Jasad Renik Pelarut Fosfat Pengaruhnya terhadap P-Tanah dan Efisiensi Pemupukan P Tanaman Tebu

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gula tebu merupakan komoditi penting yang tidak dapat dipisahkan dengan
kehidupan manusia sehari-hari. Pada akhir dua dekade ini kebutuhan gula nasional
maupun per kapita dari tahun ke tahun selalu meningkat. Peningkatan kebutuhan
tersebut belum dapat diimbangi dengan produksi gula dalam negeri, sehingga
pemerintah Indonesia selalu tercatat sebagai negara pengimpor gula, kecuali pada
tahun 1984 (BULOG, 1992; BPS, 1992).
Upaya untuk meningkatkan produksi gula nasional telah dilalcukan dengan
beberapa cara, diantaranya ialah : (1) intensifikasi pada sistim pertanaman tebu yang
sudah mapan, (2) ekstensifikasi dengan memperluas pertanaman tebu ke areal bukaan
baru dengan sistim tegalan, terutama di luar Jawa, (3) rehabilitasi pabrik-pabrik gula
peninggalan Belanda agar lebih efisien dalam menghasilkan gula, dan (4)
memperbaiki sistim managemen kebun dan perkebunan tebu.
Areal yang menjadi sasaran pengembangan pertanian pada umumnya bereaksi
masam yang menyebar di Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya, dan sebagian lagi
bereaksi basa yang menyebar di Nusa Tenggara.

Kondisi kimia tersebut

menyebabkan kurang optimalnya penyediaan hara tanah, terutama unsur fosfor (P),

dan menyebabkan terakumulasinya beberapa unsur yang meracuni tanaman, misalnya
aluminium (A13+)yang banyak terdapat pada tanah masam.

2
Pada tanah masam, P bersenyawa dalam bentuk-bentuk AI-P, Fe-P, dan
Occluded-P. Sedangkan pada tanah bereaksi basa, pada umumnya P bersenyawa
sebagai Ca-P. Adanya pengikatan-pengikatan P tersebut menyebabkan pupuk P yang
diberikan menjadi tidak efisien.
Djokosudardjo (1974) menunjukkan bahwa dari jumlah P yang diberikan, 81
% akan dijerap pada tanah Andosol, dan 52-60 %

Latosol, dan Grumusol.

dijerap pada tanah Ultisol,

Selanjutnya Sanders, Penas, dan Walters (1991)

mendapatkan bahwa efisiensi pemupukan TSP pada tanaman kapas berkisar antara
2-18 %.


Dengan teknik isotop, Sisworo dkk. (1982) serta Rasjid dan Sisworo

(1988) mendapatkan nilai efisiensi pupuk TSP pada budidaya beberapa tanaman
pangan di Indonesia hanya berkisar antara 2 sampai 15 %.
Usaha peningkatan efisiensi pemupukan tentunya perlu dilakukan mengingat
konsumsi pupuk P yang selalu meningkat.

Tercatat bahwa laju pertumbuhan

kebutuhan TSP di Indonesia mencapai 8.7 %, sehingga pada tahun 1995 diperlukan
kurang lebih 2.5 juta ton TSP (Moeljono, 1988), dan diperhitungkan oleh Rushadi,
Aspak dan Utomo (1987) akan kekurangan TSP sebesar 0.7 juta ton. Di lain pihak,
untuk mendapatkan pupuk TSP, petani hanya membayar 55 % karena disubsidi oleh
pemerintah (Baharsyah, 1990).
Secara bertahap subsidi harga pupuk ini akan dikurangi, dan pada akhirnya
akan dihapuskan sama sekali.

Pertimbangan tersebut disebabkan oleh semakin

tingginya beban subsidi yang ditanggung pemerintah, sementara penerimaan devisa


3
utama dari migas tidak dapat diandalkan karena harga minyak bumi di pasar
internasional yang tidak stabil. Disamping itu, ditandatanganinya Persetujuan Umum
Tarif dan Perdagangan (GA'IT) pada bulan April 1994 oleh hampir seluruh negara
di dunia (termasuk Indonesia), mengharuskan setiap negara anggota menghapuskan
semua subsidi dan proteksi. Akibatnya dapat diduga bahwa kemampuan petani untuk
memperoleh pupuk dalam waktu yang akan datang akan semakin berkurang. Pada
kondisi yang demikian, penghematan pupuk harus benar-benar dilakukan.
Penelitian yang mengkaji peningkatan penyediaan P tanah bagi tanaman yang
berkaitan dengan efisiensi penggunaan pupuk P telah banyak dilakukan. Diantaranya
adalah pengapuran pada tanah masam, penggunaan bahan organik, teknik penempatan
pupuk, dan pengelolaan waktu yang tepat untuk pemupukan. Penelitian penggunaan
agen hayati seperti mikoriza dan jasad renik pelarut fosfat untuk mengefisienkan
penggunaan pupuk P secara urnum belum banyak dilakukan.
Dengan jenuhnya manipulasi sifat tanah secara kimia, yang ditunjukkan
dengan peningkatan produksi pertanian yang semakin rendah, maka agen hayati dapat
menjadi alternatif untuk mengatasi masalah tersebut.
Penggunaan jasad renik pelarut fosfat sebagai pupuk hayati mempunyai
beberapa keunggulan karena hernat energi, tidak mencemari lingkungan, mampu

membongkar P yang berada dalam bentuk senyawa tidak larut (AI-P, Fe-P, OccludedP, dan Ca-P), rnenghalangi terjerapnya P pupuk oleh anasir-anasir penjerap, dan
mengurangi toksisitas A13+, Fe3+, dan Mn3+ terhadap tanaman pada tanah rnasam.

Pada jenis-jenis tertentu, jasad renik ini dapat memacu pertumbuhan tanaman karena
menghasilkan zat pengatur tumbuh, serta menahan penetrasi patogen akar karena sifat
jasad renik yang cepat mengkolonisasi akar dan menghasilkan senyawa antibiotik.
Pupuk hayati ini layak digunakan sebagai alternatif untuk mengefisienkan
pupuk P, mengingat bahan ini mempakan sumber daya alam yang dengan mudah
dapat diperbahami (renewable), dan dapat diintroduksikan ke daerahdaerah b r u .
Namun untuk mencapai hasil yang memuaskan diperlukan penelitian terus-menerus
yang meliputi berbagai aspek, agar diperoleh teknologi yang mantap untuk
mendayagunakan dan memasyarakatkan pupuk hayati semacam ini.

Tujuan Penelitian
Untuk mendapatkan jasad renik pelarut fosfat yang berkemampuan tinggi dalam
mengefisienkan penggunaan pupuk fosfat, maka dilakukan penelitian dengan tujuan
yang dapat dirinci sebagai berikut :
1.

Memperoleh jasad renik yang berkemampuan tinggi dalam melarutkan

senyawa-senyawa P tanah.

2.

Mempelajari pengamh pemberian jasad renik pelamt P yang dikombinasi
dengan kapur dan bahan organik terhadap ketersediaan P dan beberapa
status P tanah.

3.

Mempelajari pengaruh pemberian jasad renik pelarut P terhadap efisiensi

pemupukan P dan produksi tebu pada tanah masam.
4.

Menelaah nasib jasad renik yang diinokulasikan ke dalam tanah.

Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :


1.

Di dalam tanah terdapat jasad renik pelarut fosfat.

2.

Jasad renik pelarut P dapat menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan

P larut dalam tanah.
3.

Aktivitas jasad renik pelarut P mampu meningkatkan pertumbuhan, bobot
kering, kadar sukrosa, dan bobot tebu yang ditanam pada tanah masam.

4.

Aktivitas jasad renik pelarut P mampu meningkatkan serapan P dan efisiensi
pemupukan P pada tanaman tebu yang ditanam pada tanah masam.

5.


Jasad renik pelarut P dapat beradaptasi setelah diinokulasikan ke dalam
tanah.

