Streptococcus agalactiae irradiated vaccine candidate for subclinical mastitis prevention in ruminants
KANDIDAT VAKSIN IRADIASI Streptococcus agalactiae UNTUK
PENCEGAHAN MASTITIS SUBKLINIS PADA RUMINANSIA
BOKY JEANNE TUASIKAL
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(2)
(3)
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: “Kandidat Vaksin Iradiasi Streptococcus agalactiae Untuk Pencegahan Mastitis Subklinis pada Ruminansia” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2012
Boky Jeanne Tuasikal NRP B361070021
(4)
(5)
BOKY JEANNE TUASIKAL. Streptococcus agalactiae Irradiated Vaccine Candidate for
Subclinical Mastitis Prevention in Ruminants. Under supervision of Fachriyan H. Pasaribu, Sri Estuningsih, I Wayan T. Wibawan.
Subclinical mastitis (SCM) is a disease that often infects dairy cow, which then decline milk production. Streptococcus agalactiae is well known as a dominant causative agent of SCM. An experiment to obtain gamma irradiated candidates vaccine of S. agalactiae for the prevention of subclinical mastitis in ruminants have been conducted. S. agalactiae bacteria selected for the irradiated vaccine material was isolated from dairy cows of subclinically mastitis from dairy farm in Bogor and Garut area. The S. agalactiae used in this experiment was group B (GBS) type, which is uncapsulated and has haemaglutynine (Hn+) property. Based on dose irradiation orientation, 17 Gy dose was found to weaken the GBS bacteria to have 50% lethal dose (LD50), which therefore, utilized to manufacture live vaccine. Irradiated GBS surface protein was characterized by SDS-PAGE and resulted to find more than 75 kDa of the protein’s molecular weight, where minimun of antigenically substance is 10 kDa. Infecting of the irradiated GBS using mice resulted in lack pathogenic properties of the bacteria, which is histophatology drawn that the mammary gland alveolly of mice grouped vaccinated with irradiated GBS and vaccinated then challenge, were remain producing milk, and significantly not different as compare to control animal. GBS vaccine irradiation did not cause inflammation of the mammary glands of mice tested, evidences showed that number of udder interstitial inflammatory cells around alveolly and gland epithelial cells in vaccinated mice groups were not significantly different as compare to the control group. Most interstitial inflammatory cells in challenged groups are found in mice that were challenged with virulent GBS and significantly different to be found more as compare to vaccine and control groups. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) to Ig-G serum showed levels of higher immune response in mice vaccinated group compare to control group. The overall experiment confirmed that attenuated GBS using gamma ray irradiation capable to induce immune response. This evidences were confirmed by an observation result in the application of GBS irradiated vaccine at Etawah dairy-goat, where immune responses are induced in those dairy-goats, and also were showed by the evidences found of higher concentration of Ig-G serum by ELISA in the vaccinated group than the control group. Milk production of vaccinated goat had no effect by vaccination. In summarize, irradiated SGB vaccine does not affect milk yield.
(6)
(7)
BOKY JEANNE TUASIKAL. Kandidat Vaksin Iradiasi Streptococcus agalactiae untuk Pencegahan Mastitis Subklinis pada Ruminansia. Dibawah bimbingan Fachriyan H. Pasaribu, Sri Estuningsih, I Wayan T. Wibawan.
Mastitis subklinis (MSK) adalah penyakit yang sering menyerang sapi perah sehingga menyebabkan turunnya produksi susu. Streptococcus agalactiae dikenal sebagai bakteri dominan yang umum menyebabkan MSK. Untuk mengantisipasi kasus ini, telah dilakukan suatu penelitian untuk memperoleh kandidat vaksin iradiasi gamma S. agalactiae untuk pencegahan MSK pada ruminansia. Sebanyak 65 ekor sapi perah yang terdiri dari 19 ekor berasal dari Kunak Kabupaten Bogor, serta 25 ekor dari Cisurupan dan 21 ekor dari Bayongbong Kabupaten Garut, telah diuji untuk MSK menggunakan reagen California Mastitis Test (CMT). Total sampel susu yang diambil dari tiap puting sapi adalah sebanyak 240 sampel yang berasal dari Kunak (66 sampel), Cisurupan (97 sampel) dan Bayongbong (77 sampel). Hasil uji CMT menunjukkan bahwa proporsi kejadian MSK berturut-turut dari daerah terinfeksi tertinggi ke daerah terendah yaitu Kunak (100%), Cisurupan (94,84%) dan Bayongbong (93,50%). Dari sampel susu kasus MSK tersebut diperoleh 57 genus Streptococcus sp. dari hasil uji Gram positif dan katalase negatif dengan persentase kehadiran dalam sampel dari Kunak (40,90%), Cisurupan (15,22%) dan Bayongbong (22,22%). Selanjutnya 34 isolat S. agalactiae diperoleh dengan uji keberadaan faktor Christie, Atkins, Munch-Petersen (CAMP) pada media agar darah. Hasil pengelompokkan dengan Streptococcal grouping kit diperoleh 14 isolat S. agalactiae group-B (SGB). Ekspresi fenotip protein permukaan bakteri tanpa kapsul diidentifikasi dengan penanaman SGB pada media soft agar (SA), sedangkan sifat adhesi SGB diuji dengan reaksi hemaglutinasi. Bakteri terpilih untuk bahan vaksin iradiasi ini diperoleh dari kasus mastitis subklinis di peternakan daerah Kunak Bogor, yaitu satu isolat S. agalactiae group-B (SGB) yang tidak berkapsul dan memiliki sifat Hemaglutinin (Hn+). Berdasarkan orientasi dosis iradiasi gamma dengan sumber
60Co diketahui dosis sebesar 17 Gy untuk melemahkan bakteri SGB terpilih sampai taraf
Lethal dose 50% (LD50) untuk pembuatan vaksin hidup. Dosis iradiasi SGB tersebut diperoleh dari
kurva Pengaruh Iradiasi terhadap % Viabilitas SGB Hn+ dengan persamaan Y=95,414e-0,0371X ; R2=0,9979 (Y=%Viabilitas dan X= dosis iradiasi). Karakterisasi Protein permukaan SGB iradiasi ini dengan metode SDS-PAGE mempunyai berat molekul lebih dari 75 KDa yang berarti
(8)
bersifat antigenik karena BM lebih dari 10 Kda (syarat BM minimal suatu protein bersifat antigenik). Uji patogenitas dan imunitas pada hewan percobaan mencit betina jenis Balb-C, berumur 8 minggu dengan bobot badan kira-kira 50 gram. Sebanyak 12 ekor mencit dibagi kedalam 4 kelompok perlakuan, menjadi 3 ekor untuk tiap kelompok yaitu kelompok vaksin (V) diberi SGB Hn+ iradiasi, kelompok vaksin dan tantang (VT) diberi vaksin iradiasi lalu ditantang dengan SGB Hn+; kelompok tantang (T) diinfeksi dengan SGB Hn+, dan kelompok kontrol (K) tanpa vaksin dan tanpa tantang. Hasil perhitungan alveol produktif kelenjar mamae mencit adalah 70,9±13,2; 77,1±13,7; 72,5±17,8; 60,4±14,0, masing-masing untuk kelompok hewan coba K, V, VT, dan T. Hasil tersebut menunjukkan bahwa SGB iradiasi tidak patogen, terbukti dari gambaran histopatologi (HP) bahwa sel-sel pada alveol kelenjar mamae dari kelompok yang diberi vaksin SGB iradiasi (V) dan kelompok vaksin kemudian ditantang dengan SGB tanpa iradiasi (VT), masih memproduksi susu dan jumlah alveol kelenjar tidak berbeda nyata dibanding dengan kelompok kontrol (K) atau mencit normal; jumlah alveol kelenjar mamae yang paling sedikit berproduksi ada pada kelompok mencit yang ditantang dengan SGB ganas tanpa divaksin (T). Hasil perhitungan sel epitel terdeskuamasi dari kelenjar mamae mencit K=8,8±7,2; V=8,1±0,7; VT=5,9±2,3; T=9,7±3,1 ; sedangkan perhitungan sel radang interstisial disekitar kelenjar mamae mencit K=23,0±1,1; V=11,8±6,4; VT=14,5±10,7; T=41±5,9. Hasil pemeriksaan kedua parameter tersebut menunjukkan bahwa vaksin SGB iradiasi juga tidak menimbulkan peradangan pada kelenjar mamae mencit yang diuji, dibuktikan dari jumlah sel radang interstisial disekitar alveol mamae dan sel epitel kelenjar yang terdeskuamasi pada kelompok mencit yang divaksin (V) tidak berbeda nyata bahkan lebih sedikit dibanding dengan kelompok kontrol (K); sel radang interstisial terbanyak pada kelompok mencit yang ditantang dengan SGB ganas (T), bahkan berbeda nyata (p<0,05) dibanding kelompok vaksin (V) dan kontrol (K). Hasil pemeriksaan Ig-G serum mencit dengan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) menunjukkan tingkat respon imun yang lebih tinggi pada kelompok mencit yang divaksin dibandingkan kelompok kontrol, hal tersebut membuktikan bahwa SGB yang telah dilemahkan dengan iradiasi sinar gamma masih mampu menimbulkan respon imun. Aplikasi vaksin SGB iradiasi pada kambing perah peranakan Etawah-pun dapat menimbulkan respon imun yang baik, terbukti dari hasil pemeriksaan serum dengan ELISA pada kelompok kambing yang divaksin mempunyai konsentrasi Ig-G lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. Produksi susu kambing
(9)
pemberian vaksin iradiasi SGB tidak mengganggu produksi susu.
(10)
(11)
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritikan, atau
tinjauan suatu masalah.
Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
(12)
(13)
PENCEGAHAN MASTITIS SUBKLINIS PADA RUMINANSIA
BOKY JEANNE TUASIKAL
B361070021
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Mayor Ilmu Biomedis Hewan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(14)
Penguji Luar Komisi Pembimbing Ujian Tertutup:
1. Drh. Kamaluddin Zarkasie, Ph.D. 2. Dr. drh. Agustin Indrawati M.Biomed Ujian Terbuka:
1. Drh. Enuh Rahardjo Djusa, Ph.D. 2. Dr. drh. Koekoeh Santoso
(15)
Nama : Boky Jeanne Tuasikal
NRP : B361070021
Program Studi : Mayor Ilmu Biomedis Hewan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu Ketua
Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si., APVet Prof. Dr. drh. I Wayan T. Wibawan, MS
Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Mayor Ilmu Biomedis Hewan
drh. Agus Setiyono, MS. PhD.APVet Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
(16)
(17)
Penulis memanjatkan puji dan syukur ke Hadirat Allah SWT Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang, atas berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pascasarjana program doktor serta melaksanakan tugas penelitian dan penulisan disertasi ini.
