1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa
yang akan datang, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental, dan sosial secara seimbang. Fakta-fakta sosial yang belakangan ini terjadi dalam kehidupan bermasyarakat
adalah permasalahan yang terkait anak, dimana dalam kehidupan sosial yang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut, kita dihadapkan lagi dengan permasalahan
penanganan anak yang diduga melakukan tindak pidana. Peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia
untuk memberikan perlindungan hak terhadap anak antara lain : Undang-undang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak,
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dimana secara substansinya Undang-Undang tersebut mengatur hak-hak anak yang
berupa, hak hidup, hak atas nama, hak pendidikan, hak kesehatan dasar, hak untuk beribadah menurut agamanya, hak berekspresi, berpikir, bermain, berkreasi,
beristirahat, bergaul dan hak jaminan sosial.
2
Seperti halnya orang dewasa, anak sebagai pelaku tindak pidana juga akan mengalami proses hukum yang identik dengan orang dewasa yang melakukan tindak
pidana, arti kata identik disini mengandung arti ”hampir sama”, yang berbeda hanya lama serta cara penanganannya.
Menghadapi dan menangani proses peradilan anak yang terlibat tindak pidana, maka hal yang pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kedudukannya
sebagai anak dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus, dengan demikian orientasi adalah bertolak dari konsep perlindungan terhadap anak dalam proses
penangannya sehingga hal ini akan berpijak pada konsep kejahteraan anak dan kepentingan anak tersebut. Penanganan anak dalam proses hukumnya memerlukan
pendekatan, pelayanan, perlakuan, perawatan serta perlindungan yang khusus bagi anak dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum. Perlindungan dalam proses penerapan sanksi kepada anak terhadap tindak
pidana yang dilakukan oleh anak adalah sebagai bentuk perhatian dan perlakuan khusus untuk melindungi kepentingan anak. Perhatian dan perlakuan khusus tersebut
berupa perlindungan hukum agar anak tidak menjadi korban dari penerapan hukum yang salah yang dapat menyebabkan penderitaan mental, fisik dan sosialnya.
Perlindungan terhadap anak sudah diatur dalam ketentuan hukum mengenai anak. Khususnya bagi anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak pada tanggal 3 Juli 2012 beberapa bulan yang lalu, patut kita apresiasi
3
bersama sebagai salah satu pembaharuan hukum social enginering di masa mendatang. Lahirnya undang-undang itu meski baru berlaku 2 dua tahun sejak
diundangkan yakni tahun 2014, setidaknya memberi “nafas” baru bagi anak, dimana
kepentingannya perlu mendapatkan perlakuan hukum “istimewa”, terutama ketika sang anak tersebut melakukan tindak pidana.
Bahwa Undang-undang No. 11 Tahun 2012 memberikan pembedaan perlakuan dan perlindungan terhadap pelaksanaan hak-hak dan kewajiban anak,
khususnya anak sebagai tersangka dalam proses peradilan pidana, yaitu meliputi seluruh prosedur acara pidana, mulai dari penyelidikan, penyidikan dan berakhir pada
pelaksanaan pidana. Dalam penerapan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana
berbeda perlakuannya dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Semuanya jelas dilandaskan pada asas kepentingan terbaik anak the best interest of
the child, sebagaimana yang diamanatkan dalam konvensi internasional tentang hak- hak anak.
Fakta di lapangan juga membuktikan bahwa kadang anak yang melakukan tindak pidana, meskipun melakukan tindak pidana ringan namun kemudian mendapat
sanksi pidana berat. Beberapa fakta di lapangan dapat menjadi bukti. Kita masih ingat, kasus yang menimpa seorang siswa kelas satu SMK di Palu berusia 15 tahun di
Sulawesi Tengah, diancam hukuman lima tahun penjara gara-gara dituduh mencuri sandal jepit. Anak tersebut diadili di Pengadilan Negeri Palu Selasa 20 Desember
2011 karena didakwa mencuri sandal jepit milik Brigadir Satu Polisi Ahmad Rusdi Harahap. Jaksa mendakwanya dengan pasal 362 KUHP dengan ancaman pidana lima
tahun penjara dan hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah.
4
Jadi perlakuan hukum pada anak sudah selayaknya mendapatkan perhatian yang serius karena bagaimana pun anak
– anak ini adalah masa depan suatu bangsa. Oleh karena itu dalam pengambilan keputusan, hakim harus yakin benar bahwa
keputusan yang diambil akan dapat menjadi satu dasar yang kuat untuk mengembalikan dan mengatur anak menuju masa depan yang baik untuk
mengembangkan dirinya sebagai warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi kehidupan bangsa.
Berdasarkan hal – hal tersebut diatas, maka penulis merasa tertarik untuk
melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul: Dasar
Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Dalam Menangani
Perkara Anak
B. Rumusan Masalah