Problematika pemberi izin penyidikan oleh mahkamah kehormatan dewan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana

(1)

PROBLEMATIKA PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN TERHADAP ANGGOTA DPR YANG DIDUGA

MELAKUKAN TINDAK PIDANA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh

MUHAMAD IQBAL HIDAYATULLAH

NIM: 1111048000012

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 H/ 2015 M


(2)

i Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh

MUHAMAD IQBAL HIDAYATULLAH

NIM: 1111048000012

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 H/ 2015 M


(3)

ii

PROBLEMATIKA PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN TERHADAP ANGGOTA DPR YANG DIDUGA

MELAKUKAN TINDAK PIDANA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh

Muhamad Iqbal Hidayatullah NIM: 1111048000012

Pembimbing

Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si NIP. 197412132003121002

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1436 H/2015 M


(4)

iii

DIDUGA MELAKUKAN TIDAK PIDANA telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 23 September 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelah Sarjana Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, 23 September 2015 Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A NIP. 19691216 199603 1 001 PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H (...) NIP. 196911211994031001

2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. (...) NIP. 196509081995031001

3. Pembimbing : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si (...)

NIP. 197412132003121002

4. Penguji I : Prof. Dr. H. A Salman Maggalatung, S.H., M.H. (...)

NIP. 1954030319761110

5. Penguji II : Ismail Hasani, S.H., M.H. (...)


(5)

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 23 September 2015


(6)

v ABSTRAK

Muhamad Iqbal Hidayatullah NIM 1111048000012. PROBLEMATIKA

PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH

KEHORMATAN DEWAN TERHADAP ANGGOTA DPR YANG DIDUGA MELAKUKAN TINDAK PIDANA. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. x + 82 halaman.

Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPR menyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis dari Makhakah Kehormatan Dewan. Ayat (2) dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana yang dimaksud ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dapat dilakukan. Tujuan dari skripsi ini untuk mengetahui posisi hukum pemberian persetujuan tertulis terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana ditinjau dari asas persamaan hukum dan independensi peradilan serta sinkronisasi dan harmonisasi pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan sejarah (history approach). Pendekatan perundang-undangan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Sedangkan Pendekatan sejarah adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah latar belakang serta perdebatan dibentuknya Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pasal 245 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD mengenai pemberian persetujuan tertulis oleh Mahkamah Kehormatan Dewan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana tidak sesuai dengan asas persamaan didepan hukum dan independensi peradilan, serta adanya disharmonisasi norma hukum antara Pasal 245 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD dengan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, serta Pasal 14 Undang-Undang No 12 Tahun 2005 tentang Hak-Hak Sipil dan Politik

Kata Kunci : Izin Penyidikan, Anggota DPR, Mahkamah Kehormatan Dewan.


(7)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Melihat lagi Maha Mendengar, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW.

Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu penulis secara baik materil maupun immateril, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum.

3. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu disela-sela kesibukan dalam memberikan nasihat, kritik dan saran untuk membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4. Prof. Dr. H. A Salman Maggalatung, S.H., M.H., sebagai dosen penasihat akademik yang telah memberikan nasihat dan arahan kepada penulis.

5. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah ikhlas berbagi ilmu pengetahuan dan pengalamanya kepada penulis.

6. Ucapan terimakasih yang tak terhingga atas cinta dan doa kedua orang tuaku tercinta Ayahanda Achmad Mulyono dan Ibunda Masyitoh, yang telah memberikan segala dukungan baik materil maupun immateril sehingga penulis dapat menyelesaikan masa studi S1.

7. Adinda Tercinta, Diah Rahmatun Nazilah, Muhamad Habiburrahman dan Adib Fahri Syaeban yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan studi S1.

8. Seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Ilmu Hukum angkatan 2011 khususnya, Angga Ariyana, Ilyas Aghnini, Andrio Muhadjir, Rifki Alpiandi, Juli


(8)

vii

Andreansyah, Lisanul Fikri, Waldan Mufathir, Muhammad Hambali, dan teman-teman lainnya, terima kasih atas dukungan dan pengalaman yang telah diberikan selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

9. Himpunan Mahasiswa Cirebon-Jakarta Raya (Hima-Cita), khususnya Muhammad As’ad, Nurkholis Mazied, Fauzi Nurkholis, Aminullah Asy’ari, Mala Himmatul Aulia, serta ang dan yayu lainnya, terimakasih atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan selama ini.

10. Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD), khususnya Ahmad Royani, Robi Cahyadi, Jordan Muhammad, Vickih Yahya Maulana, Dinata Firmansyah, Kang Zaki, Kang Lutfi Ghozali, Kang Sofi Mubarok serta sugawan dan sugawati lainnya, terimakasih atas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama ini.

11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka. Amin.

Demikian ini penulis ucapkan terimakasih dan mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kata-kata di dalam penulisan skripsi ini yang kurang berkenan bagi pihak-pihak tertentu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.

Jakarta, 23 September 2015 Penulis


(9)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PESETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Batasan dan Rumusan Masalah ... 7

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D.Metode Penelitian ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II SEJARAH TERBENTUKNYA UNDANG-UNDANG NO 42 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD, DPRD A. Latar Belakang Terbentuknya Undang-Undang No 42 Tahun 2014... 15

B. Perdebatan Dalam Pembentukan Undang-Undang No 42 Tahun 2014... 30

BAB III KEDUDUKAN HUKUM ANGGOTA DPR A. Mahkamah Kehormatan Dewan ... 41

B. Kedudukan Hukum Anggota DPR Yang Diduga Melakukan Tindak Pidana ... 47

BAB IV PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN TERHADAP ANGGOTA DPR DALAM KONTEKS NEGARA HUKUM A. Kedudukan Hukum Anggota DPR Yang Diduga Melakukan Tindak Pidana Ditinjau Dari Asas Persamaan Di Depan Hukum ... 59

B. Kdudukan Hukum Anggota DPR Yang Melakukan Tindak Pidana Ditinjau Dari Asas Independensi Peradilan ... 67

C. Sinkronisasi dan Harmonisasi Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 Dengan Peraturan Perundang-undangan Lainnya ... 72


(10)

ix

B. Saran ... 81


(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak Indonesia merdeka lebih dari tujuh puluh tahun yang lalu, Indonesia telah mengalami beberapa peristiwa penting terkait bidang kenegaraan. Pergolakan masyarakat di daerah, peralihan pemegang kekuasaan, hingga amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah negara ini. Hal ini merupakan bentuk dari dinamisasi masyarakat dan dinamisasi hukum di Indonesia.

Salah satu hal yang menonjol dari sudut pandang ketatanegaraan diawali ketika negara ini mengalami gejolak pasca krisis moneter yang mengakibatkan tersingkirnya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan pada tahun 1998. Selama melewati masa transisi yang dipimpin oleh Presiden B.J Habibie selama sekitar dua tahun, tuntutan kebutuhan akan sistem ketatanegaraan yang lebih baik pun mulai berusaha diwujudkan oleh petinggi negeri ini pada waktu itu. Tahun 1999 menjadi tonggak yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa penyaklaran UUD 1945 tidak relevan dalam kehidupan bernegara. Selama empat tahun hingga 2002 Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disebut MPR) yang saat itu diketuai oleh Amien Rais dari Fraksi PAN melakukan empat kali perubahan yang amat mendasar terhadap UUD 1945.


(12)

Reformasi membawa pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan ketatanegaraan Indonesia, termasuk terhadap parlemen Indonesia, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR).1 Di bidang legislasi, misalnya, DPR adalah lembaga tertinggi untuk menyusun Undang-Undang. Hal ini diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan dalam membentuk Undang-Undang. Dengan demikian kedudukan DPR sangat penting dalam susunan ketatanegaraan Indonesia. Hasil perubahan UUD 1945 melahirkan bangunan kelembagaan negara yang satu sama lain dalam posisi setara dengan saling melakukan kontrol (cheks and balances), mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Kesetaraan atau ketersediaan mekanisme saling kontrol ini, merupakan prinsip dari sebuah negara demokrasi atau negara hukum.2

Pelbagai perubahan ke hal yang lebih baik antara lain DPR sudah mulai menjadi penyeimbang bagi pemerintah, dalam arti berfungsinya wewenang

pengawasan yang diembanya dan bukan hanya sebagai “lembaga stempel” seperti di era sebelumnya. Bahwa tugas pelaksanaan pengawasan DPR adalah terhadap, pelaksanaan Undang-Undang, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, serta kebijakan pemerintah sesuai dengan jiwa UUD 1945, terlebih penting sebagai legislator atau pembuat undang-undang.

1

Sebastian Salang, dkk., Menghindari Jeratan Hukum Bagi Angggota Dewan,

(Jakarta: Forum Sahabat 2009), h. 21.

2

Titik Triwulan Tutik, Kontruksi Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta:Kencana 2010), h. 1.


(13)

3

Selain berkaitan dengan proses legislasi, dalam kewenangannya DPR sebagai penentu dalam bentuk memberi persetujuan terhadap agenda kenegaraan yang meliputi: Menyatakan perang, membuat perdamaian, perjanjian negara lain seperti yang tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) UUD 1945, Membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, Pasal 11 ayat 2 UUD 1945, Pengangkatan Hakim Agung, Pasal 24A ayat 3 UUD 1945 serta pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial yang tercantum dalam Pasal 24B ayat 3 UUD 1945.

