DAYA IKAT PERSETUJUAN NEW YORK (NEW YORK AGREEMENT) 1962 ANTARA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN BELANDA MENGENAI PAPUA BARAT BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL

(1)

ABSTRAK

DAYA IKAT PERSETUJUAN NEW YORK (NEW YORK AGREEMENT) 1962 ANTARA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN

BELANDA MENGENAI PAPUA BARAT BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL

Oleh

Agit Yogi Subandi

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu propinsi Kerajaan Belanda, sama dengan daerah-daerah lainnya. Terjadilah perseteruan antara kedua negara. Perseteruan ini akhirnya menarik pandangan PBB untuk menengahi permasalah kedua negara tersebut. PBB sebagai organisasi yang memegang teguh prinsip perdamaian antar negara dan mengakui kemerdekaan setiap bangsa merasa perlu untuk menjadi fasilitator untuk perselisihan kedua negara tersebut. Dengan demikian, terjadilah sebuah perundingan antara kedua negara, Indonesia dan Belanda di New York. Inilah yang melatarbelakangi Perjanjian New York 1962 mengenai Irian Barat yang menghasilkan kesepakatan, bahwa Irian Barat atau Papua Barat berhak untuk melakukan penentuan nasib sendiri.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah, bagaimana kekuatan mengikat Perjanjian New York (New York Agreement) 1962 dalam penyelesaian masalah Papua Barat dan apakah hasil dari Pepera yang dilaksanakan pada tahun 1969, dapat digunakan sebagai dasar disintegrasi wilayah dan rakyat Papua Barat ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Metode yang dipilih adalah metode penelitian secara deskriptif kualitatif dengan pendekatan masalah melalui yuridis normatif(formal).

Hasil penelitian ini adalah, Secarade jurepengakuan terhadap kemerdekaan suatu Negara dari Negara-negara lain merupakan status yang menentukan bagi sebuah Negara yang baru merdeka, namun secara de facto Papua merupakan jajahan Belanda yang berada dalam lingkup territorial yang menyebabkan pernyataan


(2)

bahwa Indonesia dari Sabang sampai Marauke telah diakui pula oleh Negara-negara dan Organisasi Internasional, seperti PBB. Pelaksanaan Pepera tahun 1969 telah memiliki kekuatan hukum yang sangat kuat dan telah diterima dengan baik oleh PBB atas dasar kesepakatan dari pihak-pihak yang berjanji serta dukungan dari Negara anggota yang menyatakan bahwa hasilnya adalah sah. Secara hukum internasional, hasil dari kesepakatan itu tidak bisa diganggu gugat, dengan demikian Pepera sebagai dasar untuk intergarasi ke dalam wilayah Indonesia merupakan suatu penguatan atas doktrin uti possidetis juris yang berarti bahwa negara-negara baru yang lahir dari proses dekolonisasi mempunyai batas-batas wilayah yang sama dengan batas-batas wilayah rezim kolonial sebelumnya. Selain itu, diterimanya Hasil Pepera oleh Majelis Umum PBB dengan Resolusi No. 2504 (XXIV) tanggal, 19 Nopember 1969, adalah tambahan bagi instrumen hukum bagi kedua negara dan telah dianggap sah sebagai hukum dan wajib untuk dilaksanakan serta tidak dapat diganggu gugat.


(3)

DAYA IKAT PERSETUJUAN NEW YORK (NEW YORK AGREEMENT) 1962 ANTARA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN

BELANDA MENGENAI IRIAN BARAT BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL

Skripsi

Oleh

Agit Yogi Subandi

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2009


(4)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….. i

ABSTRAK... ii

DAFTAR ISI ……….……….. iv

DAFTAR SINGKATAN... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………..……… 1

B. Perumusan Masalah ...………..…. 7

C. Tujuan Penelitian ...………...……….. 8

D. Manfaat Penelitian...…………...……… 8

E. Sistematika Penulisan... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian-pengertian ...……… 10

1. Pengertian Perjanjian Internasional ... 10

2. Pengertian Konvensi... 12

3. Pengertian Pacta Sunt Servanda... 13

B. Hal-hal Yang Berhubungan Dengan Perjanjian Internasional...… 13

1. Istilah-istilah Perjanjian Internasional... 13

2. KlasifikasiPerjanjian Internasional……… 18

a) Klasifikasi perjanjian dilihat dari subjek yang mengadakan perjanjian……….. 18

b) Klasifikasi atas dasar jumlah para pihak yang mengadakan perjanjian internasional………. 19

c) Klasifikasi perjanjian ditinjau dari sudut bentuknya………. 19

d) Klasifikasi perjanjian dilihat dari proses pembentukannya.. 20

e) Klasifikasi perjanjian dilihat dari sifat pelaksanaannya…… 21

f) Klasifikasi perjanjian dilihat dari sifatnya/fungsinya……… 20

3. Prosedur dan tahap-tahap Pembuatan Perjanjian Internasional... 22

4. Mulai Berlaku dan berakhirnya Perjanjian Internasional... 26

C. Daya Ikat Perjanjian Internasional... 27

D. Mengenai Suksesi Negara……….…….……... 30

1. Pengertian Suksesi Negara Pada Umumnya... 30


(5)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian.………... 37

B. Tipe Penelitian... 37

C. Pendekatan Masalah... 37

D. Data dan Sumber Data...………..….. 38

E. Pengumpulan Data..………...………... 38

F. Pengolahan Data... 38

G. Analisis Data... 39

BAB IV PEMBAHASAN A. Status Papua Setelah Indonesia Merdeka... 40

B. Konflik Antara Indonesia Dengan Belanda Mengenai Papua Barat... 42

1. Peranan PBB Dalam Penyelesaian Konflik Papua Barat………… 45

a. Piagam PBB………... 45

b. Resolusi Majelis Umum……… 48

2. Perjanjian New York 1962……….. 49

3. Pelaksanaan Pepera……….. 55

1) Status Pepera……...……… 61

2) Pepera Sebagai Dasar Integrasi Wilayah…….……..…………. 62

4. Daya Ikat PeperaMenurut Putusan Majelis Umum PBB…..……. 66

C. Tindak Lajut Perjanjian New York 1962... 67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 70

B. Saran... 71 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

I. Perjanjian New York (New York Agreement) 1962 Antara Negara Kesatuan Republik Indonesia Dengan Kerajaan Belanda

II.Pada Sidang Paripurna ke-1127, tanggal 21 September 1962, Majelis Umum menerima draf resolusi yang diserahkan oleh Indonesia dan Belanda (A/L. 393)

III.Naskah Pernyataan Bersama seusai diskusi antara Menteri Luar Negeri Belanda, Mr. J.M. Luns dan Menteri Kerjasama Pembangunan, Mr. B.J. Udink, dengan Menteri Luar Negeri Indonesia, Mr. Adam Malik, di Roma pada tanggal 20 dan 21 Mei 1969

IV. Resolusi Nomor 2504 (Xxiv) yang diusulkan Oleh 6 Negara1, A/1.574, Diterima Oleh Majelis Pada Tanggal 19 November 1969, Dalam Rapat Paripurna Ke 1813, Dengan 84 Negara Menerima, Yang Menentang 0 Dan Abstain 30 Negara.

V. Resolusi Majelis Umum PBB 1514 Mengenai Declaration on The Granting of Independence To Colonial Countries And Peoples (Deklarasi Mengenai Mengabulkan Kemerdekaan Kepada Negara Kolonial dan Orang-Orang).


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal

A.K, Syahmin, 2002.Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Winna 1969). Armico, Bandung.

Danim, Sudarman. 2002.Menjadi Peneliti Kualitatif. Pustaka Setia, Bandung. Dae, Darnetty dan Abdul Muthalib Tahar. 2008.Hukum Perjanjian Internasional

& Perkembangannya,Universitas Lampung, Bandarlampung.

Departemen Luar Negeri, 2002, Pelatihan Pembuatan Kontrak Internasional. (Jurnal)

Hasan, Madjedi. 2005.Pacta Sunt Servanda, Penerapan Asas “Janji Itu

Mengikat” dalam Kontrak Bagi Hasil di Bidang Minyak dan Gas Bumi. Penerbit PT Fikahati Aneska, Jakarta.

I Wayan Partiana. 2002. Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1. Penerbit Mandar Maju, Bandung.

_________. 2002. Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2. Penerbit Mandar Maju, Bandung.

Kusumaatmadja, Mochtar, 1990. Pengantar Hukum Internasional, Bina Cipta, Bandung-Jakarta.

Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes, 2003. Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung.

Kusumohamidjojo, Budiono. 1986. Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung.

Laporan Jurnalistik Kompas. 2007. Ekspedisi Tanah Papua. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.


(7)

M, Abdul Hayat, 2005. Kesepahaman Bersama (Joint Understanding) mengenai Jeda Kemanusiaan Antara RI-GAM Menurut Hukum Internasional. Universitas Lampung, Bandar Lampung. (Skripsi)

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Rudy, T. May. 2002.Hukum Internasional 2. Refika Aditama. Bandung.

Starke, J. G. 1992. Pengantar Hukum Internasional Jilid I. Sinar Grafika, Jakarta.

_________. 1992. Pengantar Hukum Internasional Jilid II. Sinar Grafika, Jakarta.

Universitas Lampung, 2005. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung, Penerbit Universitas Lampung, Lampung.

Makalah

Achmad, Yulianto. 2004. Eksistensi Perjanjian Antara Indonesia Dengan Australia Tentang Zona Kerjasama di Daerah Antara Timor Timur dan Australia Bagian Dalam Hal Timor Timur Menjadi Negara Merdeka. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. (makalah)

Juwana, Hikmahanto. (Tanpa Tahun).Status Yuridis Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Irian Jaya Dalam Perspektif Hukum Internasional.

(Makalah).

Saefullah, Tien, 1981. Suksesi Negara Sehubungan dengan Perjanjian Internasional, PPS UNPAD, Bandung,. (makalah)

Koran dan Majalah

Abdul Rivai Ras, Dilema Papua dan “Early Warning System”. Sinar Harapan, Tanggal 22 Juli 2002. (Tulisan)

Bantarto Bandoro. Raihan Besar Diplomasi Internasional RI, Jawa Pos, 3 Januari 2008. (Tulisan).


(8)

Konvensi dan Perjanjian Internasional

Vienna Convention on the Law Treaties 1969

New York Agreement 1962. Perjanjian antara Negara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda mengenai Guninea Baru Barat (Irian Barat) yang ditandatangani di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, Tanggal 15 Agustus 1962.

Website:

1. Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia. Konflik Papua Barat: http://id.wikipedia.org/wiki/konflik_papua_barat (diakses pada tanggal 19 Januari 2009, Pukul 11.52 am.

2. Bappenas:

http://els.bappenas.go.id/upload/other/Evaluasi%20Otonomi%20Khusus%20P apua.htm

3. Attena: http://www.antenna.nl/wvi/bi/ic/id/wp/dasar.html diakses pada Pukul 7.50 pm tanggal 29 maret 2009

4. Wikipedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_internasional (diakses pada tanggal 19 Januari 2009 pada pukul 09.59 am)

5. DKN:

www.dkn.go.id/NR/rdonlyres/B0798520-F7A6-4EB7-A31B-052E9C4520E5/0/PAPUABAGIANINTEGRALNKRIREV1.doc- (diakses 16 Feberuari 2009, Pukul 7.43 pm).