Pada kesempatan yang membahagiakan ini, penulis menyampaikan penghargaan yang sangat dalam dan hormat, serta rasa terima kasih yang tulus kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. drh. Fachriyan H. Pasaribu, selaku ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan sejak penulis mempersiapkan judul disertasi, membuat proposal, melaksanakan penelitian, dan membuat laporan berupa disertasi ini. Penghargaan yang dalam, rasa hormat yang tinggi disertai rasa terima kasih yang tulus ditujukan pula kepada Ibu Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si.APVet. dan Bapak Prof. I Wayan T. Wibawan, MS selaku anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan, arahan, nasihat, dan dorongan semangat yang telah diberikan dengan penuh tanggung jawab selama penulis belajar, mempersiapkan, dan melakukan penelitian di Institut Pertanian Bogor hingga penulisan disertasi ini selesai.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Ketua Mayor Ilmu Biomedis Hewan, Bapak drh. Agus Setiyono, MS. PhD. APVet. dan Ketua Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Bapak Prof. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, PhD. yang telah berkenan memberikan ijin kepada penulis untuk mengikuti program doktor pada Mayor Ilmu Biomedis Hewan di Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Kepada yang terhormat Bapak Rektor Institut Pertanian Bogor beserta jajarannya, Direktur Program Pascasarjana beserta staf, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih serta penghargaan atas ijin dan kesempatan yang diberikan untuk mengikuti pendidikan program doktor di IPB sejak tahun 2007.
Rasa terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Bapak Dr. Hendig Winarno dan Kepala Bidang Pertanian, Bapak Dr. Sobrizal atas ijin yang diberikan, serta Prof. Ris. Dr. Ir. Soeranto Human, APU sebagai Pembimbing Karyasiswa. Tak lupa terima kasih saya kepada para staf peneliti dan teknisi di Kelompok Kesehatan dan Reproduksi Ternak, Badan Tenaga Nuklir Nasional atas pengertian dan dorongan semangat
(18)
maupun bantuan secara moril dan materil yang telah diberikan kepada penulis. Demikian pula rasa terima kasih penulis sampaikan kepada yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Bapak drh. Srihadi Agungpriyono, PhD, PAVet., Penanggung jawab Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Penanggung jawab Laboratorium Hewan Percobaan Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, dan Penanggungjawab Laboratorium Mikrobiologi Medis Fakultas Kedokteran Hewan IPB atas ijin dan kesempatan yang diberikan untuk menggunakan fasilitas laboratorium selama penulis melakukan penelitian. Terima kasih penulis sampaikan kepada semua staf pengajar, para teknisi laboratorium di lingkungan Institut Pertanian Bogor yang telah membantu terselenggaranya penelitian ini.
Penulis sampaikan pula rasa terima kasih dan penghargaan kepada Deputi Bidang Dinamika Masyarakat selaku penanggungjawab Program Pascasarjana Kementrian Negara Riset dan Teknologi (KMNRT) yang telah memberikan beasiswa kepada karya siswa untuk melanjutkan Program Doktor di Pascasarjana IPB.
Kepada ayahanda (alm) dan ibunda serta kakak dan adik-adik tercinta, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas doa restu, bimbingan, didikan, serta dorongan semangat sejak lahir hingga penulis mencapai jenjang pendidikan ini.
Terima kasih yang tulus dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada suami dan anak-anak tercinta yang dengan setia, penuh kasih, sabar, dan penuh pengertian mendoakan, memberikan dorongan semangat, berkorban, serta mendampingi penulis sehingga penulis dapat menghargai waktu dan kesempatan yang diberikan dalam menyelesaikan penelitian dan disertasi ini.
Penulis menyadari, bahwa karya ilmiah ini belum sempurna, oleh sebab itu dengan rendah hati, penulis mengharapkan kepada seluruh pembaca untuk memberikan saran-saran yang bermanfaat demi kesempurnaan karya tulis ini sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Bogor, Agustus 2012 Penulis
(19)
Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Agustus 1963 di Jakarta, sebagai anak kedua dari enam bersaudara dari ayah H. Umar Tuasikal (alm) dan ibu Hj. Syarifah Hadiyati. Penulis menikah dengan drh. Zainul Zakir pada tahun 1989 dan dikaruniai seorang putra, Muhammad Hafizh Dewantara, S.Ked. dan seorang putri, Hanifah Septianti.
Setelah lulus SMA Negeri 2 Bandung pada tahun 1982, penulis melanjutkan pendidikan di Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1983, penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan lulus sebagai Sarjana Kedokteran Hewan pada tahun 1986. Kemudian penulis mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan dan lulus sebagai Dokter Hewan pada tahun 1987. Penulis melanjutkan pendidikan Program Magister pada bidang studi Sains Veteriner Program Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun 2005.
Sejak tahun 1989 hingga sekarang, penulis adalah staf peneliti di Kelompok Kesehatan dan Reproduksi Ternak, Bidang Pertanian, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional. Pada tahun 2007, penulis melanjutkan pendidikan program Doktor pada bidang Ilmu Biomedis Hewan di Sekolah Pascasarjana IPB. Selama studi S3 penulis mendapat bantuan beasiswa dari Program Pascasarjana Kementrian Negara Riset dan Teknologi (KMNRT).
(20)
(21)
Halaman
DAFTAR TABEL ………
xviDAFTAR GAMBAR ………
xviiDAFTAR LAMPIRAN ………
xviiiPENDAHULUAN ………
11. Latar Belakang ……….. 1
2. Perumusan Masalah ………... 4
3. Tujuan Penelitian ………... 4
4. Hipotesis ……… 5
5. Manfaat Penelitian ………. 5
6. Kebaruan ………... 6
7. Ruang Lingkup Penelitian ………. 6
TINJAUAN PUSTAKA ………
71. Mastitis ……….. 7
2. Patogenesa Mastitis ………... 8
3. Mastitis Subklinis ……….. 9
4. Streptococcus agalactiae ………... 11
5. Sistem Imun ………... 14
6. Radiasi ………... 15
7. Vaksin Iradiasi Sinar Gamma ………... 15
BAHAN DAN METODE ………
191. Tempat dan Waktu Penelitian ………... 19
2. Sampel Susu ……….. 19
3. Pemeriksaan Mastitis Subklinis Secara Tidak Langsung ……….. 19
4. Pemeriksaan Mastitis Subklinis Secara Langsung ……… 20
5. Identifikasi dan Isolasi S. agalactiae……….. 20
5.1. Pemeriksaan Morfologi Koloni Bakteri ………. 21
(22)
5.3. Uji Katalase ……… 22 5.4. Uji Christie, Atkins and Munch-Petersen (CAMP) ..………. 22 5.5. Uji Serogrup S. agalactiae ………. 23 5.6. Ekspresi Fenotipe SGB in vitro……….. 23
5.7. Uji Hemaglutinasi ……….. 24
6. Orientasi Dosis Iradiasi Sinar Gamma SGB untuk LD50 ……….. 24
7. Karakterisasi Antigenik Permukaan SGB dengan SDS PAGE …………. 25 8. Uji Patogenitas dan Imunitas dengan Hewan Model Mencit ……… 26 9. Aplikasi Kandidat Vaksin Iradiasi Terpilih pada Kambing Perah ……… 27
10. Rancangan Penelitian ……… 27
HASIL DAN PEMBAHASAN ………
291. Kejadian Mastitis Subklinis di Daerah Pengambilan Sampel Susu …….. 29 2. Isolat SGB Terpilih sebagai Bahan Vaksin Iradiasi Mastitis Subklinis…. 33 3. Orientasi Dosis Iradiasi SGB untuk LD50 ... 43
4. Hasil Uji Patogenitas dan Imunitas pada Hewan Model Mencit ……….. 45 5. Hasil Uji Respon Imun dan Produksi Susu pada Kambing Perah……….. 51
SIMPULAN DAN SARAN ………
551. Simpulan ……… 55
2. Saran ……….. 55
DAFTAR PUSTAKA
………
57(23)
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Kejadian MSK pada Wilayah Cisurupan, Bayongbong dan KUNAK…… 30
2. Jumlah Mikroba dalam Sampel Susu dari Uji Total Plate Count (TPC)…. 32 3. Presentasi Kehadiran Streptococcus sp. pada Susu dengan Uji Katalase… 36 4. Jumlah Isolat S. agalactiae dengan uji CAMP ………... 36 5. Jumlah Isolat S. agalactiae dari Uji Grouping Kit………. 38 6. Pola Pertumbuhan S. agalactiaepada Media SA, SSA dan THB ……….. 39 7. Pengamatan persen viabilitas SGB akibat iradiasi sinar gamma pada
berbagai dosis untuk LD50……….. 43
8. Hasil perhitungan kelenjar mamae mencit pada empat kelompok
(24)
(25)
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Phenomena “Gunung es” pada mastitis subklinis……… 10
2. Hasil CMT memperlihatkan kekentalan yang terbentuk akibat
pencampuran susu dengan reagen uji ………... 30 3. Tampilan koloni Streptococcus sp. pada media BAP ………... 34 4. Pola hemolisis Streptococcus sp. pada media BAP ………... 34 5. Tampilan mikroskopik Streptococcus sp. Gram positif ………... 35 6. Hasil uji CAMP positif dan negatif ………... 37 7. Bentuk koloni S. agalactiae pada media SA dan SSA ………... 40 8. Perhitungan Dosis Iradiasi gamma untuk melemahkan SGB
sampai taraf LD50 ………. 43
9. Visualisasi pita protein SGB iradiasi 0 Gy dan 17 Gy
pada BM 75 – 225 kDa………. 44 10. Gambaran Histopatologi Kelenjar Mamae Mencit Kelompok Kontrol…… 47 11. Gambaran Histopatologi Kelenjar Mamae Mencit Kelompok Vaksin……. 47 12. Gambaran Histopatologi Kelenjar Mamae Mencit Kelompok
Vaksin+Tantang ……….. 48 13. Gambaran Histopatologi Kelenjar Mamae Mencit Kelompok Tantang…... 48 14. Titer Ig-G kelompok mencit yang divaksin SGB iradiasi
dibanding kelompok mencit kontrol ……… 50 15. Titer Ig-G kelompok vaksin SGB iradiasi kemudian ditantang
dibandingkan dengan kelompok kontrol ……….. 50 16. Konsentrasi Ig-G serum kambing yang telah divaksin
dengan SGB iradiasi dibandingkan dengan kontrol ………. 51 17. Produksi susu kambing pada kelompok vaksin iradiasi SGB post-partus… 52
(26)
(27)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Identifikasi S. agalactiae Grup-B ……… 67
2. Karakterisasi SGB tanpa kapsul, keberadaan Antigen Protein dan
Hemaglutinin positif (Hn+) ………... 68
3. Pengamatan Pertumbuhan SGB Hn+ ………... 69 4. Prosedur Orientasi Dosis Iradiasi untuk Penentuan LD50………. 70
5. Iradiator Gamma Chamber dengan Sumber Isotop 60Co ………... 71 6. Jadwal Perlakuan dan Parameter Penelitian pada Hewan Model Mencit... 72 7. Pembuatan Preparat Histopatologi Kelenjar Mamae Mencit ………... 73 8. Ekstraksi Antigen SGB untuk coating Ag pada ELISA ……… 75 9. ELISA untuk Titer Antibodi Ig-G ………. 76
(28)
(29)
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Usaha peternakan mempunyai potensi untuk dapat berkembang pesat di Indonesia, mengingat cukupnya ketersediaan pakan dan keragaman jenis ternak yang ada. Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan konsumsi protein hewani bagi penduduk Indonesia adalah dengan mengembangkan peternakan sapi perah, yang telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda hingga saat ini (Subandriyo dan Adiarto 2009). Hal ini terlihat dengan meningkatnya populasi sapi perah dari tahun ke tahun, yaitu dari 369.008 ekor pada tahun 2006 menjadi 457.577 ekor pada tahun 2008, dan terus meningkat menjadi 597.129 ekor pada tahun 2011 (Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011). Kesadaran masyarakat yang meningkat tentang nilai gizi serta kebutuhan konsumsi akan protein hewani, khususnya susu juga turut mendukung berkembangnya usaha peternakan rakyat. Susu merupakan sekresi yang dihasilkan oleh kelenjar mamae mamalia termasuk manusia, dan merupakan bahan makanan sempurna serta mempunyai nilai gizi yang tinggi. Bayi membutuhkan susu sebagai satu-satunya bahan makanan dalam beberapa bulan di awal kehidupannya. Hingga saat ini susu sapi masih dianggap sebagai sumber makanan utama yang dapat menggantikan air susu ibu (ASI). Susu sapi merupakan bahan makanan istimewa bagi manusia karena kelezatan dan komposisinya yang ideal yaitu mengandung banyak zat yang dibutuhkan oleh tubuh seperti lemak, protein terutama casein, laktosa, vitamin, mineral seperti kalsium, dan lain-lain (De Laval 2008, Mirdhayati dkk. 2008). Konsumsi susu penduduk Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun, yaitu 6,50 kg/ kapita/ tahun pada tahun 2004 menjadi 16,42 kg/ kapita/ tahun pada tahun 2010. Meningkatnya konsumsi susu tentu saja diikuti oleh peningkatan permintaan, tetapi pemenuhan permintaan susu dari produksi dalam negeri hanya dapat memasok 23% saja, dan selebihnya berasal dari substitusi impor (Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011). Hal tersebut menunjukkan bahwa produksi susu di Indonesia masih kurang.