Perubahan lain pasca amandemen UUD 1945 ialah mengenai hak anggota DPR yang menyatakan bahwa, setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.3 Sementara itu berkaitan dengan keanggotaan DPR diatur berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang No 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,DPR, dan DPRD menyatakan bahwa susunan DPR terdiri dari anggota partai politik pemenang pemilu, dan anggota ABRI yang diangkat dengan keseluruhan jumlah 500 anggota. Pada perkembangannya pada tahun 2003 Undang-Undang No 4 tahun 1999 tentang MPR, DPR, DPRD diganti dengan Undang-Undang No 22 Tahun 2003 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD karena dianggap tidak sesuai lagi dengan aspirasi rakyat dan perkembangan ketatanegaraan di Indonesia. Dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2003 susunan keanggotan berubah, dalam Pasal 16 menyatakan

3Ni’matul Huda,

Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta, PT Grafindo Persada, 2006), h. 105-106.


(14)

bahwa DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilu. Sementara dalam Pasal 24 mengatakan bahwa Kedudukan DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Undang-Undang No 22 Tahun 2003 kemudian diganti dengan Undang-Undang No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD untuk meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga perwakilan rakyat. Berselang 5 tahun, UU No 27 Tahun 2009 kemudian diganti dengan Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Namun, beberapa bulan kemudian UU No 17 Tahun 2014 diganti dengan Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD.

Sisi yang lain, menguatnya peranan dan wewenang serta kekuasaan legislatif ternyata tidak otomatis menggambarkan semakin menguatnya peranan rakyat.4 Reformasi kelembagaan pada dasarnya merupakan harapan rakyat guna memastikan kepentingan-kepentingan mereka terakomodasi dalam pelbagai kebijakan negara.5 Padahal UUD 1945 pasca amandemen ke-1 telah memberikan wewenang yang sangat besar kepada DPR agar menjadi jembatan aspirasi dan kepentingan rakyat yang kokoh. Melalui fungsi strategisnya yakni legislasi, anggaran dan pengawasan yang merupakan bingkai dari peran representasi rakyat.

4

Paimin Napitupulu, Menuju Pemerintahan Perwakilan, (Bandung:PT Alumni 2007), h. ix.

5

FORMAPPI, Lembaga Perwakilan Rakyat: Studi dan Analisis sebelum dan setelah perubahan UUD NRI 1945, (Jakarta, FORMAPPI, 2005), h. 9.


(15)

5

Oleh karena itu untuk melaksanakan fungsi dan wewenangnya tersebut secara optimal, menurut Benny K Harman anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat memandang merasa perlu membentuk alat kelengkapan di DPR yang lebih kredibel yang bisa menjaga kehormatan dan martabat anggota dewan. Oleh karena itu dibentuknya Mahkamah Kehormatan Dewan (selanjutnya disebut MKD) sebagai pengganti Badan Kehormatan. Peran MKD ke depan diperkuat untuk menjaga integritas lembaga dan anggota DPR dalam melaksanakan fungsi, wewenang dan tugas DPR.6

Hidayat Nurwahid mengatakan anggota DPR adalah orang yang terhormat, oleh karena itu salah satu langkah yang diwujudkan adalah membentuk Mahkamah Kehormatan Dewan. Menurutnya saat ini anggota DPR terlalu mudah untuk dipanggil untuk permintaan keterangan untuk penyidikan. Ini menimbulkan citra yang buruk di mata publik terhadap parlemen. Problema ketika anggota DPR dipanggil menjadi saksi atau untuk pemeriksaan penyidikan suatu kasus, menurut Hidayat Nurwahid hal seperti itu dapat menimbulkan opini publik yang buruk terhadap anggota DPR.7

Pada sisi yang lain, menurut penulis kehadiran kewenangan MKD yang tertuang dalam Pasal 245 UU No 42 Tahun 2014 tentang MD3 bahwa

6 Sjafri Ali, “Tokoh Masyarakat Masuk Panel Mahkamah Kehormatan DPR,” artikel

diakses pada 18 Mei 2015 dari

http://www.pikiran- rakyat.com/politik/2014/09/17/297262/tokoh-masayarakat-masuk-panel-mahkamah-kehormatan-dpr

7Erdy Nasrul, “DPR Bentuk Mahkamah Kehormatan Dewan,” Artikel diakses Pada 10

November 2014 dari


(16)

pemanggilan dan pemeriksaan anggota DPR untuk penyidikan harus mendapatkan izin tertulis dari MKD tersebut dianggap dapat menghambat proses penegakan hukum dan membuat anggota dewan sulit tersentuh. Selain itu MKD sarat dengan konflik kepentingan. Dengan lahirnya MKD dianggap akan memperlambat proses peradilan karena adanya prosedur birokrasi perijinan, serta menambah biaya penegakan hukum yang secara otomatis terjadi karena rangkaian prosedur yang lebih lama serta tidak sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan dalam proses peradilan pidana, serta bagaimana kedudukan hukum anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 245 tersebut jika ditinjau dari asas persamaan di depan hukum?

Dalam konteks kemajuan demokrasi, reformasi kelembagaan parlemen merupakan bagian penting dari proses konsolidasi demokrasi, dimana institusi-institusi kenegaraan ditata sedemikian rupa sehingga memenuhi indikator demokrasi.8 Inti dari semua ini adalah pelembagaan nilai-nilai demokrasi dalam keseluruhan prosedur dan mekanisme kerja parlemen. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengorganisasian, tata tertib lembaga-lembaga perwakilan, dan regulasi-regulasi terkait dengan kehendak mewujudkan parlemen Indonesia sebagai institusi perwakilan rakyat yang kredibel, akuntabel, transparan, efektif, dan profesional. Oleh karena itu penulis tertarik mengambil judul penelitan mengenai “PROBLEMATIKA PEMBERIAN IZIN PENYIDIKAN OLEH MAHKAMAH KEHORMATAN


(17)

7

TERHADAP ANGGOTA DPR YANG DIDUGA MELAKUKAN TINDAK

PIDANA.”

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan studi pendahuluan maka pembatasan masalah terfokus pada Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 mengenai kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam memberikan izin pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana dan kedudukan hukum dari anggota DPR tersebut.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang ada, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

a. Bagaimana Posisi Hukum anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana ditinjau dari asas persamaan di depan hukum dan independensi peradilan?

b. Bagaimana Sinkronisasi dan Harmonisasi Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MD3 dengan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah seperti yang diuraikan diatas, penelitian ini bertujuan sebagai berikut;


(18)

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan yang ada, maka tujuan penulisan penelitian adalah sebagai berikut ;

a. Untuk mengetahui Posisi Hukum anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana ditinjau dari asas persamaan di depan hukum dan independensi peradilan.

b. Untuk mengetahui Sinkronisasi dan Harmonisasi Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 dengan Peraturan Perundang-Undang-Undangan di Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Manfaat Teoritis

1) Untuk lebih memperkaya khasanah ilmu pengetahuan penulis baik dibidang hukum pada umumnya, maupun di bidang Hukum Tata Negara Khususnya.

2) Untuk memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum secara teoritis, khususnya bagi Hukum Tata Negara mengenai Kewenangan Mahakamah Kehormatan Dewan dalam memberikan izin penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana serta bagaimana kedudukan atau posisi hukum anggota DPR ditinjau dari asas persamaan didepan hukum.


(19)

9

3) Sebagai pedoman awal bagi penelitian yang ingin medalami masalah ini.

b. Manfaat Praktis

1) Penulis berharap agar memberikan sumbangan pemikiran mengenai aspek Hukum Tata Negara mengenai Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam memberikan izin penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana.

2) Agar hasil penelitian ini menjadi perhatian dan dapat digunakan oleh semua pihak baik itu pemerintah, masyarakat umum maupun setiap pihak yang bekerja seharian di bidang hukum, khususnya Hukum Tata Negara.

D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research), yang bersifat yuridis normatif, 9 yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan, literatur, makalah-makalah dan hasil penelitian yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam memberikan izin pemanggilan dan pemeriksaan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana

9

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakata:PT. Raja Grafindo ,1994 ), h. 37.


(20)

serta kedudukan hukum anggota DPR tersebut jika ditinjau dari asas persamaan di depan hukum.

2. Pendekatan Masalah

Sehubungan tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, maka penulis menggunakan beberapa pendekatan yang akan dilakukan yaitu, pendekatan Perundang-undangan dan Pendekatan Sejarah. Pendekatan Sejarah, digunakan untuk mengungkap filosofis, kontekstualitas masa lahirnya Undang-Undang No 42 Tahun 2014. Pendekatan Perundang-undangan (Statute-Approach) adalah pendekatan dengan mengkaji lebih lanjut untuk menjawab rumusan masalah, dalam hal Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan memberikan izin penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana.

Pendekatan Perundang-undangan digunakan untuk menela’ah dan menganalisa bentuk pelaksanaan Mahkamah Kehormatan Dewan Memberikan Izin Penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana serta bagaimana kedudukan hukum dari anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang dimaksud dalam pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014.

3. Sumber Data

Sumber Data yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu:


(21)

11

Bahan Hukum primer adalah bahan hukum yang mencangkup ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mempunyai hukum10 yang mengikat. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 2) Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MD3. 3) Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MD3.

4) Undang-Undang No 12 Tahun 2005 Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

b. Sumber Hukum Sekunder.

