Optimasi Beberapa Metode Eliminasi Virus pada Apeks dan Meristem Tebu (Saccharum officinarum L)

OPTIMASI BEBERAPA METODE ELIMINASI VIRUS
PADA APEKS DAN MERISTEM TEBU
(Saccharum officinarum L.)

RARA PUSPITA DEWI LIMA WATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul "Optimasi Beberapa
Metode Eliminasi Virus pada Apeks dan Meristem Tebu (Saccharum officinarum
L.)" adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Rara Puspita Dewi Lima Wati
NIM A253120111

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

RINGKASAN
RARA PUSPITA DEWI LIMA WATI. Optimasi Beberapa Metode Eliminasi
Virus pada Apeks dan Meristem Tebu (Saccharum officinarum L.). Dibimbing
oleh DARDA EFENDI dan IKA ROOSTIKA TAMBUNAN.
Tebu merupakan tanaman penghasil gula utama yang termasuk dalam
family Gramineae. Umumnya, tanaman ini diperbanyak secara vegetatif dengan
stek sehingga menjadi sangat mudah menyebarkan penyakit yang disebabkan oleh
virus. Penyakit mosaik dapat menurunkan rendemen gula hingga 20-30%. Pada
penelitian ini, dilakukan optimasi berbagai macam metode yang berpotensi
diaplikasikan untuk mengeliminasi virus tanaman tebu, yaitu kultur apeks, kultur
meristem, perlakuan air panas atau hot water treatment (HWT), perlakuan
antiviral, dan pembekuan jaringan.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh stres suhu tinggi (heat
shock) dan bahan ribavirin terhadap daya hidup dan daya regenerasi apeks dan
meristem tebu PS864, mengetahui pengaruh prakultur, durasi pemuatan, dan
dehidrasi dalam krioprotektan PVS2 terhadap daya hidup dan daya regenerasi
apeks tebu PS864 pasca-pembekuan dalam nitrogen cair. Penelitian terdiri dari
lima percobaan, yaitu 1) optimasi HWT apeks pada tebu (HWT secara langsung,
HWT secara tidak langsung tanpa saringan, dan HWT secara tidak langsung
dengan saringan), 2) optimasi HWT (25, 30, 40, 50, dan 60 oC) dan bahan
antiviral ribavirin (0, 15, 20, 25 µg l-1) pada apeks tebu, 3) optimasi HWT (25 dan
50 oC) dan bahan antiviral ribavirin (0, 15, 20, 25 µg l-1) pada meristem tebu, 4)
optimasi dehidrasi jaringan dengan larutan PVS2 (0, 10, 20, 30, dan 40 menit),
dan 5) optimasi pembekuan jaringan apeks dengan teknik vitrifikasi melalui
perlakuan prakultur (sukrosa 0, 0.1, 0.3, dan 0.5 M selama 5 hari), lama pemuatan
dalam larutan LS (0, 10, 20, dan 30 menit).
Hasil percobaan menunjukkan bahwa HWT secara tidak langsung
menggunakan saringan merupakan metode terbaik. Metode tersebut dapat
mengurangi efek heat shock sehingga apeks mampu bertahan hidup pada suhu
50 oC (25%) dengan daya regenerasi 4 tunas per eksplan. Tidak terdapat interaksi
yang nyata antara perlakuan air panas dan bahan antiviral terhadap daya hidup dan
daya tumbuh apeks. Apeks bertahan hidup dan tumbuh hingga suhu 50 oC (5%)

atau taraf ribavirin 25 µg l-1 (57.97%) dan dapat bermultiplikasi secara normal
pada media yang mengandung ribavirin maupun media regenerasi. HWT dan
bahan antiviral pada meristem menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata,
serta tidak terdapat interaksi antara keduanya terhadap daya hidup, daya tumbuh
dan jumlah tunas. Luka akibat isolasi dan tingginya akumulasi senyawa fenol
diduga sebagai salah satu penyebab rendahnya daya regenerasi meristem pascaperlakuan. Gejala nekrosis pada apeks relatif rendah (< 3%), dijumpai pada
biakan yang ditanam pada ribavirin 20 dan 25 µg l-1. Gejala serupa tidak terjadi
pada meristem selama berada pada media yang mengandung ribavirin maupun
media regenerasi. Pada percobaan dehidrasi jaringan, durasi selama 30 menit
merupakan perlakuan yang optimal karena merupakan durasi dehidrasi yang
terlama dengan daya hidup yang tinggi (74%) atau melebihi 70%. Pascapembekuan jaringan, daya hidup apeks sangat dipengaruhi oleh konsentrasi
sukrosa pada media prakultur. Prakultur dengan menggunakan sukrosa 0.3 M

selama 5 hari dan pemuatan dalam larutan LS selama 10 menit serta dehidrasi
jaringan dalam larutan PVS2 selama 30 menit merupakan metode pembekuaan
jaringan yang optimal dengan daya hidup dan daya tumbuh mencapai 40%.
Kata kunci: Saccharum officinarum L, apeks, meristem, perlakuan air panas,
perlakuan antiviral, dan pembekuan jaringan.