(30)
2
Kendala yang sering menghambat keberhasilan suatu usaha peternakan adalah serangan penyakit. Salah satu penyakit penting yang dapat menurunkan produksi susu pada ternak sapi perah yaitu Mastitis yang dikenal juga sebagai penyakit radang kelenjar air susu (mamae). Penurunan produksi susu merupakan masalah bagi peternak sapi perah Indonesia yang umumnya hanya memelihara 3-4 ekor sapi tiap peternak. Sebagian besar peneliti setuju bahwa kerugian ekonomi akibat mastitis pada usaha sapi perah minimal sebanyak 70% yang diakibatkan oleh penurunan produksi susu dan dibuangnya susu yang berasal dari sapi mastitis (Bogni et al. 2011). Penyakit mastitis secara garis besar dibagi menjadi 2 tipe, pertama yaitu mastitis klinis yang menunjukkan gejala kesakitan pada mamae ternak maupun kerusakan pada susu, dan kedua adalah mastitis subklinis yang tidak menampakkan gejala peradangan pada mamae kecuali bila dilakukan pemeriksaan pada air susu dengan uji khusus contohnya California Mastitis Test (CMT) (Dirkeswan. 2001). Sebagaimana negara-negara lain, di Indonesia-pun kasus yang lebih banyak terjadi yaitu mastitis subklinis (Supar 1997, Subronto 2003, Hashemi et al. 2011). Kasus mastitis terutama mastitis subklinis di Indonesia sampai akhir tahun 2006, tercatat sekitar 75% - 83% (Sudarwanto dkk. 2006).
Mastitis dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yakni cara pemerahan yang salah, sanitasi yang buruk, kandang yang kurang bersih dan lantai kandang yang tidak memenuhi persyaratan untuk sapi perah. Penyebaran penyakit ini dapat melalui pemerahan yang tidak mengindahkan kebersihan, alat pemerahan, kain pembersih puting dan pencemaran dari lingkungan. Kuman penyebab mastitis dari kandang yang kotor akan masuk ke dalam mamae melalui lubang dan kanal puting saat pemerahan atau ketika sapi duduk di lantai kandang. Kuman yang potensial menyebabkan mastitis adalah Streptococcus agalactiae, Streptococcus digalactiae, Steptococcus uberis dan Staphylococcus aures (Dirkeswan. 2001). Streptococcus agalactiae adalah salah satu agen utama penyebab mastitis subklinis pada sapi perah. Hasil studi Estuningsih dkk. (2002) menyebutkan bahwa 83 isolat bakteri yang diisolasi dari 3 area peternakan sapi perah di pulau Jawa, seluruhnya teridentifikasi sebagai Streptococcus agalactiae. S. agalactiae memiliki nama lain yaitu Streptococcus
(31)
Grup- B (SGB). S. agalactiae lebih banyak dikenal di dalam dunia kedokteran hewan sedangkan SGB populer di kedokteran manusia. Diketahui pula bahwa S. agalactiae grup B (SGB) merupakan bakteri utama penyebab mastitis subklinis pada sapi perah dan merupakan parasit obligat pada mamae (Wahyuni dkk. 2006). S. agalactiae juga dilaporkan dapat menginfeksi anjing, babi, kelinci, kuda, dan merpati. Bakteri ini menyebabkan abortus dan servitis pada kuda dan babi, bahkan dapat menyerang ikan (Pasaribu et al. 1993, Evans et al. 2006).
Berbagai macam antibiotik untuk mengatasi permasalahan mastitis telah banyak digunakan seperti penisilin, streptomisin, ampisilin, kloksasilin, dan lain sebagainya. Pengobatan mastitis dengan menggunakan antibiotik terutama ditujukan untuk membunuh bakteri penyebab mastitis, namun dengan banyaknya macam obat antibiotik yang dipergunakan dan cara pemberian dosis yang tidak terkontrol, maka dikhawatirkan menimbulkan permasalahan baru berupa resistensi kuman penyebab mastitis (Wu et al. 2007) dan terdapat residu obat pada susu yang dihasilkan. Hasil penelitian Sudarwanto dkk. (1992) menunjukkan 32,52% susu pasteurisasi dan 31,10% susu segar di wilayah Jakarta, Bogor dan Bandung mengandung residu antibiotik dalam jumlah yang cukup tinggi. Keberadaan residu antibiotik pada susu yang dikonsumsi dapat menyebabkan terjadinya reaksi alergis dan gangguan terhadap mikroflora saluran pencernaan manusia yang mengkonsumsi susu tersebut. Susu yang akan diekspor-pun diharuskan bebas dari residu antibiotik oleh negara pengimpor. Penggunaan dan pemilihan antibiotik yang tidak tepat, ditinjau dari aspek indikasi, dosis, waktu dimulainya dan lamanya terapi, serta penggunaan kombinasi antibiotik dapat mempercepat terjadinya resistensi bakteri. Mastitis subklinis yang disebabkan oleh bakteri Gram posisif semakin sulit ditangani dengan antibiotik karena bakteri ini sudah banyak yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotik (Wibawan 1998, Maricato et al. 2005).
Peternak sudah mengetahui cara pencegahan penyakit mastitis, yaitu sistem pemeliharaan dan manajemen pemerahan yang baik, termasuk melakukan teat dipping pada sapi-sapi setelah pemerahan. Namun demikian kasus mastitis subklinis masih saja banyak terjadi di Indonesia. Keberadaan masalah resistensi bakteri
(32)
4
terhadap antibiotik dan residunya pada susu, serta masih banyaknya kejadian mastitis subklinis, maka menjadikan perlu untuk mencari alternatif lain dalam pencegahan penyakit ini, salah satunya dengan pembuatan vaksin. Pemanfaatan iradiasi dalam pembuatan vaksin dimaksudkan untuk melemahkan patogenitas S. agalactiae sebagai bakteri dominan penyebab mastitis, namun bakteri ini diharapkan masih dapat menimbulkan respon tanggap kebal sebagai bahan vaksin iradiasi. Sumber-sumber sinar gamma yang digunakan untuk iradiasi kandidat vaksin dihasilkan dari radioisotop 60Co. Penggunaan sinar gamma memiliki keunggulan dibandingkan dengan teknik konvensional seperti pemanasan atau penggunaan zat kimia. Sinar gamma yang menembus tidak merusak dinding sel bakteri tempat protein antigenik sehingga mampu mempertahankan imunogenitasnya (Kochman 2006). Sel yang terpapar radiasi gamma akan kehilangan kemampuan replikasinya di dalam tubuh inang, namun tidak menghentikan aktivitas metaboliknya. Sel tetap mempunyai metabolik aktif, sehingga mampu menghasilkan senyawa imunogenik untuk menstimulasi respon imun protektif pada inang (Sanakkayala 2005).
2. Perumusan Masalah
Berbagai aspek mengenai mastitis secara umum telah banyak diteliti tetapi belum ada cara pencegahan mastitis yang efektif diaplikasikan pada ternak sapi perah, sehingga kasus mastitis subklinis yang merugikan masih tetap terjadi di Indonesia. Penelitian ini mencoba turut berkontribusi dalam penyelesaian masalah tersebut dengan pembuatan bahan vaksin iradiasi dari bakteri terpilih S. agalactiae untuk pencegahan mastitis subklinis pada ternak ruminansia.
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kandidat vaksin guna pencegahan mastitis subklinis pada ruminansia dengan memanfaatkan teknik radiasi terhadap bakteri dominan penyebab mastitis subklinis S.agalactiae.
(33)
1. Mengisolasi S. agalactiae sebagai bakteri terpilih dengan sifat-sifat atau karakter yang cocok untuk bahan vaksin iradiasi mastitis subklinis.
2. Orientasi dosis iradiasi sinar gamma untuk melemahkan S. agalactiae Group -B sampai taraf lethal dose 50% (LD50).
3. Menguji pengaruh iradiasi SGB dengan mempelajari patogenitasnya pada mencit.
4. Menguji imunitas hewan coba mencit dan kambing perah setelah divaksin dengan SGB iradiasi.
4. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Diperoleh isolat lokal S. agalactiae dari kasus mastitis subklinis sebagai bakteri terpilih untuk bahan vaksin iradiasi MSK.
2. Iradiasi sinar gamma dapat melemahkan bakteri S. agalactiae Group-B sampai taraf LD50.
3. Kandidat vaksin iradiasi SGB tidak bersifat patogen pada hewan coba mencit namun menimbulkan kekebalan.
4. SGB iradiasi mampu menginduksi timbulnya respon imun pada hewan coba mencit dan kambing perah.
5. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini dapat memperoleh kandidat vaksin SGB terpilih dengan karakter yang cocok sebagai bahan vaksin mastitis subklinis.
2. Teknik nuklir iradiasi sinar gamma dapat bermanfaat untuk melemahkan dan menghilangkan patogenitas SGB tetapi masih mampu menimbulkan respon imun pada hewan percobaan yang digunakan.
3. Hasil akhir penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pencegahan penyakit mastitis subklinis pada ternak perah, sehingga dapat meningkatkan
(34)
6
produksi susu sebagai sumber protein hewani dalam mendukung ketahanan pangan di Indonesia.
6. Kebaruan
Kebaruan dari penelitian dalam disertasi ini adalah aplikasi teknik nuklir untuk vaksin iradiasi S. agalactiae dalam pencegahan mastitis subklinis. Pemanfaatan iradiasi sinar gamma dimaksudkan untuk mengatenuasi bakteri S. agalactiaeGroup-B sebagai bakteri dominan penyebab mastitis subklinis, namun kandidat vaksin ini diharapkan masih dapat menimbulkan respon imun pada ternak perah.
7. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian terdiri dari empat tahap. Pertama dilakukan isolasi dan identifikasi isolat S. agalactiae yang termasuk ke dalam group-B (SGB) yang tidak berkapsul dan memiliki sifat Hemaglutinin (Hn+). Bakteri terpilih diperoleh dari sampel susu sapi perah yang mengalami mastitis subklinis dengan uji tapis CMT. Tahap kedua yaitu atenuasi SGB terpilih dengan teknik iradiasi sinar gamma dari sumber isotop Cobalt-60 (60Co). Orientasi dosis iradiasi dilakukan untuk melemahkan bakteri SGB sampai taraf Lethal dose 50% (LD50) dalam
pembuatan vaksin hidup. Karakterisasi Protein permukaan SGB iradiasi ini menggunakan metode SDS-PAGE untuk mengetahui berat molekul (BM) yang masih bersifat antigenik pada kandidat vaksin iradiasi SGB. Tahap ketiga adalah uji patogenitas vaksin iradiasi SGB dan respon imun pada hewan coba mencit. Tahap keempat merupakan aplikasi kandidat vaksin iradiasi SGB pada kambing perah untuk uji respon imun dan pengaruhnya terhadap produksi susu.
(35)
TINJAUAN PUSTAKA
1.Mastitis
Mastitis merupakan peradangan di dalam parenkim kelenjar mamae, yang dapat menurunkan produksi dan kualitas susu. Penyakit ini tersebar luas pada peternakan perah di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia, sehingga mastitis menjadi penyakit utama pada sapi perah dan sangat merugikan (Supar dan Ariyanti 2008, Rinaldi et al. 2010).
Mastitis dapat disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari trauma mekanis pada kelenjar mamae atau puting susu, akibat mikroorganisme patogen, hingga kekurangan unsur nutrisi pada pakan ternak. Sebagian besar kasus mastitis disebabkan oleh mikroorganisme patogen, diantaranya Streptococcus agalactiae, S. disgalactiae, S. uberis, S. zooepidemicus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Enterobacter aerogenes, Pseudomonas aeruginosa (Dirkeswan 2001).
Berdasarkan perubahan patologi anatomi kelenjar mamae, mastitis dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu mastitis klinis (MK) dan mastitis subklinis (MSK) (Hashemi et al. 20011). Perubahan patologi mastitis klinis dapat jelas digambarkan dari perubahan patologi anatomis kelenjar mamae dan air susu. Kelenjar mamae membengkak edematus berisi cairan eksudat, disertai tanda-tanda peradangan lainnya (kemerahan, terasa panas, kesakitan dan penurunan fungsi). Perubahan penting yang terjadi di dalam susu mencakup perubahan warna, konsistensi dan penurunan jumlah produksi susu.
Mastitis subklinis tidak menampakkan perubahan patologi anatomis, sehingga perlu pemeriksaan khusus. Diagnosa mastitis subklinis hingga sekarang dilakukan berdasarkan pada pemeriksaan sampel susu serta perubahan komposisi susu untuk mengenali tanda peradangannya (Malinowski et al. 2006, Mirdhayati dkk. 2008).
(36)
8
2. Patogenesa Mastitis
Mastitis merupakan peradangan internal mamae yang sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (80% disebabkan oleh bakteri) terutama pada kasus mastitis subklinis (Lukman et al. 2009). Menurut Jayarao (2006) ada 3 faktor utama yang berperan dalam terjadinya mastitis yaitu kondisi hewan/ternak, kondisi lingkungan dan agen penyebab.
Duval (1997) menjelaskan bahwa proses infeksi pada mastitis terjadi melalui beberapa tahap, yaitu adanya kontak dengan mikroorganisme dimana sejumlah mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter), kemudian dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme akibat lubang puting yang terbuka ataupun karena adanya luka. Tahap berikutnya, terjadi respon imun pada induk semang. Respon pertahanan pertama ditandai dengan berkumpulnya leukosit-leukosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang telah menempel pada sel-sel mamae. Apabila respon ini gagal, maka mikroorganisme akan mengalami multiplikasi dan sapi dapat memperlihatkan respon yang lain, misalnya demam. Hal ini kembali pada daya tahan tubuh ternak. Ternak yang dipengaruhi kondisi lingkungan yang buruk dan berkembangnya mikroorganisme akan memudahkan terjadinya mastitis.
Penularan mastitis dari mamae yang terinfeksi ke mamae yang sehat dapat terjadi melalui peralatan pemerahan yang kotor, higiene personal yang buruk dari pemerah dan urutan pemerahan yang salah (Jayarao, 2006).
Sori et al (2005) menyatakan bahwa saat periode kering kandang merupakan masa awal kuman penyebab mastitis menginfeksi, karena pada saat itu terjadi hambatan aksi fagositosis dari neutrofil pada mamae. Proses mastitis hampir selalu dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke dalam kelenjar melalui lubang puting (sphincter puting). Sphincter puting berfungsi untuk menahan infeksi kuman. Pada dasarnya, kelenjar mamae atau mammae sudah dilengkapi perangkat pertahanan, sehingga air susu tetap steril. Namun tingkat pertahanan kelenjar mammae mencapai titik terendah saat sesudah pemerahan, karena sphincter masih terbuka beberapa saat, sedangkan sel darah putih, antibodi serta enzim juga habis karena ikut terperah.
(37)
Disamping faktor-faktor mikroorganisme yang terdiri dari berbagai jenis, jumlah dan virulensinya, faktor ternak dan lingkungannya juga menentukan mudah tidaknya terjadi radang mamae pada sapi perah. Faktor predisposisi radang mamae dilihat dari segi ternak, meliputi : bentuk mamae, misalnya mamae yang sangat menggantung, atau mamae dengan lubang puting terlalu lebar (Subronto 2003). Demikian pula bentuk puting, ada dan tidaknya lesi pada puting mempengaruhi kejadian mastitis. Hasil penelitian Sori et al. (2005) menunjukkan bahwa prevalensi mastitis pada puting pendulous mencapai 77,78%, sedangkan pada puting non pendulous mencapai 50%. Puting yang mengalami lesi memungkinkan prevalensi mastitis sebesar 84%, sedangkan pada puting normal sebesar 47,74%.
Letak kuartir juga mempengaruhi kejadian mastitis. Kuartir kiri belakang dan kanan depan lebih sering mengalami mastitis daripada kedua puting lainnya. Pada kiri belakang, mastitis mencapai 34,3%, sedangkan kanan depan mencapai 30,06% (Sori et al. 2005).
Faktor umur dan tingkat produksi susu sapi juga mempengaruhi kejadian mastitis. Semakin tua umur sapi dan semakin tinggi produksi susu, maka semakin mengendur pula spinchter putingnya. Puting dengan spincter yang kendur memungkinkan sapi mudah terinfekesi oleh mikroorganisme, karena fungsi spinchter adalah menahan infeksi mikroorganisme. Semakin tinggi produksi susu seekor sapi betina, maka semakin lama waktu yang diperlukan spinchter untuk menutup sempurna (Subronto 2003).
Faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan yang banyak mempengaruhi terjadinya radang mamae meliputi : pakan, perkandangan, banyaknya sapi dalam satu kandang, ventilasi, sanitasi kandang dan cara pemerahan susu. Pada ventilasi yang buruk, mastitis mencapai 87,5%, sedangkan ventilasi yang baik mencapai 49,39% (Sori et al. 2005).
3. Mastitis Subklinis
Definisi mastitis subklinis menurut International Dairy Federation (IDF) adalah mastitis yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel somatik (> 400.000/ml
(38)
10
susu) dan ditemukan bakteri patogen pada susu yang berasal dari kwartir dalam masa laktasi normal. Kejadian mastitis subklinis diperkirakan 20-50 kali kejadian mastitis klinis. Hal ini sering digambarkan sebagai Fenomena Gunung Es atau Iceberg Phenomena (Lukman et al. 2009).
Gambar 1. Phenomena “Gunung es” pada mastitis subklinis (Hurley and Morrin 2000). Kejadian mastitis subklinis pada sapi perah di Indonesia sangat tinggi (97-98%) dan menimbulkan banyak kerugian (Sudarwanto, 1999). Pada kejadian MSK tersebut S.agalactiae merupakan agen penyebab yang sering ditemukan (Pasaribu et al. 1994). Hal yang sama diiungkapkan Supar (1997) yang telah melakukan penelitian intensif pada beberapa tempat peternakan sapi perah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Diketahui prevalensi mastitis subklinis berkisar antara 37% sampai 67%, sedangkan mastitis klinis lebih rendah yaitu 5% sampai 30%. Survei yang dilakukan oleh Supar dan Ariyanti (2008) pada mastitis subklinis juga didominasi oleh bakteri S. agalactiae yaitu sebanyak 60,6%. Diketahui pula bahwa S. agalactiae Group B merupakan agen kontagius patogen yang menyebabkan mastitis subklinis pada sapi perah secara umum di dunia (Bogni et al. 2011).
(39)
4. Streptococcus agalactiae
S. agalactiae merupakan jenis bakteri yang termasuk ke dalam famili Streptococcaceae dari ordo Lactobacillales. Bakteri ini berbentuk bulat (coccus) dan tersusun seperti rantai yang panjangnya bervariasi, diameter selnya sekitar 0,6-1,2 µm. Sifatnya Gram positif yang terlihat berwarna keunguan pada pewarnaan Gram, non motil, tidak membentuk spora, dan dapat membentuk kapsul. Sifat lainnya adalah katalase negatif, anaerob fakultatif, oksidase negatif, dapat memfermentasikan beberapa jenis karbohidrat namun tidak menghasilkan gas (Carter 1984, Quinn et al. 2006).
Tahun 1896 Lehman dan Naumann mengklasifikasikan bakteri ini berdasarkan taksonomi sebagai berikut (Bruckner and Colonna 1997):
Kingdom : Bacteria Filum : Firmicutes Kelas : Bacilli
Ordo : Lactobacillales Famili : Streptococcaceae Genus : Streptococcus Spesies : S. agalactiae
Biakan S. agalactiae yang ditumbuhkan pada media agar darah terlihat membentuk koloni-koloni halus, basah, konveks, terang tembus, dan menghemolisis sel darah merah. Hemolisis yang ditimbulkan berupa -hemolisis, dan beberapa tidak menghemolisis (Daignault 2003). Strain yang menghemolisis darah hanya mengasilkan zona hemolitik tidak lebih dari 1 mm pada agar darah, sedangkan yang tidak menghemolisis dapat menghasilkan pigmen bewarna kehijauan pada media agar darah.
Secara umum Streptococcus sp memiliki antigen terstruktur pada permukaannya seperti kapsul, dinding sel, dan antigen protein. Keberadaan antigen polisakarida pada dinding sel dijadikan sebagai dasar pengklasifikasian genus Streptococcus sp. kedalam grup-grup. Penentuan grup-grup tersebut berdasarkan
(40)
12
serologis dari antigen polisakarida yang ditemukan oleh Lancefield pada 1933. Terdapat sekitar 20 grup Streptococcus sp sampai saat ini yang dinamai sesuai abjad mulai dari A-V; S. agalactiae dikelompokan kedalam grup B oleh Lancefield. Pengelompokan ini didasari oleh substansi C polisakarida spesifik yang terdapat pada diding sel (Cowan 2003). Secara serologis Grup ini dikelompokan lagi kedalam serotipe-serotipe. Serotipe tersebut berdasarkan antigen polisakarida dan antigen protein yang dihasilkan. Beberapa serotipe tersebut terdiri dari 9 serotipe yang berbeda antara lain 1a, 1b, II, III, IV, V, VI, VII, VIII dari antigen polisakarida dan c, R dan X berdasarkan antigen proteinnya (Henrichsen et al. 1984). Wibawan dan Lammler (1991) menyatakan isolat S. agalactiae dapat memiliki serotipe dengan antigen poliskarida dalam bentuk kombinasi atau hanya berdiri sendiri tanpa antigen protein, misalnya Ia/c, II/X. Ada juga isolat yang belum bisa diklasifikasikan kedalam serotipe yang ada disebut sebagai nontypeable (NT). Antigen protein X dominan ditemukan pada S. agalactiae yang diisolasi dari sapi sedangkan antigen protein R lebih banyak ditemukan pada S. agalactiae yang berasal dari manusia. Kedua antigen ini erat hubungannya dengan patogenitas bakteri terhadap inangnya (Wibawan 1990). Wahyuni et al. (2006) menyimpulkan dari beberapa tempat di pulau jawa S. agalactiae yang berasal dari mamae yang menderita masititis subklinis ditemukan sebanyak 52% didominasi oleh S. agalactiae serotipe NT dan protein antigen yang muncul paling banyak adalah antigen protein X.
