keseluruhan volume makhluk hidup dari
semua spesies pada waktu tertentu (Clark 1979 dalam Sutaryo 2009). Biomasa
terbagi menjadi dua komponen biomasa yaitu komponen biomasa di atas
permukaan tanah dan komponen biomasa di bawah permukaan tanah. Komponen
biomasa di atas permukaan tanah merupakan bagian terbesar dari total jumlah
biomasa.
Karbon atau zat arang merupakan suatu unsur berbentuk padat maupun cair
yang biasanya banyak terdapat di dalam perut bumi, di dalam tumbuhan maupun
di udara (atmosfer) dalam bentuk gas. Potensi penyimpanan karbon secara
maksimum dapat diperoleh dengan cara meningkatkan biomasa di atas permukaan
tanah. Biomasa di atas permukaan tanah mengandung jumlah bahan organik
relatif lebih besar dibanding biomasa di bawah permukaan tanah (Canadell 2002
dalam Lusiana et al. 2005).
Lusiana et al. (2005) menjelaskan beberapa cara untuk menaikkan
penyerapan karbon (stok karbon), yaitu dengan menjaga hutan agar dapat tumbuh
secara alami, mengurangi pemanenan hutan, menambah jumlah pohon di dalam
hutan serta mendirikan hutan tanaman yang pertumbuhannya cepat.
Hutan, tanah, laut dan atmosfer semuanya menyimpan karbon yang
berpindah secara dinamis diantara tempat-tempat penyimpanan tersebut sepanjang
waktu. Tempat penyimpanan ini disebut dengan kantong karbon aktif.
Penggundulan hutan akan mengubah kesetimbangan carbon dengan meningkatkan
jumlah karbon yang berada di atmosfer dan mengurangi karbon yang tersimpan di
hutan, tetapi hal ini tidak menambah jumlah keseluruhan karbon yang berinteraksi
dengan atmosfer.
Tumbuhan akan mengurangi karbon di atmosfer (CO2) melalui proses
fotosintesis dan menyimpannya dalam jaringan tumbuhan. Sampai waktunya
karbon tersebut tersikluskan kembali ke atmosfer, karbon tersebut akan

7
menempati salah satu dari sejumlah kantong karbon. Semua komponen penyusun
vegetasi baik pohon, semak, liana dan epifit merupakan bagian dari biomasa atas
permukaan. Akar tumbuhan juga merupakan penyimpan karbon selain tanah itu
sendiri. Jumlah cadangan karbon pada tanah gambut mungkin lebih besar
dibandingkan dengan cadangan karbon yang ada di atas permukaan. Karbon juga
masih tersimpan pada bahan organik mati dan produk-produk berbasis biomasa
seperti produk kayu baik ketika masih dipergunakan maupun sudah berada di
tempat penimbunan. Karbon dapat tersimpan dalam kantong karbon dalam
periode yang lama atau hanya sebentar. Peningkatan jumlah karbon yang
tersimpan dalam karbon pool ini mewakili jumlah karbon yang terserap dari
atmosfer. (Komiyama et al. 2008)
Pengukuran Biomasa dan Karbon Tersimpan
Pengukuran biomasa sangat dibutuhkan untuk menduga besarnya jumlah
karbon tersimpan di dalam hutan dan pengaruhnya terhadap siklus biogeokimia.
Menurut Tresnawan dan Rosalina (2002) besarnya karbon tersimpan mencapai
50% dari nilai biomasanya. Penghitungan biomasa tumbuhan dapat dilakukan
dengan empat cara, yaitu a) sampling dengan pemanenan (destruktif); b) sampling
tanpa pemanenan (non-destruktif); c) pendugaan menggunakan penginderaan
jauh; dan d) pembuatan model (Sutaryo 2009). Parameter dan metode pengukuran
biomasa yang telah digunakan dalam berbagai penelitian, disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Biomasa di atas permukaan tanah dan metode pengukurannya
No. Parameter
1 Arang dan abu
2 Serasah kasar dan halus
3 Tumbuhan bawah
4 Tumbuhan berkayu
5 Pohon hidup
6 Pohon mati yang masih berdiri
7 Pohon mati yang sudah roboh
8 Tunggak pohon
Sumber: Hairiah dan Rahayu (2007)

