PENDUGAAN RAGAM GENETIK DAN HERITABILITAS BEBERAPA KARAKTER VEGETATIF DAN HASIL EMPAT LINI TETUA JAGUNG MANIS

(1)

Reisha Ayu Puspita

ABSTRACT

THE ESTIMATION OF GENETIC VARIABILITY AND HERITABILITY OF SEVERAL VEGETATIVE AND YIELD CHARACTERS ON FOUR

PARENTAL LINES OF SWEET MAIZE

By

Reisha Ayu Puspita

A plant breeding through selection on a population will be successful when the genetic variability is high. Genetic variability is needed to ensure a success while heritability measures the ability of the parents to pass superior characters onto progeny. In sweet maize, round seed (segregation) type will segregate for vegetative and yield characters like non-sweet parents while expressing a sweet taste as the character of the yield.

The aim of this research were to (1) identify the difference of the vegetative and yield characters among the four parental lines of sweet maize as compared to a commercial standard; (2) identify the magnitude of genetic variability and broad-sense heritability indicated in the four parental lines of sweet maize; (3) acquire epistasis on alleles controlling the sweetness in the form of round seeds segregate ratio of 12 round: 4 wrinkle and 9 round: 7 wrinkle; and (4) acquire a segregation ratio of 9 Yellow-Round: 3 Yellow-wrinkle: 3 Round: 1 white-wrinkle for a Two-color cultivar.


(2)

Reisha Ayu Puspita The research was accomplished at the Politeknik Negeri Lampung Research Station in September 2009 to January 2010. The research used Randomized Complete-Block Design (RCBD) non factorial with three replications. Parental lines as treatment were consisting of (1) LASS Round; (2) LASS Yellow-wrinkle; (3) LASS white-Round; and (4) LASS Two-Color. Data taken for the vegetative characters were plant height, ear height, and leaf number. Data for yield characters were panicle number, female flower number, ear number, ear diameter, ear length, seed row number, and sucrose content. Data were analyzed for variances, and parental lines were ranked using Tukey's HSD 5 %. Genetic variability (σ2g), broad-sense heritability (h2BS), and genetic coefficient of variance (CVg) were analyzed by using a mathematical model of Hallauer and Miranda. The segregate on of seed shapes was analyzed with a goodness of fit χ2 test.

The research results showed that (1) the four parental lines differed in

vegetative characters: plant height and leaves number; and the yield characters: ear diameter and ear length; (2) the genetic variability and broad sense

heritability were different from zero for: plant height, leaf number, ear diameter, and ear length; (3) the ears segregated in their seeds following epistasis in the ratio of 12:4 were obtained in the LASS Yellow-Round self-1. Lines of LASS Yellow-Round, LASS Yellow-wrinkle, and LASS Two-color were important as wrinkle-seed producer (true type sweet maize); and (4) the ear segregated in their seeds following epistasis in the ratio of 9:3:3:1 were obtained in the LASS Two-Color self-1.


(3)

Reisha Ayu Puspita

ABSTRAK

PENDUGAAN RAGAM GENETIK DAN HERITABILITAS BEBERAPA KARAKTER VEGETATIF DAN HASIL EMPAT LINI TETUA

JAGUNG MANIS

Oleh

Reisha Ayu Puspita

Pemuliaan tanaman melalui seleksi pada suatu populasi akan berhasil bila keragaman genetik dan heritabilitas tinggi. Ragam genetik diperlukan untuk menjamin keberhasilan seleksi sedangkan heritabilitas mengukur kemajuan pewarisan sifat karakter unggul dari tetua ke zuriatnya. Pada jagung manis tipe segregasi biji bulat, karakter vegetatif dan hasil diharapkan sebaik jagung tetua nirmanis dengan tetap mengekspresikan rasa manis pada karakter hasil.

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui perbedaan karakter-karakter vegetatif dan hasil di antara keempat lini tetua jagung manis dan disesuaikan dengan standar komersial; (2) mengetahui besar ragam genetik dan heritabilitas broad sense empat lini tetua jagung manis; (3) mendapatkan epistasis alel manis dalam bentuk biji bulat yang bersegregasi pada sebaran 12 bulat : 4 kisut dan 9 bulat : 7 kisut; dan (4) mendapatkan sebaran segregasi genetik 9 kuning bulat : 3 kuning kisut : 3 putih bulat : 1 putih kisut untuk kultivar Dwiwarna.


(4)

Reisha Ayu Puspita Penelitian ini dilaksanakan di kebun percobaan Politeknik Negeri Lampung pada bulan September 2009 sampai Januari 2010. Penelitian menggunakan Rancangan Kelompok Teracak Lengkap (RKTL) non faktorial dengan tiga ulangan. lini tetua sebagai perlakuan terdiri atas (1) LASS KuBu; (2) LASS Kuki; (3) LAW puBu; dan (4) LASS Dwiwarna. Data diambil dari karakter vegetatif: tinggi tanaman, tinggi tongkol relatif, dan jumlah daun. Data karakter hasil: jumlah malai, jumlah bunga betina, jumlah tongkol, diameter tongkol, panjang tongkol, dan kadar sukrosa. Data dianalisis ragam, dan pemeringkatan lini tetua berdasarkan uji BNJ 5 %. Ragam genetik (σ2g), heritabilitas broad sense (h2BS), dan koefisien

keragaman genetik (KKg) dianalisis menggunakan model matematika Hallauer dan Miranda. Segregasi bentuk biji diuji dengan uji goodness of fit chi-squared (χ2).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) keempat lini tetua jagung manis berbeda karakter vegetatif: tinggi tanaman dan jumlah daun, serta karakter hasil: diameter tongkol dan panjang tongkol. Tinggi tanaman dan tinggi tongkol relatif belum mampu memenuhi standar komersial; (2) ragam genetik dan heritabilitas broad sense berbeda dari nol untuk tinggi tanaman, jumlah daun, diameter tongkol, dan panjang tongkol; (3) penyerbukan self-1 pada LASS KuBu mengalami epistasis pada sebaran 12 bulat : 4 kisut; lini LASS KuBu, LASS Kuki, dan LASS Dwiwarna berperan sebagai penghasil biji kisut (jagung manis true type); (4) penyerbukan self-1 pada LAW puBu (tercampur dengan LASS Dwiwarna-segregan kuning muda bulat) tidak mampu memenuhi nisbah sebaran biji 9:3:3:1 dan penyerbukan self-1 pada LASS Dwiwarna menghasilkan sebaran biji dengan nisbah 9:3:3:1.


(5)

PENDUGAAN RAGAM GENETIK DAN HERITABILITAS

BEBERAPA KARAKTER VEGETATIF DAN HASIL

EMPAT LINI TETUA JAGUNG MANIS

(Skripsi)

Oleh

Reisha Ayu Puspita

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG


(6)

PENDUGAAN RAGAM GENETIK DAN HERITABILITAS

BEBERAPA KARAKTER VEGETATIF DAN HASIL

EMPAT LINI TETUA JAGUNG MANIS

Oleh

Reisha Ayu Puspita

Skripsi

sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Pertanian pada

Jurusan Budidaya Pertanian Program Studi Agronomi

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(7)

MENSAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Ir. Saiful Hikam, M.Sc

______________

Sekretaris : Dr. Ir. Paul B. Timotiwu, M.S

______________ Penguji

bukan pembimbing : Ir. Denny Sudrajat, M.P

______________

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.P NIP 196108261987021001


(8)

Skripsi ini adalah persembahan kecilku untuk mama, papa, mamas, adik dan almamater tercinta Universitas Lampung.


(9)

42

DAFTAR PUSTAKA

Alnopri. 2004. Variabilitas genetik dan heritabilitas sifat-sifat pertumbuhan bibit tujuh genotipe kopi Robusta-Arabika. Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 6(2): 91—96.

Azis, F.N. 2009. Penjelasan mengenai penyimpangan hukum Mendel. http: www.blog.beswandjarum.com/fuadnurazis/tag/mendel. Diakses pada 6 Februari 2010.

Coe, E.H., Jr., D.A. Hoissington, and M.G. Neuffer. 1982. Linkage map of corn (maize) (Zea mays L.). In O’Brien, S.J. (ed.). Genetic Maps. Vol. 2. National Cancer Institute. Frederick. Maryland. pp. 377—392. Creech, R.G. 1968. Carbohydrate synthesis in maize. Adv. Agron. 20:275. Elrod, S. dan W. Stansfield. 2007. Genetika Edisi Keempat. Erlangga. Jakarta.

Hlm 78—191.

Fehr, W.R. 1987. Principles of Cultivar Development. Vol. I. Theory and Technique. Macmillan Publ. Co. New York. NY.

Gardner, E.J., and D.P. Snustad. 1980. Principles of Genetics. Seventh edition. John Wiley and Sons, Inc. New York. NY.

Hikam, S. 2003. Pemanfaatan epistasis bentuk biji di dalam perakitan jagung manis harapan Lampung Super Sweet. Poster pada Simposium Nasional dan Kongres Peragi VIII. Bandar Lampung. 8—10 Juli 2003.

Hikam, S. 2010. Teknik perancangan dan analisis pemuliaan tanaman. Bahan Kuliah TPAPT. Bandar Lampung. 17 Mei 2010

Makmur, A. 1992. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Rineka Cipta. Jakarta Mangoendidjojo, W. 2003. Dasar-Dasar Pemuliaan Tanaman. Kanisius.

Yogyakarta. Hlm 20—99.

Nurmala, T. 1998. Serealia: Sumber Karbohidrat Utama. Rineka Cipta. Jakarta.


(10)

42

Paliwal, R.L. 2000. Tropical Maize Morphology. In Food and Agriculture Organization of the United Nations. Tropical Maize: Improvement and Production. Rome. pp 13-20.

Room, G.O. 2004. Kajian Segregasi Genetik Warna dan Bentuk Biji pada Hibrid-F1 Three-Way Cross dalam Perakitan Jagung Manis Biji Putih. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Smith, L.H. 1984. Seed Development, Metabolism, and Composition. In Tesar, M.B. (ed.). Physiological Basis Of Crop Growth And Development. ASA,CSSA. Madison. WI. pp. 175 – 200.

Stansfield, W.D. 1991. Genetika Edisi Kedua. Erlangga. Jakarta. 417 hlm. Subekti, N.A., Syafruddin, R. Efendi, dan S. Sunarti. 2008. Morfologi tanaman

dan fase pertumbuhan Jagung. www. balitsereal.litbang.deptan.go.id /ind//bjagung/tujuh.pdf. Diakses pada 6 Februari 2010.

Sudarmadji, R. Mardjono, dan H. Sudarmo. 2007. Variasi genetik, heritabilitas, dan korelasi genotipik sifat-sifat penting tanaman wijen (Sesamum indicum L.). Littri 13(3): 88—92.

Suwarno, W.B. 2008. Perakitan varietas jagung hibrida. www.willy.situshijau. co.id. Diakses pada 14 Februari 2010.

Yamaguchi, M. 1983. World Vegetables: Principles, production, and nutritive values. An Avi Book. Published by Van Nostrand Reinhold Company. New York. NY.


