Study of Brucella abortus Infection Using Serological Test and Polymerase Chain Reaction (PCR) in Dairy Cattle

KAJIAN INFEKSI BRUCELLA ABORTUS PADA SAPI PERAH
MENGGUNAKAN UJI SEROLOGIK DAN
POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

AMANATIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Infeksi Brucella abortus
pada sapi perah menggunakan metode Serologik dan Polymerase Chain
Reaction (PCR) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Juni 2012

Amanatin
NIM B251100134

ABSTRACT
AMANATIN. Study of Brucella abortus Infection Using Serological Test and
Polymerase Chain Reaction (PCR) in Dairy Cattle. Under Direction of DENNY W.
LUKMAN and SURACHMI SETIYANINGSIH.
Brucellosis is an important zoonotic disease for public and animal health
that causes significant economic losses. Widely applied brucellosis detection
method are Rose bengal test (RBT) and complement fixation test (CFT) as
screening and confirmation tests, respectively. This study was aimed to detect of
Brucella abortus infection using serological and molecular tests, i.e., milk ring test
(MRT), RBT, CFT, enzyme linked immunosorbant assay (ELISA), and
polymerase chain reaction(PCR). Milk, blood and serum were collected from a
total of 64 dairy cattle with history of decreased milk production, vaccination,
abortion, hygroma and retentio secundinae. The result showed that 64%, 34%,
45% and 26% samples were positive tested by MRT, RBT, CFT, and ELISA,
respectively. The Kappa analysis showed that the confirmation CFT has poor to

good agreement of 0.249, 0.511, and 0.710 with MRT, ELISA and RBT,
respectively. None of blood and milk samples from serologically positive cattle
were tested positive by PCR that could be due to the absence of bacteremia and
bacterial shedding in milk. This finding suggests the presence of chronic infection
among the studied animals, which characterized by high antibody levels in the
absence of bacteria in the blood. Application of MRT and ELISA tests in parallel
would increase the test sensitivity, while application of CFT and ELISA test or
RBT and CFT in serial would increase the test specificity.

Keywords : Brucella abortus, MRT, RBT, ELISA, CFT, PCR

RINGKASAN
AMANATIN.
Kajian Infeksi Brucella abortus pada Sapi Perah
Menggunakan Metode Serologik dan Polymerase Chain Reaction (PCR). Di
bawah bimbingan DENNY W. LUKMAN and SURACHMI SETYANINGSIH.
Bruselosis merupakan zoonosis penting yang berdampak kepada
kesehatan masyarakat dan menyebabkan kerugian ekonomi. Nama lain dari
bruselosis adalah undulant fever, Mediterranean fever, Malta fever, keluron,
contagious abortion atau Bang’s disease.

Brucella abortus (B. abortus)
merupakan penyebab dari Bovine brucellosis yang mengakibatkan kerugian
ekonomi karena abortus, pedet lahir mati/lemah, sterilitas akibat gangguian
reproduksi, turunnya produksi susu serta turunnya akses pasar baik skala
nasional maupun internasional. Infeksi pada manusia disebabkan oleh konsumsi
susu atau keju non-pasteurisasi yang terkontaminasi (foodborne transmission),
terpapar hewan terinfeksi, karkas atau sekresi uterus dan fetus abortus.
Program pengendalian dan pemberantasan memerlukan metode uji yang
dapat mendeteksi penyakit secara dini dan akurat. Deteksi dini dengan melihat
gejala klinis kurang efektif karena gejala klinis bruselosis tidak patognomonis,
sehingga dibutuhkan pengujian laboratorium untuk mendeteksinya. Direktorat
Jenderal Peternakan menerapkan kebijakan vaksinasi pada populasi dengan
prevalensi di atas 2% sedangkan prevalensi dibawah 2% dengan kebijakan test
and slaughter menggunakan metode Rose Bengal test (RBT) dan dikonfirmasi
dengan complement fixation test (CFT).
RBT merupakan metode yang
sederhana, cepat dan praktis. Metode ini membutuhkan konfirmasi dengan CFT
karena mempunyai spesifisitasnya rendah. RBT merupakan metode yang
sederhana, cepat dan praktis dengan spesifisitas rendah, sedangkan CFT
mempunyai spesifisitas tinggi akan tetapi kurang praktis.

Penularan melalui makanan sangat penting karena B. abortus mampu
bertahan dalam susu dan produk olahannya dengan waktu yang cukup lama.
Bakteri ini mampu bertahan dalam susu UHT, air mineral dan yogurt masingmasing selama 87 hari, 60 hari dan kurang dari 7 hari. Kelompok risiko tertinggi
adalah pekerja di rumah potong hewan dan kandang, pemerah susu, dokter
hewan, paramedik, inseminator dan analis laboratorium. Brucella. abortus
mempunyai konsentrasi yang tinggi pada plasenta dan fetus yang lahir, oleh
karena itu risiko penularan ke pekerja kandang pada saat partus sangat besar.
Tujuan penelitian ini adalah mendeteksi infeksi B. abortus pada kelompok
sapi perah dengan metode serologik dan PCR serta penerapannya dengan
melihat kesesuaian masing-masing metode. Manfaat penelitian ini adalah
memberikan gambaran metode yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan tindak
karantina hewan di seluruh Unit Pelaksana Teknis dalam lingkup Badan
Karantina Pertanian.
Penelitian ini membandingkan metode uji dengan jenis sampel yang
berbeda untuk deteksi B. abortus.
Sebagai data pendukung dilakukan
wawancara dengan dinas dan instansi terkait, pemilik dan penanggung jawab
kandang tentang penyebaran, riwayat abortus, penurunan produksi susu dan
vaksinasi. Sampel yang diambil sebanyak 64 sapi perah yang berupa darah,
serum dan susu. Sampel susu dilakukan uji dengan metode MRT dan PCR,

sedangkan serum dilakukan uji dengan metode RBT, ELISA dan CFT. Sampel
darah dilakukan uji dengan metode PCR. Data hasil pengujian diolah dan
dianalisi dengan nilai Kappa dan analisis deskriptif dengan program software
SPSS 16.

Nilai Kappa antara metode MRT dengan RBT, ELISA dan CFT masingmasing sebesar 0.282, 0.208, dan 0.249 sedangkan antara metode RBT dengan
ELISA dan CFT masing-masing sebesar 0.581 dan 0.710, serta antara metode
ELISA dengan CFT sebesar 0.511.
Metode PCR darah negatif dapat
disebabkan karena sapi dalam penelitian ini tidak mengalami bakteremia,
sehingga tidak ditemukan adanya bakteri dalam sirkulasi darah. Metode PCR
susu tidak terdeteksi, hal ini dimungkinkan bakteri tidak shedding di dalam susu.
Sebagai simpulan dalam penelitian ini adalah sampel sapi perah terindikasi
infeksi kronis yang ditandai dengan tingginya antibodi namun tidak terdeteksinya
bakteri dalam darah. Kesesuain metode RBT dengan CFT baik, ELISA dengan
RBT dan CFT sedang, MRT dengan RBT, ELISA dan CFT kurang. Penerapan
metode MRT dan ELISA secara pararel akan meningkatkan sensitifitas.
Penerapan metode ELISA dan CFT atau RBT dan CFT secara serial akan
meningkatkan spesifisitas.


