DAYA IKAT PERSETUJUAN NEW YORK (NEW YORK AGREEMENT) 1962 ANTARA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN BELANDA MENGENAI PAPUA BARAT BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL

(1)

ABSTRAK

DAYA IKAT PERSETUJUAN NEW YORK (NEW YORK AGREEMENT) 1962 ANTARA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN

BELANDA MENGENAI PAPUA BARAT BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL

Oleh

Agit Yogi Subandi

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu propinsi Kerajaan Belanda, sama dengan daerah-daerah lainnya. Terjadilah perseteruan antara kedua negara. Perseteruan ini akhirnya menarik pandangan PBB untuk menengahi permasalah kedua negara tersebut. PBB sebagai organisasi yang memegang teguh prinsip perdamaian antar negara dan mengakui kemerdekaan setiap bangsa merasa perlu untuk menjadi fasilitator untuk perselisihan kedua negara tersebut. Dengan demikian, terjadilah sebuah perundingan antara kedua negara, Indonesia dan Belanda di New York. Inilah yang melatarbelakangi Perjanjian New York 1962 mengenai Irian Barat yang menghasilkan kesepakatan, bahwa Irian Barat atau Papua Barat berhak untuk melakukan penentuan nasib sendiri.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah, bagaimana kekuatan mengikat Perjanjian New York (New York Agreement) 1962 dalam penyelesaian masalah Papua Barat dan apakah hasil dari Pepera yang dilaksanakan pada tahun 1969, dapat digunakan sebagai dasar disintegrasi wilayah dan rakyat Papua Barat ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Metode yang dipilih adalah metode penelitian secara deskriptif kualitatif dengan pendekatan masalah melalui yuridis normatif (formal).

Hasil penelitian ini adalah, Secara de jure pengakuan terhadap kemerdekaan suatu Negara dari Negara-negara lain merupakan status yang menentukan bagi sebuah Negara yang baru merdeka, namun secara de facto Papua merupakan jajahan Belanda yang berada dalam lingkup territorial yang menyebabkan pernyataan


(2)

oleh PBB atas dasar kesepakatan dari pihak-pihak yang berjanji serta dukungan dari Negara anggota yang menyatakan bahwa hasilnya adalah sah. Secara hukum internasional, hasil dari kesepakatan itu tidak bisa diganggu gugat, dengan demikian Pepera sebagai dasar untuk intergarasi ke dalam wilayah Indonesia merupakan suatu penguatan atas doktrin uti possidetis juris yang berarti bahwa negara-negara baru yang lahir dari proses dekolonisasi mempunyai batas-batas wilayah yang sama dengan batas-batas wilayah rezim kolonial sebelumnya. Selain itu, diterimanya Hasil Pepera oleh Majelis Umum PBB dengan Resolusi No. 2504 (XXIV) tanggal, 19 Nopember 1969, adalah tambahan bagi instrumen hukum bagi kedua negara dan telah dianggap sah sebagai hukum dan wajib untuk dilaksanakan serta tidak dapat diganggu gugat.

Kata kunci: Daya Ikat, Perjanjian New Yok 1962, Pepera.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perjanjian New York 1962, merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk menjaga dan mempertahankan keutuhan kedaulatan NKRI. Usaha ini mendapatkan banyak sekali tantangan, baik itu dari pengklaiman Kerajaan Belanda yang ingin menjadikan Papua Barat sebagai Boneka atau pergolakan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi yang berada di wilayah Papua Barat itu sendiri yang hendak memisahkan Papua Barat dari NKRI.

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu propinsi Kerajaan Belanda, sama dengan daerah-daerah lainnya1. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an. Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai

1

Neles Tebay. Human Rights in Papua: An overview(Conference “Autonomy for Papua –Opportunity or Illusion?”, 04-05.06.2003. Diakses pada 12 Maret 2008.


(4)

keputusan mengenai Papua Barat, namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu satu tahun.

Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua Barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB.2 Karena Indonesia mengklaim Papua Barat sebagai daerahnya, maka Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini. Sebagai kelanjutannya, pada tahun 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota di Soasiu yang berada di Pulau Halmahera, dengan gubernur pertamanya, Zainal Abidin Syah.3 Selain itu juga diadakan berbagai pemilihan umum untuk memilih perwakilan rakyat Papua dalam pemerintahan, mulai dari tanggal 9 Januari 1961 di 15 distrik. Hasilnya adalah 26 orang wakil yang terbagi atas: 16 laki-laki dipilih, 23 orang Papua asli laki-laki, dan 1 wanita. Dewan Papua ini dilantik oleh gubernur Pieter J. Platteel4 pada tanggal 1 April 1961, dan mulai menjabat pada 5 April 1961. Pelantikan ini dihadiri oleh wakil-wakil dari

2 Chapter xi: Declaration Regarding non-self-Governing Territories Article 73e: to transmit regularly to the Secretary-General for information purposes, subject to such limitation as security and constitutional considerations may require, statistical and other information of a technical nature relating to economic, social, and educational conditions in the territories for which they are respectively responsible other than those territories to which Chapters XII and XIII apply. 3

Zainal Abidin Syah adalah Gubernur pertama Papua yang berkuasa dari tahun 1956 sampai tahun 1961. Saat panasnya hubungan antara Belanda dan Indonesia yang mempermasalahkan Irian Barat, ia diangkat menjadi gubernur provinsi Irian Jaya dengan ibukota di Soasiu, Halmahera. Dikutip dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Zainal_Abidin_Syah, diakses pada tangga, 13 Maret 2009.

4

Menurut Besluit tersebut, Gubernur menyelenggarakan pemerintah umum atas nama Ratu Belanda di Nieuw Guinea (Title I Pasal I). Gubernur menyelenggarakan

pemerintahan-pemerintahan umum di Nieuw Guinea atas nama dan sebagai wakil Ratu Belanda sesuai dengan ketentuan dalam peraturan ketatanegaraan itu, dan dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk Ratu (Pasal 29) Gubernur diangkat dan diberhentikan oleh Ratu Belanda (Pasal 11). Selama masa pemerintahan Nederland Nieuw Guinea, jabatan Gubernur berturut-turut dipegang oleh S. L. J. van Waardenburg (awal 1950 - Maret 1953), J. van Baal (April 1953 - April 1958) dan terakhir Pieter J. Platteel (Mei 1958 dan September 1962). Dikutip dari:


(5)

3

3 Australia, Britania Raya, Perancis, Belanda, dan Selandia Baru. Amerika Serikat diundang tapi menolak untuk hadir.

Kemudian, Dewan Papua mengadakan pertemuan pada tanggal 19 Oktober 1961 untuk memilih sebuah komisi nasional untuk kemerdekaan, bendera Papua, lambang negara, lagu kebangsaan ("Hai Tanahkoe Papua")5, dan nama Papua. Pada tanggal 31 Oktober 1961, bendera Papua dikibarkan untuk pertama kali dan manifesto kemerdekaan diserahkan kepada gubernur Pieter J. Platteel. Belanda mengakui bendera dan lagu kebangsaan Papua pada tanggal 18 November 1961, dan peraturan-peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1961.

Pada 19 Desember 1961, Soekarno menanggapi pembentukan Dewan Papua ini dengan menyatakan Trikora di Yogyakarta6, yang isinya adalah:

1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda. 2. Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh Irian Barat

3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum, mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air bangsa.

Sejalan dengan ketegasan pemerintah Indonesia untuk merebut wilayah Irian Barat dari penjajah Belanda, unsur- unsur kekuatan militer Belanda di Irian Barat bertambah dengan pesat.

5

Kutipan dari situs: http://belajarprestasi.blogspot.com/2009/01/peristiwa-trikora.html, diakses 7 April 2009.

6

SitusWikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia. Konflik Papua Barat: http://id.wikipedia.org/wiki/konflik_papua_barat, diakses 19 Januari 2009.


