Development of irradiated brucella abortus vaccine candidate from field strain

PENGEMBANGAN KANDIDAT VAKSIN IRADIASI
Brucella abortus ISOLAT LAPANG

TRI HANDAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA
PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan
Kandidat Vaksin Iradiasi Brucella abortus Isolat Lapang adalah benar karya

saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber inforrnasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir disertasi ini.


Bogor, Maret 2013

Tn Handayani
NRP. B253100011

ABSTRACT

TRI HANDAYANI. Development of Irradiated Brucella abortus Vaccine
Candidate from Field Strain. Supervised by FACHRIYAN H. PASARIBU and
SUSAN MAPHILINDAWATI NOOR
Brucellosis is a strategic contagious animal disease in Indonesia, which is
caused by Bru/:ella abortus (B. abortus). Brucellosis causes abortion, still birth,
orchitis; arthritis, infertility and sterility lowering milk production. Eradication of
cattle in many countries have been conducted by test and slaughter and
vaccination programme. At the moment there are two vaccinations available to
control bovine brucellosis; those are B. abortus S 19 and B. abortus RB51. One of
the problems in the eradication is not enough a vaccine. The objective of this
research was to develop irradiated brucellosis vaccine from B. abortlls local
isolate through isolation, identification and biotyping B. abortus from field cases.

Determination of B. abortus radiation dose and in vivo study was done in guinea
pigs. The samples were collected from milk (Bandung, west Jawa), amnion fluids
(diagnostic sample) and higroma fluids (Be1u, NIT). In this study we use three
isolates that were SBDG-13C (milk), CAM-08/306 (amnion fluids), and CH09BL (higroma fluids). Biotyping of the three isolates categorized as B. abortus
biotype I. Standard curves of B. abortus was made by calculating bacteria cells
number indirectly. Linear equation of the standard curve of SBDG- J3C; CAM08/306 and CH09-BL isolates were y = 7.2119x + 6.7723; y = 3.889lx + 7.5278
and y = 2.9829x + 7.9612 respectively (x is absorbance value and y is log number
of cells/ml). Observation on the growth of the isolates after Gamma irradiation
showed variation responses to the value LDso of isolate CAM-08/306, CH09-BL
and SBDG-I3C were 13.5; 11.9, and 17.9 Gy, respectively. The in vivo study
showed that the spleen of irradiation vaccinated guinea pigs was a swelling
(splenomegaly) and contained 102 to 106 CFU bacteria. Based on the results, It
seems likely that those three isolates have not been defined as candidate isolate
for brucellosis vaccine.
Key words: Bnlcella abortus, Brucellosis, Irradiated vaccine, Field strain,

RINGKASAN

TRI HANDAYANI. Pengembangan Kandidat Vaksin Iradiasi Brucella abortus
Isolat Lapang. Dibimbing oleh FACHRIYAN H. PASARIBU dan SUSAN

MAPHILINDAWATI NOOR .
. Bruceltosis adalah penyakit hewan menular strategis di Indonesia, yang
disebabkan oleh Brucella abortus (B. abortus). Brucellosis pada sapi
menyebabkan aborsi, still birth, orchitis, arthritis, infertilitas dan strerilitas serta
menurunkan produksi susu. Upaya pemberantasan brucellosis pada sapi di
Indonesia dilakukan dengan test and slaughter (potong bersyarat) dan program
vaksinasi dengan vaksin B. abortus strain S 19 dan strain RB51. Salah satu
permasalahan dalam upaya pengendalian dan pemberantasan adalah kebutuhan
vaksin yang tersedia tidak mencukupi. Oleh karena itu penelitian ini ditujukan
untuk pengembangan bibit vaksin iradiasi brucellosis dari isolat lokal. Brucella
abortus diisolasi dan diidentifikasi dari sampel lapang, dan kemudian dilakukan
biotyping sebelum diradiasi dengan sinar Gamma dan diuji secara in vivo pada
marmot (Cavia cobaya).
Sampel lapang yang digunakan pada penelitian ini adalah susu dari
Bandung, cairan amnion dari sampel diagnostik dan cairan higroma dari Belu
(NTT). Isolat B. abortUs yang diperoleh kemudian dibuat kurva standar untuk
menghitung jumlah bakteri secara tidak Iangsung. Penghitungan jumlah bakteri
yang diradiasi .ditentukan berdasarkan persamaan kurva standar tersebut. Tahap
selanjutnya bakteri diradiasi pada dosis 0, 50, 10, 150 dan 200 Gy untuk
menentukan Lethal Dose 50 (LD50) sebelum dilakukan uji in vivo ke hewan coba.

Hasil isolasi, identifikasi, dan biotyping B. abortus sampel SBDG-13C
(susu), CAM-08/306 (cairan amnion) dan CH09-BL (cairan higroma),
menunjukkan bahwa ketiga isolat dikategorikan sebagai B. abortus biotipe I.
Persamaan kurva standar isolat SBDG-13C, CAM-08/306 dan CH09-BL masingmasing diperoleh y = 7.2I19x 6,7723, y = 3.8891 x 7,5278 dan y = 2.9829x 7,9612
(x adalah nilai absorbansi dan y adalah log jurnlah sel/ml). Pengamatan terhadap
pertumbuhan bakteri setelah iradiasi Gamma menunjukkan respon yang
bervariasi. Nilai LD50 yang digunakan sebagai dosis radiasi pada isolat CAM08/306, CH09-BL dan SBDG-13C masing-masing yaitu 13,5, 11,9, dan 17,9 Gy.
Uji in vivo kandidat vaksin iradiasi brucellosis pada marmot percobaan
menunjukkan adanya pembengkakan (splenomegali) dan ditemukan kuman 102 106 CFU di limpa. Sehingga dari hasil penelitian ini belum dapat ditentukan
kandidat isolat yang akan dijadikan kandidat vaksin. Perlu dilakukan tahapan
penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan kandidat vaksin brucellosis.