(11)

iii DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ……….... vii

I. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

1.3 Kerangka Pemikiran ... 4

1.4 Hipotesis ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Botani dan Morfologi Tanaman ... 7

2.2 Genetika Jagung Manis ... 10

2.3 Konsep Segregasi Mendel ... 12

2.4 Epistasis Bentuk Biji pada Jagung Manis LASS ... 15

2.5 Ragam Genetik dan Heritabilitas ... 17

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN ... 19

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 19

3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 19

3.3 Pelaksanaan Penelitian ... 20

3.4 Metode Statistika ... 21


(12)

iv Halaman

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

4.1 Analisis Ragam Karakter Vegetatif dan Hasil ... 24

4.2 Analisis Boxplot Empat Lini Tetua Jagung Manis ... 27

4.3 Pendugaan Ragam Genetik, Heritabilitas, Koefisien Keragaman Genetik ... 31

4.4 Segregasi Bentuk Biji ... 34

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

5.1 Kesimpulan ... 39

5.2 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41

LAMPIRAN ... 43


(13)

(14)

v DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Bahan tanam yang digunakan dalam penelitian. ... 19 2. Analisis ragam dan kuadrat nilai tengah harapan. ... 22

3. Kuadrat nilai tengah analisis ragam karakter vegetatif. ... 24

4. Kuadrat nilai tengah analisis ragam karakter hasil. ... 25 5. Peringkat lini tetua untuk variabel vegetatif dan hasil berdasarkan

uji BNJ 0,05. ... 27 6. Ragam genetik, heritabilitas, dan koefisien keragaman genetik untuk

variabel vegetatif dan hasil. ... 33

7. Uji goodness of fit chi-squared (χ2) lini tetua LaSS KuBu dengan nisbah

harapan 12 bulat : 4 kisut. ……….. 35 8. Uji goodness of fit chi-squared (χ2) lini tetua LaSS KuBu yang

mengalami epistasis oleh resesif yang terjadi secara lengkap dengan nisbah harapan 9 bulat : 7 kisut. ……… 35

9. Uji goodness of fit chi-squared (χ2) lini tetua LaSS Kuki dengan nisbah harapan 12 bulat : 4 kisut. ……….. 37 10. Uji goodness of fit chi-squared (χ2) lini tetua LaW puBu dengan nisbah

harapan 12 bulat : 4 kisut. ………..… 37 11. Uji goodness of fit chi-squared (χ2) lini tetua LaSS Dwiwarna dengan

nisbah harapan 9 kuning bulat : 3 kuning kisut : 3 putih bulat : 1 putih

kisut. ... 38 12. Nilai rerata variabel-variabel vegetatif dan hasil. ... 43 13. Uji homogenitas berdasarkan Bartlett pada variabel vegetatif dan hasil.. 44 14. Uji homogenitas berdasarkan Levene pada variabel vegetatif dan hasil. 44


(15)

vi

Tabel Halaman

15. Analisis ragam untuk variabel tinggi tanaman. ... 44

16. Analisis ragam untuk variabel tinggi tongkol relatif. ... 45

17. Analisis ragam untuk variabel jumlah daun. ... 45

18. Analisis ragam untuk variabel jumlah malai. ... 45

19. Analisis ragam untuk variabel jumlah tongkol. ... 46

20. Analisis ragam untuk variabel jumlah bunga betina. ... 46

21. Analisis ragam untuk variabel diameter tongkol. ... 46

22. Analisis ragam untuk variabel panjang tongkol. ... 47

23. Analisis ragam untuk variabel jumlah baris biji. ... 47


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman


(17)

Judul Skripsi : Pendugaan Ragam Genetik dan Heritabilitas Beberapa Karakter Vegetatif dan Hasil Empat Lini Tetua Jagung Manis

Nama Mahasiswa : Reisha Ayu Puspita Nomor Pokok Mahasiswa : 0614011009

Program Studi : Agronomi

Jurusan : Budidaya Pertanian

Fakultas : Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Saiful Hikam, M.Sc. Dr. Ir. Paul B. Timotiwu, M.S.

NIP 195407231982111001 NIP 196209281987031001

2. Ketua Jurusan Budidaya Pertanian

Prof. Dr. Ir. Setyo Dwi Utomo, M.Sc. NIP 196110211985031002


(18)

24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Ragam Karakter Vegetatif dan Hasil

Tabel 3 menunjukkan kuadrat nilai tengah hasil analisis ragam untuk karakter vegetatif, yaitu tinggi tanaman, tinggi tongkol relatif, dan jumlah daun. Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan tinggi tanaman dan jumlah daun antarlini tetua jagung manis. Perbedaan tersebut sangat mungkin terjadi karena secara genotipe keempat lini tetua tersebut memang berbeda. Lini tetua segregan biji bulat tentunya akan berbeda dengan lini tetua segregan biji kisut, dan lini tetua berwarna kuning tentunya berbeda dengan lini tetua berwarna putih.

Tabel 3. Kuadrat nilai tengah analisis ragam karakter vegetatif. Sumber

Keragaman dk

Tinggi Tanaman

Tinggi Tongkol

Relatif Jumlah Daun

Ulangan 2 74,446 3,10 0,493

Lini tetua 3 1165,608** 42,25 3,60*

Galat 6 108,243 22,44 0,564 Total

KK (%) Xbar

11

8,11 128,22

11,63 40,72

5,16 14,57 Keterangan:

* = berbeda nyata pada P ≤ 0,05 ** = berbeda nyata pada P ≤ 0,01


(19)

25

Tabel 4 menunjukkan kuadrat nilai tengah hasil analisis ragam untuk karakter hasil, seperti jumlah malai, jumlah tongkol, jumlah bunga betina, diameter tongkol, panjang tongkol, jumlah baris biji, dan kadar sukrosa. Hasil analisis ragam menunjukkan adanya perbedaan antarlini tetua pada diameter tongkol dan panjang tongkol. Diameter tongkol dan panjang tongkol merupakan sifat

kuantitatif. Sifat kuantitatif adalah sifat yang dikendalikan oleh banyak gen minor dan pengaruh lingkungan tidak dapat diabaikan. Artinya, diameter tongkol dan panjang tongkol sangat dipengaruhi oleh faktor genetik tanaman dan kondisi lingkungan pada saat fase pembentukannya. Secara genetik, keempat lini tetua jagung manis memiliki genotipe yang berbeda-beda. Faktor lain yang

mempengaruhi adalah faktor lingkungan. Tanaman jagung ditanam dalam media polibag dan dilakukan penyiraman secara rutin sehingga cekaman lingkungan akibat kekurangan air dapat diminimumkan. Untuk itu, perbedaan muncul karena adanya perbedaan genetik dalam populasi jagung manis tersebut.

Tabel 4. Kuadrat nilai tengah analisis ragam karakter hasil.

Keterangan:

* = berbeda nyata pada P ≤ 0,05 Sumber

Keragaman dk

Jumlah Malai Jumlah Tongkol Jumlah Bunga Betina Diameter Tongkol

Ulangan 2 0,008 0,04 0,09 0,0075

Lini tetua 3 0,083 0,16 0,36 0,2198*

Galat 6 0,554 0,76 0,27 0,02996

Total KK (%) Xbar 11 16,13 17,57 13,09 2,1 18,48 2,8 3,984 4,345


(20)

26

Tabel 4. Kuadrat nilai tengah analisis ragam karakter hasil (lanjutan).

Keterangan:

* = berbeda nyata pada P ≤ 0,05

Tabel 5 menunjukkan pemeringkatan lini tetua berdasarkan uji beda nyata jujur (BNJ) 5 % untuk seluruh variabel. Pemeringkatan berguna untuk mengetahui lini tetua terbaik dalam suatu populasi. Peringkat ditentukan berdasarkan perolehan huruf ”a” untuk seluruh variabel pada setiap lini tetua. Lini tetua dengan

akumulasi huruf ”a” tertinggi dianggap sebagai yang terbaik karena memiliki banyak karakter yang diinginkan oleh pemulia. Hasil pemeringkatan

menunjukkan bahwa lini tetua LASS KuBu dan lini tetua LASS Kuki merupakan lini tetua terbaik karena memiliki sepuluh karakter terbaik; lini tetua LASS Dwiwarna pada peringkat kedua dengan sembilan karakter terbaik; dan terakhir lini tetua LAW puBU yang memiliki enam karakter terbaik. Baik atau tidaknya suatu lini tetua dapat ditentukan setelah karakter-karakter pada lini tetua tersebut dibandingkan dengan standar komersial. Standar komersial merupakan ukuran baku yang disukai konsumen. Jika suatu lini tetua memiliki karakter-karakter yang telah memenuhi standar komersial maka lini tetua tersebut bernilai komersial dan dapat dikembangkan untuk industri benih.

Sumber

Keragaman dk

Panjang Tongkol Jumlah Baris Biji Kadar Sukrosa

Ulangan 2 5,61* 0,65 1,60

Lini tetua 3 6,89* 0,88 2,37

Galat 6 0,84 0,63 3,23

Total KK (%) Xbar 11 4,48 20,41 5,75 13,67 7,75 23,22


(21)

27

Tabel 5. Peringkat lini tetua pada karakter vegetatif dan hasil berdasarkan uji BNJ 0,05.

Variabel LASS

KuBu LASS Kuki LAW puBu LASS DW BNJ 0,05 Standar Komersial Tinggi Tanaman 147,7a 141,5ab 105,7c 118,1bc 29,1 150 Tinggi Tongkol Relatif 44,2a 43,7a 36,9a 38,2a 13,4 48 Jumlah Daun 15,1ab 15,8a 13,4b 13,9ab 2,1 15 Jumlah Malai 20,5a 16,9a 15,5a 17,3a 4,9 15 Jumlah Tongkol 1,9a 2,0a 2,4a 2,1a 0,8 1 Jumlah Bunga Betina 2,5a 3,1a 3,1a 2,5a 1,5 2 Diameter Tongkol 4,3ab 4,7a 4,0b 4,4ab 0,5 4,5 Panjang Tongkol 21,8a 21,6a 18,7c 19,6ab 2,6 16 Jumlah Baris Biji 14,5a 13,9a 13,9a 13,2a 2,3 14 Kadar Sukrosa 16,3a 16,2a 16,0a 17,4a 3,6 16

Jumlah "a" 10 10 6 9

Peringkat 1 1 3 2

Keterangan:

Angka pada baris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pada BNJ 0,05, huruf “a” untuk yang terbaik.

Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa nilai rerata keempat lini tetua untuk jumlah malai, jumlah tongkol, jumlah bunga betina, panjang tongkol, dan kadar sukrosa telah memenuhi standar komersial, sedangkan tinggi tanaman dan tinggi tongkol relatif belum mencapai standar komersial. Untuk lebih mengetahui perbandingan karakter-karakter antarlini tetua terhadap standar komersial dapat dilihat pada analisis boxplot (Gambar 1).

4.2 Analisis Boxplot Empat Lini Tetua Jagung Manis

Merujuk informasi yang telah dipaparkan pada Tabel 5, maka peneliti melakukan analisis boxplot untuk sifat interes empat lini tetua jagung manis yang

dibandingkan dengan standar komersial (Gambar 1). Analisis boxplot diharapkan dapat memberi informasi untuk menjelaskan pemeringkatan pada Tabel 5.


(22)

28

Gambar 1 menunjukkan bahwa hasil analisis boxplot untuk jumlah daun, jumlah malai, jumlah tongkol, jumlah bunga betina, panjang tongkol, diameter tongkol, jumlah baris biji, dan kadar sukrosa telah terseleksi dengan baik karena telah mampu memenuhi standar komersial. Tinggi tanaman berkorelasi positif dengan tinggi tongkol relatif. Tinggi tanaman keempat lini tetua belum mampu mencapai standar komersil, begitu juga dengan tinggi tongkol relatif.

Lini tetua LASS KuBu, lini tetua LASS Kuki, dan lini tetua LASS Dwiwarna mempunyai rerata tinggi tanaman di bawah standar komersial, meskipun ada beberapa tanaman yang mempunyai tinggi melebihi standar komersial. Pada LAW puBu, tidak satupun tanaman tanaman mencapai standar komersial. Lini tetua LAW puBu yang diself akan bersegregasi menjadi putih bulat (puBu) dan putih kisut (puki). Genotipe putih kisut mempunyai dua alel resesif. Kemunculan dua alel resesif inilah yang menyebabkan tinggi tanaman lebih rendah daripada lini tetua lainnya. Jika pemulia ingin meningkatkan tinggi tanaman pada lini tetua LAW puBu, sebaiknya pemulia menyilangkan antara lini tetua LAW puBu

dengan lini tetua komersial sebagai tetua jantannya. Apabila LAW puBu disilangkan dengan lini tetua komersil maka tinggi tanaman akan meningkat secara signifikan. Peningkatan tinggi tanaman juga akan diikuti dengan peningkatan tinggi tongkol relatif. Namun, persilangan LASS puBu dengan kultivar komersial menyebabkan jagung manis kehilangan sifat manisnya. Untuk memunculkan sifat manisnya kembali maka harus dilakukan persilangan self pada musim tanam berikutnya, dan itu berarti pemulia harus mengorbankan waktu dua kali musim tanam untuk mendapatkan kembali tanaman jagung manis.