Metode
Destruktif
Destruktif
Destruktif
Destruktif
Non-destruktif
Non-destruktif
Non-destruktif
Non-destruktif

Karbon Tersimpan di Berbagai Tipe Penutupan Lahan
Studi pengukuran cadangan karbon tersimpan pada berbagai tipe tutupan
lahan telah banyak dilakukan di Indonesia. Pengukuran cadangan karbon
tersimpan ini menunjukkan hasil yang beragam pada berbagai tipe penutupan
lahan. Perbedaan cadangan karbon tersimpan juga ditunjukkan pada tipe
penutupan lahan yang sama di lokasi yang berbeda. Perbedaan ini dapat
dipengaruhi oleh struktur vegetasi dan aktivitas manusia (silvikultur atau
pemanenan), degradasi dan bencana alam (Sutaryo 2009). Hasil pengukuran
karbon tersimpan di berbagai tipe penutupan lahan pada beberapa lokasi
penelitian yang dilakukan oleh para peneliti sebelumnya tersaji pada Tabel 2.

8
Tabel 2 Karbon permukaan di berbagai tipe penutupan lahan di beberapa lokasi
penelitian
No.

Tipe Hutan/ kelas
tutupan lahan

1

Hutan primer

2

Hutan sekunder

3

Hutan mangrove
sekunder
Hutan gambut
Savana/padang
rumput
Semak Belukar

4
5
6

Karbon
Permukaan
Sumber
(ton/ha)
230,10
Lusiana et al.
(2005)
178,44
Prasetyo (2010)
54,1 – 182,5 Darmawan et al.
(2008)
200
Agus (2007)
6,0
Prasetyo (2000)
15,0

Prasetyo (2000)

Lokasi
Kabupaten Nunukan,
Kalimantan Timur
Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan
KPH Purwakarta, Jawa Barat
Indonesia
Jambi
Jambi

Sumber : Badan Litbang Kementerian Kehutanan (2010)

Aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh dalam Pendugaan Cadangan Karbon
Penggunaan SIG dan penginderaan jauh dalam pendugaan cadangan karbon
dan perubahannya telah dimasukkan dalam metode Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC) Guidelines 2006. Proses inventarisasi karbon dalam
metode IPCC Guidelines 2006 menggunakan interpretasi kelas lahan dan
perubahannya dari data satelit multiwaktu secara konsisten. Hasil pemetaan
perubahan tutupan lahan diintegrasi dengan data hasil pengukuran cadangan
karbon lapangan menghasilkan pendugaan perubahan cadangan karbon
multiwaktu. Penggunaan data satelit multiwaktu secara konsisten dapat
meningkatkan tingkat keakurasian pendugaan cadangan karbon pada lahan
tersebut (IPCC 2006).
Penelitian mengenai pendugaan cadangan karbon menggunakan data satelit
telah cukup banyak dilakukan di Indonesia. Penelitian mengenai pendugaan
karbon tegakan Acacia mangium menggunakan citra landsat 7 ETM+ dan SPOT-5
di BKPH Parung Panjang, KPH Bogor telah dilakukan oleh Dahlan (2005).
Kandungan karbon tersimpan di atas permukaan tanah tegakan A. mangium di
areal BKPH Parung Panjang berdasarkan citra landsat 7 ETM+ sebesar 16,52
ton/ha (Dahlan 2005).
Lusiana et al. (2005) menduga cadangan karbon berdasarkan nilai NDVI
(normalized difference vegetation index) pada tingkat piksel dan hubungan regresi
terhadap cadangan karbon di Daerah Aliran Sungai (DAS) Sembakung dan
Sebuku (Kabupaten Nunukan tanpa Kecamatan Krayan) menggunakan citra
landsat 5 dan 7. Penggunaan koreksi terhadap areal tutupan awan menunjukkan
bahwa rata-rata kerapatan cadangan karbon di DAS Sembakung dan Sebuku
(Kabupaten Nunukan tanpa Kecamatan Krayan) menurun antara tahun 1996 –
2003 dari 211 ton/ha menjadi 175 ton/ha. Hilangnya cadangan karbon sebesar
17% dalam kurun waktu 7 tahun terjadi akibat konversi hutan primer seluas
217.000 ha (24%) menjadi tipe penggunaan lahan lainnya yang masih menyimpan
sebagian cadangan karbon tersimpan dari hutan primer.

