Implementasi Konvensi New York 1958 dalam Perkara Perkara Arbitrase Internasional di Indonesia

  kemungkinan penggunaan prinsip rebus sic stantibus. Lebih jauh, Pengadilan di Italia pada masa perang dunia kedua memutuskan bahwa

  49 perjanjian ekstradisi tidak berlaku lagi atas dasar perang yang terjadi .

  Selain praktek negara-negara di dunia, beberapa konflik senjata yang terjadi setelah perang dunia kedua juga dapat dijadikan acuan apakah konflik senjata dapat serta merta menyebabkan terhentinya atau memunculkan penundaan sebuah perjanjin internasional. Acuan pertama adalah ketika negara Mesir melakukan penundaan atas perjanjian Suez

  

Canal Base dengan negara Inggris di tahun 1956. Keputusan Mesir ini

  disebabkan atas serangan udara Inggris dan Perancis terhadap Mesir di tahun 1956. Acuan kedua adalah konflik senjata yang terjadi antara negara Cina dan negara India yang berkenaan tentang masalah perbatasan di tahun 1962. Menarik untuk dicermati adalah bahwa walaupun terjadi konflik senjata, hubungan diplomatik kedua negara ini tetap ada. Acuan yang ketiga adalah konfik senjata Iran-Irak pada tahun 1980 sampai dengan 1988. Di dalam konflik senjata ini kedua belah negara telah secara sepihak membatalkan perjanjian internasional tentang batas negara. Iran membatalkan perjanjian internasional Batas Shatt-al- Arab yang dibuat tahun 1937 sementara Irak membatalkan perjanjian

  50 internasional Baghdad yang dibuat pada tahun 1975 .

  Dari beberapa contoh praktek negara-negara di dunia dan beberapa konflik senjata yang terjadi, dapat diambil beberapa kesimpulan yang patut dicermati, yaitu antara lain adalah bahwa untuk beberapa kasus, sebuah perjanjian internasional tetap berlaku walaupun terjadi konflik senjata; bahwa sebuah perjanjian internasional tidak serta merta berhenti berlaku walaupun terjadi konflik senjata, melainkan mengalami 49 penundaan pelaksanaan; dan bahwa untuk kasus-kasus tertentu sebuah 50 Ibid.

  Ibid. perjanjian internasional tidak berlaku lagi atau terjadi penundaan yang disebabkan oleh konflik senjata baik antara para pihak perjanjian internasional dari perjanjian internasional tersebut maupun pihak ketiga.

  Di Indonesia sendiri penerapan asas rebus sic stantibus dapat dilihat dari dua kasus, yaitu kasus berkaitan dengan Perjanjian Konferensi Meja Bundar, dan kasus keberlangsungan perjanjian internasional antara Australia dengan Indonesia tentang Zona Kerja Sama di Celah Timor.

  Kasus Pertama, dalam hal ini berkaitan dengan adanya Perjanjian

  sebagai hasil kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), di mana Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Indonesia atas seluruh bekas wilayah Hindia Belanda dengan penangguhan penyelesaian wilayah Irian Barat (kini Papua). Namun Perjanjian KMB ternyata tidak mampu menjalin hubungan baik antara Indonesia dan Belanda, bahkan tidak membawa penyelesaian mengenai masalah Irian Barat.

  Setelah pembubaran Uni Indonesia

  • – Belanda kemudian pemerintah Indonesia memutuskan secara sepihak keseluruhan perjanjian KMB. Pemutusan yang demikian mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat tertanggal 22 Mei 1956 dan dimuat dalam Undang Undang nomor 13 tahun 1956. Adapun alasan yang dipakai oleh Pemerintah Indonesia dalam membatalkan perjanjian KMB adalah sebagai berikut:

  Maka di dalam keadaan yang sudah begitu berubah dan mendesak sekali untuk membatalkan perjanjian KMB demi kepentingan nasional, pemerintah tidak mempunyai pilihan lain daripada membatalkan perjanjian tersebut atas dasar rebus sic stantibus yang berlaku di dalam hukum internasional. Menurut asas rebus sic stantibus yang berarti atas dasar kenyataan adanya perubahan-perubahan yang vital di dalam negeri daripada salah satu pihak yang menandatangani, maka pihak tersebut berhak untuk menarik diri dari ikatan perjanjian itu. Dengan lain perkataan di dalam keadaan demikian, maka prinsip rebus sic stantibus bisa dibuat sebagai dasar untuk meniadakan asas pacta sunt servanda

  51 tersebut .