Kata Kunci : Brucella abortus, MRT, RBT, ELISA, CFT, PCR

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagain atau seluruh Karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN INFEKSI BRUCELLA ABORTUS PADA SAPI PERAH
MENGGUNAKAN UJI SEROLOGIK DAN
POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

AMANATIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. drh. I Wayan T. Wibawan, MS

Judul Tesis
Nama
NIM

: Kajian Infeksi Brucella Abortus pada Sapi Perah Menggunakan
Metode Serologik dan Polymerase Chain Reaction (PCR)
: Amanatin
: B251100134


Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si.
Ketua

drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D.
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si.

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr.


Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

Kupersembahkan tesis ini kepada:
Bunda, Ayah almarhum........
Suamiku tercinta Heru Setiyanto..........
Anak-anakku Sakura, Kayla dan Athaya...........
Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian.......

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmad dan ridha-Nya serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad saw.
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tema penelitian ini adalah
Kajian Infeksi Brucella abortus pada Sapi Perah Menggunakan Metode Serologik
dan Polymerase Chain Reaction (PCR).
Penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. drh. Denny W.
Lukman, MSi dan drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D. sebagai ketua dan anggota
komisi pembimbing, atas segala dukungan, bimbingan dan arahan terhadap
penulis selama penelitian dan penulisan tesis. Terima kasih juga disampaikan

kepada Prof. Dr. drh. I Wayan T. Wibawan, MS selaku penguji luar komisi.
Penulis juga mengucapan terima kasih kepada Kepala Badan Karantina
Pertanian dan Dr. drh. Syafril Daulay beserta jajarannya yang telah memberikan
beasiswa S-2 dan penelitian sehingga penulis dapat menempuh program studi
pascasarjana ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada drh. Chaerul Basri, M.Epid
serta pak Agus yang telah membantu kelancaran studi ini. Ucapan terima kasih
disampaikan kepada drh. Susan M. Noor, Mphil, drh. Rahmat Setya Adji, M.Si.
dan Ibu Sumirah yang telah membantu dalam proses pengujian sampel.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada drh. Ramilah, Maya Spt, dan pengurus
koperasi susu serta peternak yang telah membantu dalam penyedianan sampel
sapi perah. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada drh. Sri Yusnowati,
drh. Nuryani Zainuddin, M.Si., Krisna Dwiharniati, SSi., M.Si., drh. Arum K, M.Si.,
drh. Mujiatun, M.Si., drh Desniwati, M.Si., drh. Haeriah, drh. Seruni, Ahmad MA,
Amd, Ika Sih dan seluruh rekan-rekan di laboratorium Karantina Hewan BBUSKP
serta rekan-rekan sejawat kelas khusus karantina program studi kmv (Wulan,
Endah, Fitri, Ijah, Agus, Doni, Ali, Hari, Tika, Ari, Vera, Endang, Helmi dan Gatot)
yang telah memberikan dukungan dan semangat.
Akhirnya ucapan terima kasih yang mendalam kepada ayahanda drs. H.
Dulaji Alm, ibunda Hj Partun, ibu dan bapak mertua, serta kakak, adik, suami

tercinta drh. Heru Setiyanto dan anak-anakku tersayang Sakura, Kayla dan
Athaya yang telah memberikan dukungan moral dalam menyelesaikan tesis ini.
Atas segala kebaikan yang telah penulis terima, semoga Allah swt berkenan
melimpahkan rahmad dan ridha-Nya kepada kita semua. Harapan penulis
semoga tulisan ini dapat bermanfaat dalam kegiatan perkarantinaan di Indonesia.
Bogor, Juni 2012
Amanatin

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Mojokerto pada tanggal 25 Februari 1977 dari ayah
Drs. H. Duladji Alm dan ibu Hj. Partun. Penulis merupakan putri kelima dari lima
bersaudara.
Tahun 1989 penulis lulus dari Sekolah Dasar Negeri Gunungan I dan tahun
1992 lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri I Dawarblandong Mojokerto.
Tahun 1995 penulis lulus dari Sekolah Menengah Farmasi Sekolah Kesehatan
Angkatan Laut Surabaya dan lulus tahun 1995 dari Sekolah Menengah Atas 11
Maret Surabaya. Tahun 1997 lulus seleksi masuk Ujian Masuk Perguruan Tinggi
Negeri Fakultas kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya.
Tahun 2002 Penulis lulus dari Fakultas Kedokteran Hewan sebagai
Sarjana Kedokteran Hewan dan pada tahun yang sama melanjutkan Program
Pendidikan Dokter Hewan. Tahun 2003 penulis lulus sebagai Dokter Hewan di
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Lulus tahun 2003 penulis
bekerja di bidang farmasi kemudian tahun 2006 diterima sebagai pegawai negeri
sipil di Badan Karantina Pertanian dengan penempatan di Balai Karantina
Pertanian Kelas I Kupang Nusa Tenggara Timur. Selama satu setengah tahun
penulis mengabdikan diri di Tanah Timor kemudian dimutasikan di Balai Besar
Uji Standar Karantina Pertanian Jakarta hingga sekarang.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL………………………………………………………………. xxi
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………….

xxv

PENDAHULUAN
Latar Belakang………………………………………………………….
Rumusan Masalah……………………………………………………..
Tujuan Penelitian……………………………………………………….
Manfaat Penelitian……………………………………………………...
Hipotesis…………………………………………………………………

1
2
3
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik…………………………………………………….............
Cara Penularan………………………………………………………....
Patogenesis……………………………………………………………..
Gejala Klinis……………………………………………………………..
Gejala Klinis pada Sapi…………………………………………

5
10
11
14
14

Gejala Klinis pada Manusia……………………………………
Metode Diagnostik……………………………………………………...
Penyebaran dan Kebijakan……………………………………………
Vaksinasi………………………………………………………………...

14
16
20
22

BAHAN DAN METODE
Rancangan Penelitian………………………………………………….
Tempat dan Waktu Penelitian………………………………………...
Bahan dan Alat………………………………………………………....
Jenis Sampel……………………………………………………………
Prosedur Pengujian
Prosedur MRT……………………………………………………
Prosedur RBT……………………………………………………
Prosedur ELISA………………………………………………….
Prosedur CFT…………………………………………………….
Prosedur PCR……………………………………………………
Analisis Data…………………………………………………………….