9

3 METODE
Penelitian ini menggunakan kombinasi teknologi penginderaan jauh, studi
pustaka dan data pengukuran langsung di lapangan. Integrasi data perubahan
penutupan lahan dengan data hasil pengukuran cadangan karbon pada skala plot
memberikan pendugaan perubahan cadangan karbon pada skala lanskap.
Analisis faktor penyebab perubahan cadangan karbon dilakukan dengan
menggunakan pendekatan analisis regresi berdasarkan data sekunder yang ada.
Data sekunder yang digunakan dalam analisis faktor penyebab perubahan
cadangan karbon dikategorikan menurut tiga aktor utama yang berperan di TN
Sembilang yaitu masyarakat, swasta dan pemerintah. Aktivitas masyarakat, swasta
dan kebijakan pemerintah yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TN
Sembilang akan mempengaruhi perubahan cadangan karbon permukaan di TN
Sembilang.
Penelitian ini hanya menghitung cadangan karbon permukaan. Hal ini
dikarenakan cadangan karbon permukaan lebih rentan terhadap perubahan.
Potensi penyimpanan karbon secara maksimum dapat diperoleh dengan cara
meningkatkan biomasa di atas permukaan tanah. Biomasa di atas permukaan
tanah mengandung jumlah bahan organik relatif lebih besar dibanding biomasa di
bawah permukaan tanah (Canadell 2002 dalam Lusiana et al. 2005).

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di TN Sembilang, Kabupaten Banyuasin, Provinsi
Sumatera Selatan (Gambar 2). Penelitian dilaksanakan selama 7 (tujuh) bulan,
dari bulan April sampai Oktober 2014. Wilayah TN Sembilang berada pada
posisi : 1°63’ - 2°48’ LS dan 104°11’ - 104°94’ BT. Batas wilayah kawasan TN
Sembilang adalah sebagai berikut :
 Sebelah Utara : Sungai Benu dan batas Provinsi Jambi
 Sebelah Timur : Selat Bangka
 Sebelah Selatan : Sungai Banyuasin, Sungai Air Calik dan Karang Agung
 Sebelah Barat : Hutan Produksi wilayah ex HPH PT. Riwayat Musi
Timber dan PT. Sukses Sumatera Timber dan kawasan transmigrasi
Karang Agung Tengah dan Karang Agung Hilir.

10

Gambar 2 Peta lokasi penelitian

Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan secara umum dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Bahan dan alat yang digunakan saat pengambilan data lapang yaitu, global
positioning system (GPS), kamera digital, alat tulis dan peta kawasan.
b. Bahan dan alat yang digunakan saat pengolahan dan analisis data yaitu:
laptop, satu paket sistem informasi geografis (SIG), software ArcGis 10.1,
software expert choice 11, software SPSS 15, software Microsoft office, dan
citra landsat tahun 2002 dan 2013.

Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data
sekunder. Sumber data primer diperoleh dari hasil cek lapang dan wawancara
serta kuesioner. Data sekunder diperoleh dari data hasil penelitian sebelumnya
(pihak lain), studi pustaka, instansi pemerintah terkait, dan data-data sekunder
lainnya yang relevan. Jenis data dan sumber data dapat dilihat pada Tabel 3.