  Melihat pada kasus di atas, di mana dengan bubarnya Uni-Indonesia

  • – Belanda dianggap telah terjadi perubahan keadaan yang fundamental di wilayah Indonesia, sehingga pihak dalam perjanjian dalam KMB dapat menyatakan untuk mengundurkan diri dari perjanjian KMB. Dibentuknya Uni Indonesia – Belanda sebagai salah satu sarana dalam penyelesaian masalah Irian Barat. Maka di sini dipenuhi ukuran obyektif sebagai dasar untuk menarik diri dari perjanjian dengan alasan berlakunya asas rebus sic stantibus. Sedangkan ukuran kedua yang harus
  • – dipenuhi adalah ukuran obyektif, yaitu dengan bubarnya Uni Indonesia Belanda, ternyata mempengaruhi kemampuan para pihak.

  Kasus kedua , sebagaimana diketahui bahwa dengan belum tercapainya

  kesepakatan mengenai batas landas kontinen antara Indonesia dengan Australia di selatan Timor Timur (Celah Timor) maka pada tanggal 11 Desember 1989 ditanda-tangani perjanjian antara Indonesia dan

52 Australia mengenai Zona Kerjasama di daerah antara Timor Timur dan

  Australia Bagian Utara, yang lebih dikenal ”Perjanjian Celah Timor” Perjanjian tersebut merupakan pengaturan sementara yang bersifat

  53 .

  51 Sidik Suraputra, Hukum Internasional dan Berbagai Permasalahannya (Suatu Kumpulan Karangan), Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum 52 Universitas Indonesia, Penerbit Diadit Media, Jakarta, Cetakan ke-2, 2006, hlm. 182.

  

Pada saat ditandatanganinya Perjanjian antara Indonesia dan Australia ini, wilayah

Timor Timur menjadi bagian wilayah Indonesia, sehingga wilayah landas kontinen di 53 sebelah selatan Timor Timur berada di bawah kedaulatan Indonesia.

  

Dalam tulisan ini tidak akan dijelaskan secara rinci tentang apa isi perjanjian Celah Timor, karena penekanan dalam tulisan ini adalah terjadinya perubahan keadaan yang fundamental yang dapat mempengaruhi keberlangsungan perjanjian internasional yang dalam hal ini adalah perjanjian Celah Timor antara Indonesia dan Australia. praktis untuk memungkinkan dimanfaatkannya potensi sumber daya miyak dan gas bumi tanpa harus menunggu tercapainya kesepakatan batas landas kontinen. Juga, perjanjian tersebut mengatur mengenai ”Zona Pengembangan Bersama” (Joint Development Zone) di daerah ”tumpang tindih” negara-negara yang bersangkutan (dispute area).

  Diadakannya perjanjian Celah Timor berlandaskan pada Pasal 83 ayat (3)

54 Konvensi Hukum Laut 1982 .

  Kemudian dengan berjalannya waktu, pada tanggal 30 Agustus 1999 diadakan jajak pendapat rakyat Timor Timur apakah akan menerima status otonomi khusus atau memisahkan diri dari Indonesia untuk merdeka. Beradaskan hasil jajak pendapat yang diumumkan pada tanggal 4 September 1999 sebagian besar rakyat Timor Timur menghendaki untuk berpisah dari Indonesia menjadi negara merdeka. Akhirnya pada tanggal 20 Mei 2002 rakyat Timor Timur menyatakan kemerdekaannya dan menjadi Negara Timor Leste.