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari penelusuran buku-buku dan artikel-artikel yang berkaitan dengan penelitian ini. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari buku-buku yang berkenaan dengan Lembaga Perwakilan Rakyat dan buku-buku hukum, Skripsi Hukum Tata Negara, Tesis Hukum Tata Negara ataupun materi-materi mengenai hukum yang berkaitan tentang Dewan Perwakilan Rakyat umumnya dan Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan Khususnya.

c. Bahan Hukum Tersier.

Merupakan bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum tersier

10

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet-3 (Jakarta, UI Press, 1986), h. 52.


(22)

memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, Ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan lain-lain.11

4. Prosedur Pengumpulan Data

Bahan hukum primer maupun sekunder serta tersier dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan dan dijelaskan secara rinci berdasarkan sumber, sejarah, hirarki untuk dikaji secara komprehensif.

5. Pengelolahan dan Analisa

Pengolahan yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, UUD 1945, Peraturan Perundang-undangan, dan bahan materi lainnya penulis uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengelolaan bahan hukum dilakukan secara mendalam tentang Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam memberikan izin penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana.

Selanjutnya dianalisa secara mendalam sesuai dengan pendekatan yang digunakan. Analisa sejarah berlakunya aturan tersebut melalui pelaksaan Undang-Undang 42 Tahun 2014. Lalu analisa yuridis perundang-undangan yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam memberikan izin penyidikan.

11

Amirudin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 32.


(23)

13

E. Sitematika Penelitian

Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing masing bab terdiri atas beberapa sub bab guna lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti.Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut.

BAB I : Pada bab ini berisi tentang pendahuluan mengenai latar belakang, pembatatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sitematika penulisan.

BAB II : Pada bab ini dijelaskan mengenai latar belakang terbentuknya Undang-Undang No 17 Tahun 2014, dan perdebatan dalam pembentukan Undang-Undang tersebut.

BAB III :Menguraikan tentang Mahkamah Kehormatan Dewan dan mekanisme pemberian izin penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana serta Kedudukan hukum Anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana.

BAB IV :Menganalisa kedudukan hukum anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana ditinjau dari asas persamaan di depan hukum dan independensi peradilan serta menganalisa bagaimana Harmonisasi dan Sinkronisasi Pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 mengenai kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam memberikan izin penyidikan anggota DPR dengan peraturan perundang-undangan lain.


(24)

BAB V : Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian serta memberikan saran dan kritik yang perlu pada permasalahan penelitian.


(25)

15 BAB II

SEJARAH TERBENTUKNYA UNDANG-UNDANG NO 14 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD, DPRD

A. Latar Belakang Terbentuknya Undang-Undang No 42 Tahun 2014

Pembukaan UUD 1945 tersirat suatu makna, bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum.12 Hal ini tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 Aline ke IV yang berbunyi sebagai berikut:

“…untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”

Diembannya tugas negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan umum tersebut maka pembentukan berbagai peraturan di Negara Indonesia menjadi sangat penting, oleh karena campur tangan negara dalam mengurusi kesejahteraan rakyat dalam bidang hukum, politik, ekonomi, budaya,

12

Penjelasan mengenai negara hukum serta perbedaan rechtstaat dan rule of law akan dijelaskan kemudian.


(26)

lingkungan hidup serta pertahanan dan keamanan yang diselenggarakan dengan proses legislasi.13

Ide negara berdasarkan hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh oleh para filsuf dari zaman yunani kuno. Plato, karya awalnya Politea (the Republic) berpendapat bahwa adalah mungkin mewujudkan negara ideal untuk mencapai kebaikan yang berintikan kebaikan.14 Gasasan yang dikemukakan Plato tersebut berasal dari bentuk keprihatinannya yang melihat kondisi kota Athena pada waktu itu. Pada zaman itu Raja yang berkuasa di kota Athena merupakan penguasa yang lalim dan sewenang-wenang. Dalam gagasan negara ideal Plato, penguasa yang memerintah seharusnya memiliki moralitas yang baik dan terpuji serta memiliki kebajikan dan segala macam pengetahuan, terutama ilmu pemerintahan. Dalam karya Plato yang lain Politicos, Plato sudah memberikan perhatian yang cukup penting terhadap hukum sebagai instrumen penyelenggaraan negara. Namun, fungsi dan kedudukan hukum dalam gagasan Plato belum sama seperti dalam ide negara hukum di zaman modern.15 Kedudukan dan fungsi hukum sangat penting baru tampak dalam karya Plato yang berikutnya, Nomoi. Plato dalam karyanya itu, ia sudah memberikan perhatian dan arti penting terhadap hukum, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik harus diatur

13

Maria Farida Indrayanti, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 1.

14

Jimliy Ashhiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Sinar Grafika 2012), h. 129.

15

Hotma P Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas umum Pemerintahan Yang Baik, (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 14.


(27)

17

oleh hukum. Cita Plato dalam Nomoi kemudian ditegaskan oleh muridnya Aristoteles dalam karyanya Politica, menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. oleh sebab itu supremasi hukum diterima oleh Aristoteles sebagai tanda negara yang baik dan bukan semata-mata sebagai keperluan yang selayaknya.16

Aristoteles adalah filsuf terakhir yang membicarakan ide negara hukum sehingga ia dianggap sebagai penutup diskursus mengenai ide negara hukum klasik. Setelah zaman Aristoteles, ide negara hukum tidak lagi pernah diperbincangkan serta tidak mendapat perhatian dari filsuf selama beberapa abab setelahnya. Barulah pada abad ke-17 dan 18, ide negara hukum kembali diperbincangkan di Eropa Barat.17

Konsep negara hukum modern di Eropa Kontinental dikembangkan dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu Rechtstaat antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Labant, Julius Stahl. Adapun dalam tradisi Anglo Saxon konsep negara hukum dikembangkan dengan sebutan The Rule of Law yang dipelopori oleh A. V Dicey. Selain itu, konsep negara hukum juga terkait dengan istilah Nomokrasi yang berarti penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum. Menurut Stahl, konsep negara hukum yang disebut dengan istilah rechtstaat mencakup empat elemen penting yaitu, pembagian kekuasaan, perlindungan hak asasi manusia, pemerintah

16

Azhary, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yurudis Normatif tentang Unsur-Unsurnya, (Jakarta:UI Press, 1995), h. 20.

17Hotma P Sibuea, Asas Negara Hukum …h. 19


(28)

berdasarkan undang-undang, peradilan tata usaha negara. Adapun A.V Dicey menyebutkan tiga ciri penting rule of law yaitu, supremasi hukum, persamaan di depan hukum, dan asas legalitas.18

Prinsip-prinsip negara hukum selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat dan negara. Perkembangan negara hukum modern melahirkan prinsip-prinsip penting untuk mewujudkan negara hukum. Prinsip-prinsip terebut sebagai berikut:19

1. Supremasi Hukum.

2. Persamaan Di Depan Hukum. 3. Pembatasan Kekuasaan.

4. Organ-Organ Penunjang yang Independen. 5. Peradilan Tata Usaha Negara

6. Perlindungan Hak Asasi Manusia 7. Peradilan yang merdeka.

8. Bersifat Demokratis

Delapan Ciri negara hukum modern yang penulis kemukakan di atas, terdapat salah satu prinsip penting sebagai salah satu ciri pokok negara hukum yaitu pembatasan kekuasaan.20 Dalam konsep ini kekuasaan dibagi

18

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), h. 122.

19

Jimliy Ashhiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Amandemen Hukum Tata Negara, (Jakarta: Sekertaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 131.

20

Beberapa literatur menerjemahkan konsep trias politica sebagai pemisahan kekuasaan. Lihat Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca


(29)

19

berdasarkan fungsinya. Pembagian tersebut menunjukan perbedaan antara fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Konsep klasik yang diterapkan dibanyak negara ini dikenal sebagai trias politica, atau pemisahan kekuasaan.

Konsep mengenai trias politica bermula dalam tulisan John Locke, Second Treaties of Civil Government yang berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya. John Locke mambagi kekusaan negara dalam tiga fungsi yaitu, legislatif, eksekutif dan federatif. Oleh sarjana hukum Prancis, Baron de Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois yang merupakan karya utama Montesqueiu, karya tersebut merupakan salah satu karya yang paling tajam dan paling berpengaruh di antara karya-karya zaman pencerahan.21 Karya tersebut ditulis berdasarkan penelitiannya terhadap sistem konstitusi Inggris, pemikiran John Locke itu diteruskannya dengan mengembangkan konsep trias politica yang membagi kekuasaan menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pandangan Montesquieu inilah kemudian dijadikan rujukan doktrin saparation of power. 22

Amandemen (Jakarta: Sekertaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 34., sedangkan literatur lain menyebutkan dengan istilah pembagian kekuasaan, lihat, Moh Kusnardi dan Harmaili Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet ke-6 (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985), h. 181.

21

Franz Magnis-Seseno, Demokrasi: Klasik dan Modern, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 80.

22

Jimliy Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h.283.