(6)

Karena kekhawatiran bahwa pihak komunis akan mengambil keuntungan dalam konflik ini, Amerika Serikat mendesak Belanda untuk berunding dengan Indonesia. Karena usaha ini, tercapailah persetujuan New York pada tanggal 15 Agustus 1962. Pemerintah Australia yang awalnya mendukung kemerdekaan Papua juga mengubah pendiriannya dan mendukung penggabungan dengan Indonesia atas desakan AS.

Tanggal 15 Agustus 1962, perundingan antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan di Markas Besar PBB di New York. Perundingan yang diprakarsai oleh PBB itu, Indonesia diwakili oleh Soebandrio dan Belanda diwakili oleh Jan Herman van Roijen dan C.W.A. Schurmann. Hasil dari perundingan tersebut menghasilkan poin-poin sebagai berikut (selengkapnya terlampir):

1. Belanda akan menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada UNTEA7, yang didirikan oleh Sekretaris Jenderal PBB. UNTEA kemudian akan menyerahkan pemerintahan kepada Indonesia.

2. Bendera PBB akan dikibarkan selama masa peralihan.

3. Pengibaran bendera Indonesia dan Belanda akan diatur oleh perjanjian antara Sekretaris Jenderal PBB dan masing-masing pemerintah.

4. UNTEA akan membantu polisi Papua dalam menangani keamanan. Tentara Belanda dan Indonesia berada di bawah Sekjen PBB dalam masa peralihan.

7 UNTEA, atau singkatan dari United Nations Temporary Executive Authority, adalah sebuah badan pelaksana sementara PBB yang berada dibawah kekuasaan sekretaris jendral PBB. UNTEA dikepalai oleh seorang yang diangkat oleh sekjen PBB dengan persetujuan antara Indonesia dan Belanda dan bertugas menjalankan pemerintahan Irian Barat dalam waktu satu tahun. UNTEA dibentuk karena terjadinya konflik antara Indonesia dan Belanda dalam permasalahan status Irian Barat, sehingga badan ini merupakan pengawas di Irian Barat setelah persetujuan New York. Tugas-tugas pokok UNTEA: (1) Menerima penyerahan pemerintahan atau wilayah Irian Barat dari pihak Belanda, (2) Menyelenggarakan pemerintahan yang stabil di Irian Barat selama suatu masa tertentu, (3) Menyerahkan pemerintahan atas Irian Barat kepada pihak Republik Indonesia.


(7)

5

5 5. Indonesia, dengan bantuan PBB, akan memberikan kesempatan bagi penduduk Papua bagian barat untuk mengambil keputusan secara bebas melalui:

a. Musyawarah dengan perwakilan penduduk Papua bagian barat b. Penetapan tanggal penentuan pendapat

c. Perumusan pertanyaan dalam penentuan pendapat mengenai kehendak penduduk Papua untuk

i. Tetap bergabung dengan Indonesia; atau ii. Memisahkan diri dari Indonesia

d. Hak semua penduduk dewasa, laki-laki dan perempuan, untuk ikut serta dalam penentuan pendapat yang akan diadakan sesuai dengan standar internasional

6. Penentuan pendapat akan diadakan sebelum akhir tahun 1969.

Pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan pemerintahan Papua Barat kepada Indonesia. Ibukota Hollandia dinamai Kota Baru dan pada 5 September 1963, Papua Barat dinyatakan sebagai "daerah karantina". Pemerintah Indonesia membubarkan Dewan Papua dan melarang bendera Papua dan lagu kebangsaan Papua. Keputusan ini ditentang oleh banyak pihak di Papua, dan melahirkan Organisasi Papua Merdeka atau OPM pada 1965. Untuk meredam gerakan ini, dilaporkan bahwa pemerintah Indonesia melakukan berbagai tindakan pembunuhan, penahanan, penyiksaan, dan pemboman udara. Menurut Amnesty International, lebih dari 100.000 orang Papua telah tewas dalam kekerasan ini. OPM sendiri juga memiliki tentara dan telah melakukan berbagai tindakan


(8)

kekerasan. Pada tahun 1969, diselenggarakan Pepera yang diatur oleh Jenderal Sarwo Edhi Wibowo.8

Menurut anggota OPM Moses Werror9, beberapa minggu sebelum Pepera, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ABRI menangkap para pemimpin rakyat Papua Barat dan mencoba membujuk mereka dengan cara sogokan dan ancaman untuk memilih penggabungan dengan Indonesia. Pepera ini disaksikan oleh dua utusan PBB, namun mereka meninggalkan Papua Barat setelah 200 suara (dari 105410) untuk integrasi. Hasil pelaksanaan Pepera adalah, Papua Barat bergabung dengan Indonesia dengan menjadi provinsi ke-26 Indonesia dengan nama, Irian Jaya.