25
25
26
27
28
28
28
29
31
33

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengambilan Sampel…………………………………………… 35
Hasil Pengujian Sampel………………………………………………. 36
Pembahasan…………………………………………………………… 39
Pembahasan Uji Serologi………………………………………. 39
Pembahasan PCR………………………………………………. 43
Penerapan Metode dan Lalu Lintas Hewan……………………… 45
Bruselosis pada Manusia dan Aspek Kesehatan Masyarakat…………….
50
SIMPULAN DAN SARAN

xix

Simpulan………………………………………………………………...
Saran…………………………………………………………………….

55
55

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..

57

LAMPIRAN……………………………………………………………………..
.

67

xx

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1

Spesies dan potensi zoonosis Brucella spp…………………….

Tabel 2

Karakteristik biovar dan spesies dalam genus Brucella
spp…………………………………………………………………….. 8

Tabel 3

Daya tahan Brucella spp. dalam susu dan
susu……………………………………………………..

6

produk
9

Tabel 4

Daftar primer................................................................................

26

Tabel 5

Kekuatan kesepakatan……………………………………………...

33

Tabel 6

Hasil pengambilan sampel...........................................................

35

Tabel 7

Hasil pengujian sampel................................................................

36

Tabel 8

Confirmation rate dengan CFT....................................................

36

Tabel 9

Hasil pengujian LOD....................................................................

37

Tabel 10 Nilai persentase Kappa ...............................................................

38

Tabel 11 Hasil uji sensitifitas dan spesifisitas penerapan secara pararel
dan serial..................................................................................... 38

xxi

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1

Brucella spp. secara mikroskopik ………………………..

7

Gambar 2

Peta penyebaran bruselosis di Indonesia………………..

21

Gambar 3

Rancangan penelitian………………………………………

25

Gambar 4

Hasil pengujian LOD dalam elektroforesis……………….

37

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1

Hasil pengujian sampel………………………………………….

68

Lampiran 2

Hasil analisis nilai Kappa………………………………………..

72

Lampiran 3

Hasil uji sensitifitas dan spesifisitas…………………..............

75

Lampiran 4

Prosedur titrasi reagen CFT……………………………………

78

Lampiran 5

Dokumentasi pengujian dan pengambilan sampel…………..

81

xv

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bruselosis merupakan zoonosis penting yang masih menjadi permasalahan
dunia terutama bagi negara berkembang.

Nama lain dari bruselosis adalah

undulant fever, Mediterranean fever, Malta fever, keluron, contagious abortion
atau Bang’s disease.

Penyakit ini menyebabkan gangguan kesehatan dan

kerugian ekonomi serta berdampak kepada kesehatan masyarakat.

Brucella

abortus merupakan penyebab dari bovine brucellosis yang menimbulkan
kerugian ekonomi karena abortus, pedet lahir mati/lemah, sterilitas akibat
gangguian reproduksi, turunnya produksi susu serta turunnya akses pasar baik
skala nasional maupun internasional (Abdoel et al. 2008; Corbel 1997; Noor
2006a).

Apabila bruselosis tidak ditanggulangi, kerugian ekonomi mencapai

138,5 milyar rupiah setiap tahun meskipun mortalitas akibat penyakit ini relatif
kecil (Noor 2006a).
Bruselosis pada manusia diperkirakan terjadi 500 000 per tahun yang
menyebabkan kerugian ekonomi yang ditimbulkan dengan adanya biaya
pengobatan dan turunnya produktifitas karena penyakit ini bersifat kronis dan
melemahkan (Corbel 1997; Seleem et al. 2010; Xavier et al. 2010). Infeksi pada
manusia disebabkan oleh konsumsi susu atau keju non-pasteurisasi yang
terkontaminasi (foodborne transmission), terpapar hewan terinfeksi, karkas atau
sekresi uterus, dan fetus abortus (Al-Majali 2005; Neta et al. 2010). Kelompok
risiko tertinggi adalah pekerja di rumah potong hewan dan kandang, pemerah
susu, dokter hewan, paramedik, inseminator, dan analis laboratorium (Surendran
2011).

Dilaporkan oleh Wallach et al. (2008) sebanyak 30 karyawan yang

menangani produksi vaksin S19 menunjukkan seropositif.

Seropositif di

Indonesia menurut Sudibyo (1998) terdapat pada pekerja kandang sapi perah,
kandang babi dan RPH babi di wilayah DKI.
B. abortus digunakan sebagai senjata biologis karena dapat ditransmisikan
melalui udara dan bersifat sangat menular. Bakteri ini relatif stabil dalam bentuk
aerosol dan dosis infektifnya sangat kecil sekitar 10-100 mikroorganisme serta
mudah diperoleh dan dikembangkan untuk strain yang resisten terhadap
antibiotik. Centers for Disease Control (CDC) menggolongkannya sebagai agen
bioterorisme kategori B yang biasa digunakan di bidang pertanian, sipil, dan
militer (Adams & Schutta 2010; CDC 2011; Surendran et al. 2011).

2

Rumusan Masalah
Indonesia saat ini dalam rangka pembebasan terhadap bruselosis (Noor
2006a). Penyebaran bruselosis sangat erat hubungannya dengan manajemen
kandang, sumber pakan, kepadatan populasi, tipologi beternak yang berkaitan
erat dengan faktor sosio-ekonomi peternak, serta lalu lintas sapi dari satu lokasi
ke lokasi lainnya.

Badan Karantina Pertanian mempunyai fungsi untuk

melakukan pengawasan lalu lintas hewan sesuai dengan Undang-Undang RI
Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan serta
fungsi pencegahan penyakit sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun
2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan termasuk peran dalam
pencegahan

dan

penyebaran

bruselosis.

Program

pengendalian

dan

pemberantasan memerlukan metode uji yang dapat mendeteksi penyakit secara
dini dan akurat (Leal-Klevezas et al. 2000). Deteksi dini dengan melihat gejala
klinis kurang efektif karena gejala klinis bruselosis tidak patognomonis, sehingga
dibutuhkan pengujian laboratorium untuk mendeteksinya (Leary et al. 2006).
Metode deteksi antibodi dengan Rose Bengal test (RBT) dan milk ring test (MRT)
menggunakan sampel serum dan susu secara rutin digunakan sebagai uji tapis
pada peternakan yang dicurigai (Romero et al. 1995).
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan menerapkan
kebijakan vaksinasi pada populasi dengan prevalensi di atas 2% sedangkan
prevalensi di bawah 2% dengan kebijakan test and slaughter menggunakan
metode Rose Bengal test (RBT) dan dikonfirmasi dengan complement fixation
test (CFT). RBT merupakan metode yang sederhana, cepat dan praktis. Metode
ini membutuhkan konfirmasi dengan CFT karena mempunyai spesifisitasnya
rendah. RBT merupakan metode yang sederhana, cepat, dan praktis dengan
spesifisitas rendah, sedangkan CFT mempunyai spesifisitas tinggi akan tetapi
kurang praktis.
Isolasi merupakan metode gold standard dengan spesifisitas tinggi akan
tetapi jarang digunakan karena kurang sensitif, rumit, mahal, membutuhkan
biosafety level 3, dan waktu yang lama. Isolasi kurang sesuai untuk sampel
dalam jumlah besar dan berisiko terhadap analis laboratorium (Hafez et al. 2011;
Ling-Yu 2010; Poester et al. 2010). Isolasi B. abortus dari uterus sapi bunting
tidak bisa dilakukan pada kebuntingan awal, karena pengambilan sampel baru
bisa dilakukan lebih dari 4.5 bulan (Megid et al. 2010). Kendala lain metode
isolasi adalah lambatnya pertumbuhan bakteri dari isolasi primer dengan

3

keberhasilan hanya sekitar 20-50% (Poester et al. 2010). Isolasi tidak selalu
digunakan untuk melihat spesifisitas, karena beberapa kasus pada hewan
menunjukkan kultur negatif meskipun faktanya hewan itu terinfeksi (Gal &
Nielsen

2004).