(23)

29 Dwiwarna puBu Kuki KuBu 60 50 40 30 20

L i n i T e t u a

T i n g g i t o n g k o l r e l a t i f ( % t i n g g i ) 48 Dwiwarna puBu Kuki KuBu 17 16 15 14 13 12 11

L i n i T e t u a

J u m la h d a u n 15 Dwiwarna puBu Kuki KuBu 40 35 30 25 20 15 10 5

L i n i T e t u a

J u m la h m a la i 15 Dwiwarna puBu Kuki KuBu 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0

L i n i T e t u a

J u m la h t o n g k o l 1 Dwiwarna puBu Kuki KuBu 6 5 4 3 2 1

L i n i T e t u a

J u m la h b u n g a b e ti n a 2

Gambar 1. Analisis boxplot untuk sifat interest empat lini tetua jagung manis dibandingkan dengan standar komersial

Dwiwarna puBu Kuki KuBu 200 180 160 140 120 100 80 60

L i n i T e t u a

T in g g i ta n a m a n ( c m ) 150


(24)

30 Dwiwarna puBu Kuki KuBu 26 24 22 20 18 16 14 12 10

L i n i T e t u a

P a n ja n g t o n g k o l ( c m ) 16 Dwiwarna puBu Kuki KuBu 20 18 16 14 12 10 8

L i n i T e t u a

J u m l a h b a r i s b i j i 14 Dwiwarna puBu Kuki KuBu 30.0 27.5 25.0 22.5 20.0

L i n i T e t u a

K a d a r s u k r o s a ( % B r ix ) 22

Gambar 1. Analisis boxplot untuk sifat interes empat lini tetua jagung manis dibandingkan dengan standar komersial (lanjutan)

Jumlah malai keempat lini tetua telah terseleksi dengan baik. Malai yang disukai konsumen berjumlah 15, tetapi semakin sedikit malai maka semakin bagus. Jumlah malai sangat erat kaitannya dengan alokasi fotosintat karena malai

berperan sebagai sink. Jika malai sedikit maka fotosintat yang dialokasikan untuk malai juga sedikit sehingga fotosintat dapat lebih dimaksimalkan untuk

pembentukan biji. Dwiwarna puBu Kuki KuBu 5.5 5.0 4.5 4.0 3.5

L i n i T e t u a

D ia m e te r t o n g k o l ( c m ) 4.5


(25)

31

Keempat lini tetua jagung manis umumnya mempunyai dua tongkol sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh lini tetua telah terseleksi dengan. Standar komersial jagung manis hanya 1 tongkol/tanaman. Jumlah tersebut terbilang sedikit, tetapi perlu diingat bahwa jagung manis dikonsumsi saat muda. Jumlah tongkol yang sedikit akan memaksimalkan fotosintat untuk pembentukan biji dalam satu tongkol sehingga tongkol yang terbentuk diharapkan dapat terisi penuh dengan ukuran yang disukai konsumen.

Fenotipe diameter tongkol keempat lini tetua beragam. Lini tetua LASS KuBu dan Dwiwarna mempunyai beberapa tanaman yang ukuran diameter tongkolnya telah memenuhi standar komersial meskipun nilai rerata kedua lini tetua tersebut masih di bawah standar komersial. Lini tetua LAW puBu mempunyai diameter tongkol kurang dari standar komersial. Fenotipe diameter tongkol lini tetua LAW puBu dapat ditingkatkan dengan menyilangkan puBu dengan Kuki atau puBu dengan lini tetua komersial lainnya.

4.3 Pendugaan Ragam Genetik, Heritabilitas, Koefisien Keragaman Genetik

Ragam genetik (σ2g), heritabilitas broad-sense (h2BS ), dan koefisien keragaman

genetik (KKg) untuk seluruh variabel dapat dilihat pada Tabel 6. Ragam genetik merupakan nilai penduga besarnya keragaman genetik yang terdapat di dalam populasi tanaman empat lini tetua jagung manis. Semakin besar keragaman genetik dalam suatu populasi tanaman maka semakin mudah untuk memilih genotipe-genotipe yang diinginkan (seleksi).


(26)

32

Tabel 6 menunjukkan bahwa ragam genetik berbeda dari nol pada tinggi tanaman, jumlah daun, diameter tongkol, dan panjang tongkol. Keragaman genetik yang rendah karena hanya > 1 GB σ2g. Keragaman genetik dalam populasi jagung manis akan bermakna baik jika keragaman sama atau di atas standar komersial. Pemulia akan lebih mudah menyeleksi tanaman yang telah memenuhi standar komersial daripada harus terus merakit lini tetua baru yang diharapkan mampu memenuhi standar komersial.

Pendugaan awal peneliti adalah keempat lini tetua jagung manis mempunyai keragaman genetik yang luas, tetapi ternyata tidak terpenuhi karena kekerabatan keempat lini tetua terlalu dekat, yaitu sama-sama mempunyai moyang LA3. Pendugaan ragam genetik untuk variabel jumlah malai, jumlah tongkol, dan kadar sukrosa tidak berbeda dengan nol. Ragam genetik ketiga variabel tersebut

dianggap nol karena kuadrat nilai tengah genotipe lebih kecil daripada kuadrat nilai tengah galat. Galat yang besar menandakan bahwa faktor lingkungan berpengaruh besar terhadap tampilan fenotipe, artinya pengaruh lingkungan tidak dapat diabaikan. Jika ragam genetik nol maka nilai heritabilitas dan koefisien keragaman genetik juga nol. Nilai ragam genetik, heritabilitas, dan KKg yang bernilai nol dalam suatu variabel menginformasikan bahwa seleksi pada variabel tersebut tidak lagi efektif.

Menurut Hikam (2010), heritabilitas merupakan besaran untuk menduga proporsi fenotipe tetua yang dapat diwariskan kepada zuriat. Pendugaan heritabilitas menjadi penting karena interaksi lingkungan tidak dapat diulang persis, sedangkan potensi genotipe merupakan penduga potensi ragam genetik yang diwariskan.


(27)

33

Tabel 6. Ragam genetik, heritabilitas, dan koefisien keragaman genetik untuk variabel vegetatif dan hasil.

Variabel σ2g ± GB σ2g h

2

BS ± GB h2BS

(%)

KKg (%) Tinggi Tanaman 352,46 ± 246,39* 30,24 ± 21,14* 14,64 Tinggi Tongkol Relatif 6,60 ± 9,66 15,63 ± 22,86 6,31 Jumlah Daun 1,01 ± 0,77* 28,11 ± 21,24* 6,90 Jumlah Malai -0,16 ± 0,09 -189,16 ± 113,23 0,00 Jumlah Tongkol -0,20 ± 0,13 -129,06 ± 83,89 0,00 Jumlah Bunga Betina 0,03 ± 0,09 8,33 ± 24,51 6,19 Diameter Tongkol 0,06 ± 0,05* 28,79 ± 21,20* 5,79 Panjang Tongkol 2,02 ± 1,46* 29,27 ± 21,18* 6,96 Jumlah Baris Biji 0,08 ± 0,21 9,47 ± 24,22 2,11 Kadar Sukrosa -0,26 ± 0,73 -10,83 ± 30,99 0,00 Keterangan: σ2

g = Ragam genetik

GB σ2g = Galat baku ragam genetik h2BS = Heritabilitas broad-sense

GB h2BS = Galat baku heritabilitas broad-sense

KKg = Koefisien keragaman genetik

* = berbeda dari nol (σ2g atau h2BS≥ 1 GB)

Heritabilitas akan lebih bermakna jika dilihat dari kondisi awal tetua dan seberapa besar suatu sifat diturunkan tetua terhadap generasi berikutnya. Besarnya peluang suatu sifat diturunkan dari tetua kepada zuriatnya dapat dilihat dari nisbah antara heritabilitas (h2BS) terhadap nilai galat bakunya. Heritabilitas berbeda dari nol jika

h2BS≥ 1 GB. Dari beberapa variabel yang diamati, diketahui bahwa heritabilitas

tinggi tanaman, jumlah daun, diameter tongkol, dan panjang tongkol berbeda dari nol; sedangkan tinggi tongkol relatif, jumlah malai, jumlah tongkol, jumlah bunga betina, jumlah baris biji, dan kadar sukrosa heritabilitasnya sama dengan nol. Heritabilitas yang rendah menandakan bahwa pengaruh faktor lingkungan lebih besar daripada faktor genetik sehingga sulit untuk diwariskan kepada


(28)

34

4.4 Segregasi Bentuk Biji

Tabel 7 menunjukkan hasil segregasi biji lini tetua LASS KuBu ulangan 1, 2, dan 3. Hasil pengujian χ2 menunjukkan bahwa probabilitas lini tetua LASS KuBu yang mengalami epistasis alel manis dalam bentuk biji bulat dengan sebaran 12 bulat : 4 kisut terendah sebesar 0,092 dan yang tertinggi sebesar 0,851. Epistasis didefinisikan sebagai interaksi gen yang tidak selokus (Gardner dan Snustad, 1980). Epistasis dengan sebaran 12 bulat : 4 kisut terjadi jika Sh dan Su dominan penuh terhadap sh dan su, tetapi shsh epistasis terhadap Su, su. Biji bulat hanya akan terbentuk bila kedua Sh dan Su hadir, tetapi kehadiran shsh pada satu lokus akan menyebabkan biji kisut walaupun terdapat Su pada lokus kedua. Dalam hal ini dikatakan bahwa Sh dan Su bersifat komplementer antara satu dengan lainnya (Hikam, 2003).

Dari seluruh sampel yang diuji, hanya sekitar 83,33 % tongkol yang mengalami epistasis dalam bentuk biji bulat yang bersegregasi pada nisbah harapan 12:4, sedangkan 16,67 % sisanya tidak. Tongkol nomor 2 bersegregasi 200:48 (≈ 16,68:4) dan tongkol nomor 6 bersegregasi 337:72 (≈ 18,72:4) (Tabel 7). Sebaran tersebut tidak memenuhi nisbah epistasis Mendel. Hal ini disebabkan oleh epistasis sebagian (partial epistasis) (Gardner dan Snustad, 1980).

Epistasis sebagian terjadi karena bulat dominan terhadap kisut dan kisut epistasis sebagian terhadap bulat sehingga sebaran biji meningkat dari yang seharusnya 12:4 menjadi 16,68:4 dan 18,72:4.


(29)

35

Tabel 8 menunjukkan hasil uji χ2 lini tetua LASS KuBu dengan nisbah harapan 9:7. Setelah diuji, ternyata probabilitas ulangan 1 sampel 2 dan ulangan 2 sampel 2 masih terlalu kecil untuk memenuhi sebaran 9:7.

Tabel 7. Uji goodness of fit chi-squared (χ2) lini tetua LASS KuBu dengan nisbah harapan 12 bulat : 4 kisut.

Ulang Pengamatan Total Nisbah Harapan P Kuning Bulat Kuning Kisut KuBu (12) Kuki (4)

1 247 97 344 258,00 86,00 0,171

1 200 48 248 186,00 62,00 0,040*

1 194 70 264 198,00 66,00 0,570

1 145 44 189 141,75 47,25 0,585

2 184 76 260 195,00 65,00 0,115

2 337 72 409 306,75 102,25 0,001*

2 264 94 358 268,50 89,50 0,583

2 284 88 372 279,00 93,00 0,549

3 147 52 199 149,25 49,75 0,713

3 186 72 258 193,50 64,50 0,281

3 77 36 113 84,75 28,25 0,092

Keterangan:

* = P terlalu kecil untuk memenuhi segregasi 12:4

Tabel 8. Uji goodness of fit chi-squared (χ2) lini tetua LASS KuBu dengan nisbah harapan 9 bulat : 7 kisut.