  Sebagai konsekuensi atas kemerdekaan Timor Timur, maka wilayah landas kontinen yang berada disebelah selatan Timor Timur yang merupakan obyek perjanjian Celah Timor tidak lagi berada di bawah kedaulatan Indonesia, namun berada di bawah kedaulatan Timor Leste. Sehubungan dengan hal itu, dalam hukum perjanjian dikenal asas pacta

  55

tertiis nec nocent nec prosunt . Demikian juga dengan merdekanya Timor

54 P asal 83 ayat (3) K

  onvensi Hukum Laut 1982, bahwa: ”sementara persetujuan penetapan batas landas kontinen belum tercapai negara-negara yang bersangkutan dalam semangat saling pengertian dan kerjasama hendaknya berupaya untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan selama berlangsungnya masa transisi ini tidak boleh membahayakan atau menghambat upaya untuk mencapai persetujuan akhir. Pengaturan semacam ini tidak boleh merugikan penetapan garis 55 batas landas kontinen yang final”.

  

Bahwa perjanjian tidak membebankan hak dan kewajiban bagi pihak ke-tiga. Dalam

kasus ini perjanjian Celah Timor tidak akan berlaku bagi Timor Leste sebagai pihak

ke-tiga, karena perjanjian tersebut hanya menikat bagi Indonesia dan Australia.

  Timur maka menurut hukum internasional telah terjadi suksesi, yang dalam hal ini suatu wilayah Timor Timur yang dalam hubungan internasional semula menjadi tanggung jawab Indonesia, setelah tanggal

  20 Mei 2002 berubah menjadi wilayah negara baru, yaitu negara Timor Leste sebagai negara berdaulat

  56 .

  Dengan terjadinya suksesi negara dapat dikatakan bahwa telah terjadi suatu perubahan keadaan yang fundamental (rebus sic stantibus) di wilayah Indonesia, yang pada akhirnya berdasarkan kesepakatan antara Indonesia dan Australia diadakan peninjauan kembali atas berlakunya perjanjian Celah Timor.

  III. K E S I M P U L A N Berdasarkan uraian di atas berkaitan dengan keberadaan asas dalam perjanjian intenasional, khususnya asas rebus sic stantibus, dapat tarik kesimpulan sebagai berikut: 1.

  Bahwa keberadaan kedua asas tersebut telah lama dikenal dalam masyarakat, termasuk masyarakat internasional. Bahkan beberapa ahli terkemuka telah memberi dukungan atas keberadaan asas tersebut, dan bahkan dewasa ini asas tersebut telah menjadi bagian dari hukum positif, baik dalam taraf nasional Indonesia maupun dalam taraf internasional. Ini artinya keberadaan asas rebus sic stantibus barada dalam sustu sistem hukum. Penerimaan, keberadaan dan penggunaan asas pacta sunt servanda adalah mengawali berlakunya suatu perjanjian. Artinya keberadaan dan penerimaan asas pacta sunt servanda dijadikan sebagai dasar beroperasinya atau berlakunya suatu perjanjian. Tanpa adanya

56 Article 2 point 1b, Vienna Convention on Succession of States in Respect of

  Treaties,1978: “succession of states means the replacement of one state by another in the responsibility for the international relations of territory”. kesanggupan untuk melaksanakan apa yang telah dijanjikan, maka perjanjian tidak akan dapat beroperasi atau berlaku sebagaimana mestinya. Lain halnya dengan asas rebus sic stantibus, di mana dengan berlandaskan pada asas ini pihak-pihak perjanjian dapat menyatakan menunda atau menyatakan mengundurkan diri dari perjanjian yang telah disepakati, sepanjang dipenuhi syarat-syaratnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 62 Konvensi Wina 1969.