Oleh

karena

itu

Badan

Karantina

Pertanian

perlu

mengembangkan metode deteksi dini, cepat, akurat, dan mudah diaplikasikan.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi infeksi B. abortus pada
kelompok sapi perah dengan metode serologik dan PCR dengan melihat
kesesuaian masing-masing metode serta penerapannya.
Manfaat Penelitian
Memberikan gambaran metode yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan
tindak karantina hewan di seluruh Unit Pelaksana Teknis dalam lingkup Badan
Karantina Pertanian.
Hipotesis
1. Metode MRT, RBT, ELISA dan CFT mempunyai kesesuaian yang baik.
2. PCR dengan sampel darah dan susu mempunyai kesesuaian yang baik.
3. Penerapan metode secara pararel akan meningkatkan sensitifitas.
4. Penerapan metode secara serial akan meningkatkan spesifisitas.

4

5

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Brucella spp.
Sir William Burnett pada tahun 1779 menemukan kasus demam pada
tentara yang diakibatkan oleh adanya mikroorganisme. Penemuan ini dilanjutkan
oleh Jeffery Allen Marston yang mendeskripsikan Malta fever secara lebih
terperinci.

Tahun 1855 Sir David Bruce seorang mikrobiologis dari tentara

Inggris menemukan Micrococcus melitensis kemudian dilanjutkan oleh Bernhard
Bang

seorang

veterinerian

yang

menemukan

Bacterium

menginfeksi ternak, kuda, domba dan kambing.

abortus

yang

Alice Evans seorang

bakteriologis dari Amerika telah menemukan persamaan morfologi dan patologi
antara Bang’s Bacterium abortus
Berdasarkan

dengan Bruce’s Micrococcus melitensis.

penemuan di atas kemudian Sir David Bruce memberikan

nomenklatur Brucella abortus dan Brucella melitensis.

Klasifikasi B. abortus

menurut Ficht (2010), Godfroid et al. (2011) dan Moreno et al. (2002) sebagai
berikut :
Kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Class

: Alphaproteobacteria

Ordo

: Rhizobiales

Family

: Brucellaceae

Genus

: Brucella

Spesies : Brucella Abortus
Bruselosis disebabkan oleh bakteri dari genus Brucella yang terdiri dari
10 spesies dengan induk semang yang berbeda beda. Komponen dinding sel
Brucella spp. baik pada strain halus (smooth) yaitu Brucella melitensis (B.
melitensis), Brucella abortus dan Brucella suis (B. suis) maupun pada strain
kasar (rough) seperti Brucella canis (B. canis) dan Brucella ovis (B. ovis) terdiri
dari peptidoglikan, protein dan membran luar yang terdiri dari lipoprotein dan
lipopolisakarida (LPS).

LPS inilah yang menentukan virulensi bakteri dan

bertanggung jawab terhadap penghambatan efek bakterisidal di dalam sel
makrofag.

B. melitensis, B. suis B. abortus dianggap sebagai spesies yang

paling patogen untuk manusia dan sebagai induk semang preferensial masingmasing adalah ruminansia kecil, babi, dan sapi (Godfroid et al. 2010; Xafier et al.

6

2010). B. abortus menyerang sapi, bison (Bison spp.) kerbau (Bubalus bubalus),
African buffalo (Syncerus caffer), rusa, dan unta.

Brucella spp. strain kasar

mempunyai virulensi lebih rendah pada manusia dan secara lengkap disajikan
dalam Tabel 1.
Tabel 1 Spesies dan potensi zoonosis Brucella spp. (Godfroid et al. 2010)
Spesies

Biovar

Morfologi

Induk

Patogenitas

Koloni

Semang

pada manusia

B. melitensis

1,2,3

smooth

domba, kambing

tinggi

B. abortus

1-6, 9

smooth

Ternak

tinggi

B. suis

1,3

smooth

Babi

tinggi

2

smooth

babi hutan, terwelu

rendah

4

smooth

rusa kutub, caribou

tinggi

5

smooth

tikus gurun

sedang

Brucella neotamae

smooth

rodensia

tidak

B. ovis

rough

domba jantan

tidak

B. canis

rough

Anjing

sedang

Brucella pinnipedialis

smooth

anjing laut

?

Brucella ceti

smooth

Ikan paus

?

Brucella microti

smooth

tanah, tikus, rubah

?

Brucella inopinata

smooth

manusia

?

B. abortus termasuk gram negatif dan berbentuk coccobacilli atau batang
pendek dengan panjang 0.6-1.5 μm dan lebar 0.5-0.7 μm. Bakteri ini sering
dijumpai single dan jarang berpasangan atau kelompok kecil.

Karakteristik

bakteri ini adalah fakultatif intraseluler dan mempunyai bentuk konstan kecuali
pada kultur yang sudah tua kadang pleomorphic (lebih dari 1 bentuk). Bakteri ini
bereplikasi di sel makrofag dari induk semang (Munir 2009). Secara mikroskopis
dapat digambarkan sesuai dengan Gambar 1.

7

Gambar 1. Brucella spp. secara mikroskopik.

Suhu pertumbuhan optimum berkisar 36-38 °C yang mana sebagian besar
strain dapat tumbuh pada suhu 20 °C - 40 °C, sedangkan pH optimum 6.6-7.4,
dan di media kultur berkisar 6.8.

Suhu 63 °C selama 7–10 menit dapat

membunuh bakteri ini (Adams & Moss 2008) Koloni berbentuk bulat, konvek,
seperti mutiara putih dengan diameter 1-2 mm, garis pinggir yang halus
(smooth), transparan dan warnanya pucat madu. Koloni kasar berwarna kuning,
opak, friable dan sulit terlarut dalam cairan. Koloni mukoid mempunyai bentuk
sama dengan koloni kasar kecuali kelarutannya, mukoid mudah larut (Walker
1999).