11
Tabel 3 Jenis data, sumber data, teknik analisis, dan hasil yang diharapkan
No. Tujuan
1

2

3

4

Jenis Data

Mengidentifikasi Citra landsat 2002
perubahan
dan 2013, peta
tutupan lahan
RBI, Peta tata
batas TNS, Peta
zonasi, Peta
administrasi.
Menghitung
Hasil analisis, Data
perubahan
biomasa per
cadangan karbon tutupan lahan
permukaan

Sumber Data

Teknik Analisis Keluaran

Balai TN
Sembilang, BIG,
Bappeda dan U.S.
Geological Survei,
http://usgs.gov

Interpretasi
citra dengan
metode visual
dan overlay

Data survei
Alometrik dan
lapangan CIFOR NDVI
di hutan mangrove
TN Sembilang dan
data survei
lapangan MRPP di
hutan rawa merang
Mengetahui
Jumlah penduduk, Data perubahan
Analisis regresi
faktor yang
tingkat pendidikan, cadangan karbon, dan deskriptif
mempengaruhi tingkat pendapatan BPS, Bappeda dan
perubahan
dan kepadatan
Balai TN
cadangan karbon penduduk, Peta
Sembilang
permukaan
Zonasi, peta
RTRW
Menyusun
Hasil Analisis 2
Wawancara dan
Analisis hirarki
arahan
dan 3 serta
kuesioner
proses (AHP)
pengembangan preferensi
kawasan TNS
stakeholder

Tutupan lahan
TN Sembilang
tahun 2002 dan
2013

Peta sebaran dan
perubahan
cadangan karbon

Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perubahan
cadangan karbon

Arahan
pengembangan
kawasan TNS

Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer untuk validasi klasifikasi tutupan lahan diperoleh dengan pengecekan
lapangan. Data primer untuk mendapatkan data preferensi stakeholder diperoleh
melalui wawancara dan kuesioner (Lampiran 1). Data sekunder yang
dikumpulkan meliputi data survei lapangan dari penelitian pendugaan cadangan
karbon hutan mangrove di TN Sembilang oleh CIFOR dan Balai TN Sembilang
pada tahun 2011, penelitian Merang REDD Pilot Project (MRPP) pada tahun
2010, citra landsat path 124 dan row 61+62 tahun 2002 dan 2013, peta-peta
pendukung penelitian, serta studi pustaka untuk mendukung data primer dan
analisis data tentang cadangan karbon. Diagram alur penelitian dapat dilihat pada
Gambar 3.

12
Peta administratif dan
Peta kawasan TN
Sembilang

Tutupan lahan
tahun 2002

Tutupan lahan
tahun 2013

Overlay
Tujuan 1
Matriks perubahan tutupan lahan

Luas tutupan lahan 2013

Luas tutupan lahan 2002

Alometrik dan NDVI

Studi pustaka

Tujuan 2

Peta perubahan cadangan karbon permukaan

Pemerintah :
RTRW
Pengaturan zonasi

Masyarakat :
Jumlah penduduk
Tingkat pendidikan
Aksesibilitas
Tingkat pendapatan

Analisis regresi
linier berganda

Swasta :
HTI
Perkebunan

Faktor yang berpengaruh
terhadap perubahan
cadangan karbon

Tujuan 3.

Analisis hirarki proses
(AHP)

Tujuan 4.

Data survei lapangan

Stakeholder, pakar,
masyarakat / LSM

Arahan pengembangan kawasan TN Sembilang

Gambar 3 Diagram alur penelitian
Preferensi Stakeholder
Pengumpulan data preferensi stakeholder yang akan diproses pada analisis
AHP ditentukan dengan metode purposive sampling. Kriteria stakeholder tersebut
diidentifikasi dengan rincian seperti tertera pada Tabel 4.