Kata kunci : Brucella abortlls, Brucellosis, vaksin iradiasi, isolat lapang

© Hak Cipta Milik IPB, TahWl2013
Hak Cipta DilindWlgi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis in; tanpa mencantumkan alau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya lin/uk kepentingan pendidikan. penelitian
penulisan karya iImiah. penyusunan laporan. penlilisan kritik, atall tinjallan suatu

masalah; dan penglltipan tersebuttidak merugikan kepentingan IPB.
DiIarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau selllruh karya tulis ini da/am
bentllk apa plln tanpa izin IPB

PENGEMBANGAN KANDIDAT VAKSIN IRADIASI
Brucella abortus ISOLAT LAPANG

TRI HANDAYANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Mikrobiologi Medik
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERT ANIAN BOGOR
BOGOR
2013


Pengembangan Kandidat Vaksin Iradiasi Brucella abortus

Judul Tesis

Isolat Lapang.
Nama

: Tri Handayani

NRP

: 8253100011
"

'. '

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr.drh.Fachriyan H.Pasaribu


Drh. Susan Maphilindawati Noor, MV.Sc

Ketua

Anggota

Diketahui
Pascasatjana

Ketua Program Studi
Mikrobiologi Medik

Prof. Dr.drh.Fachriyan H.Pasaribu

Tanggal Ujian:

セ[IZイQ「ャヲエゥ@

Syah, MSc.Agr


Tanggal Lulus:

2 5 MAR 2013

PRAKATA

Puji dan syukur hanyalah milik Allah subhanahu wa ta'ala yang telah
memberikan segala karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat
diselesaikan dengan baik. Tesis ini berjudul Pengembangan Kandidat Vaksin
Iradiasi fJ'rucella abortus Isolat Lapang.
Penulis

mengucapkan

terima

kasih

yang


setinggi-tingginya

yang

disampaikan kepada:
I. Prof Dr.drh.Fachriyan H.Pasaribu dari Program Studi Mikrobiologi Medik

dan Drh. Susan Maphilindawati Noor, MV.Sc dari institusi BBALITVET
selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan,
dukungan dan perhatian.
2. Drh. Usamah Afiff, M.Sc selaku dosen penguji luar komisi padaujian akhir
tesis, serta dosen-dosen di Departemen !lmu Penyakit Hewan dan
Kesehatan Masyarakat Veteriner atas ilmu dan pengetahuan yang diberikan
selama menempuh pendidikan di IPS.
3. Kementerian Riset dan Teknologi sebagai sponsor biaya pendidikan dalam
Program Beasiswa Pascasarjana 2010
4. Bpk Suhono, !bu Sri Waheni, kakak dan adik tercinta serta keluarga besar,
atas dukungan, semangat dan Iimpahan doa sehingga pendidikan ini dapat
diselesaikan dengan baik.

5. Suami tercinta, Gunawan Zakki dan anak -anak yang paling dicintai dan
disayangi Rifdah Hafshah Zakki dan Ghozy Muhammad ,Zakki atas doa,
semangat, kerjasama dan perhatian yang besar dan tulus yang telah
diberikan selama penulis menempuh pendidikan di IPS.
6. Mbak Sumirah, A.Md. dan Bpk Supartono atas keIjasama dan perhatian
yang telah diberikan serta semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian pendidikan, penelitian dan penyusunan tesis ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat memberikan kontribusi
bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia.
Bogor, Maret 2013
Tri Handayani

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sleman pada tanggal 19 Maret 1980. Penulis
merupakan putri ketiga dari empat bersaudara dari ayah Suhono dan Ibu Sri
'.

Waheni . .Penulis menikah dengan Gunawan Zakki, pada tahun 2008 dan telah

dikaruriia 2 (dua) orang anak, yaitu Rifdah Hafshah Zakki (2009) dan Ghozy
Muhammad Zakki (2011).
Tahun 1998 penulis masuk Fakultas kedokteran Hewan UGM. Tahun
2002 Penulis lulus dari Fakultas Kedokteran Hewan sebagai Sarjana Kedokteran
Hewan dan pada tahun yang sarna melanjutkan Program Pendidikan Dokter
Hewan. Tahun 2003 penulis lulus sebagai Dokter Hewan di Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Gadjah Mada dan melanjutkan studi S2 pada tahun 2010 di
IPB atas beasiswa dari Kementerian Risel dan Teknologi (KRT).
Tahun 2005 hingga sekarang penulis beketja sebagai staf peneliti di
Kelompok Kesehatan dan Reproduksi Ternak, Bidang Pertanian, Pusat Aplikasi
Teknologi !sotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Jakarta.

69

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL……………………………………………………………..…xii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………...xiii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………….……...xiv
PENDAHULUAN....................................................................................................1
Latar Belakang ......................................................................................................1
Perumusan Masalah ..............................................................................................3
Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................................4
Tujuan Penelitian ..............................................................................................4
Manfaat Penelitian ............................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................5
Etiologi Brucellosis ..............................................................................................5
Penularan ..............................................................................................................6
Gejala klinis ..........................................................................................................8
Patogenesis ...........................................................................................................9
Koleksi material ..................................................................................................10
Diagnosis Brucellosis .........................................................................................11
Epidemiologi ......................................................................................................12
Kontrol Brucellosis .............................................................................................14
Radiasi ................................................................................................................16
Sinar gamma .......................................................................................................16
BAHAN DAN METODE ......................................................................................19
Waktu dan Tempat Penelitian.............................................................................19
Bahan dan Alat ...................................................................................................19
Metode Penelitian ...............................................................................................20
Koleksi sampel ................................................................................................20
Isolasi B. abortus ............................................................................................22
Identifikasi dan biotyping B. abortus ..............................................................23
Iradiasi sinar Gamma B. abortus ....................................................................25
Uji in vivo B. abortus iradiasi ke marmot (Cavia cobaya) ............................26
Analisis data ....................................................................................................27
HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................................29
Hasil ....................................................................................................................29
Koleksi sampel ................................................................................................29
Isolasi B. abortus ............................................................................................31
Identifikasi dan biotyping B. abortus ..............................................................31
Iradiasi B. abortus ...........................................................................................34
Uji in vivo B. abortus iradiasi ke marmot (Cavia cobaya) .............................35
Pembahasan ........................................................................................................38
KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................................49
Kesimpulan .........................................................................................................49
Saran ...................................................................................................................49
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................51
LAMPIRAN ……………………………………………………………….........59

DAFTAR TABEL

Halaman
1 Karakteristik biovar spesies dari genus Brucella.. ....... ...... ......... ............. ...
2 Kelompok; volume dan dosis kuman perlakuan pada uji in vivo...............
3 Sampel, hewan, lokasi pengambilan dan jumlah sampellapang pada
penyaringan brucellosis...............................................................................
4 Hasil pemeriksaan MRT, RBT dan CFT sampel air susu, cairan amnion
dan cairan higroma .....................................................................................
5 Sampellapang yang digunakan pada penelitian.........................................
6 Identifikasi B. abortus isolat lapang...........................................................
7 Hasil Biotyping tiga isolat lapang B. abortus.............. ..........................
8 Pengaruh infeksi B. abortus terhadap hasil pemeriksaan serologi RBT
dan CFT pada uji in vivo... ..... ....... ............ ..... .... ........... .... ......
9 Pengaruh infeksi bakteri Brucella terhadap rasio berat limpalbobot badan
mannot (Cavia cobaya)...............................................................................

