Jejak Jejak Ideologi dalam Struktur Teor

JOURNAL REVIEW
Aristides Baltas, 1986, “Ideological "Assumptions" in Physics: Social Determinations of Internal
Structures”, dalam PSA (Proceedings of the Biennial Meeting of the Philosophy of Science
Association), Volume II: Symposia and Invited Papers,
The University of Chicago Press, hlm. 130-151

Jejak-Jejak Ideologi dalam Struktur Teori Fisika
M. Najib Yuliantoro1

SEDIKITNYA terdapat dua pendekatan setiap akan menelisik sejarah teori ilmu fisika:
pendekatan internal dan pendekatan eksternal. Kedua pendekatan itu, satu sama lain, secara
simultan saling bertautan, membentuk stuktur teori dalam ilmu fisika dan selalu tak mudah
untuk dipisahkan. Baltas Aristides, dalam artikelnya yang mulai klasik berjudul Ideological
"Assumptions" in Physics: Social Determinations of Internal Structures (1986), berpendapat
demikian selepas sebelumnya ragu dan tak cukup puas dengan pendekatan Sneed-Stegmuller,
yang hanya berkonsentrasi pada sejarah internal struktur teori fisika. Baltas kemudian
menawarkan pendekatan Althusserian untuk selebihnya menunjukkan bahwa proses
pembentukan struktur internal teori fisika nyatanya tak sepenuhnya terbebas dari sesuatu yang
bersifat eksternal.
Baltas membuka diskusinya dengan terlebih dahulu mengutip Kuhn terkait maksud dari
dua pendekatan tersebut, “Pendekatan internal berpaku pada substansi ilmu fisika sebagai

pengetahuan … [sedangkan] pendekatan eksternal berjibaku pada aktifitas ilmuwan sebagai
bagian dari anggota masyarakat serta dari sebuah budaya yang lebih besar” (p.132). Namun
sayangnya, menurut Baltas, Kuhn tak menjelaskan lebih lanjut bagaimana kedua pendekatan itu
bekerja. Kuhn hanya berhenti pada kesadaran bahwa kedua pendekatan itu tak sepenuhnya
mampu menjelaskan apa yang benar-benar terjadi dalam ilmu. Sehingga untuk memuluskan
diskusinya tentang struktur internal, Baltas akhirnya mesti bekerja lebih keras, mencoba
menjelaskan maksud kalimat Kuhn, “substansi ilmu fisika sebagai pengetahuan (substance of
Physics as knowladge)”, dengan menawarkan tafsirnya sendiri.
Dalam tafsir Baltas, “substansi ilmu fisika” adalah yang secara kognitif-ilmiah berisi
kumpulan fenomena. Terdapat tiga unsur utama di dalamnya: sistem konseptual fisika (sistem
konsep dan relasi yang membentuk teori fisika; pergeseran definitif dari natunal phenomena ke
physical phenomena); prosedur eksperimen (usaha untuk menguji pernyataan dalam sistem
konseptual dengan fenomena); dan objek ilmu fisika (fenomena yang dikonstruksi oleh sistem
konseptual fisika dan distrukturisasikan oleh prosedur eksperimen). Dalam struktur teori fisika,
ketiga unsur tersebut saling mengonstitusi, menyusun interkonstitusi dan interrelasi melalui
sebuah proses yang unik. Dari sini kemudian muncul suatu dinamika internal, selfdevelopability, konsep baru, serta relasi baru di antara konsep-konsep. Interkonstitusi dan
interrelasi itu membentuk fungsi-fungsi epistemik yang secara berkelanjutan cukup bermanfaat
bagi pengembangan ilmu. Proses kebertautan tiga unsur itu merangkaikan suatu permainan
internal teori fisika dan akhirnya kemudian mengantarkan Baltas pada pengertian bahwa “the
structure and the development of Physics as a science” adalah sebuah tafsir atas “substance of

Physics as knowladge” Kuhn (p.136).