Setelah Papua Barat digabungkan dengan Indonesia, maka Pemerintah Indonesia mengambil posisi sebagai berikut:

1. Papua Barat telah menjadi daerah Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1945 namun masih dipegang oleh Belanda.

2. Belanda berjanji menyerahkan Papua Barat kepada Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar.

8

Dikutip dari: http://wapedia.mobi/id/Operasi_Trikora?t=5., diakses 20 Maret 2009. 9

He was born on June 7, 1936 in Moor Island in western New Guinea now Irian Jaya. He had imagined of himself being a sailor, sailing around the world and visiting many new places. (dia dilahirkan pada tanggal 7 Juni 1936 di Pulau Moor di sebelah barat New Guinea yang sekarang di sebut Irian Barat/Irian Jaya. Dia memiliki pembayangan untuk dirinya sendiri menjadi seorang pelaut, berlayar berkeliling dunia dan mengunjungi tempat-tempat baru.

(http://www.irja.org/history/moses.htm) 10

Dengan Perincian sebagai berikut: Kabupaten Merauke (175 orang), Kabupaten Fak-Fak (75 orang), Kabupaten Sorong (110 orang), Kabupaten Manokwari (75 orang), Kabupaten Paniai (175 orang), Kabupaten Teluk Cenderawasih (130 orang), Kabupaten Jayawijaya (175 orang), Kabupaten Jayapura (110 orang). Totalnya adalah : 1025 Orang. Data ini bersumber dari: Dikutip dari tulisan, G.K.T.Ninati, Sep 18, 2005, mengenai Jalannya Pepera 1969 (Act Of Free Choice) Di Papua Barat dari situs: http://www.melanesianews.org/spm/publish/printer_1195.shtml,


(9)

7

7 3. Penggabungan Papua Barat dengan Indonesia adalah tindakan merebut

kembali daerah Indonesia yang dikuasai Belanda.

4. Penggabungan Papua Barat dengan Indonesia adalah kehendak rakyat Papua. Pada tahun 1980-an, Indonesia memulai gerakan transmigrasi, di mana puluhan ribu orang dari pulau Jawa dan Sumatera dipindahkan ke Provinsi Papua Barat dalam jangka waktu 10 tahun. Penentang program ini mencurigai usaha Indonesia untuk mendominasi Provinsi PapuaBarat dengan cara memasukkan pengaruh pemerintah pusat. Pada tahun 2000, presiden Abdurrahman Wahid memberi otonomi khusus kepada Provinsi Papua Barat untuk meredam usaha separatis. Provinsi ini kemudian dibagi dua menjadi Provinsi Papua Barat dan Irian Jaya Barat melalui instruksi Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 200111.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, maka yang menjadi pokok permasalahan yang akan dianalisis adalah:

1. Apakah perjanjian New York (New York Agreement) Tahun 1962 memiliki kekuatan mengikat berdasarkan ketentuan yang ada dalam Hukum Perjanjian Internasional, dan bagaimana akibat hukum dari perjanjian tersebut?

2. Apakah Pepera yang dilaksanakan pada tahun 1969, dapat digunakan sebagai dasar integrasi wilayah bagi rakyat Papua Barat ke dalam wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia?

11


(10)

C. Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan mengenai kekuatan mengikat Perjanjian New York (New York Agreement) 1962 dalam penyelesaian masalah Papua Barat.

2. Menjelaskan kekuatan Pepera yang dilaksanakan pada tahun 1969 apakah dapat digunakan sebagai dasar integrasi wilayah bagi rakyat Papua Barat ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia?