  2. Sebagaimana disinggung pada urian di atas, bahwa penerimaan dan pengakuan asas rebus sic stantibus sebagai upaya untuk melegalsir tindakan pihak-pihak peserta perjanjian untuk mengakiri atau menunda berlakunya perjanjian yang telah mereka buat. Perubahan keadaan yang fundamental dapat dijadikan sebagai alasan untuk tidak lagi melaksanakan perjanjian, sepanjang dipenuhi persyaratan tertentu, yaitu bila terjadi perubahan keadaan, di mana keadaan yang berubah itu menjadi dasar diadakannya perjanjian; dan adanya perubahan keadaan yang fundamental tersebut menyebabkan terjadi perubahan pelaksanaan kewajiban dari para pihak sebagaimana yang pernah dijanjikan. Beberapa kasus yang dianggap telah terjadinya perubahan keadaan yang fundamental, yang pada gilirannya merubah pelaksanaan apa yang telah diperjanjikan yaitu terjadinya konflik bersenjata, terjadinya konflik kepentingan di antara para pihak yang berjanji, atau karena adanya perubahan keadaan yang menyangkut status wilayah yang diperjanjikan (karena terjadi suksesi).

  

Daftar Pustaka

Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya, Bandung, 1999

Arthur Nussbaum, Sam Suhaedi Admawiria, Sejarah Hukum Internasional I, Binacipta,

  Bandung, 1969.

Arthur Nussbaum, Sam Suhaedi Admawiria, Sejarah Hukum Internasional II, Binacipta,

Bandung, 1970.

  Bierley, Hukum Bangsa-Bangsa, terjemahan Moh. Radjab, Bhratara, Jakarta, 1963.

  

Brownlie, Principles of Public International Law, ELBS Oxford University Press, 1979,

Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986.

Budiono Kusumohamidjojo, Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina

1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional , Binacipta, Bandung, 1986. Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000 D.J. Harris, Case and Materials in International Law, Maxwell, London, 1983 .

Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien,

Nuansa & Nusamedia, Bandung, 2006,

Hingorani, Modern International Law, Second Edition, Oxford & IBH Publishing Co,

New delhi, 1982.

Hugh M Kindred, International Law Chiefly as Interpreted and Applied in Canada,

Emond Montgomery Publications Limited, 1987

Madjedi Hasan, Pacta Sunt Servanda, The Principle and its application in Petroleum

  Production Sharing Contract , PT Fikahati Aneska, Jakarta, 2005

Martin Dixon and Robert MC Corquodale, Cases and Materials on International Law,

Third Edition, Blackstone Press Limited, Aldine Place, London, 2000.

  Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty, Yogyakarta, 1990.

Mieke Komar Kantaatmadja, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina Tahun 1969

tentang Hukum Perjanjian internasional , makalah, Fakultas Hukum UNPAD.

  Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni Bandung, 2003, Peter Malanczuk, Akehurst’s Medern Introduction to International Law, Routledge, London and New York, 1997.

  

Professor Aziz T Saliba LLM dari Universidade de Itauna dan Faculdades de Direito do

Oeste de Minas, Brazil menulis komentarnya berjudul Comparative Law Europe pada Contracts Law and Legislation Volume 8, Number 3 September 2001, dala Sam Suhaedi Atmawiria, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 1968

  

Sidik Suraputra, Hukum Internasional dan Bernagai Permasalahannya (Suatu Kumpulan

Karangan), Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Penerbit Diadit Media, Jakarta, Cetakan ke-2, 2006 .

  

Siti Ismijati Jenie, Itikad Baik, Perkembangan dari Asas Hukum Khusus menjadi Asas

Hukum Umum di Indonesia , Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2007.

  Starke, Introduction to International Law, Butterword, London, 1989, Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2001.

Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, Bahan Kuliah Magister Ilmu

Hukum (S-2), tanpa tahun.

  

Wayan Partiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2, Mandar Maju, Bandung,

2005.

  Dokumen:

Jurnal Hukum Internasional, , Volume 3 Nomor 4, Juli 2006, Fakultas Hukum Universitas

Indonesia Lembaga Pengkajian Hukum Internasional.

  Kamus Umum Bahasa Indonesia

diakses tanggal 22 Pebruari

2008 Undang Undang Nomor 37 Tahuhn1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.

  United Nations Convention on the Law of The Sea 1982. Vienna Convention on The Law Of Treaties, 1969.