Semakin lama di biakan kultur koloni akan semakin membesar dan

cenderung berwarna gelap. Bentuk koloni halus pada subkultur akan mengalami
perubahan ke bentuk kasar (rough) dan kadang-kadang ke bentuk mukoid
(Garridino-Abellan et al. 2001).
Sifat biokimia bakteri ini secara umum dapat menghasilkan urease,
oksidasi katalase positif dan dapat mereduksi nitrit menjadi nitrat. Perbedaan
spesies dan biovar di dalam Brucella spp. pada kemampuan mengoksidasi
karbon, memetabolisme asam glutamat, ornitin, lisin, dan ribosa. Perbedaan itu
juga terletak pada kemampuan memproduksi H2S serta kerentanan terhadap
bakteriofag, pewarna fusin, tionin atau aglutinasi terhadap antisera epitop
lipopolisakarida (LPS) tertentu. B. abortus terdiri dari 9 biovar, yang mana biovar
1 paling penting. Tahun 1968 sampai 1991 dari 399 sampel sebanyak 75.3%
berhasil diisolasi B. abotus biovar 1 dari hewan dan manusia di Amerika Latin
(Xafier et al. 2010). Secara lengkap sifat B. abortus dan spesies yang lainnya
disajikan pada Tabel 2.

8

Tabel 2 Karakteristik biovar dan spesies dalam genus Brucella spp.
(Whatmore 2009).

Spesies

Biovar

Urease

B. abortus

1
2
3
4
5
6
7
9

B. suis

B. melitensis

B. ovis
B. canis
B. neotamae
B. ceti
B. pinnipedialis
B. microti
B. inopinata

Media

Aglutinasi antiserum

CO2

H2S

(+)b
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)

(+)
(+)
(+)
(+)
(-)
(-)
(-)
(-)

(+)
(+)
(+)
(+)
(-)
(+)
(+)
(+)

Tionin
(-)
(-)
(+)
(-)
(+)
(+)
(+)
(+)

fusin
(+)
(-)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)

A
(+)
(+)
(+)
(-)
(-)
(+)
(+)
(-)

M
(-)
(-)
(-)
(+)
(+)
(-)
(+)
(+)

R
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

1
2
3
4
5

(+)
(+)
(+)
(+)
(+)

(-)
(-)
(-)
(+)
(-)

(+)
(-)
(-)
(+)
(-)

(+)
(+)
(+)
(+)
(+)

(-)
(-)
(+)d
(-)
(+)

(+)
(+)
(+)
(+)
(-)

(+)
(+)
(-)
(-)
(-)

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

1
2
3

(+)
(+)
(+)

(-)
(-)
(-)

(-)
(-)
(-)

(+)
(+)
(+)

(-)e
(+)
(+)

(-)
(+)
(+)

(+)
(-)
(+)

(-)
(-)
(-)

(-)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)

(-)
(-)
(-)
(-)
(+)
(-)
(-)

(-)
(-)
(+)
(-)
(+)
(-)
(+)

(+)
(+)
(-)
(+)
(+)
(+)
(+)

(+)
(-)
(-)
(+)
(+)
(+)
(+)

(-)
(-)
(+)
(+)
(+)
(-)
(-)

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(+)
(+)f

(+)
(+)
(-)
(-)
(-)

Keterangan : b Strain is negative but most field strains are positive
d Some strains of this biotype are inhibited by fuchsin
e Some isolates may be resistant to fuchsin.
f Weak agglutination.

Tempat predileksi B. abortus di plasenta ruminansia, cairan fetus, kelenjar
mamari, persendian dan testis (Munir 2009). Bakteri ini mempunyai ketahanan
yang lama dengan berbagai kondisi. Daya tahan bakteri Brucella dalam susu
dan produknya disajikan dalam Tabel 3.

9

Tabel 3 Daya tahan Brucella spp. dalam susu dan produk susu
(Garridino-Abellan et al. 2001)

Produk

Spesies

Suhu (°C)

Susu

B. abortus

71.7
38

pH

Daya tahan
5-15 detik

4

< 9 jam

25-37

24 jam

0

18 bulan

B. abortus

4

6 minggu

B. melitensis

4

4 minggu

Ice cream

B. abortus

0

30 hari

Butter

B. abortus

8

142 hari

Cheese:
Various

B. abortus

5-57 hari

Various

B. melitensis

15-100 hari

Feta

B. melitensis

4-16 hari

Pecorino

B. melitensis

< 90 hari

Roquefort

B.abortus

20-60 hari

B. melitensis
Camembert

B. abortus

< 21 hari

Erythrean

B. melitensis

44 hari

Cheddar

B. abortus

6 bulan

White

B. melitensis

1-8 minggu

Whey

B. abortus

17-24

4.3-5.9

< 4 hari

B. abortus

5

5.4-5.9

> 6 hari

Menurut Noor (2006) bakteri dapat bertahan selama 2 hari dalam
kotoran/limbah kandang yang bagian bawah (suhu lebih tinggi dari pada bagian
atas), 4 hari dalam tanah kering, 66 hari dalam tanah lembab, dan 15-185 hari
dalam tanah becek. Bakteri ini juga mampu bertahan di air minum ternak 5-114
hari, air limbah 3-150 hari (Sudibyo 1998).

Bakteri ini mampu bertahan pada

suhu rendah terutama dibawah titik beku, oleh karena itu produk olahan dari susu
segar yang terkontaminasi menjadi sumber penularan ke manusia yang
mengonsumsinya. Daging, jerohan, dan organ seperti hati, paru-paru dan ginjal

10

mempunyai risiko lebih kecil sebagai sumber penularan, karena biasanya
dikonsumsi dalam kondisi matang (Corbel 2006).
Komponen LPS dari outer cell membranes Brucella spp berbeda baik
secara struktur dan fungsi dari gram negatif yang lainnya. Perbedaan Brucella
spp. dibandingkan dengan bakteri patogen lainnya adalah tidak mempunyai
faktor virulensi klasik seperti eksotoksin, kapsul, flagela, fimbre, plasmid, fase
lisogenik, variasi antigenik, sitolisin atau sistem sekresi tipe I, II, atau III yang
berperan dalam karakteristik mekanisme patogenik.

Sekresi tipe IV dari B.

abortus (T4SS) telah berhasil diidentifikasi dan menentukan ketahanannya di
dalam sel fagositik mononuklear (Munir 2009; Purchell et al. 2007).

Cara Penularan
Penularan utama pada hewan terjadi melalui kontak dengan bahan yang
terkontaminasi plasenta, fetus, cairan fetus, dan cairan vagina dari sapi abortus
atau partus. Penularan yang lainnya juga terjadi melalui kontak dengan kulit,
selaput konjungtiva, secara inhalasi (mukosa saluran pernafasan), per-oral
(mukosa

gastrointestinal/orofaring),

terkontaminasi.

vertikal,

dan

kontak

dengan

susu

Penularan secara veneral tidak terlalu penting, yang lebih

penting adalah penularan dari semen yang terkontaminasi melalui inseminasi
buatan.