D. Manfaat Penelitian 1. Kegunaan Teoritis

Berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan hukum khususnya Hukum Perjanjian Internasional, sehingga dapat dijadikan bahan bacaan bagi umum dan sumber bacaan.

2. Kegunaan Praktis

(1) Memberikan informasi mengenai keabsahan sebuah perjanjian internasional dan seberapa kuat perjanjian tersebut mengikat Negara yang berjanji serta keberlangsungannya selama ini di Papua Barat. (2) Sebagai bahan dan wacana untuk pengembangan hukum terutama

mengenai Perjanjian Internasional.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini, maka secara keseluruhan sistematikanya sebagai berikut:


(11)

9

9

BAB I PENDAHULUAN

Memuat latar belakang penulisan dan memuat sejarah dalam latar belakang tersebut, penulis menarik pokok permalahan serta menyebutkan kegunaan dan tujuan penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar terhadap pengertian-pengertian judul dari skripsi yang juga memuat pengertian perjanjian Internasional secara umum maupun secara detail serta memuat mengenai Hukum Perjanjian Internasional secara jelas dan padat dan juga menampilkan gambaran umum mengenai sejarah perjanjian New York 1962 yang diberlakukan di Irian Barat.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode yang digunakan dalam penelitian, meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, teknik pengumpulan dan pengolahan dan serta analisis data.

BAB IV PEMBAHASAN

Bab ini berisi pembahasan yang mengemukakan hasil penelitian yaitu mengenai Keberlakuan Perjanjian New York Tahun1962 bagi Rakyat Irian Barat terhadap kekuatan Perjanjian Internasional

BAB V KESIMPULAN

Pada bab ini adalah penutup dari hasil penelitian yang berisikan kesimpulan dan saran-saran dari penulis mengenai permasalahan yang dibahas.

BAB VI DAFTAR PUSTAKA


(12)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Perjanjian New York 1962 memiliki kekuatan mengikat yang kuat, sehingga kekuatan hukum dari sebuah perjanjian tidak dapat diubah begitu saja tanpa ada argumen yang kuat pula untuk mengubahnya. Sehingga akibat hukumnya, harus melaksanakan apa yang telah tertera atau disepakati di dalam Perjanjian New York 1962 bahwa, setiap perjanjian internasional dilandasi atas asas

pacta sunt servanda, dan di dalamnya terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi apabila telah muncul kata sepakat dan setuju untuk terikat.

2. Dasar integrasi Papua ke dalam wilayah kedaulatan NKRI sangatlah jelas dan sudah tidak dapat diganggu gugat, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa negara Indonesia adalah wilayah kolonial dari Belanda yang juga memiliki konsekuensi terhadap batas-batas wilayah negara yang terakhir menjajah. Dalam doktrin uti possidetis juris, yang berarti bahwa negara-negara baru yang lahir dari proses dekolonisasi mempunyai batas-batas wilayah yang sama dengan batas-batas wilayah rezim kolonial sebelumnya, ini merupakan status yuridis yang tidak bisa dipungkiri lagi, ditambah lagi, kekuatan hukum dari Resolusi PBB 2504 yang merupakan hukum kebiasaan bagi masyarakat internasional dan pengakuan dari Negara-negara, tanpa ada


(13)

71

yang sulit, karena untuk membatalkannya harus dilakukan oleh Majelis Umum PBB melalui persetujuan negara anggota PBB, terutama pengakuan dari anggota negara-negara PBB terhadap wilayah suatu negara. Kesimpulan poin pertama (1), kekuatan mengikat yang sangat kuat itu telah disepakati dan harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang berjanji. Jika hendak menggugat hasil Pepera, maka harus memiliki argument yang kuat agar dapat dilakukan Pepera ulang. Hasil ini diterima dengan baik sebagai suatu hal yang final. Kemudian yang menguatkan lagi adalah sejak diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yang menjadikannya satu kesatuan cause celebrate untuk suatu wilayah Negara. Hal ini juga dikuatkan dengan dikeluarkan Resolusi Majelis Umum PBB No. 2504 (XXIV) tahun 1969 mengenai Papua Barat, sesungguhnya semakin menegaskan bahwa Irian Barat yang sekarang dikenal dengan Provinsi Papua, adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