Vienna Convention on The Law Of Treaties between States and International

Organizations or between International Organizations, 1986 Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties, 1978.

IMPLEMENTASI KONVENSI NEW YORK 1958 DALAM PERKARA-PERKARA ARBITRASE

  Mutiara Hikmah

  

Abstrak

Dengan pemberlakuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun

1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing,

penegakan putusan arbitrase internasional dapat diberlakukan di

Indonesia, karena hukum acara yang mengatur tentang putusan

arbitrase telah menjadi jelas. Untuk pengelolaan masalah keputusan

arbitrase internasional yang lebih baik dalam hierarki perundang-

undangan, pada tanggal 12 Oktober 1999 diundangkan Undang-

Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam

Undang-Undang tersebut, terdapat bagian khusus yang membahas

Arbitrase Internasional. Artikel ini membahas bagaimana

perkembangan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di

Indonesia sebelum Indonesia menjadi anggota Konvensi New York

1958 hingga saat ini, dengan menganalisis putusan arbitrase

internasional dan perintah pengadilan setelah berlakunya Undang-

Undang Arbitrase.

  

Kata kunci: arbitrase internasional, alternatif penyelesaian sengketa,

konvensi New York 1958, UU Arbitrase.

  

Abstract

With the enactment of Supreme Court Law No. 1 Year 1990 on the

Procedures for the Implementation of Foreign Arbitral Awards, the

enforcement of international arbitral awards can begin to be

implemented in Indonesia, because the procedural law governing the

procedure of the arbitration decision is clear. To better manage the

problem of international arbitral decision in the hierarchy of legislation,

on 12 October 1999 promulgated the Law of Arbitration and

Alternative Dispute Resolution. In that Law, there is a special section

that discusses the International Arbitration. This article examines how

the development of the implementation of international arbitral awards

in Indonesia before Indonesia became a member of New York

  

Convention 1958, to date, by analyzing the international arbitration

decisions and court order after the enactment of the Law of Arbitration.

Keywords: international arbitration, alternative dispute settlement,

New York Convention 1958, Law on Arbitration.

  Indonesia telah menjadi anggota Konvensi New York 1958 melalui Keputusan Presiden RI (Keppres) No. 34 Tahun 1981 dan diterbitkan dalam Lembaran Negara RI tahun 1981 No. 40. Dengan ikut sertanya negara Indonesia dalam Konvensi New York 1958, maka Indonesia terikat pada ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam konvensi tersebut mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

  Pada awalnya, sikap Pemerintah Indonesia (dalam hal ini Mahkamah Agung RI), tidak mengakui pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Akan tetapi, kesadaran bahwa negara Indonesia akan terus tumbuh menjadi bagian dari aktivitas bisnis dunia, maka Pemerintah Indonesia harus memikirkan langkah ke depan untuk dapat mengakui dan melaksanakan putusan-putusan arbitrase internasional. Khususnya dalam upaya menarik perhatian para investor untuk memilih Indonesia sebagai tempat utama dalam aktivitas investasinya. Maka negara Indonesia harus membuka diri untuk mengikuti trend penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang diikuti dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasionalnya1.

  Apalagi jika melihat tendensi yang terjadi pada akhir-akhir ini, dalam kontrak-kontrak yang ditanda tangani oleh Badan Usaha Milik Negara

1 Ricardo Simanjuntak, “Konflik Yurisdiksi Antara Arbitrase Dan Pengadilan Negeri”, dalam Jurnal Hukum Bisnis (Vol. 21, Oktober-November 2002), hal. 85.