SUMMARY

RARA PUSPITA DEWI LIMA WATI. Optimization of Several Virus
Elimination Methods on Sugarcane (Saccharum officinarum L.) Apexes and
Meristems. Supervised by DARDA EFENDI and IKA ROOSTIKA
TAMBUNAN.
Sugarcane (Saccharum officinarum L.) is the main sugar-producing plant,
vegetatively propagated by using its cutting node and potentially spreading viral
diseases. Mosaic disease may reduce 20-30% sugar yield. These research,
performed optimization methods that can be applied for virus elimination. In this
study, several methods have been optimized to support virus elimination efforts
through application of hot water treatment (HWT), antiviral, and freezing on apex
and meristem tissues.
The objectives of this study were to know the effect of temperature and
antiviral agent on the survival and regeneration rate of apexes and meristems of
sugarcane PS864, to know the effect of pre-culture, loading treatment and
duration of dehydration in PVS2 to the survival and regeneration rate of sugarcane
apexes of PS864 after freezing in liquid nitrogen. This study consisted of five
experiments: 1) the optimization of HWT (direct thermotherapy, indirect
thermotherapy with and without using metal sieve filter), 2) the optimization of
HWT (25, 30, 40, 50, and 60 oC) and antiviral agent ribavirin (0, 15, 20, 25 µg l-1)
on apexes, 3) the optimization of HWT (25 and 50 oC) and antiviral agent

ribavirin (0, 15, 20, 25 µg l-1) on meristems, 4) the optimization of dehydration
treatment (0, 10, 20, 30, and 40 minute), and 5) the optimization of freezing
method by vitrification technique with preculture treatment (0, 0.1, 0.3, and 0.5 M
sucrose for 5 days) and loading treatment with LS solution (0, 10, 20, dan 30
minutes).
The result showed that indirect HWT by using metal sieve filter was the best
method. This method could decrease heat shock effect so that the apexes could
grow after 50 oC treatment (25%) with regeneration rate of 4 shoots/explant.
There was no interaction betwen HWT and antiviral agent. It showed that apexes
could survive and grow after 50 oC (5%) or ribavirin treatment of 25 µg l-1
(57.97%) and could normally multiply on ribavirin containing media as well as
their regeneration medium. However, combined treatment of HWT and antiviral
agent showed no different response and interaction for survival, growth, and shoot
number of meristem. Injury during isolation and high content of phenolic
compound was assumed as the cause of low rate regeneration of meristem after
treatment. Necrosis symptom of apexes was relatively low (< 3%) found in the
ribavirin treatment of 20 and 25 µg l-1. Similar symptom did not appear on the
meristem. On dehydration experiment, duration for 30 minutes was the best
treatment. It was the longest periode that provide high level survival rate (74%).
Post-freezing, the survival of apexes were affected by sucrose concentration on

pre-culture medium. Pre-culture treatment with 0.3 M sucrose for 5 days and
loading treatment for 10 minutes in LS and dehydration with PVS2 for 30 minutes
was the optimal freezing method and resulted 40% survival rate.
Keywords: S. officinarum L., apex, meristem, HWT, antiviral, and freezing.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

OPTIMASI BEBERAPA METODE ELIMINASI VIRUS
PADA APEKS DAN MERISTEM TEBU
(Saccharum officinarum L.)

RARA PUSPITA DEWI LIMA WATI


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Awang Maharijaya, SP MSi

Judul Tesis : Optimasi Beberapa Metode Eliminasi Virus pada Apeks dan
Meristem Tebu (Saccharum officinarum L.)
Nama
: Rara Puspita Dewi Lima Wati
NIM
: A253120111


Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Darda Efendi, MSi
Ketua

Dr Ika Roostika Tambunan, SP MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Yudiwanti Wahyu EK, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal Ujian:
27 Agustus 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian ini ialah Optimasi Beberapa Metode Eliminasi Virus pada Apeks dan
Meristem Tebu (Saccharum officinarum L.). Penulisan tesis ini dilakukan sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi
Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis
tujukan kepada :
1. Bapak Dr Ir Darda Efendi, MSi dan Ibu Dr Ika Roostika Tambunan, SP MSi
sebagai pembimbing yang telah memberikan fasilitas, arahan, bimbingan dan
menyediakan waktunya sejak dari perencanaan dan pelaksanaan penelitian

hingga penulisan tesis.
2. Dr Awang Maharijaya, SP MSi sebagai penguji luar komisi, atas kritik, saran
dan masukannya yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini.
3. Ibu Dr Ir Yudiwanti Wahyu EK, MS sebagai Ketua Program Studi Pemuliaan
dan Bioteknologi Tanaman Sekolah Pascasarjana IPB dan Dr Dewi Sukma,
SP MSi selaku Sekretaris Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi
Tanaman Sekolah Pascasarjana IPB.
4. Program Hibah Kerjasama Kemitraan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Nasional (KKP3N) yang telah mendanai penelitian ini.
5. Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen) yang telah memberikan ijin
penggunaan fasilitas pada Laboratorium Kultur Jaringan.
6. Prof (riset) Dr Ika Mariska yang telah memberikan kuliah dan meluangkan
waktu untuk diskusi selama pelaksanaan penelitian.
7. Teknisi Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman (Bp. Djoko Tamami, Bp.
Wawan, Mas Anto, Bp. Dayat, Febi, Evi, serta Bp. Aris) atas segala
bantuannya selama penelitian.
8. Bapak, Ibu, Kakak dan Ricki Susilo, serta Nenek Kurnia (Alm.) tercinta yang
telah memberi dukungan dan doa selama menempuh studi.
9. Yosi Zendra Joni, Dea Sylva Lisnandar dan Lilis Surya Ningrum atas bantuan

dan kebersamaannya dalam menyelesaikan penelitian ini baik dalam suka
maupun duka.
10. Rekan–rekan sejawat PBT angkatan 2012 atas kebersamaannya selama
perkuliahan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Rara Puspita Dewi Lima Wati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

ix

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2
2
3

1 TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Morfologi Tebu
Struktur dan Siklus Replikasi Virus
Virus Mosaik pada Tanaman Tebu
Aplikasi Kultur Apeks dan Meristem untuk Eliminasi Virus
Aplikasi Perlakuan Air Panas untuk Eliminasi Virus
Aplikasi Bahan Antiviral untuk Eliminasi Virus
Aplikasi Pembekuan Jaringan untuk Eliminasi Virus