Ruminansia lebih sering asimtomatik setelah abortus yang pertama,

akan tetapi bersifat karier dan mengeluarkan bakteri melalui air susu. Selain
melalui air susu bakteri juga dikeluarkan melalui urine, feses, cairan higroma, air
liur, hidung dan okular. Bakteri dapat menyebar melalui cairan muntah termasuk
padang rumput, pakan dan air yang tercemar (Neta et al. 2010; CFSPH 2009;
Xavier et al.2010).
Penularan pada manusia terjadi dengan cara mengonsumsi susu yang
terkontaminasi dan produk susu non-pasteurisasi atau daging yang tidak
dimasak. Penularan dari lingkungan terjadi melalui inhalasi, selaput konjungtiva,
atau melalui kulit yang terluka dari debu yang terkontaminasi. Bruselosis pada
manusia berhubungan dengan pekerjaan seperti peternak, inseminator dan
karyawan rumah potong hewan serta pengolahan produk hewan yang
melakukan kontak dengan cairan atau jaringan fetus abortus dan karkas dari
hewan terinfeksi melalui mukosa atau kulit yang lecet. Analis laboratorium dan
pekerja

pabrik vaksin tertular dari kultur bakteri. Penularan dari manusia ke

11

manusia jarang dilaporkan, meskipun pernah dilaporkan melalui transfusi darah,
transplantasi sumsum tulang atau hubungan seksual. Infeksi pada bayi terjadi
karena melalui transplasenta atau peroral dari konsumsi air susu ibu yang
terinfeksi. Infeksi kongenital juga mungkin terjadi melalui sirkulasi darah atau
infeksi pada waktu lahir dari urin maupun feses ibunya (CFSPH 2009; Corbel
2006; Xafier 2010).
Patogenesis
Bakteri masuk ke dalam tubuh melalui mukosa port entery kemudian
masuk ke dalam sel limfoepitel dan difagositosis oleh sel neutrofil dan sel
makrofag kemudian masuk ke dalam limfoglandula. Patogenisitas terkait dengan
produksi lipopolisakarida yang tersusun oleh poly N-formyl perosamine O chain,
Cu- Zn superoxide dismutase, erythrulose phosphate dehydrogenase. Secara
umum fagositosisi gagal karena bakteri ini mempunyai zat antifagositosit yaitu
protein 5 guanin monofosfat yang mampu bertahan dan bereplikasi di dalam sel
neutrofil.

Apabila sistem pertahanan tidak mampu mengatasi adanya infeksi

maka akan muncul bakteriemia setelah 10-20 hari dan persisten selama 30 hari
sampai 2 bulan pascainfeksi.

Setelah bakteremia pada sapi bunting maka

bakteri akan masuk kedalam plasenta sapi bunting dan daerah ambing. Infeksi
pada sapi yang tidak bunting akan menuju ke daerah ambing dan sering tanpa
gejala klinis ataupun lesi.

Bakteri dalam makrofag akan bersirkulasi dalam

jaringan limfoid dan terlokalisir dalam sistem retikuloendotel hati, limfa dan
sumsum tulang belakang ginjal, persendian yang mengakibatkan adanya radang
sendi dan higroma.

Higroma terjadi karena adanya infeksi pada membran

persendian sehingga berisi cairan jernih, fibrin, maupun nanah sehingga terlihat
adanya benjolan yang sangat mencolok (Garradino-Abellan 2001; Munir 2009;
Neta et al. 2010)
Bakteri yang bereplikasi terutama di sel makrofag atau neutrofil dalam
cairan susu mempunyai peran yang sangat penting untuk terjadinya re-infeksi.
Sapi yang terinfeksi di dalam kelenjar ambing, ketika bunting kembali akan
mengalami bakteremia dan dapat menginfeksi uterusnya. Penyebaran ke dalam
kelenjar susu melalui migrasi sel neutrofil dalam sistem peredaran darah umum
dan bereplikasi di dalam alveoli dan ductus, dan selanjutnya menyebar ke dalam
kelenjar getah bening supramamari.

Penyebaran ke dalam kelenjar susu

merupakan fase kedua dari infeksi dan sering mengakibatkan mastitis

12

limfoplasmasitik interstisial (Adams 2002).

Sapi yang ditransportasikan 80%

telah positif mengandung Brucella spp. dalam nodus limfe supramamari dan
kelenjar mamari serta mengsekresikan ke dalam cairan tubuhnya (Al-majali
2005).
Sistem pertahanan seluler yang paling berperan adalah sel makrofag dan
limfosit T, meskipun antibodi spesifik juga berperan.
tergantung dari

Proses immunitas

spesies yang terinfeksi, umur, status kekebalan, status

kebuntingan, dan virulensi serta dosis infeksi (Corbel 1997; Neta et al. 2010).
Respon

serologik pasca infeksi pada infeksi alami akan

muncul setelah 2

sampai 4 minggu, akan tetapi respon ini sangat bervariasi dan bahkan kadangkadang tidak terjadi. Invasi bakteri pada uterus yang bunting akan menghasilkan
antibodi dalam jumlah besar dan berlangsung terus menerus.

Respon humoral

pada awal infeksi akan diproduksi IgM diikuti IgG dan IgG2 serta IgA (Neta et al.
2010). Sapi dara lebih resisten terhadap paparan B. abortus, semakin rentan
seiring dengan perkembangan seksual dan kebuntingan. Pedet terinfeksi di
dalam uterus atau diberikan susu yang terkontaminasi, biasanya memiliki respon
antibodi sementara setelah terinfeksi, namun, dapat terus mengeluarkan bakteri
selama beberapa minggu setelah pemberian susu berhenti. Sebagian kecil tapi
penting sapi dara yang terinfeksi sejak awal akan menunjukkan seronegatif
namun dapat menginfeksi anaknya pada kebuntingan pertama (Munir 2009).
B. abortus di ruminansia dapat melewati pertahanan tubuh induk semang
dan menuju target jaringan embrio dan trofoblas. Pertumbuhannya tidak hanya
di dalam sel fagosom akan tetapi juga di sitoplasma dan rough reticulum
endoplasmik

yang menyebabkan

kematian

janin

dan

aborsi.

Bakteri

menghambat fusi fagosom dan lisosom dalam makrofag dan bereplikasi dalam
retikulum endoplasma. Bakteri yang tidak di fagosit oleh makrofag akan merusak
sel induk semang dan menyebar ke sel yang lainnya.

Bakteri ini juga dapat

bereplikasi di jaringan ekstraseluler induk semang. Gambaran histopatologis dari
respon seluler dapat terlihat adanya pembentukan abses sampai infiltrasi
limfositik dan selanjutnya pembentukan granuloma pada kondisi nekrosis (Munir
2009; Neta et al. 2010; Xefier et al. 2009).
Konsentrasi eritritol dan hormon steroid tinggi pada jaringan fetus
kebuntingan trisemester tiga, uterus bunting dan saluran kelamin jantan.
Kandungan eritrotol sangat disukai oleh B. abortus karena dapat dimetabolisme
sebagai sumber karbon dan energi, sehingga perkembangbiakan bakteri dalam

13

sapi bunting sangat pesat dan pada saat abortus ditemukan 1010 bakteri per
gram jaringan organ abortus (Purchel et al. 2007). Perkembangbiakan bakteri ini
menyebabkan infiltrasi sel inflamasi, nekrosis trofoblas, vaskulitis, dan ulserasi
pada alantokorion, sehingga menggangu metabolisme fetus dan mengakibatkan
abortus.