Ulang Pengamatan Total Nisbah Harapan P

Kuning Bulat Kuning kisut KuBu (9) Kuki (7)

1 200 48 248 139,50 108,50 0,00*

2 337 72 409 230,06 178,94 0,00*

Keterangan:

* = P terlalu kecil untuk memenuhi segregasi 9:7


(30)

36

Tabel 9 menunjukkan hasil segregasi biji lini tetua LASS Kuki ulangan 1, 2, dan 3. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa tidak satupun sampel jagung manis pada lini tetua Kuki yang mampu memenuhi nisbah harapan 12:4, peluangnya terlalu kecil. Lini tetua yang ditanam hampir 100 % menghasilkan biji kisut. Lini tetua LASS Kuki merupakan segregan kuning kisut. Fenotipe bentuk biji kisut dikendalikan oleh gen homozigot resesif sehingga akan

menghasilkan keturunan yang tetap kisut walaupun diself. Oleh karena itu, lini tetua LASS Kuki tidak mengalami segregasi bentuk biji.

Tabel 10 menunjukkan hasil segregasi biji lini tetua LAW puBu ulangan 1, 2, dan 3. Seluruh sampel tidak mampu memenuhi nisbah harapan 9 kuning bulat : 3 kuning kisut : 3 putih bulat : 1 putih kisut. Anomali yang tampak pada hasil pengamatan sebaran warna dan bentuk biji lini tetua puBu adalah ditemukannya fenotipe biji kuning bulat dan kuning kisut, padahal lini tetua puBu merupakan lini tetua segregan putih bulat. Jika biji putih bulat ditanam dan diself maka segregasi bentuk dan warna biji yang mungkin terjadi adalah menghasilkan fenotipe biji bulat putih dan/atau biji kisut putih. Dari anomali tersebut diduga bahwa lini tetua puBu yang ditanam tidak 100 % biji putih bulat, tetapi tercampur dengan biji berwarna kuning muda sekali. Menurut Room (2004), terdapat empat macam komposisi genetik endosperm biji, yaitu endosperm warna putih (yyy), endosperm warna kuning muda sekali (yyY), endosperm warna kuning muda (yYY), dan endosperm warna kuning (YYY). Jika lini tetua puKi yang ditanam adalah campuran antara biji fenotipe bulat putih dan kuning muda sekali maka pada dasarnya lini tetua puKi merupakan lini tetua Dwiwarna.


(31)

37

Tabel 9. Uji goodness of fit chi-squared (χ2) lini tetua LASS Kuki dengan nisbah harapan 12 kuning bulat : 4 kuning kisut.

Ulangan Pengamatan Total Nisbah Harapan P Kuning Bulat Kuning kisut KuBu (12) Kuki (4)

1 0 246 246 184,50 61,50 0,00*

1 0 308 308 231,00 77,00 0,00*

1 1 403 404 303,00 101,00 0,00*

1 0 288 288 216,00 72,00 0,00*

1 1 311 312 234,00 78,00 0,00*

2 0 326 326 244,50 81,50 0,00*

2 0 252 252 189,00 63,00 0,00*

2 3 304 307 230,25 76,75 0,00*

2 6 432 438 328,50 109,50 0,00*

2 0 499 499 374,25 124,75 0,00*

3 0 321 321 240,75 80,25 0,00*

3 3 360 363 272,25 90,75 0,00*

3 0 301 301 225,75 75,25 0,00*

3 2 436 438 328,50 109,50 0,00*

3 0 233 233 174,75 58,25 0,00*

Keterangan:

* = P terlalu kecil untuk memenuhi segregasi 12:4

Tabel 10. Uji goodness of fit chi-squared (χ2) lini tetua LAW puBu dengan nisbah harapan 9 kuning bulat : 3 kuning kisut : 3 putih bulat : 1 putih kisut. Ulang Pengamatan Total Nisbah Harapan P KuBu Kuki puBu puki KuBu

(9) Kuki (3) puBu (3) puki (1)

1 347 3 45 0 395 222,2 74,1 74,1 24,7 0,0* 1 222 0 0 0 222 124,9 41,6 41,6 13,9 0,0* 2 0 0 8 456 464 261,0 87,0 87,0 29,0 0,0* 2 0 0 76 43 119 66,9 22,3 22,3 7,4 0,0* 2 0 0 0 505 505 284,1 94,7 94,7 31,6 0,0* 2 137 34 60 42 273 153,6 51,2 51,2 17,1 0,0* 3 94 50 154 86 384 216,0 72,0 72,0 24,0 0,0* 3 0 0 130 80 210 118,1 39,4 39,4 13,1 0,0* Keterangan:


(32)

38

Tabel 11 menunjukkan hasil segregasi biji lini tetua LASS Dwiwarna dengan nisbah harapan 9:3:3:1. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa ulangan 2 sampel 1 pada lini tetua Dwiwarna mampu memenuhi nisbah harapan 9:3:3:1 dengan probabilitas sebesar 0,56. Tabel 11 ternyata juga mengungkapkan bahwa perbandingan biji bulat terhadap biji kisut pada tongkol 1 (0:157), tongkol 2 (11:90), tongkol 3 (15:176), tongkol 10 (0:200), dan tongkol 11 (0:199) mempunyai biji kisut jauh lebih besar daripada biji bulat. Dengan demukian, LASS Dwiwarna berperan penting sebagai penghasil benih jagung manis true type (biji kisut).

Tabel 11. Uji goodness of fit chi-squared (χ2) lini tetua LASS Dwiwarna dengan nisbah harapan 9 kuning bulat : 3 kuning kisut : 3 putih bulat : 1 putih kisut.

Keterangan:

* = P terlalu kecil untuk memenuhi segregasi 9:3:3:1 Ulang

Pengamatan

Total

Nisbah Harapan

P KuBu Kuki puBu puki KuBu

(9)

Kuki (3)

puBu (3)

puki (1)

1 0 131 0 27 158 88,88 29,63 29,63 9.88 0,00* 1 11 17 0 73 101 56,81 18,94 18,94 6,31 0,00* 1 15 164 0 12 191 107,44 35,81 35,81 11,94 0,00* 2 146 47 42 11 246 138,38 46,13 46,13 15,38 0,56 2 192 23 4 7 226 127,13 42,38 42,38 14,13 0,00* 2 168 49 0 0 217 122,06 40,69 40,69 13,56 0,00* 2 186 31 53 39 309 173,81 57,94 57,94 19,31 0,00* 2 249 56 0 0 305 171,56 57,19 57,19 19,06 0,00* 3 61 64 0 0 125 70,31 23,44 23,44 7,81 0,00* 3 0 220 0 0 220 123,75 41,25 41,25 13,75 0,00* 3 0 76 0 123 199 111,94 37,31 37,31 12,44 0,00*


(33)

40

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian ini sebagai berikut

(1) Keempat lini tetua jagung manis berbeda karakter vegetatif: tinggi tanaman dan jumlah daun, serta karakter hasil: diameter tongkol dan panjang tongkol. Tinggi tanaman dan tinggi tongkol relatif belum mampu memenuhi standar komersial.

(2) Ragam genetik dan heritabilitas broad sense berbeda dari nol untuk tinggi tanaman, jumlah daun, diameter tongkol, dan panjang tongkol.

(3) Penyerbukan self-1 pada LASS KuBu mengalami epistasis alel manis dalam bentuk biji bulat yang bersegregasi pada sebaran 12 bulat : 4 kisut; sedangkan penyerbukan self-1 pada LASS Kuki tidak menunjukkan adanya segregasi bentuk biji karena fenotipe kisut merupakan homozigot resesif. Lini LASS KuBu, LASS Kuki, dan LASS Dwiwarna berperan sebagai penghasil biji kisut (jagung manis true type).

(4) Penyerbukan self-1 pada LAW puBu (tercampur dengan LASS dwiwarna-segregan kuning muda bulat) tidak mampu memenuhi nisbah sebaran biji 9 kuning bulat : 3 kuning kisut : 3 putih bulat : 1 putih kisut; dan penyerbukan self-1 pada LASS dwiwarna menghasilkan sebaran biji dengan nisbah 9:3:3:1.


(34)

40

5.2 Saran

Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan informasi bahwa lini LAW puBu masih belum mampu memenuhi standar komersial untuk tinggi tanaman, tinggi tongkol relatif, dan diameter tongkol. Lini LAW puBu masih dapat diseleksi dan ditingkatkan genetiknya melalui persilangan dengan tiga tetua yang lain atau disilangkan dengan kultivar komersial lainnya.


(35)

19

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kebun percobaan Politeknik Negeri Lampung pada bulan September 2009 sampai Januari 2010.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan antara lain cangkul, cutter, mistar, meteran kain, pensil 2B, kertas label, karet gelang, kertas kantung penyungkup polen, kantong plastik, kertas kantung penyungkup tongkol, jangka sorong, refraktometer, sprayer, dan baki.

Bahan-bahan yang digunakan antara lain empat lini tetua jagung manis tahun 2007 (Tabel 1), dan pupuk NPK majemuk.

Tabel 1. Bahan tanam yang digunakan dalam penelitian.

Lini Tetua Fenotipe Genotipe

LaSS KuBu LaSS Kuki LaW puBu LaSS Dwiwarna

Segregan kuning-bulat Segregan kuning-kisut Segregan putih-bulat

Segregan kuning-bulat (Dwiwarna)

(CC, Sh-) (CC, shsh) (cc, Sh-) (C-, Sh-) Keterangan:


(36)

20

3.3 Pelaksanaan Penelitian

Penyiapan media berupa tanah yang berasal dari Politeknik Negeri Lampung, kemudian dilakukan pengisian tanah ke dalam polibag dengan volume 5 kg. Media dirancang sedemikian rupa dengan cara menanamkan sebuah botol plastik bekas minuman pada bagian pinggir tanah yang diisikan ke polibag. Botol plastik berfungsi sebagai penampung air bagi tanaman. Dalam setiap polibag ditanam satu butir benih jagung manis. Tanaman jagung manis dibiarkan tumbuh. Pada umur 2 MST dilakukan pemupukan menggunakan NPK majemuk dengan dosis 5 g/tanaman. Pemeliharaan berupa penyiraman dilakukan tiap sore dengan cara mengisi botol infus yang telah terpasang di polibag.

Saat tanaman jagung memasuki usia generatif, ditandai dengan munculnya bunga jantan pada bagian ujung batang, dilakukan emaskulasi bunga jantan. Emaskulasi dilakukan dengan cara memotong bagian atas bunga jantan sampai rata, kemudian menutupnya dengan kantong kertas selama dua hari. Emaskulasi bunga betina dilakukan dengan cara menentukan bagian ruas batang yang sudah mengembung dengan bagian rambut tongkol yang muncul sedikit, kemudian menyungkupnya dengan kantong kertas. Selfing dilakukan dengan cara menyerbukkan polen pada bunga betina (polen dan bunga betina berasal dari tanaman yang sama). Setelah penyerbukan dilakukan, penyungkupan dilakukan kembali agar polen dari Lini Tetua lain tidak masuk ke dalam bunga pada Lini Tetua yang telah terserbuki.


(37)

21

Pengambilan data untuk variabel tinggi tanaman, tinggi tongkol relatif, jumlah daun, jumlah malai, jumlah tongkol, jumlah bunga betina, diameter tongkol, panjang tongkol, jumlah baris biji, dan kadar sukrosa dilakukan pada 18 hsp (hari setelah polinasi). Tongkol dibiarkan tetap berada pada tanaman sampai

mengering. Tongkol jagung dipanen ketika biji pada tongkol telah kering.

3.4 Metode Statistika

Penelitian ini menggunakan empat tetua jagung manis. Perlakuan disusun 3 ulangan dalam Rancangan Kelompok Teracak Lengkap (RKTL). Data dianalisis ragam, dan pemeringkatan lini tetua berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) 5 %. Ragam genetik (σ2g), heritabilitas broad sense (h2BS), dan koefisien

keragaman genetik (KKg) dianalisis menggunakan model matematika Hallauer dan Miranda. Segregasi warna dan bentuk biji diuji dengan uji goodness of fit chi-squared (χ2).