5
26
29
31
31
32
33
36
36

DAFfAR GAMBAR
Halaman
13
I Peta situasi brucellosis di Indonesia sampai tahun 20 II ...... .............
2 Milk Ring Test (MRT) positifyang ditandai dengan wama biru (cincin biru)
30
pada lapisan krim .................................... .. ...........................
Test (RBT) positifyang ditandai dengan aglutinasi dan
3 Rose bセョァ。ャ@
30
negatif ditandai dengan tidak teIjadi aglutinasi.........................................
4 Complement Fixation Test (CFT) positifyang ditandai dengan tidak teIjadi
hemolisis, dan negatif ditandai dengan hemolisis. . . .. .......... ... .... . . .....
30
5 Kultur B. abortus isolat lapang pada media TSA ............................
32
6 Bakteri Brucella hasil pewamaan Gram dilihat pada mikroskop perbesaran
10xI00.................................... .... ................ . ......................
32
7 Pengujian kuman yang diisolasi dari air susu, cairan amnion dan cairan
higroma................................................................................................. ....
33
34
8 Pertumbuhan B. abortus pada beberapa media pengujian ................
9 KUlva standar B. abortlls .......................................................
35
10 Efek radiasi sinar Gamma pada isolat B. abortllS SBDG-13C,
35
CAM-08/306 dan CH09-BL. ......................................................................
II Jmnlah koloni per gram limpa masing-masing kelompok pada
37
media TSA .................................................................... ............ ................
12 Limpa mannot yang membengkak pada KIV, KV dan KVI.................
37

DAFfAR LAMPIRAN

Halaman
..

1
2
3
4
5
6
7
8
9

..

Media tdptl;me soya agar (TSA).................................................................
Media triptone soya broth (TS8).......................................................
Pembuatan Media Cimon's Citrate agar....................................................
Media Urea agar base ...............................................................................
Media TIrionin (Acetate) CI.JiI3N3ChS......................................................
Media Fuchin C2oH20CIN3..........................................................................
Pembuatan antigen Milk Ring Test (MRT)..................................................
Pembuatan antigen Rose Bengal Test (RBT) ..............................................
Pembuatan antigen Complement Fixation Test (CFT) ...............................

59
60
61
62
63
64
65
67
68

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Brucellosis merupakan salah satu penyakit hewan menular strategis yang
disebabkan oleh Brucella sp. (Permentan 2010). Brucellosis menyerang berbagai
hewan yaitu sapi (Brucella abortus, B. abortus), kambing (B. melitensis), domba
(B. ovis), babi (B. suis), anjing (B. canis) dan rodensia (B. neotomae). Penyakit ini
pada sapi menyebabkan abortus (keguguran) temporer maupun permanen,
kematian dini pedet baru lahir (stillbirth), gangguan reproduksi (infertilitas dan
sterilitas), dan penurunan produksi susu. Abortus yang disebabkan penyakit ini
terjadi pada umur kebuntingan 6 - 9 bulan. Brucellosis bersifat zoonosis pada
manusia menyebabkan "demam undulant", "demam Mediterania" atau "demam
Malta" (Corbel 2006). Penyakit ini menyebar diseluruh dunia, dengan daerah
endemik Mediterania, Timur Tengah, Afrika utara dan timur, Amerika Latin dan
Asia tengah dan selatan (Corbel 1997; Corbel 2006). Brucellosis menyebabkan
lebih dari 500.000 manusia terinfeksi baru setiap tahun (Pappas et al. 2006).
Brucellosis pada manusia di Indonesia belum pernah dipublikasikan, namun hasil
uji serologi terhadap pekerja kandang sapi perah, kandang babi dan rumah potong
hewan (RPH) di DKI Jakarta terdeteksi adanya titer antibodi terhadap Brucella
(Sudibyo 1995).
Spesies Brucella yang menginfeksi sapi di Indonesia adalah strain B.
abortus biotipe 1. Hasil penelitian oleh Sudibyo (1995) menyatakan di DKI
Jakarta diperoleh B. abortus biotipe 1 (76,3,%), biotipe 2 (13,2%) dan biotipe 3
(9,2%). Beberapa propinsi di Indonesia masih banyak yang belum bebas penyakit
brucellosis. Pulau Jawa merupakan daerah populasi sapi perah tertinggi, dan
prevalensi kasus brucellosis rata-rata 2 – 3 %.
Brucellosis pada sapi di Indonesia ditetapkan sebagai penyakit hewan
menular strategis berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor. 16/
Permentan/OT.140/1/2010 dan program pengendalian penyakit dalam mendukung
Program Swasembada Daging sapi (PSDS) tahun 2014. Kerugian ekonomi akibat
brucellosis pada industri peternakan mencapai 138,5 milyar rupiah setiap tahun
meskipun mortalitas akibat penyakit brucellosis relatif kecil (Ditjennak 2000).

2

Pemberantasan brucellosis pada ternak dapat dilakukan dengan cara
vaksinasi dan potong bersyarat (test and slaughter). Vaksinasi dilakukan pada
daerah dengan prevalensi > 2 %, sedangkan test and slaughter di daerah dengan
prevalensi < 2 % (Ditkeswan 2001).
Ada beberapa permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengendalian dan
pemberantasan brucellosis adalah kebutuhan vaksin yang tersedia tidak
mencukupi, kontrol lalu lintas sapi yang tidak maksimal, sehingga memungkinkan
terjadinya penyebaran penyakit brucellosis, metode test dan slaughter belum
dilakukan secara optimal karena tingginya jumlah yang harus dipotong dan
berkaitan dengan kompensasi dari pemerintah ke peternak yang terbatas, peternak
belum siap melakukan slaughter sapi perah produksi, identifikasi dan sertifikasi
pasca vaksinasi brucellosis belum serempak dilaksanakan di Pulau Jawa (Noor
2006).
Vaksin yang digunakan dalam program pengendalian brucellosis pada sapi
di Indonesia saat ini adalah vaksin B. abortus strain 19 (S19) dan vaksin B.
abortus RB51. Vaksin B. abortus S19 merupakan strain (galur) hidup yang sudah
dilemahkan dan memiliki sifat stabil, dan memberikan proteksi terhadap infeksi
70 - 80%. Namun vaksin B. abortus S19 menyebabkan masalah karena antibodi
yang diproduksi dapat menyebabkan reaksi positif palsu pada tes serologi
terhadap infeksi Brucella, aborsi pada sapi bunting dan virulen pada manusia.
Sedangkan vaksin B. abortus RB51 merupakan mutan kasar (rough colony) dari
B. abortus virulen strain 2308 (S2308). Ternak yang divaksin dengan strain RB51
tidak terdeteksi dengan uji serologi standar pada diagnosa brucellosis dan aman
apabila diberikan pada sapi betina bunting. Sampai saat ini vaksin RB51 yang
dipakai untuk program vaksinasi masih harus impor dan harganya relatif mahal
dibandingkan dengan vaksin S19 yang sudah dapat diproduksi oleh Pusat
Veterinaria Farma (PUSVETMA).
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas maka pada penelitian ini
akan dikembangkan vaksin brucellosis dengan menggunakan teknik iradiasi.
Teknik iradiasi telah digunakan untuk diagnosa penyakit, industri pangan, serta
inaktivasi mikroorganisme patogen. Sumber-sumber sinar gamma yang digunakan
dalam iradiasi dihasilkan dari radioisotop