Selain faktor diatas peningkatan kortisol dengan estrogen dan

progesteron akan meningkatkan jumlah prostaglandin F2 alfa yang akan
meningkatkan kontraksi uterus sehingga mengakibatkan abortus (Munir 2009).
Plasentitis juga dapat mengakibatkan abortus, hal ini terjadi karena B.
abortus menyerang sel tropoblastik yang menekan respon mudulator pro
inflamasi selama tahap awal infeksi.

Spesies dari Brucella ini mempunyai

ferroselator yang menyebabkan bakteri ini mampu bertahan di intraseluler dan
bermultireplikasi serta bertahan pada infeksi kronis dengan membentuk
fosfotidilkolin. Selain itu spesies ini juga mempunyai enzim katalase sehingga
menghasilkan H2O2

dan D-alanyl-D-alanine carboxypeptidase (DAP) yang

mengakibatkan resisten terhadap sel induk semang terutama oleh Nitrat Oksida.
Kemampuan untuk membentuk urease membantu ketahananya dalam infeksi
peroral. DAP banyak terdapat di sel eukariot dan jarang sekali di sel prokariot
(Munir 2009).
Penularan sering terjadi

secara peroral melalui saluran pencernaan.

Bakteri diinternalisasi oleh M sel dalam peyer patch, kemudian menyebar ke
dalam kelenjar getah bening regional dan berkembangbiak di dalam makrofag
secara fakultatif intraseluler. Selanjutnya menyebar melalui aliran darah munuju
ke jaringan yang lainnya, terutama di rahim sapi bunting (Xavier et al. 2010).
Meskipun infeksi dapat terjadi melalui kulit, konjungtiva atau aerosol rute yang
paling umum infeksi pada sapi adalah melalui saluran pencernaan dan infeksi
menyebar ke dalam kelenjar getah bening lokal.

Invasi ke dalam pembuluh

limfatik diikuti dengan bakteremia yang menyebabkan infeksi berjalan sistemik
(Neta et al. 2010).
Masa inkubasi B. abortus pada sapi berkisar 53-251 hari (Megid et al.
2010).

Infeksi pada pedet bersifat self limiting.

Lama inkubasi berbanding

terbalik dengan masa kebuntingan, oleh karena masa inkubasi lebih lama jika
menginfeksi hewan pada awal kebuntingan. Abortus dan bayi lahir mati biasanya
terjadi dua minggu sampai lima bulan setelah infeksi. Kerugian reproduksi terjadi
selama paruh kebuntingan kedua (CFSPH 2009).

Masa inkubasi bruselosis

pada manusia 8-20 hari (Garradino abellan 2001), 2-3 minggu bahkan bisa

14

sampai beberapa bulan (Corbel 2006), sedangkan menurut CFSPH (2009) sulit
ditentukan berkisar 5 hari sampai tiga bulan dan sebagian besar terlihat jelas
dalam waktu dua minggu.

Penularan melalui aerosol dari agen bioterorisme

mempunyai masa inkubasi yang lebih pendek (CFSPH 2009).
Patogenesis penyakit pada manusia sangat mirip dengan ternak.

Rute

utama infeksi dari Brucella spp. melalui membran mukosa orofaring, saluran
pernafasan atas dan konjungtiva. Rute potensial lainnya dari mukosa saluran
reproduksi pria dan wanita.

Bakteri secara umum mampu melewati sistem

pertahanan seluler tubuh dari induk semang dan berhasil masuk ke dalam
kelenjar getah bening terdekat melalui saluran getah bening (Seleem et al. 2010).
Brucella spp. masuk, bertahan dan berkembang dalam sel fagosit dan non
fagosit induk semangnya misalnya sel makrofag, sel dendrite (DCs), dan sel
trofoblast. Karakteristik dari bruselosis pada manusia adalah infeksi persisten
dalam jaringan limfoid dan menyebabkan lesi peradangan dalam saluran
reproduksi wanita hamil (Munir 2009).

Gejala Klinis
Gejala Klinis pada Sapi
Tahap awal infeksi pada sapi terlihat gejala klinis utama yaitu abortus, still
birth atau mati lemah dan gejala lainnya seperti orkitis, epididimitis, higroma,
artritis, metritis, mastitis subklinis.

Abortus terjadi pada usia kebuntingan 5-8

bulan. Gejala abortus pada sapi sebagian besar hanya sekali meskipun terjadi
plasentitis dan kebuntingan kedua biasanya normal.

Hewan yang mampu

bertahan akan menjadi karier dan berpotensi mnegeluarkan bakteri.

Tahap

kedua akan terjadi infeksi persisten di kelenjar mamari dan supramamari, serta
limfonodus genital (Ahmed et al. 2010; Garridino-Abellan et al. 2001; Megid et al.
2010; Seleem 2010). Mastitis menyebabkan terjadinya penurunan produksi susu
sekitar 25% dan bakteri akan shedding secara terus menerus atau intermittent di
dalam susu dan genital secretions.

B. abortus juga dapat ditemukan dalam,

urin, susu segar, air mani, tinja dan cairan higroma (Capparelli et al. 2008; Corbel
2006; Megid et al. 2010).
Gejala Klinis pada Manusia
Bruselosis pada manusia merupakan penyakit multisistemik dengan gejala
klinis berspektrum luas, meskipun secara umum asymptomatis (tanpa gejala).