1

Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada

1

Barangkali dari uraian dan proses kebertautan tiga unsur internal tersebut seakan-akan
tak sesuatu yang menunjukkan adanya intervensi eksternal ke dalam permainan struktur
internal. Proses itu tampak bersifat otonom dari sumbangan eksternal. Tetapi tafsir “the
structure and the development of Physics as a science” Baltas atas “substance of Physics as
knowladge” Kuhn, ternyata tidak mengindikasikan pengertian demikian. Ia menemukan bahwa
proses strukturisasi dan pengembangan fisika sebagai ilmu secara ekslusif justru terbatasi oleh
interrelasi dan interkonstitusi ketiga unsur tersebut. Proses itu, kata Baltas, tak sepenuhnya
otonom, akan tetapi relatif otonom. Ia mencurigai adanya intervensi eksternal, yakni berupa
proses sosial-praktis, ke dalam internal teori fisika melalui pintu interpretasi sistem konseptual
fisika. Interpretasi sistem konseptual fisika selalu tak dapat dipisahkan dari rangkaian
pengalaman, bahasa sehari-hari dan cara pandang sang ilmuwan. Ketika proses sosial-praktis
(practical social process) secara partikular melakukan proses reproduksi sosial, maka itu adalah

saat dimana intervensi eksternal memasuki ranah internal melalui interpretasi sistem
konseptual fisika.
Baltas menganalisis kemungkinan itu melalui perspektif Althusser berupa “lingkaran
ideologis” antara ideologi praktis dan ideologi teoritis. Menurut Althusser, sebagaimana ditulis
Baltas, “pengalaman kita selalu merupakan sebuah fungsi bagi kemasyarakatan-sosial yang
karenanya, pengalaman kita secara sosial terbatasi olehnya” (p.137). Kemasyarakatan-sosial,
dengan demikian, membatasi ide, gagasan dan teori yang hendak kita salurkan ke sejumlah
pengetahuan—dalam istilah Althusserian, proses interplay antara praktik dan teoritis ini
disebut “ideologi”—sehingga kemudian dikenal istilah ideologi praktis dan ideologi teoritis yang
saling berkelindan dalam lingkaran ideologis.
Ideologi praktis merupakan pengerucutan dari proses sosial-praktis yang meliputi
perjumpaan berbagai sikap, gerak-langkah dan tingkah laku yang kemudian membentuk
gagasan, potret, dan representasi sosial. Fenomena yang terjadi dalam proses sosial-praktis
merupakan sesuatu yang secara sosial disenangi dan dikesani. Sehingga secara partikular
ideologi praktis ini seringkali berbeda-beda dan seringkali memunculkan harmoni dan konflik.
Dan justru melalui konflik dan harmoni itulah proses reproduksi sosial berlangsung.
Tatkala pembentukan ideologi praktis terus berlangsung bersamaan dengan proses
reproduksi sosial, ideologi teoritis berusaha menyistematisasikan realitas tersebut melalui
sebab-musabab (reasons) dan eksplanasi. Reasons dan eksplanasi ideologi praktis tersalurkan,
membentuk informasi dan berkonsolidasi terhadap (serta kemudian menjadi sebuah) common

sense. Konflik dan harmoni proses reproduksi sosial merupakan hasil dari perjuangan sosial,
perjuangan ideologi, perjuangan common sense. Ketika kemudian terjadi proses interpretasi
sistem konseptual fisika maka ia secara simultan merupakan bagian dari proses reproduksi
sosial. Hal ini, kata Baltas, sulit dibantah karena lingkaran ideologi Althusserian menunjukkan
adanya kaitan yang begitu kuat antara reproduksi praktis dengan reproduksi teoritis—yang
kemudian oleh Baltas disebut dengan “asumsi” ideologis.
Baltas sengaja memberi tanda kutip pada kata “asumsi” karena ketidaktegasan istilah ini.
Ia memiliki dua status yang sama-sama nyaman di kawasan struktur internal: pertama, karena
esensinya pada interpretasi yang secara penuh berpartisipasi dalam permainan internal tiga
unsur utama fisika; kedua, mengijinkan kita merangkai konsep dan relasi struktur term-term
sistem konseptual fisika sesuai dengan pengalaman kita—di tahap ini, ideologi memainkan
peranan cukup signifikan; Baltas menyebut alasan kedua ini sebagai bentuk kebohongan
jurisdiksi pada permainan struktur internal (p.139; 141-2). “Asumsi” (bertanda kutip)
bertengger pada upaya interpretasi kita terhadap sistem konseptual fisika. Dengan demikian,
proses interpretasi itu secara ideologis tak sepenuhnya bisa lepas dari struktur pengalaman
yang kita miliki saat ini. Entah ia tampak terang atau terpendam, lokal maupun global.
“Asumsi” (bertanda kutip) ideologis yang menginterpretasikan sistem konseptual fisika
terbatasi oleh sosialitas yang, seperti disebutkan di awal tulisan ini, turut membatasi pula

