Potensi dan penyebaran bambu manggong, Gigantochloa manggong Widjaja di Sukamande Taman Nasional Meru Betiri

(1)

POTENSI DAN PENYEBARAN

BAMBU MANGGONG (

Gigantochloa manggong

Widjaja)

DI SUKAMADE TAMAN NASIONAL MERU BETIRI

FEBRINIA SARI WIDYANINGTYAS

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006


(2)

RINGKASAN

FEBRINIA SARI WIDYANINGTYAS. Potensi dan Penyebaran Bambu Manggong (Gigantochloa manggong Widjaja) di Sukamade Taman Nasional Meru Betiri. Dibimbing oleh EDHI SANDRA dan NADZRUN JAMIL

Taman Nasional Meru Betiri merupakan salah satu dari empat taman nasional yang terletak di Provinsi Jawa Timur. Menurut Departemen Kehutanan RI, Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) merupakan perwakilan hutan pantai, hutan mangrove, hutan rawa dan hutan hujan tropika di Jawa.

Pemanfaatan bambu oleh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan TNMB cukup besar. Sayangnya pemanfaatan bambu ini terbatas pada jenis-jenis tertentu saja. Pemanfaatan bambu manggong oleh masyarakat secara terus menerus tidak diimbangi dengan upaya pelestarian dan pengembangan. Belum adanya upaya pengembangan dan pelestarian bambu manggong disebabkan karena minimnya informasi mengenai potensi dan karakteristik pertumbuhan bambu tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi dan penyebaran bambu manggong (Gigantochloa manggong Widjaja) yang terdapat di Sukamade Taman Nasional Meru Betiri serta menyusun suatu alternatif pengembangan dalam rangka upaya pelestarian bambu manggong.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni hingga Agustus 2005 dan bertempat di Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur.

Untuk mengetahui kemampuan produksi/produktivitas batang atau buluh dilakukan berdasarkan jumlah batang dan berdasarkan LBDS masing-masing jenis bambu. LBDS (Luas Bidang Dasar) dapat didekati melalui diameter pangkal batang dan jumlah batang. LBDS total batang pada keempat lokasi sebesar 47,1951 m². Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh jumlah batang tua dan muda dari keempat lokasi adalah 16017, banyaknya batang dalam 1 rumpun berjumlah 32,8217 batang/rumpun. Sedangkan banyaknya batang per hektar adalah sebesar 2301,2931 batang/ha dan banyaknya rumpun per hektar sebesar 70,1149 rumpun/ha. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan maka jumlah batang bambu yang dapat dipanen setiap tahunnya yaitu sebesar 533.900 batang. Data mengenai jumlah total batang bambu dapat digunakan untuk menduga nilai ekonomi bambu di Sukamade. Nilai ekonomi bambu manggong di Sukamade diperkirakan sebesar Rp.266.950.000,- untuk bambu yang digunakan oleh masyarakat dan Rp. 682.826.046,- untuk bambu yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan pulp dan kertas.

Untuk mengetahui kondisi rumpun bambu manggong maka dilakukan penghitungan karakteristik rumpun yang meliputi LBDS rumpun, kerapatan batang dan indeks kerapatan rumpun. Rata-rata LBDS rumpun adalah 2,1031 m², rata-rata kerapatan batang adalah 22,2035 batang/ m² sedangkan rata-rata indeks kerapatan rumpun adalah 0,0607.

INP bambu manggong di Sukamade memiliki nilai sebesar 228,9291%. Sedangkan bambu petung yang merupakan jenis bambu lain yang ditemukan pada saat pengamatan di lapangan mempunyai INP sebesar 3,0315%. Selain bambu manggong dan bambu petung, di empat lokasi pengamatan juga terdapat beberapa


(3)

jenis pohon. Jenis pohon yang banyak ditemukan adalah pohon aren (Arenga pinnata L.) dengan INP sebesar 7,2481%. Dengan didapatnya nilai INP maka dapat disimpulkan bahwa bambu manggong merupakan jenis yang mendominasi di empat lokasi pengamatan.

Pada tempat hidup bambu manggong ini juga ditemukan beberapa jenis pohon dan bambu lain tumbuh secara menyebar meskipun dalam jumlah yang sedikit. Pohon-pohon yang ditemukan berjumlah 155 individu yang tersebar dalam 80 plot atau 45,98 % dari total plot yang digunakan dalam pengambilan data. Jenis pohon yang paling banyak ditemukan adalah aren (Arenga pinnata L.), bendo (Artocarpus elasticus Reinw. Ex. Bl.) dan gondang (Ficus variegata Bl.) Sedangkan bambu petung (Dendrocalamus asper (Schult.) Backer ex Heyne) ditemukan berjumlah 5 rumpun yang tersebar dalam 4 plot atau 1,02 % dari jumlah total rumpun dalam 174 plot. Bambu petung atau pring petung ditemukan di seberang sungai Sumber Sari.

Interaksi masyarakat dengan hutan bambu dalam kawasan TNMB berupa pengambilan batang bambu. Pengambilan batang bambu ini berupa bentuk komoditi klakah, usuk, pengapit, pagar, langit-langit rumah, tiang dan bambu sebagai bahan baku betek.

Bambu manggong mempunyai status kelangkaan Genting, ENB12d. Status kelangkaan Genting (Endangered) diterapkan pada takson yang tidak termasuk dalam CR namun mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dan dimasukkan ke dalam kategori EW jika dalam waktu dekat tindakan perlindungan yang cukup berarti terhadap populasinya tidak dilakukan. Sedangkan kriteria B12d artinya luas wilayah keberadaan populasinya kurang dari 5000 km² atau wilayah yang ditempatinya kurang dari 500 km² serta mengalami fragmentasi berat atau hanya diketahui berada tidak lebih dari lima lokasi serta diduga populasinya akan berkurang secara terus menerus karena jumlah populasi dan subpopulasinya yang terus menurun. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan hasil perhitungan maka bambu manggong yang terdapat di Sukamade mempunyai piramida distribusi kelas umur yang tidak mendukung kelestarian populasi. Dimana jumlah tunggak bekas tebangan 2 X lebih besar daripada jumlah batang muda. Sedangkan berdasarkan perbandingan rata-rata tunggak bekas tebangan dengan rebung, maka rata-rata tunggak bekas tebangan 4 X lebih besar daripada rata-rata rebung yang muncul pada musim permudaan.

Upaya konservasi terhadap hutan bambu di Sukamade yang bisa dilakukan adalah menanam bambu di lahan kosong, tanah yang terlantar, tepi-tepi sungai, kebun atau di pekarangan, pengelolaan rumpun bambu yang lestari, pengelolaan bambu cara Jepang, menghentikan eksploitasi atau pemanenan bambu di habitat alaminya, mengatur eksploitasi atau pemanenan bambu oleh masyarakat, mempercepat regenerasi bambu manggong di alam.