σ2 g =

(KNT2 – KNT1)

± GB σ2 g r

GB σ2g = √[(2/r2

) X {(KNT2)2/(dk KNT2 + 2)} + {(KNT1)2/(dk KNT1+2)}]

h2BS =

σ2 g

X 100 % ± GB h2BS

KNT2

GB h2BS =

GB σ2 g

X 100 % KNT2

σ2

g dan h2BS akan nyata jika ≥ GB

KKg = {(√σ2


(38)

22

Tabel 2. Analisis ragam dan kuadrat nilai tengah harapan. Sumber

Keragaman dk KNT KNT Harapan

Ulangan (r) r – 1

Lini Tetua (g) g - 1 KNT2 σ2 + r σ2g

Galat (r -1)(g -1) KNT1 σ2

Total gr - 1

KK % {(√KNT1)/Xbar)}X 100

Xbar

3.5 Variabel Pengamatan

Untuk menguji kesahihan kerangka pemikiran dan hipotesis dilakukan pengamatan terhadap beberapa variabel sebagai berikut

(1) Tinggi tanaman (cm). Tinggi tanaman diukur mulai dari bagian pangkal batang sampai dengan pangkal (ruas) daun bendera. Alat yang digunakan yaitu meteran.

(2) Tinggi tongkol relatif (% tinggi). Tinggi tongkol relatif adalah nisbah antara tinggi tongkol, diukur dari pangkal batang sampai ruas batang tempat

bertumpunya tongkol paling bawah, terhadap tinggi tanaman.

(3) Jumlah daun (helai). Jumlah daun dihitung pada daun yang telah membuka sempurna. Daun dihitung mulai dari daun pertama pada ruas batang terbawah sampai daun bendera.

(4) Jumlah malai. Jumlah malai dihitung dari cabang malai yang muncul pertama kali sampai cabang malai yang paling muda.

(5) Jumlah tongkol. Jumlah tongkol dihitung dari keseluruhan bunga betina yang berkembang menjadi tongkol yang terisi biji.


(39)

23

(6) Jumlah bunga betina. Jumlah bunga betina dihitung dari bunga betina yang terbentuk, ditandai dengan mengembungnya bagian pelepah daun.

(7) Diameter tongkol (cm). Diameter tongkol diukur pada bagian tengah tongkol menggunakan jangka sorong.

(8) Panjang tongkol (cm). Panjang tongkol diukur dari pangkal sampai ujung tongkol menggunakan mistar.

(9) Jumlah baris biji. Jumlah baris biji dihitung dari banyaknya baris biji yang ada pada tiap tongkol.

(10) Kadar sukrosa (% οBrix). Sukrosa diukur menggunakan refraktometer pada 18 hari setelah polinasi. Pengukuran kadar sukrosa dilakukan dengan cara mengambil sekitar sepuluh butir biji muda jagung manis kemudian ditekan di atas sensor refraktometer sehingga cairan susu keluar. Pembacaan skala refraktometer dilakukan di tempat terang.

(11) Nisbah biji bulat : biji kisut. Nisbah biji bulat : biji kisut dihitung berdasarkan sebaran jumlah biji bulat dan atau biji kisut dalam satu tongkol. Kriteria biji bulat adalah biji jagung yang bentuknya menggembung, sedangkan biji kisut adalah biji jagung yang tampak berkerut.


(40)

(41)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Pemuliaan tanaman adalah suatu metode yang secara sistematik merakit keragaman genetik menjadi suatu bentuk yang bermanfaat bagi kehidupan manusia (Makmur, 1992). Pemuliaan tanaman melalui seleksi pada suatu populasi akan berhasil bila keragaman genetik tinggi. Apabila suatu karakter memiliki keragaman genetik yang tinggi, seleksi untuk mendapatkan sifat-sifat yang diinginkan akan lebih mudah. Oleh sebab itu, informasi keragaman genetik sangat diperlukan untuk memperoleh varietas baru yang diharapkan (Helyanto, 2000 dalam Sudarmadji, 2007).

Dalam perencanaan program pemuliaan tanaman, selain keragaman genetik juga perlu diketahui nilai heritabilitas. Heritabilitas sebagai suatu tolak ukur yang bersifat kuantitatif. Heritabilitas berguna untuk menentukan perbedaan

penampilan suatu karakter yang disebabkan oleh faktor genetik atau lingkungan. Dengan demikian dapat diketahui besarnya peluang sifat tersebut diturunkan pada generasi selanjutnya (Bari et al., 1982 dalam Alnopri, 2004). Sifat yang akan digunakan untuk seleksi sebaiknya mempunyai nilai heritabilitas tinggi, sebab sifat tersebut akan mudah diwariskan dan seleksi dapat dilakukan pada generasi awal (Hadiati et al., 2003 dalam Alnopri, 2004).


(42)

2

Pemuliaan tanaman terutama ditujukan untuk komoditas-komoditas komersil. Jagung manis merupakan salah satu komoditas hortikultura yang bernilai komersil cukup tinggi. Tanaman jagung manis (sweet corn) merupakan jenis jagung yang baru dikembangkan di Indonesia. Keunggulan jagung ini adalah memiliki rasa yang lebih manis dibandingkan jagung biasa. Meskipun semakin populer, terdapat kendala pada pembudidayaannya yaitu bentuk biji yang kisut dan rendahnya daya kecambah benih. Untuk meningkatkan kemampuan daya

berkecambahnya maka sedapat mungkin dirakit jagung manis dengan bentuk biji bulat (Hikam, 2003).

Perakitan jagung manis dalam bentuk biji bulat dilakukan dengan memanfaatkan segregasi pada generasi self. Segregasi terjadi bila individu hibrid diself.

Menurut Poehlman (1983 dalam Suwarno, 2008), penyerbukan sendiri (self) bertujuan untuk mengatur karakter-karakter yang diinginkan dalam kondisi homozigot sehingga genotipe tersebut dapat dipelihara tanpa perubahan genetik. Selama generasi self, banyak gen resesif yang tidak diinginkan menjadi

homozigot dan menampakkan fenotipenya. Dengan demikian, generasi self membantu untuk mengambil tanaman true type dan membuang tanaman off type.

Penelitian pemuliaan tanaman yang telah dilakukan selama ini telah berhasil mendapatkan jagung manis dengan nisbah bentuk biji 12 bulat : 4 kisut.

Penelitian ini masih terus dikembangkan untuk mendapatkan jagung manis yang bersegregasi bentuk biji menjadi 9 bulat : 7 kisut.


(43)

3

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut

(1) Apakah terdapat perbedaan karakter-karakter vegetatif dan hasil di antara empat lini tetua jagung manis dan mampukah karakter-karakter tersebut memenuhi standar komersial?

(2) Apakah ragam genetik dan heritabilitas broad sense empat lini tetua jagung manis besar?

(3) Apakah ada epistasis alel manis dalam bentuk biji bulat yang bersegregasi pada sebaran 12 bulat : 4 kisut dan 9 bulat : 7 kisut.

(4) Apakah didapatkan sebaran segregasi genetik 9 kuning bulat : 3 kuning kisut : 3 putih bulat : 1 putih kisut untuk lini tetua Dwiwarna.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah

(1) Mengetahui perbedaan karakter-karakter vegetatif dan hasil di antara keempat lini tetua jagung manis dan disesuaikan dengan standar komersial.

(2) Mengetahui besar ragam genetik dan heritabilitas broad sense empat lini tetua jagung manis.

(3) Mendapatkan epistasis alel manis dalam bentuk biji bulat yang bersegregasi pada sebaran 12 bulat : 4 kisut dan 9 bulat : 7 kisut.

(4) Mendapatkan sebaran segregasi genetik 9 kuning bulat : 3 kuning kisut : 3 putih bulat : 1 putih kisut untuk lini tetua Dwiwarna.


(44)

4

1.3 Kerangka Pemikiran

Berikut ini disusun kerangka pemikiran untuk memberikan penjelasan teoritis terhadap perumusan masalah.

Selama ini, jagung manis identik dengan bentuk biji kisut. Bentuk biji kisut menunjukkan bahwa cadangan karbohidrat dalam endosperm rendah, dan menyebabkan rendahnya daya berkecambah. Daya berkecambah benih jagung manis rata-rata hanya sekitar 65%. Perakitan jagung manis dengan bentuk biji bulat dengan jalan pemuliaan merupakan salah satu usaha untuk mengatasi masalah tersebut.

Pemuliaan tanaman bertujuan untuk merakit keragaman genetik menjadi suatu bentuk yang lebih bermanfaat dan menghilangkan sifat tidak unggul. Program pemuliaan tanaman jagung manis dimulai dari pemilihan plasma nutfah untuk menentukan potensi perbaikan genetik sesuai dengan yang diharapkan oleh pemulia. Jika plasma nutfah yang digunakan mengandung gen-gen yang baik, maka pemuliaan tanaman akan menghasilkan varietas unggul dengan karakter yang diinginkan. Karakter yang diinginkan dari jagung manis adalah kandungan sukrosa yang tinggi dengan bentuk biji bulat. Cara yang dilakukan untuk

mencapainya adalah modifikasi segregasi pada biji.

Tanaman jagung manis umumnya menyerbuk silang (cross pollination), tetapi dalam rangka pengujian keragaman genetik maka tanaman dipaksa untuk menyerbuk sendiri. Polen yang menyerbuki bunga betina berasal dari individu yang sama. Jika tanaman yang secara alami menyerbuk silang dipaksa untuk


(45)

5

menyerbuk sendiri maka akan terjadi segregasi pada F2. Adanya segregasi akan menyebabkan terpisahnya alel menjadi 1 AA : 2 Aa : 1 aa. Segregasi

mengakibatkan bertambahnya frekuensi genotipe homozigot sebesar 50 % pada tiap generasi self, dan sebaliknya heterozigot akan berkurang 50 %. Hal ini sesuai dengan pendugaan frekuensi kehomozigotan, yaitu {1-(1/2)n} x 100 %, n =

banyaknya generasi self. Derajat keheterozigotan yang tersisa setiap kali self adalah (1/2)n x 100 %. Peningkatan % homozigot menyebabkan tanaman mengalami depresi inbriding. Depresi inbriding menyebabkan tanaman

mengalami penurunan vigor, seperti tanaman bertambah pendek, cenderung rebah, dan peka terhadap penyakit. Khususnya tanaman jagung manis hanya mampu mengalami self tidak lebih dari dua generasi.

Pada jagung manis, bentuk biji bulat dikendalikan oleh gen dominan sedangkan bentuk biji kisut dikendalikan oleh gen resesif. Kekhususan pada varietas jagung manis adalah adanya suatu gen resesif yang mampu mencegah perubahan gula menjadi pati, yaitu gen sugary (susu), dan gen shrunken (shsh). Benih yang digunakan dalam penelitian ini adalah lini tetua tahun 2007 (jagung manis segregan biji kuning-bulat (shrunken), jagung manis segregan biji kuning-kisut (shrunken), segregan biji putih-bulat (shrunken), dan jagung manis Dwiwarna segregan biji kuning-bulat (shrunken)).

Kegiatan seleksi tergantung dari keragaman genetiknya. Jika ragam genetik dalam suatu populasi besar, berarti individu dalam populasi tersebut beragam sehingga peluang untuk memperoleh genotipe yang diharapkan akan besar.


(46)

6

Keragaman genetik yang besar terutama diharapkan untuk parameter diameter tongkol dan panjang tongkol. Pendugaan heritabilitas bermanfaat untuk

mengetahui besarnya suatu karakter dapat diwariskan pada generasi berikutnya. Heritabilitas merupakan nisbah antara besaran ragam genotipe dengan besaran total ragam fenotipe dari suatu karakter. Nilai heritabilitas yang tinggi

menunjukkan bahwa pengaruh faktor genetik lebih besar terhadap penampilan fenotipe bila dibandingkan dengan lingkungan.

1.4 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini sebagai berikut

(1) Terdapat perbedaan karakter-karakter vegetatif dan hasil pada keempat lini tetua jagung manis karena secara genetik keempatnya berbeda. Sebagian besar karakter mampu memenuhi standar komersial yang ada.

(2) Ragam genetik dan heritabilitas broad sense empat lini tetua jagung manis besar.