(30)

Bidang legislatif dan eksekutif, pendapat kedua sarjana ini tampaknya mirip. Akan tetapi, dalam bidang yang ketiga, pendapat mereka berbeda. John Locke mengutamakan fungsi federatif. John Locke lebih melihatnya dari hubungan dengan negara lain sebab kekuasaan yudikatif sudah termasuk dalam kekuasaan federatif. Sementara Montesquieu mengutamakan fungsi yudikatif, Montesquieu lebih melihat pembagian atau pemisahan kekuasaan itu dari hak asasi manusia setiap warga negara. Sebaliknya Montesquieu mengatakan bahwa fungsi hubungan luar negeri merupakan bagian dari fungsi eksekutif sementara kekuasaan yudikatif itu harus terpisah dari kekuasaan lain agar dapat berdiri sendiri tanpa memihak pihak manapun.23 Sebab, gagasan tentang kemerdekaan yudikatif lahir bersamaan dengan gagasan negara demokrasi dan negara hukum.24

Pembahasan yang berkembang selanjutnya cenderung berkaitan dengan penerapan konsep pemisahan kekuasaan yang dikembangkan oleh Montesquieu, dalam penyelenggraaan negara. Sir Ivor Jennings melalui teori dalam bukunya The Law and the Constitution menyanggah konsep pemisahan kekuasaan dalam trias politica dengan mendasarkan pada kenyataan di Inggris bahwa lembaga eksekutif turut serta dalam proses pembuatan undang-undang.25 Jennings berpendapat, pelaksanaan trias politica secara konsekuen

23

Azhary, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yurudis… h. 94.

24

Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 88.

25

Moh Kusnardi dan Harmaili Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet ke-6 (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985), h. 143.


(31)

21

seperti diungkapkan Montesquieu amat sulit diwujudkan dalam penyelenggaraan negara. Kenyataan menunjukkan bahwa pemisahan kekuasaan dilakukan hanya secara formil, artinya tidak dipertahankan secara tegas dalam konsep ini. Sehingga menurut Jenings konsep tersebut lebih tepat dinamakan pembagian kekuasaan (distribution of power).26 Jennings menggambarkan, apabila pembuatan undang-undang dalam suatu negara dilakukan oleh lembaga legislatif dan eksekutif maka konstitusi negara tersebut menganut asas pembagian kekuasaan.27

Sementara itu Artur Mass justru menggunakan istilah division of power untuk menyebut pembagian kekuasaan. Mass kemudian membagi lagi terminologi tersebut menjadi dua, yaitu: (1) capital divission of power untuk menyebut pembagian kekuasaan yang bersifat fungsional serta mengandung pengertian pembagian kekuasaan yang bersifat horizontal; dan (2) territorial divisson of power yang bermakna pembagian kekuasaan secara vertikal serta menyebut pembagian kekuasaan yang bersifat kewilayahan atau kedaerahan.28

Karena itu, doktrin pemisahan kekuasaan dapat dipahami sebagai doktrin yang terbatas, yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang kekuasaan. Kekuasaan legislatif bertugas membuat undang-undang,

26

Jennings mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan (saparation of power) dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu: (1) materiil, yaitu pemisahan kekuasaan yang dipertahankan dengan tegas dalam tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu dalam tiga bagian legislatif, eksekutif dan yudikatif; (2) formil, yaitu apabila pemisahan kekuasaan tidak dipertahankan dengan tegas sehingga lebih tepat disebut pembagian kekuasaan, ibid.

27

Moh Kusnardi dan Harmaili Ibrahim, Pengantar Hukum.. h. 143.

28


(32)

Kekuasaan eksekutif menjalankan undang-undang dan kekuasaan yudikatif menafsirkan atau mengadili pelanggar undang-undang.

Seiring berkembangnya ide-ide mengenai kenegaraan, konsep trias politica dirasakan tidak lagi relevan mengingat tidak mungkinnya mempertahankan eksklusivitas setiap organ dalam menjalankan fungsinya masing-masing secara terpisah. Kenyataannya menunjukan bahwa hubungan antar cabang itu pada praktiknya harus saling bersentuhan. Kedudukan ketiga organ tersebut pun sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip check and balances.29

Perjalanan lahirnya peraturan perangkat kelembagaan politik dalam konteks demokratisasi, dalam rangka usaha menciptakan check and balances. Check and balances mempunyai arti mendasar dalam hubungan antar kelembagaan negara. Misalnya, untuk legislasi, check and balances mempunyai lima fungsi.30 Pertama, sebagai fungsi penyelenggara pemerintahan, dimana eksekutif dan legislatif mempunyai tugas dan tanggung jawab yang saling terkait dan saling memerlukan konsultasi sehingga terkadang tampak tumpang tindih. Namun disinilah fungsi check and balances agar tidak ada satu lembaga negara yang dominan tanpa kontrol dari lembaga lain. Kedua, sebagai fungsi pembagi kekuasaan dalam lembaga legislatif sendiri, dimana melalui sistem pemerintahan yang dianut, seperti Presidensial di Indonesia, diharapkan terjadi kontrol secara internal. Ketiga, fungsi

29

Jimliy Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga… h. v.

30

Nurliah Nurdin, Komparasi Sistem Presidensial Indonesia dan Amerika Serikat, (Jakarta: MIPI, 2012), h. 248.


(33)

23

hierarkis antara pemerintah pusat dan daerah. Keempat, sebagai fungsi akuntabiltas perwakilan dengan pemilihnya. Kelima, sebagai fungsi kehadiran pemilih untuk menyuarakan aspirasinya. Pada dasarnya prinsip check and balances ini untuk membatasi kesewenang-wenangan dalam konsep pembagian kekuasaan. Dengan adanya prinsip check and balances ini maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi, bahkan dikontrol dengan baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah dengan sebaik-baiknya.31

Hal yang terpenting dalam ide negara hukum bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum. Hal ini berhubungan dengan adagium yang dikemukakan oleh Mochtar Kusuma Atmadja, hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman. Oleh sebab itu pembentukan hukum sangat penting. Pembentukan hukum secara bersamaan merupakan penerapan hukum.32 Eugen Ehrlich menganjurkan agar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat keseimbangan antara keinginan pembaruan hukum melalui perundang-undangan dengan kesadaran untuk memperhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat.33 Hukum itu tidak boleh statis, tetapi harus dinamis, harus selalu diadakan perubahan sejalan dengan perkembangan zaman dan dinamika kehidupan bermasyarakat

31Ni’matul Huda,

Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pres, 2002), h. 115.

32

Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara diterjemahkan dari General Theory of Law and State, (New York: Russel and Russel, 1971), h. 192.

33


(34)

dan bernegara. Apabila hukum hendak diganti dengan hukum yang baru maka diperlukan beberapa syarat agar hukum baru dapat berlaku secara efektif, syarat tersebut antar lain, hukum yang dibuat itu harus bersifat tetap, tidak bersifat ad hoc. Kemudian hukum yang baru tidak saling bertentangan satu sama lain, dan hukum yang baru itu harus tertulis dan dibuat oleh instansi yang berwenang.34

Jika didengar secara sekilas penyataan “hukum sebagai produk politik,” dalam pandangan awam bisa dipersoalkan, sebab pernyataan tersebut memosisikan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan yang ditentukan oleh politik. Apalagi dalam tatanan ide atau cita hukum, lebih-lebih di negara yang menganut supremasi hukum, politik harus diposisikan sebagai variable yang terpengaruh oleh hukum. Mana yang benar dari kedua pernyataan tersebut?35

Secara metedologi ilmiah sebenarnya tidak ada yang salah dari pernyataan tersebut, semuanya benar tergantung pada asumsi yang dipergunakan. Asumsi bahwa setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi dikalangan para politisi. Meskipun dari sudut pandang das sollen ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun secara das sein bahwa hukum yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatar belakanginya.36

34

Ibid. h. 4.

35

Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 4.

36


(35)

25

Dasar keberadaan Undang-Undang No 42 Tahun 2014 MPR, DPR, DPD, DPRD, bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat yang di dalam pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Untuk melaksanakan prinsip dari kedaulatan rakyat tersebut, perlu diwujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, lembaga perwakilan daerah yang mampu mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Karena itu salah satu hal penting dari amandemen UUD 1945 adalah penataan kembali sistem perwakilan.37

Sejalan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan dan politik bangsa di Indonesia, telah dibentuk Undang-Undang No 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD, yang dimaksudkan sebagai upaya penataan susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD. Dalam perkembangannya Undang-Undang No 22 Tahun 2003 diubah dengan Undang-Undang No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR,

DPD, DPRD. Frasa “Susunan dan Kedudukan” pada undang-undang sebelumnya dihapuskan. Penghapusan tersebut dimaksudkan untuk tidak membatasi pengaturan yang hanya terbatas pada materi muatan susunan dan kedudukan saja, tetapi juga mengatur hal-hal lain yang sifatnya lebih luas. Hal

37

Sebastian Salang, dkk., Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan, (Jakarta: Forum Sahabat, 2009), h. 62.


(36)

ini dilakukan dalam upaya pengefektifan kelembagaan MPR, DPR, DPD, DPRD.

Meskipun telah menjalankan fungsi legislasi secara optimal, DPR tetap saja tidak sepi dari kesan atau penilaian yang kurang bagi berbagai kalangan. Sejumlah produk legislasi DPR dianggap kurang sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Produk legislasi yang berupa undang-undang terkesan tidak serius dirancang dan dibahas, sebaliknya berdasarkan kepentingan kelompok dan kompromi politik.38 Keberagaman kepentingan yang mengikuti anggota DPR akan makin bertambah rumit dengan satu kenyataan lain berupa kepentingan pribadi dari anggota DPR. Tidak dinafikan sama sekali, seorang anggota DPR memburu kepentingan-kepentingan diri dari peran dan status politik yang tengah disandangnya itu.39 Kesan atau penilaian lainnya adalah DPR periode 2009-2014 kurang maksimal dalam menjalankan fungsi legislasi, dengan tidak tercapainya Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Konstruksi prosedural politik yang menghambat pelaksanaan kewenangan perwakilan politik, di tengah desakan tuntutan politik demokratisasi, juga menempatkan peran kenegaraan MPR dan DPD yang juga terjebak pada seremoni prosedural pelaksanaan fungsi-fungsinya. Kendala seperti ini membutuhkan transformasi alat kelengkapan dan reposisi fraksi atau pengelompokan keanggotaannya agar dapat secara maksimal mendorong

38

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang atas Perubahan Undang-Undang No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, h. 5.