(4)

POTENSI DAN PENYEBARAN

BAMBU MANGGONG (

Gigantochloa manggong

Widjaja)

DI SUKAMADE TAMAN NASIONAL MERU BETIRI

FEBRINIA SARI WIDYANINGTYAS

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 4 Februari 1983 dari pasangan Pudjolaksono dan Endang Purwanti sebagai putri pertama dari tiga bersaudara. Pada tahun 1989 penulis memulai pendidikan dasar di SD Budi Mulia Bogor dan menyelesaikannya pada tahun 1995. Kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan lanjutan tingkat pertama di SLTPN 1 Bogor hingga tahun 1998. Pendidikan lanjutan menengah tingkat atas ditempuh di SMU Plus Bina Bangsa Sejahtera Bogor dari tahun 1998 – 2001.

Pada 2001 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan dengan bidang ilmu yang diminati adalah bidang konservasi tumbuhan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Dendrologi pada tahun ajaran 2003/2004. Pada tahun 2004 penulis melaksanakan Praktek Umum Kehutanan (PUK) di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Barat, BKPH Rawa Timur dan KPH Banyumas Timur, BKPH Gunung Slamet Barat serta Praktek Umum Pengelolaan Hutan (PUPH) di Getas yang termasuk KPH Ngawi bersama mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM). Pada tahun 2005 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, pada tahun 2005 penulis melakukan penyusunan skripsi dengan judul “Potensi dan Penyebaran Bambu Manggong (Gigantochloa manggong Widjaja) di Sukamade Taman Nasional Meru Betiri” dibawah bimbingan Ir. Edhi Sandra, M. Si dan Nadzrun Jamil, S.Hut.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penyusunan skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini merupakan karya ilmiah hasil penelitian yang dilaksanakan mulai bulan Juni sampai Agustus 2005 di Taman Nasional Meru Betiri dengan judul “Potensi dan Penyebaran Bambu Manggong (Gigantochloa manggong Widjaja) di Sukamade Taman Nasional Meru Betiri”.

Pada kesempatan ini dengan penuh rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, terutama kepada keluarga tercinta atas segala doa, kasih sayang, dukungan dan bantuan baik moril maupun materiil, Bapak Ir. Edhi Sandra, M.Si selaku dosen pembimbing pertama, Bapak Nadzrun Jamil, S.Hut selaku dosen pembimbing kedua, Bapak Ir. Suwarno Sutarahardja selaku dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan dan Bapak Ir. Trisna Priadi, M.Eng. Sc selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan yang telah bersedia membimbing, mengkritik, serta memberikan sumbangan pemikiran dan masukan dalam penulisan skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Balai Taman Nasional Meru Betiri beserta staf dan masyarakat Sukamade yang telah membantu dalam pengumpulan data dan informasi selama penelitian ini berlangsung. Rekan-rekan KSH 38 dan Fahutan atas dukungannya, bantuannya dan kebersamaannya selama ini, semoga tetap ASIK sampai kapanpun serta kepada pihak-pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Januari 2006


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN Latar belakang ... 1

Tujuan ... 2

Manfaat ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Taman Nasional ... 3

Bambu ... 3

Botani dan Sifat Umum Bambu ... 4

Taksonomi dan Morfologi Bambu Manggong ... 5

Penyebaran dan Kegunaan Bambu Manggong ... 7

Kriteria dan Kategori Tumbuhan Langka ... 8

Kriteria Untuk Kategoi Kritis, Genting dan Rawan ... 10

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Sejarah Kawasan ... 16

Letak dan Luas ... 16

Topografi ... 17

Geologi dan Tanah ... 18

Iklim ... 18

Hidrologi ... 18

Flora dan Fauna ... 19

Obyek Wisata ... 21

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22


(8)

Metode Pengumpulan Data ... 22

Pengolahan Data ... 26

Analisa Data ... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN Kemampuan Produktivitas Rumpun Bambu Manggong... 28

Karakteristik Rumpun Bambu Manggong ... 31

Karakteristik Penutupan Tajuk dan Tinggi batang ... 37

Kerusakan Hutan Bambu Di Sukamade ... 39

Kemampuan Permudaan Bambu Manggong ... 45

Penyebaran Bambu Manggong Di Sukamade ... 50

Karakteristik Habitat Bambu Manggong ... 52

Interaksi Masyarakat Dengan Hutan Bambu ... 56

Indikator Kelestarian Populasi Bambu Manggong ... 61

Penggunaan Bambu oleh Pabrik Kertas Basuki Rachmat ... 66

Upaya Konservasi ... 67

KESIMPULAN Kesimpulan ... 70

Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Karakteristik bambu manggong dan bambu apus ... 6 2. Keanekaragaman spesies tumbuhan di Taman Nasional

Meru Betiri berdasarkan formasi hutannya ... 19 3. Luas hutan bambu manggong di Sukamade ... 23 4. Jumlah petak pengamatan berdasarkan luas hutan bambu manggong ... 24 5. Perbandingan karakteristik rumpun serta penutupan tajuk bambu

manggong ... 37 6. Jumlah batang dengan nilai persen pemanenan terbesar dan terkecil

di empat Lokasi ... 40 7. Jumlah batang dengan nilai persen permudaan terbesar dan terkecil

di empat Lokasi ... 46 8. Penutupan tajuk dan tinggi batang bambu petung dalam petak

pengamatan ... 55 9. Persen pemanenan dan permudaan bambu petung (Dendrocalamus

asper (Schult.)) di Sumbersari ... 55 10.Bentuk komoditi bambu manggong yang dipungut oleh masyarakat ... 58


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Pelepah buluh bambu manggong ... 6

2. Perawakan bambu manggong ... 6

3. Pelepah daun, buluh dan rebung bambu manggong ... 7

4. Batang bambu yang digunakan untuk menghitung LBDS ... 29

5. Kondisi rumpun di Camping ground Pantai Sukamade ... 35

6. Kondisi rumpun bambu di Tegalwatu ... 36

7. Tunggak bekas tebangan di Tegalwatu ... 41

8. Kondisi hutan bambu di Tegalwatu ... 42

9. Tunggak bekas tebangan di Sumbersari ... 43

10.Kondisi rumpun bambu di belakang mes VIP Pantai Sukamade ... 44

11.Model penyebaran bambu manggong di alam ... 49

12. Batang tua yang roboh dengan sendirinya ... 50

13. Bambu manggong yang ditemukan menempel pada pohon beringin (Ficus benjamina) ... 53

14. Sungai Sumbersari ... 54

15. Bekas tunggak bambu petung yang ditemukan dalam rumpun bambu manggong ... 56

16. Contoh penggunaan bambu oleh masyarakat ... 58

17. Contoh penggunaan bambu manggong sebagai langit-langit rumah ... 60

18. Piramida distribusi kelas umur ... 63


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Tabel jenis data dan metode pengambilan data dalam penelitian