6. DKN: http://www.dkn.go.id/xdknweb/xpapua/lampiran.htm. (diakses diakses 16 Februari 2009, pukul 8.38 pm)

7. Melanesianews:

http://www.melanesianews.org/spm/publish/articles_877.shtml (diakses 16 Februari 2009, pukul 8.14 pm).

8. Forum Sunan:

http://forumsunan.blogspot.com/2007/03/perjanjian-internasional-dan-konflik.html (diakses 19 Februari 2009, Pukul: 9.45 pm). 9. DKN: http://www.dkn.go.id/xdknweb/hukuminternasional.htm (diakses pada

tanggal, 30 Januari 2009 pukul 1.25 am).

10. Umy: http://www.umy.ac.id/hukum/download/YULI.htm (diakses pada tanggal, 14 Februari 2009 pukul 10.21 wib pm)

11. TNI : http://www.sejarahtni.mil.id/index.php?cid=1900 diakses pada tanggal, 14 Februari 2009 pukul 11.24 pm wib


(9)

12. Yahoo Groups: http://groups.yahoo.com/group/irianjaya/message/1545 diakses pada tanggal, 05 mei 2009 pukul 2.07 pm

13. Pemilu Antara: http://pemilu.antara.co.id diakses pada tanggal, 15 Maret 2009 pukul 23.00 wib.

14. Situs Muhhamad Taufan:

http://taufanmuhammad.multiply.com/journal/item/38, diakses pada tanggal, 28 Juli 2009.

15. Daftar Nama-nama Anggota PBB:

http://organisasi.org/daftar_nama_negara_dunia_anggota_pbb_perserikatan_b angsa_bangsa_belajar_ilmu_pengetahuan_umum_dunia_global_internasional, diakses pada tanggal, 28 Juli 2009.

16. Jalannya Pepera 1969 (Act Of Free Choice) Di Papua Barat:

http://www.melanesianews.org/spm/publish/printer_1195.shtml, diakses pada tanggal, 5 September 2009, pukul 11.00 pm WIB.


(10)

DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM

ADB :Asian Development Bank. PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa.

NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia.

UNTEA :United Nation Temporary Executive Authority. OPM : Organisasi Papua Merdeka.

Pepera : Penentuan Pendapat Rakyat.

ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. MoU :Memorandum of Understanding.

KODAM : Panglima Komando Daerah Militer. GPL : Gerakan Pengacau Liar.

GPK : Gerakan Pengacau Keamanan. HAM : Hak Asasi Manusia

NGR :New Guinea Raad(Dewan New Guinea). RIS : Republik Indonesia Serikat.

RI : Republik Indonesia.

Alm. : Almarhum.

DVP :Demokratische Volks Partij. Depkeu : Departemen Keuangan. DAU : Dana Alokasi Umum. DOK : Dana Otonomi Khusus.

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat. Sekjen : Sekretaris Jenderal.

MU : Majelis Umum.

Otsus : Otonomi Khusus.

KMB : Konferensi Meja Bundar

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. ICJ :International Criminal Justice DMP : Dewan Musyawarah Pepera


(11)

Judul Skripsi :DAYA IKAT PERSETUJUAN NEW YORK

(NEW YORK AGREEMENT) 1962 ANTARA

NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN BELANDA MENGENAI PAPUA BARAT BERDASARKAN HUKUM

INTERNASIONAL

Nama Mahasiswa : Agit Yogi Subandi Nomor Pokok Mahasiswa : 0242011149

Program Studi : Hukum Internasional

Fakultas : Ilmu Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Darnetty Dae, S.H., M.H. A. Baharuddin Naim, S.H., M.H.

NIP. 19450206198209001 NIP. 196612201990101001

2. Ketua Bagian Hukum Internasional

Abdul Muthalib Tahar, S.H., M.H. NIP. 195710221985031002


(12)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Darnetty Dae, S.H., M.H. ………

Sekretaris/Anggota : A. Baharuddin Naim, S.H., M.H. ………

Penguji

Bukan Pembimbing : Abdul Muthalib Tahar, S.H., M.H.………

2. Dekan Fakultas Hukum

H. Adius Semenguk, S.H., M.S. NIP. 195609011981031003


(13)

DAYA IKAT PERSETUJUAN NEW YORK (NEW YORK AGREEMENT) 1962 ANTARA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN

BELANDA MENGENAI IRIAN BARAT BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL

Oleh Agit Yogi Subandi

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2009


(14)

RIWAYAT HIDUP

Agit Yogi Subandi, Penulis, lahirkan di Prabumulih (Sumatera Selatan), 11 Juli 1985. Ia anak yang pertama dan yang terakhir dari pasangan Sudirman dan Susilawati (Alm.).

Penulis menyelesaikan Sekolah Dasarnya di SDN 1 Negeri Jaya Kecamatan Pakuan Ratu Kabupaten Lampung Utara (sekarang Kecamatan Negeri Besar Kabupaten Way Kanan) pada tahun 1996, tapi sebelum itu, ia memulai sekolahnya di SDN 5 Tanjung Aman, Kotabumi, Lampung Utara hingga duduk di bangku kelas 2 SD (1991-1992). Ia melanjutkan sekolahnya di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SMP Al-Kautsar Bandar Lampung dan selesai pada tahun 1998. Setelah lulus ia melanjutkan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di SMU Perintis, Tanjung Karang dan lulus pada tahun 2002. Di tahun tersebut, penulis masuk di Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila) dan mengambil jurusan Hukum Internasional. Selain berkuliah ia juga tergabung di Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni Universitas Lampung (UKMBS Unila) yang lebih khusus terlibat di dalam Divisi Teater dan Sastra.

Selama berkesenian di UKMBS Unila, ia terlibat di banyak garapan Teater baik sebagai aktor, penata musik ilustrasi adegan, atau sebagai sutradara. Adapaun naskah-naskah yang pernah dipentaskannya antara lain: lakon Orang-orang di Tikungan Jalan, W. S. Rendra, Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa lt. I Unila 2003 (aktor); lakon Inspektur Jenderal, Nikolai Gogol, Taman Budaya Lampung (berikutnya ditulis TBL) 2004 (aktor); LakonRumah Atawa Berkunjung ke Kebun Nenek, Tim Penulis Komunitas Berkat Yakin Institute, Kala Sumatera, TBL 2009 (Aktor dan Penulis Naskah); lakonCinta di Hari Rabu, Arifin C Noor, TBL 2006 (penata musik ilustrasi adegan), lakon The Marriage (Mak Comblang), Nikolai Gogol, TBL 2007 (penata musik ilustrasi adegan); Kasir Kita, Arifin C Noor, Festival Monolog Dewan Kesenian Lampung, TBL 2008 dan PEKSIMINAS Jambi, Taman Budaya Jambi 2008 (penata musik ilustrasi adegan), Suara-suara Dari Balik Jendela, Teater Kurusetra, TBL 2008 dan Taman Ismail Marzuki, Festival Teater Mahasiswa Indonesia, Jakarta 2009 (penata musik ilustrasi adegan dan Penulis Naskah), dan sebagai sutradara: Kamboja di Atas Kursi Goyang


(15)

(adaptasi Jam Dinding Yang Berdetak), Nano Riantiarno, Gebyar Wajah Baru UKMBS Unila 2008.

Selain kegiatan penulis di Teater, ia juga mempunyai prestasi di bidang sastra. Selama di berkesenian di UKMBS unila, banyak prestasi yang ia raih, antara lain: Juara II Cipta Puisi padaPekan Seni Mahasiswa Fakultas Pertanian (FAPERTA) 2005, Juara I Lomba Cipta dan Baca Puisi Parade Lampung Islamic Science, UKMF ROIS FMIPA Unila 2008, Juara I Cipta Puisi di Pekan Chairil Anwar HMJ PBS FKIP Unila, Juara I Lomba Cipta Puisi di Pekan Seni Mahasiswa Nasional (PEKSIMINAS) IX Jambi 2008, Juara II Cipta Puisi pada Acara Ansor Save Palestine, Lampung, 2009, dan yang terakhir Juara II Cipta Puisi Krakatau Award yang diadakan Dewan Kesenian Lampung 2009. Karya-karyanya juga dimuat diberbagai Media seperti: Lampung Post,Koran Kompas, Koran Tempo, Majalah Jung Dewan Kesenian Lampung, dan Suara Pembaharuan. Ia juga pernah diundang oleh Dinas Pariwisata Jawa Barat pada acara Temu Sastrawan Muda Praja Utama(MPU) III, Lembang, Jawa Barat, 2008 dan karyanya disusun di dalam Antologi Sastrawan MPU III tersebut.

Pernghargaan yang ia raih selama di Unila adalah Penghargaan Rektor untuk Mahasiswa Berprestasi di Bidang Kesenian tahun 2008.


(16)

P E R S E M B A H A N

Dengan segenap rasa syukur kepada Allah SWT, penulis persembahkan karya ini sebagai tanda bakti, cinta dan kasih sayang kepada

Papa dan Mama (Alm) yang senantiasa memberikan dukungan, mendoakan, dan memberikan limpahan kasih sayang demi keberhasilan kepada penulis. Tak lupa pula kepada Umi, yang

senantiasa pula memberikan dukungan dan menggantikan posisi Mama. keluarga besar penulis.


(17)

MOTTO

Berjalanlah. Jangan beri kesimpulan sebelum kau benar-benar

keluar pagar .

.taman ini adalah simbol-simbol yang bebas

untuk kau rengkuh dan tafsir.

Jangan anggap aneh dan rumit. Karena mula kenyataan adalah

keanehan dan mula kesederhanaan adalah kerumitan

(Penulis)

Seorang terpelajar mencari pengetahuan dari ayunan sampai ke liang

kubur namun ia mati sebagai orang yang bodoh.


(18)

SANWACANA

Alhamdulilah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa selama penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari petunjuk serta bantuan yang tulus dari banyak pihak. Oleh karena itu, dengan hati yang tulus penulis mengucapkan terima kasih kepada:

(1) Bapak Adius Semenguk, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(2) Bapak Abdul Muthalib Tahar, S.H., M.H., Selaku Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Lampung dan sekaligus sebagai Pembahas Pertama, yang telah banyak memberikan koreksi dan saran guna penyempurnaan skripsi ini.

(3) Ibu Darnetty Dae, S.H., M.H., selaku dosen Pembimbing Pertama, yang telah dengan tulus memberikan ide, meluangkan waktu, saran, arahan, dan bimbingan selama penulis menjadi mahasiswa dan menyusun skripsi ini. (4) Bapak Baharuddin Naim, S.H., M.H., selaku dosen Pembimbing kedua, yang

telah memberikan ide mengenai Papua Barat, bimbingan, arahan, masukan, dan kemudahan selama proses penyelesaian skripsi.