39Sebastian Salang, Menghindari…. h. 10


(37)

27

peran kelembagaannya yang produktif bagi produktivitas peranannya dalam agenda nasional.

Ruang lingkup pembaruan politik yang sangat terbatas bagi dukungan subtansial pelaksanaan fungsi-fungsi kelembagaan perwakilan politik, baik menyangkut MPR, DPR, DPD, DPRD, dianggap membuktikan titik lemah dari kelembagaan perwakilan politik tersebut. Bahkan, dalam konteks DPRD, baik ditingkat provinsi maupun kabupaten atau kota, sejak awal ketentuan dalam Undang-Undang No 27 Tahun 2009 diletakkan pada bagian birokrasi pemerintah daerah, dan bukan sebagai badan legislatif di daerah, serta sejalan dengan ketentuan yang ada pada Undang-Undang No 32 Tahun 2004. Sehingga campur tangan pemerintah pusat secara berlebihan tehadap politik pelaksanaan hak-hak keanggotaan dan kelembagaan DPRD sukar dihindarkan. Dalam rangka penguatan fungsi legislasi, DPR sebagai pelaksanaan amandemen UUD 1945, perlu pula diatur lebih lanjut mengenai penguatan peran DPR dalam proses perancangan, pembentukan, sekaligus pembahasan rancangan undang-undang. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjawab kritik bahwa DPR bekerja kurang maksimal dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Harapannya adalah agar DPR dapat menghasilkan produk-produk legislasi yang berkualitas serta berorientasi pada kebutuhan rakyat dan bangsa. Berkaitan dengan fungsi legislasi, kedudukan DPD perlu ditempatkan secara tepat dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, pemekaran, penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, serta perimbangan keuangan anatara pusat dan


(38)

daerah sebagaimana diamanatkan dalam pasal 22 D ayat (2) Undang-Undang Dasar.

Hal penting lainnya yang menjadi perhatian adalah keberadaan sistem pendukung yang menunjang fungsi serta tugas wewenang MPR, DPR, DPD, DPRD. Perlunya dukungan yang kuat, tidak terbatas pada dukungan sarana, prasarana dan anggaran, tetapi ada dukungan keahlian. Dengan demikian perlu adanya penataan kelembagaan Sekertariat Jenderal di MPR, DPR, DPD dan sekertariat di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten atau Kota. Hal ini diwujudkan dalam pengadaan sumber daya manusia, alokasi anggaran, sekaligus pertanggungjawaban publik unit pendukung dalam menjalankan tugasnya.

Untuk itu, beberapa masalah yang menjadi kendala baik secara teknis maupun subtantif dari dua tingkatan pembenahan kelembagaan politik perwakilan, merupakan muatan dari revisi Undang-Undang No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu dibentuk Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, DPRD guna meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan rakyat daerah untuk mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan wewenang lembaga, serta mengembangkan mekanisme check and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif. Selain itu juga untuk meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja anggota permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan


(39)

29

lembaga perwakilan daerah demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Pada prosesnya perubahan atas Undang-Undang No 27 Tahun 2009 menjadi Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MD3 disahkan pada pada tanggal 8 juli 2014. Setelah Undang-Undang No 17 Tahun 2014 ini disahkan, kembali diubah menjadi Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MD3 pada 5 Desember 2014. Dalam sidang paripurna perubahan undang-undang tersebut dihadiri oleh 281 dari 555 anggota dewan dan dipimpin langsung oleh ketua DPR, Setya Novanto.40 Namun, perubahan tersebut sarat dengan kepentingan politik.

Perubahan tersebut diantaranya menyepakati delapan poin pasal dalam Undang-Undang MD3 terkait dengan kewenangan DPR, Pemilihan Pimpinan Komisi, Tugas Komisi, Pemilihan Pimpinan Badan Legislasi, Pimpinan Badan Anggaran, Pimpinan Mahakamah Kehormatan Dewan, Pemilihan Pimpinan BURT. Ketentuan tersebut tercantum dalam pasal tersebut yaitu Pasal 17 ayat (3), (4), (5), dan (6), Pasal 97, Pasal 98 ayat (7), (8), (9), Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121 dan Pasal 152. Sementara, terdapat penambahan pasal sisipan antara pasal 425 dan 426 yaitu Pasal 425A.

40

Julkifli Marbun, “Tanpa Interupsi Paripurna Sahkan revisi Undang-Undang MD3 Menjadi Undang-Undang”, artikel diakses pada 20 April 2015 dari

http://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/12/05/ng46tg-tanpa-interupsi-paripurna-sahkan-revisi-uu-md3-undangundang


(40)

Mengutip dari pernyataannya Satjipto Rahardjo bahwa setiap produk hukum bukan sesuatu yang mutlak sempurna. 41 Revisi peraturan perundang-undangan seperti ini lazim dilakukan untuk dua tujuan utama, yaitu: untuk menyesuaikan tuntutan dan kebutuhan baru karena perkembangan masyarakat dan zaman; dan memperbaiki atau menyempurnakan kekurangan dan kelemahan peraturan perundang-undangan terkait.42

B. Perdebatan Dalam Pembentukan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014

Untuk mengetahui kualitas rasa dari roti, kita tidak bisa hanya merasakan ketika memakannya saja, melainkan harus melihat apa saja bahan-bahan dan bagaimana proses pembuatannya. Oleh karena itu, untuk mengetahui maksud yang di cita-citakan dari Undang-Undang No 42 Tahun 2014 kita tidak cukup hanya melihat atau memahami dari produk hukum tersebut, melainkan harus mengetahui bagaimana proses pembahasan dan beberapa perdebatan pokok dan sampai pengesahan undang-undang tersebut. Fungsi legislasi adalah fungsi merancang, membahas, dan memutuskan regulasi (Undang-Undang bagi DPR, atau Peraturan Daerah bagi DPRD). Fungsi pokok DPR di bidang legislasi ini diberikan oleh Pasal 20 UUD 1945 hasil amandemen.

Seperti yang sudah penulis kemukakan dimuka, bahwa Undang-Undang No 42 Tahun 2014 adalah perubahan dari Undang-Undang No 17 Tahun 2014

41

Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Dari Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Buku Kompas, 2003), h. 131.

42Sebastian Salang…. h.


(41)

31

yang hanya merubah beberapa Pasal dalam Undang-Undang No 17 Tahun 2014. Oleh karena itu penulis lebih menekankan pada perdebatan yang terjadi pada proses pembentukan Undang-Undang No 17 Tahun 2014.

Pembahasan Rancangan Undang-Undang (selanjutnya disebut RUU) di atas terjadi beberapa perdebatan yang krusial. Pertama, terkait pertimbangan yang disampaikan oleh Tim Musyawarah bahwa bentuk rancangan undang-undang diusulkan sebaiknya dalam bentuk pergantian. Namun usulan tersebut ditolak oleh F-PDIP yang diwakili oleh Arif Wibowo, menurutnya sistematika dalam RUU ini tetap sama dalam Undang-Undang No 27 Tahun 2009 karena materi perubahan yang terdapat dalam RUU ini hanya 27,45% yang dibuktikan dari 408 Pasal hanya mengalami perubahan 112 Pasal, esensinya tidak berubah mengingat secara subtansi RUU ini tetap membuat pengaturan menuju terwujudnya lembaga permusyawaratan perwakilan yang demokratis, efektif dan akuntabel sebagaimana esensi dan yang ada dalam Undang-Undang No 27 Tahun 2009.43

Kemudian dari F-Partai Demokrat yang diwakili oleh Mulyadi menyatakan bahwa perubahan yang dilakukan terhadap Undang-Undang No 27 Tahun 2009 merupakan keinginan dari kita semua dalam menjaga hak dalam melakukan melaksanakan hak konstitusional yang diimbangi dengan aspek-aspek tranparansi dan akuntabilitas.44 Hal tersebut dimulai dari

43

Risalah Sidang Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas UU No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, (Masa Persidangan ke IV, Rapat ke-XXXX , Senin 7 Juli 2014) h. 23.

44


(42)

penguatan terhadap anggota dewan, penguatan kepada komisi tanpa mengurangi fungsi Alat Kelengkapan Dewan, dan membentuk Mahkamah Kehormatan Dewan dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan anggota dewan. Oleh karena itu dalam pasal-pasal yang termaktub dalam rancangan undang-undang MD3 ini termasuk pergantian.

Senada dengan Mulyadi Pemerintah yang diwakili oleh Wicipto Setiadi mengatakan banyaknya Pasal baru yang masuk dalam revisi Undang-Undang No 27 Tahun 2009 menjadi salah satu alasan menjadi penggantian. Hasilnya dari 9 Fraksi, 6 menyatakan sependapat dengan Pemerintah. Keenam fraksi yang menyatakan penggantian adalah Demokrat, Golkar, PKS, PPP, PAN dan Gerindra. Intinya lantaran ada perubahan subtansial. Misalnya badan dan alat kelengkapan. Sementara 3 Fraksi yang menyetujui dalam bentuk perubahan yaitu PKB, PDIP, Hanura.45

Kedua, terkait dengan pemilihan Pimpinan DPR. Paripurna penetapan RUU MD3 berjalan panas dan alot. Tiga fraksi di DPR, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), memutuskan walk out setelah muncul perubahan pasal 82 terkait mekanisme pimpinan DPR yang dinilai sebagai pasal siluman.46

Pasal 84 RUU MD3, yang notabene sebagai perubahan pasal 82 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3, memunculkan

45

Ibid, h. 45.