13
Tabel 4 Kriteria stakeholders, instansi, dan jumlah responden
No
1
2
3
4
5
6

Kriteria
Stakeholder
Kedudukan/jabatan
Kedudukan/jabatan
Kedudukan/jabatan
Kedudukan/jabatan
LSM
Masyarakat
Jumlah

Asal Institusi Lembaga dan
Bidang Keahlian
Kepala Subbagian TN Sembilang
Kepala Seksi TN Sembilang
Pengendali Ekosistem Hutan
Balitbang Kehutanan
CIFOR Indonesia
Tokoh masyarakat

Jumlah
Responden
1
1
1
1
1
1
6

Pengukuran Biomasa
Pengukuran biomasa pohon dilakukan dengan cara tidak langsung
(nondestructive) untuk hutan mangrove, secara langsung (destructive) untuk hutan
rawa, semak belukar dan lahan terbuka. Karbon pohon merupakan salah satu
sumber karbon yang sangat penting pada ekosistem hutan, karena sebagian besar
karbon hutan berasal dari biomasa pohon. Pohon merupakan proporsi terbesar
penyimpanan karbon di daratan. Pengukuran biomasa pohon dan pohon mati
dapat dilakukan dengan cara pengukuran tidak langsung dengan menggunakan
persamaan alometrik yang didasarkan pada pengukuran diameter batang (Hinrichs
et al. 1998).
Beberapa persamaan alometrik yang dapat digunakan untuk hutan tropis
telah disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan secara global maupun lokal.
Alometrik lokal dapat dikembangkan berdasarkan kondisi tapak maupun jenis
atau kelompok jenis untuk meningkatkan ketelitian. Pengukuran biomasa pohon
menggunakan alometrik membutuhkan data lapangan yang diukur pada plot
utama. Data yang dikumpulkan dari tiap plot adalah jenis pohon, diameter pohon
setinggi dada (dbh), tinggi pohon, dan berat jenis pohon.
Pengukuran biomasa dalam penelitian ini menggunakan data survei
lapangan dari penelitian pendugaan cadangan karbon hutan mangrove di TN
Sembilang oleh CIFOR dan Balai TN Sembilang pada tahun 2011, dan penelitian
Merang REDD Pilot Project (MRPP) pada tahun 2010. Penggunaan data survei
lapangan dalam penelitian ini seijin peneliti sebelumnya dengan surat perjanjian
tertulis (lampiran 2). Pendugaan biomasa di TN Sembilang menggunakan dua
metode yang berbeda. Hal ini dikarenakan penelitian pendugaan cadangan karbon
yang ada di TN Sembilang hanya di tutupan lahan hutan mangrove. Pendugaan
cadangan karbon di tutupan lahan hutan rawa, semak belukar dan lahan terbuka
menggunakan data Merang REDD Pilot Project (MRPP) dengan lokasi penelitian
berdekatan dengan kawasan TN Sembilang.
a) Pengukuran biomasa tutupan lahan hutan mangrove
Karbon pool yang diukur pada tutupan lahan hutan mangrove adalah pohon
dan kayu mati. Serasah tidak diukur karena faktor pasang surut air laut
menyebabkan serasah bukan sepenuhnya berasal dari tegakan mangrove pada
lokasi tersebut. Metode pengambilan sampel pada hutan mangrove menggunakan