(19)

(5) Bapak Naek Siregar, S.H., M.Hum., selaku dosen Pembahas kedua untuk masukan dan saran yang bermanfaat bagi penulis.

(6) Bapak Maroni, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan motivasi, saran, dan bimbingan selama penulis menjadi mahasiswa.

(7) Bapak Heryandi, S.H., M.S., Ibu Melly Aida, S.H., M.H., Bapak Dharma Setiawan, S.H., M.H., Ibu Ria Wierma Putri, S.H., M.Hum., Ibu Rehulina, S.H., M.H., Bapak Rudi Natamiharja, S.H., Ibu Siti Azizah, S.H., dan Ibu Desy Churul Aini, S.H., selaku staf pengajar pada Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Lampung untuk didikan, bimbingan, dan ilmu pengetahuan yang telah diberikan.

(8) Pak Marjiyono, S.Pd (terima kasih pak, untuk segala perhatian yang telah diberikan. Tanpa perhatian dan pertolongan bapak, mungkin saya akan berlarat-larat menempuh perjalanan skripsi ini), Mas Pendi, dan Mas Jarwo Bagian TU Hukum Internasional yang telah cukup banyak memberi motivasi pada saat penulis menyelesaikan skripsi ini.

(9) Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan pengetahuan dan pelajaran selama penulis menjadi mahasiswa.

(10) Seluruh keluarga besar Papa penulis: Nyai, Sidi (Alm.), Ayah Atu (Alm.), Pak Minak, Walid Haidir dan Walidah, Pak Tut Suep dan Mak Tut, Ayah Atu Thabranie, Om Paswani, Papah Gedung, Holidi Heru, Andung, Holidi Derahman, Aci Munjiah (sepertinya Agit tidak akan selesai, kalau tidak tinggal di rumah Aci), Mamak Raden, Pak Ngah Yanto dan Pak Su


(20)

Najamudin, Terima Kasih untuk dukungan moral dan materil, doa dan kasih sayang serta dukungan kepada penulis selama menyelesaikan studi di Kampus Hijau ini. Seluruh keluarga besar Mama penulis: Ibu Nyai, Pak Cik dan Mak Cik, Mami Ita dan Om Yos, Om Ipok dan Tante Susi, Ujuk Donek dan Om Yus, Terima kasih telah sabar memberi dukungan dan doa selama penulis menyelesaikan studinya di Kampus Hijau ini. Saudara penulis: Uan Ari, Galu (Jangan melangkah Kakak, sebab tanda pelangkahannya adalah naik Haji.), Ridho (jaga adik-adik, ya), Riki, Nung, Uti (semoga cepat

dewasa), Nafiza ‘Ica’ (Cepet Besar ya, dik),Jodi, Sheren, Yusuf, Vidi, Gana-Gano, Eka, Ega, Titis, Ulfa, Rosi, Lala, Hanif, Para dan seluruh adik-adik terima kasih untuk doa yang telah diberikan.

(11) Teman-teman UKMBS: Andika (akhirnya kita selesaikan juga studi kita ini, bung.), Bang Ari, S.Pd, Bang Arya, Bang Gebe, Kiki, Mbak Eka, S.E, Habib (cepet lulus Bib.), FX Teguh Prima, A.Md, topan Santoso, A.Md, dan para teman-teman yang keberadaannya secara tidak langsung telah memberikan semangat kepada penulis.

(12) Fitri Yani, terima kasih telah menemani dan mencoba untuk bersabar. Terus berkarya dan berkarir di bidangmu, dan selesaikan pula kuliahmu.

(13) Para Sahabat: Fajar Arifin, S.H, Enrieko Dharfi, S.H, Ria Octaviansari, S.E. sahabat-sahabat SMP Al-Kautsar: Robert Martin, A. Md (kedokteran hewan 2002 PS HGM, IPB), Donny Widyasmoro, Agung Wirawan, Arfan Utama, dan Zulfi Septorian terima kasih telah memberi semangat; ingat syair lagu Three Little Bird, Bob Marley, dia menuliskan kata ini, “don’t worry by the thing, cause every little thing, it’s gonna be alright….wake up this morning,


(21)

smile with the rising sun..”, betapa harapan harus selalu ada, agar kita mempunyai alasan untuk terus berjalan. Seperti harapan kita kepada pagi, kepada burung-burung yang berkicau di dahan-dahan. Tetapi kita juga harus tetap pula memastikan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Bandarlampung, Penulis,


(22)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perjanjian New York 1962, merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk menjaga dan mempertahankan keutuhan kedaulatan NKRI. Usaha ini mendapatkan banyak sekali tantangan, baik itu dari pengklaiman Kerajaan Belanda yang ingin menjadikan Papua Barat sebagai Boneka atau pergolakan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi yang berada di wilayah Papua Barat itu sendiri yang hendak memisahkan Papua Barat dari NKRI.

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu propinsi Kerajaan Belanda, sama dengan daerah-daerah lainnya1. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an. Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai

1

Neles Tebay.Human Rights in Papua: An overview(Conference “Autonomy for Papua– Opportunity or Illusion?”, 04-05.06.2003. Diakses pada 12 Maret 2008.


(23)

2

2 keputusan mengenai Papua Barat, namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu satu tahun.

Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua Barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB.2 Karena Indonesia mengklaim Papua Barat sebagai daerahnya, maka Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini. Sebagai kelanjutannya, pada tahun 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota di Soasiu yang berada di Pulau Halmahera, dengan gubernur pertamanya, Zainal Abidin Syah.3Selain itu juga diadakan berbagai pemilihan umum untuk memilih perwakilan rakyat Papua dalam pemerintahan, mulai dari tanggal 9 Januari 1961 di 15 distrik. Hasilnya adalah 26 orang wakil yang terbagi atas: 16 laki-laki dipilih, 23 orang Papua asli laki-laki, dan 1 wanita. Dewan Papua ini dilantik oleh gubernur Pieter J. Platteel4pada tanggal 1 April 1961, dan mulai menjabat pada 5 April 1961. Pelantikan ini dihadiri oleh wakil-wakil dari

2 Chapter xi: Declaration Regarding non-self-Governing Territories Article 73e:to transmit regularly to the Secretary-General for information purposes, subject to such limitation as security and constitutional considerations may require, statistical and other information of a technical nature relating to economic, social, and educational conditions in the territories for which they are respectively responsible other than those territories to which Chapters XII and XIII apply. 3 Zainal Abidin Syah adalah Gubernur pertama Papua yang berkuasa dari tahun 1956

sampai tahun 1961. Saat panasnya hubungan antara Belanda dan Indonesia yang mempermasalahkan Irian Barat, ia diangkat menjadi gubernur provinsi Irian Jaya dengan ibukota di Soasiu, Halmahera. Dikutip dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Zainal_Abidin_Syah, diakses pada tangga, 13 Maret 2009.

4 Menurut Besluit tersebut, Gubernur menyelenggarakan pemerintah umum atas nama Ratu

Belanda di Nieuw Guinea (Title I Pasal I). Gubernur menyelenggarakan

pemerintahan-pemerintahan umum di Nieuw Guinea atas nama dan sebagai wakil Ratu Belanda sesuai dengan ketentuan dalam peraturan ketatanegaraan itu, dan dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk Ratu (Pasal 29) Gubernur diangkat dan diberhentikan oleh Ratu Belanda (Pasal 11). Selama masa pemerintahan Nederland Nieuw Guinea, jabatan Gubernur berturut-turut dipegang oleh S. L. J. van Waardenburg (awal 1950 - Maret 1953), J. van Baal (April 1953 - April 1958) dan terakhir Pieter J. Platteel (Mei 1958 dan September 1962). Dikutip dari: http://www.geocities.com/opm-irja/main21.htm, diakses 13 Maret 2009.


(24)

3

3 Australia, Britania Raya, Perancis, Belanda, dan Selandia Baru. Amerika Serikat diundang tapi menolak untuk hadir.

Kemudian, Dewan Papua mengadakan pertemuan pada tanggal 19 Oktober 1961 untuk memilih sebuah komisi nasional untuk kemerdekaan, bendera Papua, lambang negara, lagu kebangsaan ("Hai Tanahkoe Papua")5, dan nama Papua. Pada tanggal 31 Oktober 1961, bendera Papua dikibarkan untuk pertama kali dan manifesto kemerdekaan diserahkan kepada gubernur Pieter J. Platteel. Belanda mengakui bendera dan lagu kebangsaan Papua pada tanggal 18 November 1961, dan peraturan-peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1961.

Pada 19 Desember 1961, Soekarno menanggapi pembentukan Dewan Papua ini dengan menyatakan Trikora di Yogyakarta6, yang isinya adalah:

1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda. 2. Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh Irian Barat

3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum, mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air bangsa.

Sejalan dengan ketegasan pemerintah Indonesia untuk merebut wilayah Irian Barat dari penjajah Belanda, unsur- unsur kekuatan militer Belanda di Irian Barat bertambah dengan pesat.

5 Kutipan dari situs: http://belajarprestasi.blogspot.com/2009/01/peristiwa-trikora.html,

diakses 7 April 2009.

6

Situs Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia.Konflik Papua Barat: http://id.wikipedia.org/wiki/konflik_papua_barat, diakses 19 Januari 2009.


(25)

4

4 Karena kekhawatiran bahwa pihak komunis akan mengambil keuntungan dalam konflik ini, Amerika Serikat mendesak Belanda untuk berunding dengan Indonesia. Karena usaha ini, tercapailah persetujuan New York pada tanggal 15 Agustus 1962. Pemerintah Australia yang awalnya mendukung kemerdekaan Papua juga mengubah pendiriannya dan mendukung penggabungan dengan Indonesia atas desakan AS.

Tanggal 15 Agustus 1962, perundingan antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan di Markas Besar PBB di New York. Perundingan yang diprakarsai oleh PBB itu, Indonesia diwakili oleh Soebandrio dan Belanda diwakili oleh Jan Herman van Roijen dan C.W.A. Schurmann. Hasil dari perundingan tersebut menghasilkan poin-poin sebagai berikut (selengkapnya terlampir):

1. Belanda akan menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada UNTEA7, yang didirikan oleh Sekretaris Jenderal PBB. UNTEA kemudian akan menyerahkan pemerintahan kepada Indonesia.

2. Bendera PBB akan dikibarkan selama masa peralihan.

3. Pengibaran bendera Indonesia dan Belanda akan diatur oleh perjanjian antara Sekretaris Jenderal PBB dan masing-masing pemerintah.

4. UNTEA akan membantu polisi Papua dalam menangani keamanan. Tentara Belanda dan Indonesia berada di bawah Sekjen PBB dalam masa peralihan.