TINJAUAN PUSTAKA

P Sebagai Hara Penting Tanaman
Serapan P oleh Tanaman
Fosfor (P), walaupun termasuk unsur hara makro yang sangat penting, namun
kandungannya di dalam tanaman ternyata lebih rendah dibanding nitrogen (N), kalium

(K), dan kalsium (Ca). Tanaman menyerap P dari tanah dalam bentuk ion fosfat,
terutama H,PO,- dan sedikit HPO,',

yang terdapat dalam larutan tanah (Thomas dan

Peasle, 1973; Barber, 1984; Tisdale, Nelson dan Beaton, 1985; Lindsay, Vlek, dan
Chien, 1989).

H2P04- lebih banyak dijumpai pada tanah yang lebih masarn,


sedangkan pada pH yang lebih tinggi (diatas 7) bentuk HPO,= lebih dominan.
Disamping ion-ion tersebut, tanaman juga dapat menyerap P dalam bentuk asam
nukleat, fitin dan fosfohumat (Tisdale dkk., 1985).
Mendekatnya suatu unsur hara dari larutan tanah ke permukaan akar dapat
terjadi melalui salah satu dari tiga proses, yaitu : (1)

intersepsi akar (root

interception), atau dengan pertukaran kontak (contact exchange); (2) difusi ion-ion
dalam larutan tanah, dan (3) gerakan ion-ion oleh gerakan massa (mass movement)
atau aliran massa (massfZow) larutan tanah.
Pergerakan ion fosfat pada umumnya disebabkan oleh proses difusi, tetapi jika
kandungan P larutan tanah cukup tinggi, maka proses aliran massa dapat berperanan
dalarn transportasi tersebut. Ion yang sudah berada di permukaan akar akan menuju

7

rongga luar akar (outer space) melalui proses difusi sederhana (simple difusion),
jerapan pertukaran (achange adsorption), dan keg iatan bahan pembawa (carrier).

Selanjutnya, ion memasuki rongga dalam akar (inter space) dengan melibatkan energi
metabolisme, yang dikenal sebagai serapan aktif.

Peranan P dalam Tanaman
Berbeda dengan sulfur (S) dan nitrogen (N), P yang diserap tanaman tidak
direduksi, melainkan berada di dalam senyawa-senyawa organik dan anorganik dalam
bentuk teroksidasi, dan tidak pernah terdapat sebagai fosfit ataupun P unsuri.

P

anorganik banyak terdapat di dalam cairan sel sebagai kornponen sistem penyangga
tanaman.

Dalarn bentuk organik, P terdapat sebagai

: (1) fosfolipida, yang

merupakan komponen rnembran sitoplasrna dan kloroplast; (2) fitin, yang merupakan
simpanan fosfat dalarn biji; (3) gula fosfat, yang merupakan senyawa antara dalam
berbagai proses metabolisrne tanaman; (4) nukleoprotein, komponen utama DNA dan

RNA inti sel; (5) ATP, ADP, AMP dan senyawa sejenis, sebagai senyawa berenergi
tinggi u ntuk rnetabolisme; (6) NAD dan NADP, keduanya adalah koenzim penting
dalam proses reduksi dan oksidasi; dan (7) FAD dan berbagai senyawa lain, yang
berfungsi sebagai pelengkap enzim tanaman (Arnon, 1953; Mengel dan Kirkby,
1957).

Adenos ina trifosfat (ATP) terbentuk melalui proses fosforilasi oksidatif pada
asimilasi fosfat oleh turnbuhan.

P yang diasirnilasi menjadi ATP, dengan cepat

8
segera ditransfer melalui reaksi metabolik berikutnya menjadi berbagai macarn bentuk
fosfat dalam tanaman, diantaranya adalah gula fosfat, fosfolipida, dan nukleotida.
ATP ini diantaranya juga bertanggung jawab pada proses transpor aktif.
Asam deoksiribonukleat (DNA) yang tersusun dari basa purina dan pirimidina,
gula pentosa dan fosfat, berfungsi sebagai pembawa informasi genetik, sedangkan
RNA sebagai penerjemah informasi dan keterlibatan lain dalam sintesis protein.
NAD, NADP, dan FAD berlaku sebagai reduktan dalam sintesis senyawa-senyawa
organik tumbuhan. P juga merupakan penyusun fitin, yaitu bentuk utama P yang

tersimpan dalam biji.

Substansi ini merupakan garam kalsium dan magnesium

inos i to1 asam heksafosfat, sedangkan fosfol ipida merupakan bahan yang berperanan
penting dalam mengatur permeabilitas membran sel dan pengangkutan ion (Black,
1968).

Melihat uraian di atas, maka kekurangan P pada tanaman akan mengakibatkan
berbagai hambatan metabolisme, diantaranya dalam proses sintesis protein, yang
menyebabkan terjadinya, akumulasi karbohidrat dan ikatan-ikatan nitrogen.
I

Kekurangan P tanaman dapat diamati secara visual, yaitu daundaun yang tua akan
berwarna keunguan atau kemerahan karena terbentuknya pigmen antosianin. Pigmen
ini terbentuk karena akumulasi gula di dalam daun sebagai akibat terharnbatnya
sintesis protein. Gejala lain adalah nekrosis (kematian jaringan) pada pinggir atau
helai dan tangkai daun, diikuti melemahnya batang dan akar tanaman.

Senyawa P di dalam Tanah
Fosfor (P) di dalam tanah dapat dibedakan dalarn dua bentuk, yaitu P-organik
dan P-anorganik. Kandungannya sangat bervariasi bergantung pada jenis tanah, tetapi
pada urnumnya rendah. P tanah dijumpai lebih tinggi di tanah-tanah muda, perawan,
dan di lapisan yang lebih dalam.

Bentuk-bentuk fosfat ini berasal dari sisa tanaman, hewan dan jasad renik. Di
s ini P terdapat sebagai senyawa ester dari asam ortofosfat, yaitu inositol, fosfolipida,
asam nukleat, nukleotida, dan gula fosfat. Tiga senyawa yang disebutkan pertama
amat dominan di dalam tanah (Tisdale dkk., 1985).
lnositol fosfat dapat mempunyai satu, dua, tiga, empat, lima, atau enam atom
P untuk setiap unitnya, dan senyawa ini dapat ditemukan dalam tanah atau organisme

11 idup yang dibentuk secara enzimatik. Fosfolipida merupakan senyawa fosfat yang
berkombinasi dengan lipida. Asam nukleat sebagai DNA dan RNA menyusun satu
sampai 10 % P-organik total (Tisdale dkk., 1985). Sel-sel jasad renik sangat kaya
dengan asam nukleat (Alexander, 1978). Jika organisme tersebut mati, maka asam
nukleatnya siap untuk dimineralisasi.
Ketersediaan P-organik bagi tanaman sangat bergantung pada aktivitas jasad
renik untuk memineraiisasikannya. Namun seringkali hasil mineralisasi ini segera

10
bersenyawa dengan bagian-bagian anorganik dan membentuk senyawa yang relatif
sukar larut. Enzim fosfatase berperan utama dalam melepaskan P dari ikatan Porganik. Enzim ini banyak dihasilkan oleh jasad renik tanah, terutama yang bersifat
heterotrof.
Tisdale dkk. (1985) mengemukakan bahwa mineralisasi P-organik &lam
beberapa ha1 tidak sama sifatnya dengan mineralisasi C atau N.

Beberapa hasil

percobaan peneliti tersebut menunjukkan bahwa mineralisasi P-organik meningkat
sejalan dengan naiknya pH sampai batas tertentu, tetapi perubahan pH tanah tidak
mempengaruhi mineralisasi C dan N. Oleh karena itu berubahnya pH menyebabkan
nisbah C-total dan N-total terhadap P-organik juga berubah. Aktivitas jasad renik
dapat menyebabkan mineralisasi dan imobilisasi P. Mineralisasi akan terjadi bila
nisbah (C:P) < 200, sedangkan pada (C:P) > 300 akan terjadi imobilisasi
(Alexander, 1978; Tisdale dkk., 1985).

Bentuk P-anorganik dapat dibedakan menjadi : (1) P aktif, yang meliputi Ca-P,
AI-P, Fe-P, dan (2) P tidak aktif, yang meliputi occluded-P, reductant-P, dan mineral
P primer (Sanchez, 1976). P-anorganik di dalam tanah pada umumnya berasal dari
mineral fluor apatit (Ca,,(PO,),F,).