(3) Terdapat epistasis alel manis dalam bentuk biji bulat yang bersegregasi pada sebaran 12 bulat : 4 kisut dan 9 bulat : 7 kisut (epistasis oleh resesif terjadi secara lengkap).

(4) Terdapat sebaran segregasi genetik 9 kuning bulat : 3 kuning kisut : 3 putih bulat : 1 putih kisut untuk lini tetua Dwiwarna.


(47)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 26 Agustus 1988 dari pasangan Kuswaji Nugroho dan Yurnaini. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK) Citra Melati Kedaton pada tahun 1995 dan Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Gedong Air pada tahun 2000. Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2003. Pada tahun 2006, penulis menyelesaikan jenjang pendidikan berikutnya di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Bandar Lampung.

Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Universitas Lampung, Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian, Program Studi Agronomi pada tahun 2006 melalui jalur

Penelusuran Kemampuan Akademik dan Bakat (PKAB).

Selama menyelesaikan kuliah, penulis menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Budidaya Pertanian (HIMADITA) tahun 2007-2008. Penulis juga menjadi asisten pada praktikum Teknologi Benih dan Pembiakan Vegetatif, serta Dasar-Dasar Teknologi Benih pada semester gasal tahun 2009; Produksi Benih, dan Dasar-Dasar Fisiologi Tanaman pada semester genap tahun 2010. Penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) di Balai

Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung, pada bulan Juli—Agustus 2009.


(48)

SANWACANA

Kerja keras, pemikiran, waktu, dan doa telah penulis curahkan. Pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pendugaan Ragam Genetik dan Heritabilitas Beberapa Karakter Vegetatif dan Hasil dari Empat Lini Tetua Jagung Manis ini untuk memperoleh gelar sarjana. Dari awal pelaksanaan penelitian hingga diselesaikannya skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Saiful Hikam, M.Sc. sebagai pembimbing utama atas kesabaran dan kesediaannya untuk membimbing penulis dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi; Dr. Ir. Paul B. Timotiwu, M.S. sebagai pembimbing kedua yang telah memberikan saran dan perbaikan penulisan skripsi; Ir. Denny Sudrajat, M.P. selaku pembahas yang telah menyumbangkan banyak masukan guna

penyempurnaan skripsi; Ir. Lazimar Zen, M.Sc. sebagai pembimbing akademik penulis; dan segenap dosen Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung atas ilmu dan didikan yang telah diberikan kepada penulis.

Terima kasih yang setulus-tulusnya penulis ucapkan kepada kedua orang tua, kakak, dan adik penulis atas doa, dukungan, dan bantuan mereka.


(49)

Tiada kata yang dapat penulis katakan selain terima kasih kepada tim penelitian pemuliaan tanaman, Sri Nurmayanti, Cipta Arif, Aris Setiawan, Tanti Yunita dan Nur Afni atas kerjasama, dan bantuannya selama proses penelitian. Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih kepada Yorrensa Ulan Sari, S.P., Roosaria Tiara F. Karnanda, S.P., Onny Chrisna P. Pradana, Rizki Amelia Febrina, Ayu Eka Wulandari, Rahmad Kurniadi, Adi Cahyadi, Ari Dwinara Januarsyah, dan Ramadian B. Susanto atas bantuan, dan dorongan semangat selama penulis menyelesaikan penelitian dan skripsi ini.

Bandar Lampung, Oktober 2010 Penulis


(50)

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Botani dan Morfologi Tanaman

Jagung manis (Zea mays saccharata [Sturt.] Bailey) termasuk dalam famili Gramineae, ordo Maydeae dan golongan tanaman menyerbuk silang. Jagung ini mengandung kadar gula yang relatif tinggi, dan biasanya dikonsumsi dalam bentuk jagung muda. Jagung manis mempunyai biji-biji yang berisi endosperm manis, mengkilap, tembus pandang sebelum masak dan berkerut bila kering (Nurmala, 1998).

Jagung mempunyai akar serabut dengan tiga macam akar, yaitu (1) akar seminal, (2) akar adventisius, dan (3) akar kait atau penyangga. Pertumbuhan akar seminal akan melambat setelah plumula muncul ke permukaan tanah. Akar seminal hanya sedikit berperan dalam siklus hidup jagung. Akar adventisius adalah akar yang semula berkembang dari buku di ujung mesokotil, kemudian set akar adventisius berkembang dari tiap buku secara berurutan dan terus ke atas antara 7—10 buku, semuanya di bawah permukaan tanah. Akar adventisius berkembang menjadi serabut akar tebal. Akar kait atau penyangga adalah akar adventisius yang muncul pada dua atau tiga buku di atas permukaan tanah (Subekti et al., 2008).


(51)

8

Tanaman jagung mempunyai batang yang berbentuk silindris, dan terdiri atas sejumlah ruas dan buku ruas. Pada buku ruas terdapat tunas yang berkembang menjadi tongkol. Dua tunas teratas berkembang menjadi tongkol yang produktif. Batang memiliki tiga komponen jaringan utama, yaitu kulit (epidermis), jaringan pembuluh (vasculary bundles), dan empulur (pith). Daun jagung mulai terbuka ketika koleoptil sudah muncul di atas permukaan tanah. Setiap daun terdiri atas helaian daun, ligula, dan pelepah daun yang erat melekat pada batang. Jumlah daun sama dengan jumlah buku batang. Jumlah daun umumya berkisar antara 10—18 helai, rata-rata munculnya daun yang terbuka sempurna adalah 3—4 hari setiap daun. Besar sudut daun mempengaruhi tipe daun. Bentuk ujung daun jagung berbeda, yaitu runcing, runcing agak bulat, bulat, bulat agak tumpul, dan tumpul (Paliwal, 2000).

Jagung disebut juga tanaman berumah satu (monoecious) karena bunga jantan dan betinanya terdapat dalam satu tanaman. Bunga jantan (tassel) berkembang dari titik tumbuh apikal di ujung tanaman. Pada tahap awal, kedua bunga memiliki primordia bunga biseksual. Selama proses perkembangan, primordia stamen pada bunga aksilar tidak berkembang dan menjadi bunga betina. Demikian pula halnya primordia ginoesium pada bunga apikal, tidak berkembang dan menjadi bunga jantan (Paliwal, 2000). Rambut jagung (silk) adalah pemanjangan dari ovarial styly yang matang pada tongkol. Rambut jagung tumbuh dengan panjang hingga 30,5 cm atau lebih sehingga keluar dari ujung kelobot. Panjang rambut jagung bergantung pada panjang tongkol dan kelobot. Tanaman jagung adalah

protandry, yaitu anter pecah 1—3 hari sebelum rambut bunga betina muncul (silking) (Subekti et al., 2008).


(52)

9

Serbuk sari (polen) terlepas mulai dari anter yang terletak pada malai bendera, 2—3 cm dari ujung malai (tassel), kemudian turun ke bawah. Satu bulir anter melepas 15—30 juta serbuk sari. Serbuk sari sangat ringan dan jatuh karena gravitasi atau tertiup angin sehingga terjadi penyerbukan silang. Dalam keadaan tercekam (stress) karena kekurangan air, keluarnya rambut tongkol kemungkinan tertunda sedangkan keluarnya malai tidak terpengaruh. Interval antara keluarnya bunga betina dan bunga jantan (anthesis silking interval, ASI) adalah hal yang sangat penting. Nilai ASI yang kecil menunjukkan terdapat sinkronisasi

pembungaan, yang berarti peluang terjadinya penyerbukan sempurna sangat besar. Semakin besar nilai ASI maka semakin kecil sinkronisasi pembungaan; dan

penyerbukan terhambat sehingga menurunkan hasil. Cekaman abiotis umumnya mempengaruhi nilai ASI, seperti pada cekaman kekeringan dan temperatur tinggi (Subekti et al., 2008).

Penyerbukan pada jagung terjadi bila serbuk sari dari bunga jantan menempel pada rambut tongkol. Hampir 95 % dari persarian tersebut berasal dari serbuk sari tanaman lain, dan hanya 5 % yang berasal dari serbuk sari tanaman sendiri. Oleh karena itu, tanaman jagung disebut tanaman bersari silang (cross pollinated crop), yaitu sebagian besar dari serbuk sari berasal dari tanaman lain. Terlepasnya serbuk sari berlangsung 3—6 hari, bergantung pada varietas, suhu, dan

kelembaban. Rambut tongkol tetap reseptif dalam 3—8 hari. Serbuk sari masih tetap hidup (viable) dalam 4—16 jam sesudah terlepas (shedding). Penyerbukan selesai dalam 24—36 jam dan biji mulai terbentuk sesudah 10—15 hari. Setelah penyerbukan, warna rambut tongkol berubah menjadi coklat dan kemudian kering (Subekti et al., 2008).


(53)

10

Menurut Subekti et al. (2008), tanaman jagung mempunyai satu atau dua tongkol, tergantung varietas. Tongkol jagung dibungkus oleh daun kelobot. Tongkol jagung yang terletak pada bagian atas umumnya lebih dahulu terbentuk dan lebih besar dibanding yang terletak pada bagian bawah. Setiap tongkol terdiri atas 10—16 baris biji yang jumlahnya selalu genap. Biji jagung disebut kariopsis; dinding ovari atau perikarp menyatu dengan kulit biji atau testa membentuk dinding buah. Biji jagung terdiri atas tiga bagian utama, yaitu (1) pericarp, berupa lapisan luar yang tipis, berfungsi mencegah embrio dari organisme pengganggu dan kehilangan air; (2) endosperm, sebagai cadangan makanan; dan (3) embrio (lembaga), sebagai miniatur tanaman yang terdiri atas plumula, akar radikal, skutelum, dan koleoptil.

2.2 Genetika Jagung Manis

Rasa manis pada endosperma jagung dikendalikan secara monoalelik homozigot resesif. Dengan demikian rasa manis merupakan sifat kualitatif, yaitu fenotipe merupakan ekspresi langsung genotipe dengan mengabaikan pengaruh lingkungan (Fehr, 1987). Tiga lokus manis telah dieksploitir secara komersial yaitu brittle (bt), sugary (su), dan shrunken (sh) terutama sh2 karena tingkat kemanisannya yang tertinggi, yaitu 28,3 % sukrosa pada 16 hari sesudah polinasi. Ketiga lokus manis homozigot resesif itu merupakan mutan terhadap lokus dominan mereka, yaitu sedikit sekali sukrosa yang disintesis menjadi pati (Creech, 1968).

Seleksi kemanisan endosperma hanya dapat dilakukan pada tongkol muda (umur 70 hari sesudah tanam, hst) baik melalui uji konsentrasi sukrosa pada cairan biji muda maupun melalui uji organoleptik. Pada usia tersebut, segregasi kekisutan


(54)

11

biji belum tampak. Seluruh biji, manis maupun nirmanis, tampak bulat penuh. Setelah melampaui usia matang fisiologis (97 hst), biji manis yang kaya akan hidrofilik sukrosa akan menguapkan airnya sehingga endosperma mengisut. Pada jagung nirmanis yang kaya akan hidrofobik pati tidak terlalu banyak menyimpan air sehingga endosperma tetap bulat setelah lewat matang fisiologis. Lokus sh pada jagung manis dicirikan dengan kekisutan yang berlebihan pada endosperma biji matang. Pada praktiknya, kekisutan biji matang merupakan penciri khas jagung manis (Hikam, 2003).

Jaringan endosperma jagung tersusun oleh sel yang memiliki tiga set kromosom (3n) yang berasal dari pembuahan dua inti polar betina oleh salah satu sel sperma jantan. Walaupun pembuahan zigot dan endosperma terjadi hampir bersamaan, inti 3n pada endosperma membelah lebih cepat daripada zigot (2n). Di tahap awal perkembangannya endosperma jagung manis berkembang tanpa membentuk dinding sel, sehingga menghasilkan endosperma cair yang kaya akan glukosa. Glukosa terfosforilasi menjadi Glu-6P yang selanjutnya terisomerisasi menjadi Fruktosa-6P. Kedua molekul Glu-6P dan Fru-6P akan terdimerisasi menjadi Sukrosa-diP dan terpolimerisasi menjadi pati. Pati akan terakumulasi sejalan dengan meningkatnya umur endosperma. Pada jagung manis, gen su1

menghalangi polimerisasi sukrosa menjadi pati, sedangkan gen bt1 mencegah penguraian balik Suk-diP  Glu-6P + Fru-6P. Kedua gen ini memungkinkan perpanjangan waktu panen jagung manis dan mempertahankan kemanisannya selama beberapa hari tanpa pendinginan (Yamaguchi, 1983).