7 UNTEA, atau singkatan dari United Nations Temporary Executive Authority, adalah sebuah badan pelaksana sementara PBB yang berada dibawah kekuasaan sekretaris jendral PBB. UNTEA dikepalai oleh seorang yang diangkat oleh sekjen PBB dengan persetujuan antara Indonesia dan Belanda dan bertugas menjalankan pemerintahan Irian Barat dalam waktu satu tahun. UNTEA dibentuk karena terjadinya konflik antara Indonesia dan Belanda dalam permasalahan status Irian Barat, sehingga badan ini merupakan pengawas di Irian Barat setelah persetujuan New York. Tugas-tugas pokok UNTEA: (1) Menerima penyerahan pemerintahan atau wilayah Irian Barat dari pihak Belanda, (2) Menyelenggarakan pemerintahan yang stabil di Irian Barat selama suatu masa tertentu, (3) Menyerahkan pemerintahan atas Irian Barat kepada pihak Republik Indonesia.


(26)

5

5 5. Indonesia, dengan bantuan PBB, akan memberikan kesempatan bagi penduduk Papua bagian barat untuk mengambil keputusan secara bebas melalui:

a. Musyawarah dengan perwakilan penduduk Papua bagian barat b. Penetapan tanggal penentuan pendapat

c. Perumusan pertanyaan dalam penentuan pendapat mengenai kehendak penduduk Papua untuk

i. Tetap bergabung dengan Indonesia; atau ii. Memisahkan diri dari Indonesia

d. Hak semua penduduk dewasa, laki-laki dan perempuan, untuk ikut serta dalam penentuan pendapat yang akan diadakan sesuai dengan standar internasional

6. Penentuan pendapat akan diadakan sebelum akhir tahun 1969.

Pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan pemerintahan Papua Barat kepada Indonesia. Ibukota Hollandia dinamai Kota Baru dan pada 5 September 1963, Papua Barat dinyatakan sebagai "daerah karantina". Pemerintah Indonesia membubarkan Dewan Papua dan melarang bendera Papua dan lagu kebangsaan Papua. Keputusan ini ditentang oleh banyak pihak di Papua, dan melahirkan Organisasi Papua Merdeka atau OPM pada 1965. Untuk meredam gerakan ini, dilaporkan bahwa pemerintah Indonesia melakukan berbagai tindakan pembunuhan, penahanan, penyiksaan, dan pemboman udara. Menurut Amnesty International, lebih dari 100.000 orang Papua telah tewas dalam kekerasan ini. OPM sendiri juga memiliki tentara dan telah melakukan berbagai tindakan


(27)

6

6 kekerasan. Pada tahun 1969, diselenggarakan Pepera yang diatur oleh Jenderal Sarwo Edhi Wibowo.8

Menurut anggota OPM Moses Werror9, beberapa minggu sebelum Pepera, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ABRI menangkap para pemimpin rakyat Papua Barat dan mencoba membujuk mereka dengan cara sogokan dan ancaman untuk memilih penggabungan dengan Indonesia. Pepera ini disaksikan oleh dua utusan PBB, namun mereka meninggalkan Papua Barat setelah 200 suara (dari 105410) untuk integrasi. Hasil pelaksanaan Pepera adalah, Papua Barat bergabung dengan Indonesia dengan menjadi provinsi ke-26 Indonesia dengan nama, Irian Jaya.

Setelah Papua Barat digabungkan dengan Indonesia, maka Pemerintah Indonesia mengambil posisi sebagai berikut:

1. Papua Barat telah menjadi daerah Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1945 namun masih dipegang oleh Belanda.

2. Belanda berjanji menyerahkan Papua Barat kepada Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar.

8 Dikutip dari: http://wapedia.mobi/id/Operasi_Trikora?t=5., diakses 20 Maret 2009.

9

He was born on June 7, 1936 in Moor Island in western New Guinea now Irian Jaya. He had imagined of himself being a sailor, sailing around the world and visiting many new places. (dia dilahirkan pada tanggal 7 Juni 1936 di Pulau Moor di sebelah barat New Guinea yang sekarang di sebut Irian Barat/Irian Jaya. Dia memiliki pembayangan untuk dirinya sendiri menjadi seorang pelaut, berlayar berkeliling dunia dan mengunjungi tempat-tempat baru.

(http://www.irja.org/history/moses.htm)

10 Dengan Perincian sebagai berikut: Kabupaten Merauke (175 orang), Kabupaten Fak-Fak

(75 orang), Kabupaten Sorong (110 orang), Kabupaten Manokwari (75 orang), Kabupaten Paniai (175 orang), Kabupaten Teluk Cenderawasih (130 orang), Kabupaten Jayawijaya (175 orang), Kabupaten Jayapura (110 orang). Totalnya adalah : 1025 Orang. Data ini bersumber dari: Dikutip dari tulisan, G.K.T.Ninati, Sep 18, 2005, mengenaiJalannya Pepera 1969 (Act Of Free Choice) Di Papua Baratdari situs: http://www.melanesianews.org/spm/publish/printer_1195.shtml,


(28)

7

7 3. Penggabungan Papua Barat dengan Indonesia adalah tindakan merebut

kembali daerah Indonesia yang dikuasai Belanda.

4. Penggabungan Papua Barat dengan Indonesia adalah kehendak rakyat Papua. Pada tahun 1980-an, Indonesia memulai gerakan transmigrasi, di mana puluhan ribu orang dari pulau Jawa dan Sumatera dipindahkan ke Provinsi Papua Barat dalam jangka waktu 10 tahun. Penentang program ini mencurigai usaha Indonesia untuk mendominasi Provinsi PapuaBarat dengan cara memasukkan pengaruh pemerintah pusat. Pada tahun 2000, presiden Abdurrahman Wahid memberi otonomi khusus kepada Provinsi Papua Barat untuk meredam usaha separatis. Provinsi ini kemudian dibagi dua menjadi Provinsi Papua Barat dan Irian Jaya Barat melalui instruksi Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 200111.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, maka yang menjadi pokok permasalahan yang akan dianalisis adalah:

1. Apakah perjanjian New York (New York Agreement) Tahun 1962 memiliki kekuatan mengikat berdasarkan ketentuan yang ada dalam Hukum Perjanjian Internasional, dan bagaimana akibat hukum dari perjanjian tersebut?

2. Apakah Pepera yang dilaksanakan pada tahun 1969, dapat digunakan sebagai dasar integrasi wilayah bagi rakyat Papua Barat ke dalam wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia?


(29)

8

8 C. Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan mengenai kekuatan mengikat Perjanjian New York (New York Agreement) 1962 dalam penyelesaian masalah Papua Barat.

2. Menjelaskan kekuatan Pepera yang dilaksanakan pada tahun 1969 apakah dapat digunakan sebagai dasar integrasi wilayah bagi rakyat Papua Barat ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia?

D. Manfaat Penelitian 1. Kegunaan Teoritis

Berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan hukum khususnya Hukum Perjanjian Internasional, sehingga dapat dijadikan bahan bacaan bagi umum dan sumber bacaan.

2. Kegunaan Praktis

(1) Memberikan informasi mengenai keabsahan sebuah perjanjian internasional dan seberapa kuat perjanjian tersebut mengikat Negara yang berjanji serta keberlangsungannya selama ini di Papua Barat. (2) Sebagai bahan dan wacana untuk pengembangan hukum terutama

mengenai Perjanjian Internasional.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini, maka secara keseluruhan sistematikanya sebagai berikut:


(30)

9

9 BAB I PENDAHULUAN

Memuat latar belakang penulisan dan memuat sejarah dalam latar belakang tersebut, penulis menarik pokok permalahan serta menyebutkan kegunaan dan tujuan penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar terhadap pengertian-pengertian judul dari skripsi yang juga memuat pengertian perjanjian Internasional secara umum maupun secara detail serta memuat mengenai Hukum Perjanjian Internasional secara jelas dan padat dan juga menampilkan gambaran umum mengenai sejarah perjanjian New York 1962 yang diberlakukan di Irian Barat.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode yang digunakan dalam penelitian, meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, teknik pengumpulan dan pengolahan dan serta analisis data.

BAB IV PEMBAHASAN

Bab ini berisi pembahasan yang mengemukakan hasil penelitian yaitu mengenai Keberlakuan Perjanjian New York Tahun1962 bagi Rakyat Irian Barat terhadap kekuatan Perjanjian Internasional

BAB V KESIMPULAN

Pada bab ini adalah penutup dari hasil penelitian yang berisikan kesimpulan dan saran-saran dari penulis mengenai permasalahan yang dibahas.

BAB VI DAFTAR PUSTAKA


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian-pengertian

Sebelum membahas permasalahan lebih lanjut, perlu dikaji terlebih dahulu mengenai pengertian-pengertian yang berhubungan dengan judul skripsi ini.

1. Pengertian Perjanjian Internasional.

Mochtar Kusumaatmadja mendefinisikan perjanjian internasional sebagai sebuah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu. Mochtar mensyaratkan, untuk dapat disebut perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subyek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional. Sementara itu, dalam Hukum Internasional yang dapat disebut sebagai subyek hukum internasional selain Negara, Takhta Suci, Palang Merah Internasional, Organisasi Internasional dan Individu adalah Pemberontak dan pihak dalam sengketa (belligerent).1

Sebuah situs yang berjenis Ensiklopedia2 yang berbahasa Indonesia menuliskan sebuah pengertian Perjanjian internasional, yaitu sebuah perjanjian yang dibuat di bawah hukum internasional oleh beberapa pihak

1 Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M., Pengantar Hukum Internasional, Bina

Cipta, Bandung-Jakarta, 1990, hlm. 79 & 84.


(32)

11

yang berupa negara atau organisasi internasional. Sebuah perjanjian multilateral dibuat oleh beberapa pihak yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian bilateral dibuat antara dua negara.

Dalam pengertian umum dan luas, perjanjian internasional3 menurut I Wayan Partiana yang dalam bahasa Indonesia disebut juga persetujuan, traktat, ataupun konvensi, adalah:

Kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional mengenai suatu obyek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional.4

Pengertian ini nampak masih sangat umum dan luas, antara lain dapat ditunjukkan pada:

Pertama: dalam definisi tersebut semua subjek hukum internasional dipandang dapat mengadakan perjanjian internsional. Padahal dalam kenyataannya, tidaklah setiap subjek hukum internsional dapat berkedudukan sebagai pihak dalam perjanjian internasional. Dalam Konvensi Wina 1969, hanya Negara yang dapat mengadakan perjanjian internasional, sedangkan subjek yang lain diadakan oleh hukum kebiasaan atau diatur oleh perjanjian internasional itu sendiri. Sehingga hanya negara, tahta suci, dan organisasi internasional (tidak semuanya) kaum belligerensi, bangsa yang sedang

3 I Wayan Parthiana,Perjanjian Internasional bagian 1tahun 2002, menuliskan,

Dalam buku ini akan dugunakan istilah “perjanjian” atau “perjanjian internasional”sebagai istilah umum atau generik untuk segala macam perjanjian internasional, sedangkan istilah-istilah lainya seperti traktat (treaty), Konvensi (convention), persetujuan (Agreement), dan lain-lain adalah istilah yang lebih bersifat khusus atau spesifik untuk jenis-jenis perjanjian internsional tertentu.


(33)

12

memperjuangkan hak-haknya, yang dapat berkedudukan sebagi pihak dalam suatu perjanjian internasional5.

