Jejak-Jejak Perbudakan di Tanah Arab

HADLARAH

Jejak-Jejak Perbudakan
di Tanah Arab
AJIB PURNAWAN

pd

fsp

litm
erg
er.
co
m)

bahwa para budak pada awal kelahiran Islam diperoleh dari
tawanan perang, termasuk perempuan dan anak-anak. Tentara
Muslim mendapatkan mereka dengan cara menyergap
rombongan musuh.
Era Umayyah, Abbasiyah dan selanjutnya, perdagangan budak

menjadi salah satu bisnis yang menggiurkan, sehingga semakin
meluas karena menguntungkan seluruh negara Islam. Budakbudak dari Afrika Timur dan Tengah berkulit hitam; dari Fargana,
Turkistan dan China berkulit kuning; dari Timur Dekat atau Eropa
Timur dan Selatan berkulit putih. Budak-budak dari Spanyol disebut
shaqalibah, harganya bisa mencapai seribu dinar. Bandingkan
dengan budak dari Turki yang “hanya” seharga enam ratus dinar.
Namun, Philip K Hitti juga mengakui bahwa Islam-lah satu-satunya
agama yang berusaha menghapuskan perbudakan (2005: 426).
Budak dalam masyarakat Arab abad pertengahan merupakan
kelas yang paling rendah sebagaimana juga terjadi dalam agama
Hindu pada kasta Syudra. Pelestarian perbudakan dalam
masyarakat Arab telah lama dianut oleh rumpun Semit Kuno, hal
ini diperparah dengan legalitas perbudakan yang diberikan oleh
Kitab Perjanjian Lama. Perbudakan masih tetap berlangsung
hingga sepeninggal Nabi Muhammad. Kepemimpinan Muslim di
bawah Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Usman bin Affan, Ali bin
Abi Thalib, Daulah Umayyah, Abbasiyah, dan seluruh kerajaan
Islam abad pertengahan masih tetap melestarikan perbudakan.
Budak berprofesi sebagai pembantu istana maupun sebagai
tentara bagi sebuah kerajaan yang telah menawannya.

Pada masa Dinasti Abbasiyah (750-1258 M) terjadi stratifikasi
sosial dalam masyarakat Muslim. Posisi teratas ditempati oleh
khallifah dan keluarganya. Lalu pejabat pemerintahan dan
keturunan Hasyim. Terakhir adalah mereka yang berprofesi
sebagai pembantu yang terdiri dari para tawanan perang atau
mereka yang direkrut paksa dari kalangan non Muslim. K. Hitti
menyebutkan kalau praktik perbudakan semakin menunjukkan
angka yang signifikan ketika jumlah budak mencapai 11.000 orang
pada masa Khalifah al-Muqtadir (908-932 M).

De
mo
(

Vi
sit

htt
p:/
/w

w

w.

P

erbudakan telah muncul berabad-abad sebelum kedatangan
Islam. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jilid I (2002)
menyinggung kata “sahaya” pertama kali untuk menunjuk
kepada istri Nabi Ibrahim, ibu Nabi Ismail. Dia adalah Hajar, dinikahi
Nabi Ibrahim karena Sarah tidak segera memberinya anak. Jika
mengacu kepada perkiraan hidup Nabi Ibrahim yang diajukan oleh
Ibnu Katsir, maka budak telah menjadi bagian hidup manusia sejak
2000 SM.
Undang-undang yang dikeluarkan oleh Hammurabi (sekitar
1800 SM) dalam salah satu pasalnya juga mengatur tentang budak.
Bani Israil pada Nabi Musa (1527-1407 SM) dikekang kehidupannya
dan menjadi budak hingga Musa mengeluarkan mereka dari Mesir.
Di China, masa dinasti Shang (1527-1407 SM) membuat pasukan
yang terdiri dari para budak. Para Budak juga menjadi tentara