5
5
6
7
7
8
8
9

2 OPTIMASI PERLAKUAN AIR PANAS PADA APEKS TEBU
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

11
11
11
13
19

3 OPTIMASI PERLAKUAN AIR PANAS DAN BAHAN ANTIVIRAL PADA
APEKS TEBU
21
Pendahuluan
21
Bahan dan Metode
21
Hasil dan Pembahasan
22
Simpulan
23
4 OPTIMASI PERLAKUAN AIR PANAS DAN BAHAN ANTIVIRAL PADA
MERISTEM TEBU
26
Pendahuluan
26
Bahan dan Metode
26
Hasil dan Pembahasan
27
Simpulan
29
5 OPTIMASI PEMBEKUAN JARINGAN APEKS TEBU
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

30
30
30
31
35

6 PEMBAHASAN UMUM

37

7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

39
39
39

DAFTAR PUSTAKA

40

LAMPIRAN

44

RIWAYAT HIDUP

47

DAFTAR TABEL
1. Pengaruh kombinasi perlakuan HWT dan ribavirin terhadap daya hidup
dan daya tumbuh apeks tebu PS864, 5 MST
2. Pengaruh HWT dan ribavirin terhadap pertumbuhan meristem tebu
PS864, 8 MST
3. Pengaruh durasi dehidrasi jaringan dengan PVS2 terhadap pertumbuhan
apeks tebu PS864, 4 MST
4. Pengaruh perlakuan prakultur dan pemuatan dalam larutan LS terhadap
pertumbuhan setelah pembekuan jaringan apeks tebu PS864 dalam
nitrogen cair yang didehidrasi dengan PVS2 selama 30 menit, 5 MST

22
27
32

34

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Diagram alir penelitian
Struktur batang dan daun tebu
Struktur akar tebu
Struktur kimia ribavirin
Mekanisme eliminasi patogen dengan teknik krioterapi
Tiga macam metode HWT apeks tebu PS864
Pengaruh HWT secara langsung terhadap daya hidup dan daya tumbuh
apeks tebu PS864, 4 MST
8. Pengaruh perlakuan HWT secara langsung terhadap jumlah tunas yang
terbentuk dari apeks tebu PS864
9. Pengaruh HWT secara tidak langsung tanpa saringan terhadap daya
hidup dan daya tumbuh apeks tebu PS864, 4 MST
10. Pengaruh HWT secara tidak langsung tanpa saringan terhadap jumlah
tunas yang terbentuk dari apeks tebu PS864
11. Pengaruh HWT secara tidak langsung dengan saringan terhadap daya
hidup dan daya tumbuh apeks tebu PS864, 4 MST
12. Pengaruh HWT secara tidak langsung dengan saringan terhadap jumlah
tunas yang terbentuk dari apeks tebu PS864
13. Pengaruh HWT terhadap sel-sel penyusun meristem dari apeks tebu
PS864
14. Pertumbuhan apeks tebu PS864 yang diberi tiga macam perlakuan
HWT
15. Nekrosis dari biakan tebu PS864 yang berasal dari apeks pascaperlakuan ribavirin dan suhu HWT
16. Pertumbuhan apeks tebu PS864 yang diberi perlakuan HWT dan
ribavirin, 5 MST
17. Pencoklatan yang berpengaruh terhadap daya tumbuh meristem tebu
PS864
18. Penampilan biakan tebu PS864 yang dihasilkan dari meristem yang
diberi perlakuan HWT dan ribavirin
19. Pengaruh lama perendaman dalam PVS2 terhadap regenerasi apeks tebu
PS864
20. Pengaruh molaritas sukrosa pada tahap prakultur terhadap elongasi
tunas dan pencoklatan jaringan apeks tebu PS864.
21. Penampilan biakan tebu PS864 setelah perlakuan prakultur dengan
sukrosa 0, 0.1, 0.3, dan 0.5 M.
22. Penampilan biakan tebu PS864 pasca-pembekuan jaringan
23. Perbandingan perlakuan HWT, ribavirin, dan pembekuan jaringan
terhadap pertumbuhan tebu PS864

4
5
6
9
9
13
14
15
16
16
17
18
18
20
23
25
28
28
32
33
34
36
38

DAFTAR LAMPIRAN
1. Komposisi Media Dasar Murashige & Skoog (MS)
2. Teknik Uji Histologi Menggunakan Metode FAA