6o

Co (1,17 dan 1,33 MeV) dan

137

Cs

3

(0,662 MeV) sedangkan untuk pengobatan digunakan sinar X. Penggunaan sinar
gamma memiliki keunggulan dibandingkan dengan teknik konvensional seperti
pemanasan

atau

kimia

karena

kemampuan

mempertahankan

sifat

imunogenisitasnya (Kochman 2006). Sel yang terpapar radiasi gamma akan
kehilangan kemampuan replikasinya di dalam tubuh inang, namun tidak
menghentikan aktivitas metaboliknya. Sel tetap mempunyai metabolik aktif,
sehingga mampu menghasilkan senyawa imunogenik untuk menstimulus respon
imun protektif pada inang (Sanakkayala et al. 2005).

Perumusan Masalah
Salah satu kegiatan untuk pemantapan ketahanan pangan adalah
peningkatan kualitas subsektor peternakan. Penyakit merupakan salah satu
kendala yang menghambat keberhasilan dalam usaha peternakan. Brucellosis pada
sapi merupakan penyakit bakterial dan bersifat zoonosis, disebabkan oleh B.
abortus yang memiliki dampak sosial ekonomi luas. Prevalensi brucellosis di
Indonesia pada sapi perah masih tinggi sekitar 1 – 40 % sehingga banyak
menimbulkan kerugian ekonomi. Selain itu adanya program pemerintah dalam
mendukung Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) adalah pembebasan
beberapa daerah dari penyakit brucellosis. Sampai saat ini dari 21 provinsi target
penanggulangan gangguan reproduksi, sebanyak 7 provinsi telah bebas, 11
provinsi lainnya memiliki prevalensi Brucellosis pada sapi potong 0 – 2 % dan 4
provinsi memiliki kasus tinggi pada sapi potong. Prevalensi brucellosis sapi perah
di Jawa sekitar 2 – 3 % dan vaksin yang digunakan yaitu vaksin RB51 harus
impor dan harga relatif mahal. Kasus brucellosis di lapang yang hanya sebagian
dilaporkan dan didiagnosa serologi, akan mengakibatkan kasus seperti fenomena
gunung es (iceberg phenomena).
Maka, salah satu upaya dalam menunjang PSDS tahun 2014 tersebut
adalah penelitian untuk menghasilkan vaksin brucellosis yang protektif sehingga
dapat membantu pemenuhan kebutuhan vaksin untuk mengurangi kasus
brucellosis dan mengurangi ketergantungan impor vaksin brucellosis. Pada
penelitian ini dilakukan pendekatan untuk mengembangkan vaksin iradiasi
brucellosis dari B. abortus isolat lapang.

4

Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan kandidat vaksin iradiasi B.
abortus isolat lapang melalui beberapa tahapan penelitian yaitu :
1. Memperoleh B. abortus strain lapang.
2. Mengetahui biotyping B. abortus strain lapang yang diperoleh.
3. Menentukan dosis radiasi B. abortus untuk pengembangan bibit vaksin
iradiasi brucellosis pada sapi.
4. Melakukan uji in vivo kandidat isolat B. abortus pada hewan coba
marmot (Cavia cobaya).

Manfaat Penelitian
Hasil

penelitian

ini

diharapkan

dapat

memberikan

informasi

pengembangan kandidat vaksin iradiasi B. abortus isolat lapang yang dapat
digunakan sebagai bibit vaksin untuk pencegahan brucellosis pada sapi.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Etiologi Brucellosis
Brucellosis atau penyakit abortus atau keluron menular merupakan
penyakit bakterial bersifat zoonosis, yang disebabkan oleh berbagai spesies
Brucella. Brucella ditemukan oleh Sir David Bruce pada tahun 1886, bakteri
diisolasi dari limpa seorang prajurit yang sakit kemudian disebut Demam Malta.
Terdapat 6 spesies Brucella pada hewan yaitu B. abortus, B. melitensis, B. ovis, B.
suis, B. canis dan B. neotomae. Klasifikasi terutama berdasarkan pada perbedaan
patogenitas dan inangnya. B. melitensis merupakan spesies Brucella yang paling
patogen dan invasif pada kesehatan manusia, diikuti oleh B. suis, dan B. abortus
(Young 1995, Dokuzoguz et al. 2005; Rajashekara et al. 2006; Franco et al. 2007;
Lee & Stanek 2010).
Tabel 1 Karakteristik biovar spesies dari genus Brucella
Spesies

Morfologi
koloni

B. abortus

smooth

B. melitensis

smooth

B. suis

smooth

B. neotomae
B. ovis
B. canis

smooth
rough
rough

Biovar

Oxidase

Katalase

Urease

CO2

Produksi
H2S

1
2
3
4
5
6
9
1
2
3
1
2
3
4
5

+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+

+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+

+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+

+
+
+
+
+/ +
-

+
+
+
+
+
+
+
-

Pertumbuhan
Thionin Basic
Fuchin
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-

Aglutinasi
A M R
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-

Sumber: Alton et al. (1988); Barrow & Feltham (1993)
Keterangan : + : positif, - : negatif.

Bakteri Brucella merupakan bakteri gram negatif, tidak berspora, tidak
motil, berbentuk kokobasilus dengan panjang 0,6 – 1,5 µm dan lebar 0.5 – 0,7 µm,
bersifat fakultatif intraseluler yaitu bakteri mampu hidup dan berkembang biak

+
+
+
+
+
+
-

+
+

6

dalam set fagosit. Koloni Brucella di media padat terlihat setelah inkubasi selama
2 - 3 hari. Setelah inkubasi 4 hari, koloni berbentuk bulat, berdiameter 1-2 mm,
dengan tepi halus, seperti madu pucat pada media transparan dan koloni convex.
Karakteristik

spesies

Brucella

berdasarkan

kebutuhan

CO2

dalam

pertumbuhannya, produksi H2S, aktivitas urease dan pertumbuhan pada thionin
serta basic fuchsin (Alton et al. 1988; Quinn et al. 2002).
Bovine Brucellosis disebabkan B. abortus. Brucella abortus terdapat 7
biotipe, B. melitensis 3 biotipe, B. canis 4 biotipe, dan B. ovis, B. suis, B.
neotomae masing-masing 1 biotipe (Corbel 2006; OIE 2009; CFSPH 2009).
Karakter biovar spesies Brucella dapat dilihat pada Tabel 1.