Kedua: definisi tersebut di samping mencakup perjanjian internsional tertulis juga mencakup perjanjian internasional yang berbentuk tidak tertulis, yang masing-masing memiliki karakter yang sangat berbeda, meskipun sama-sama merupakan perjanjian internasional6.

Oleh karena luasnya ruang lingkup perjanjian internasional menurut pengertian di atas, maka kiranya pengertian ini hanya dapat dipakai sebagai pedoman awal dalam pembahasan secara mendalam tentang perjanjian internasional dan hukum perjanjian internasional. Dengan kata lain, pengertian perjanjian internasional yang sangat umum dan luas ini berguna sebagai titik tolak untuk mengklarifikasikan perjanjian internasional dengan lebih mempersempit ruang lingkupnya. Baik ruang lingkup subjek hukumnya maupun ruang lingkup bentuknya7. Dengan demikian juga dapat diharapkan kejelasan dari ruang lingkupnya yang secara substansial diatur oleh hukum perjanjian internasional.

2. Pengertian Konvensi

Konvensi biasanya dipergunakan untuk memberi nama suatu catatan dari persetujuan mengenai hal-hal penting tetapi tidak bersifat politik tinggi. Konvensi juga biasanya dipakai untuk dokumen yang resmi dan bersifat

5 Ibid.

6 Op.Cit, hlm. 13


(34)

13

multilateral, dan juga mencakup dokumen-dokumen yang dipakai oleh aparat-aparat lembaga internasional.8

3. Pengertian Pacta Sunt Servanda

Suatu perikatan hukum yang dilahirkan dari suatu perjanjian mempunyai dua atribut, yaitu hak dan kewajiban hukum. Kewajiban hukum adalah mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu kepada pihak lain, sementara hak atau manfaat berupa tuntutan dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu9. Karena itu dalam setiap perjanjian, masing-masing pihak harus menepati janjinya untuk melaksanakan kewajibannya dan juga menghormati hak pihak lain.

B. Hal-hal Yang Berhubungan Dengan Perjanjian Internasional

Ada berbagai hal yang menyangkut perjanjian internasional dan instrumen-instrumen di dalamnya juga harus dipahami. Berikut ini adalah bagaimana cara mengikatkan diri terhadap perjanjian internasional, istilah dan klasifikasi perjanjian internasional.

1. Istilah Perjanjian Internasional

Praktek pembuatan perjanjian internasional dewasa ini telah melahirkan bentuk perjanjian internasional yang kadangkala berbeda-beda pemakaianya oleh negara-negara pengguna. Pemahaman negara satu bisa jadi akan berbeda dengan negara lain mengenai satu bentuk perjanjian internasional. Adapun

8 T. May Rudy. 2002.Hukum Internasional 2. Refika Aditama. Bandung. Hlm. 123. 9 Ir. Madjedi Hasan, MPE, M.H., 2005.Pacta Sunt Servanda, Penerapan Asas “Janji Itu

Mengikat” dalam Kontrak Bagi Hasil di Bidang Minyak dan Gas Bumi. Penerbit PT Fikahati Aneska, Jakarta. Dalam Bab II yang membahas Segi-segi Hukum Perjanjian dan Kontrak Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi, hlm. 26.


(35)

14

bentuk perjanjian internasional yang banyak dipergunakan oleh negara-negara di dunia adalah sebagai berikut10:

a. Traktat (treaties)

Bentuk treaties biasanya secara umum diartikan sebagai segala bentuk perjanjian internasional, namun secara khusus merujuk kepada perjanjian internasional yang sangat formal dan penting. Biasanyatreatiesdigunakan untuk perjanjian-perjanjian yang bersifat multilateral. Namun ada pula yang menggunakannya dalam tingkatan bilateral. Sehingga penggunaan bentuk ini tidak memiliki keseragaman.

b. Konvensi (Convention)

Dalam pengertian umum, konvensi juga mencakup pengertian perjanjian internasional secara umum. Sehingga pengertiannya dapat disamakan dengan pengertian treaty. Traktat dan konvensi sama-sama memiliki kedudukan yang tinggi dalam urutan perjanjian internasional. Selanjutnya, konvensi sendiri digunakan dalam perjanjian internasional multilateral yang melibatkan banyak pihak. Hal ini dikarenakan sifatnya yang “law making” yaitu merumuskan kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional.

c. Persetujuan (Agreement)

Bentuk persetujuan (Agreement) dalam perjanjian internasional juga memiliki pengertian umum dan khusus. Secara umum menyangkut seluruh perjanjian internasional yang ada, sementara secara khusus adalah perjanjian internasional yang memiliki kedudukan di bawah treaty dan

10 Departemen Luar Negeri, 2002,Pelatihan Pembuatan Kontrak Internasional.Surabaya.


(36)

15

konvensi. Biasanya bentuk agreement digunakan bagi perjanjian-perjanjian bilateral yang mengatur prinsip-prinsip suatu kerjasama secara umum. Namun dapat pula digunakan secara terbatas pada perjanjian multilateral.

d. Piagam (Charter)

Istilah piagam atau charter juga bisa dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang dijadikan sebagai konstitusi suatu organisasi internasional. Organisasi internasional yang menggunakan istilah piagam atau charter untuk konstitusinya, misalnya Perserikatan bangsa-Bangsa yang piagamnya secara otentik disebut Charter Of The United Nations, demikian juga Organisasi Persatuan Afrika yang piagamnya bernama Charter Of The African Unity, danCharter Of The American States, 1948. e. Protokol (Protocol)

Protokol merupakan jenis perjanjian internasional yang kurang formal, jika dibandingkan dengan traktat (treaty) ataupun konvensi (convention). Selanjutnya Starke mengklasifikasikan penggunaan istilah protokol ini dalam beberapa golongan, yaitu :

a) Protokol yang merupakan suatu instrumen tambahan dari suatu konvensi yang dibuat oleh negara-negara yang melakukan perundingan, yang derajatnya sama dengan konvensi itu sendiri. Protokol semacam ini biasanya disebut protokol penandatanganan atau protokol of signature yang isinya mengenai interpertasi atas klausula-klausula dari konvensi tersebut, atau sebagai ketentuan pelengkap yang derajatnya lebih rendah, ataupun sebagai klausa formal yang tidak


(37)

16

disisipkan pada konvensi. Rativikasi yang dilakukan oleh suatu negara atas konvensinya, dengan sendirinya berarti pula merupakan ratifikasi atas protokolnya itu sendiri.

b) Protokol yang merupakan suatu instrumen pembantu pada suatu konvensi tetapi berkedudukan secara diri sendiri dan berlaku serta tunduk pada ratifikasi atas konvensi itu sendiri. Protokol semacam ini biasanya dibuat dalam waktu yang berbeda atau tidak bersamaan dengan perumusan naskah konvensinya itu sendiri, misalnya dibuat beberapa tahun kemudian setelah berlakunya konvensi yang bersangkutan.

c) Protokol sebagai suatu perjanjian yang sifat dan derajatnya sama dengan konvensi.

d) Protokol yang merupakan rekaman atas salimg pengertian antara para pihak mengenai masalah-masalah tertentu yang menurut Starke lebih sering disebut dengan istilah “proces verbal”.

f. Deklarasi (Declaration)

Deklarasi juga merupakan suatu perjanjian yang berisi ketentuan-ketentuan umum dimana para pihak pada deklarasi tersebut berjanji untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut dimasa yang akan datang. Deklarasi memiliki isi yang singkat dan ringkas, serta menyampingkan ketentua-ketentuan yang bersifat formal seperti


(38)

17

g. Memorandum Kesepahaman (Memorandum of Understanding)

Memorandum of understanding atau lebih dikenal dengan MoU, merupakan salah satu bentuk perjanjian yang populer. Bentuk MoU ini merujuk kepada perjanjian-perjanjian yang kurang formal dan memiliki unsur teknik yang kental.

Namun pada perkembangannya lebih lanjut, MoU juga sering digunakan pada perjanjian-perjanjian internasional yang formal. Memorandum saling pengertian merupakan bentuk lain dari perjanjian internasional yang memiliki sifat khas. Intinya adalah terdapat perbedaan pandangan yang luas mengenai MoU adalah non-legally binding dan perlu dibedakan dengan treaties. Namun pandangan lainnya mengatakan bahwa setiap persetujuan yang dibuat antara negara (termasuk MoU) memiliki daya mengikat sepertiteraties.

Dalam prakteknya, perjanjian yang dibuat melalui penandatanganan MoU lebih disukai karena dianggap sederhana (simple agreement) dan dapat dibuat sebagai persetujuan induk (umbrella agreement) atau sebagai pelaksanaan (implementing agreement) yaitu mengatur hal-hal yang bersifat teknis. Karena dianggap simple maka MoU umumnya tidak diratifikasi. Yang perlu diperhatikan adalah penggunaan kata “Shall” dan “Will” pada MoU tersebut. Dalam hal suatu negara tidak ingin terikat,

negara tersebut memilih kata willpada MoU, bahkan mencantumkan pada salah satu pasal bahwa MoU tersebutnon-legalli binding.


(39)

18

Suatu MoU memiliki fleksibilitas yang tinggi. MoU dapat mengatur hal-hal yang sifatnya umum, namun juga dapat mengatur hal-hal-hal-hal yang bersifat teknis. MoU dapat memiliki legally binding dan dapat memiliki akibat non-legally binding tergantung pada seberapa besar para pihak dalam suatu perjanjian internasional memberikan kekuatan hukum pada MoU.

2. Klasifikasi Perjanjian Internasional.

Adapun klasifikasi Perjanjian Internasional dapat terdiri dari beberapa segi, yaitu:

a) Klasifikasi Perjanjian Dilihat Dari Subjek Yang Mengadakan Perjanjian;

Klasifikasi atas subjek yang mengadakan perjanjian, dapat dibedakan atas: 1) Perjanjian antara negara dengan negara, merupakan jenis perjanjian

yang jumlahnya paling banyak. Hal ini dapat dimengerti, oleh karena negara merupakan subjek hukum internasional yang paling utama dan paling tua.

2) Perjanjian antara negara dengan subjek hukum internasional lainnya, misalnya dengan organisasi internasional, Tahta Suci atau dengan belligerent yang merupakan subjek hukum internasional dalam arti bebas.

3) Perjanjian antara subjek hukum internasional selain negara, khususnya antara suatu organisasi internasional dengan organisasi lainnya.


(40)

19

b) Klasifikasi Atas Dasar Jumlah Para Pihak Yang Mengadakan Perjanjian Internasional;

Klasifikasi atas dasar jumlah para pihak yang mengadakan perjanjian internasional, adalah:

1) Perjanjian bilateral, yakni perjanjian yang diadakan oleh dua belah pihak (negara saja). Pada umumnya perjanjian ini hanya mengatur soal-soal khusus yang menyangkut kedua pihak, seperti soal delimitasi (tapal batas) wilayah negara, dwikewarganegaraan dan lain-lainnya. Perjanjian bilateral pada umumnya termasuk apa yang disebut “treaty contracts”.