44
45

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penghasil gula utama
di Indonesia. Tanaman yang berasal dari famili Gramineae ini merupakan
tanaman asli dari daerah beriklim tropika basah, namun masih dapat tumbuh baik
dan berkembang di daerah subtropika, pada berbagai jenis tanah dari daratan
rendah hingga ketinggian 1 400 m di atas permukaan laut (dpl) (Ditjenbun 2013).
Produksi gula pada tahun 2013 sebesar 2.58 juta ton ((Ditjenbun 2014a)
dengan perkiraan konsumsi rumah tangga 1.68 juta ton (Ditjenbun 2014b), namun
kebutuhan konsumsi gula nasional diduga akan meningkat pada tahun 2014
mencapai 3.10 juta ton (http://ditjenbun.pertanian.go.id/). Untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, perlu dilakukan upaya meminimalkan faktor penyebab
turunnya nilai produksi. Salah satu faktor yang mengakibatkan penurunan
produksi gula adalah permasalahan hama dan penyakit tanaman.
Tebu merupakan tanaman yang diperbanyak secara vegetatif menggunakan
stek batang. Perbanyakan secara vegetatif berpotensi menyebarkan penyakit
tanaman. Salah satu penyakit tanaman yang menurunkan produksi tebu adalah
penyakit mosaik. Efek utama dari infeksi virus mosaik adalah terhambatnya
pertumbuhan batang sehingga tanaman mengalami penurunan rendemen 30─40%
(Bailey 2004). Penggunaan benih tebu bebas virus dapat menjadi alternatif untuk
mengatasi permasalahan tersebut. Benih yang bebas virus dapat diperoleh melalui
penerapan metode eliminasi virus, antara lain metode kultur apeks, kultur
meristem, perlakuan air panas/HWT, perlakuan kimia, dan pembekuan jaringan.
Kultur meristem merupakan aplikasi yang umum digunakan dalam
mengeliminasi virus. Namun memiliki kendala secara teknis karena ukurannya
yang sagat kecil. Oleh karena itu, dilakukan pengujian metode eliminasi virus
lainnya seperti HWT, perlakuan bahan kimia, dan pembekuan jaringan. HWT
berhasil mengeliminasi virus pada bawang putih (Robert et al. 1998), anggur
(Maliogka et al. 2009), tebu (Maharlika 2009; Damayanti et al. 2010), dan nilam
(Noveriza et al. 2012). Metode tersebut dapat mengeliminasi virus pada suhu yang
optimal (55‒ 60 ˚C), namun daya regenerasinya rendah sehingga perlu diperoleh
suhu HWT mendekati suhu optimal virus tereliminasi tetapi memiliki daya
regenerasi yang tinggi. Keefektifan metode tersebut dapat ditingkatkan dengan
melakukan kombinasi metode eliminasi virus lainnya seperti perlakuan kimia.
Perlakuan kimia yang digunakan untuk eliminasi virus umumnya menggunakan
bahan antiviral seperti ribavirin (1-β-ᴅ -ribofuranosyl-1,2,4-triazole-3carboxamide). Ribavirin belum mampu mengoptimalkan eliminasi potato leafroll
virus (PLRV), Potato virus X (PVX), Potato virus Y (PVY), dan Potato virus S
(PVS) tanaman kentang (Gunaeni dan Karjadi 2011), namun metode tersebut
efektif jika dikombinasikan dengan HWT pada tanaman pir (Hu et al. 2012).
Metode lainnya yang efektif mengeliminasi virus tanaman adalah
pembekuan jaringan. Pembekuan jaringan merupakan aplikasi dari metode
kriopreservasi yang dapat digunakan dalam mengeliminasi patogen pada jaringan
tanaman (Wang dan Valkonen 2008). Kriopreservasi merupakan teknik
penyimpanan pada suhu yang sangat rendah (-196 °C) dalam nitrogen cair. Pada

2
kondisi tersebut, sel-sel tanaman tidak melakukan aktivitas metabolik dengan
viabilitas yang tetap terjaga sehingga bahan tanaman dapat disimpan dalam jangka
waktu yang lama, tanpa harus dilakukan subkultur berulang-ulang (Widyastuti
2000; Roostika dan Mariska 2003). Teknik tersebut telah berhasil mengeliminasi
virus pada tanaman Prunus (Brison et al. 1997) dan anggur (Wang et al. 2003).
Salah satu teknik dalam kriopreservasi adalah teknik vitrifikasi. Vitrifikasi
adalah pembentukan struktur menyerupai kaca (meta-stable glass) pada suhu yang
sama dengan atau di bawah titik beku larutan tertentu. Teknik ini merupakan salah
satu teknik baru yang dapat mendehidrasi sebagaian air dari eksplan, yang diikuti
dengan pembekuan cepat. Teknik vitrifikasi dilakukan dengan bantuan
krioprotektan pada suhu 0–25 °C dan diikuti oleh pembekuan, pelelehan dan
regenerasi (Roostika dan Mariska 2003; Tjokrokusumo 2004; Leunufna 2007).
Beberapa jenis tanaman yang sudah disimpan dengan teknik tersebut antara lain
purwoceng (Roostika et al. 2007; 2008), ubi kayu (Roostika et al. 2004a), ubi
jalar (Roostika et al. 2004b), damar (Djam’an et al. 2006), dan kakao (AduGyamfi 2012). Metode kultur apeks, kultur meristem, termoterapi, kemoterapi,
dan krioterapi telah terbukti efektif dalam mengeliminasi virus tanaman, namun
seringkali terkendala oleh faktor teknis, seperti thermo-shock, serta kerusakan
mekanik dan kimia sehingga berpengaruh dalam pertumbuhan eksplan. Optimasi
metode tersebut perlu dilakukan terlebih dahulu untuk memperoleh metode
eliminasi virus yang optimal. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan
optimasi perlakuan air panas, bahan antiviral, dan pembekuan jaringan apeks dan
meristem tebu.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah 1) mengetahui pengaruh stres suhu tinggi
terhadap daya hidup dan daya regenerasi apeks tebu PS864, 2) mengetahui
pengaruh stres suhu dan bahan antiviral terhadap daya hidup dan daya regenerasi
apeks dan meristem tebu PS864, 3) mengetahui pengaruh durasi dehidrasi dalam
krioprotektan PVS2 terhadap daya hidup dan daya regenerasi apeks tebu PS864,
4) mengetahui pengaruh kombinasi perlakuan prakultur dan pemuatan terhadap
daya hidup dan daya regenerasi apeks tebu PS864 pasca-pembekuan dalam
nitrogen cair.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1) apeks tebu PS864 mampu bertahan
hidup dan tumbuh pasca-perlakuan HWT pada suhu 50 oC, 2) terdapat interaksi
antara perlakuan HWT dan ribavirin terhadap daya hidup dan tumbuh apeks dan
meristem tebu PS864, 3) apeks tebu PS864 dapat bertahan hidup dan tumbuh
hingga durasi rendaman selama 30 menit dalam larutan PVS2, 4) kombinasi prakultur dan pemuatan dapat meningkatkan daya hidup dan daya regenerasi apeks
tebu PS864 pasca-pembekuan dalam nitrogen cair.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan untuk termoterapi, kemoterapi,
dan krioterapi apeks dan meristem untuk eliminasi virus, khususnya virus mosaik