(55)

12

Menurut Smith (1984), pati adalah polimer sukrosa yang mempunyai bobot

molekul yang tinggi. Kebanyakan pati terbentuk dari campuran dua jenis polimer: amilosa dan amilopektin dengan nisbah 3:1. Gen bt, su2, sh2 mengubah nisbah amilosa : amilopektin. Gen su2 meningkatkan kadar amilosa dari 25 % pada jagung nirmanis menjadi 35 %; interaksi gen dull (du), su1, dan su2

meningkatkan kadar amilosa menjadi 77 %; gen sh2 mengurangi kandungan total pati sehingga menyebabkan kisutnya endosperma. Gen su1 dan sh2

meningkatkan kandungan sukrosa pada endosperma 16 hsp dari 16 % menjadi 27 %. Dua gen mutan lainnya, bt1 dan bt2, meningkatkan kadar gula reduksi dan sukrosa dengan mengurangi kadar pati sehingga hasil biji menurun.

Coe et al. (1982), telah memetakan lokus bt1 pada 5-42 (kromosom nomor 5 pada unit peta 42) dan bt2 pada 4-67; sh1 pada 9-29 dan sh2 pada 3-127+; dan su1 pada 4-66 dan su2 pada 6-54. Pemetaan ini membuktikan bahwa rasa manis pada endosperma jagung manis dikendalikan secara genetik oleh lokus-lokus

homozigot resesif. Kenyataan ini menguntungkan bagi pengembangan jagung manis karena segregasi manis : nirmanis tidak terjadi.

2.3 Konsep Segregasi Mendel

Hukum Mendel telah menjelaskan bagaimana suatu keturunan memiliki perbandingan perbandingan tertentu. Dalam perkawinan monohibrid, dihibrid maupun polihibrid dapat dijelaskan perbandingan yang terjadi pada F1 dan F2 yang ada. Mendel menyatakan adanya pemisahan gen yang sealel (Hukum

Mendel I atau the Law of Segregation) bahwa gen-gen dari sepasang alel memisah secara bebas ketika berlangsung pembelahan reduksi (meiosis) pada waktu


(56)

13

pembentukan gamet (Hukum Mendel II atau the Law of Assortment of Genes) yang menyebabkan rasio fenotipe 9:3:3:1. Namun dalam kenyataannya

perkawinan heterozigot tidak memiliki rasio tersebut. Peristiwa segregasi dapat dipelajari berdasarkan konsep segregasi Mendel pada tanaman kapri (Phaseolus vulgaris) untuk sifat biji bulat (W) dominan penuh terhadap biji kisut (w); w= wrinkle, melalui kros dan seri self di bawah ini:

Tetua : ♀ WW x ♂ ww

Biji bulat ↓ biji kisut

Hibrid F1 : Ww (100 %)

Biji bulat

Segregasi zuriat S1: WW : Ww : ww

25 % 50 % 25 %

S2: WW : Ww : ww

37,5 % 25 % 37,5 % ↓ ( dst )

Pada Sn : WW dan ww = {1-(1/2)n} x 100 %

Ww = (1/2)n x 100 % ; n = banyaknya generasi self.

Salah satu penyimpangan Hukum Mendel adalah interaksi gen, yaitu pengaruh satu alel terhadap alel yang lain pada lokus yang sama dan juga pengaruh satu gen terhadap gen pada lokus lain. Hal ini menyebabkan timbulnya keragaman nisbah genetika Mendel (Crowder, 1990 dalam Azis, 2009).


(57)

14

Menurut Elrod (2007), epistasis merupakan penyimpangan lain dari Hukum Mendel. Epistasis terjadi jika sebuah gen atau lokus yang mensupresi atau

menyamarkan kerja gen di lokus lain. Ketika epistasis bekerja di antara dua lokus gen, jumlah fenotipe yang muncul pada keturunan dari induk dihibrid akan kurang dari empat. Ada enam tipe rasio epistatis yang umum ditemukan, yaitu:

(1) Epistasis dominan (perbandingan 12 : 3 : 1). Jika alel yang dominan di satu lokus (misalnya alel A) menghasilkan fenotipe tertentu tanpa peduli kondisi alel pada lokus yang lain, maka lokus A disebut epistatik terhadap lokus B. Jika alel dominan A mampu mengespresikan dirinya sendiri, baik ada B ataupun b, maka itu disebut epistasis dominan.

(2) Epistasis resesif (perbandingan 9 : 3 : 4). Jika genotipe resesif pada salah satu lokus (misalnya aa) mensupresi ekspresi alel-alel pada lokus B, maka lokus A disebut menunjukkan epistasis resesif terhadap lokus B. Hanya jika ada alel dominan pada lokus A-lah alel-alel pada lokus hipostatik B dapat

diekspresikan.

(3) Interaksi dominan dan resesif (perbandingan 13 : 3). Hanya dihasilkan dua fenotipe F2, jika genotipe dominan pada salah satu lokus (misalnya A-) dan genotipe resesif pada lokus yang lain (bb) menghasilkan efek fenotipik yang sama.

(4) Epistasis dominan duplikat (perbandingan 15 : 1). Jika alel-alel dominan pada kedua lokus menghasilkan fenotipe yang sama tanpa efek akumulasi.


(58)

15

(5) Epistasis resesif duplikat (perbandingan 9 : 7). Jika fenotipe-fenotipe identik dihasilkan oleh kedua genotipe resesif homozigot, maka rasio F2-nya menjadi 9:7. Kedua alel dominan yang ada secara bersamaan saling berkomplemen dan menghasilkan sebuah fenotipe yang berbeda.

(6) Gen duplikat dengan efek akumulatif (perbandingan 9 : 6 :1). Jika kondisi dominan (baik homozigot maupun heterozigot) pada salah satu lokus (tapi bukan keduanya) menghasilkan fenotipe yang sama.

2.4 Epistasis Bentuk Biji pada Jagung Manis LASS

Epistasis didefinisikan sebagai interaksi gen yang tidak selokus (Gardner dan Snustad, 1980). Apabila jagung manis berbiji kisut disilangkan dengan jagung nirmanis biji bulat dan zuriat hibrid-F1nya diself, akan diperoleh persebaran biji bulat : biji kisut sebagai:

(1) biji bulat : biji kisut = 3:1 mengikuti kaidah segregasi Mendel untuk kedominanan penuh pada sifat biji bulat,

(2) Apabila biji bulat diatur oleh lokus dominan, katakanlah Sh dan Su dan biji kisut oleh lokus resesif sh dan su, maka persebaran segregasi epistasisnya akan mengikuti:

(a) genotipe: 9 ShSh SuSu : 3 Sh- susu : 3 shsh Su- : 1 susu shsh fenotipe: 9 bulat : 3 bulat : 3 bulat : 1 kisut

= 15 bulat : 1 kisut = 15 nirmanis : 1 manis

bila Sh dan Su dominan penuh terhadap sh dan su; Sh epistasis terhadap Su, su; Su epistasis terhadap Sh, sh. Sh maupun Su bersifat substitutif terhadap susu maupun shsh, sehingga kehadiran satu alel dominan Sh atau Su akan membuat biji bulat nir manis.


(59)

16

(b) genotipe: 9 ShSh SuSu : 3 Sh- susu : 3 shsh Su- : 1 susu shsh fenotipe: 9 bulat : 3 bulat : 3 kisut : 1 kisut

= 12 bulat : 4 kisut = 12 nirmanis : 4 manis

bila Sh dan Su dominan penuh terhadap sh dan su, tetapi shsh epistasis terhadap Su, su. Biji bulat hanya akan terbentuk bila kedua Sh dan Su hadir, tetapi kehadiran shsh pada satu lokus akan menyebabkan biji kisut walaupun terdapat Su pada lokus kedua. Dalam hal ini dikatakan bahwa Sh dan Su bersifat komplementer antara satu dengan lainnya.

(c) genotipe: 9 ShSh SuSu : 3 Sh- susu : 3 shsh Su- : 1 susu shsh fenotipe: 9 bulat : 3 kisut : 3 bulat : 1 kisut

= 12 bulat : 4 kisut = 12 nirmanis : 4 manis

bila Sh dan Su dominan penuh terhadap sh dan su, tetapi susu epistasis terhadap Sh, sh. Biji bulat hanya akan terbentuk bila kedua Sh dan Su hadir, tetapi kehadiran susu pada satu lokus akan menyebabkan biji kisut walaupun terdapat Sh pada lokus kedua. Dalam hal ini dikatakan bahwa Sh dan Su bersifat komplementer antara satu dengan lainnya.

(d) genotipe: 9 ShSh SuSu : 3 Sh- susu : 3 shsh Su- : 1 susu shsh fenotipe: 9 bulat : 3 kisut : 3 kisut : 1 kisut

= 9 bulat : 7 kisut = 9 nirmanis : 7 manis

bila Sh dan Su dominan penuh terhadap sh dan su, tetapi shsh epistasis terhadap Su, su dan susu epistasis terhadap Sh, sh. Biji bulat hanya akan terbentuk bila kedua Sh dan Su hadir, tetapi kehadiran lokus resesif susu atau shsh pada satu lokus akan menyebabkan biji kisut walaupun terdapat Sh atau Su pada lokus kedua.


(60)

17

Pada pengembangan jagung manis LASS, epistasis 9:7 merupakan harapan ideal karena produksi benih kisut manis mencapai 7/16 = 43,75 % dari total benih. Benih bulat nirmanis yang sebesar 56,3 % dijadikan benih stok, yakni akan menghasilkan benih kisut manis setiap kali diself (Hikam, 2003).

2.5 Ragam Genetik dan Heritabilitas

Keragaman sifat individu setiap populasi tanaman disebut variabilitas. Dalam pemuliaan tanaman, adanya keanekaragaman (variabilitas) pada populasi tanaman yang digunakan mempunyai arti yang sangat penting. Besar kecilnya variabilitas dan tinggi rendahnya rata-rata populasi tanaman yang digunakan sangat

menentukan keberhasilan pemuliaan tanaman. Ukuran besar kecilnya variabilitas dinyatakan dengan variasi. Variasi muncul karena adanya pengaruh lingkungan dan faktor keturunan atau genetik. Variasi yang terjadi karena adanya pengaruh lingkungan tidak diwariskan kepada keturunannya, sedangkan variasi yang timbul karena faktor genetik diwariskan kepada keturunannya. Jika ada variasi yang timbul pada populasi tanaman yang ditanam pada kondisi lingkungan yang sama maka variasi tersebut merupakan variasi atau perbedaan yang berasal dari

genotipe individu anggota populasi. Variasi genetik dapat terjadi karena adanya pencampuran material pemuliaan, rekombinasi genetik sebagai akibat adanya persilangan-persilangan, dan adanya mutasi maupun poliploidisasi

(Mangoendidjojo, 2003).

Ragam (varians, diberi simbol σ2

) merupakan kuadrat simpangan baku. Ragam secara luas digunakan sebagai suatu pernyataan varialitas karena sifat aditif dari komponen-komponennya. Dengan analisis ragam maka ragam fenotipe total (σ2P)


(61)

18

yang diekspresikan oleh suatu sifat tertentu dalam populasi bisa difragmentasi atau dipartisi secara statistik menjadi komponen-komponen ragam genetik (σ2G), ragam nongenetik atau lingkungan (σ2E), dan ragam akibat interaksi genotipe-lingkungan (σ2

GE), sehingga σ2P = σ2G + σ2E + σ2GE (Elrod, 2007).