Penularan
Brucellosis dapat ditularkan antar hewan melalui rute oral karena ternak
menjilati produk abortus (plasenta, janin) dan cairan vagina dari hewan yang
terinfeksi.

Hewan yang terkontaminasi oleh bakteri Brucella juga diperoleh

melalui inhalasi, inokulasi konjungtiva, kontaminasi kulit dan inokulasi ambing
(Plommet & Fensterbank 1976). Infeksi bakteri Brucella dapat terjadi pada anak
sapi yang diberi kolostrum atau susu dari induk yang terinfeksi. Pada sapi jantan,
brucellosis tidak selalu mengakibatkan infertilitas, meskipun akan mempengaruhi
kualitas semen. Selain itu penularan juga terjadi melalui perkawinan alam sapi
jantan penderita sewaktu mengawini sapi betina dan inseminasi buatan. Sapi
tersebut menularkan Brucella selama fase akut dari penyakit, dan shedding
Brucella dapat berhenti maupun bersifat intermitent. Penularan langsung bakteri
Brucella dapat dibantu oleh satwa liar, burung dan saluran air yang terkontaminasi
urin dan kotoran uterus sapi yang abortus. Anjing membawa potongan plasenta
atau janin abortus dari satu tempat ke tempat lain. Penyebaran bakteri Brucella
juga dapat melalui kandang, pakan, padang rumput dan air yang tercemar oleh
produk abortus. Ekskresi bakteri Brucella terjadi setelah keguguran sampai sekitar
15 hari. Jumlah bakteri Brucella yang diekskresikan dari uterus akan berkurang,
namun ternak terinfeksi dapat menjadi pembawa Brucella yang mengeluarkan
bakteri secara persisten selama bertahun-tahun (Quinn et al. 2002; CFSPH 2009).
Pada sapi, domba, kambing dan babi, kerentanan terhadap brucellosis terbesar

7

pada hewan yang sudah matang secara seksual. Hewan muda sering resisten
terhadap infeksi, meskipun infeksi dapat bersifat laten dan menimbulkan bahaya
ketika dewasa. Vaksinasi ternak dengan B. abortus S19 atau RB51 dapat
mengurangi kerentanan seribu kali lipat atau lebih pada spesies yang homolog
(Corbel 2006).
Brucella dapat bertahan hidup pada berbagai kondisi lingkungan dalam
waktu tertentu. Brucella sensitif terhadap sinar matahari langsung, desinfektan
dan pasteurisasi (CFSPH 2009). Brucella tahan terhadap kekeringan, terutama bila
terdapat bahan organik seperti protein, dan bertahan hidup dalam debu serta tanah.
Bakteri dapat bertahan hidup di air keran selama beberapa bulan pada 4 - 8 °C, 2,5
tahun di 0 ºC, dan beberapa tahun pada jaringan beku atau media. Bakteri
Brucella tahan di tanah basah sampai 60 hari, di permukaan air selama 144 hari,
di dalam urin selama 30 hari, pada janin abortus selama 75 hari dan di eksudat
uterus lebih dari 200 hari. Pada bedding yang terkontaminasi Brucella, bakteri
mati pada 56 °C - 61 °C dalam waktu 4,5 jam. Selain itu telah ditemukan bahwa
Brucella dapat bertahan hidup dalam kotoran selama 53 hari pada musim dingin,
120 - 210 hari di musim semi, 1 hari di musim panas, dan 50 - 120 hari di musim
gugur (Bharde & Bhuktar 2005; Corbel 2006). Pada jaringan yang dikeluarkan
sewaktu keguguran, B. abortus dapat tahan hidup sampai 6 bulan apabila terhindar
dari sinar matahari (Quinn et al. 2002; Soeharsono 2002).
Usia, jenis kelamin, periode kebuntingan dan resistensi alami terhadap
Brucella mempengaruhi perkembangan infeksi. Ternak betina bunting cenderung
mudah terinfeksi daripada ternak tidak bunting atau jantan. Hal ini karena uterus
ternak bunting terdapat gula erythritol yang menopang pertumbuhan bakteri
Brucella (Bharde & Bhuktar 2005; Islam et al. 2009).
Pada manusia, penularan dapat terjadi secara oral, inhalasi dan lewat
konjungtiva, namun sumber utama infeksi yaitu kontak dengan produk abortus
hewan, mengkonsumsi produk peternakan terkontaminasi seperti susu dan produk
tidak dipasteurisasi (keju, susu mentah, mentega dan es krim), daging yang
dimasak kurang matang, kontak dengan kultur bakteri dan sampel jaringan di
laboratorium. Infeksi dapat terjadi pada pekerja yang berprofesi tertentu misalnya
orang yang bekerja di laboratorium, dokter hewan, inseminator, mantri hewan,

8

petugas rumah pemotongan hewan, tukang perah susu yang bekerja di daerah atau
hewan tertular atau menangani fetus abortus dan plasenta penderita brucellosis
(Corbel 1997; OIE 2009; Godfroid et al. 2010; Bennet 2010). Kandungan bakteri
pada jaringan otot relatif rendah namun konsumsi organ hewan seperti hati dan
limpa sebagai salah satu penyebab terjadinya infeksi pada manusia (Pappas et al
2005).

Gejala klinis
Brucella menyebabkan brucellosis pada manusia dan berbagai spesies
hewan (Cloeckaert et al., 2003). Penyakit ini biasanya tanpa gejala pada hewan
betina bunting. Setelah adanya infeksi oleh B. abortus pada hewan bunting dapat
menyebabkan plasentitis dan endometritis (Quinn et al. 2002; Poester et al. 2006;
OIE 2009). Penyakit ini dapat bersifat akut dengan terjadinya abortus pada ternak
yang sehat. Brucella mengakibatkan abortus pada 6 sampai 9 bulan kebuntingan.
Setelah abortus dan kelahiran normal berikutnya, sebagian besar bakteri
diekskresikan ke plasenta, cairan fetus, susu dan leleran vagina (OIE 2009).
Sehingga pada ternak bunting yang terinfeksi

mengakibatkan kelahiran dini,

penurunan produksi susu, konsepsi tertunda dan infertilitas sementara atau
permanen. Pada hewan jantan terinfeksi mengakibatkan orchitis dan epididimiitis
yang menyebabkan infertilitas (Corbel 1997; Quinn et al. 2002). Hewan jantan
yang terinfeksi dapat ditemukan Brucella di dalam semennya sehingga berpotensi
sebagai sumber penularan penyakit jika digunakan untuk Inseminasi Buatan. Pada
infeksi akut, Brucella ditemukan dalam organ tubuh yang paling utama yaitu
kelenjar getah bening (Quinn et al. 2002). Di beberapa negara tropis, satu-satunya
indikator yang jelas adanya infeksi kronis brucellosis pada hewan yaitu higroma
pada persendian kaki. Pembesaran kantung persendian carpus atau tarsus terlihat
mencolok sehingga dapat terlihat dari jauh (Godfroid et al. 2004; Bharde &
Bhuktar 2005). Dilaporkan bahwa di Arab Saudi, domba yang menderita higroma
pada kakinya dapat diisolasi B. melitensis (Ramadan et al. 2012)
Pada manusia, brucellosis menyebabkan deman malta (demam undulant),
dan mengakibatkan komplikasi penyakit muskulo skeletal, kardiovaskular dan
sisitem syaraf pusat seperti sakit kepala, lemah, kehilangan berat badan, dan panas