“Potensi dan Penyebaran Bambu Manggong (Gigantochloa manggong

Widjaja) di Sukamade Taman Nasional Meru Betiri”... 75

2. LBDS total batang bambu manggong pada masing-masing rumpun ... 75

3. LBDS total batang bambu petung pada masing-masing rumpun ... 85

4. Produktivitas rumpun bambu manggong ... 85

5. Produktivitas rumpun bambu petung ... 95

6. Penutupan tajuk dan tinggi rata-rata rumpun bambu manggong ... 95

7. Karakteristik permudaan dan pemanenan ...105

8. Karakteristik habitat bambu manggong ... 115

9. Daftar Indeks Nilai Penting (INP) berbagai jenis tumbuhan di Sukamade ... 119

10.Curah hujan di Sukamade dalam lima tahun terakhir ... 122

11.Rekapitulasi biodata responden ... 123

12. Panduan wawancara untuk pengusaha bambu ... 124

13. Panduan wawancara untuk masyarakat ... 125


(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Taman Nasional Meru Betiri merupakan salah satu dari empat taman nasional yang terletak di Provinsi Jawa Timur. Ditunjuknya Suaka Margasatwa Meru Betiri sebagai Taman Nasional karena pada kawasan ini pernah menjadi habitat terakhir bagi Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) dan habitat Rafflesia zollingeriana. Menurut Departemen Kehutanan RI, Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) merupakan perwakilan hutan pantai, hutan mangrove, hutan rawa dan hutan hujan tropika di Jawa. Kawasan TNMB selain memiliki keanekaragaman jenis fauna yang tinggi juga mempunyai keragaman jenis flora, diantaranya bambu. Sedikitnya 10 jenis bambu dari 6 genus dapat ditemukan di dalam kawasan ini.

Bambu merupakan salah satu tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi khususnya di pulau Jawa. Pemakaian bambu oleh masyarakat sudah berlangsung secara turun temurun, baik untuk keperluan sehari-hari maupun untuk diperdagangkan secara luas. Secara morfologi bambu mudah sekali dibedakan dengan tumbuhan lainnya, hal ini dikarenakan bambu tumbuh secara merumpun, bentuk batangnya bulat, mempunyai ruas-ruas, dan setiap daunnya memiliki tangkai. Menurut Widjaja (2001), diperkirakan bambu di dunia ini ada 1200 – 1300 jenis dan 143 jenis diantaranya berasal di Indonesia. Di Jawa diperkirakan hanya ada 60 jenis bambu dan 9 jenis diantaranya merupakan jenis asli yang hanya tumbuh di Jawa atau jenis endemik.

Pemanfaatan bambu oleh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan TNMB cukup besar, hal ini terlihat dari tingginya jumlah dan frekuensi pengambilan bambu di dalam kawasan. Sayangnya pemanfaatan bambu ini terbatas pada jenis-jenis tertentu saja. Bambu manggong merupakan bambu yang ditemukan hanya tumbuh di hutan di daerah banyuwangi. Bambu ini mempunyai banyak kegunaan dan nilai ekonomi yang tinggi berkaitan dengan statusnya yang banyak ditemukan di TNMB. Pemanfaatan bambu manggong oleh masyarakat secara terus menerus tidak diimbangi dengan upaya pelestarian dan pengembangan.


(13)

Belum adanya upaya pengembangan dan pelestarian bambu manggong disebabkan karena minimnya informasi mengenai potensi dan karakteristik pertumbuhan bambu tersebut. Padahal dengan adanya data mengenai potensi dan karakteristik pertumbuhan bambu ini akan sangat berguna dalam merencanakan pengembangan upaya pelestarian bambu manggong dari aspek budidaya dan pemanfaatan sumberdaya. Untuk dapat mengetahui potensi bambu manggong di dalam kawasan TNMB maka perlu dilakukan penelitian mengenai potensi, penyebaran dan karakteristik pertumbuhannya.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi dan penyebaran bambu manggong (Gigantochloa manggong Widjaja) yang terdapat di Sukamade Taman Nasional Meru Betiri. Selain itu, untuk menyusun suatu alternatif pengembangan upaya pelestarian bambu manggong.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi data dasar mengenai bambu khususnya bambu manggong serta menjadi bahan masukan dalam penyusunan pengembangan, pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam hayati, khususnya pengembangan program pemanfaatan bambu bagi pihak pengelola TNMB.


(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Taman Nasional

Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi, yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Selain berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan, taman nasional juga mempunyai fungsi sebagai cadangan plasma nutfah keanekaragaman flora dan fauna (Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya).

Bambu

Heyne (1987) menjelaskan bahwa bambu adalah tumbuhan yang batangnya berbentuk buluh, beruas-ruas, berbuku-buku, berongga, mempunyai cabang, berimpang dan mempunyai daun buluh yang menonjol. Berbeda dengan rotan, buluh bambu sulit dibengkokkan. Selain itu bambu juga merupakan salah satu tanaman yang dapat mencapai umur panjang yaitu 40 tahun sampai 60 tahun.

Bambu merupakan tanaman tahunan dan dibedakan atas dua kelompok berdasarkan cara tumbuhnya. Pertama, jenis yang tumbuhnya merumpun (sympodial) dan kedua adalah jenis yang tumbuhnya tidak membentuk rumpun (monopodial). Tipe rumpun bambu di Indonesia umumnya adalah sympodial (Sutarno et.al, 1996).

Sutarno et al. (1996) mengemukakan bahwa ada dua tipe rimpang bambu yaitu pakimorf dan leptomorf. Tipe pakimorf mempunyai ruas/rimpang yang pendek dengan ujung yang tumbuh terus dan menjadi buluh. Sedangkan tipe leptomorf mempunyai rimpang yang panjang dan ramping, biasanya cekung dan ujungnya meluas dan tumbuh horizontal. Setiap ruas tumbuh tunas tunggal yang menjadi buluh atau rimpang. Tipe pakimorf akan menghasilkan bambu yang tumbuh merumpun (sympodial), sedangkan tipe leptomorf akan menghasilkan bambu yang tidak berumpun. Di Indonesia, jenis-jenis bambu asli umumnya mempunyai sistem perakaran pakimorf yang dicirikan oleh ruasnya yang pendek dengan leher yang pendek juga.


(15)

Botani dan Sifat Umum Bambu

Bambu adalah jenis tumbuhan yang dikenal sebagai kayu masyarakat bawah dan tumbuhan ini banyak berkembang di Asia. Bambu sering disebut sebagai rumput raksasa yang tumbuh besar dan tinggi, berkembang biak mengambil areal yang cukup luas, tidak akan ada tumbuhan lain yang akan hidup dibawahnya, jika bambu berkembang besar.