2) Perjanjian multilatral, ialah perjanjian yang diadakan oleh banyak pihak yang pada umumnya merupakan perjanjian terbuka,, di mana hal yang tidak diaturnya merupakan hal yang bersifat umum, yang tidak hanya menyangkut kepentingan para pihak yang mengadakan perjanjian, melainkan menyangkut juga kepentingan pihak lain yang bukan peserta perjanjian itu sendiri. Perjanjian multilateral inilah yang

umumnya dikategorikan sebagai “law making treaties”.

c) Klasifikasi Perjanjian Ditinjau Dari Sudut Bentuknya; Klasifikasi perjanjian ditinjau dari sudut bentuknya, adalah:

1) Perjanjian antara kepala negara (Head Of State Form). Pihak peserta

dari perjanjian ini lazimnya disebut “Hight Contracting State”. Di dalam praktek, pihak yang mewakili negara dalam pembuatan


(41)

20

perjanjian itu dapat pula diwakilkan kepada Menteri Luar Negeri atau Duta Besar sebagai pejabat “kuasa penuh” (full power).

2) Perjanjian antar pemerintah (inter government form) seperti halnya dalam perjanjian antar kepala negara, dalam perjanjian antar pemerintah ini pun dapat dan bahkan sudah sering ditunjuk Menteri Luar Negeri atau Duta Besar yang diakreditasikan pada negara di mana perjanjian itu diadakan.

3) Perjanjian antar negara (inter state form). Di dalam perjanjian corak/bentuk ketiga ini, pihak peserta perjanjian sesuai dengan namanya disebut negara dan sebagai pejabat yang berkuasa penuh mewakilinya adalah dapat pula ditunjuk Menteri Luar Negeri ataupun Duta Besar.

d) Klasifikasi Perjanjian Dilihat Dari Proses Pembentukannya;

a) Perjanjian internasional yang diadakan menurut tiga tahap pembentukan yakni perundingan, penandatanganan dan ratifikasi. Biasanya perjanjian ini diadakan untuk hal yang dianggap penting sehingga memerlukan persetujuan dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (treaty making power).

b) Perjanjian internasional yang diadakan melalui dua tahap yakni perundingan dan penandatanganan. Perjanjian ini bersifat lebih sederhana karena diadakan untuk perjanjian yang sifatnya tidak begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat. Misalnya perjanjian perdagangan yang berjangka pendek.


(42)

21

e) Klasifikasi Perjanjian Dilihat Dari Sifat Pelaksanaannya;

penggolongan perjanjian berdasarkan atas sifat dari pelaksanaannya ini dapat dibedakan atas dua macam:

a. Dispositive treaties (perjanjian yang menentukan) adalah perjanjian yang dimaksud dan tujuannya dianggap sudah tercapai pelaksanaan isi daripada perjanjian itu. Contoh: perjanjian tentang tapal-batas negara, penyerahan wilayah atau kedaulatan.

b. Executory treaties (perjanjian yang dilaksanakan) adalah perjanjian yang dilaksanakan tidak sekaligus, melainkan harus dilanjutkan terus-menerus, selama jangka waktu perjanjian berlaku. Contohnya perjanjian perdagangan.

f) Klasifikasi Perjanjian Dilihat Dari Sifatnya/Fungsinya;

penggolongan perjanjian berdasarkan atas fungsinya dalam pembentukan hukum (khususnya di bidang hukum internasional), dapat dibedakan menjadi dua jenis:

1. Law-making teraties (perjanjian membentuk hukum) adalah perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan, yang pada umumnya merupakan perjanjian multilateral. Contohnya: Konvensi Jenewa 1958, yang melahirkan ketentuan-ketentuan tentang hukum laut yang berkaitan dengan laut teritorial dan jalur tambahan, laut lepas, perikanan dan perlindungan kekayaan hayati laut lepas.

2. Treaty contract (perjanjian yang bersifat kontrak) adalah perjanjian yang serupa dengan kontrak atau perjanjian yang hanya


(43)

22

mengakibatkan hak-hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu saja. Pada hakekatnya treaty contract pun secara tidak langsung dapat membentuk kaedah-kaedah yang berlaku umum yaitu melalui hukum kebiasaan. Contohnya: perjanjian konsuler yang pada mulanya hanya menimbulkan kaedah-kaedah di bidang konsuler bagi kedua pihak yang mengadakan kontrak, lama kelamaan dengan semakin banyaknya diadakan perjanjian mengenai hal serupa, maka timbullah ketentuan-ketentuan hukum di bidang konsuler yang berlaku umum melalui proses hukum kebiasaan.

3. Prosedur dan Tahap-tahap Pembuatan Perjanjian Internasional

Cara pembuatan perjanjian internasional pada umumnya masih tergantung pada kebiasaan masing-masing negara dengan ketentuan-ketentuan konstitusinya masing-masing. Dengan demikian sampai saat ini belum terdapat keseragaman tentang tata-cara (prosedur) pembentukan perjanjian internasional dimaksud. Sebagai pegangan dari segi teoritis dan praktis, maka dipergunakan Konvensi Wina 1969 tentang hukum perjanjian Internasional.11

Menurut Konvensi Wina 1969 yang dapat membuat perjanjian internasional hanya terbatas kepada negara (Pasal 1), tetapi tidak menutup kemungkinan subjek hukum internasional lainnya seperti organisasi internasional, Tahta Suci, Palang Merah Internasional dan belligerent untuk dapat membuat perjanjian internasional, namun dalam pembuatan perjanjian antara subjek hukum internasional bukan negara diatur secara tersendiri artinya bukan diatur oleh

11 A.K, Syahmin, dalam bukuHukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Winna


(44)

23

konvensi Wina 1969. Contohnya Konvensi mengenai perjanjian internasional yang dibuat antara negara dan organisasi internasional telah diadopsi ke dalam Konvensi Wina tahun 1986. Walaupun konvensi ini belum berlaku, namun saat ini telah dianggap sebagaiaplicable lawoleh bangsa-bangsa di dunia.

Pada umumnya bentuk dan nama perjanjian menunjukkan bahwa materi yang diatur oleh perjanjian tersebut memiliki substansi yang berbeda tingkatannya. Namun demikian, secara hukum, perbedaan tersebut tidak mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang tertuang dalam suatu perjanjian internasional. Penggunaan suatu bentuk dan nama tertentu bagi perjanjian internasional, pada dasarnya menunjukkan keinginan dan maksud para pihak terkait serta dampak politik dan hukum bagi para pihak tersebut. Sehingga, apapun bentuknya suatu perjanjian internasional akan berlaku dan mengikat dengan didasarkan pada seberapa besar para pihak dalam perjanjian memberikan kekuatan hukum pada perjanjian tersebut. Dengan demikian asas “pacta sunt servanda” akan berlaku

pada setiap proses pembuatan perjanjian internasional.

Pembuatan perjanjian internasional yang umumnya berlaku dan diterima oleh berbagai negara di dunia adalah cara pembuatan perjanjian internasional berdasarkan Konvensi Wina tahun 1969. Selanjutnya, dalam Konvensi Wina menurut pasal-pasalnya yang mengatur tentang prosedur pembuatan perjanjian internasional melalui tahap-tahap serta persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi menurut Mieke Komar12:

12 Mieke Komar, 1985. Di dalam bukunya“Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina tahun

1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional”mengutip pendapat A. K Syahmin, 1985, di dalam buku Darnetty Dae, S.H., M.H., dan Abdul Muthalib Tahar, S.H., M.H. tahun 2008, dalam buku yang berjudul“Hukum Perjanjian Internasional & Perkembangannya”, hlm. 49.


(45)

24

a. Harus dilakukan oleh wakil yang berkuasa penuh untuk dapat berunding, menerima dan mengesahkan suatu perjanjian atas nama Negara yang diwakilinya dan dalam hal apakah diperlukan adanyafull powers.

b. Harus melalui tahap perundingan dan perlu ditentukan tentang cara penerimaan dan pengesahan naskah perjanjian.

c. Harus dinyatakan secara tegas tentang cara suatu negara dapat menyatakan persetujuannya untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian, yakni dengan penandatanganan, pertukaran instrument ratifikasi, pernyataan ikut serta. d. Harus ditentukan perihal waktu antara penandatanganan dan mulai berlakunya

perjanjian.

Menurut hukum internasional, tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional melalui beberapa tahap, yaitu tahap penjajakan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan dan penandatanganan. Adapun penjelasan tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut.

a. Tahap Penjajakan

Tahap penjajakan adalah tahap di mana para pihak yang ingin membuat perjanjian menjajaki kemungkinan-kemungkinan untuk dibuatnya perjanjian internasional. Penjajakan dapat dilakukan melalui inisiatif negara atau dari calon mitra (counterpart).

b. Tahap Perundingan

Perundingan adalah suatu kegiatan melalui pertemuan yang ditempuh oleh para pihak yang berkehendak untuk membuat perjanjian internasional untk mencapai kesepakatan atas materi yang masih belum dapat disetujui dalam


(46)

25

tahap penjajakan. Tahap ini pula dapat digunakan sebagai wahana untuk memperjelas pemahaman setiap pihak tentang ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam perjanjian internasional.

c. Tahap Perumusan Naskah

Rumusan naskah adalah merupakan hasil kesepakatan dalam perundingan oleh para pihak atas materi perjanjian internasional. Pada tahap ini dilakukan pemarafan terhadap naskah perjanjian internasional.

d. Tahap Penerimaan

Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut “penerimaan” yang biasanya ditandai dengan pemarafan pada naskah perjanjian internasional oleh masing-masing ketua delegasi. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional.

e. Tahap Penandatanganan

Tahap ini merupakan tahap terakhir dari sebuah perundingan untuk melegalisasi kesepakatan yang dituangkan dalam naskah perjanjian internasional. Namun penandatanganan tidak selalu merupakan pemberlakuan perjanjian internasional. Keterikatan akan tergantung pada klausula pemberlakuan yang disepakati oleh para pihak dan dituangkan dalam naskah perjanjian bersangkutan.

Perlu diketahui bahwa Konvensi Wina 1969 hanya mengatur prosedur untuk membuat, menjalankan dan mengakhiri suatu perjanjian internasional, sedangkan


(47)

26

substansi merupakan persoalan para pihak penandatanganan. Hal ini perlu disadari bahwa suatu kesepakatan para pihak (consent to be bound) merupakan suatu hal penting saat merumuskan naskah perjanjian internasional. Lebih jelasnya, suatu perjanjian internasional yang berhasil dicapai setelah melalui perundingan-perundingan yang kadang-kadang sangat alot merupakan kompromi dari kepentingan-kepentingan para pihak.

4. Mulai Berlaku dan berakhirnya Perjanjian Internasional

Ada dua kategori untuk pelaksanaan suatu perjanjian internasional13, yaitu:

a) Perjanjian-perjanjian yang langsung dapat berlaku segera setelah penandatanganan, artinya terhadap perjanjian tersebut tidak perlu lagi proses pengesahan lebih lanjut. Pada kriteria ini adalah perjanjian yang prosedur pembuatannya disederhanakan yaitu cukup dengan perundingan dan penandatanganan.

b) Perjanjian-perjanjian yang memerlukan pengesahan terlebih dahulu sebelum diberlakukan di negaranya sesuai dengan prosedur konstitusional yang berlaku di Negara masing-masing. Prosedur ini adalah prosedur yang disebut prosedur normal.