2


pengalaman manusia. Dari sudut self-evidently, “asumsi” ideologis memang tampak absurd,
dan karena ia semata-mata berupa sense maka ia tak dapat dikonsepsikan secara tegas, tak bisa
ditematisasikan secara ilmiah, permainan dan konsekuensinya tak dapat dijelaskan, serta
negasi interplay di dalamnya tak dapat dijustifikasi. Ia hanya mungkin dipahami sebatas
sebagai sebuah interplay yang turut melegislasi (mengatur) dan hanya sebatas ideologi yang
persisnya secara ilmiah tak memiliki alasan, irrasional, imajiner, dan barangkali meta-“asumsi”.
Sekalipun “asumsi” ideologi tampak bernada negatif karena sudah membatasi internal
sistem konseptual fisika, namun menurut Baltas, tetap tersisa sisi positifnya yakni pemakluman
menggunakan sense di kawasan internal sistem konseptual fisika. Jika menggunakan istilah
rangkaian perubahan paradigma Kuhn, proses masuknya sense (berbau ideologis) ini tepat di
saat normal science yang merupakan proses reproduksi teoritis (serta sosial). Justru melalui
“asumsi” ideologis ini kelak akan membuka kemungkinan penyingkapan, solusi dan dinamika
internal ketika, dalam istilah Kuhn, terjadi anomali-anomali lalu kemudian krisis—sekalipun
secara ilmiah, sekali lagi, hal itu cukup sulit dijelaskan. Ketika terjadi krisis pada struktur
internal, maka kelenturan (karena ketidaktegasan) konsep “asumsi” ideologis, menurut Baltas,
justru memudahkan struktur internal melakukan reinterpretasi dan resolusi sehingga
melahirkan apa yang Kuhn sebut sebagai extraordinary science. Dari sini, lalu muncul keadaan
normal kembali pada ketiga unsur struktur internal serta muncul sistem konseptual baru
(semacam new paradigm).

Berdasarkan sejumlah pertimbangan di atas, Baltas akhirnya percaya bahwa “asumsi”
ideologis tak selalu bernada buruk bagi struktur internal ilmu. Di saat krisis, “asumsi” ideologis
diam-diam menunjukkan fungsi positif, progresif dan reaksioner. Keterbukaan “asumsi”
ideologis itu justru merupakan indikasi dan faktor paling meyakinkan bagi perkembangan ilmu
fisika di masa mendatang. Pasalnya, perkembangan ilmu fisika tersusun dari dua relasi
berharga antara sistem konseptual fisika yang berlaku saat ini dan teori fisika masa lampau
yang dalam perkembangannya telah disingkirkan oleh teori kekinian. Tetapi apabila teori
kekinian kemudian menganggap teori lampau sebagai sesuatu yang terdiskualifikasi dari
sebutan ilmiah, maka hal itu, tulis Baltas, adalah sebentuk sikap ideologis—karena di sana ada
proses pengarakterisasian (characterization) (p.147).
Memang selalu tak mudah menggugurkan suatu teori sekalipun ia sudah lampau dan
berbeda dengan teori kekinian. Pembedaan antara teori lampau dan teori kekinian hanya
merupakan sebentuk diskriminasi antara teori yang ‘berhak’ ilmiah dan teori yang tidak ‘berhak’
ilmiah.2 Tak berlebihan bila dua kesimpulan penting ini dinyatakan: bahwa jika (a) sistem
konseptual fisika kekinian nyata terbukti terbatasi oleh standar ilmiahnya sendiri dan jika (b)
dijelaskan bahwa teori fisika ilmiah beserta objektifitasnya berhubungan dengan gambaran
dunia eksternal, yang kemudian perlu memerbincangkannya dengan realisme, relativisme, dan
konstruksivisme, maka barangkali keputusan itu ibarat memasukkan burung pada sangkar yang
salah. Tentunya tak berlebihan pula apabila kemudian Baltas mengibaratkan “asumsi” ideologis
dalam struktur ilmu itu bagaikan garam bagi dunia fisika (salt of physics’s earth). Sebagaimana

halnya garam, secara ilmiah “asumsi” ideologis tak mudah dijelaskan namun pada
kenyataannya, terutama saat-saat tertentu, ia begitu sangat berperan.***

Dalam bahasa Merton disebut komunalism: sebuah kesepatakan para ilmuwan terhadap sebuah istilah yang hendak
digunakan—walaupun perlu disadari, kesepakatan ilmuwan bukan merupakan kesepakatan dagang sapi, tetapi
kesepakatan yang lahir dari proses ketat ‘ilmiah’. Lihat teori CUDOS dalam Ziman, John. 1984. An Introduction to
Science Studies: the Philosophical and Social Aspects of Scince and Technology. Cambridge: Cambridge University
Press hlm. 84-6

2

3