9

dingin (Corbel 1997; Quinn et al. 2002, Bennet 2010). Kerentanan terhadap
brucellosis pada manusia tergantung pada berbagai faktor, termasuk status
kekebalan tubuh, rute infeksi, jumlah inokulum dan spesies Brucella (Young
1995, Pappas et al. 2005; Corbel 2006).

Patogenesis
Spesies Brucella sebagai bakteri patogen fakultatif intraselular mampu
bertahan dan bereplikasi dalam sel fagosit tubuh inang (Halling et al., 2005).
Patogenesis Brucella terutama berdasarkan kemampuannya untuk masuk,
bertahan hidup dan berkembang biak dalam sel inang (Gorvel & Moreno 2002).
Setelah masuk ke tubuh, Brucella tertelan oleh leukosit polymorphonuclear
(PMLs), yang akan tertarik ke lokasi inokulasi. Faktor virulensi utama adalah sel
dinding lipopolisakarida (LPS). Hal ini dikarenakan LPS B. abortus mengandung
komponen 5-guanosin monofosfat. Dengan adanya kemampuan tersebut, hampir
15 – 30% bakteri ini mampu bertahan di dalam sel polymorphonuclear atau
mononuclear (Al Nassir 2011). Brucella mampu bertahan dan bereplikasi dalam
sel fagosit dari sistem retikuloendotelial dan sel non-fagosit seperti trofoblas.
Kemampuan tersebut melibatkan fusi sementara dari vakuola yang mengandung
Brucella dengan lisosom, selanjutnya pada protein lisosomal (Young 1995; Star et
al. 2008). Setelah proses ini, vakuola yang mengandung Brucella terhubung
dengan retikulum endoplasma (RE). Retikulum endoplasma terhubung lagi
dengan kompartemen tempat untuk replikasi intraseluler Brucella dalam
makrofag, sel epitel dan trofoblas plasenta. Bakteri dapat menyebabkan infeksi
kronis pada tempat tersebut (Xavier et al. 2010). Forestier et al. (1999)
menunjukkan bahwa LPS dari B. abortus terakumulasi dalam lisosom dan
kemudian ke permukaan sel makrofag membentuk kelompok besar yang disebut
macrodomains.
Faktor serum normal, termasuk komplemen, terlibat dalam opsonisasi
organisme untuk fagositosis, namun PMLs membatasi kemampuan untuk
membunuh bakteri dalam fagosit. Beberapa faktor yang melindungi Brucella dari
PMLs adalah copper-zink superoksida dismutase, O-polisakarida, dan nukleotida.
Brucella yang lolos dari PMLs tertelan oleh makrofag, kemudian tinggal dalam

10

organ-organ sistem retikuloendotelial (hati, limpa, sumsum tulang) dan
berkembang biak di makrofag dan monosit. Beberapa sistem organ dapat terlibat
dalam penyakit brucellosis (sistem syaraf pusat, jantung, persendian, sistem
genitourinari, sistem paru-paru, dan kulit). Brucellosis tersebut menyebabkan
infeksi bersifat lokal maupun sistemik yang dapat melibatkan hampir seluruh
organ. Setelah infeksi, dihasilkan antibodi humoral terhadap LPS dan antigen
dinding sel lainnya. Namun, pengembangan imunitas berperantara sel merupakan
prinsip mekanisme saat pemulihan. Kekebalan selular melibatkan peran T limfosit
sitotoksik dan aktivasi makrofag sehingga meningkatkan aktivitas bakterisidal
melalui pelepasan sitokin (misalnya gamma interferon dan tumor necrosis faktor)
dari Thelper limfosit (Bharde & Bhuktar 2005; Corbel 2006; Bennett 2010).
Brucellosis menyebabkan hewan lahir lemah atau aborsi pada trimester
terakhir kebuntingan ketika B. abortus berpindah ke uterus. Lokalisasi dan
replikasi B. abortus pada hewan bunting dikaitkan dengan adanya empat-karbon
alkohol erythritol. Erythritol dapat merangsang dan meningkatkan pertumbuhan
Brucella. Bakteri menetap di sel-sel yang mampu menyediakan nutrisi yaitu
saluran kelamin hewan. Bharde & Bhuktar (2005), erythritol ditemukan pada
plasenta sapi, domba, kambing, babi dan anjing serta vesikula seminalis dan testis
pada hewan jantan. Brucella menggunakan erythritol (glukosa) tersebut sebagai
sumber karbon utama dan energi sehingga dilengkapi satu set enzim untuk
mengubah glukosa menjadi berbagai jenis molekul gula yang digunakan dalam
kelangsungan hidup B. abortus. Erythritol dalam jumlah miligram dapat
meningkatkan pertumbuhan B. abortus secara in vitro (Anderson & Smith 1965;
Anderson & Cheville 1986; Haag et al. 2010).

Koleksi material
Diagnosis

brucellosis

dan pemilihan sampel

hewan

melalui

pemeriksaan

kultur,

yang tergantung pada pengamatan tanda-tanda klinis.

Sampel diagnosis termasuk janin abortus (isi lambung, limpa dan paru-paru),
membran fetus, plasenta induk, leleran vagina (swab), susu, semen dan cairan
higroma. Apabila menggunakan bangkai hewan sebagai sampel, maka jaringan
yang dikultur adalah sistem retikuloendotelial (kepala, kelenjar getah bening,

11

kelenjar susu dan limpa), kebuntingan terakhir atau uterus awal melahirkan, dan
ambing. Pertumbuhan normal bakteri

setelah 4 - 5 hari, tetapi kultur dapat

diamati sampai 2 – 3 minggu sebelum dinyatakan negatif (Alton et al. 1988;
Quinn et al. 2002; OIE 2009, Godfroid et al. 2010).
Sampel jaringan, leleran vagina, susu, serum dan produk peternakan harus
segera didinginkan setelah pengambilan, dan dibawa ke laboratorium secepatnya.
Sampel (susu dan jaringan) yang tidak langsung dikultur harus disimpan dalam
kondisi beku (Alton et al. 1988).