Keberhasilan bakteri melakukan infeksi terhadap sel inangnya ditentukan oleh adanya faktor virulensi. Bakteri akan berpenetrasi dengan menggunakan faktor virulrensi untuk mempengaruhi targetnya. Faktor virulensi yang penting bagi bakteri antara lain adalah kapsul. Kapsul bakteri tersusun oleh asam hyaluronat seperti yang ditemukan pada struktur dasar jaringan ikat pada mamalia. Kapsul polisakarida sebagai antigen permukaan dan asam hyluronat sebagai produk ektraseluler akan meningkatan kemampuan virulensi bakteri (Hayati dan Karmil 2009). Terhambatnya kerja komplemen oleh kapsul S. agalactiae akan menghambat aktivitas fagositosis oleh makrofag sehingga tidak dapat menfagosit bakteri. Peranan kapsul juga sebagai antifagositik dan antigen yang tidak imunogenik.
(41)
Virulensi dari Streptococcus sp dipengaruhi oleh pemukaan sel, sekresi protein yang dihasilkan dan strukturnya yang secara langsung atau tidak langsung dapat menghambat fagositosis, terlibat dalam proses adhesi dan mengakibatkan pelepasan sitokin proinflamasi (Timoney and Kumar 2010).
Streptococcus juga memiliki komponen nonstruktural seperti protein antigen. Protein tersebut dihasilkan selama masa perkembangbiakan dan membantu selama proses infeksi. Protein ini berupa enzim ekstraseluler hasil metabolisme seperti hemolisin, streptokinase, nuklease, protease, dan hyaluronidase. Hemaglutinin sebagai adhesin pada permukaan bakteri berperan mempengaruhi tingkat virulensi (Wahyuni dkk. 2005).
Adhesi adalah kemampuan menempelnya bakteri pada permukaan mukosa yang bersifat irreversibel dan stabil. Kemampuan bakteri untuk menempel (adhesi) pada sel inang diperantarai oleh komponen adesin bakteri yang membantu perlekatan bakteri pada reseptor spesifik dari sel inang. Sifat hidrofobitas permukaan bakteri berperan dalam mekanisme perlekatan dengan sel inang. Sifat ini dipengaruhi oleh jumlah protein permukaan. Semakin hidrofobik permukaan sel maka akan semakin tinggi kemampuan adhesi pada sel inang (Lämmler et al. 1998).
Derajat hidrofobitas permukaan S. agalactiae dapat ditentukan secara langsung dengan melihat pertumbuhan koloni pada media padat, cair dan agar lunak (soft agar). Koloni yang tumbuh dengan permukaan yang kasar pada media agar dan kompak pada agar lunak merupakan bakteri yang bersifat hidrofob, sedangkan bakteri yang tumbuh difus pada media agar lunak dan permukaan mukoid pada media padat menunjukan sifat yang hidrofil (Wibawan dan Lämmler 1992).
Hasil kajian Wibawan et al. (1993) menyebutkan bahwa S. agalactiae yang memilki hemaglutinin mempunyai kamampuan adhesi yang lebih besar daripada yang tidak mempunyai hemaglutinin pada sel epitel mamae. Kemampuan menempel bakteri tampaknya lebih penting dari pada kemampuan invasi bakteri ke dalam jaringan dalam mekanisme infeksi, sehingga tidak dijumpai perubahan yang berarti pada jaringan mamae (Wibawan et al. 1998). Keberadaan protein hemaglutinin dengan kemampuan adhesi sel bakteri MSK pada sel epitel mamae mencit memiliki
(42)
14
keterkaitan, oleh karena itu ada peluang untuk pembuatan suatu produk pencegahan mastitis yang cukup besar (Dian dkk. 2010).
5.Sistem Imun
Manusia dan hewan multiseluler memiliki suatu sistem imun yang melindungi dirinya terhadap unsur-unsur patogen yang masuk ke dalam tubuh. Respon imun tubuh terhadap unsur-unsur patogen sangat bergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen yang terdapat pada permukaan unsur patogen, dan kemampuan dalam melakukan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan antigen. Kemampuan ini dimiliki oleh komponen-komponen sistem imun yang terdapat dalam jaringan limforetikuler yang letaknya tersebar di seluruh tubuh, misalnya di dalam sumsum tulang, kelenjar limfe, thymus, sistem saluran nafas, saluran cerna, peredaran darah dan organ-organ lain. Bila antigen masuk ke dalam tubuh, maka dapat terjadi dua macam reaksi imun yang berlainan, yaitu imun humoral dan imun seluler (Baratawijaya dan Rengganis 2009). Dalam reaksi imun humoral terjadi sintesa dan masuknya antibodi berupa Imunoglobulin (Ig) ke dalam aliran darah dan cairan tubuh lainnya (antibodi humoral). Antibodi ini akan mengikat dan menetralisir antigen, misalnya toksin kuman atau dapat membungkus kuman untuk persiapan fagositosis. Bila kita menyuntikkan antigen misalnya vaksin ke tubuh hewan percobaan, maka setelah beberapa hari sampai seminggu dapat ditemukan antibodi di dalam darah. Sel utama dalam hal ini adalah Sel-B yang diproduksi oleh sumsum tulang. Reaksi imun seluler ditengahi oleh sel-sel limfosit dan tidak tergantung pada antibodi. Seri reaksi yang terlibat dalam jenis imunitas ini dikaitkan dengan reaksi-reaksi sel sasaran efektor yang terlibat, terutama yang berkaitan dengan penolakan tumor. Pada masing-masing keadaan ini, antigen berada intraseluler atau karena tempatnya tidak dapat dicapai, sehingga reaksi antigen-antibodi tampak secara relatif tidak efisien. Sel utama yang berperan dalam hal ini adalah Sel-T yang dihasilkan oleh Thymus.
Pada masa-masa akhir kebuntingan hewan, antibodi dari darah dapat dikeluarkan dan masuk ke dalam kelenjar mamae berupa kolostrum susu. Imunoglobulin yang
(43)
paling banyak dalam kolostrum dari semua hewan piara adalah Ig G, yang meliputi 65-95% dari semua imunoglobulin yang ada. Sementara laktasi berkembang, kolostrum berubah menjadi susu, perbedaan terjadi diantara jenis hewan. Pada primata dan manusia, Ig A merupakan bagian terbanyak baik dalam kolostrum maupun susu. Pada ruminansia, Ig G1 merupakan imunoglobulin terbanyak baik dalam kolostrum maupun dalam susu (Tizard 1988).
6. Radiasi
Radiasi merupakan energi yang dipancarkan dalam bentuk partikel atau gelombang. Radiasi diklasifikasikan sebagai radiasi non pengion (energi rendah) atau pengion (energi tinggi). Jenis radiasi non pengion seperti sinar ultraviolet, cahaya tampak, radiasi inframerah, radiasi frekuensi radio dan gelombang mikro. Radiasi pengion dari matahari (sinar kosmik), bahan radioaktif, dan mesin X-ray. Empat jenis utama dari radiasi pengion (1) alpha partikel. bermuatan positif terdiri dari dua neutron dan dua proton, relatif berat dan bergerak lambat dari emisi radioaktif lainnya, (2) partikel beta merupakan partikel bermuatan negatif terdiri dari elektron dan lebih ringan serta cepat dibandingkan partikel alpha, (3) sinar gamma adalah radiasi gelombang elektromagnetik pendek yang dipancarkan oleh peluruhan radioaktif yang dipancarkan oleh atom dengan kecepatan tinggi dan mempunyai penetrasi yang tinggi pula, dan (4) sinar X mempunyai energi lebih rendah dan kemampuan penetrasinya kurang daripada sinar gamma. Sinar X yang dipancarkan berasal dari proses luar inti, sementara sinar gamma berasal dari inti (Soeminto 1989).
7. Vaksin Iradiasi Sinar Gamma
Sinar gamma berupa radiasi elektromagnetik panjang gelombang pendek yang dipancarkan oleh isotop radioaktif sebagai inti tidak stabil dan meluruh untuk mencapai bentuk stabil. DNA merupakan target selular yang mengatur hilangnya viabilitas setelah terpapar sinar gamma. Suatu materi hidup seperti sel, bila terkena sinar gamma akan mengalami kerusakan secara langsung atau tidak langsung. Efek
(44)
16
langsung adalah terjadinya pemutusan ikatan senyawa-senyawa penyusun sel. Efek tidak langsung terjadi karena materi sel terbanyak adalah air yang apabila terkena sinar gamma akan mengalami hidrolisis dan menghasilkan radikal bebas. Radikal bebaslah yang akan menyebabkan kerusakan materi sel. Target utama bagian sel adalah DNA yang merupakan sumber informasi genetik sel. Perubahan genetik sel akan berakibat pada terganggunya kinerja atau kematian sel (Alatas 2007).
Pemanfaatan sinar gamma umumnya digunakan untuk sterilisasi alat-alat medis dari cemaran bakteri (Trampuz et al. 2006), pengawetan makanan dan pengolahan jaringan allografts dan komponen darah, dan menghindarkan kebutuhan suhu tinggi yang dapat merusak suatu produk. Selain itu sinar gamma juga digunakan untuk membuat vaksin yang lebih efektif daripada pemanasan atau inaktivasi kimiawi.
Penelitian penggunaan vaksin yang dilemahkan dengan memberikan paparan radiasi pengion terhadap suspensi mikroorganisme dilakukan pada metaserkaria iradiasi yang mampu mengurangi jumlah Fasciola hepatica pada anak sapi, penggunaan radiasi sinar X pada larva stadium kedua yang menetas dari telur cacing paru Dictyocaulus viviparus penyebab pneumoni verminosa (Tizard 1988).
Penelitian vaksin iradiasi gamma untuk Venezuelan equine encephalitis (VEE) telah menginduksi dengan tinggi serum netralisasi dan antibodi hemaglutinin-inhibisi pada marmut dan kelinci. Percobaan vaksin iradiasi ini pada kultur jaringan menyebabkan sel-sel dapat bertahan hidup sampai taraf Lethal dose-50 (LD50)
terhadap virus VEE tantangan (Reitman et al. 1970).
Vaksin lain dengan teknik iradiasi yaitu Vaksin bakteri Listeria monocytogenes iradiasi yang dapat meningkatkan respon imun dibandingkan teknik konvensional. Bakteri diiradiasi mendorong respon pelindung dari sel sistem kekebalan sel T (Kochman 2006). Sinar gamma juga digunakan untuk melemahkan Plasmodium (WHO 2001).