3
pada tanaman tebu. Teknologi yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat
berkontribusi dalam upaya peningkatan produksi tebu dengan menyediakan
teknologi produksi benih yang bebas virus.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian tahap awal dalam upaya memperoleh
metode eliminasi virus tanaman tebu. Diagram alir penelitian pada Gambar 1
merupakan gambaran penelitian secara kesuluruhan. Penelitian ini hanya
mencakup optimasi beberapa metode seperti optimasi kultur apeks pada (1)
metode HWT secara langsung, tidak langsung tanpa saringan, dan tidak langsung
dengan saringan, (2) metode HWT yang dikombinasikan dengan bahan kimia
ribavirin, (3) optimasi dehidrasi dan optimasi pembekuan jaringan, serta (4)
optimasi kultur meristem yang dikombinasikan pada metode HWT dan beberapa
konsentrasi ribavirin. Metode yang terbaik dilihat dari respon pertumbuhan
tanaman pasca-perlakuan. Ruang lingkup penelitian tahap awal ditunjukkan pada
area bergaris putus-putus.

4
Tebu (Saccharum officinarum L.)
Koleksi dan isolasi bahan
tanaman tebu

Multiplikasi tunas in vitro
dan in vivo di rumah kaca

Optimasi Beberapa Metode Eliminasi Virus pada Apeks dan
Meristem Tebu (Saccharum officinarum L.)
Apeks

Meristem

HWT

Langsung

Tidak
Langsung
tanpa
saringan

HWT
Tidak
Langsung
dengan
saringan

Ribavirin

Dehidrasi
Jaringan
Pembekuan
Jaringan

HWT
Ribavirin

Regenerasi
Aplikasi metode yang
optimal pada tanaman
tebu yang terinfeksi
berat oleh virus
Penyimpanan in
vitro plasma
nutfah tebu

Tanaman Bebas Virus

Deteksi virus

Diperbanyak secara
masal

Protokol standar
eliminasi virus yang
efektif dan efisien
Aplikasi protokol
standar pada berbagai
varietas elit/tebu
komersial

Gambar 1. Diagram alir penelitian

Tanaman masih
terinfeksi virus

5

1 TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Morfologi Tebu
Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman monokotil dari
famili Gramineae dan genus Saccharum. S. officinarum L. merupakan tanaman
yang memiliki kadar gula paling tinggi di antara spesies lainnya (Ming et al.
2006). Spesies tersebut merupakan tanaman asli dari daerah beriklim tropika
basah yang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di wilayah subtropika dari
dataran rendah hingga 1 400 m di atas permukaan laut (dpl) (Ditjenbun 2013).
Tanaman tersebut telah ditemukan di Papua Nugini beberapa abad silam dan
tersebar di Asia Selatan hingga ke arah tenggara (James 2004).
Tebu merupakan tanaman tahunan yang memiliki tinggi sekitar 2–4 m
dengan lebar batang 5 cm. Batang tebu terdiri dari dua bagian, yaitu nodus dan
internodus. Nodus tersebar dengan jarak 15‒ 25 cm dengan satu mata tunas.
Nodus terdiri dari lingkaran tumbuh (growth ring), berkas akar (root band), bekas
luka daun (leaf scar), sedangkan internodus terletak di antara nodus berjumlah
20─30 ruas. Warna batang dipengaruhi banyak faktor. Batang memiliki dua
pigmen dasar, yaitu antosianin (merah dan biru) pada sel epidermal dan klorofil
(hijau) pada jaringan dalam (James 2004).
Daun tebu melekat dengan batang pada bagian dasar nodus. Setiap daun
terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang melekat (sheath) dan bagian yang tidak
melekat (blade atau lamina). Sheath berbentuk seperti pipa dan menyelimuti
batang. Ketika memasuki masa panen, maka daun tumbuh dalam bentuk lamina.
Ligula merupakan helaian tambahan pada sheath, yang terbentuk dari
perpanjangan sel parenkima. Ligula berbentuk transparan tetapi pada saat tua
mengering, berubah warna dan mudah robek. Ligula terdiri dari empat tipe, yaitu
berbentuk tali (strap-shaped), delta (deltoid), sabit (crescent-shaped), arkuata
(arcuate). Dewlaps merupakan bentuk baji, yang tediri dari beberapa tipe seperti
berbentuk persegipanjang (rectangular), delta (deltoid), dan ligular (Gambar 2)
(James 2004).