kerajaan Persia yang berperang melawan Yunani dalam perang
Greco-Persia antara tahun 550–330 SM. Dalam film dokumenter
yang berjudul Vesuvius, peradaban Pompei di bawah gunung
Vesuvius Romawi, pada tahun 2 M mempekerjakan budak untuk
mencuci baju kaum bangsawan, menjadi pekerja laundry, pengawal,
pekerja angkat berat dan lain sebagainya.
Perdagangan budak di seluruh dunia memang telah terjadi sejak
ribuan tahun lalu, terutama di zaman Romawi. Yang diperdagangkan
di pasar budak adalah rakyat, serdadu, perwira dan bahkan
bangsawan dari negara-negara yang kalah perang dan kemudian
dijual sebagai budak. Selama Perang Salib yang berlangsung sekitar
200 tahun. Ratusan ribu orang dari berbagai etnis yang ditawan,
dijual sebagai budak sehingga membanjiri pasar budak, dan
mengakibatkan anjloknya harga budak waktu itu.

Budak di Arab
Masyarakat Jahiliyah di dataran Arab memiliki beberapa jenis
perkawinan, salah satunya adalah perkawinan hamba sahaya.
Perkawinan ini dilakukan antara tuan dengan hamba sahaya
perempuannya. Sebab, “hamba” adalah barang hak milik bagi

tuannya. Bila dikaruniai anak, maka anak itu tidak boleh
menasabkan diri kepada ayahnya. Si anak bisa dijadikan budak
oleh sang ayah. Seorang anak dari keturunan hamba sahaya
dinamakan Hajin, ayahnya seorang terhormat (syarif) sedangkan
ibunya mempunyai derajat lebih rendah (al-wadi’ah) (Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, 2002: 45).
Perbudakan masih berlangsung ketika Muhammad menjadi
Nabi. Seorang orientalis, Philip K Hitti (2005: 496), mengungkapkan
48

10 - 25 SHAFAR 1432 H

Mamluk, Kerajaan Para Budak
Budak dalam bahasa Arab adalah ar-riqab, bentuk jamak dari
kata raqabah yang awalnya berarti leher. Sebab, seorang budak
berasal dari tentara yang kalah perang. Tawanan dari pihak musuh
itu lalu tangannya dibelenggu dengan mengaitkan pengikat ke leher,
biasa disebut dengan Asra. Ulama terdahulu memahami kata ini

HADLARAH


pd

fsp

litm
erg
er.
co
m)

semula hanya budak kerajaan menentang kepemimpinan
Turansyah. Raja baru ini tidak berkutik karena sedemikian besar
jumlah tentara Mamluk. Belum genap setahun memerintah,
Turansyah dibunuh oleh seorang tentara atas perintah
Syajaratuddur. Mamluk menjadi tentara yang paling berkuasa,
Syajaratuddur memproklamirkan diri menjadi Sultan Perempuan
Pertama dalam Islam. Kepemimpinan Syajaratuddur mendapat
banyak tantangan karena menurut pendapat ulama,
kepemimpinan perempuan bertentangan dengan agama. Lalu,

Khalifah Abbasiyah menegur dan Syajaratuddur menyerahkan
kekuasaan dan dirinya (menikah) kepada Izzudin Aibak. Selain
itu, Syajaratuddur tidak dapat mengendalikan Mamluk, karena
yang paling berkuasa atas para budak ini adalah Izzudin Aybak
yang akhinya mendirikan Kesultanan Mamluk di Mesir. Kesultanan
ini mampu bertahan selama hampir tiga abad (1250-1517 M).
Masalah perbudakan, menurut Sayyid Amir Ali yang dikutip
oleh Mukti Ali, sudah ada sejak jaman purba di seluruh belahan
dunia. Bangsa Yahudi, Yunani, Romawi, dan Jerman di masa
lampau mengakui dan memakai sistem perbudakan. Agama
Kristen tidak membawa ajaran untuk menghapus sistem
perbudakan itu. Islam, berlainan dengan agama-agama
sebelumnya, datang dengan ajaran untuk membebaskan sistem
perbudakan. Dosa-dosa tertentu dapat ditebus dengan
memerdekakan budak. Budak harus diberi kesempatan membeli
kemerdekaannya dengan upah yang dia peroleh. Budak harus
diperlakukan dengan baik dan tidak boleh mendapat perlakuan
berbeda dari manusia lain (Mukti Ali, 1998: 27)
Kini, tidak ada satu negara yang melegalkan perbudakan. Di
Amerika Serikat, perbudakan secara resmi dihapus tahun 1865,