Tanggap kebal sapi terhadap Fasciolosis akibat inokulasi metaserkaria Fasciola gigantica iradiasi sinar gamma dosis 45 Gy telah diteliti oleh Arifin (2006). Hasil analisis ELISA dari penelitian tersebut menunjukkan titer Ig-G lebih tinggi
(45)
pada sapi yang diinokulasi metaserkaria F. gigantica iradiasi dibandingkan dengan sapi kontrol. Sinar gamma yang dimanfaatan untuk inaktivasi yaitu radiasi elektromagnetik panjang gelombang pendek yang memiliki kemampuan penetrasi tinggi dan memiliki karakteristik tanpa memberikan radiaoaktivitas pada materi yang terpapar (Hall & Giaccia 2006).
Prospek vaksin iradiasi gamma untuk influenza sangat baik karena vaksin inaktif ini dapat diproduksi dengan aman. Inaktifasi vaksin dengan dosis 10 kGy mempunyai potensi respon imun perlindungan silang dalam melawan heterotipe virus tantangan. Iradiasi gamma ini juga mempunyai kemampuan tinggi dalam inaktifasi virus-virus dengan keuntungan yaitu perubahan yang sangat minim pada protein molekuler dan struktur virus. Dengan adanya perlindungan silang, maka produksi vaksin bisa lebih murah. (Alsharifi dan Mullbacher 2009).
Efek metode inaktifasi dengan sinar gamma pada virus influenza-A yang dapat menginduksi perlindungan silang pada beberapa subtipe virus dan persiapan vaksin komersial ini juga dilakukan oleh Furuya et al. (2010).
Fenomena perlindungan silang terhadap beberapa subtipe virus influenza akibat vaksin iradiasi gamma sebagaimana tersebut di atas, kemungkinan dapat terjadi pula pada vaksin iradiasi SGB karena sama-sama memiliki beberapa subtipe.
(46)
(47)
BAHAN DAN METODE
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Kegiatan dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Medik, Fasilitas Kandang Bagian Hewan Coba untuk hewan model mencit dan Laboratorium Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan - IPB. Perlakuan iradiasi bahan vaksin SGB dilakukan dalam iradiator Gamma chamber dengan sumber isotop 60Co, di Balai Iradiasi, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Jakarta. Aplikasi kandidat vaksin iradiasi SGB dilakukan pada peternakan kmamae perah Bangun Dioro Farm, desa Palasari, Kabupaten Bogor.
Penelitian dilakukan sejak Januari 2010 sampai Februari 2012.
2. Sampel Susu
Sampel susu diperoleh dari kasus mastitis subklinis sapi perah di peternakan rakyat yaitu Kawasan Usaha Ternak (KUNAK) Cibungbulang Kabupaten Bogor dan daerah Cisurupan serta Bayongbong Kabupaten Garut. Penapisan awal menggunakan California Mastitis Test (CMT) pada 65 ekor sapi perah dengan total sampel susu yang diambil dari tiap puting sapi adalah sebanyak 240 sampel, yang berasal dari Kunak (66 sampel), Cisurupan (97 sampel) dan Bayongbong (77 sampel).
3. Pemeriksaan Mastitis Subklinis Secara Tak Langsung.
Pengujian sampel susu di lapang dilakukan dengan menggunakan uji California Mastitis Test (CMT). Setiap sampel susu yang diambil dari setiap kuartir melalui pemerahan langsung ditempatkan pada paddle sesuai urutan kuartir. Uji CMT dimulai setelah susu dalam paddle ditambahkan dengan pereaksi CMT dengan perbandingan yang sama, kemudian dihomogenkan campuran susu dan reagen dengan cara menggoyang paddle secara searah selama 20 – 30 detik. Hasil campuran segera diamati kekentalannya maksimal dalam 30 detik (reaksi cenderung mengarah ke arah reaksi positif jika terlalu lama), kemudian diamati dengan bantuan tusuk gigi yaitu dengan menarik hasil campuran keatas. Ukuran kekentalan diukur dengan
(48)
20
positif I (tebentuknya lendir tipis), II (terbentuk lendir lebih kental), dan III (lendir sangat kental seperti massa gelatin). Sampel dengan kekentalan positif I, II dan III dipakai sebagai sampel untuk kandidat yang dikultur pada agar darah (Ruegg 2005).
4. Pemeriksaaan Mastitis Subklinis Secara Langsung
Uji dilakukan dengan metode Total Plate Count (TPC). Pemeriksaan sampel susu terhadap jumlah total bakteri yang dapat ditemukan dalam media Plate Count Agar (PCA). Sebanyak 1 ml sampel susu dimasukkan ke dalam pengencer NaCl fisiologis 9 ml, kemudian dihomogenkan selama 1 menit, campuran ini merupakan pengenceran ke-1 (10-1). Sebanyak 1 ml pengenceran 10-1 dipindahkan ke dalam 9 ml pengencer NaCl fisiologis pada tabung yang berbeda, dan campuran ini merupakan pengenceran ke-2 (10-2). Langkah ini terus dilakukan hingga pengenceran ke-6 (10-6). Pada penelitian ini digunakan metode hitungan cawan dengan cara tuang (pour plate method). Sebanyak 1 ml dari masing-masing pengenceran tersebut di atas dipupuk di dalam cawan petri steril yang telah diberi label sesuai dengan urutan pengenceran, kemudian ditambah dengan media PCA yang telah dicairkan sebanyak 18 ml (suhu 450C). Campuran dihomogenkan dengan membuat gerakan angka 8 pada cawan petri di tempat yang datar lalu didiamkan hingga memadat dan diinkubasi didalam inkubator pada suhu 350C selama 24-48 jam dengan posisi terbalik. Pencatatan terhadap pertumbuhan koloni dilakukan setelah 48 jam pada setiap cawan yang mengandung 25-250 koloni. Langkah ini dilanjutkan dengan penghitungan angka lempeng total dalam cawan tersebut dengan mengalikan jumlah rata-rata koloni pada cawan sesuai dengan faktor pengenceran yang digunakan (Lay 1994).
5. Identifikasi dan Isolasi S. agalactiae
Isolasi S. agalactiae berasal dari air susu yang menunjukkan reaksi CMT positif. Identifikasi terhadap keberadaan S. agalactiae berdasarkan morfologi koloni, morfologi sel bakteri dengan pemeriksaan mikroskopis dan pewarnaan Gram, uji
(49)
katalase dan keberadaan faktor Christie, Atkins dan Muence Petersen (CAMP) pada media agar darah (Quinn et al. 2006).
5.1.Pemeriksaan Morfologi Koloni Bakteri
Uji dilakukan pada media agar darah (Blood agar plate/ BAP. Kultur bakteri pada media BAP dilakukan secara aseptik untuk mencegah terjadinya pencemaran/kontaminasi pada media yang digunakan. Langkah pertama adalah memberikan label pada cawan-cawan petri yang telah berisi media Blood Agar Plate (BAP). Langkah berikutnya sampel susu kuartir diambil sebanyak 2 mata öse dan digoreskan pada agar darah. Penanaman bakteri secara aseptis dilakukan dalam kabinet laminair flow dekat nyala api bunsen. Agar darah yang telah ditanami sampel susu kuartir, lalu diinkubasi dalam inkubator selama β4 jam pada suhu γ7˚C. Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan koloni bakteri dan wilayah jernih di sekitar koloni (hemolisis). Bakteri Streptococcus memiliki bentuk koloni-koloni bulat halus, basah, cembung, terang tembus, dan menghemolisis sel darah merah. Hemolisis yang terjadi di sekeliling koloni bakteri dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu hemolisis alpha (α) berupa hemolisis sebagian yang ditunjukkan dengan zona kehijauan disekitar koloni; hemolisis beta ( ) berupa hemolisis komplit yang ditunjukkan dengan zona bening di sekeliling koloni, dan hemolisis gamma ( ) yang tidak menunjukkan perubahan warna di seputar koloni bakteri (Quinn et al. 2006).
5.2. Pemeriksaan Mikroskopi
Untuk menunjang pemeriksaan mikroskopi maka dilakukan pewarnaan Gram. Langkah awal dari pewarnaan Gram adalah mempersiapkan preparat yang akan diwarnai. Larutan NaCl fisiologis secukupnya diteteskan diatas gelas objek. Kemudian koloni bakteri sebanyak 1 Öse diambil dari media Blood Agar Plate (BAP) dan dicampurkan bersama NaCl fisiologis diatas gelas objek tadi. Pencampuran ini dilakukan dengan cara menggerakkan Öse memutar dari arah dalam dan makin lama
(50)
22
makin keluar. Selanjutnya campuran yang terdapat diatas objek gelas tadi difiksasi diatas bunsen yang menyala. Kemudian preparat ini diteteskan dengan zat warna kristal violet diatas gelas objek hingga preparat tertutup, langkah ini dilakukan selama 1 menit. Setelah itu ditambahkan lugol diatas preparat tadi selama 1 menit. Preparat kemudian dicuci dengan aquadest/air kran diatas bak pewarnaan. Pencucian dilanjutkan dengan aceton alkohol selama 15 detik. Preparat kemudian dibilas sekali lagi dengan aquadest/air kran hingga bersih. Pewarnaan kemudian dilanjutkan dengan meneteskan safranin selama 15 detik pada preparat tersebut dan kemudian dibilas lagi dengan aquadest/air kran hingga bersih. Preparat yang telah dibilas kemudian dikeringkan, lalu ditetesi dengan minyak emersi dan siap untuk diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x100 (Carter 1984). Koloni Streptococccus sp. akan terlihat berbentuk bulat (coccus), bergerombol membentuk rantai, berwarna ungu.
5.3 Uji Katalase
Uji ini dilakukan sebagai acuan untuk identifikasi bakteri yang berkarakteristik dapat memproduksi enzim katalase. Langkah yang pertama yaitu menyiapkan gelas objek atau cawan petri yang sebelumnya telah dibersihkan dengan alkohol 70% dan dikeringkan diatas api Bunsen. Pada gelas objek ini kemudian diteteskan reagen H2O2 3% sebanyak 1 tetes. Langkah berikutnya yaitu mengambil
koloni bakteri yang telah tumbuh dari Blood Agar Plate (BAP) sebanyak 1 Öse dan kemudian dicampurkan pada reagen H2O2 tadi. Reaksi memberikan hasil positif
apabila terbentuk gelembung-gelembung udara, sebaliknya reaksi memberikan hasil negatif apabila tidak terbentuk gelembung. Bakteri Streptococcus sp. akan memberikan hasil berupa katalase negatif (Lay 1994).
5.4. Uji Christie, Atkins, and Munch-Petersen (CAMP)
Uji CAMP dilakukan pada media agar darah. Koloni bakteri yang akan diuji adalah koloni bakteri yang telah dikultur ulang selama satu malam. Koloni S. aureus diambil dengan öse, digoreskan vertikal ditengah-tengah media agar darah sehingga membagi agar darah menjadi dua bagian sama besar. Koloni Streptococcus diambil
(51)
dengan ose kemudian digoreskan horizontal di sebelah kanan dan kiri goresan Staphylococcus aureus membentuk seperti garis tegak lurus. Jarak antara kedua goresan kira-kira 0.5 cm dari goresan Staphylococcus aureus. Setelah selesai, agar darah diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37 οC. Uji positif akan menunjukan zona bening seperti anak panah (arrow head) diantara kedua goresan bakteri tersebut (Allen-Mierl et al. 2006).