Gambar 2. Struktur batang dan daun tebu (James 2004)

6
Inisiasi akar pada tanaman tebu terjadi segera setelah batang awal (sett)
ditanam dengan minimal satu mata tunas (bud). Akar pertama yang terbentuk
adalah akar dari bagian sett (sett root) dan dilanjutkan dengan pertumbuhan akar
tunas (shoot root) (James 2004; Smith et al. 2005). Akar sett dapat muncul 24 jam
setelah penanaman. Akar ini akan tumbuh dengan baik dan bercabang selama
minggu-minggu pertama perkecambahan. Akar kedua yaitu akar tunas akan
muncul berasal dari dasar tunas yang baru, 5‒ 7 hari setelah tanam. Akar tersebut
lebih tebal dan berair dibandingkan dengan akar sett yang kemudian akan
berkembang menjadi akar utama (Smith et al. 2005). Akar sett akan tumbuh untuk
memenuhi air dan nutrisi selama pertunasan, namun akan mati ketika fungsinya
tergantikan oleh akar tunas yang baru (Gambar 3) (James 2004; Smith et al.
2005).
Tebu memiliki beberapa variasi sistem akar yaitu antara lain, akar dangkal
(superficial root), akar penopang (buttress root), dan sistem tali (rope system).
Akar dangkal berfungsi menyerap air dan nutrisi di dalam tanah selama
pertumbuhan. Akar penopang berfungsi menjaga kestabilan tanaman, sedangkan
akar dengan sistem tali merupakan akar yang dapat menembus hingga kedalaman
3‒ 6 m (James 2004).

Gambar 3. Struktur akar tebu (Smith et al. 2005)
Struktur dan Siklus Replikasi Virus
Virus merupakan suatu partikel yang terdiri dari asam nukleat berupa DNA
atau RNA saja dan terbungkus dalam suatu pelindung berupa protein. Selubung
protein yang menyelubungi genom virus disebut kapsid. Kapsid terbentuk dari
banyak subunit protein yang disebut kapsomer. Virus merupakan parasit obligat,
yaitu hanya dapat bereproduksi di dalam sel inang. Virus tidak memiliki enzim
untuk melakukan metabolisme dan tidak memiliki ribosom atau peralatan lainnya

7
untuk membuat protein sendiri sehingga mengambil alih fungsi sel inangnya
untuk bereplikasi (Cambell et al. 2006).
Virus memiliki dua macam siklus replikasi, yaitu siklus litik dan siklus
lisogenik. Siklus litik merupakan siklus yang menyebabkan kematian sel
inangnya. Gen-gen virus dengan cepat mengubah sel inang menjadi semacam
pabrik untuk memproduksi asam amino dan proteinnya. Tahap akhir dari siklus
tersebut adalah lisisnya dinding sel inang dan melepaskan virus baru yang dapat
menginfeksi tanaman sehat lainnya. Berbeda dengan siklus litik, siklus lisogenik
mereplikasi genomnya tanpa menghancurkan inang. Molekul DNA atau RNA
dimasukkan ke dalam genom inang melalui rekombinasi genetik seperti pindah
silang. Ketika terjadi pembelahan sel, maka DNA inang bersamaan dengan DNA
atau RNA virus bereplikasi sehingga menurunkan salinannya ke sel anaknya.
Mekanisme tersebut membuat virus dapat bereplikasi tanpa membunuh inangnya.
Namun pada kondisi tertentu, siklus replikasi virus dapat berubah dari siklus litik
menjadi siklus lisogenik (Cambell et al. 2006).
Virus Mosaik pada Tanaman Tebu
S. Officinarum L. merupakan salah satu spesies Saccharum yang paling
mudah terserang penyakit dibandingkan dengan spesies lainnya. Menurut Bailey
(2004), terdapat beberapa alasan yang menyebabkan spesies tersebut sangat
mudah terserang penyakit. Tanaman tersebut biasanya dibudidayakan dalam area
yang sangat luas dan kontinyu sehingga penyakit sangat mudah berkembang dan
menyebar. Tanaman tersebut juga diperbanyak secara vegetatif dan dibudidayakan
dengan stek dan ratun. Hal ini mengakibatkan perkembangan penyakit menjadi
sangat efektif dan terus berulang setiap siklus tumbuhnya.
Terdapat beberapa jenis penyakit tebu, baik yang disebabkan oleh jamur,
bakteri, maupun virus. Pada beberapa tahun terakhir, penyakit yang disebabkan
oleh virus merupakan salah satu masalah yang sangat serius. Salah satunya adalah
penyakit mosaik yang disebabkan oleh sugarcane mosaic virus (SCMV). Penyakit
mosaik dapat menurunkan rendemen tebu hingga 30─40% (Bailey 2004). Mosaik
tersebar diseluruh perkebunan tebu dan dilaporkan terdapat tujuh tipe mosaik di
daerah Jawa di Indonesia (Mirzawan et al.1996).
Secara visual, mosaik diidentifikasi pada pola klorosis pada helai daun.
Pada awal serangan, gejala menyerupai pola mosaik pada kain perca yang
kemudian berkembang pada daerah sekitarnya sepanjang lamina daun. Beberapa
klon tebu menunjukkan reaksi yang lebih parah seperti kemerah-merahan dan
nekrosis pada jaringan yang terinfeksi (Smith 1996).
Aplikasi Kultur Apeks dan Meristem untuk Eliminasi Virus
Kultur apeks dan meristem pada beberapa tahun terakhir merupakan cara
yang umum digunakan untuk mengeliminasi virus. Meristem merupakan jaringan
embrionik yang selalu tersedia dan aktif, serta terus-menerus membelah
menghasilkan sel-sel baru (Campbell et al. 2006; Levetin dan McMahon 2008).
Apeks merupakan struktur yang terdiri dari meristem lateral atau apikal yang
mengandung primordia daun. Sel meristem yang paling muda umumnya bebas
dari virus dan parasit obligat lainnya karena sel-sel tersebut tidak memiliki