46 “PDIP Terancam Kehilangan Kursi Ketua DPR,”

diakses pada 18 Mei 2015 dari


(43)

33

perdebatan yang panjang. Ada tiga alternatif pilihan yang ditawarkan pasal 84 RUU MD3. Alternatif pertama berisi sama seperti aturan pasal 82 UU MD3. Pasal itu menyatakan pimpinan DPR ditentukan berdasar asas proporsionalitas, yaitu parpol peraih kursi terbanyak mendapat jatah ketua DPR, sementara jatah wakil ketua DPR menjadi milik empat parpol peraih suara terbanyak kedua hingga kelima.47

Sementara itu, untuk alternatif kedua dan ketiga, penetapan kursi pimpinan DPR ditentukan dengan mekanisme pemilihan. Bedanya, alternatif kedua menetapkan pemilihan pimpinan DPR secara tunggal, sementara alternatif ketiga dilakukan dengan mekanisme paket pimpinan DPR.

Dua kubu koalisi yang pernah bertarung di pilpres beradu pendapat pada penetapan RUU MD3. Kubu koalisi Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang berisi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demokrat berada dalam satu kubu yang mendukung alternatif kedua dan ketiga pada pasal 84 RUU MD3.48

Sementara itu, kubu koalisi Joko Widodo-Jusuf Kalla yang berisi PDIP, PKB, dan Hanura bersikukuh untuk tidak mengubah ketentuan pasal 82 UU MD3 itu. Salah satu alasan utamanya, dalam pembahasan panitia khusus

47

Risalah Sidang Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas UU No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, (Masa Persidangan ke IV, Rapat ke-XXXX , Senin 7 Juli 2014), h. 7.

48 “PDIP Terancam Kehilangan Kursi Ketua DPR,”

diakses pada 18 Mei 2015 dari


(44)

(pansus) RUU MD3, tidak pernah muncul pembahasan terkait perubahan pasal 82 atau munculnya alternatif-alternatif di pasal 84 RUU MD3 itu.49

Abidin Fikri, anggota Pansus RUU MD3 dari Fraksi PDIP, saat menyampaikan interupsi mengatakan Fraksi PDIP mengikuti setiap proses, jam, menit, detik. Menurutnya, mereka tahu akan adanya pasal penyelundupan, yaitu di pasal 82 itu (pasal 84 RUU MD3).

Perwakilan Fraksi PKB Abdul Malik Haramain menegaskan, tidak pernah ada pembahasan terkait rancangan pasal 84, baik antarfraksi di DPR maupun pemerintah. Dalam rekaman rapat, Malik menyatakan tidak pernah disebutkan bahwa pansus memperdebatkan mekanisme pemilihan ketua DPR.

”Kapan pasal itu ditentukan? Kita rapat di Hotel Sahid, Ritz Carlton, tidak ada

pembahasan,”.50

Tiga fraksi itu meminta agar pimpinan DPR menunda penetapan RUU MD3 untuk kemudian dilakukan pendalaman dan pematangan kembali. Namun, sidang yang dipimpin Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso tersebut menyatakan bahwa paripurna akan tetap dilanjutkan dengan pengambilan keputusan mengingat mayoritas fraksi meminta penetapan dilakukan saat itu juga.

Sesaat sebelum memutuskan walk out, Menurut Arif wibowo proses penetapan RUU MD3 ini harus memperhatikan aspek kepastian hukum, seharusnya keinginan untuk merubah pasal 82 dilakukan sebelum pelaksanaan

49

Ibid.

50

Risalah Sidang Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas UU No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, (Masa Persidangan ke IV, Rapat ke-XXXX , Senin 7 Juli 2014), h. 40.


(45)

35

Pemilu Legislatif pada 9 April 2014. Masuknya unsur perubahan Pasal 82 secara tiba-tiba setelah ditetapkannya pemilu legislatif menunjukan bahwa usulan tersebut telah merusak itikad demokrasi dan syarat dengan kepentingan tertentu yang bertentangan dengan asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.51 Fraksi PDIP menyatakan tidak ikut bertanggung jawab terkait penetapan RUU MD3.

Setelah walk out, paripurna yang berlangsung hingga pukul 20.30 itu berjalan singkat. Hanya dalam lima menit, enam fraksi secara aklamasi menetapan pilihan alternatif ketiga sebagai isi pasal 84, menggantikan isi pasal 82 UU MD3 lama. Menurut Priyo Budi Santoso pengesahan pasal tersebut sudah melalui mekanisme baku, tidak perlu penjelasan lagi.52

Ketiga, terkait dengan Pembentukan Mahkamah Kehormatan Dewan yang tercantum dalam Pasal 119 UU No 42 Tahun 2014. MKD dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan yang bersifat tetap. Tujuan pembentukan MKD tercantum dalam Pasal 119 ayat (2) bahwa MKD bertujuan menjaga serta menegakan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.

Ada satu hal yang banyak disoroti oleh banyak kalangan mengenai pembentukan MKD ini, terkait dengan kewenangan MKD yang tercantum dalam Pasal 245 ayat (1) UU No 42 Tahun 2014 bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga

51

Ibid, h. 24.

52“PDIP Terancam Kehilangan Kursi Ketua DPR,”

diakses pada 18 Mei 2015 Dari


(46)

melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Benny K Harman, anggota DPR dari F-Demokrat mengatakan, perbedaan Badan Kehormatan dan Mahkamah Kehormatan Dewan terletak pada kewenangan untuk membentuk komite penyelidikan.53 Menurutnya, pembentukan MKD dimaksudkan untuk menjaga kredibilitas serta menjamin agar anggota DPR tidak menjadi obyek perlakuan tidak wajar berdasar pengaduan atau laporan masyarakat. Namun pada pihak lain MKD tetap berada pada posisi untuk tidak melindungi anggota DPR yang nyata-nyata terbukti melakukan tindakan melanggar etika dan peraturan perundang-undangan.54

Hidayat Nurwahid mengatakan anggota DPR adalah orang yang terhormat. Oleh karena itu salah satu langkah yang diwujudkan adalah membentuk Mahkamah Kehormatan Dewan. Menurutnya saat ini anggota DPR terlalu mudah untuk dipanggil untuk permintaan keterangan untuk penyidikan. Ini menimbulkan citra yang buruk di mata publik terhadap parlemen. Problema ketika anggota DPR dipanggil menjadi saksi atau untuk

53

Randi Ferdi Firdaus, “UU MD3 Baru, DPR Wacanakan ganti BK jadi MKD,” artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari

http://www.merdeka.com/politik/uu-md3-baru-dpr-wacanakan-ganti-bk-jadi-mahkamah-kehormatan.html

54

Sjafri Ali, “Tokoh Masyarakat Masuk Panel Mahkamah Kehormatan DPR,” artikel

diakses pada 18 Mei 2015 dari

http://www.pikiran- rakyat.com/politik/2014/09/17/297262/tokoh-masayarakat-masuk-panel-mahkamah-kehormatan-dpr


(47)

37

pemeriksaan penyidikan suatu kasus, menurut Hidayat Nurwahid hal seperti itu dapat menimbulkan opini publik yang buruk terhadap anggota DPR.55

Sementara Menurut Tantowi Yahya, anggota DPR dari F-Golkar mengatakan bahwa anggota DPR tidak mempunyai atasan, ketua DPR dan Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan hanyalah jurubicara dan kordinator kegiatan, tidak ada kewenangan memberikan punishment yang mereka lakukan terhadap anggotanya. Oleh karenanya, menurut Tantowi, diperlukan satu instrument dalam struktur kedewanan yang bertugas mengawasi disiplin anggota, termasuk memberikan sanksi sesuai tata tertib. Tantowi mengatakan, sesungguhnya kita layak menaruh harapan tinggi kepada mahkamah ini. Oleh karenanya, wajar pula apabila pemanggilan anggota dewan yang terindikasi pelanggaran hukum kecuali pelanggaran berat seperti korupsi, kriminal dan sebagainya, harus terlebih dahulu seizin MKD.56

Pada sisi yang lain, menurut mantan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Busyro Muqoddas pembentukan MKD berpotensi menghambat proses penegakan hukum, karena penegakan hukum harus bersifat cepat. Kritik selanjutnya disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun. Menurut dia sejumlah pasal dalam RUU MD3 sengaja dibuat untuk membentengi anggota. Padahal jika sekedar pemanggilan dan permintaan

55Erdy Nasrul, “DPR Bentuk Mahkamah Kehormatan Dewan

,” Artikel diakses Pada 10 November 2014 dari

http://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/08/29/nb2h4q-dpr-bentuk-mahkamah-kehormatan-dewan

56

Widya Victoria, “Hindari Bias Tiga Anggota Dewan Dari Luar,”, Artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari http://politik.rmol.co/read/2014/10/10/175321/Hindari-Bias,-


(48)