Dalam proses hancuran iklim dihasilkan berbagai

mineral P sekunder seperti hidroksi apatit, karbonat apatit, klor apatit, dan lain-lain
sesuai dengan lingkungannya. Selain itu, ion-ion fosfat dengan mudah dapat bereaksi

11
dengan ion Fe3+,A13+, MnZ+, Ca2+,ataupun terjerap pada permukaan oksida-oksda
hidrat besi, aluminium, dan liat.
Pada tanah masam, kelarutan A1 dan Fe menjadi tinggi. Dengan demikian,
ion fosfat (H2PO;, HPO;-,

PO:-)

akan segera terikat membentuk senyawa P yang

kurang tersedia atau tidak tersedia bagi tanaman. Mula-mula senyawa ini bersifat
koloidal, lambat laun menjadi kristal varisit AIPO42HZOdan strengit FeP042H20
(Soepardi, Ismunadji, dan Partohardjono, 1985). BiIa pH tanah dinaikkan, maka P
akan berubah menjadi tersedia kembali. Pada pH di atas netral, P juga kurang
tersedia bagi tanaman karena diikat oleh Ca menjadi senyawa yang kurang tersedia.
Unsur tersebut akan tersedia kembali j ika pH diturunkan. Jadi ketersediaan P sangat
dipengaruhi oleh pH tanah. Peneliti yang berbeda-beda mengemukakan pendapat
yang berlainan tentang kisaran pH tanah yang mendukung ketersediaan P paling
tinggi, yaitu 6.5-7.0 (Olsen, Kemper dan Jackson, 1962), 5.5-7.0 (Tisdale dkk.,
1985), dan 6.0-6.5 (Lindsay, 1979).
Ketersediaan P sebgai mineral tanah digambarkan secara terinci oleh Lindsay
dkk. (1 989). tetapi pengendapan P dalam bentuk-bentuk tersebut dianggap kurang
penting ketimbang fenomena adsorpsi pada permukaan seskuioksida, terutama di
dalam menggambarkan retensi P dari pupuk yang diberikan ke daiam tanah.
Adsorpsi tersebut terjadi pada permukaan oksida-oksida hidrat besi, aluminium, dan
liat (Rajan, Perrot, dan Saunders, 1974). Kemampuan adsorpsi senyawa-senyawa
tersebut bergantung pada kadar liat, Fe, dan Al terlarut, C-organik, dan CaCO,.

12
Pada tanah-tanah tropika basah, adsorpsi P terutama terjadi oleh adanya Fe dan A1
terlarut (Sanchez, 1976). Sedangkan pada tanah-tanah berkapur atau tanah yang
dikapur berat, adsorpsi P dilakukan oleh Ca.
Faktor-faktor yang mempengaruhi retensi P tanah meliputi sifat dan jumkh
komponen tanah (oksida hidrat Fe dan Al, tipe liat, kadar Iiat, koloid arnorf, K2C03),
pH tanah, kation, anion, tingkat kejenuhan komplek adsorpsi, bahan organik, dan
waktu reaksi (Rajan dkk., 1974; Tisdale dkk., 1985; Lindsay dkk., 1989). Adanya
pengikatan P oleh beberapa faktor tersebut menyebabkan pemupukan P tidak efisien.
Pengapuran tanah masam dapat mengurangi masalah retensi P tanah. Selain
menambah unsur Ca, menaikkan pH, dan menurunkan kejenuhan AI, juga meningkatkan ketersediaan P bagi tanaman. Gugus hidroksida yang dihasilkan dari reaksi
pengapuran dapat bersaing dengan fosfat pada tapak jerapan koloid bermuatan positif.
Pemberian kapur 0.5 sampai 1.5 kali jumlah setara A1 dapat dipertukarkan dalam
tanah dapat mengurangi bahkan meniadakan keracunan Al, serta meningkatkan
serapan P tanaman jagung (Hakim, 1982) dan rerumputan (Mendez dan Kamprath,
1978). Reaksi yang terjadi adalah :

AI(OH,)H,PO,

+ OH' ------ >

AI(OH),

+ H,PO,'

(larut)

Bahan organik juga lazim digunakan untuk meningkatkan ketersediaan P tanah.
Selain membebaskan P melalui mineralisasi, bahan organik juga membentuk senyawa

13
fosfohumat yang dapat diserap tanaman. Peranan bahan organik yang lain adalah
reaksi pertukaran ortofosfat dengan ion-ion humat, membungkus seskuioksida dengan
humus sehingga mengurangi kapasitas fiksasi tanah, dan membentuk senyawa
kompleks yang stabil dengan besi, aluminium, dan kalsium. Anion organik non
humus yang paling efektif membebaskan fosfat tanah adalah sitrat, oksalat, tartarat,
malat, dan malonat (Tisdale dkk., 1985).

Jasad Renik dan Kesuburan Tanah
Sejarah Penelitian
Perkembangan mikrobiologi tanah mulai dicatat pada tahun 1838, setelah
seorang ahli kimia pertanian merangkap petani J. B. Bousingault (1802- 1882)
menunjukkan bahwa tanaman pepolongan dapat memperoleh nitrogen dari udara jika
ditumbuhkan pada tanah yang tidak dipanaskan (Subba Rao, 1977; Tisdale dkk.,
1985). Lima puluh tahun kemudian, ilmuwan Belanda M. W. Beijerinck (18511931) berhasil mengisolasi dan memurnikan bakteri dari bintil akar tanaman
pepolongan. Di tempat lain, ilmuwan termashur dari bekas negara Uni Soviet S. N.

Winogradsky (1856- 1953) menemukan aktivitas autotrofik dari beberapa bakteri yang
berperan dalam transformasi N dan S tanah.
Beijerinck dan Winogradssky mengemukakan teknik medium yang diperkaya
untuk mengisolasi jasad renik yang diinginkan, yang sekarang dikenal sebagai

14
medium selektif. Kedua ilrnuwan tersebut merupakan pionir ddam mengembangkan
mikrobiologi tanah untuk pertanian.

Jasanya dapat disejajarkan dengan Louis

Pasteur dan Robert Koch di bidang mikrobiologi rnedik. Penemuan-penemuan
tersebut menjadi dasar pijak perkembangan ilmu pada awal abad ke duapuluh.

Jasad Renik Penting Untuk Kesuburan Tanah
Pada ekosistern tanah terdapat lima kelompok utama jasad renik, yaitu bakteri,
aktinomisetes, cendawan, algae, dan protozoa. Jasad renik tersebut rnerupakan
bagian dari ekosistem tanah disarnping fraksi anorganik dan organik yang lain.
Bakteri rnerupakan kelompok terpenting dibandingkan dengan keempat kelornpok
yang lain karena jumlah dan jenisnya yang sangat beragarn (Subba Rao, 1977;
Alexander, 1978).
Organisme tanah, terrnasuk di dalarnnya cacing dan serangga, dikenal sebagai
salah satu faktor pembentuk tanah yang aktif.

Ini berarti sifat dan ciri tanah

/

dipengaruhi oleh jenis, jumlah , dan aktivitas organisrne yang hidup dalarn tanah
tersebut. Adanya organisrne ini akan menyebabkan terjadinya interaksi biologi yang
dinamis, dan menimbulkan reaksi biokimia yang beragam dalam proses perombakan
bahan organik, sintesis senyawa baru, pelapukan batuan, dan penyediaan hara bagi
tanaman pertanian. Sifat-sifat metabolisme jasad renik yang beragam rnengilharni
ilmuwan untuk rnernanfaatkannya bagi kepentingan pertanian.

15

Jasad renik tanah dapat mengikat N udara. Kelompok ini dibedakan sebagai
bakteri non simbiotik (Azotobacter, Beijennckia, Azospirillum, dan lain-lain), bakteri
simbiotik (Rhizobium), ganggang hijau biru non simbiotik (Nostoc, Anabaenopsis,
dan lain-lain), dan ganggang hijau biru simbiotik yang berasosiasi dengan cendawan
membentuk kerakap (Watanabe dan Yamamoto, 1971; Fogg, 1971; Yoshida dan
Ancajas, 1973).