  (BUMN) atau Perusahaan Negara di satu pihak dengan pihak asing, baik dalam bentuk Kerja Sama Operasi(KSO)/Joint Operation Contract (JOC) atau lain- lain usaha bersama dan perjanjian yang bersifat ”internasional”, dipakai klausul mengenai penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan umumnya arbitrase ditentukan akan dilangsungkan di luar negeri2. Walaupun dalam kontrak ditentukan bahwa hukum Indonesia yang dipilih untuk menyelesaikan sengketa, namun pelaksanaan pemeriksaan arbitrasenya dilangsungkan di luar negeri. Jika pelaksanaan pemeriksaan dan proses arbitrase berlangsung di luar negeri, ketika putusan arbitrase diucapkan dan pihak yang kalah dalam proses tersebut adalah pihak dari Indonesia, maka hal ini akan berakibat pihak yang menang dalam proses arbitrase tersebut memohon pelaksanaan putusan arbitrase internasional tersebut di Indonesia.

  Mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional, sangat terkait dengan pemahaman dan kemampuan hakim serta sikap pengadilan. Pengadilan-pengadilan mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan sengketa-sengketa di bidang perdagangan, walaupun para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang bersangkutan melalui lembaga arbitrase. Pengadilan diminta campur tangan manakala proses arbitrase telah selesai dan salah satu pihak tidak bersedia melaksanakan putusan arbitrase tersebut3. Dalam proses pelaksanaan putusan arbitrase, lembaga arbitrase tidak dapat memaksakan pelaksanaan putusannya4, melainkan lembaga pengadilan

  2 Sudargo Gautama (a), Arbitrase Luar Negeri dan Pemakaian Hukum Indonesia, 3 Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004, hal. 1.

  

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata Internasional, cetakan kedua,

4 (Jakarta : N.V. Van Dorp & Co, 1954), hal. 74.

  

Lembaga arbitrase tidak memiliki wewenang untuk mengeksekusi putusannya sendiri. Hal tersebut dikarenakan: yang harus memaksa pihak yang kalah untuk melaksanakan putusan arbitrase tersebut5. Dalam prakteknya, pengadilan dapat sewaktu-waktu campur tangan dalam hal pemeriksaan proses arbitrase sedang berjalan. Campur tangan pengadilan itu bisa berupa menunjuk arbiter ketiga, apabila dua arbiter pertama gagal menunjuk arbiter ketiga. Bentuk campur tangan yang lain misalnya membantu proses arbitrase mendapatkan bukti-bukti atau dokumen-dokumen yang diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan.

  Berbeda dengan arbitrase, mengenai pelaksanaan putusan pengadilan asing, kebanyakan sistem hukum yang dianut oleh banyak negara tidak memperkenankan pengadilannya untuk mengeksekusi putusan pengadilan asing. Kecenderungan ini berlaku di negara-negara yang menganut sistem Civil Law dan sistem Common Law. Penolakan eksekusi terhadap putusan pengadilan asing terkait erat dengan konsep

  1. Lembaga arbitrase bukan merupakan institusi negara, sehingga lembaga tersebut tidak memiliki wewenang yang bersifat publik yang dapat dijalankan dengan paksa kepada pihak-pihak lain; 2. Tidak terdapat landasan hukum bagi lembaga arbitrase untuk melaksanakan eksekusi putusannya sendiri;

  3. Lembaga arbitrase tidak memiliki jurusita sebagaimana terdapat pada lembaga peradilan yang bertugas melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan eksekusi.

Lihat: Tin Zuraida, Prinsip Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia, Teori

dan Praktek yang Berkembang, cetakan pertama, (Surabaya: PT. Wastu Lanas Grafika,

5 2009), hal. 222.

  

Di dalam Konvensi New York 1958, diatur mengenai peran pengadilan dalam hal

pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Peran Pengadilan ini dapat dilihat juga di

dalam UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration yang menjadi

rekomendasi Majelis Umum PBB kepada para anggota pada tahun 1985 sebagai standar

hukum yang modern dalam arbitrase. Dibeberapa negara, campur tangan Pengadilan

dimungkinkan pada waktu proses arbitrase sedang berjalan atas permintaan pihak yang

merasa dirugikan. Di Singapura, pengadilan dapat mengenyampingkan putusan arbitrase