Bambu mempunyai ruas dan buku, pada ruasnya tumbuh cabang-cabang yang ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan buluhnya sendiri. Pada ruas-ruas ini pula dapat tumbuh akar sehingga pada bambu dimungkinkan untuk memperbanyak diri dengan potongan-potongan batangnya. Selain dengan potongan batang, bambu memperbanyak diri dengan tunas-tunas akar rimpangnya. Tunas inilah yang disebut rebung dan biasa dikonsumsi oleh masyarakat sebelum berserat.

Menurut Widjaja et al. (1994), bambu memiliki sifat adaptasi yang tinggi dan mampu tumbuh pada daerah datar, lembah, perbukitan dan dataran tinggi kecuali pada daerah gurun dan rawa. Sebagian besar bambu mampu tumbuh secara baik pada daerah yang relatif basah, suhu tinggi serta mengandung lapisan humus yang tebal. Temperatur, presipitasi, kesuburan serta jenis tanah merupakan faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan distribusi bambu. Tipe bambu yang merumpun biasanya hidup pada daerah dataran rendah dan beriklim basah, temperatur hangat dan memiliki kemampuan beradaptasi yang rendah.

Di Indonesia tanaman bambu tumbuh pada berbagai tipe iklim mulai dari tipe curah hujan A, B, C, D sampai E (Schmidt-Fergusson) atau dari iklim basah sampai kering. Semakin basah tipe iklimnya, makin banyak jenis bambu yang dapat tumbuh dengan baik., hal ini mungkin berkaitan erat dengan banyaknya curah hujan. Seperti diketahui bambu termasuk tanaman yang banyak membutuhkan air. Curah hujan yang dibutuhkan untuk tanaman bambu minimum 1020 mm per tahun dengan kelembaban udara yang dikehendaki minimum 80 %. Sedangkan lingkungan yang sesuai untuk tanaman bambu adalah yang bersuhu sekitar 8,8 - 36ºC. (Berlian dan Rahayu, 1995)


(16)

Taksonomi dan Morfologi Bambu Manggong

Berdasarkan tata nama internasional tentang penamaan tumbuh-tumbuhan, klasifikasi bambu adalah :

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae

Klas : Monocotyledoneae Ordo : Graminales

Famili : Gramineae Sub famili : Bambusoideae Genus : Gigantochloa

Species : Gigantochloa manggong Widjaja

Nama daerah : Bambu manggong/ Pring manggong/ Tiying jahe

Jenis bambu ini mempunyai rumpun yang simpodial, rapat dan tegak. Rebungnya berwarna kuning sampai hijau dan tertutup bulu coklat. Buluhnya mempunyai warna hijau sampai hijau kekuningan ketika tua, mencapai tinggi 15 m dan berbentuk lurus. Widjaja (2001) menyatakan bahwa percabangan bambu ini terdapat jauh di permukaan tanah, satu cabangnya lebih besar daripada cabang lainnya. Ruasnya mempunyai panjang 30 - 33 cm dengan diameter 5 – 7 cm dan tebal dindingnya 10 mm.

Bambu manggong mempunyai pelepah buluh yang mudah gugur, ditutupi oleh bulu berwarna coklat. Kuping pelepah buluh berbentuk seperti bingkai, dengan tinggi 4 mm, gundul; ligula menggerigi, tinggi 5 mm, gundul. Sedangkan daun pelepah buluhnya tegak berbentuk segitiga dengan pangkal yang melebar. Daun bambu manggong berukuran 27 – 29 cm x 3 – 4 cm, gundul dengan kuping pelepah daun yang membulat, tingginya 1 mm, gundul; ligula menggerigi, tinggi 1 mm, gundul.


(17)

Sumber : Widjaja (2001)

Gambar 1. Pelepah buluh Gambar 2. Perawakan bambu manggong bambu manggong

Menurut Widjaja & Lester (1987), bambu manggong (Gigantochloa manggong Widjaja) dan bambu apus (Gigantochloa apus (J.A. & J.H. Schlutes) Kurz) merupakan kerabat dekat. Kemiripan morfologinya membuat banyak orang menganggap bambu apus sebagai bambu manggong. Untuk dapat membedakan kedua jenis bambu ini dapat dilihat dari rebungnya. Rebung bambu manggong berwarna kuning sampai hijau dan tertutup bulu coklat sedangkan rebung bambu apus berwarna hijau dan tertutup bulu coklat dan hitam (Tabel 1.).

Tabel 1. Karakteristik bambu manggong dan bambu apus

No Aspek kajian Bambu manggong Bambu apus

1 Nama daerah Bambu manggong, pring

manggong, tiying jahe

Bambu tali, pring tali, pring apus, awi tali

2 Penyebaran

Di Jawa hanya ditemukan di TN Meru Betiri, Tawa Timur dan telah ditanam di Kebun Raya Purwodadi, Lawang, Jawa Timur.

Ditanam di seluruh Jawa, tetapi tumbuh meliar di TN Alas Purwo dan TN Meru Betiri

3 Habitat

Tumbuh di daerah tropis yang kering dan di dataran rendah

Tumbuh di daerah tropis yang lembab dan juga di daerah yang kering


(18)

Tabel 1. (Lanjutan)

No Aspek kajian Bambu manggong Bambu apus

5 Rebung Berwarna kuning sampai hijau,

tertutup bulu coklat

Berwarna hijau, tertutup bulu coklat dan hitam

6 Buluh Tingginya mencapai 15 m,

lurus

Tingginya mencapai 22 m, lurus

7 Pelepah buluh Mudah gugur, tertutup bulu

coklat

Tidak mudah gugur, tertutup bulu hitam atau coklat

8 Kegunaan

Bahan bangunan (dinding, tiang penyangga, langit-langit rumah, atap rumah, rangka), bahan baku sumpit, tusuk gigi, tusuk sate dan bahan baku industri kertas

Bahan bangunan (dinding, lantai, langit-langit dan atap), keranjang tradisional, kerajinan tangan, bahan baku industri papan serat bambu Sumber : Widjaja (2001)

Sumber : Widjaja (2001)

Gambar 3. Pelepah daun, buluh dan rebung Bambu Manggong

Penyebaran dan Kegunaan Bambu manggong

Bambu manggong diketahui hanya terdapat di kawasan hutan daerah Banyuwangi, Jawa Timur. Menurut laporan Sutiyono (1988), bambu manggong


(19)

tumbuh dan dijumpai mulai dari ketinggian 600 m dpl sampai lebih dari 1000 m dpl. Widjaja (2001) mengemukakan bahwa bambu manggong merupakan jenis asli yang tumbuh di Jawa, tumbuh di daerah kering dan dataran rendah. Di Jawa bambu ini hanya ditemukan di Taman Nasional Meru Betiri dan telah ditanam di Kebun Raya Purwodadi, Lawang, Jawa Timur. Mogea et.al (2001) menyatakan bahwa bambu manggong termasuk ke dalam daftar dua ratus jenis tumbuhan langka.