Heritabilitas (diberi symbol h2) adalah proporsi varian fenotipik total yang disebabkan oleh semua tipe efek gen. Heritabilitas sebagai nisbah keragaman genotipe (σ2

G) terhadap keragaman fenotipe (σ2P); h2 = σ2G / σ2P (Elrod, 2007). Berdasarkan komponen varian genetiknya, heritabilitas dibedakan menjadi heritabilitas dalam arti luas (broad sense heritability) dan heritabilitas dalam arti sempit (narrow sense heritability). Heritabilitas dalam arti luas merupakan perbandingan antara ragam genetik total dan ragam fenotipe, sehingga rumusnya menjadi: H atau h2 = (σ2G)/( σ2G + σ2E). Heritabilitas dapat diduga dengan perhitungan varian keturunan, dan dengan perhitungan komponen ragam dari analisis ragam (Mangoendidjojo, 2003).

Heritabilitas suatu sifat tertentu berkisar antara 0 dan 1. Heritabilitas tinggi ataupun rendah tidaklah didefinisikan secara kaku, tetapi nilai-nilai berikut ini umumnya dapat diterima, yaitu heritabilitas tinggi jika lebih besar dari 0,5; heritabilitas sedang jika antara 0,2—0,5; dan heritabilitas rendah jika lebih rendah dari 0,2. Heritabilitas arti luas (broad sense heritability) merupakan parameter heritabilitas yang melibatkan semua tipe kerja gen sehingga membentuk suatu estimasi heritabilitas yang luas (Elrod, 2007).


(1)

pembentukan gamet (Hukum Mendel II atau the Law of Assortment of Genes) yang menyebabkan rasio fenotipe 9:3:3:1. Namun dalam kenyataannya

perkawinan heterozigot tidak memiliki rasio tersebut. Peristiwa segregasi dapat dipelajari berdasarkan konsep segregasi Mendel pada tanaman kapri (Phaseolus vulgaris) untuk sifat biji bulat (W) dominan penuh terhadap biji kisut (w); w= wrinkle, melalui kros dan seri self di bawah ini:

Tetua : ♀ WW x ♂ ww

Biji bulat ↓ biji kisut

Hibrid F1 : Ww (100 %)

Biji bulat

Segregasi zuriat S1: WW : Ww : ww

25 % 50 % 25 %

S2: WW : Ww : ww

37,5 % 25 % 37,5 %

↓ ( dst )

Pada Sn : WW dan ww = {1-(1/2)n} x 100 %

Ww = (1/2)n x 100 % ; n = banyaknya generasi self.

Salah satu penyimpangan Hukum Mendel adalah interaksi gen, yaitu pengaruh satu alel terhadap alel yang lain pada lokus yang sama dan juga pengaruh satu gen terhadap gen pada lokus lain. Hal ini menyebabkan timbulnya keragaman nisbah genetika Mendel (Crowder, 1990 dalam Azis, 2009).


(2)

Menurut Elrod (2007), epistasis merupakan penyimpangan lain dari Hukum Mendel. Epistasis terjadi jika sebuah gen atau lokus yang mensupresi atau

menyamarkan kerja gen di lokus lain. Ketika epistasis bekerja di antara dua lokus gen, jumlah fenotipe yang muncul pada keturunan dari induk dihibrid akan kurang dari empat. Ada enam tipe rasio epistatis yang umum ditemukan, yaitu:

(1) Epistasis dominan (perbandingan 12 : 3 : 1). Jika alel yang dominan di satu lokus (misalnya alel A) menghasilkan fenotipe tertentu tanpa peduli kondisi alel pada lokus yang lain, maka lokus A disebut epistatik terhadap lokus B. Jika alel dominan A mampu mengespresikan dirinya sendiri, baik ada B ataupun b, maka itu disebut epistasis dominan.

(2) Epistasis resesif (perbandingan 9 : 3 : 4). Jika genotipe resesif pada salah satu lokus (misalnya aa) mensupresi ekspresi alel-alel pada lokus B, maka lokus A disebut menunjukkan epistasis resesif terhadap lokus B. Hanya jika ada alel dominan pada lokus A-lah alel-alel pada lokus hipostatik B dapat

diekspresikan.

(3) Interaksi dominan dan resesif (perbandingan 13 : 3). Hanya dihasilkan dua fenotipe F2, jika genotipe dominan pada salah satu lokus (misalnya A-) dan genotipe resesif pada lokus yang lain (bb) menghasilkan efek fenotipik yang sama.

(4) Epistasis dominan duplikat (perbandingan 15 : 1). Jika alel-alel dominan pada kedua lokus menghasilkan fenotipe yang sama tanpa efek akumulasi.


(3)

(5) Epistasis resesif duplikat (perbandingan 9 : 7). Jika fenotipe-fenotipe identik dihasilkan oleh kedua genotipe resesif homozigot, maka rasio F2-nya menjadi 9:7. Kedua alel dominan yang ada secara bersamaan saling berkomplemen dan menghasilkan sebuah fenotipe yang berbeda.

(6) Gen duplikat dengan efek akumulatif (perbandingan 9 : 6 :1). Jika kondisi dominan (baik homozigot maupun heterozigot) pada salah satu lokus (tapi bukan keduanya) menghasilkan fenotipe yang sama.

2.4 Epistasis Bentuk Biji pada Jagung Manis LASS

Epistasis didefinisikan sebagai interaksi gen yang tidak selokus (Gardner dan Snustad, 1980). Apabila jagung manis berbiji kisut disilangkan dengan jagung nirmanis biji bulat dan zuriat hibrid-F1nya diself, akan diperoleh persebaran biji bulat : biji kisut sebagai:

(1) biji bulat : biji kisut = 3:1 mengikuti kaidah segregasi Mendel untuk kedominanan penuh pada sifat biji bulat,

(2) Apabila biji bulat diatur oleh lokus dominan, katakanlah Sh dan Su dan biji kisut oleh lokus resesif sh dan su, maka persebaran segregasi epistasisnya akan mengikuti:

(a) genotipe: 9 ShSh SuSu : 3 Sh- susu : 3 shsh Su- : 1 susu shsh fenotipe: 9 bulat : 3 bulat : 3 bulat : 1 kisut

= 15 bulat : 1 kisut = 15 nirmanis : 1 manis

bila Sh dan Su dominan penuh terhadap sh dan su; Sh epistasis terhadap Su, su; Su epistasis terhadap Sh, sh. Sh maupun Su bersifat substitutif terhadap susu maupun shsh, sehingga kehadiran satu alel dominan Sh atau Su akan membuat biji bulat nir manis.


(4)

(b) genotipe: 9 ShSh SuSu : 3 Sh- susu : 3 shsh Su- : 1 susu shsh fenotipe: 9 bulat : 3 bulat : 3 kisut : 1 kisut

= 12 bulat : 4 kisut = 12 nirmanis : 4 manis

bila Sh dan Su dominan penuh terhadap sh dan su, tetapi shsh epistasis terhadap Su, su. Biji bulat hanya akan terbentuk bila kedua Sh dan Su hadir, tetapi kehadiran shsh pada satu lokus akan menyebabkan biji kisut walaupun terdapat Su pada lokus kedua. Dalam hal ini dikatakan bahwa Sh dan Su bersifat komplementer antara satu dengan lainnya.

(c) genotipe: 9 ShSh SuSu : 3 Sh- susu : 3 shsh Su- : 1 susu shsh fenotipe: 9 bulat : 3 kisut : 3 bulat : 1 kisut

= 12 bulat : 4 kisut = 12 nirmanis : 4 manis

bila Sh dan Su dominan penuh terhadap sh dan su, tetapi susu epistasis terhadap Sh, sh. Biji bulat hanya akan terbentuk bila kedua Sh dan Su hadir, tetapi kehadiran susu pada satu lokus akan menyebabkan biji kisut walaupun terdapat Sh pada lokus kedua. Dalam hal ini dikatakan bahwa Sh dan Su bersifat komplementer antara satu dengan lainnya.

(d) genotipe: 9 ShSh SuSu : 3 Sh- susu : 3 shsh Su- : 1 susu shsh fenotipe: 9 bulat : 3 kisut : 3 kisut : 1 kisut

= 9 bulat : 7 kisut = 9 nirmanis : 7 manis

bila Sh dan Su dominan penuh terhadap sh dan su, tetapi shsh epistasis terhadap Su, su dan susu epistasis terhadap Sh, sh. Biji bulat hanya akan terbentuk bila kedua Sh dan Su hadir, tetapi kehadiran lokus resesif susu atau shsh pada satu lokus akan menyebabkan biji kisut walaupun terdapat Sh atau Su pada lokus kedua.


(5)

Pada pengembangan jagung manis LASS, epistasis 9:7 merupakan harapan ideal karena produksi benih kisut manis mencapai 7/16 = 43,75 % dari total benih. Benih bulat nirmanis yang sebesar 56,3 % dijadikan benih stok, yakni akan menghasilkan benih kisut manis setiap kali diself (Hikam, 2003).

2.5 Ragam Genetik dan Heritabilitas

Keragaman sifat individu setiap populasi tanaman disebut variabilitas. Dalam pemuliaan tanaman, adanya keanekaragaman (variabilitas) pada populasi tanaman yang digunakan mempunyai arti yang sangat penting. Besar kecilnya variabilitas dan tinggi rendahnya rata-rata populasi tanaman yang digunakan sangat

menentukan keberhasilan pemuliaan tanaman. Ukuran besar kecilnya variabilitas dinyatakan dengan variasi. Variasi muncul karena adanya pengaruh lingkungan dan faktor keturunan atau genetik. Variasi yang terjadi karena adanya pengaruh lingkungan tidak diwariskan kepada keturunannya, sedangkan variasi yang timbul karena faktor genetik diwariskan kepada keturunannya. Jika ada variasi yang timbul pada populasi tanaman yang ditanam pada kondisi lingkungan yang sama maka variasi tersebut merupakan variasi atau perbedaan yang berasal dari

genotipe individu anggota populasi. Variasi genetik dapat terjadi karena adanya pencampuran material pemuliaan, rekombinasi genetik sebagai akibat adanya persilangan-persilangan, dan adanya mutasi maupun poliploidisasi

(Mangoendidjojo, 2003).

Ragam (varians, diberi simbol σ2

) merupakan kuadrat simpangan baku. Ragam secara luas digunakan sebagai suatu pernyataan varialitas karena sifat aditif dari komponen-komponennya. Dengan analisis ragam maka ragam fenotipe total (σ2P)


(6)

yang diekspresikan oleh suatu sifat tertentu dalam populasi bisa difragmentasi atau dipartisi secara statistik menjadi komponen-komponen ragam genetik (σ2G),

ragam nongenetik atau lingkungan (σ2E), dan ragam akibat interaksi

genotipe-lingkungan (σ2

GE), sehingga σ2P = σ2G + σ2E + σ2GE (Elrod, 2007).

Heritabilitas (diberi symbol h2) adalah proporsi varian fenotipik total yang disebabkan oleh semua tipe efek gen. Heritabilitas sebagai nisbah keragaman genotipe (σ2

G) terhadap keragaman fenotipe (σ2P); h2 = σ2G / σ2P (Elrod, 2007).

Berdasarkan komponen varian genetiknya, heritabilitas dibedakan menjadi heritabilitas dalam arti luas (broad sense heritability) dan heritabilitas dalam arti sempit (narrow sense heritability). Heritabilitas dalam arti luas merupakan perbandingan antara ragam genetik total dan ragam fenotipe, sehingga rumusnya menjadi: H atau h2 = (σ2G)/( σ2G + σ2E). Heritabilitas dapat diduga dengan

perhitungan varian keturunan, dan dengan perhitungan komponen ragam dari analisis ragam (Mangoendidjojo, 2003).

Heritabilitas suatu sifat tertentu berkisar antara 0 dan 1. Heritabilitas tinggi ataupun rendah tidaklah didefinisikan secara kaku, tetapi nilai-nilai berikut ini umumnya dapat diterima, yaitu heritabilitas tinggi jika lebih besar dari 0,5; heritabilitas sedang jika antara 0,2—0,5; dan heritabilitas rendah jika lebih rendah dari 0,2. Heritabilitas arti luas (broad sense heritability) merupakan parameter heritabilitas yang melibatkan semua tipe kerja gen sehingga membentuk suatu estimasi heritabilitas yang luas (Elrod, 2007).