Diantara kelompok tersebut, Rhizobium merupakan jasad renik

paling penting karena kemampuan simbiotik dan fiksasinya yang tinggi. Bakteri ini
berasosiasi dengan akar tanaman pepolongan dengan membentuk bintil pada akar.
Kemampuannya mengikat N udara dapat mencapai 130 kg N ha-' (Subba Rao, 1977).
Azospirillum menjadi topik penelitian yang menarik di Brazil dan India. Aplikasinya
di lapang dapat menghemat 20 sampai 30 kg N per hektar (Subba Rao dkk, 1979).
Perilaku yang hampir sama ditunjukkan oleh Azotobacter yang diinokulasikan pada
tanaman padi dan tomat. Anabaena azollae (ganggang hijau biru) oleh peneliti yang
sama diiaporkan mampu mengikat 100 sampai 150 kg N per hektar pada tanaman
padi sawah.

,

Selain mengikat N udara, beberapa jasad renik juga dilaporkan dapat
melarutkan senyawa P tanah (AI-P, Fe-P, dan Ca-P), sehingga dapat mengefisienkan
pemupukan fosfat. Bacillus megateriarm adalah salah satu contoh bakteri pelarut
fosfat.
Yang tidak kalah pentingnya adalah peranan jasad renik dalam transformasi
unsur-unsur N, P, K, S, Fe, Mn, Hg, Se, dan Ar (Alexander, 1978). Jasad renik

16
juga mampu membersihkan tanah dari polutan, seperti pestisida dan senyawa-senyawa
hidrokarbon.
Cendawan dalam beberapa ha1 mirip dengan bakteri, terutama perannya dalam
perombakan bahan organik. Aspergillus dan Penicillium tertentu disamping berfungsi
sebagai pelarut fosfat, juga merupakan penghancur selulosa yang baik (Das, 1963;
Burges dan Raw, 1967). Mikoriza, yaitu cendawan yang berasosiasi dengan akar
tanaman akan sangat membantu dalam menyerap fosfat, hara-hara lain, air, dan
dalam beberapa ha1 mampu membebaskan akar dari patogen akar (Subba Rao, 1977).

Jasad Renik Tanah Pelarut P

Penelitian dan pemanfaatan jasad renik pelarut P sudah mulai dilakukan sejak
tahun 1930-an (Waksman dan Starkey, 1931; Gerretsen, 1948; Sen dan Paul, 1957;
Katznelson dan Bose, 1959; Smith, Allison, dan Soulides, 1961). Negara yang
mula-mula memproduksi jasad renik ini sebagai pupuk hayati adalah Russia (bekas
negara Uni Soviet), yaitu pada tahun 1947.

Inokulan pelarut P ini cukup luas

dimanfaatkan di negara-negara Eropa Timur dengan nama dagang fosfobakterin.
Produk ini dilaporkan terdiri dari kaolin yang membawa 7 juta spora (endospora)
bakteri Bacillus megaterium varietas phosphaticum setiap gramnya (Cooper, 1959;
Smith dkk., 1961). Selanjutnya dikemukakan pula bahwa fosfobakterin memberikan

17

hasil yang paling baik pada tanah-tanah netral sampai basa dengan kandungan bahan
organik yang tinggi, seperti pada tanah-tanah Chernozem.
Penelitian jasad renik pelarut P juga banyak dilakukan di India, Kanada, dan
Mesir dengan tujuan untuk melarutkan endapan-endapan Ca-fosfat (Sen dan Paul,
1957; Katznelson dan Bose, 1957; Sethi dan Subba Rao, 1968; Kundu dan Gaur,
1980; Subba Rao, 1977; 1982' ; 1982b). Pemanfaatan cendawan tanah yang lebih
dominan pada pH rendah juga memperoleh perhatian peneliti-peneliti tersebut. Das
(1963) melaporkan, bahwa beberapa Aspergillus sp dan Penicillium sp mampu
melarutkan Al-P dan Fe-P.

Demikian pula yang diperoleh Anas, Premono dan

Widyastuti (1993) serta Lestari (1994). Jenis cendawan yang lain adalah Sclerotium
dan Fusarium (Alexander, 1978). Diantara bakteri, yang sering dilaporkan dapat
melarutkan fosfat adalah anggota-anggota genus

Pseudomonas, Bacillus,

Mycobacterium, Micrococcus, Flavobacteriurn, Bacterium,

Citrobacter, dan

Enterobacter (Alexander, 1978; Subba Rao, 1982b; Premono, Widyastuti dan Anas,
1992; Buntan, 1992).

,

Mekanisme Pelarutan Senyawa P
Fosfor relatif tidak mudah tercuci seperti N, tetapi karena pengaruh lingkungan
maka statusnya dapat berubah dari P yang tersedia bagi tanaman menjadi tidak
tersedia, yaitu dalam bentuk Ca-P, Mg-P, Al-P, Fe-P, atau Occluded-P.

18

Dalam aktivitasnya, jasad renik pelarut P akan menghasilkan asam-asam
organik, diantaranya ialah asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, oksalat, glioksalat,
malat, fumarat, tartarat, dan a-ketobutirat (Alexander, 1978; Subba Rao, 1982b).
Meningkatnya asam-asam organik tersebut biasanya diikuti dengan penurunan pH
yang tajam, sehingga mengakibatkan terjadinya pelarutan Ca-P. Penurunan pH juga
Vdapat disebabkan terbebaskamya asam sulfat dan nitrat pada &idasi
kemoautotrofik sulfur dan ammonium, berturut-turut oleh bakteri Thiobacillus clan

Nitrosomonas (Alexander, 1978). Reaksi pelarutan P oleh penurunan pH dan
terdapatnya gugus karboksilat secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut.

OH
M:O
H
\
HPO,
M

=

+

R- C - 0 -

6

A13+atau Fe3+

->

0 OH
M-OH
+ H2PO;
\
O-C-R

b

R-c-0,
/

OH

M 7 H2P0,
H,PO,

+

40
3R-C-0-

->
R-C-0

0.
0
M-0-&R
+ 2H,PO;

/d

kompleks-M
M = A13+atau Fe3+
Beberapa peneliti mengemukakan bahwa asarn organik mampu meningkatkan
P tersedia tanah melalui beberapa mekanisme, diantaranya adalah : (1) anion
organik bersaing dengan ortofosfat pada permukaan tapak jerapan koloid yang
bermuatan positif (Nagarajah, Posner, dan Quirk, 1970; Lopez-Hernandez dl&.,
1979); (2) pelepasan ortofosfat dari ikatan logam-P melalui pembentukan kompleks
logam-organik (Earl, Syers, dan Mc. Laughlin, 1979); dan (3) modifikasi muatan
permukaan tapak jerapan oleh ligan organik (Nagarajah dkk., 1970; Kwong dan
Huang , 1979).
Nagarajah dkk. (1970) mengemukakan pula bahwa sitrat dan oksalat
digolongkan sangat efektif dalam menurunkan retensi P dari kaolinit dan gibsit,
sedangkan malonat, tartarat, dan malat berefektivitas sedang, serta asetat dan suksinat
digolongkan kurang efektif
Pada tanah vulkanik yang kaya alofan, asam-asam organik (benzoat, p-OH
benzoat, salisilat, dan ptalat) tidak mampu menurunkan retensi P (Appelt, Coleman,
dan Pratt, 1975"; 197jb). Kwong dan Huang (1979) yang meneliti penggunaan asam
sitrat, malat, aspartat, dan hidroksi benzoat, menunjukkan bahwa asam organik

20
tersebut bereaksi dengan aluminium melalui perubahan struktur, yang pada gilirannya
mendorong terjadinya perubahan spesifik struktur koloid sehingga meningkatkan
muatan negatif permukaannya dan menurunkan aktivitas retensi terhadap ion fosfat.
Kestabilan kompleks dengan A1 tersebut mengikuti urutan sitrat

> rnalat > aspartat

> hidroksi benzoat. Kestabilan kompleks Al-ligan organik tersebut juga diperoleh
oleh Traina dkk. (1986) dengan urutan sitrat > tartarat > format.
Earl dkk. (1979) meneliti pengaruh asam organik (sitrat, tartarat dan asetat)
pada gel Al dan Fe terhadap jerapan P. Hasilnya menunjukkan bahwa tanpa anion
organik, maka Fe menjerap P dalam jumlah yang sangat banyak.