Diagnosis Brucellosis
Diagnosis

brucellosis

dilakukan secara

serologi

dan

pemeriksaan

bakteriologis. Uji serologi dapat dilakukan dengan Rose Bengal Test (RBT),
Complement Fixation Test (CFT), Serum agglutination test (SAT) dan Enzyme
Linked Immunosorbent Assays (ELISA). Buffered Brucella Antigen Tests
(BBATs) seperti RBT dan Buffered Plate Agglutination Test (BPAT) dan
Fluorescence Polarisation Assay (FPA) dapat dilakukan sebagai uji screening.
Pengujian pada kelompok sapi perah dapat dilakukan dengan uji Milk Ring Test
(MRT) (OIE 2009).
Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan isolasi dan identifikasi bakteri
penyebab brucellosis. Isolasi bakteri berasal dari spesimen organ janin keguguran
dan pada sapi jantan dapat diisolasi dari semennya (Alton et al. 1988; OIE 2009;
Godfroid et al. 2010). Apabila uji serologi dilakukan untuk pemberantasan
penyakit brucellosis maka pengujian dilakukan melalui dua tahap yaitu uji
screening (penyaringan) dengan menggunakan uji yang memiliki sensitivitas yang
sangat tinggi (RBT dan MRT) sehingga seluruh hewan yang terinfeksi terjaring.
Hasil screening yang menunjukkan hasil positif kemudian dikonfirmasi dengan uji
yang memiliki spesifisitas yang sangat tinggi seperti CFT atau ELISA (Godfroid
et al. 2010).
Pengobatan pada hewan yang menderita brucellosis secara efektif belum
ada. Pada manusia, pengobatan dilakukan dengan memberikan antibiotika
tetracycline 500 mg/ 6 jam/ peroral selama 6 minggu, doxycycline 100mg/ 12
jam/ per oral selama 6 minggu, atau pemberian aminoglycosides pada 1 – 3

12

minggu pada terapi awal ditambah tetracycline atau doxycycline (Corbel 2006).
Pada percobaan mencit yang diinfeksi B. abortus kemudian dilakukan pengobatan
dengan gentamisin selama tiga hari menunjukkan bahwa jumlah bakteri di limpa
setelah 1 dan 3 minggu pengobatan tidak mengalami penurunan (Prior et al. 2005)

Epidemiologi
Kegiatan penanggulangan gangguan reproduksi dilakukan melalui
pengendalian penyakit hewan yang memiliki nilai ekonomis tinggi untuk menekan
jumlah kematian ternak dan meningkatkan produktivitas ternak. Brucellosis
sebagai salah satu penyakit reproduksi pada ternak mempunyai pengaruh penting
terhadap nilai ekonomi. Di Indonesia wabah brucellosis terjadi pertama kali tahun
1983 pada sapi potong di Propinsi Sulawesi Selatan (Ditkeswan 2001). Tahun
1986 diketahui 16 propinsi tertular dan tahun 1991 meningkat menjadi 26 propinsi
kecuali propinsi Bali, sehingga brucellosis dinyatakan sebagai penyakit hewan
endemik di Indonesia.
Program pengendalian dan pemberantasan PHM brucellosis dilakukan
secara bertahap. Pada tahun 2002, pulau Bali dinyatakan bebas historis penyakit
brucellosis melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 443/Kpts/TN.540/7/2002,
sementara pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dinyatakan bebas
penyakit brucellosis melalui program pemberantasan dalam Keputusan Menteri
Pertanian No. 444/Kpts/TN.540/7/2002. Pulau Sumbawa provinsi Nusa tenggara
Barat bebas Brucella berdasar SK Menteri Pertanian No. 97/Kpts/PO.660/2/2006.
Di tahun 2009, Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi, dan Kepulauan Riau
dinyatakan bebas dari penyakit brucellosis pada sapi dan kerbau melalui
Keputusan Menteri Pertanian No. 2541/Kpts/PD.610/6/2009. Pulau Kalimantan
juga dinyatakan bebas dari penyakit brucellosis pada sapi dan kerbau melalui
Keputusan Menteri Pertanian No. 2540/Kpts/PD.610/6/2009 menyatakan Pulau
Kalimantan bebas dari penyakit hewan keluron menular (brucellosis) pada sapi
dan kerbau.
Pada saat ini, target penanggulangan gangguan reproduksi di 21 provinsi,
11 provinsi memiliki prevalensi brucellosis pada sapi potong sangat rendah (02%) yaitu provinsi di Pulau Jawa, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung,

13

Sulawesi Tengah, Gorontalo dan Sulawesi Barat, 4 provinsi memiliki kasus tinggi
pada sapi potong yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Nusa Tenggara Timur (P.
Timor yaitu TTU dan Belu), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan
sebanyak 7 provinsi telah bebas brucellosis berdasarkan Keputusan Menteri
Pertanian (Ditjennak 2010). Namun tahun 2011, Provinsi Sumatera Selatan,
Bengkulu, Lampung &

Kepulauan Bangka Belitung ditetapkan bebas dari

penyakit hewan keluron menular pada sapi berdasarkan Keputusan Menteri
Pertanian No. 5681/kpts/PD.620/12/2011. Peta situasi brucellosis di Indonesia
sampai tahun 2011 terlihat pada Gambar 1.
Di Pulau Jawa yang merupakan populasi tertinggi sapi perah, kasus
Brucellosis masih relatif tinggi dengan prevalensi rata-rata 2 - 3%. Upaya
pemberantasannya dilakukan dengan vaksinasi karena prevalensi lebih dari 2%
sehingga test and slaughter belum dilakukan mengingat tingginya jumlah yang
harus dipotong dan mahalnya biaya kompensasi.

Gambar 1 Peta situasi brucellosis di Indonesia sampai tahun 2011
(Ditkeswan 2012)
Secara serologi, sekitar 80,5% dari ternak yang mengalami abortus
disebabkan oleh bakteri B. abortus (positif CFT). Sekitar 48,5% kejadian abortus
terjadi pada umur kebuntingan trimester dua (4 - 6 bulan) dan sekitar 48,5%
lainnya terjadi pada trimester tiga (6 - 9 bulan). Oleh karena itu dapat diketahui

14

97% kejadian abortus terjadi pada umur kebuntingan lebih tua dari tiga bulan
(Putra 2005).