Beberapa tahun yang lalu, bambu manggong termasuk salah satu jenis yang dieksploitasi untuk bahan baku Pabrik Kertas Basuki Rachmat di Banyuwangi. Masyarakat setempat menggunakan bambu manggong sebagai bahan bangunan, furniture dan oleh perusahaan bambu digunakan sebagai bahan baku sumpit, tusuk gigi dan tusuk sate.

Kriteria dan Kategori Tumbuhan Langka

Menurut Mogea et.al (2001), tumbuhan langka adalah tumbuhan yang keberadaan takson atau populasinya diperkirakan mengalami tekanan. Tekanan terhadap tumbuhan dapat bersifat langsung maupun tidak langsung sehingga dapat mengancam keberadaan dan kehidupan tumbuhan di muka bumi. Lebih lanjut Mogea et.al (2001) menjelaskan bahwa besarnya tekanan terhadap setiap takson berbeda bergantung pada sifat biologi tumbuhan dan keadaan lingkungannya. Dengan demikian, tingkat atau status kelangkaan setiap takson tumbuhan dapat berlainan pula. Sehingga untuk mempermudah penentuan status kelangkaan maka digunakan pengelompokkan dalam kategori berikut ini :

1. Punah (Extinct = EX)

Kategori ini diterapkan pada takson yang telah dipastikan tidak akan dapat ditemukan lagi karena individu yang terakhir diketahui telah mati.

2. Punah in-situ (Extinct in the wild = EW)

Kategori ini diterapkan pada takson yang diketahui hanya hidup dan dipelihara dengan baik di dalam kebun dan di kawasan konservasi lainnya. Takson ini kemudian tumbuh secara alami, namun tidak ditemukan lagi di habitat aslinya.

3. Kritis (Critically Endangered = CR)

Kategori ini diterapkan pada takson yang keberadaan populasinya menghadapi resiko kepunahan sangat tinggi di alam dalam waktu yang sangat dekat jika tidak ada


(20)

usaha penyelamatan yang berarti untuk melindungi populasinya dan segera dimasukkan dalam kategori EW.

4. Genting (Endangered = EN)

Kategori ini diterapkan pada takson yang tidak termasuk dalam CR namun mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dan dimasukkan ke dalam kategori EW jika dalam waktu dekat tindakan perlindungan yang cukup berarti terhadap populasinya tidak dilakukan.

5. Rawan (Vulnerable = VU)

Kategori ini diterapkan pada takson yang tidak termasuk dalam kategori CR atau EN namun mengalami resiko kepunahan yang tinggi di alam dalam waktu dekat sehingga dapat digolongkan dalam EW.

6. Terkikis (Lower Risk = LR)

Kategori ini diterapkan pada takson yang tidak termasuk dalam EX, EW, CR, EN atau VU. Kategori LR ini terbagi atas tiga subkategori sebagai berikut :

1. Usaha konservasi (Conservation dependent = cd). Subkategori ini diterapkan pada takson yang menjadi pusat perhatian dalam program perlindungan kelangsungan hidup suatu habitat atau takson, dalam usaha mengamankan dan memperbaiki populasinya. Namun jika program perlindungan ini terhenti, maka dalam waktu lima tahun takson yang berada dalam kategori ini akan dimasukkan ke dalam salah satu kategori terancam di atas.

2. Nyaris terancam (Near Threatened = nt). Subkategori ini diterapkan pada takson yang tidak termasuk dalam cd, namun mendekati kategori VU.

3. Tidak terperhatikan (Least Concern = lc). Subkategori ini diterapkan pada takson yang tidak termasuk dalam cd atau nt.

7. Data belum lengkap (Data Deficient = DD)

Kategori ini diterapkan pada takson yang kondisi biologinya mungkin telah diketahui namun data persebaran dan populasinya belum lengkap sehingga analisis status kelangkaannya kurang memadai. Oleh karena itu disarankan agar menggunakan data yang tersedia sehingga memberikan peluang positif untuk kelangsungan hidup suatu takson. Cukup sulit untuk menentukan suatu takson termasuk DD atau kategori lainnya, namun jika populasi takson diketahui relatif terbatas dalam jangka waktu tertentu setelah satu populasi kecil ditemukan, maka status takson tersebut dinilai sebagai salah satu kategori tumbuhan langka. Kategori ini berbeda dengan LR, karena


(21)

takson yang didaftar dalam kategori DD ini jika dikemudian hari data persebaran populasinya diperoleh, maka selanjutnya takson tersebut dapat dimasukkan dalam salah satu kategori tumbuhan langka sesuai dengan keberadaan takson tersebut.

8. Belum dievaluasi (Not Evaluated = NE)

Kategori ini diterapkan pada takson yang belum dievaluasi dengan menggunakan batasan criteria untuk kategori Kritis, Genting dan Rawan menurut IUCN Red List Categories 30 November 1994 sehingga belum bisa dimasukkan ke dalam kriteria-kriteria tersebut.

Kriteria Untuk Kategori Kritis, Genting dan Rawan

Kritis (Critically Endangered = CR)

Kategori ini diterapkan pada takson yang keberadaan populasinya menghadapi resiko kepunahan sangat tinggi di alam dalam waktu yang sangat dekat jika tidak ada usaha penyelamatan yang berarti untuk melindungi populasinya dan segera dimasukkan dalam kategori EW. Dalam keadaan demikian suatu takson termasuk dalam kategori CR menurut salah satu kriteria seperti dijelaskan dibawah ini :

A. Populasinya berkurang sebagai akibat salah satu keadaan berikut :

1. Dari hasil pengamatan, diduga, disimpulkan atau dicurigai telah terjadi penurunan paling sedikit 80% selama 10 tahun terakhir atau tiga generasi, atau satu waktu di antara keduanya yang lebih lama berdasarkan salah satu hal berikut :

(a)observasi langsung,

(b)indeks kepadatan yang tepat bagi suatu takson,

(c)penurunan wilayah yang ditempati, luas wilayah keberadaan, dan kualitas habitat,

(d)tingkat eksploitasi (aktual) saat ini dan kemungkinan eksploitasi (di masa depan),

(e)pengaruh takson introduksi, persilangan, pathogen, polutan, kompetitor dan parasit.

2. Terjadi penurunan populasi paling sedikit 80% dalam 10 tahun terakhir atau pada periode tiga generasi atau satu waktu di antara keduanya yang lebih lama berdasarkan kriteria A.1 : (b), (c), (d), atau (e) diatas.