14
metode pengambilan sampel yang dikembangkan oleh Kauffman dan Donato
(2010). Pengukuran biomasa dengan membuat jalur transek sepanjang 125 m
dimana setiap transek terdiri dari 6 plot berbentuk lingkaran dengan jarak masingmasing plot sepanjang 25 m. Semua pohon yang terdapat pada masing-masing
plot diukur DBH (di 1,3 m atau 20 cm di atas akar panggung) dan diidentifikasi
nama spesies. Masing masing ukuran plot pada penelitian ini adalah sebangai
berikut:
Plot dengan ukuran diameter 2 m, semua pohon dengan DBH < 5 cm
Plot dengan ukuran diameter 7 m, semua pohon dengan DBH > 5 cm
Plot dengan ukuran 40 m x 125 m, semua pohon dengan DBH > 50 cm
Pengukuran diameter setinggi dada pada berbagai kondisi pohon di
lapangan dapat dilihat pada Lampiran 7. Bentuk dan ukuran plot pengukuran
biomasa hutan mangrove dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Bentuk dan ukuran plot pengukuran biomasa hutan mangrove
b) Pengukuran biomasa pada hutan rawa, semak belukar dan lahan terbuka.
Pengukuran biomasa pada hutan rawa, semak belukar dan lahan terbuka
dilakukan pada pohon, pohon mati, kayu mati dan serasah. Masing masing plot
dalam penelitian ini adalah:
Plot A : Semai dengan luasan minimal 4 m2
Plot B : Pancang dengan luasan minimal 25 m2
Plot C : Tiang dengan luasan minimal 100 m2
Plot D : Pohon dengan luasan minimal 400 m2
Bentuk dan ukuran plot pengukuran biomasa hutan rawa, semak belukar dan
lahan terbuka dapat dilihat pada Gambar 5.

15
c

d

b
a

N

Gambar 5 Bentuk dan plot pengukuran biomasa hutan rawa, semak belukar dan
lahan terbuka
Penelitian ini menggunakan 56 plot survei pengukuran cadangan karbon
lapangan. Setiap plot tersebar secara acak mewakili setiap stratum secara
proporsional. Lokasi plot survei sebagian berada di luar lokasi penelitian. Hal ini
dikarenakan keterbatasan data sekunder yang ada di lokasi penelitian. Lokasi plot
survei pengukuran cadangan karbon dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Peta lokasi plot karbon

Metode Analisis Data
Analisis Pendugaan Potensi Biomasa
Analisis pendugaan biomasa permukaan dalam penelitian ini menggunakan
persamaan alometrik yang telah ada dari penelitian sebelumnya. Model alometrik
adalah model regresi yang menyatakan hubungan antara ukuran atau pertumbuhan

16
dari salah satu komponen individu pohon dengan keseluruhan komponen dari
individu pohon tersebut. Persamaan ini digunakan untuk menduga parameter
tertentu dengan menggunakan parameter lainnya yang lebih mudah diukur yaitu
diameter dan tinggi. Peran utama persamaan alometrik dalam penelitian ini adalah
menduga biomasa suatu vegetasi dari ukuran diameter batang setinggi dada pada
vegetasi tersebut. Persamaan alometrik yang digunakan pada hutan mangrove
adalah persamaan alometrik berdasarkan jenis vegetasi yang terdapat pada hutan
mangrove. Persamaan alometrik yang digunakan pada hutan rawa, semak belukar
dan lahan terbuka menggunakan persamaan alometrik lokal yang disusun pada
penelitian sebelumnya (Kusmana et al. 1992).
Pemilihan persamaan alometrik yang akan dipakai dalam pendugaan
biomasa merupakan tahapan penting proses pendugaan biomasa. Setiap
persamaan alometrik dikembangkan berdasarkan kondisi tegakan dan variasi jenis
tertentu yang berbeda satu dengan yang lain. Pemakaian suatu persamaan yang
dikembangkan di suatu lokasi tertentu, belum tentu cocok apabila diterapkan di
daerah lain. Sebagai contoh, persamaan-persamaan yang dikembangkan di daerah
beriklim sedang yang komposisi vegetasinya cenderung homogen, akan kurang
tepat apabila diterapkan di daerah tropika yang variasi spesiesnya tinggi,
persamaan yang dikembangkan di daerah lembab/basah juga tidak cocok bila
diterapkan di daerah kering atau sebaliknya.
Metode analisis pendugaan biomasa di TN Sembilang adalah sebagai
berikut:
a) Hutan Mangrove
Analisis pendugaan biomasa pohon pada hutan mangrove di TN Sembilang
menggunakan alometrik yang dikembangkan oleh Kauffmann dan Donato (2010).
Persamaan alometrik untuk tutupan lahan hutan mangrove dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5 Persamaan alometrik untuk tutupan lahan hutan mangrove
Species
N
D Max H Max R2
Persamaan alometrik
Bruguiera gymnorrhiza 325
132
34 0.96 0.0464*(D2H)0.9427*ρ
Rhizophora apiculata
193
60
35 0.96 0.0444*(D2H)0.96842*ρ
Rhizophora mucronata
73
39.5
21 0.95 0.0311*(D2H)1.00741*ρ
Xylocarpus granatum
115
128.5
31
0.0830*(D2H)0.89806*ρ
General Equation
84
42
0.0509*ρ*(D)2*H
Sumber : Kauffmann dan Donato (2010)
Keterangan :
B
: Biomasa (kg)
H
: Tinggi (m)
D
: Diameter setinggi dada (cm)
ρ
: Berat jenis (g/cm3)
Dmax : Diameter maksimum (cm).
Perhitungan biomasa kayu
(Kauffmann dan Donato, 2010):