Tiga-Anggota-Mahkamah-Kehormatan-Dewan-dari-Luar-keterangan untuk penyidikan, semestinya penegak hukum tidak perlu meminta izin pada siapapun. Menurut Rafly, kalau tidak merasa bersalah tidak usah ada ketakutan dan kekhawatiran dengan membuat MKD.57

Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil berpendapat bahwa birokratisasi izin pemeriksaan anggota DPR yang terkandung dalam Pasal 245 UU MD3. Sebab, pasal tersebut mengatur pemeriksaan anggota DPR harus atas izin MKD. Ketentuan pemanggilan dan permintaan pemeriksaan anggota DPR harus dengan seizin MKD khususnya berkaitan dengan tindak pidana bertentangan dengan ketentuan konstitusi di mana setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum.58

Bukan hanya menunjukan adanya sikap diskriminatif, ketentuan tersebut berimplikasi pada pelaksanaan hukum yang berbelit bahkan memberi ruang untuk menghilangkan alat bukti mengingat sulitnya memeriksa anggota DPR. Ketentuan ini juga bertentangan dengan sikap independensi peradilan yang meliputi keseluruhan proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dan pelaksanaan hukuman. Lebih aneh lagi, aturan ini juga diskriminatif karena tidak berlaku bagi DPD dan DPRD. Aturan ini semakin menunjukkan cara berfikir koruptif dan represif anggota DPR.59

Penulis sendiri sangat setuju dengan pembentukan Mahkamah Kehormatan Dewan tersebut, karena bertujuan untuk lebih mengoptimalkan

57

Majalah Detik 4-10 Agustus 2014

58

Erwin C Sihombing, “Diskriminatif Pembahasan RUU MD3 Layak Dihentikan,”

artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari http://www.beritasatu.com/nasional/195457-diskriminatif-pembahasan-ruu-md3-dianggap-layak-dihentikan.html

59


(49)

39

kinerja dari anggota DPR. Selain itu kehadiran MKD juga untuk menjaga martabat dan kehormatan dari anggota DPR sebagai wakil rakyat. Akan tetapi, dengan adanya kewenangan yang tercantum dalam pasal 245 Undang-Undang No 42 Tahun 2014 bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat izin tertulis dari MKD penulis tidak setuju, karena selain dapat menghambat penegakan hukum, kewenangan tersebut menempatkan anggota DPR menjadi seakan kebal hukum.

Pada intinya, proses penyusunan Undang-Undang bisa dibagi ke dalam dua golongan besar, yaitu sosiologis dan yuridis. Dalam tahap sosiologis, berlangsung proses-proses untuk mematangkan suatu masalah, sehingga bisa masuk ke dalam agenda yuridis, sedangkan dalam tahap yuridis dilakukan suatu perkerjaan yang benar-benar menyangkut perumusan suatu Undang-Undang. Dalam perdebatan tersebut yang termasuk dalam tahap sosiologis adalah pada perdebatan yang pertama, sedangkan yang termasuk tahap yuridis adalah pada perdebatan kedua dan ketiga. Terlihat jelas dalam perdebatan di atas bahwa komposisi anggota legislator sangat menentukan dalam mengesahkan suatu undang-undang. Mengutip pandangan Satjipto Raharjo bahwa komposisi keanggotaan legislator juga sangat mempengaruhi produk hukum yang dihasilkan. Akibatnya, objektifitas dari semoboyan bahwa, Undang-Undang berdiri di atas semua golongan hanya merupakan suatu


(50)

cita-cita yang tidak akan datang dengan sendirinya, tapi harus terus diperjuangkan.60

60


(51)

41 BAB III

KEDUDUKAN HUKUM ANGGOTA DPR A. Mahkamah Kehormatan Dewan

Anggota DPR menempati posisi dan peran sebagai perwakilan politik yang bersifat “menyuarakan” kepentingan dan aspirasi mereka yang diwakili. Ini berbeda dengan perwakilan politik yang dimainkan oleh pemerintah terpilih (melalui pemilu) dalam suatu pemerintahan perwakilan yang demokratis. Pemerintahan terpilih ditentukan oleh suara rakyat dalam suatu

proses pemilu menjalankan peran yang bersifat “memenuhi” kebutuhan dan

kehendak rakyat.

Tata pemerintahan demokratis meniscayakan hubungan fungsional yang harus terjalin antara DPR dengan pemerintah terpilih, yakni: DPR menyuarakan aspirasi dan kepentingan rakyat, pemerintah memenuhi kehendak dan kebutuhan rakyat yang terpantulkan dari aspirasi dan kepentingan yang disuarakan perwakilan politik, serta anggota DPR mengawasi proses pemenuhan kehendak dan kebutuhan. Hubungan fungsional seperti itu berlangsung secara berputar terus menerus yang disertai dengan dinamika internal untuk koreksi, perbaikan dan penyempurnaan baik terhadap dimensi proses maupun dimensi hasil dari hubungan tersebut. Kerangka kerja seperti ini menempatkan anggota DPR dalam posisi primer yang memberikan


(52)

input berupa tuntutan terhadap proses pembuatan kebijakan publik, dan dalam posisi pengawasan pada tahap implementasi kebijakan publik.61

Berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 menyatakan, DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara, yang memiliki fungsi antara lain: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dengan demikian DPR memiliki fungsi politik yang strategis, yaitu sebagai lembaga penentu kebijakan kenegaraan.62

Mengingat begitu pentingnya posisi dan peran dari anggota DPR sebagai representasi rakyat belum menjamin bahwa kinerja dari anggota DPR sudah optimal. Tak sedikit dari anggota DPR terjerat kasus hukum seperti, korupsi dan melakukan tindak pidana, ditambah lagi dengan terlalu mudahnya anggota DPR untuk menjadi saksi dalam kasus korupsi misalnya. Hal tersebut membuat opini terhadap anggota DPR buruk. Hal tersebut juga diakui oleh wakil Ketua Umum PPP Lukman Hakim Saifuddin, bahwa saat ini parlemen sudah kehilangan kepercayaan rakyat. Karena itu, DPR hasil pemilu 2014 harus lebih baik dari pada sebelumnya.63 Oleh karena itu perbaikan kompetensi wakil rakyat mutlak diperlukan perbaikan.

Salah satu bentuk perbaikan tersebut dapat dilihat dari dibentuknya alat kelengkapan DPR yaitu Mahkamah Kehormatan Dewan, dalam Pasal 119 UU

61

Sebastian Salang, dkk,. Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan, (Jakarta: Forum Sahabat, 2009), h. 195.

62

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, ( Jakarta: Kencana, 2010), h.193.

63

Tinjauan Kompas, Menatap Indonesia 2014 : Tantangan, Prospek Politik Dan Ekonomi Indoneisa, (Jakarta:Buku Kompas, 2014), h. 131.


(53)

43

No 42 Tahun 2014, menyatakan bahwa MKD dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Pembentukan MKD bertujuan menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.

Terkait mengenai susunan dan keanggotaan MKD diatur dalam Pasal 120 UU 42 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa, DPR menetapkan susunan dan keanggotaan MKD yang terdiri atas semua fraksi dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi pada permulaan keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Anggota MKD berjumlah 17 (tujuh belas) orang dan ditetapkan dalam rapat paripurna. Tata cara mengenai pemilihan susunan keanggotaan diatur dalam Pasal 79 Peraturan DPR No 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib yang menyatakan Pimpinan DPR mengadakan konsultasi dengan pimpinan Fraksi untuk menentukan komposisi keanggotaan MKD dengan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat. Apabila dalam hal untuk mufakat tidak tercapai dalam penentuan komposisi keputusan diambil berdasarkan keputusan terrbanyak dalam rapat paripurna. Kemudian Fraksi mengusulkan nama anggota MKD kepada pimpinan DPR sesuai dengan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap Fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Mengenai penggantian anggota MKD dapat dilakukan oleh fraksinya apabila anggota MKD yang bersangkutan berhalangan tetap atau ada pertimbangan lain dari fraksinya.


(54)

Terkait mengenai Pimpinan MKD diatur dalam Pasal 121 UU No 42 Tahun 2014 Pimpinan MKD merupakan satu kesatuan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan MKD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MKD dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat. Setiap Fraksi dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan MKD. Sedangkan apabila pemilihan pimpinan MKD berdasarkan musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Pemilihan pimpinan MKD dilakukan dalam rapat MKD yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan MKD. Pimpinan MKD ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR

Kemudian, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan MKD diatur dalam Peraturan DPR No 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib yang tercantum dalam Pasal 80 yang menyatakan bahwa, Pimpinan MKD merupakan salah satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan MKD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MKD dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat. Paket yang bersifat tetap berlaku untuk fraksi.

Setiap fraksi hanya boleh diwakili oleh 1 (satu) orang bakal calon pimpinan MKD. Dalam mengusulkan paket bakal calon Pimpinan MKD dapat


(55)

45

memperhatikan keterwakilan perempuan. Paket calon pimpinan MKD yang bersifat tetap tersebut berlaku selama 5 (lima) tahun. Calon ketua dan wakil ketua diusulkan dalam rapat MKD yang dipimpin oleh pimpinan DPR secara tertulis oleh Fraksi dalam satu paket calon pimpinan MKD yang terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua dari fraksi yang berbeda untuk ditetapkan sebagai paket calon pimpinan MKD dalam rapat MKD.