Asam sitrat

menjerap Fe jauh lebih banyak dibanding tartarat, demikian pula dalarn ha1
mengurangi P terjerap. Tetapi jumlah Al yang diikat oleh kedua asam tersebut tidak
berbeda. Asetat tidak efektif dalam menurunkan retensi P, karena asetat kurang kuat
dalam membentuk kompleks dengan A1 maupun Fe.
Pada tanah Spodosol, Fox, Comerford, dan Fee (199W;

1990b) juga

menemukan ha1 yang hampir sama, yakni asam organik oksalat mampu melepaskan
P dari ikatan AI-P pada lapisan subsoil tanah tersebut. Kemampuan oksalat jauh
lebih baik dari pada format.
Disamping meningkatkan P tersedia, beberapa asam organik berbobot molekul
rendah ini juga dilaporkan dapat mengurangi daya racun Al-dd (A1 dapat
dipertukarkan) pada tanaman kapas (Hue, Craddock, dan Adams, 1986). Peneliti
tersebut menggolongkan kemampuan detoksikasi asam organik terhadap At-dd dalam

21
tiga kelompok, yaitu kuat (sitrat, oksalat, dan tartarat); sedang (malat, malonat, dan
salisilat); dan lemah (suksinat, laktat, format, asetat, dan ptalat). Hasil penelitian
Premono dkk. (1992) juga menunjukkan bahwa jasad renik pelarut fosfat secara nyata
mampu mengurangi Fe, Mn, dan Cu yang terserap oleh tanaman jagung yang ditanam
pada tanah masam, sehingga berada pada tingkat kandungan yang normal.
Terdapatnya asam-asam organik sitrat, oksalat, tartarat, malat, malonat, dan
a-ketobutirat di dalam tanah sangat penting artinya dalam mengurangi pengikatan P
oleh anasir penjerapnya dan mengurangi daya racun aluminium pada tanah masam.
Jasad renik

menghasilkan asam-asam organik tersebut melalui proses

katabolisme glukosa dalam siklus asam trikarboksilat (TCA), yang merupakan
lanjutan reaksi glikolisis (Mandelstam dan Mc Quillen, 1973; Dawes dan Sutherland,
1976). Asam-asam ini merupakan substrat untuk proses anabolisme dalam sintesis
asam amino dan makromolekul yang lain, sehingga keluarnya senyawa tersebut dari
sistem sel masih belum dapat dipahami dengan baik, mengingat jasad renik yang
bersangkutan membutuhkan senyawa ini untuk kelangsungan metabolismenya.
Diduga bahwa akibat refleksi genetis, jasad renik pelarut fosfat menghasilkan asamasam organik berlebih, dan sebagian berdifusi keluar sel karena reaksi keseimbangan
osmose.

Disamping itu, beberapa asam organik ini juga dihasilkan pada proses

fermentasi oleh jasad renik tertentu karena berubahnya lingkungan pertumbuhan
aerobik menjadi anaerobik.

Potensi Jasad Renik Melarutkan P
Sen dan Paul (1957) menggunakan fosfobakterin galur fosfo 24, Bacillus
substifis, Bacterium mycoides, dan Bacterium mesenterricus untuk melarutkan P
organik (glisero fosfat, lesitin, tepung tulang) dan P-anorganik (Ca-P, Fe-P) yang
d ilakukan secara in vi tro. Hasilnya menunjukkan bahwa bakteri tersebut mampu
melarutkan FePO,, Ca3(PO,),, gliserofosfat, lesitin, dan tepung tulang berturut-turut
sebanyak 2-7, 3-9, 3-13, 5-21, dan 14 %. Banik (1982) memanfaatkan Bacillus sp,
dan dua galur Bacillus firmus.

Hasil percobaannya menunjukkan bahwa ketiga

bakteri tersebut masing-masing hanya mampu melarutkan 0.3, 0.9, 0.3 % dari
senyawa Ca3(PO,), yang diberikan, dan tidak mampu melarutkan AlPO,

dan

FePO,.
Premono dkk. (1991) yang menggunakan Pseudomonas putida, Citrobacter
intermedium dan Serratia mesenteroides, mendapatkan bahwa bakteri tersebut mampu
meningkatkan P larut yang ada dalam medium AlPO, dan batuan fosfat sebanyak 6
/

sampai 19 kali lipat, tetapi tidak mampu melarutkan FePO,.
Sundara Rao dan Sinha (1962) mengidentifikasi beberapa jasad renik pelarut

P dari lapisan perakaran tanaman gandum. Jasad renik tersebut adalah &rcilfus
megaterium, Bacillus sp, Escherechia freundii, dan Escherichia intermedia. Supadi
( 1991) juga

mendapatkan anggota-anggota Escherichia yang dapat melarutkan P dari

lapisan perakaran tanaman jagung. Bakteri-bakteri tersebut meningkatkan P tersedia
sebanyak 0.8-3.7 ppm pada tanah non steril dan 0.1-3.6 ppm pada tan

23
Katznelson dan Bose (1959) menemukan bahwa aktivitas beberapa bakteri pelarut
fosfat semakin meningkat dengan semakin dekatnya jasad renik tersebut pada
permukaan akar tanaman. Peneliti tersebut juga mengemukakan bahwa perkembangbiakan jasad renik ini semakin baik jika mediumnya dilengkapi dengan ekstrak
tanah dan ragi.
Penelitian dengan cendawan tanah sebagai jasad renik pelarut P dilakukan oleh
Das (1963); Chonkar dan Subba Rao (1967); Goyal dkk (1982); Banik (1982);
Kucey (1983); Asea, Kucey, dan Stewart (1988); Salih dkk (1989); Yadav dan
Singh (1991); Anas dkk. (1993); serta Lestari (1994). Jenis cendawan yang paling
banyak diteliti adalah Aspergillus sp dan Penicillium sp.
Kelompok Penicilium sp mampu melarutkan 26-40 % Ca3(P04),, sedangkan

Aspergillus sp melarutkan 18 % (Chonkar dan Subba Rao, 1967). Asam sitrat yang
dihasilkan oleh Aspergillus awamori berperanan dalam pelarutan Ca-P (Goyal dkk,
1982). Aspergillus niger menunjukkan pertumbuhan yang kuat pada medium AIPO,,
sedangkan Penicillium sp tvmbuh sama baiknya pada medium AlPO, , FePO,, dan
Ca3(P0,), (Das, 1963).

Aspergillus fumigatus dan Aspergillus candidus yang diteliti oleh Banik (1982)
menunjukkan kemampuan yang jauh melebihi fosfobalcterin dalam melarutkan
Ca,(PO,),, A1PO,, dan FePO,, sedangkan Aspergillus niger yang ditel iti oleh Anas
dkk. (1993) dan Lestari (1994) sangat baik dalam meningkatkan P larut dari medium
batuan fosfat, yakni lebih dari 10 kali lipat.

lndikasi tersebut menunjukkan

kemampuan cendawan, yang mempunyai spektrum lebar dalam melarutkan beberqa
bentuk senyawa P yang ada di dalam tanah.
Fosfor radio aktif (32P)pada beberapa percobaan digunakan untuk mengetahui
secara kuantitatif jumlah P yang dapat dibebaskan akibat aktivitas jasad renik pelarut
P (Smith dkk., 1961; Kavimandan dan Gaur, 1971), tetapi hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa hidroksi apatit yang diberi tanda 32Ptidak berhasil dilarutkan
oleh Pseudomonas sp dan Bacillus polymixa.