5.5. Uji Serogrup S. agalactiae
S. agalctiae dari mastitis subklinis umumnya termasuk Grup-B. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan Streptococcal Grouping kit (Oxoid®, England). Tiap isolat bakteri CAMP positif yang telah diremajakan pada media agar darah diambil 3-5 koloni menggunakan öse secara aseptis, lalu dimasukan ke dalam tabung-tabung kecil ujung lancip bertutup ukuran 1 ml yang telah berisi ekstrak enzim streptococcal masing-masing sebanyak 200 µl. Suspensi tersebut dipanaskan di dalam penangas air pada suhu 37 οC selama 10 menit. Setiap lima menit tabung-tabung tersebut dikocok. Langkah berikutnya suspensi diambil dengan pipet Pasteur lalu diteteskan sebanyak dua tetes di atas kertas latex. Tambahkan latex reagen group B pada suspensi dan keduanya dicampurkan, dibiarkan selama 10-15 detik sambil diamati reaksi aglutinasi yang terjadi.
5.6. Ekspresi Fenotipe SGB in vitro
Pengujian ekspresi fenotip dilakukan dengan menanam SGB pada media Soft Agar (SA) dan media cair Todd Hewit Broth (THB) untuk diamati pola pertumbuhannya. Isolat SGB yang telah diremajakan pada media agar darah ditanam secara aseptis sebanyak satu öse kedalam tabung reaksi yang berisi 5 ml media brain heart infusion (BHI) broth. Suspensi diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37 οC, kemudian biakan segar diambil dengan öse dan diencerkan dalam 10 ml larutan NaCl 0.14 M. Langkah berikutnya, batang öseujung lurus dimasukan kira-kira nya ke
(52)
24
dalam suspensi biakan segar SGB yang telah diencerkan, lalu ditanam kedalam 10 ml media soft agar (SA). Setiap suspensi tersebut ditanam dalam dua media SA. Salah satu dari media SA ditambahkan serum kelinci sebanyak 200 µl (serum soft agar/SSA) selanjutnya diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37οC. Pengujian pola tumbuh pada media cair dilakukan dengan menanam 1 öse biakan segar SGB ke dalam 10 ml media cair THB, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam dan diamati pola pertumbuhannya (Wibawan and Lämmler, 1990).
5.7. Uji Hemaglutinasi
Isolat S. agalactiae Group B (SGB) selanjutnya diuji hemaglutinasi menggunakan 1% eritrosit sapi perah dalam NaCl fisiologis. Pengujian hemaglutinasi dilakukan dengan mencampur secara homogen 50 µl suspensi bakteri 108 sel/ml dengan 50 µl eritrosit sapi perah ke dalam mikroplate. Reaksi hemaglutinasi dapat dibaca jika kontrol eritrosit mengendap. Reaksi dikatakan positif apabila terjadi aglutinasi di dasar tabung dan negatif apabila terjadi endapan seperti pada kontrol eritrosit (Wahyuni dkk. 2005).
6. Orientasi Dosis Iradiasi Sinar Gamma SGB untuk LD50
Isolat SGB terpilih (yang mempunyai hemaglutinin positif/ Hn+) ditumbuhkan dalam media BHI broth dan diinkubasi 37oC pada inkubator. Jika telah mencapai fase log dengan waktu pembelahan sel tertinggi pada kurva pertumbuhan perlakuan, lalu bakteri dicuci memakai aquades steril 3 kali dengan sentrifus 10.000 rpm. Setelah pencucian, bakteri diencerkan menjadi 108 cfu/ml, lalu diiradiasi dengan dosis iradiasi bertingkat dengan laju dosis 112,504 krad/ jam, di dalam iradiator Gamma chamber di PATIR, BATAN. Selanjutnya bakteri ditanam pada media BHI agar plat dan diinkubasi di dalam inkubator 37oC selama 1 malam, lalu keesokan harinya koloni SGB yang tumbuh dihitung untuk menentukan nilai LD50 bakteri SGB iradiasi yang
(53)
masih bertahan hidup sebanyak 50% sebagaimana penelitian terdahulu (Tuasikal dkk. 2003).
7. Karakterisasi Protein Antigenik Permukaan SGB dengan SDS PAGE
Karakterisasi protein permukaan SGB iradiasi dilakukan dengan dua tahap, yaitu persiapan protein antigenik dan teknik SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamid Gel Electrophoresis) untuk mengukur berat molekulnya (Walker JM 2002).
Protein antigenik diperoleh dari isolat SGB yang sudah ditanam dalam BHI Broth dan diberi perlakuan iradiasi dengan dosis 0 dan 17 Gy, lalu disentrifuge dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Pelet sel bakteri diambil kemudian dicuci dengan NaCl fisiologis, selanjutnya diencerkan dengan NaCl fisiologis sampai volume 1,5 ml. Suspensi sel dimasukkan ke dalam tabung sonikator untuk memecah dinding sel dan melepas protein. Sonikasi dilakukan selama tiga menit. Sel hasil sonikasi dipindahkan ke dalam tabung mini steril, kemudian disentrifuge pada 10.000 rpm selama 3 menit. Supernatan yang diperoleh dipisahkan dan disimpan pada suhu 0-4 oC sampai akan digunakan dalam pengukuran konsentrasi protein menggunakan metode Bradford.
Penentuan berat molekul (BM) protein dianalisis dengan metode SDS PAGE. Pembuatan agar akrilamid dilakukan dengan bantuan dua lempeng kaca berukuran 13 x 15,5 cm (Pharmacia - Biothec® yang telah dibersihkan dengan alkohol 70%. Kedua lempeng kaca di himpit dan dijepit, serta diberi celah pada kedua sisi tepi bagian dalam. Di bagian atas lempeng kaca disisipkan sisir pembuat jalur yang diisi gel pemisah (12% poliakrilamid) sampai 1 cm di bawah ujung sisir dengan bantuan mikropipet, lalu dibiarkan sekitar 60 menit, kemudian diisi gel pengumpul (4% poliakrilamid) hingga mencapai permukaan lempeng kaca. Gel yang sudah dicetak kemudian dibuka sisirnya, selanjutnya dipasang pada tangki elektroforesis, dan ditambahkan buffer elektroforesis (Tris-glysin) sampai gel terendam. Sumuran dibersihkan sebelum digunakan dengan menyemprotkan bufer elektroforesis ke
(54)
26
dalamnya sehingga gel-gel yang tersisa di dalam sumuran dapat keluar. Setiap sumuran diisi dengan 10 µl campuran sampel protein dan sampel buffer yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Selain sampel digunakan juga marker protein sebagai penanda. Marker protein yang digunakan mempunyai berat molekul 25 sampai 225 kDa. Visualisasi berat molekul protein antigen dilakukan dengan perangkat elektroforesisi yang dihubungkan ke arus listrik pada tegangan 100 volt dengan arus 50 mA selama kurang lebih 3 jam sampai sampel buffer terlihat pada bagian bawah gel (kurang lebih 1 cm di atas batas bawah gel). Elektroforesis dilakukan pada kondisi suhu 4oC. Setelah elektroforesis berakhir, gel diangkat dari lempeng kaca dan direndam di dalam pewarnaan Commasie Brilliant Blue selama 30 menit pada suhu ruang sambil diagitasi perlahan. Pewarna yang tidak terikat pada protein dihilangkan dengan merendam gel pada larutan pemucat metanol dan asam asetat sehingga gel berwarna bening atau pita-pita protein telah terlihat jelas. Mobilitas relatif protein dihitung dengan membandingkan jarak migrasi protein dari garis awal gel pemisah dengan jarak migrasi pewarna, atau dibandingkan terhadap pewarna marker.
8. Uji Patogenitas dan Imunitas dengan Hewan Model Mencit
Hewan model yang digunakan adalah mencit betina jenis Balb-C, berumur 8 minggu dengan bobot badan kira-kira 50 gram. Sebanyak 12 ekor mencit dibagi dalam 4 kelompok perlakuan, yaitu kelompok vaksin (V) diberi SGB Hn+ iradiasi, kelompok vaksin dan tantang (VT) diberi vaksin SGB Hn+ iradiasi lalu ditantang dengan SGB Hn+ tanpa iradiasi; kelompok tantang (T) diinfeksi dengan SGB Hn+ tanpa iradiasi, dan kelompok kontrol (K) tanpa vaksin dan tanpa tantang. Bakteri yang diberikan mempunyai kepadatan 108 cfu / ml. Vaksin SGB Hn+ iradiasi diinjeksikan dengan route intraperitoneal dengan dosis 0,3 – 0,4 cc/ ekor. Vaksin booster diberikan setelah hari ke 7 dan ke 14, dan tantangan pada hari ke 21 (post partus). Infeksi tantang SGB Hn+ tanpa iradiasi diberikan melalui parenteral (tetes) pada 5 pasang putting sebanyak 50 µl/ mencit. Suspensi bakteri tantangan diteteskan di atas orificium externa puting susu mencit secara bertahap (satu tetes sebanyak 5
(55)
µl), kemudian ditunggu hingga terabsorbsi. Nekropsi dilakukan sehari setelah tantangan. Penilaian respon terhadap vaksin yang diberikan, dilakukan dengan pemeriksaan Histopatologi jaringan kelenjar mamae yang difiksasi formalin dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin (HE) (Kiernan, 1990). Titer antibodi Ig-G diperiksa dengan teknik Enzyme Linked Immunosorbent Assay secara tak langsung (indirect ELISA) dari sampel serum darah yang dikoleksi tiap minggu (Crowther 2010).
9. Aplikasi Kandidat Vaksin Iradiasi Terpilih pada Kambing Perah
Hewan percobaan yang digunakan sebanyak 6 ekor kambing perah peranakan etawah yang dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan, yaitu 4 ekor untuk kelompok vaksin (V) yang diberi SGB Hn+ iradiasi secara subkutan dengan dosis 108 cfu/ml sebanyak 2 ml/ kambing, dan 2 ekor untuk kelompok kontrol (K) yaitu hewan normal yang tidak diberi vaksin SGB. Vaksin diberikan pada masa kering kandang dengan pemberian booster 3 kali prepartus. Pemeriksaan konsentrasi Ig-G dilakukan dengan teknik ELISA dari serum sampel yang dikoleksi tiap minggu (Crowther 2010). Produksi susu postpartus dicatat setiap hari.
10.Rancangan Penelitian
Informasi tentang efektifitas bahan vaksin ini akan dilakukan dengan cara membandingkan kondisi hewan percobaan antara yang hanya divaksin (V) yang diberi vaksin dengan tantangan (VT), yang diberi tantangan tanpa vaksin (T); dan hewan kontrol tanpa vaksin maupun tantangan (K). Signifikansi dari efektifitas bahan vaksin akan ditelusuri dengan membandingkan kelompok perlakuan tersebut menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Gambar histopatologi diambil dengan kamera digital Electronic Eyepiece MD-130® menggunakan mikroskop cahaya. Gambar diolah menggunakan software NIH Image-J®. Data pengamatan dianalisis
(56)
28
pada analisis ragam (ANOVA), post hoc Duncan test menggunakan software SPSS® versi 16 untuk mengetahui perbedaan setiap perlakuan pada p<0,05.