meskipun praktik rasisme masih berlangsung sampai era 1970an. Belanda menghapus sistem perbudakan pada tanggal 1 Juli
1863. Perdagangan budak di Arab Saudi berlangsung terakhir
kalinya pada tahun 1962. PBB secara resmi melaksanakan
Konvensi Menentang Perbudakan pada tahun 1953. Negaranegara yang meratifikasi Konvensi – sampai dengan 1990 ada 86
negara – berjanji untuk mencegah dan menentang perdagangan
budak dan menghapus segala bentuk perbudakan.l

De
mo
(

Vi
sit

htt
p:/
/w
w

w.


sebagai “hamba sahaya yang sedang dalam proses memerdekakan dirinya” atau yang diistilahkan dengan mukatib atau
mukatabah. Budak jenis ini menjalani profesinya karena seseorang
mengalami kesulitan ekonomi atau hutang, sehingga dia membuat
perjanjian dengan orang yang memberikan piutang agar bisa
melunasinya dengan jalan mengabdi sampai lunas. Dalam Ensiklopedi Islam Tematis (hlm. 217), Amany Burhanuddin Umar Lubis
membedakan definisi mamluk dan ‘abd. Menurutnya, kata mamluk
berarti budak atau hamba yang dibeli dan dididik dengan sengaja
agar menjadi tentara dan pegawai pemerintahan. Seorang mamluk
berasal dari ibu bapak yang merdeka. Berbeda dengan ‘abd,
seorang hamba sahaya yang berasal dari ibu-bapak sahaya juga.
Perbedaan lain adalah mamluk berasal dari kulit putih sedangkan
‘abd dari kulit hitam. Kaum mamluk berasal dari suku bangsa yang
berbeda karena dikumpulkan dari berbagai tempat. Kebanyakan
orang tidak memperhatikan perbedaan antara budak yang berasal
dari “mamluk” maupun “‘abd”. Jadi, ketika menyebut Kerajaan
Mamluk, konotasinya tetap mengarah kepada “budak” secara
umum. Seorang Mamluk dewasa bisa menjadi bebas dan tidak
menjadi budak tuannya lagi. Akan tetapi, dia wajib menunjukkan
loyalitas terhadap sultan, apa yang menjadi perintah sultan harus

dituruti, mereka mendapat sebutan sebagai Mamluk Sultan.
Sebagian Mamluk Mesir berasal dari golongan hamba yang
dimiliki oleh para sultan dan amir pada masa pemerintahan
kesultanan Bani Ayub (1169-1252 M).
Dengan begitu banyaknya budak atau mamluk yang telah
memeluk Islam, pada tahun 1250 M berdirilah Dinasti Mamluk.
Mamluk ini menjadi tentara budak (Mamluk Sultan) yang telah
memeluk Islam dan berdinas untuk khalifah Islam pada Kesultanan
Ayyubi pada kurun Abad Pertengahan. Sepeninggal sultan
Ayyubiyah terakhir, al-Malilkusshalih, putra mahkota yang
bernama Turansyah bersiap menggantikannya. Akan tetapi, sang
anak masih berada di Suriah. Untuk menghindari kevakuman
kekuasaan, ibu tiri Turansyah yang bernama Syajaratuddur
mengendalikan kekuasaan Mesir sementara waktu.
Setibanya di Mesir, Turansyah mendapatkan kekuasaan dari
yang diwariskan kepadanya. Malang, tentara Mamluk yang

SUARA MUHAMMADIYAH 02 / 96 | 16 - 31 JANUARI 2011

49