mati

menggunakan

persamaan

berikut

17

Keterangan :
B : Biomasa
d : Diameter (cm)
π : 22/7 atau 3,14
L : Panjang transek (m)
ρ : Berat Jenis (g/cm3)
Biomasa di dalam tiap subplot diduga dengan memasukkan dbh semua
vegetasi yang diukur ke dalam persamaan alometrik yang sesuai dengan jenis
vegetasi yang diukur. Perhitungan total biomasa dalam setiap plot menggunakan
rumus berikut:
Bplot = ((Bsubplot A) * 10/subplot A) + ((Bsubplot B) * 10/subplot B) +
((Bsubplot C) * 10/subplot C)
Bplot
Bsubplot A
Bsubplot B
Bsubplot C
subplot A
subplot B
subplot C

: Total biomasa dalam plot (ton/ha)
: Total biomasa pada subplot A (kg)
: Total biomasa pada subplot B (kg)
: Total biomasa pada subplot C (kg)
: Luas subplot A (m2)
: Luas subplot B (m2)
: Luas subplot C (m2)

Pendugaan biomasa pada bentang lahan hutan mangrove dengan cara
deliniasi zona berdasarkan spesies dominan. Penentuan spesies dominan tiap plot
menggunakan indek nilai penting. Indeks Nilai Penting (INP) dapat diperoleh
dengan menggunakan rumus:

18
Biomasa rata-rata tutupan lahan hutan mangrove dihitung dengan
menggunakan rumus di bawah ini:

Keterangan :
BM
ΣB plot R
ΣN plot R
luas R
ΣB plot B
ΣN plot B
luas B
luas M

: Rata-rata biomasa mangrove (ton/ha)
: Total biomasa seluruh plot yang didominasi rhizophora (ton/ha)
: Jumlah plot yang didominasi rhizophora
: Luas mangrove yang didominasi rhizophora (ha)
: Total biomasa seluruh plot yang didominasi bruguiera (ton/ha)
: Jumlah plot yang didominasi bruguiera
: Luas mangrove yang didominasi bruguiera (ha)
: Luas total hutan mangrove (ha)

b) Hutan rawa, semak belukar dan lahan terbuka
Analisis pendugaan biomasa pohon pada tutupan lahan hutan rawa, semak
belukar dan lahan terbuka menggunakan alometrik hasil penelitian Merang REDD
Pilot Project (MRPP) pada tahun 2010. Penyusunan persamaan alometrik pada
penelitian MRPP dengan tahapan sebagai berikut:
1. Penentuan pohon dominan dengan analisis indeks nilai penting,
2. Penebangan pohon contoh dan pembagian fraksi pohon.
3. Penimbangan dan pengukuran berat basah.
4. Pengambilan dan penimbangan berat basah sub-sampel.
5. Analisis berat kering di laboratorium.
6. Analisa berat jenis kayu.
7. Pemilihan model alometrik terbaik
Alometrik yang