(57)
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.Kejadian Mastitis Subklinis di Daerah Pengambilan Sampel SusuSampel susu yang digunakan berasal dari 3 wilayah pada 2 daerah yang berbeda yaitu daerah Bogor dengan wilayah Kawasan Usaha Peternakan (Kunak) Cibungbulang dan Garut dengan wilayah Kecamatn Cisurupan dan Kecamatan Bayongbong. Sampel susu dari hewan penderita mastitis subklinis dapat diketahui dengan CMT (California Mastitis Test). Dengan uji ini didapatkan hasil dengan mengamati parameter derajat konsistensi kekentalan dari campuran susu dan reagen uji yang membentuk materi gelatinous kental. Parameter ini diukur dengan melihat kekentalan yang terjadi untuk positif I akan terbentuk lendir tipis, positif II akan terbentuk lendir yang lebih kental, dan positif III lendir yang terbentuk sangat kental seperti massa gelatin. CMT bekerja berdasarkan 3 prinsip yaitu jumlah leukosit akan meningkat drastis saat jaringan mamae mengalami luka atau infeksi, leukosit terutama polymorphonuclear leukosit (PMNs) mempunyai inti sel yang besar (DNA) bila dibandingkan dengan sel lain atau bakteri yang terdapat didalam susu, selain itu penyusun utama dinding sel leukosit adalah lipid (lemak). Semakin tebal gel yang terbentuk di dalam piring uji CMT, maka semakin banyak juga sel darah putih yang terdapat di dalam sampel susu. Peningkatan penebalan dari gel ini menandakan terdapat peningkatan dalam hal infeksi. Reagen dari CMT merupakan suatu detergen dengan penambahan indikator pH yang menyebabkan terbentuknya warna ungu pada pencampuran dengan sampel susu. Saat sampel susu dan reagen MT dicampur dengan jumlah yang setara, reagen CMT akan melarutkan dinding sel terluar dan dinding sel nuklear dari leukosit yang penyusun utamanya adalah lemak, dimana detergen akan melarutkan lemak. Hal ini mengakibatkan DNA lepas dari inti yang mengarah kepada pembentukan gel oleh sesama DNA ntuk membentuk suatu massa seperti serabut. Seiring dengan penambahan jumlah leukosit pada setiap quarter akan berbanding lurus dengan peningkatan jumlah pembentukan gel (Ruegg 2005). Hasil dari uji ini pada ketiga wilayah dapat dilihat pada gambar 2.
(58)
30
Gambar 2. Hasil CMT memperlihatkan kekentalan (a) yang terbentuk akibat pencampuran susu dengan reagen uji.
Berdasarkan hasil uji ini, kejadian mastitis subklinis tertinggi berada pada wilayah Kunak, disusul Cisurupan, dan Bayongbong (Tabel 1).
Tabel 1 Kejadian mastitis subklinis pada wilayah Cisurupan, Bayongbong, dan Kunak
Asal sampel Jumlah sampel Jumlah sampel positif CMT
Kejadian mastitis subklinis
Cisurupan 97 92 94.84%
Bayongbong 77 72 93.50%
Kunak 66 66 100%
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa tingkat kejadian terjadinya mastitis subklinis di ketiga wilayah peternakan ini sangatlah tinggi, dengan presentasi kejadian pada daerah Cisurupan, Bayongbong dan Kunak, berturut-turut sebesar 94,84%, 93,50%, 100%. Peluang terjadinya mastitis subklinis di peternakan wilayah Kunak adalah sangat mungkin terjadi atau selalu terjadi. Data ini menggambarkan buruknya kondisi
(1)
Lampiran 5. Iradiator Gamma Chamber dengan Sumber Isotop Cobalt-60 ( 60Co).
Iradiasi SGB Hn+ dilakukan dalam iradiator Gamma Chamber dengan sumber isotop 60Co menggunakan fasilitas Balai Iradiasi Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Jakarta.
Perhitungan waktu paparan iradiasi untuk masing-masing dosis serap iradiasi : Waktu = Dosis / Laju dosis
Dosis 50 Gy = 0,050 KGy = 5 Krad Laju dosis = 112,504 Krad/jam
Waktu = 5 Krad = 0,044443 jam = 2 menit 40 detik 112,504 Krad/jam
untuk selanjutnya seperti tersaji dalam tabel berikut,
Dosis serap iradiasi Waktu paparan iradiasi
Gy menit detik
0 0 0
25 1 20
50 2 40
75 4 0
(2)
Lampiran 6. Jadwal Perlakuan dan Parameter Penelitian pada Hewan Model Mencit
Persiapan Hewan Percobaan Mencit:
Mencit yang digunakan dalam penelitian adalah mencit betina dalam keadaan bunting. Sebelum dikawinkan, seluruh mencit diberi obat cacing (albendazole50%) dengan dosis 10mg/kg BB dan diulang seminggu kemudian, lalu diberi antibiotik (clavamox) dengan dosis 25mg/kg BB selama lima hari berturut-turut setelah pemberian obat cacing yang pertama dengan jeda waktu 2 hari. Diberikan pula anti jamur (flagyl) dengan dosis 30mg/kgBB setelah jeda dua hari dari pemberian obat cacing yang kedua.
2 hari 5 hari 2 hari 2 hari 2 hari
albendazole clavamox albendazole flagyl kawin
Perlakuan Hewan Percobaan Mencit:
Pengamatan parameter:
1.Histopat kelenjar mamae dengan pewarnaan Haematoksilin Eosin (HE) Alveol kelenjar produktif
Sel epitel kelenjar deskuamasi
Sel radang dalam lumen alveol kelenjar Sel radang interstisial
(3)
Lampiran 7. Pembuatan Preparat Histopatologi Kelenjar Mamae Mencit
1. Kelenjar mamae yang telah difiksasi dalam BNF 10% kurang lebih dua hari kemudian dipotong tipis. Potongan kelenjar mamae dengan ketebalan kurang lebih 3mm dimasukkan ke dalam tissue basket dan di dehidrasi dengan merendam sediaan secara berturut-turut pada alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut I, alkohol absolut II, lalu dijernihkan dalam xilol I, xilol II, dan diinfiltrasi pada parafin parafin I, dan parafin II. Masing-masing proses perendaman dilakukan selama 2 jam dalam mesin automatic tissue processor, Sakura (Japan).
2. Jaringan dimasukkan ke dalam pencetak berisi parafin cair dengan bentuk blok dan disusun di tengah parafin. Setelah mulai membeku, parafin ditambah kembali hingga alat pencetak penuh dan dibiarkan hingga parafin mengeras. Selanjutnya, parafin yang berisi jaringan, dipotong menggunakan mikrotom dengan ketebalan 5 mikron. Hasil pemotongan yang berbentuk pita diletakkan diatas permukaan air hangat bersuhu 450celcius dengan tujuan menghilangkan lipatan-lipatan. Sediaan diangkat dari permukaan air dengan gelas obyek yang telah diolesi larutan albumin yang berguna untuk merekatkan sediaan. Setelah itu, preparat dikeringkan dalam inkubator bersuhu 600celcius semalam.
3. Sediaan yang telah kering dimasukkan ke dalam xilol dua kali selama 2 menit. Kemudian sediaan direhidrasi yang dimulai dari alkohol absolut sampai alkohol 80% dengan waktu masing-masing 2 menit. Selanjutnya sediaan dicuci pada air mengalir dan dikeringkan.
4. Sediaan yang telah siap, diwarnai dengan pewarnaan Mayer‟s Hematoksilin selama 8 menit, kemudian dibilas dengan air mengalir dan dicuci dengan lithium karbonat selama 15-30 detik, dibilas dengan air lagi, dan akhirnya diwarnai dengan pewarna eosin selama 2 menit. Untuk menghilangkan warna eosin yang berlebihan, sediaan dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Kemudian sediaan dicelup ke dalam alkohol 90% sebanyak 10 kali celupan,
(4)
alkohol absolut I 10 kali celupan, alkohol absolut II selama 2 menit, xilol I selama 1 menit, dan xylol II selama 2 menit.
5. Sediaan dikeringkan dahulu, lalu ditetesi dengan perekat permount dan kemudian ditutup dengan cover glass dan dibiarkan selama beberapa menit
hingga melekat sempurna. Setelah itu, preparat siap untuk diamati dan diambil gambar menggunakan camera mikroskop. Identifikasi dan pengambilan gambar preparat dilakukan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
(5)
Lampiran 8. Ekstraksi Antigen SGB untuk coating Antigen pada ELISA
Metode ekstraksi untuk mempersiapkan antigen untuk coating Ag pada ELISA mengikuti metode yang dikembangkan oleh Wibawan (1993). Ekstraksi Ag dilakukan dengan menggunakan Asam Klorida (HCl).
1. Sebanyak 40 ml biakan SGB Hn+ yang telah ditumbuhkan dalam media BHI broth selama 1 malam disentrifus (10000 rpm selama 10 menit, pada suhu 40C);
2. Sedimen bakteri yang terbentuk kemudian dicuci sebanyak 2 kali menggunakan 10 ml 0,14 mol/l NaCl dengan sentrifugasi seperti metode penyiapan Ag di atas.
3. Sedimen bakteri yang terbentuk diresuspensikan dalam 350 µl larutan 0,2 mol/l asam klorida (HCl) dan diinkubasikan dalam penangas air pada suhu 52oC, selama 2 jam.
4. Suspensi bakteri kemudian dinetralisasi oleh 1 mol/l NaOH dan diberi Phenol Red sebagai indikator.
5. Antigen untuk coating plat ELISA dikoleksi dengan cara sentrifugasi suspensi
bakteri tersebut dengan kecepatan 13000 rpm, selama 5 menit pada suhu 4oC. Supernatan yang terbentuk dipergunakan sebagai Antigen untuk melapisi sumuran pada plat ELISA dengan metode tidak langsung (Indirect ELISA)..
(6)
Lampiran 9. ELISA untuk Titer Antibodi Ig-G
Prosedur ELISA (indirect) untuk pengukuran titer antibodi Ig-G sebagai berikut: 1. Coating plat ELISA dg Ag SGB dalam buffer carbonat bicarbonat pH 9,6
masing-masing 50 µl tiap sumur, bungkus alumunium foil, lalu simpan satu malam dalam refreegerator 4oC
2. Cuci plat dengan PBS Tween20 (0,05%) 4 kali lalu bilas dengan aquabidest 3. Blocking dg Fetal Bovine Serum (FBS) 2% dalam PBS masing-masing 50 µl
tiap sumur , lalu inkubasi 1jam dlm inkubator 37oC 4. Cuci plat seperti langkah 2
5. Serum sampel yg sdh diinaktifasi pada penangas air 54oC selama 30 menit dan diencerkan dgn PBS 1:30 , diisikan kedlm sumuran plat sesuai pola nomor sampel, lalu diinkubasi 1 jam dlm inkubator 37oC
6. Cuci plat seperti langkah 2
7. Penambahan conjugate Peroxidase-Anti mouse Ig-G (1:10.000) masing-masing 50 µl tiap sumur, lalu diinkubasi 1jam dlm inkubator 37oC
8. Cuci plat seperti langkah 2
9. Masukkan substrat TMB (dalam ruang gelap) masing-masing 50 µl tiap sumur lalu diinkubasi dalam inkubator 37oC selama 30 menit
10. Pembacaan titer ELISA dalam microplate reader Benchmark Biorad©