B. Saran

1. Pemerintah hendaknya tegas menghadapi atau menindaklanjuti tuntutan yang dilakukan oleh Rakyat Papua Barat, dan menjalankan kewajiban sebagai negara kesatuan yang memiliki kedaulatan. Jika ada pihak-pihak yang mengganggu gugat Perjanjian New York 1962, maka pemerintah hendaknya menggunakan jasa-jasa para ahli hukum internasional agar dapat memberikan argumentasi yuridis yang kuat dan lengkap.

2. Pemerintah hendaknya berusaha keras untuk mengoptimalkan Otonomi Khusus Daerah Papua tahun 2001 untuk pembangunan dan kesejahteraan


(14)

Rakyat Papua. Dengan demikian, tuntutan dari Rakyat Papua menjadi lebih berkurang dan keutuhan Negara Republik Indonesia tetap utuh dan wibawa Indonesia di mata dunia tidak berkurang.


(1)

7

7 3. Penggabungan Papua Barat dengan Indonesia adalah tindakan merebut

kembali daerah Indonesia yang dikuasai Belanda.

4. Penggabungan Papua Barat dengan Indonesia adalah kehendak rakyat Papua. Pada tahun 1980-an, Indonesia memulai gerakan transmigrasi, di mana puluhan ribu orang dari pulau Jawa dan Sumatera dipindahkan ke Provinsi Papua Barat dalam jangka waktu 10 tahun. Penentang program ini mencurigai usaha Indonesia untuk mendominasi Provinsi PapuaBarat dengan cara memasukkan pengaruh pemerintah pusat. Pada tahun 2000, presiden Abdurrahman Wahid memberi otonomi khusus kepada Provinsi Papua Barat untuk meredam usaha separatis. Provinsi ini kemudian dibagi dua menjadi Provinsi Papua Barat dan Irian Jaya Barat melalui instruksi Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 200111.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, maka yang menjadi pokok permasalahan yang akan dianalisis adalah:

1. Apakah perjanjian New York (New York Agreement) Tahun 1962 memiliki kekuatan mengikat berdasarkan ketentuan yang ada dalam Hukum Perjanjian Internasional, dan bagaimana akibat hukum dari perjanjian tersebut?

2. Apakah Pepera yang dilaksanakan pada tahun 1969, dapat digunakan sebagai dasar integrasi wilayah bagi rakyat Papua Barat ke dalam wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia?

11


(2)

8

8

C. Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan mengenai kekuatan mengikat Perjanjian New York (New York Agreement) 1962 dalam penyelesaian masalah Papua Barat.

2. Menjelaskan kekuatan Pepera yang dilaksanakan pada tahun 1969 apakah dapat digunakan sebagai dasar integrasi wilayah bagi rakyat Papua Barat ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia?

D. Manfaat Penelitian 1. Kegunaan Teoritis

Berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan hukum khususnya Hukum Perjanjian Internasional, sehingga dapat dijadikan bahan bacaan bagi umum dan sumber bacaan.

2. Kegunaan Praktis

(1) Memberikan informasi mengenai keabsahan sebuah perjanjian internasional dan seberapa kuat perjanjian tersebut mengikat Negara yang berjanji serta keberlangsungannya selama ini di Papua Barat. (2) Sebagai bahan dan wacana untuk pengembangan hukum terutama

mengenai Perjanjian Internasional.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini, maka secara keseluruhan sistematikanya sebagai berikut:


(3)

9

9

BAB I PENDAHULUAN

Memuat latar belakang penulisan dan memuat sejarah dalam latar belakang tersebut, penulis menarik pokok permalahan serta menyebutkan kegunaan dan tujuan penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar terhadap pengertian-pengertian judul dari skripsi yang juga memuat pengertian perjanjian Internasional secara umum maupun secara detail serta memuat mengenai Hukum Perjanjian Internasional secara jelas dan padat dan juga menampilkan gambaran umum mengenai sejarah perjanjian New York 1962 yang diberlakukan di Irian Barat.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode yang digunakan dalam penelitian, meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, teknik pengumpulan dan pengolahan dan serta analisis data.