(22)

B. Luas wilayah keberadaan populasi atau taksonnya diperkirakan kurang dari 100 km² atau wilayah yang dapat ditempati diperkirakan kurang dari 10 km², atau keadaan populasinya diperkirakan memenuhi dua situasi berikut :

1. Mengalami fragmentasi berat (sangat serius) atau diketahui hanya berada pada satu lokasi

2. berdasarkan pengamatan atau prediksi, diduga populasi takson yang dimaksud berkurang secara terus menerus dalam hal-hal berikut :

(a) luas wilayah keberadaan, (b) wilayah yang ditempati,

(c) luas, wilayah keberadaan dan/atau kualitas habitat, (d) jumlah populasi dan subpopulasi,

(e) jumlah individu dewasa.

3. Terjadi fluktuasi yang ekstrim dalam beberapa hal berikut : (a) luas wilayah keberadaan,

(b) wilayah yang ditempati,

(c) jumlah populasi dan subpopulasi, (d) jumlah individu dewasa.

C. Populasi diperkirakan berjumlah kurang dari 250 individu dewasa dan mengalami hal berikut :

1. Diperkirakan pengurangan populasi terus berlanjut paling sedikit 25% dalam waktu tiga tahun atau dalam satu generasi atau satu waktu di antara keduanya yang lebih lama, atau

2. Berdasarkan pengamatan atau prediksi diduga terjadi pengurangan berlanjut pada jumlah individu dewasa dan struktur populasi dalam salah satu bentuk berikut :

(a) mengalami fragmentasi berat (misalnya : tidak ada subpopulasi yang diperkirakan memiliki lebih dari 50 individu dewasa),

(b) semua individu hanya ada dalam satu subpopulasi. D. Jumlah populasi diperkirakan kurang dari 50 individu dewasa

E. Analisis kuantitatif menunjukkan bahwa kemungkinan punah di alam paling sedikit 50% dalam 10 tahun atau tiga generasi, satu waktu diantara keduanya yang lebih lama.


(23)

Genting (Endangered = EN)

Kategori ini diterapkan pada takson yang tidak termasuk dalam CR namun mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dan dimasukkan ke dalam kategori EW jika dalam waktu dekat tindakan perlindungan yang cukup berarti terhadap populasinya tidak dilakukan. Dalam keadaan demikian suatu takson termasuk dalam kategori EN menurut salah satu kriteria seperti dijelaskan dibawah ini :

A. Populasinya berkurang sebagai akibat salah satu keadaan berikut :

1. Dari hasil pengamatan, diduga, disimpulkan atau dicurigai telah terjadi penurunan paling sedikit 50% selama 10 tahun terakhir atau tiga generasi, atau satu waktu di antara keduanya yang lebih lama berdasarkan salah satu hal berikut :

(a) observasi langsung,

(b) indeks kepadatan yang tepat bagi takson,

(c) penurunan wilayah yang ditempati, luas wilayah keberadaan, dan kualitas habitat,

(d) tingkat eksploitasi (aktual) saat ini dan kemungkinan eksploitasi (di masa depan),

(e) pengaruh takson introduksi, persilangan, pathogen, polutan, kompetitor dan parasit.

2. Terjadi penurunan populasi paling sedikit 50% dalam 10 tahun terakhir atau pada periode tiga generasi atau satu waktu di antara keduanya yang lebih lama berdasarkan kriteria A.1 : (b), (c), (d), atau (e) diatas.

B. Luas wilayah keberadaan populasi atau taksonnya diperkirakan kurang dari 5000 km² atau wilayah yang dapat ditempati diperkirakan kurang dari 500 km², atau keadaan populasinya diperkirakan memenuhi dua situasi berikut :

1. Mengalami fragmentasi berat (sangat serius) atau diketahui hanya berada pada satu lokasi

2. berdasarkan pengamatan atau prediksi, diduga populasi takson yang dimaksud berkurang secara terus menerus dalam hal-hal berikut :

(a) luas wilayah keberadaan, (b) wilayah yang ditempati,


(24)

(d) jumlah populasi dan subpopulasi, (e) jumlah individu dewasa.

3. Terjadi fluktuasi yang ekstrim dalam beberapa hal berikut : (a) luas wilayah keberadaan,

(b) wilayah yang ditempati,

(c) jumlah populasi dan subpopulasi, (d) jumlah individu dewasa.

C. Populasi diperkirakan berjumlah kurang dari 2500 individu dewasa dan mengalami hal berikut :

1. Diperkirakan pengurangan populasi terus berlanjut paling sedikit 20% dalam waktu lima tahun atau dalam dua generasi atau satu waktu di antara keduanya yang lebih lama, atau

2. Berdasarkan pengamatan atau prediksi diduga terjadi pengurangan berlanjut pada jumlah individu dewasa dan struktur populasi dalam salah satu bentuk berikut :

(a) mengalami fragmentasi berat (misalnya : tidak ada subpopulasi yang diperkirakan memiliki lebih dari 250 individu dewasa),

(b)semua individu hanya ada dalam satu subpopulasi. D.. Jumlah populasi diperkirakan kurang dari 250 individu dewasa

E. Analisis kuantitatif menunjukkan bahwa kemungkinan punah di alam paling sedikit 20% dalam 20 tahun atau lima generasi, satu waktu diantara keduanya yang lebih lama.

Rawan (Vulnerable = VU)

Kategori ini diterapkan pada takson yang tidak termasuk dalam kategori CR atau EN namun mengalami resiko kepunahan yang tinggi di alam dalam waktu dekat sehingga dapat digolongkan dalam EW. Dalam keadaan demikian suatu takson termasuk dalam kategori EN menurut salah satu kriteria seperti dijelaskan dibawah ini :

A. Populasinya berkurang sebagai akibat salah satu keadaan berikut :

1. Dari hasil pengamatan, diduga, disimpulkan atau dicurigai telah terjadi penurunan paling sedikit 20% selama 10 tahun terakhir atau tiga generasi, atau satu waktu di antara keduanya yang lebih lama berdasarkan salah satu hal berikut :


(25)

(a) observasi langsung,

(b) indeks kepadatan yang tepat bagi takson,

(c) penurunan wilayah yang ditempati, luas wilayah keberadaan, dan/atau kualitas habitat,

(d) tingkat eksploitasi (aktual) saat ini dan kemungkinan eksploitasi (di masa depan),

(e) pengaruh takson introduksi, persilangan, pathogen, polutan, kompetitor dan parasit.

2. Terjadi penurunan populasi paling sedikit 20% dalam 10 tahun terakhir atau pada periode tiga generasi atau satu waktu di antara keduanya yang lebih lama berdasarkan kriteria A.1 : (b), (c), (d), atau (e) diatas.