Pengaruh Jasad Renik Pelarut P Terhadap Tanaman
Beberapa tanaman yang pernah digunakan sebagai bahan percobaan untuk
menguji pengaruh jasad renik pelarut P antara lain adalah gandum, mustard, bit gula,
kubis, tomat, barlei, jagung, kentang, padi, kedelai, kacang tanah, kacang panjang,
dan tebu (Subba Rao, 1977; 1982"; 1982b). Achmad dan Jha (1982) mencoba B.
megaterium dan B. circulans pada tanaman kedelai. Jasad renik yang disebutkan
pertama dapat meningkatkan serapan P tanaman kedelai, sedangkan keduanya
meningkatkan produksi kedelai berturut-turut sebanyak 7 dan 10 % jika digunakan
pupuk TSP, serta meningkatkan 34 dan 18 % jika digunakan batuan fosfat.
Pada gandum, Kundu dan Gaur (1980) mengombinasikan bakteri pelarut P (B.
polymljra dan P. striata) dengan bakteri penarnbat N, udara (Azotobacter
c~~roococcum).
Ternyata bakteri pelarut P tersebut dapat menstimulir pertumbuhan
A. chroococcum, tetapi bakteri penambat N tidak mempengaruhi pertumbuhan bakteri

25

pelarut P. Kombinasi ketiga inokulan tersebut mampu meningkatkan hasil gandum
dua sampai lima kali lipat. Gerretsen (1948) juga mendapatkan bahwa semua jasad
renik rizosfer yang diujinya mampu meningkatkan serapan P tanaman gandum
sebesar 9-54 % . Anas (1986) membuktikan bahwa Pseudomonas sp yang hidup pada
rizosfer dan jaringan akar barley mampu mempengaruhi dinamika mikrobiota tanah
yang lain serta meningkatkan pertumbuhan serta produksi tanaman tersebut.
Smith dkk. (1961) menggunakan fosfobakterin sebagai inokulan pada tanaman
gandum dan tomat. Dari dua seri percobaannya (masing-masing pada enam dan
empat jenis tanah), ternyata hanya satu percobaan saja yang mampu meningkatkan
produksi tomat, sebesar 8 %.

Selain itu, peneliti tersebut juga meragukan

kemampuan fosfobakterin dan mengkritik bahwa percobaan-percobaan yang dilakukan
di bekas negara Uni Soviet itu lemah dalam analisis statistik. Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Cooper (1959).

Demikian pula Taha dkk. (1969), yang

mendapatkan bahwa fosfobakterin kurang efektif jika dibandingkan dengan jasad renik
yang berhasil diisolasi dad tanah-tanah di Mesir.
Pada tanaman jagung, Citrobacter intermedium dan Pseudomonas putida
(Premono dkk., 1991) mampu meningkatkan serapan P tanaman dan bobot kering
jaringan tanaman sampai 30 %. Pada percobaan yang lain (Buntan, 1992; Premono
dan Widyastuti, 1993), Pseudomonas putida mampu meningkatkan bobot kering
jagung sampai 20 persen, dan jasad renik ini stabil sampai lebih dari 4 bulan pada
medium pembawa kompos zeolit, tanpa kehilangan kemampuan genetisnya dalam

26
melarutkan batuan fosfat. Sedangkan Lestari (1994) yang menguji Aspergillus niger,
menunjukkan bahwa jasad renik tersebut sangat baik dalam memperbaiki penampilan
pertumbuhan jagung sampai 8 minggu pertama.
Beberapa jasad renik pelarut P yang dikombinasikan dengan inokulasi
mikoriza, ternyata lebih efektif dibanding dengan inokulasi tunggal.

Hal ini

disebabkan oleh semakin intensifnya permukaan serapan pada daerah penambangan
P yang telah dilarutkan oleh jasad renik pelarut P (Kucey, 1983; Young, Chen, dan
Cho, 1990: Azcon, Barea, dan Hayman, 1976).
Beberapa peneliti mengemukakan bahwa efektifnya jasad renik pelarut P, tidak
hanya disebabkan oleh kemampuannya meningkatkan ketersediaan P, tetapi juga
disebabkan karena kemampuannya dalam menghasilkan beberapa zat pengatur
tumbuh, terutama oleh jasad renik yang hidup pada permukaan akar (rhizoplane)
seperti Pseudomonas fluorescens, P. putida, dan P. striata. Vancura (1989) serta
Sobleszczanski dan Stempniewicz (1989) mengemukakan bahwa

P. putida yang

hidup di sekitar akar tanaruan memanfaatkan 73-76 % eksudat akar dan menghasilkan
zat pengatur tumbuh antara lain indole acetic acid (I AA) , indole-3-acetarnide (I AM),
indole-3-lactic acid (I LA), indole-3-acetaldehyde (I AH), gibberelic acid (GA3),
aneurin, biotin, mesoinositol, pyridoxin , pantotenic acid, dan nicotinic acid.
Beberapa percobaan lapangan yang dilakukan di India belum memberikan hasil
yang konsisten. Subba Rao (1982"; 1982b)melaporkan bahwa dari 37 percobaan yang
telah dilakukan pada tanaman jagung, gandum, padi, kentang, kedelai, kacang tanah,

27

barley, dan kacang panjang, hanya 10 percobaan yang menurut uji statistik nyata
meningkatkan produksi tanaman.

Nasib Jasad Renik dalam Tanah
Jika jasad renik diinokulasikan ke dalam tanah, maka berbagai kemungkinan
dapat terjadi, karena lingkungan yang baru belum tentu serupa dengan lingkungan
asal jasad renik.

Diantara beberapa kemungkinan yang dapat terjadi terhadap

inokulan adalah : (1) Inokulan tidak dapat bertahan hidup karena lingkungan kimia,
parasit, atau senyawa antagonis yang dihasilkan jasad renik lain; (2) inokulan
bertahan hidup, tetapi dengan laju pertumbuhan yang lambat karena faktor
lingkungan; (3) inokulan bertahan hidup, dengan laju pertumbuhan yang tinggi karena
didukung oleh faktor lingkungan; dan (4) inokulan bertahan hidup, tumbuh dengan
baik tetapi mengalami mutasi atau bergeser dari sifat-sifat yang diinginkan. Karena
beberapa kemungkinan tersebut, maka pemantauan terhadap nasib jasad renik setelah
diinokulasikan perlu dilakukan untuk menerangkan hasil yang teramati.
Beberapa metode dapat digunakan untuk memantau inokulan tersebut,
diantaranya adalah teknik antigen-antibodi dan penandaan dengan resistensi antibiotik
(Subba Rao, 1977; Somasegaran dan Hoben, 1985). Teja Imas (1990) menggunakan
teknik antigen-antibodi untuk pengelompokkan serogrup isolat bakteri bintil akar.
Teknik ini merupakan salah satu metode pencirian jasad renik untuk menggambarkan
hubungan spesifik antara antigen-antibodi, sehingga galur lain dan galur yang diintro-

28
duksi ke dalarn tanah dapat dikenali (Vincent, 1970). Uji serologi yang sering
digunakan adaiah reaksi aglutinasi, presipitasi, dan uji serologi khusus dengan teknik
antibodi fluoresen (Vincent, 1970; Pelczar, Chan, dan Krieg, 1986).

Resistensi Antibiotik Sebagai Penanda
Sifat resisten terhadap antibiotik tertentu yang dirniliki oleh jasad renik dapat
digunakan untuk menandai jasad renik yang akan dipakai, sehingga jasad renik
tersebut dapat dipantau dan dikenali setelah diinokulasikan ke dalarn ekosistem yang
kompleks. Metode ini sederhana, tetapi cukup efektif untuk mengarnati dinarnika
populasi jasad renik pada ekosistem yang dimaksud.
Sifat resisten terhadap antibiotik yang dimiliki oleh jasad renik tersandikan
pada kromosom dan atau plasmid, bergantung pada jenis jasad renik dan senyawa
antibiotik yang dipakai (Kucers dan Bennet, 1979). Telah diketahui bahwa sifat
tersandikan di kromosom lebih stabil daripada yang di plasrnid. Sifat tersebut dapat
,
'

dimiliki oleh jasad renik melalui proses mutasi spontan, sehingga rnenjadi resisten
pada tingkat dosis antibiotik yang tinggi.
Muncuinya resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat disebabkan oleh
beberapa ha1 (Moeharjo, 1986), antara lain adalah : (1) terdapatnya enzirn yang
menguraikan senyawa antibiotik, misalnya penisilinase, sefalosforinase, adenilase,
fosfor ilase, dan asetilase;
terhadap senyawa antibiotik;

(2) adanya perubahan permeabil itas sel jasad renik

(3) meningkatnya jurnlah senyawa endogen yang

29

bekerja sebagai antagonis terhadap antibiotik; dan (4) perubahan jumlah reseptor
antibiotik pada sel jasad renik, atau sifat komponen yang mengikat senyawa antibiotik
sehingga tidak mencapai targetnya.
Sifat resisten antibiotik, secara alami telah dimiliki oleh jasad renik, yang
melibatkan perubahan genetika yang bersifat stabil dan diturunkan dari satu generasi
ke generasi berikutnya.