Pimpinan rapat MKD mengumumkan nama paket calon pimpinan MKD dalam rapat MKD. Paket calon pimpinan MKD dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat MKD. Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, paket calon pimpinan MKD dipilih dengan pemungutan suara. Setiap anggota MKD memilih satu paket calon pimpinan MKD yang telah ditetapkan. Paket calon pimpinan MKD yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai ketua dan wakil ketua terpilih dalam rapat MKD. Dalam hal hanya terdapat satu paket calon pimpinan MKD, pimpinan rapat MKD langsung menetapkan menjadi pimpinan MKD. Pimpinan MKD ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR.

Selanjutnya, mengenai fungsi, tugas dan wewenang MKD tercantum dalam Pasal 122 Undang-Undang 42 Tahun 2014 menyatakan bahwa, MKD bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena; tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota DPR, tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan yang sah, tidak memenuhi syarat


(56)

sebagai anggota DPR, melanggar ketentuan larangan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ini. Selain tugas MKD melakukan evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPR tentang kode etik. MKD berwenang memanggil pihak yang berkaitan dan melakukan kerja sama dengan lembaga lain.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan wewenang MKD diatur dalam Pasal 2 Peraturan DPR No 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Beracara Mahkamah Kehormartan Dewan, yang menyatakan bahwa MKD bertugas mengadakan sidang untuk menerima tindakan dan atau peristiwa yang patut diduga dilakukan oleh anggota sebagai pelanggaran terhadap undang-undang yang mengatur mengenai, MPR, DPR, DPR, DPRD serta mengatur mengenai tata tertib dan kode etik. Selain itu, MKD bertugas menerima surat dari penegak hukum tentang pemberitahuan dan atau pemanggilan dan atau penyidikan kepada anggota atas dugaan melakukan tindak pidana. Meminta keterangan dari pihak penegak hukum tentang pemberitahuan pemanggilan dan pemeriksaan untuk penyidikan kepada anggota atas dugaan melakukan tindak pidana. Namun tugas yang MKD yang paling pokok dalam pembahasan ini adalah memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis mengenai pemanggilan dan keterangan dari pihak penegak hukum kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana serta mendampingi penegak hukum dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan di tempat anggota yang diduga melakukan tindak pidana.


(1)

2. Selain itu, yang harus menjadi catatan penting untuk DPR sebagai lembaga legislatif kedepannya adalah dalam membuat peraturan perundang-undangan harus lebih memperhatikan asas-asas yang ada dalam pembentukan peraturan perundang-undangan secara optimal. Sehingga tidak ada norma hukum yang saling bertentangan dan tumpang tindih dalam sistem hukum di Indonesia.

3. Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPD yang menjadi pokok pembahasan dalam penulisan ini telah dibatalkan sebagian oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No 76/PUU-XII/2014 sehari sebelum skripsi ini disidangkan (Selasa, 22 September 2015).

4. Penulis menyarankan untuk penulisan selanjutnya terkait proses penyidikan anggota DPR lebih terfokus pada putusan Mahkamah Konstitusi No 76/PUU-XII/2014 karena terjadi kontradiksi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 73/PUU-IX/2011.


(2)

Daftar Pustaka

Buku :

Amos, H. F. Abraham. Katastropi Hukum & Quo Vadis Sistem Peradilan Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.

Ashhiddiqie, Jimliy. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta:Sinar Grafika 2012

______, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia. Jakarta: Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.

______, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Amandemen Hukum Tata Negara. Jakarta: Sekertaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

_______, Pengantar Hukum Tata Negara. Jakarta:Rajawali Press, 2009.

Azhary, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yurudis Normatif tentang Unsur-Unsurnya. Jakarta:UI Press, 1995.

FORMAPPI. Lembaga Perwakilan Rakyat: Studi dan Analisis sebelum dan setelah perubahan UUD NRI 1945. Jakarta: FORMAPPI, 2005.

Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara. Jakarta, PT Grafindo Persada, 2006.

Indrayanti, Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan. Yogyakarta:Kanisius, 2007.

Kelsen, Hans. Teori Umum Hukum dan Negara diterjemahkan dari General Theory of Law and State. New York: Russel and Russel, 1971.

Kusnardi, Moh dan Ibrahim, Harmaili. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Cet ke-6 , Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985.


(3)

Mahendra, Yusril Ihza. Dinamika Tata Negara Indonesia, Komplikasi Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian. Jakarta:Gema Insani Press, 1996.

Manan,Abdul. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Jakarta: Kencana, 2003.

MD, Moh. Mahfud. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta:Rajawali Press, 2012.

_______, Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 2011

Napitupulu, Paiman. Menuju Pemerintahan Perwakilan. Bandung: PT Alumni, 2007.

Nurdin, Nurliah. Komparasi Sistem Presidensial Indonesia dan Amerika Serikat. Jakarta: MIPI, 2012.

Pompe, Sebastian. The Indonesian Supreme Court: A Study of institutional Collapse. (Ithaca, Cornell University, Press 2005), mengutip Mertukosumo, S. Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangan sejak 1942 dan Apa Kemanfaatan Bagi Kita Bangsa Indonesia, Bandung: Kilat Madju, 1971.

Rahardjo, Satjipto. Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, Jakarta: Buku Kompas, 2003.

Ranadireksa, Hendaramin. Aristektur Konstitusi Demokratik. Bandung: Fokus Media, 2007.

Salang, Sebastian. Dkk., Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan. Jakarta: Forum Sahabat, 2009.

Sibuea,Hotma P. Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas umum Pemerintahan Yang Baik. Jakarta:Erlangga, 2010.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet-3, Jakarta:UI Press, 1986. Soekanto, Soerjono, dan Mamuji, Sri. Penelitian Hukum Normatif Suatu


(4)

Suseno, Franz Magnis. Demokrasi: Klasik dan Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Syahuri, Taufiqurrohman. Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum. Jakarta: Kencana, 2011.

Tinjauan Kompas, Menatap Indonesia 2014 : Tantangan, Prospek Politik Dan Ekonomi Indoneisa. Jakarta:Buku Kompas, 2014.

Tutik, Titik Triwulan. Kontruksi Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD. 1945,Jakarta: Kencana , 2010.

Zoelva, Hamdan. Pemakzulan Presiden di Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika, 2011.

Undang-Undang:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Dasar Sementara Negara Republik Indonesia 1950

Undang-Undang No 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD Undang-Undang No 22 Tahun 2003 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD

Undang-Undang No 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,DPR, dan DPRD

Undang-Undangb No 12 Tahun 2005 tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Peraturan DPR No 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib DPR


(5)

Bahan Hukum Lain:

Aulawi, Ahmad. Perspektif Pelaksanaan Hak Imunitas Anggota Parlemen dan Pelaksanaan di Beberapa Negara. Jurnal Rechtsvinding, Media Pembinaan Hukum Nasional

Concise Oxford Dictionary-Tenth Edition, OXFORD UNIVERSITY PRESS, Software Aplication.

Simorangkir, J. C. T. dkk, Kamus Hukum, Jakarta: Aksara Baru, 1983. Majalah Detik 4-10 Agustus 2014

Susanti, Bivitri. Mahkamah Kehormatan Dewan Dalam Konteks Negara Hukum. Jakarta: Makalah, 9 Oktober 2014.

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang atas Perubahan Undang-Undang No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD

Risalah Sidang Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, DPR

Website:

Ali, Sjafri. “Tokoh Masyarakat Masuk Panel Mahkamah Kehormatan DPR.” artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari http://www.pikiran-

rakyat.com/politik/2014/09/17/297262/tokoh-masayarakat-masuk-panel-mahkamah-kehormatan-dpr

Arsad, Acha Muhamad. “Putusan MK No 73/PUU-IX/2011 Harapan Baruku.”

artikel diakses pada 23 Mei 2015

dari, http://hukum.kompasiana.com/2013/05/11/putusan-mk-no-73puu-ix2011-harapan-baruku-558858.html

Firdaus, Randi Ferdi.“UU MD3 Baru, DPR Wacanakan ganti BK jadi MKD,” artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari http://www.merdeka.com/politik/uu-md3-baru-dpr-wacanakan-ganti-bk-jadi-mahkamah-kehormatan.htmlPikiran Rakyat, http://www.pikiran-rakyat.com/politik/2014/09/17/297262/tokoh-ma sayarakat-masuk-panel-mahkamah-kehormatan-dpr diakses pada 18 Mei 2015


(6)

Huda, Miftahul. “Forum Privilegiatum.” artikel diakses pada 12 Mei 2015 dari

http://www.miftakhulhuda.com/2010/01/forum-previlegiatum.html

Marbun, Julkifli. “Tanpa Interupsi Paripurna Sahkan revisi Undang-Undang MD3 Menjadi Undang-Undang. Artikel diakses Pada 20 April 2015 Dari

http://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/12/05/ng46tg-tanpa-interupsi-paripurna-sahkan-revisi-uu-md3-undangundang

Nasrul, Erdy. “DPR Bentuk Mahkamah Kehormatan Dewan.” Artikel diakses Sihombing, Erwin C. “Diskriminatif Pembahasan RUU MD3 Layak Dihentikan.”

artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari

http://www.beritasatu.com/nasional/195457-diskriminatif-pembahasan-ruu-md3-dianggap-layak-dihentikan.html

“PDIP Terancam Kehilangan Kursi Ketua DPR.” diakses pada 18 Mei 2015 Dari

www.jawapos.com/baca/artikel/4092/pdip-terancam-kehilangan-kursi-ketua-dpr

Victoria, Widya. “Hindari Bias Tiga Anggota Dewan Dari Luar.” artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari http://politik.rmol.co/read/2014/10/10/175321/Hindari-