B. Luas wilayah keberadaan populasi atau taksonnya diperkirakan kurang dari 20.000 km² atau wilayah yang dapat ditempati diperkirakan kurang dari 2000 km², atau keadaan populasinya diperkirakan memenuhi dua situasi berikut :

1. Mengalami fragmentasi berat (sangat serius) atau diketahui hanya berada pada satu lokasi

2. berdasarkan pengamatan atau prediksi, diduga populasi takson yang dimaksud berkurang secara terus menerus dalam hal-hal berikut :

(a) luas wilayah keberadaan, (b) wilayah yang ditempati,

(c) luas, wilayah keberadaan dan/atau kualitas habitat, (d) jumlah populasi dan subpopulasi,

(e) jumlah individu dewasa.

3. Terjadi fluktuasi yang ekstrim dalam beberapa hal berikut : (a) luas wilayah keberadaan,

(b) wilayah yang ditempati,

(c) jumlah populasi dan subpopulasi, (d) jumlah individu dewasa.

C. Populasi diperkirakan berjumlah kurang dari 10.000 individu dewasa dan mengalami hal berikut :

1. Diperkirakan pengurangan populasi terus berlanjut paling sedikit 10% dalam waktu 10 tahun atau dalam tiga generasi atau satu waktu di antara keduanya yang lebih lama, atau


(26)

2. Berdasarkan pengamatan atau prediksi diduga terjadi pengurangan berlanjut pada jumlah individu dewasa dan struktur populasi dalam salah satu bentuk berikut :

(a) mengalami fragmentasi berat (misalnya : tidak ada subpopulasi yang diperkirakan memiliki lebih dari 1000 individu dewasa),

(b) semua individu hanya ada dalam satu subpopulasi.

D.. Jumlah populasi diperkirakan jumlahnya sangat kecil, terbatas atau keadaannya sebagai berikut :

1. Jumlah populasi diperkirakan kurang dari 1000 individu dewasa

2. Populasi dicirikan oleh terbatasnya wilayah yang ditempati (yaitu kurang dari 100 km²) atau jumlah lokasinya kurang dari lima. Takson ini cenderung dipengaruhi oleh ulah manusia (atau peristiwa stokastik yang dampaknya diperburuk lagi oleh kegiatan manusia) dalam waktu singkat, dan kemudian bisa dimasukkan ke dalam kategori CR atau bahkan EX.

E. Analisis kuantitatif menunjukkan bahwa kemungkinan punah di alam paling sedikit 10% dalam 100 tahun.


(27)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Sejarah Kawasan

Kawasan hutan Meru Betiri pada awalnya berstatus hutan lindung yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda, yaitu Besluit van den Directur van Landbouw Neverheid en Hendel Nomor 7347/B tanggal 29 Juli 1931 serta Beslutit Directur van Economiche Zaken Nomor 5751 tanggal 28 April 1938. Selanjutnya pada tahun 1967 kawasan ini ditunjuk menjadi calon suaka alam, dan pada tanggal 6 Juni 1972 kawasan hutan lindung ini ditetapkan sebagai kawasan suaka margasatwa seluas 50.000 ha berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 276/Kpts/Um/6/1972 dengan tujuan utama perlindungan terhadap jenis satwa harimau jawa (Panthera tigris sondaica).

Pada tahun 1982 kawasan Suaka Margasatwa Meru Betiri diperluas menjadi 58.000 ha dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 529/Kpts/Um/1982 tanggal 21 Juli 1982 dengan memasukkan bekas areal Perkebunan Sukamade dan Bandealit seluas 2.155 ha dan kawasan hutan lindung sebelah utara serta perairan laut sepanjang pantai selatan seluas 845 ha.

Selanjutnya dengan Surat Pernyataan Menteri Pertanian Nomor 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982, Suaka Margasatwa Meru Betiri dinyatakan sebagai kawasan calon taman nasional, dan pernyataan ini dikeluarkan bersamaan dengan diselenggarakannya Kongres Taman Nasional Sedunia III di Denpasar Bali. Setelah mengalami perubahan status kawasan, maka pada tanggal 31 Maret 1997 kawasan meru betiri ditunjuk sebagai Taman Nasional berdasarkan SK Menhut No. 277/Kpts-VI/Um/1997 dan pengelolaannya di bawah Balai Taman Nasional Meru Betiri.

Letak dan Luas

Kawasan Taman Nasional Meru Betiri secara geografis terletak antara 113º38'48'' - 113º58'30'' BT dan 8º20'48'' - 8º33'48'' LS. Luas keseluruhan Taman Nasional Meru Betiri adalah 58.000 ha, yang terdiri daratan seluas 57.155 ha dan lautan seluas 845 ha. Berdasarkan letak administratif pemerintahan, Taman Nasional


(28)

Meru Betiri terletak di dua wilayah Kabupaten di Provinsi Jawa Timur yaitu bagian barat termasuk Kabupaten Jember dengan luas 37.585 ha dan bagian timur termasuk Kabupaten Banyuwangi dengan luas 20.415 ha. Adapun batas-batas administratifnya adalah :

Sebelah utara : PT. Perkebunan Treblasala dan PT. Perhutani RPH Malangsari dan Curahtakir

Sebelah timur : Desa Sarongan, Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi dan PTPN XII Sumberjambe

Sebelah selatan : Samudera Indonesia

Sebelah barat : Desa Curahnongko, Desa Andongrejo, Desa Sanenrejo

Kec Tempurejo, Kab. Jember, PTPN XII Kalisanen, PTPN XII Kota Blater, dan PT Perhutani RPH Sabrang Terate.

Desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNMB telah ditetapkan sebagai daerah penyangga, diantaranya adalah Desa Sarongan yang masuk Seksi Konservasi Wilayah I Sarongan. Daerah penyangga yang lain adalah Desa Curahnongko, Desa Andongrejo, Desa Sanenrejo, dan Desa Wonoasri yang masuk dalam Seksi Konservasi Wilayah II Ambulu.

Topografi

Sebagian besar kawasan Taman Nasional Meru Betiri mempunyai topografi yang bergunung-gunung. Semakin ke selatan topografinya semakin bergelombang dan berlereng sangat curam. Puncak gunung tertinggi adalah Gn. Betiri yaitu 1.223 m dpl. Gunung yang terdapat di bagian utara adalah Gn. Mandilis (843 m dpl), dan Gn. Betiri (1.223 m dpl), di bagian barat terdapat Gn. Rika (542 m dpl) dan Gn. Guci (400 m dpl), sedangkan di bagian timur dan selatan terdapat Gn. Meru (343 m dpl), Gn. Gendong (843 m dpl), Gn. Sumbadadung (520 m dpl), Gn. Bandealit (563 m dpl), Gn. Permisan (587 m dpl), Gn. Sukamade (363 m dpl), Gn. Benteng (222 m dpl) dan Gn. Rajekwesi (181 m dpl).