Setiap proses yang menghasilkan perubahan komposis i

genetik bakteri, seperti mutasi, transduksi, transformasi, dan konyugasi dapat
menimbulkan sifat resistensi antibiotik. Terdapatnya bakteri yang resisten antibiotik
pada dosis tinggi merupakan multiplikasi yang selektif karena terpapar antibiotik terus
menerus.
Mutan jasad renik yang beradaptasi dengan antibiotik dosis tinggi acap kali
d igunakan untuk percobaan dinami ka populasi dan sifat kompetisinya dengan jasad
renik lain pada ekosistem tanah yang kompleks (Pankhrust, 1977;

El-Hassan,

Hernandez, dan Focht, 1986). Namun demikian, mutasi spontan jasad renik dapat
menyebabkan perubahan sifat utama yang dimilikinya. Beberapa Rhizobium sp yang
resisten terhadap streptomisin dosis tinggi, efektivitas penambatan nitrogennya
menjadi rendah (Turco, Moorman, dan Bezdicek, 1986), dan yang resisten terhadap
rifampin menjadi gaga1 membentuk bintil pada tanaman pepolongan (Lewis,
Broomfield, dan Barrand, 1987). Pada percobaan yang lain, Compeau dkk. (1988)
serta Glandorf dkk. (1992) berhasil menggunakan Pseudomonas fluorescens dan

Pseudonlonm putida yang masing-masing resisten terhadap rifampin dan rifampisin

30
dalam menggambarkan ketahanan hidup dalam tanah dan dinamika kolonisasi jasad
renik tersebut pada akar tanaman kentang.
Beberapa jenis antibiotik yang sering digunakan pada uji ekologi, diantaranya
adalah streptomisin, rifampin, rifampisin, khloramfenikol, penisilin, eritromisin, dan
teramisin (Somasegaran dan Hoben, 1985; Compeou dkk., 1988; Glandorf dkk.,
1992; El-Hassan dkk., 1986).
Bekerjanya antibiotik dalam menghambat pertumbuhan bakteri sangat
bermacam-macam, beberapa diantaranya menghambat proses sintesis protein dengan
mengikat subunit 30s ribosom bakteri, sehingga terjadi distorsi pengenalan kode pada
ribosom dan menyebabkan kesalahan baca pada mRNa (streptomisin), atau memblok
pengikatan tRNA ke subunit 30s ribosom (teramisin). Sedangkan kloramfenikol dan
eritromisin mengikat subunit 5 0 s ribosom yang menganggu pengikatan asam amino
pada rantai polipeptida. Penisilin bekerja dengan menghambat sintesis peptidoglikan
yang merupakan komponen dinding sel, yakni dengan menghambat enzim
transpeptidase yang menygsun ikatan silang peptida pada peptidoglikan.
Resistensi antibitotik pada bakteri ini disebabkan oleh adanya enzim asetilase,
fosforilase, dan adenilase yang merusak streptomisin, enzim P-laktamase yang
merusak penisilin, dan enzim kloramfenikol asetil transferase yang merusak
khloramfenikol. Enzim yang terakhir ini dikendalikan oleh gen ekstra kromosom

31
pada plasmid (Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 1977). Sedangkan bakteri yang
resisten terhadap teramisin disebabkan karena sel bakteri memiliki permeabilitas
yang selektif terhadap antibiotik tersebut.

BAHAN DAN METODE

Secara garis besar penelitian ini dapat digambarkan pada skema seperti tertera
pada Gambar 1.
PENGAMBILAN CONTOH TANAH
1 . Contoh Tanah
2. Contoh Aka.

ISOLASI DAN KOLEKSI
1 . Medium Ca,(PO,),
2. Medium AlPO,

SELEKSI JASAD RENIK
1 . Tahap 1
2. Tahap 2

1
JASAD RENIK TERPILIH

TELAAH JASAD RENIK
1 . Identifdcasi
2. Pembakuan populasi
3. Asam organik
4. Penumbuhan

I
UJI IN VITRO
1 . Perc. 1
2. Perc. 2

-

-

-

I

--

UJI RUMAH KACA
I . Perc. 3
2. Pen. 4

r

-

I

I
UJI LAPANG
Perc.5

Gambar 1 . Skema penelitian

,

-

UJI EKOLOGI
1. Perc. 6
2. Perc. 7

Kegiatan penelitian terdiri atas pengambilan contoh tanah dan akar, analisis
awal contoh tanah, persiapan contoh tanah, isolasi dan koleksi jasad re& pelarut
fosfat, seleksi jasad renik, identifikasi jasad renik dan analisis asam organik, serta
pengujian jasad renik terpilih pada percobaan in vitro, rumah kaca dan lapang, serta
telaah ekologi beberapa jasad renik unggul.

Tempat dan Waktu
Contoh tanah dan akar tebu diambil dari beberapa lokasi, diantaranya dari
Lampung dan Sumatera Selatan yang dikategorikan bertanah masam, Sragen (Jawa
Tengah) yang bersifat basa, dan Madura yang bersifat netral.
Analisis kimia contoh tanah dan tanaman, isolasi jasad renik, seleksi jasad
renik, uji in vitro, dan telaah ekologi dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah,
Faperta IPB. Percobaan Rumah Kaca (RK) dilakukan di dua tempat, yang pertarna
di RK Jurusan Tanah, Faperta IPB dan RK Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR)
BATAN Pasar Jumat Jakarta. Percobaan Lapang dilakukan di areal Perkebunan
Pabrik Gula Bungamaywg, Lampung Utara.

Penetapan asam organik serta

identifikasi jasad renik dilakukan di Laboratorium Ekofisiologi Pusat Penelitian
Tanaman Pangan, Bogor, dan Laboratorium Bakteriologi & Mikologi FMIPA IPB,
serta Laboratorium Diagnostik dan Bakteriologi FKH,IPB.
Percobaan berlangsung selama 26 bulan, yang dimulai pada akhir Oktober
1991 dan berakhir pada Desember 1993.

Pengambilan Contoh Tanah dan Akar
Contoh tanah diambil secara komposit dari kedalaman 0-20 cm, selanjutnya
dibebaskan dari sisa-sisa tanaman, batu, kerikil, dan diaduk sampai rata. Contoh
tanah dikering-udarakan di atas hamparan plastik di bawah naungan untuk
menghindari sinar matahari langsung.

Untuk memperoleh ukuran butir yang

seragam, tanah diayak dengan saringan 2 mrn, selanjutnya dianalisis beberapa sifat
kimianya.
Contoh akar tebu diambil dari tanaman yang berumur antara 4-6 bulan, dari
akar-akar muda yang aktif melakukan penyerapan hara dan air. Akar diambil dengan
membongkar rumpun tebu, dan contoh akar dikumpulkan bersama batang tebu bagian
bawah yang masih utuh terbungkus tanah.

