Dinamika Kebijakan Kelautan dan Perikanan Moch. Salim
69 kebijakan Pemerintah Daerah meskipun
kadang kurang
dilandasi dengan
argumentasi yang memadai. Kuatnya posisi tawar lembaga DPRD menjadi
karaktersistik utama iklim demokrasi di daerah pada masa itu terutama dalam
proses pengambilan keputusan kebijakan publik yang memerlukan proses legislasi
misalnya seperti dalam penyusunan Peraturan Daerah Perda dan terutama
pada penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD. Di tingkat
masyarakat, gejolak perubahan dalam masa awal reformasi dirasakan semakin
meningkatkan tekanan kepada birokrasi dengan lebih menyoroti transparansi
pengelolaan pembagunan di daerah. Aksi demonstrasi semakin marak untuk
mengungkapkan perasaan ketidakpuasan masyarakat atas implementasi kebijakan
publik di setiap tingkatan. Kejadian ini turut menyuburkan kemunculan lembaga
swadaya
masyarakat LSM
yang memfungsikan diri sebagai lembaga
”mediasi” berbagai kepentingan. Delegasi kewenangan melalui
otonomi daerah ini membawa angin segar kepada Pemerintah Daerah tidak
terkecuali bagi Pemerintah Kabupaten Rembang
untuk meningkatkan
pembangunan perekonomian
daerah yang selama masa Orde Baru cenderung
statis dan
bahkan mengalami
pertumbuhan ekonomi negatif pada masa krisis moneter tahun 1998 yaitu
minus 9,96 persen.
8
Namun upaya untuk mengembalikan
kehidupan perekonomian daerah selepas masa Orde
Baru tampaknya tidak terlalu mudah untuk dilaksanakan, karena selama
rezim
Orde Baru
segala sendi
perekonomian daerah telah terbelenggu oleh sistem ekonomi dengan sentralisasi
yang kuat, kebijakan bersifat monopoli, praktik perburuan rente ekonomi, serta
pemberian
lisensi khusus
untuk golongan tertentu saja. Kondisi tersebut
masih diperberat
dengan paradoks
kebijakan dan
ketergantungan pembiayaan
pembangunan dari
Pemerintah Pusat
yang masih
membayangi langkah
Pemerintah Daerah untuk benar - benar mewujudkan
daerah yang
mandiri serta
menyejahterakan seluruh masyarakat.
a. Pemerintah Kabupaten Rembang
pada Masa Awal Reformasi
Paradoks dalam
hal prioritas
pembangunan juga terjadi di Kabupaten Rembang,
meskipun Kabupaten
Rembang memiliki potensi laut yang besar, namun prioritas pembangunan
masih dititikberatkan
pada sektor
pertanian.
9
Sebenarnya Pemerintah
Kabupaten Rembang menyadari hal tersebut, akan tetapi masih tampaknya
masih sulit untuk menemukan kebijakan yang tepat untuk mengembangkan sektor
ini
secara masif,
sehingga dapat
memberi keuntungan signifikan dalam pembangunan ekonomi masyarakat dan
daerah Kabupaten Rembang. Bahkan
motto
yang dipakai Kabupaten Rembang yang pertama kali dicetuskan pada masa
Bupati Wachidi Riyono yaitu “Rembang Bangkit” Perda Nomor 2 tahun 1992
kurang mencerminkan potensi kelautan sebagai daerah pesisir yang seharusnya
memiliki identitas kawasan “Bahari”. Hal demikian berarti sektor kelautan dan
perikanan di Kabupaten Rembang belum menjadi
leading sector
dan bahkan kurang mendapatkan perhatian yang
proporsional.
10
Paradigma pembangunan per- ikanan dan kelautan yang bersifat
top- down
sebagaimana yang dijelaskan di atas menimbulkan berbagai dampak.
Dampak
pertama
berkaitan dengan pengelolaan
potensi sumberdaya
perikanan dan kelautan yang kurang proporsional. Artinya, dengan potensi
perikanan dan kelautan yang begitu besar yang dimiliki oleh Kabupaten
70 Rembang namun tidak dikelola dengan
baik hal ini dapat dilihat dari anggaran sektor perikanan yang sangat rendah.