dalam keadaan-keadaan yang amat terbatas, dengan mengangkat ketentuan-ketentuan yang sama dengan Model Law. kedaulatan negara. Sebuah negara yang memiliki kedaulatan tidak akan mengakui institusi atau lembaga yang lebih tinggi, kecuali negara tersebut sukarela menundukkan diri. Mengingat pengadilan merupakan alat perlengkapan yang ada pada suatu negara, maka wajar apabila pengadilan tidak akan melakukan eksekusi terhadap putusan-putusan pengadilan asing. Pendirian ini sesuai dengan asas kedaulatan territorial (principle of territorial souvereignty), berarti keputusan hakim asing tidak dapat secara langsung dilaksanakan dalam wilayah negara lain atas kekuatannya sendiri. Dengan tidak adanya perjanjian internasional antara Indonesia dengan negara lain, tidak dapat diadakan pelaksanaan keputusan-keputusan asing di wilayah RI (Pasal 436 RV).

  Pelaksanaan putusan arbitrase internasional mendapat pengaturan dalam perjanjian internasional karena dalam hukum internasional dikenal adanya kedaulatan dan yurisdiksi. Pelaksanaan yurisdiksi kekuasaan negara hanya dapat dilakukan di wilayah teritorialnya. Pelaksanaan yurisdiksi oleh suatu negara di negara lain harus seizin otoritas yang berwenang di negara lain tersebut. Putusan arbitrase internasional yang dibuat di suatu negara dan hendak dilaksanakan di negara lain, maka harus ada pengakuan dan pelaksanaan dari negara dimana pengakuan dan pelaksanaan dimintakan. Oleh karena itu pengaturan tentang pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan dalam bentuk perjanjian internasional, yang kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk perundang-undangan nasional6.

  Sejak Indonesia menjadi anggota Konvensi New York 1958 pada tahun 1981, pada kurun waktu sebelum berlakunya Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan 6 Arbitrase Asing di Indonesia (untuk selanjutnya disingkat dengan

  Hikmahanto Juwana (a), “Pembatalan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Nasional”, dalam Jurnal Hukum Bisnis (Vol. 21, Oktober-November 2002), hal. 72. Perma), masih terdapat hambatan-hambatan bagi pelaku usaha asing dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Mahkamah Agung RI sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia berpendirian bahwa putusan arbitrase internasional tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Penolakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dengan tegas dinyatakan oleh Mahkamah Agung RI yang menolak eksekusi putusan arbitrase internasional pada perkara PT Nizwar vs. Navigation Maritime Bulgare7, putusan Mahkamah Agung RI No.2944 K/Pdt/1983 yang diputus pada tanggal 29 November 1984.

  Pada kasus tersebut, Mahkamah Agung RI menyatakan bahwa permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional tidak dapat diterima, karena belum ada peraturan pelaksana mengenai ketentuan- ketentuan yang terdapat dalam Konvensi New York 1958. Hal ini berbeda dengan putusan Pengadilan Jakarta Pusat, yang menerima pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Sikap Mahkamah Agung RI pada saat itu tetap menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional, walaupun

  8 saat itu Indonesia sudah menjadi anggota Konvensi New York 1958 .

  Menurut Sudargo Gautama, Konvensi New York 1958 bersifat self

  

executing , artinya tidak diperlukan lagi suatu peraturan pelaksana yang

  dikeluarkan oleh Pemerintah RI, karena di dalam konvensi tersebut tercantum bahwa cara pelaksanaan putusan arbitrase yang diucapkan di luar negeri ini adalah sama dengan cara pelaksanaan arbitrase yang diucapkan dalam negeri anggota peserta konvensi. Hal tersebut seperti yang tercantum di dalam Pasal III Konvensi New York 1958 yang menyatakan:

7 Erman Rajagukguk (Lihat: Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan,

  8 (Jakarta: Chandra Pratama, 2001), hal. 38-40.

  

Sudargo Gautama (b), Hukum Dagang dan Arbitrase Internasional, (Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti, 1991), hal. 2.