Selain itu,secara umum suatu perjanjian bisa punah atau berakhir karena beberapa sebab yang tersebut di bawah ini14:

1. Karena telah tercapai tujuan perjanjian itu; 2. Karena habis waktu berlakunya perjanjian itu;

13 Op.Cit. Hlm. 71

14 Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes. Tahun 2003. Dalam bukuPengantar Hukum


(48)

27

3. Karena punahnya salah satu pihak peserta perjanjian atau punahnya objek perjanjian itu;

4. Karena adanya persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri perjanjian itu;

5. Karena diadakannya perjanjian antara para peserta yang kemudian meniadakan perjanjian terdahulu;

6. Karena dipenuhinya syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri; dan

7. Diakhirinya perjanjian secara sepihak oleh salah satu peserta dan diterimanya pengakhiran itu oleh pihak lain.

D. Daya Ikat Perjanjian Internasional

Menurut Budiono Kusumahamidjojo Kesepakatan untuk mengikatkan diri (concent to be bound) pada perjanjian merupakan tindak lanjut yang dilakukan oleh negara-negara setelah menyelesaikan suatu perundingan untuk membentuk suatu perjanjian internasional15. Hal ini diatur dalam Konvensi Wina 1969, yang melahirkan kewajiban-kewajiban tertentu bagi negara-negara perunding setelah menerima hasil rundingan (adotion), maupun naskah (seat) perjanjian dan menimbulkan kewajiban-kewajiban untuk tidak melaksanakan sesuatu yang bertentangan dengan esensi yaitu, maksud dan tujuan perjanjian yang telah disepakati. Mengenai perundingan antar negara yang menghasilkan kesepakatan yang disebut perjanjian internasional akan mengikat negara-negara yang membuatnya.


(49)

28

Supaya perjanjian itu mengikat sebagai hukum internasional positif, maka negara-negara itu perlu menyatakan persetujuannya untuk terikat secara tegas pada perjanjian. Jika negara tidak menyatakan persetujuannya untuk mengikat atau secara tegas menolak untuk terikat, maka perjanjian itu tidak akan pernah mengikatnya16. Persetujuan atau penolakan untuk terikat adalah manifestasi dari kedaulatan setiap negara.

Menurut Pasal 11 Konvensi Wina 1969, ditegaskan beberapa cara untuk menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional, yaitu dengan penandatanganan (signature), pertukaran instrumen yang membentuk perjanjian (exchange of instruments constituting a treaty), ratifikasi (ratification), akseptasi (acceptance), persetujuan atau aksesi (approval or accession), atau dengan cara lain yang disepakati (or by any other means if so agreed). Semua cara itu selanjutnya masing-masing diatur dengan lebih rinci dalam Pasal 12-17 Konvensi Wina 196917.

Persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian internasional mengandung dua aspek yaitu aspek eksternal dan aspek internal18. Aspek eksternalnya adalah hubungannya dengan negara yang bersangkutan terhadap perjanjian dalam hubungannya dengan negara lain yang juga sama-sama terikat pada suatu perjanjian itu. Suatu negara yang menyatakan persetujuannya untuk terikat pada suatu perjanjian internasional, berarti negara itu menyatakan kesediannya untuk menaati dan menghormati perjanjian internasional tersebut. Negara itu terikat pada perjanjian internasional yang telah disetujuinya

bersama-16 I Wayan Parthiana. Op.cit. Hlm. 109. 17 Op.Cit., hlm. 109.


(50)

29

sama dengan negara lain maupun dalam hubungan antara mereka dengan yang lainnya. Perjanjian itu akan melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban baik secara bersama-sama maupun secara timbal balik antara negara-negara yang sama-sama maupun secara timbal balik antara negara-negara yang sama-sama telah menyatakan persetujuannya untuk terikat. Semuanya itu tunduk pada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional pada umumnya dan hukum perjanjian internasional pada khususnya19. Dengan demikian, aspek eksternal ini relatif lebih pasti karena adanya satu bidang hukum yang mengaturnya yaitu hukum internasional dan di dalamnya termasuk hukum perjanjian internasional yang berlaku bagi semua negara di dunia.

Mengenai aspek internalnya, berkenaan dengan masalah di dalam negeri dari negara yang bersangkutan. Misalnya organ yang manakah dari pemerintah negara itu yang berwenang menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional, bagaimana mekanismenya sampai dikeluarkannya persetujuan ataupun penolakan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional, serta konsekuensinya terhadap hukum nasional dari keterikatan negara itu pada suatu perjanjian internasional. Pengaturan hal ini tentu saja akan berbeda antara negara yang satu dengan negara lainnya yang disebabkan karena setiap negara memiliki sistem hukum, politik, maupun konstitusi yang berbeda-beda. Hal ini dapat dipahami karena terikatnya suatu negara pada suatu perjanjian internasional, berarti pula mengikat terhadap warganegara dari negara itu sendiri20, jadi walaupun yang terikat secara hukum adalah negara, tetapi secara faktual

19 Op.Cit, hlm. 145 20 Ibid.


(51)

30

warganearalah dari negara yang berjanji itu sendirilah yang sebenarnya menikmati hak-hak dan dan memikul kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut.

E. Mengenai Suksesi Negara

1. Pengertian Suksesi Negara atau Suksesi Pada Umumnya

Mengenai istilah “suksesi negara” (State Succession) terutama bersangkut paut dengan pengalihan hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara-negara yang telah berubah atau kehilangan identitasnya kepada negara-negara atau kesatuan-kesatuan lain, perubahan atau kehilangan identitas demikian terjadi terutama apabila berlangsung perubahan baik secara keseluruhan atau sebagian kedaulatan atas bagian-bagian wilayahnya21. Menurut Pasal 2 Konvensi Wina Mengenai Suksesi Negara-negara Berkaitan dengan Traktat-traktat, tanggal 23 Agustus 1978, dan Pasal 2 Konvensi Wina Mengenai Suksesi Negara Berkaitan Dengan Harta Benda, Arsip-arsip dan Utang-utang Negara tanggal 7 April 1983.

“Suksesi Negara” didefinisikan artinya “penggantian kedudukan satu negara oleh

negara lainnya dalam hal tanggung jawab bagi hubungan-hubungan internasional

wilayah itu”22. Definisi ini agak membingungkan, dan tidak mungkin dapat diterima sebagai suatu dalil absolut untuk mencakup semua hal di mana dengan berlakunya hukum, hak-hak dan kewajiban-kewajiban internasional boleh beralih kepada negara-negara penggantinya (Successor State), misalnya dalam kasus di mana kedaulatan negara penyewa wilayah tertentu dikembalikan kepada pihak negara yang menyewakan, sebagaimana yang akan terjadi pada tahun 1997 pada

21 J.G. Starke,Pengantar Hukum Internasional 2.Cetakan Keempat, Juli 2003. penerbit

Sinar Grafika. Jakarta. Dalam Bab 11 Mengenai Suksesi Terhadap Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban pada buku Hlm. 431.


(52)

31

Cina yang akan memperoleh kedaulatannya kembali atas wilayah-wilayah Hongkong, yang pada saat ini dilaksanakan oleh Inggris sebagai negara penyewa dari Cina. Persoalan-persoalan hukum internasional yang berkenaan dengan masalah ini dapat disimpulkan sebagai berikut23:

(1) Sampai sejauh mana hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara yang digantikan (predecessor State) akan terhapus, atau—apabila hanya ada perubahan kedaulatan terhadap sebagian dari wilayah negara itu—sampai sejauh mana hak-hak dan keajiban-kewajiban tersebut masih tetap melekat pada negara itu?

(2) Sampai sejauh mana negara pengganti (Successor State), yaitu negara yang diserahi seluruh atau sebagian kedaulatan tersebut, berhak atas hak-hak atau tunduk pada kewajiban-kewajiban demikian?

Adapun istilah “suksesi negara” merupakan sebuah istilah yang kurang tepat,

karena istilah tersebut mengandaikan analogi-analogi dalam hukum perdata, di mana pada peristiwa kematian atau kepailitan dan lain-lain maka hak-hak dan kewajiban akan beralih dari orang yang mati itu atau orang yang tak mampu kepada individu-individu lain, dapat diterapkan terhadap negara-negara. Namun yang benar adalah tidak ada prinsip umum dalam hukum internasional yang menyangkut suksesi antara negara-negara, tidak ada subtitusi yuridis secara penuh dari suatu negara untuk menggantikan negara lama yang telah kehilangan atau berubah identitasnya24. Mengenai perubahan kedaulatan atas wilayah, melalui perolehan dan kehilangan kedaulatan yang terjadi secara bersamaan: kehilangan

23 Ibid. 24 Ibid.


(53)

32

bagi negara yang semula menikmati kedaulatan dan perolehan oleh negara-negara yang kepadanya diserahkan seluruh atau sebagian kedaulatan tersebut.

Tidak mudah menerapkan analogi-analogi yang berkaitan dengan pengalihan sesuatu suatu universitas juris menurut hukum domestik kepada hukum internasional. Sejauh menyangkut hak-hak dan kewajiban menurut hukum internasional, tidak ada masalah apapun mengenai suksesinya. Negara yang telah mengambil alih hak-hak dan kewajiban-kewajiban demikian tunduk pada hukum internasional, semata-mata karena sifatnya sebagai sebuah negara, bukan oleh alasan suatu doktrin suksesi apapun.

Adapun kaitan istilah kedua yaitu apa yang dinamakan “Suksesi Pemerintahan”

(succession of government), masalahnya berlainan. Perubahan kedaulatan adalah masalah intern semata-mata, apakah hal tersebut terjadi melalui proses konstitusional atau proses revolusi. Pemerintah yang baru memegang kendali dari pemerintahan, dan yang menjadi persoalan adalah sampai sejauh mana hak-hak dan kewajiban pemerintah lama terhapus, dan sejauh mana pemerintah baru berhak atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban tersebut.

Menurut terminologi yang lebih tepat, kedua istilah tersebut yaitu25:

a. Pengalihan hak-hak dan kewajiban-kewajiban karena perubahan kedaulatan atas wilayah oleh sebab-sebab ekstern.

b. Pengalihan hak-hak dan kewajiban-kewajiban karena perubahan kedaulatn oleh sebab-sebab intern, tanpa memperhatikan adanya perubahan teritorial.


(54)

33

2. Faktor-Faktor Yang Mendorong Terjadinya Suksesi Negara. a. Faktor Eksternal

Menurut J.G. Starke26, situasi-situasi umum yang paling sering terjadi berkaitan dengan perubahan-perubahan kedaulatan atas wilayah oleh sebab-sebab ektern, adalah:

a) Sebagian wilayah negara A dimasukkan ke dalam negara B, atau terbagi di antara beberapa negara B, C, D dan negara lainnya.

b) Sebagian wilayah negara A dijadikan sebagai basis sebuah negara baru.

c) Seluruh wilayah negara A dimasukkan ke dalam negara B, yang mengakibatkan negara A lenyap.

d) Seluruh wilayah negara A dibagi di antara beberapa negara B, C, D dan negara lain, juga menyebabkan negara A lenyap.

e) Seluruh wilayah negara A menjadi basis beberapa negara baru, negara A dengan demikian juga menjadi lenyap.

f) Seluruh wilayah negara A menjadi bagian dari wilayah sebuah negara baru, yang juga mengakibatkan lenyapnya negara A.