Dampak
kedua,
bahwa model
pembangunan dengan
menggunakan paradigma
top-down
juga mengakibatkan semangat inisiatif dan
inovatif menjadi rendah. Hal ini terjadi karena berbagai macam kegiatan dan
program sudah ditentukan dan didesain dari Dinas Perikanan Provinsi atau pun
dari Direktorat Jenderal Perikanan di Jakarta. Sementara itu Dinas Perikanan
Kabupaten Rembang lebih banyak berfungsi sebagai pelaksana atau bahkan
sebagai pendamping pelaksana belaka. Dampak
ketiga
dari paradigma
pembangunan yang bersifat
top-down
yang sangat dirasakan secara langsung oleh
masyarakat adalah
terjadinya sebuah paradoks. Paradoks ini berkaitan
dengan kenyataan bahwa meskipun Kabupaten Rembang memilki potensi
sumberdaya
alam kelautan
yang melimpah tetapi kondisi masyarakat,
terutama nelayan, masih sangat miskin. Kondisi keterbelakangan sektor
perikanan dan kelautan sebagaimana yang
digambarkan di
atas telah
menimbulkan kesan bagi banyak orang bahwa meskipun Kabupaten Rembang
memiliki sumberdaya laut yang luas, namun
tidak begitu
memberikan kontribusi
yang signifikan
dalam kehidupan
ekonomi rakyat
dan pendapatan bagi pemerintah Kabupaten
Rembang yang tercermin dari kontribusi sektoral maupun sumbangan Pendapatan
Asli Daerah PAD. Sumbangan PAD dari Sektor Kelautan dan Perikanan
hanya berkisar empat persen.
11
Baru setelah
Reformasi dan
penerapan semangat
otonomi daerah,
secara bertahap akhirnya kebijakan untuk
membuat sektor kelautan dan perikanan berkembang secara dinamis, meskipun
hal
itu masih
berjalan secara
evolusioner. Pendelegasian kewenangan dalam UU No. 22 tahun 1999 dicoba
untuk diadaptasikan dalam implemetasi kebijakan daerah dengan pertama kali
melakukan pembenahan kelembagaan melalui restrukturisasi stuktur organisasi
dan tata kerja SOTK. Namun baru pada
tahun 2001
dilaksanakan pembahasan dan pengesahan SOTK
untuk penyesuaian bentuk Dinas dan Lembaga Teknis Daerah Lemtekda di
tingkat Kabupaten Rembang dengan pelimpahan kewenangan yang baru.
Terbentuknya Dinas Perikanan dan
Kelautan melalui
ketetapan Peraturan Daerah Nomer 7 tahun 2001,
memiliki arti yang cukup penting bagi pelaksanaan otonomi di Kabupaten
Rembang. Mustain mengatakan bahwa besarnya peluang pengembangan potensi
bahari
di Kabupaten
Rembang tampaknya telah mulai disadari oleh tim
perumus SOTK untuk memasukkan unsur ”kelautan” dalam nomenklatur
Dinas.
12
Hasil perumusan tim ini juga dikuatkan
oleh DPRD
dengan meloloskan
Dinas Perikanan
dan Kelautan sebagai dinas teknis daerah
mandiri di bawah pejabat setingkat eselon IIb yang sebelumnya hanya
setingkat eselon IIIb. Terbentuknya Dinas Perikanan dan Kelautan ini
menjadi modal penting bagi daerah untuk memperluas penjabaran berbagai
kewenangan daerah di sektor kelautan dan perikanan di Kabupaten Rembang.
Selama masa transisi ini, sebagai payung hukum pelaksanaan delegasi
kewenangan di sektor kelautan dan perikanan telah dikeluarkan beberapa
produk regulasi baik berupa undang- undang maupun Peraturan Pemerintah
yang diamanatkan sebagai acuan dalam perumusan
kebijakan di
daerah. Keluarnya
beberapa Peraturan
Pemerintah tersebut merupakan produk regulasi di bidang perikanan dan
kelautan yang semasa awal pelaksanaan otonomi daearah telah menjadi landasan
Dinamika Kebijakan Kelautan dan Perikanan Moch. Salim
71 bagi
Kabupaten Rembang
dalam pelaksanaan kebijakan serta perumusan
regulasi sektor perikanan dan kelautan pada tataran operasional. Bila disimak
lebih
jauh, substansi
Peraturan Pemerintah tersebut berkaitan dengan
pembagian batas
kewenangan pengelolaan wilayah laut serta lingkup
perizinan usaha perikanan yang pada tahap
implementasinya kerap
menimbulkan tarik ulur kepentingan antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan
Kabupaten dengan
mengusung argumennya masing-masing. Sementara
itu persoalan kelautan dan perikanan sendiri
mempunyai kompleksitas
permasalahan yang lebih luas. Hal ini mengingat faktor sumberdaya perikanan
dan kelautan yang bersifat
open access
yang tidak jarang menjadi muara timbulnya perselisihan antar nelayan,
seperti terjadinya konflik penggunaan jenis alat tangkap dalam konteks
pemanfaatan
sumberdaya perikanan
tersebut, meskipun hal itu telah diatur dalam peraturan-peraturan yang lebih
teknis.
b. Implementasi Otonomi Daerah