8
plasmodesmata, perkembangan selnya yang cepat, dan terjadinya persaingan
nukleotida untuk pembelahan sel dengan replikasi virus, serta adanya zat inhibitor
(Bittner et al. 1989). Apeks memiliki ukuran yang proposional sehingga memiliki
kemampuan regenerasi yang baik daripada meristem, namun tingkat eliminasi
virus lebih efektif dengan ukuran apeks yang lebih kecil (0.2─0.4 mm) (Wang dan
Valkonen 2008). Menurut Ramgareeb et al. (2010), meristem dengan ukuran
kurang dari 1 mm merupakan bahan yang optimal untuk mendapatkan tanaman
yang bebas virus, namun memiliki daya tumbuh yang rendah, yaitu sekitar 46%
pada tanaman tebu.
Aplikasi Perlakuan Air Panas untuk Eliminasi Virus
Perlakuan air panas atau yang juga dikenal dengan nama termoterapi,
merupakan salah satu metode eliminasi virus melalui perendaman air panas.
Metode tersebut pertama kali dilakukan untuk mengeliminasi virus kentang pada
tahun 1949 (Kaiser 1980). Metode tersebut dapat mengurangi jumlah virus pada
suhu yang tinggi. Suhu yang lebih tinggi dari suhu optimal yang digunakan untuk
pertumbuhan tanaman dapat menekan multiplikasi patogen dan meningkatkan
degradasi RNA virus (Wang dan Valkonen 2008). Menurut Damayanti et al.
(2010), titik inaktivasi termal sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) adalah
antara suhu 55‒ 60 oC, namun suhu tersebut lebih tinggi dari titik kematian termal
jaringan tebu. Suhu 53 oC selama 10 menit merupakan suhu di mana tanaman
mampu bertahan hidup dan tumbuh, namun tidak semua biakan bebas virus
SCSMV. Ramgareeb et al. (2010) menambahkan bahwa perlakuan air panas pada
meristem dengan ukuran kurang dari 2 mm merupakan metode yang efektif dalam
menghasilkan tanaman tebu yang bebas virus. Metode tersebut lebih efektif
meningkatkan daya tumbuh tebu daripada hanya melalui kultur meristem dengan
ukuran kurang dari 1 mm.
Aplikasi Bahan Antiviral untuk Eliminasi Virus
Kemoterapi merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk eliminasi
virus tanaman menggunakan bahan kimia sebagai agen antiviral (Hadidi et al.
1998). Salah satu agen antiviral yang umum digunakan adalah ribavirin (1-β-ᴅ ribofuranosyl-1,2,4-triazole-3-carboxamide) (Gambar 4). Ribarivin merupakan
suatu senyawa kimia yang disintesis dari kombinasi turunan 1,2,4-triazole-3carboxamide dan ribofuranoside. Kerja antiviral sangat spesifik tergantung pada
strukturnya, sehingga kehilangan satu basa dapat mengurangi efektivitas kerja
agen tersebut. Ribavirin melakukan tiga mekanisme dalam menonaktifkan kerja
virus, yaitu penurunan konsentrasi GTP (Guanosine-5'-triphosphate) di
intraseluler yang disebabkan oleh hambatan kompetitif dari IMP (Inosine-5'monophosphate) dehidrogenase, menghambat pembentukan 5'-cap mRNA dan
menghambat fungsi dari virus-coded RNA polimerase yang digunakan untuk
inisiasi dan pemanjangan mRNA virus (Gilbert dan Khight 1986). Menurut Hu et
al. (2012), penggunaan ribavirin (Sigma-Aldrich) dengan konsentrasi 25 µg l-1
selama 5‒ 25 hari pada tanaman pir sangat efektif dalam menghambat
pertumbuhan virus yang dikombinasikan dengan metode termoterapi meristem
berukuran 0.5‒ 1 mm. Pada penelitian Singh et al. (2007) penggunaan ribavirin

9
(virazole) 40 dan 60 mg l-1 selama 6‒ 8 minggu sangat efektif dalam
mengeliminasi virus pada tanaman gladiol.

Gambar 4. Struktur kimia ribavirin (Keya et al. 2003)
Aplikasi Pembekuan Jaringan untuk Eliminasi Virus
Pembekuan jaringan atau yang dikenal dengan metode kriopreservasi,
merupakan metode yang digunakan dalam penyimpanan plasma nutfah pada suhu
ekstrim rendah atau dengan menggunakan nitrogen cair (-196 oC) (Kartha 1985).
Metode kriopreservasi juga dapat digunakan untuk mengeliminasi patogen yang
ada pada jaringan tanaman sehingga disebut juga sebagai metode krioterapi.
Pembekuan jaringan dilaporkan dapat mengeliminasi tujuh kelompok virus yang
tidak berkerabat dan dua tipe bakteri pada mata tunas, akar dan umbi kentang
(Solanum tuberosum L.; Solanaceae), ubi (Ipomoea batatas [L.] Lam.;
Convolvulaceae), anggur (Vitis vinifera L.; Vitaceae), Citrus spp. dan Prunus
(Rosaceae), tanaman berry (Rubus idaeus L.; Rosaceae) dan kumpulan sel
meristematik pisang (Musa spp.; Musaceae) (Wang dan Valkonen 2008).