Kontrol Brucellosis
Usaha pengendalian brucellosis di lapangan berdasarkan Keputusan
Menteri Pertanian No.828/Kpts/OT.210/10/98 mengenai Pedoman Pemberantasan
Brucellosis pada ternak di Indonesia. Dua strategi pemberantasan berdasarkan
tingkat kejadiannya yaitu apabila prevalensi reaktor ≥ 2 % dengan kategori
tertular berat, maka metode pemberantasannya dengan cara vaksinasi. Sedangkan
pada daerah kategori tertular rendah (prevalensi < 2%), ditetapkan dengan teknik
potong bersyarat (test and slaughter).
Pengendalian penyakit brucellosis pada ternak melalui vaksinasi dapat
dilakukan dengan menggunakan vaksin hidup dan mati yang dilemahkan. Vaksin
hidup yang dilemahkan mempunyai beberapa kelebihan dibanding vaksin mati
yang pada umumnya mampu menghasilkan imunitas cukup lama dan merangsang
reaksi kekebalan pada tubuh inang yaitu cell-mediated. Oleh karena vaksin
diberikan hidup, maka bakteri mereplikasi dalam tubuh inang sehingga vaksin
lebih murah. Namun, vaksin hidup yang dilemahkan dapat menyebabkan aborsi.
Vaksin B. abortus Strain 45/20 dengan adjuvant merupakan vaksin mati
yang dikembangkan karena adanya kemungkinan reverse apabila menggunakan
vaksin hidup. Strain 45/20 berasal dari Brucella S45/0 yang diisolasi dari material
sapi abortus sebelum tahun 1922 dengan morfologi smooth dan virulen pada
marmot. Brucella S45/0 selanjutnya dipassase 20 kali pada marmot sehingga
morfologi menjadi rough atau kasar sehingga secara umum disebut Strain 45/20.
Vaksin diberikan pada ternak dewasa dan memberikan perlindungan sekitar 70 %
(Morgan 1982; WHO 1997).
Saat ini terdapat dua vaksin hidup yang dilemahkan untuk mencegah
brucellosis pada sapi adalah vaksin B. abortus Strain 19 (S19) dan RB51. Strain
19 memiliki smooth lipopolisakarida yang ditentukan oleh panjang rantai O
polisakarida pada permukaan sel. Lipopolisakarida B. abortus tipe smooth terdiri
dari lipid A, inti oligosakarida dan rantai khas O polisakarida (O-antigen). Vaksin
S19 menginduksi respon antibodi pada sisi rantai panjang O. Alasan penggunaan

15

vaksin S19 adalah timbulnya respon antibodi yang tinggi sehingga memberikan
proteksi pada sapi yang divaksin. Tetapi vaksin ini menyebabkan masalah karena
antibodi yang diproduksi menimbulkan positif palsu pada tes serologi terhadap
infeksi Brucella (Stevens et al. 1995; Cardoso et al. 2006). Vaksin S19
merupakan vaksin stabil yang tidak akan kembali menjadi virulen. Dosis
pemberian 5 - 8 X 1010 CFU/ml yang diberikan subcutan.Vaksin diberikan pada
sapi umur 3 – 6 bulan yang dapat memberikan perlindungan sampai 5 kali
kebuntingan dan mungkin dapat lebih (Morgan 1982; OIE 2009). Strain 19
memiliki efek aborsi pada sapi bunting dan virulen pada manusia (Cardoso et al.
2006). Morgan (1982) menyatakan bahwa penggunaan vaksin S19 memberikan
perlindungan yang lebih baik dari vaksin S45/20 dengan adjuvant.
Pada tahun 2004, Departemen Pertanian RI mengijinkan peredaran vaksin
strain RB51. Strain RB51 merupakan mutan kasar dari B. abortus virulen strain
2308 (S2308) dan dibuat dengan melakukan passase berulang B. abortus 2308
dalam media yang mengandung rifampisin dan penisillin. Strain RB51 tidak
memiliki rantai O antigen (Schurig et al. 1991). Ternak yang divaksin dengan
strain RB51 tidak memproduksi antibodi terhadap O antigen yang terdeteksi pada
uji serologi brucellosis (Schurig et al. 1991; Cheville et al. 1993). Strain RB51
resisten terhadap rifampisin (Miranda 2009). Seperti vaksin S19, strain RB51 juga
menyebabkan infeksi pada manusia. Selain itu terdapat vaksin B. melitensis Rev. 1
untuk vaksinasi kambing dan domba.
Teknik potong bersyarat (test and slaughter) yaitu setiap hewan yang diuji
secara serologi dan hewan dengan reaksi positif (reaktor) harus dipotong. Pada
daerah tertular rendah (prevalensi < 2%) maka dilakukan test and slaughter. Test
and slaughter dilakukan pada 50 % populasi sapi dan kerbau betina di tingkat
provinsi apabila terdapat sumberdaya yang memadai. Dan tahun kedua dilakukan
50% sisanya serta desa-desa yang positif CFT dari hasil uji pertama. Test and
slaughter tahun ketiga dilakukan di kecamatan atau desa dengan kasus positif
CFT dalam dua tahun terakhir. Tahun kelima dilakukan pada desa dengan kasus
positif CFT dalam dua tahun terakhir. Daerah bebas brucellosis apabila prevalensi
nol atau paling tinggi 0, 2 % (Ditkeswan 2001).

16

Radiasi
Radiasi merupakan energi yang dipancarkan dalam bentuk partikel atau
gelombang. Radiasi diklasifikasikan sebagai radiasi non pengion (energi rendah)
atau pengion (energi tinggi). Jenis radiasi non pengion seperti sinar ultraviolet,
cahaya tampak, radiasi inframerah, radiasi frekuensi radio dan gelombang mikro.
Radiasi pengion dari matahari (sinar kosmik), bahan radioaktif, dan mesin X-ray.
Radiasi pengion dikelompokkan menjadi dua golongan sesuai dengan komponen
fisiknya yaitu memiliki masa dan bermuatan atau tidak bermuatan, dan hanya
memiliki energi saja. Empat jenis utama dari radiasi pengion (1) partikel. alpha
bermuatan positif terdiri dari dua neutron dan dua proton, relatif berat dan
bergerak lambat dari emisi radioaktif lainnya, (2) partikel beta merupakan partikel
bermuatan negatif terdiri dari elektron dan lebih ringan serta cepat dibandingkan
partikel alpha, (3) sinar gamma adalah radiasi gelombang elektromagnetik pendek
yang dipancarkan oleh peluruhan radioaktif atom tidak stabil dan mempunyai
penetrasi yang tinggi, dan (4) sinar X mempunyai energi lebih rendah dan
kemampuan penetrasinya kurang daripada sinar gamma. Sinar X yang
dipancarkan berasal dari proses luar inti, sementara sinar gamma berasal dari inti
(Czarnecki 2009).

Sinar gamma
Sinar gamma berupa radiasi elektromagnetik panjang gelombang pendek
dipancarkan oleh isotop radioaktif sebagai inti tidak stabil dan meluruh untuk
mencapai bentuk stabil. Deoxyribonucleic acid (DNA) merupakan target selular
yang mengatur hilangnya viabilitas setelah terpapar s