BAB IV PEMBAHASAN

Bab ini berisi pembahasan yang mengemukakan hasil penelitian yaitu mengenai Keberlakuan Perjanjian New York Tahun1962 bagi Rakyat Irian Barat terhadap kekuatan Perjanjian Internasional

BAB V KESIMPULAN

Pada bab ini adalah penutup dari hasil penelitian yang berisikan kesimpulan dan saran-saran dari penulis mengenai permasalahan yang dibahas.

BAB VI DAFTAR PUSTAKA


(4)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Perjanjian New York 1962 memiliki kekuatan mengikat yang kuat, sehingga kekuatan hukum dari sebuah perjanjian tidak dapat diubah begitu saja tanpa ada argumen yang kuat pula untuk mengubahnya. Sehingga akibat hukumnya, harus melaksanakan apa yang telah tertera atau disepakati di dalam Perjanjian New York 1962 bahwa, setiap perjanjian internasional dilandasi atas asas pacta sunt servanda, dan di dalamnya terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi apabila telah muncul kata sepakat dan setuju untuk terikat.

2. Dasar integrasi Papua ke dalam wilayah kedaulatan NKRI sangatlah jelas dan sudah tidak dapat diganggu gugat, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa negara Indonesia adalah wilayah kolonial dari Belanda yang juga memiliki konsekuensi terhadap batas-batas wilayah negara yang terakhir menjajah. Dalam doktrin uti possidetis juris, yang berarti bahwa negara-negara baru yang lahir dari proses dekolonisasi mempunyai batas-batas wilayah yang sama dengan batas-batas wilayah rezim kolonial sebelumnya, ini merupakan status yuridis yang tidak bisa dipungkiri lagi, ditambah lagi, kekuatan hukum dari Resolusi PBB 2504 yang merupakan hukum kebiasaan bagi masyarakat internasional dan pengakuan dari Negara-negara, tanpa ada veto dari satu negara untuk hasil dari Pepera. Membatalkan Pepera adalah hal


(5)

71

yang sulit, karena untuk membatalkannya harus dilakukan oleh Majelis Umum PBB melalui persetujuan negara anggota PBB, terutama pengakuan dari anggota negara-negara PBB terhadap wilayah suatu negara. Kesimpulan poin pertama (1), kekuatan mengikat yang sangat kuat itu telah disepakati dan harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang berjanji. Jika hendak menggugat hasil Pepera, maka harus memiliki argument yang kuat agar dapat dilakukan Pepera ulang. Hasil ini diterima dengan baik sebagai suatu hal yang final. Kemudian yang menguatkan lagi adalah sejak diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yang menjadikannya satu kesatuan cause celebrate untuk suatu wilayah Negara. Hal ini juga dikuatkan dengan dikeluarkan Resolusi Majelis Umum PBB No. 2504 (XXIV) tahun 1969 mengenai Papua Barat, sesungguhnya semakin menegaskan bahwa Irian Barat yang sekarang dikenal dengan Provinsi Papua, adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

B. Saran

1. Pemerintah hendaknya tegas menghadapi atau menindaklanjuti tuntutan yang dilakukan oleh Rakyat Papua Barat, dan menjalankan kewajiban sebagai negara kesatuan yang memiliki kedaulatan. Jika ada pihak-pihak yang mengganggu gugat Perjanjian New York 1962, maka pemerintah hendaknya menggunakan jasa-jasa para ahli hukum internasional agar dapat memberikan argumentasi yuridis yang kuat dan lengkap.

2. Pemerintah hendaknya berusaha keras untuk mengoptimalkan Otonomi Khusus Daerah Papua tahun 2001 untuk pembangunan dan kesejahteraan


(6)

72

Rakyat Papua. Dengan demikian, tuntutan dari Rakyat Papua menjadi lebih berkurang dan keutuhan Negara Republik Indonesia tetap utuh dan wibawa Indonesia di mata dunia tidak berkurang.