Gambar 5. Mekanisme eliminasi patogen dengan teknik krioterapi (Wang dan
Valkonen 2008)

10
Pembekuan jaringan memberikan manfaat berdasarkan perbedaan sifat
fisiologi dan anatomi antara sel meristem dengan sel pada jaringan lainnya. Sel
yang terinfeksi dapat hancur akibat perlakuan suhu rendah dalam nitrogen cair.
Sel meristem yang bebas virus akan mampu tumbuh dan berdiferensiasi
membentuk tunas baru, sehingga tanaman yang tumbuh terbebas dari virus
(Gambar 5) (Wang dan Valkonen 2008).
Terdapat beberapa macam teknik pembekuan jaringan, yaitu teknik lama
dan teknik baru. Teknik lama dikenal dengan teknik freeze-induced dehydration,
yaitu dehidrasi dilakukan dengan dengan cara pembekuan pada suhu di bawah
titik beku air hingga -40 oC, sedangkan teknik baru didasarkan pada teknik
vitrifikasi, yaitu dehidrasi dilakukan pada suhu di atas titik beku. Vitrifikasi
merupakan fase transisi air dari bentuk cair menjadi bentuk nonkristalin atau
amorf, tembus pandang akibat elevasi ekstrim dari larutan viskos selama
pendinginan. Fase tersebut didasarkan pada dehidrasi non freezing, yaitu dengan
perendaman dalam krioprotektan pada suhu 0‒ 25 oC dan dilanjutkan dengan
pembekuan dan pelelehan. Teknik-teknik pembekuan lainnya, yaitu (1) vitrifikasi,
(2) enkapsulasi dehidrasi, (3) enkapsulasi-vitrifikasi, (4) desikasi, (5) pratumbuh,
(6) pratumbuh-desikasi, dan (7) droplet (Roostika dan Mariska 2003).

11

2 OPTIMASI PERLAKUAN AIR PANAS PADA APEKS
TEBU
Pendahuluan
Mosaik merupakan salah satu penyakit pada tanaman tebu. Penyakit mosaik
sangat mudah menyebar pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif. Efek
utama dari infeksi virus mosaik adalah terhambatnya pertumbuhan batang
sehingga tanaman mengalami penurunan rendemen 20‒ 30% (Bailey 2004). Pada
tebu varietas PS864, penyakit mosaik dapat menurunkan potensi hasil mencapai
22% (Asnawi 2009). Oleh karena itu, diperlukan benih tebu yang bebas virus
dengan menerapkan berbagai metode eliminasi virus.
Kultur meristem merupakan salah satu metode eliminasi virus yang umum
digunakan, namun secara teknis sulit dilakukan dan daya regenerasi meristem
rendah, mengakibatkan perlunya dilakukan metode eliminasi virus lainnya. Apeks
merupakan struktur yang terdiri dari meristem (lateral atau apikal) yang
mengandung primordia daun. Apeks memiliki ukuran yang proposional sehingga
memiliki kemampuan regenerasi yang lebih tinggi daripada meristem (Bittner et
al., 1989; Wang dan Valkonen, 2008; El Far dan Ashoub, 2009). Ukuran apeks
yang lebih besar daripada meristem dapat mengurangi tingkat efektivitas dalam
mengeliminasi virus sehingga akan lebih efektif jika dikombinasikan dengan
metode lainnya, seperti perlakuan air panas atau dikenal dengan HWT.
Metode HWT banyak dilakukan pada bagal tebu dengan tingkat eliminasi
virus dan daya hidup yang rendah pada suhu tinggi. Hal tersebut dilaporkan oleh
Maharlika (2009), di mana HWT pada bagal tebu pada suhu 55 oC selama 20‒ 30
menit hanya dapat mengurangi intensitas serangan SCSMV 9.1‒ 9.9%. Oleh
sebab itu, penggunaan apeks diharapkan dapat meningkatkan efektivitas eliminasi
virus. Namun demikian, HWT seringkali mengakibatkan thermo-shock pada
tanaman sehingga tanaman tidak dapat hidup dan beregenerasi akibat perlakuan
suhu tinggi. Sebaliknya, titik inaktivasi termal virus mendekati titik termal
kematian tanaman tersebut (Damayanti et al. 2010). Metode HWT yang optimal
adalah metode yang mampu meningkatkan daya hidup tanaman mendekati titik
termal inaktivasi virus. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh HWT terhadap pertumbuhan tanaman.
Bahan dan Metode
Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga Agustus 2013 di Unit
Produksi Benih Unggul Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
dan Laboratorium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan,
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya
Genetik Pertanian, Cimanggu, Bogor. Uji Histologi dilakukan di Laboratorium
Pertumbuhan dan Perkembangan Tumbuhan, Fakultas Biologi Universitas Gajah
Mada (UGM).
Eksplan yang digunakan berupa apeks tebu PS864 (subkultur ke-7-9) yang
terdiri atas dome dengan 5 primordia daun (LP5). Bahan kimia yang digunakan
adalah media MS (Murashige dan Skoog 1962), 6-benzyl-adenine (BA), dan
indole-3-butyric acid (IBA). Bahan-bahan lain yang digunakan adalah air

12
destilata, alkohol, spritus, dan phytagel. Alat-alat yang akan digunakan meliputi
laminar air flow cabinet (LAF), otoklaf, alat tanam seperti pinset, scalpel, bunsen,
dan botol tanam.
Penelitian terbagi atas tiga macam percobaan, yaitu metode HWT secara
langsung, metode HWT tidak langsung tanpa saringan, dan metode HWT secara
tidak langsung dengan saringan (Gambar 6). Setelah perlakuan HWT, eksplan
ditanam pada media regenerasi (MS + BA 0.3 ppm). Pengamatan dilakukan
selama 4 minggu. Peubah yang diamati meliputi jumlah eksplan yang hidup,
jumlah eksplan membentuk tunas, dan jumlah tunas yang terbentuk.
Percobaan disusun dalam lingkungan Rancangan Acak Lengkap. Data
percobaan dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA) menggunakan program
Statistik Analysis Software (SAS versi 9). Nilai rata-rata dihitung dan
dibandingkan menggunakan uji selang berganda duncan (DMRT) pada taraf 5%
(P