Perubahan-perubahan atas wilayah tidak hanya dapat terjadi terhadap negara-negara melainkan juga perubahan dari negara-negara-negara-negara menjadi kesatuan-kesatuan non-negara, sebagai contoh, lembaga-lembaga internasional,27 atau dari negara penyewa kepada negara yang menyewakan seperti yang akan terjadi pada tahun 1997 ketika kedaulatan terhadap wilayah Hong Kong

26 Ibid.

27 Misalnya, kedaulatan hukum sementara dari Liga Bangsa-Bangsa, 1920-1935, terhadap


(55)

34

dikembalikan dari Inggris kepada Cina; dan kesatuan-kesatuan non-negara, seperti wilayah perwalian dan protektorat-protektorat, wilayah-wilayah itu dapat memperoleh kedaulatan untuk mendapat status negara.

Tidak ada kriteria yang dapat mempermudah diberikannya suatu pedoman.28 Sebagaimana dikatakan oleh Prof. H. A. Smith29.

“....Rumitnya dan beragamnya persoalan yang timbul di dalam praktek sedemikian rupa sehingga menghambat analisis yang akurat dan lengkap dalam batas-batas yang sempit”.

Namun demikian, suatu aturan umum yang berlaku, dan satu yang diterapkan dalam hukum kasus, adalah melihat kepada naskah-naskah perundang-undangan, traktat-traktat, deklarasi-deklarasi dan persetujuan-persetujuan lainnya yang relevan yang menyertai perubahan kedaulatan, dan memastikan tentang apa tujuan negara atau negara-negara terkait mengenai kelanjutan atau pengalihan hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu.

b. Faktor Internal.

Prinsip yang dipakai di sini adalah apa yang dinamakan prinsip kontinuitas (continuity) yaitu, meskipun terjadi perubahan-perubahan intern dalam organisasi pemerintahan, atau dalam struktur konstitusional negara tertentu, namun negara itu sendiri tetap terikat pada hak-hak dan kewajiban-kewajibannya menurut hukum internasional, termasuk hak-hak dan kewajiban-kewajiban traktat. Oleh karena itu setiap pemerintah pengganti

28 J. G. Starke, ibid.


(56)

35

(succesive government) secara hukum, bertanggung jawab atas tindakan-tindakan pemerintah sebelumnya.

Prinsip ini telah memperoleh pemakaian luas pada tahun 1947 dalam pengertian memperoleh banyak dukungan bahwa, meskipun terjadi perubahan-perubahan besar dalam konstitusinya saat India muncul sebagai negara merdeka, negara tersebut tetap sebagai anggota asli (original member) Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan segala hak dan kewajiban yang sebelumnya. Opini tersebut berlaku dalam praktek, negara India baru secara otomastis diakui sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Prinsip kontinuitas tidak berlaku secara tidak wajar. Oleh karenanya, apabila ketentuan-ketentuan traktat yang mengikat negara, baik secara tegas maupun tersirat, didasarkan atas asumsi bentuk khusus pemerintahan atau suatu kelajutan konstitusi khusus, dan yang disebut terakhir itu berubah, maka traktat tersebut tidak lagi berlaku mengikat pemerintah yang baru. Di samping itu, mungkin terjadi perubahan revolusioner fundamental dengan munculnya pemerintah dengan politik, ekonomi dan sosial yang baru, sehingga tidak mungkin sebenarnya untuk mempertahankan pemerintah tersebut pada kewajiban-kewajiban tertentu yang memberatkan.

Suatu persoalan yang sifatnya khusus dapat timbul berkenaan dengan pemerintah yang merebut kekuasaan dengan cara tidak sah atau inkonstitusional, dan menetapkan kontrolde factountuk jangka waktu tertentu yang sepanjang waktu itu telah mengikat kewajiban-kewajiban dalam berbagai hal dengan negara lain. Apabila negara-negara lain tersebut telah memperoleh


(57)

36

pemberitahuan dari pemerintah yang digantikan bahwa yang terakhir ini tidak mengakui trakta-traktat yang dibuat oleh pemerintah yang merebut kekuasaan itu apabila pemerintah yang digantikan itu mengambil alih kontrol kembali, makaprima facie traktat-traktat tersebut akan menjadi resiko para pihak yang terkait, dan pemerintah yang digantikan dapatr mengajukan klaim bahwa ia tidak terikat apabila telah pulih kembali kedudukannya.


(1)

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan, adalah penelitian hukum normative, yaitu penelitian yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan prilaku setiap orang.1

B. Tipe Penelitian

Tipe Penelitian yang digunakan termasuk dalam tipe penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran lengkap mengenai keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.2

C. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dan literatur-literatur hukum internasional, Konvensi Wina 1969 dan Perjanjian New York 1962 antara Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda mengenai Irian Barat.

1 Abdulkadir Muhammad. 2004.Hukum dan Penelitian Hukum.PT. Citra Aditya Bakti, Bandung., Hlm. 52.


(2)

D. Data dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan berupa:

a) Bahan hukum primer, yaitu berupa konvensi internasional yang mengatur tentang hukum Perjanjian Internasional seperti Vienna Convention 1969 Naskah Perjanjian New York 1962 yang dibuat dan ditandatangani di New York pada Tahun 1962.

b) Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan hukum yang menjelaskan dengan rinci dan jelas mengenai Perjanjian New York 1962, pendapat para sarjana serta buku-buku pendukung dari para ahli atau para sarjana.

c) Bahan hukum tersier yaitu berupa bahan hukum pelengkap untuk mempermudah dalam penelitian penulis memahami dan menganalisa data seperti kamus Bahasa Hukum, Kamus Bahasa Indonesia dan Kamus Bahasa Inggris.

E. Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan hanya melalui studi kepustakaan dengan proses membaca, menganalisa serta mengutip literatur-literatur atau dokumen-dokumen dan bahan perpustakaan lainya yang memiliki hubungan dengan pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian yang dibuat penulis.

F. Pengolahan Data

Pengolahan data yang dilakukan dengan cara:

a) Seleksi data, yaitu memeriksa secara keseluruhan data untuk menghindari kekurangan dan kesalahan data yang berhubungan dengan Keberlakuan


(3)

39

Perjanjian New York Tahun 1962 antara NKRI dengan Kerajaan Belanda terhadap kekuatan Hukum Internasional.

b) Klasifikasi data, yaitu penempatan dan pengelompokan data-data yang akan dimasukkan dalam penulisan ini harus melaui proses pemeriksaan serta penggolongan data sesuai dengan permasalahan.

c) Penyusunan data, yaitu data yang telah diperiksa dan terklarifikasi kemudian disusun secara sistematis sesuai dengan urutannya sehingga mempermudah pembahasan agar mudah dipahami.

G. Analisis Data

Analisis data yang dipergunakan yaitu deskriftif kualitatif, yaitu pembahasan skripsi ini dengan cara memaparkan dalam bentuk uraian-uraian kalimat serta memberikan interpretasi data dalam bentuk kalimat secara sistematis sehingga dapat ditarik kesipulan dari permasalahan yang diteliti dalam penulisan ini. Proses penarikan kesimpulan dimulai dari bahan bersifat umum berdasarkan fakta yang bersifat khusus dari penelitian yang menyebabkan kesimpulan tersebut dapat menghasilkan saran atau jika mungkin melahirkan terobosan dalam pemberlakuan Hukum Perjanjian Internasional.


(4)

A. Kesimpulan

1. Perjanjian New York 1962 memiliki kekuatan mengikat yang kuat, sehingga kekuatan hukum dari sebuah perjanjian tidak dapat diubah begitu saja tanpa ada argumen yang kuat pula untuk mengubahnya. Sehingga akibat hukumnya, harus melaksanakan apa yang telah tertera atau disepakati di dalam Perjanjian New York 1962 bahwa, setiap perjanjian internasional dilandasi atas asas

pacta sunt servanda, dan di dalamnya terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi apabila telah muncul kata sepakat dan setuju untuk terikat.

2. Dasar integrasi Papua ke dalam wilayah kedaulatan NKRI sangatlah jelas dan sudah tidak dapat diganggu gugat, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa negara Indonesia adalah wilayah kolonial dari Belanda yang juga memiliki konsekuensi terhadap batas-batas wilayah negara yang terakhir menjajah. Dalam doktrin uti possidetis juris, yang berarti bahwa negara-negara baru yang lahir dari proses dekolonisasi mempunyai batas-batas wilayah yang sama dengan batas-batas wilayah rezim kolonial sebelumnya, ini merupakan status yuridis yang tidak bisa dipungkiri lagi, ditambah lagi, kekuatan hukum dari Resolusi PBB 2504 yang merupakan hukum kebiasaan bagi masyarakat internasional dan pengakuan dari Negara-negara, tanpa ada


(5)

71

yang sulit, karena untuk membatalkannya harus dilakukan oleh Majelis Umum PBB melalui persetujuan negara anggota PBB, terutama pengakuan dari anggota negara-negara PBB terhadap wilayah suatu negara. Kesimpulan poin pertama (1), kekuatan mengikat yang sangat kuat itu telah disepakati dan harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang berjanji. Jika hendak menggugat hasil Pepera, maka harus memiliki argument yang kuat agar dapat dilakukan Pepera ulang. Hasil ini diterima dengan baik sebagai suatu hal yang final. Kemudian yang menguatkan lagi adalah sejak diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yang menjadikannya satu kesatuan cause celebrate untuk suatu wilayah Negara. Hal ini juga dikuatkan dengan dikeluarkan Resolusi Majelis Umum PBB No. 2504 (XXIV) tahun 1969 mengenai Papua Barat, sesungguhnya semakin menegaskan bahwa Irian Barat yang sekarang dikenal dengan Provinsi Papua, adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

B. Saran

1. Pemerintah hendaknya tegas menghadapi atau menindaklanjuti tuntutan yang dilakukan oleh Rakyat Papua Barat, dan menjalankan kewajiban sebagai negara kesatuan yang memiliki kedaulatan. Jika ada pihak-pihak yang mengganggu gugat Perjanjian New York 1962, maka pemerintah hendaknya menggunakan jasa-jasa para ahli hukum internasional agar dapat memberikan argumentasi yuridis yang kuat dan lengkap.

2. Pemerintah hendaknya berusaha keras untuk mengoptimalkan Otonomi Khusus Daerah Papua tahun 2001 untuk pembangunan dan kesejahteraan


(6)

Rakyat Papua. Dengan demikian, tuntutan dari Rakyat Papua menjadi lebih berkurang dan keutuhan Negara Republik Indonesia tetap utuh dan wibawa Indonesia di mata dunia tidak berkurang.