Isolasi Jasad Renik Pelarut Fosfat

Metode Cawan Tuang

,

Contoh tanah. Sepuluh gram tanah yang akan diisolasi jasad reniknya
dilarutkan dalam 90 ml larutan fisiologis (larutan NaCl 0.85 persen), selanjutnya
diencerkan secara serial sampai tingkat pengenceran 1@ kali. Satu ml suspensi ini
dibiakkan pada agar cawan yang mengandung medium Pikovskaya (komposisinya
disajikan pada Tabel Lampiran 20) dan diinkubasikan pada suhu kamar selama 2 hari.
Medium ini berwarna putih keruh karena Ca,(PO,),.

Koloni yang dikelilingi zona

berwarna terang jernih menunjukkan adanya pelarutan Ca,(PO,)?. Koloni-koloni yang
diinginkan selanjutnya dimurnikan.

Contoh akar. Sejumlah akar tanaman tebu segar dibersihkan dari sisa-sisa
tanah yang menempel dan dicuci. Sepuluh gram akar yang sudah bersih direndam
dalam 90 ml larutan fisiologis steril, dikocok dengan kecepatan 100-150 rpm selama
20 menit, selanjutnya diencerkan secara serial sampai 104 kali. Satu mililiter suspensi

tersebut dibiakkan pada agar cawan yang mengandung medium Pikovskaya d m
diinkubasikan pada suhu kamar selama 2 hari.

Metode Penyuburan
Isolasi dengan metode penyuburan dimaksudkan untuk memperoleh jasad renik
yang mampu melarutkan AIPO, sebagai satu-satunya sumber fosfat dalam medium

Pikovskaya yang dimodifikasi dengan penggantian Ca,(PO,),

oleh AlPO, dan

(NH,),SO, oleh urea (komposisinya disajikan pada Tabel Lampiran 20). Medium
tersebut tidak berwarna dan mempunyai pH 4.1 sehingga agar dalam medium tersebut
tidak dapat memadat. Oleh karena itu medium tersebut tidak dibubuhi agar dan
metode pencawanan tidak dapat dilakukan.
Metode ini memerlukan kontrol, yaitu sederetan medium AIP04 dengan
tingkat pengenceran lo-' sampai 10' yang tidak mengandung suspensi tanah atau
akar. Deretan yang lain adalah medium AIPO, dengan tingkat pengenceran yang

36
sarna, yakni lo-' sampai lo4 yang dibubuhi dengan satu mililiter suspensi akar
(tingkat pengenceran lo-') atau tanah (tingkat pengencerean lo4) dan disiapkan lebi
dari satu deret. Selanjutnya kultur diinkubasi pada suhu kamar selama 5 sampai 6
hari.
Pada akhir inkubasi, deretan kontrol diuji dengan warna biru molibdat.
Caranya sebagai berikut : dua mililiter kultur yang akan diuji dipipet ke dalam
tabung reaksi, lalu dibubuhi dua mililiter larutan PB dan satu tetes larutan PC
(komposisi larutan PB dan PC disajikan pada Tabel Lampiran 21). Jika larutan
berwarna biru, berarti mengandung P larut yang telah membentuk senyawa
fosfomolibdat tereduksi. Intensitas warna biru terlemah pada kontrol mempakan
tingkat pengenceran yang dipilih untuk menguji kultur sampel.
Jika pada tingkat pengenceran yang sama intensitas warm biru pada h l t u r
sampel lebih tinggi dibanding kontrol, maka ha1 tersebut menunjukkan bahwa pada
kultur sampel telah terjadi pelarutan AlPO,

oleh jasad renik pelarut fosfat.

Selanjutnya kultur sampJ dibiakkan ke dalam cawan bermedium Pikovskaya padat,
dan koloni yang muncul dimurnikan untuk dikoleksi.

Koleksi Jasad Renik
Isolat-isolat yang diperoleh dikoleksi dalam agar miring pada dua macam
medium (Pikovskaya dan agar nutrien), disimpan pada suhu 4"C, serta diremajakan
setiap dua bulan.

37
Isolat yang dikoleksi diberi nama yang terdiri dari 4 digit. Digit pertama
menunjukkan jenis jasad renik (1 = bakteri, 2 = cendawan).

Digit kedua

menunjukkan asal contoh (M = Madura; S = Sragen; L = Lampung; P = Sumatera
Selatan). Digit ketiga menunjukkan keterangan sampel (T = tanah; A = akar).
Digit keempat menunjukkan keterangan medium untuk isolasi (Ca = Pikovskaya
Ca,(PO,),; A1 = Pikovskaya AlPO,).
Sebagai contoh, isolat lMITICa adalah bakteri pertama yang diperoleh dari
contoh tanah pertama, asal Madura, medium Pikovskaya Ca,(PO,),.

Sedangkan

2L,A2Al adalah cendawan ketiga yang diperoleh dari contoh akar tebu kedua, asal
Lampung , medium Pikovskaya AlP04.

Seleksi Jasad Renik
Jasad renik yang berhasil dikoleksi selanjutnya diseleksi dalam dua tahap.
Pada tahap pertama, jasad renik diuji untuk melarutkan senyawa P sukar larut (batuan
/

fosfat dan AlPO,).

Pada seleksi tahap kedua, jasad renik yang 1010s seleksi tahap

pertama diuji untuk meningkatkan P terekstrak dari tanah masam dan basa.

Seleksi Tahap 1 : Seleksi kemampuan pelarutan batuan fosfat dan AlPO,
Tahap ini bertujuan menyeleksi kemampuan jasad renik untuk melarutkan
batuan fosfat dan AlPO, dalam medium buatan.

38
Sebanyak 50 ml medium Pikovskaya cair ditempatkan dalam labu erlenmeyer

200 ml, disterilkan pada suhu 120°C selama 20 menit, menggunakan autoklaf. Satu
miliiiter suspensi jasad renik diinokulasikan pada medium tersebut dan diinkubasikan
pada suhu kamar selama 14 hari.

Untuk bakteri, inkubasi dilakukan dengan

pengocokan berkecepatan 100 rpm secara periodik dan cendawan diinkubasikan dalam
keadaan diam.
Pada akhir inkubasi, kultur disentrifugasi dengan kecepatan 7500 rpm pada
suhu 25 "C selama 20 menit. Filtrat jernih yang diperoleh ditentukan pH dan Plarutnya dengan metode kolorimetri. Jika belum diperoleh filtrat jernih, mak

Dokumen yang terkait

Pengaruh Residu Fosfat Terhadap Efisiensi Pemupukan Fosfat Pada Tanah Sawah

0 23 47

Efisiensi dan Perubahan P Total Pemupukan Batuan Fosfat Alam pada tanah Masam yang Diperlakukan Dengan Kombinasi Asam Humik, Zeolit dan Mikroba Pelarut Fosfat.

0 2 3

Pengaruh kalsium karbonat, fosfat alam dan SP36 terhadap erapan P, ciri kimia andisol dan efisiensi pemupukan P pada tanaman jagung

0 8 151

Jasad Renik Pelarut Fosfat Pengaruhnya terhadap P Tanah dan Efisiensi Pemupukan P Tanaman Tebu

0 2 223

Pengaruh kalsium karbonat, fosfat alam dan SP36 terhadap erapan P, ciri kimia andisol dan efisiensi pemupukan P pada tanaman jagung

0 11 141

Efisiensi Pemupukan Fosfat Melalui Pemanfaatan Mikroba Pelarut Fosfat Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Sawi Pada Tanah Andisol Terdampak Erupsi Gunung Sinabung

1 6 63

Efisiensi Pemupukan Fosfat Melalui Pemanfaatan Mikroba Pelarut Fosfat Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Sawi Pada Tanah Andisol Terdampak Erupsi Gunung Sinabung

0 0 12

Efisiensi Pemupukan Fosfat Melalui Pemanfaatan Mikroba Pelarut Fosfat Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Sawi Pada Tanah Andisol Terdampak Erupsi Gunung Sinabung

0 0 2

Efisiensi Pemupukan Fosfat Melalui Pemanfaatan Mikroba Pelarut Fosfat Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Sawi Pada Tanah Andisol Terdampak Erupsi Gunung Sinabung

0 1 3

Efisiensi Pemupukan Fosfat Melalui Pemanfaatan Mikroba Pelarut Fosfat Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Sawi Pada Tanah Andisol Terdampak Erupsi Gunung Sinabung

0 0 9