15

Gejala klinis pada manusia sangat bervariasi. Bruselosis dimulai sebagai
penyakit demam undulant yang bersifat intermittent dan reintermittent dengan
tanda-tanda nonspesifik seperti flu, demam, malaise sakit kepala, nyeri
punggung, mialgia dan keringat basah terutama di malam hari. Disebut dengan
demam undulant karena terjadi variasi suhu, 37 °C di pagi hari dan 40 °C pada
siang hari serta malam hari menggigil disertai kelemahan (Seleem et al. 2010).
Gejala lain seperti splenomegali, hepatomegali, batuk dan nyeri dada pleuritik
kadang-kadang terlihat. Gejala klinis pencernaan termasuk anoreksia, mual,
muntah, diare, dan sembelit sering terjadi pada orang dewasa tapi jarang pada
anak-anak. Jika penyakit ini tidak segera diobati maka akan persisten sampai
beberapa minggu bahkan beberapa bulan. Faktor–faktor yang mempengaruhi
timbulnya infeksi pada manusia sebenarnya banyak faktor antara lain status
kekebalan individu, rute infeksi, dosis infeksi, dan jenis spesies Brucella
(Whatmore 2009).
Gejala klinis sebagian besar berlangsung selama dua sampai empat
minggu dan dapat sembuh sendiri. Demam intermittent berselang 2 sampai 14
hari. Sebagian besar penderita dengan gejala klinis demam undulant dan dapat
sembuh total dalam waktu 3 sampai 12 bulan, bahkan ada beberapa menjadi
kronis. Komplikasi yang sering terjadi artritis, spondilitis, epididimo-orkitis dan
malaise kronis. Tanda-tanda neurologis seperti meningitis, ensefalitis dan
neuropati perifer terjadi sekitar 5% kasus. Gejala seperti insomnia, anoreksia,
sakit kepala, impotensi dan depresi juga bisa terlihat.
Endokarditis adalah salah satu komplikasi yang paling serius, dan
menyebabkan kematian pada kasus yang fatal. Organ dan jaringan lain juga
dapat dipengaruhi, sehingga berbagai sindrom termasuk nefritis, dermatitis,
vaskulitis, limfadenopati, trombosis vena dalam, hepatitis granulomatosa,
kolesistitis, osteomielitis, anemia, leukopenia dan trombositopenia. Gejala umum
termasuk berat badan lahir rendah, demam, pertumbuhan terhambat, sakit
kuning, hepatomegali dan splenomegali.

Beberapa bayi baru lahir dengan

bawaan bruselosis mengalami gangguan pernapasan berat, hipotensi, muntah
dan tanda-tanda sepsis. Demam pada bruselosis pada manusia mirip dengan
demam enterik, malaria, demam rematik, tuberkulosis, kolesistik, tromboflebitis,
infeksi jamur, penyakit autoimun dan tumor (Ashford et al. 2004; Seleem et al.
2010).

16

Metode Diagnostik
Pemeriksaan bakteriologi terhadap bruselosis dapat dilakukan dengan
isolasi dan identifikasi bakteri penyebab dari isolasi susu segar, ulasan vagina,
darah, membran fetus, fetus aborsi, dan limfoglandula. Identifikasinya dilakukan
dengan metode pewarnaan gram dan uji biokimia. Metode kultur menggunakan
media basal dan media selektif serta harus ditambahkan dengan antibiotik dan 25% serum bovine atau equine.

Sampel yang digunakan dapat berupa organ

fetus abortus (isi abdomen, limfa, dan paru-paru), membran fetus, sekeresi
vagina, susu, semen, dan cairan radang sendi atau higroma. Selain itu juga
dapat berasal dari karkas seperti sistem retikulo-endotelia dari kelenjar mamari,
kelenjar getah bening, limfa dan uterus

(OIE 2009).

Rata-rata kultur dapat

tumbuh mulai dari 3-4 hari akan tetapi tidak boleh disimpulkan negatif sebelum
inkubasi 8-10 hari. Gold standard untuk bruselosis pada manusia adalah dengan
kultur dari sampel darah, sumsum tulang, kelenjar getah bening atau cairan
serebrospinal dengan spesifisitas tinggi namun sensitifitas rendah karena
sulitnya tingkat pertumbuhan. Sensitifitas metode kultur pada fase akut sebesar
91% sedangkan fase kronis 74% (Seleem et al. 2010).
PCR adalah teknik yang didasari oleh penggunaan oligonukleotida pendek
sebagai primer dan taq DNA polymerase sebagai enzim untuk menggandakan
rangkaian DNA dengan target sekuen yang telah ditetapkan pada lokus yang
spesifik terhadap Brucella. Metode PCR digunakan untuk identifikasi spesies
dan biovar diantara Brucella spp. (Al-Dahouk & Tomasso 2005; Ocampo-Sosa et
al. 2005). Metode PCR untuk deteksi bruselosis saat ini berkembang dengan
pesat, baik dari pengembangan metode maupun pengembangan jenis sampel uji
(Bricker 2002). BaSS PCR dapat membedakan hasil positif karena infeksi alam
atau akibat vaksinasi S19 (Ewalt & Bricker 2003). Multipleks PCR yang pertama
kali dikembangkan adalah AMOS PCR bertujuan untuk efisiensi waktu dan
jumlah sampel dengan menggunakan banyak primer sehingga dalam satu kali uji
dapat membedakan spesies dalam genus Brucella (B. abortus, B. melitensis, B.
ovis dan B. suisi) dan vaksin S19 maupun RB51 (Bricker et al. 2003; Garcia-Yoldi
et al. 2006; Matope et al. 2009).
Pengembangan metode PCR yang lain seperti PCR – RFLP, AP (arbitrarily
primed)-PCR, RAPD (random amplified polymorphic DNA)-PCR, REP (repetitive
extragenic

palindromic

sequences)-PCR,

ERIC

(enterobacterial

repetitive

17

intergenic consensus sequences)-PCR, specific multiplexing (AMOS-PCR based
on the repetitive DNA sequence IS711), multi-locus analysis of variable number
tandem repeats (VNTRs) and PCR-RFLP (Bricker 2002; Al-Dahouk & Tomasso
2005). Metode deteksi brucellosis pada manusia saat ini dikembangkan light
cycler real-time polymerase chain reaction (PCR) assay dengan serum dan
PCR–enzyme-linked immunosorbent assay dengan sampel darah (Queipoortuno et al. 2005). Multipleks PCR terbaru adalah Bruce-ladder dalam satu kali
PCR dapat membedakan antara vaksin strain B. abortus S19, B. abortus RB51
dan B melitensis biovar 1. Selain itu dapat juga diguakan untuk membedakan
DNA dari B. neotomae, B pinnipedialis, B ceti serta B abortus biovar 3, 5, 6, 7, 9,
dan B. suis biovar 2, 3, 4, 5.
Pengujian

secara

serologik

dapat

dilakukan

dengan

fluorescence

polarisation assay, ELISA enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), dan
complement fixation test (CFT), buffered Brucella antigen tests (BBATs) misalnya
Rose Bengal test (RBT) dan buffered plate agglutination test (BPAT).

Metode

BBATs menggunakan spot aglutinasi yang simpel dengan antigen Rose Bengal
dan buffered pada pH rendah sekitar 3.65 ± 0.05.
Metode CFT merupakan metode konfirmasi secara serologik (OIE 2009)
dengan nilai spesifisitas yang lebih besar dibandingkan metode Serum
Aglutination Test (SAT). CFT merupakan reaksi pengikatan komplemen. Reaksi
yang berguna untuk mengukur kadar antibodi serum ataupun antigen. Prinsip
reaksi ini adalah adanya kompleks antigen dan antibodi yang homolog, menarik
komplemen untuk berikatan dengan bagian Fc dari antibodi sehingga melisiskan
RBC. Reaksi pengikatan komplemen terdiri dari dua tahap.
Metode CFT telah banyak digunakan dan diterima secara luas sebagai uji
konfirmasi meskipun uji ini sangat kompleks