Adapun daerah-daerah yang bertopografi datar pada umumnya merupakan kawasan pemukiman penduduk dan perkebunan yang telah lama beroperasi sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan taman nasional seperti daerah sekitar Sumbersari, Sumberlangsep, Sumbersuko, Bandealit, Sukamade dan Rajegwesi.


(29)

Geologi dan Tanah

Secara umum keadaan tanah di Taman Nasional Meru Betiri merupakan asosiasi dari jenis alluvial, regosol coklat dan sebagian besar merupakan komplek latosol. Keadaan tanah ini sangat erat hubungannya dengan proses geologis dari daerah yang bersangkutan. Tanah ini mempunyai bahan induk yang berasal dari batuan alluvial vulkanik. Tanah alluvial umumnya terdapat di daerah lembah dan tempat-tempat rendah sampai daerah pantai, sedangkan regosol dan latosol pada umumnya terdapat di lereng dan punggung gunung.

Iklim

Kawasan Taman Nasional Meru Betiri merupakan daerah yang dipenuhi oleh angin musim. Pada bulan November sampai Maret bertiup angin barat laut yang menyebabkan hujan, sedangkan musim kemarau terjadi pada akhir bulan April sampai Oktober. Pada bulan Juni sampai Agustus curah hujan cukup besar. Curah hujan bervariasi antara 2.300 – 4.000 mm/tahun. Jumlah hujan rata-rata dari timur sampai barat semakin rendah, kawasan yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Banyuwangi lebih besar dibandingkan dengan yang berada di Kabupaten Jember. Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, kawasan taman nasional bagian utara dan timur (Sukamade-Malangsari) mempunyai tipe iklim B, sedangkan bagian selatan dan barat mempunyai tipe iklim C

Hidrologi

Aliran sungai di kawasan ini terdapat cukup banyak dan hampir tersebar diseluruh bagian, hal ini disebabkan oleh kondisi topografi yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung. Daerah aliran sungai yang utama diantara punggung-punggung gunung adalah sungai Bandealit, sungai Meru dan sungai Sukamade, sedangkan di bagian timur daerah aliran sungai terdapat pantai berpasir yang cukup luas, disamping itu terdapat pula pantai yang lebih sempit seperti Sekar Pisang, Teluk Permisan, dan Nanggelan. Daerah aliran sungai yang datar sebagian besar sudah menjadi kawasan-kawasan perkebunan terutama untuk tanaman kopi, karet dan coklat.


(30)

Flora dan Fauna

Flora

Kawasan TNMB merupakan perwakilan hutan hujan tropis di pulau Jawa dimana vegetasinya tidak pernah menggugurkan daun sehingga kondisinya sangat bervariasi. Taman Nasional Meru Betiri juga memiliki 4 (empat) dari sebelas tipe formasi hutan yang ada di pulau Jawa, yaitu hutan pantai, hutan payau, hutan rawa dan hutan hujan tropika (Tabel 2.).

Tabel 2. Keanekaragaman spesies tumbuhan di Taman Nasional Meru Betiri berdasarkan formasi hutannya

No. Formasi Hutan Jenis yang Dominan

1. Formasi pantai

Ubi pantai (Ipomoea pes-caprae), rumput lari (Spinifex squarosus), keben (Barringtonia asiatica), nyamplung (Calophyllum inophyllum), waru (Hibiscus tilaeus), ketapang (Terminalia catappa), pandan pantai (Pandanus tectorius).

2. Formasi payau Bakau (Rhizophora sp.), api-api (Avicennia sp.), tancang (Bruguiera sp.), nipah (Nypa fruticans)

3. Formasi rawa

Sawo kecik (Manilkara kauki), pulai (Alstonia angustilusa), ingas (Gluta renghas), kepuh

(Sterculia foetida), glagah (Saccharum spontanum), rumput gajah (Panisitum curvurium)

4. Formasi hutan hujan tropika

Walangan (Pterospermum diversifolium), winong (Tertameles nudiflora), gondang (Ficus variegata), budengan (Diospyros cauliflora), pacal kidang (Aglaia variegata), rau (Dracontomelon mangiferum), glintungan (Bischoffia javanica), ledoyo (Dysoxylum amoroides), randu agung (Gossampinus heptaphylla), Nyampuh (Litsea sp.), rotan warak (Plectocomia elongata), bayur

(Pterospermum javanicum), bungur (Lagerstroemia speciosa), Langsep (Lansium domesticum), segawe (Adenanthera microspermum), aren (Arenga pinnata), bendo (Artocarpus heterophyllus), suren (Toona sureni), duren (Durio zibethinus)

Selain mempunyai formasi vegetasi yang lengkap Taman Nasional Meru Betiri juga memiliki beberapa jenis flora langka antara lain Patmosari (Rafflesia zollingeriana), Balanophora fungosa yaitu tumbuhan parasit yang hidup pada jenis pohon Ficus spp, serta beberapa jenis bambu endemik antara lain bambu manggong (Gigantochloa manggong Widjaja) dan bambu matmat (Dinochloa mat-mat).


(31)

Fauna

Taman Nasional Meru Betiri memiliki keanekaragaman fauna yang sangat tinggi yang dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok besar, diantaranya aves, mamalia, reptilia dan primata.

• Aves

Di TNMB terdapat ± 179 jenis aves dimana 63 jenis didalamnya termasuk jenis yang dilindungi, diantaranya adalah merak hijau (Pavo muticus), julang (Rhyticeros undulatus), enggang papan (Anthracoceros convixus) dan kangkareng yang penyebarannya merata di seluruh kawasan TNMB.

• Mamalia

Harimau jawa (Panthera tigris sondaica), banteng (Bos javanicus), trenggiling (Manis javanica), landak (Histrix brachyura) serta binturung (Arctictis binturong) merupakan sebagian dari mamalia yang ada di kawasan TNMB.

• Reptilia

Jenis reptil yang terdapat di kawasan TNMB yang dilindungi dan tidak dilindungi diantaranya : penyu, kura-kura, ular dan biawak. Penyu banyak dijumpai di pantai Sukamade, diantaranya adalah jenis penyu hijau (Chelonia mydas) yang merupakan penyu yang sering mendarat di pantai Sukamade. Adapun jenis lain yang mendarat di pantai Sukamade antara lain penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu slengkrah (Lepidochelys olivaceae) dan penyu belimbing (Dermochelys coriaceae). Sedangkan jenis ular yang dilindungi di kawasan TNMB adalah ular king kobra (Naja spulatrix) dan ular puspa kajang (Phyton reticulates).

• Primata

Primata yang terdapat di kawasan TNMB antara lain kera, lutung budeng, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).

Obyek Wisata

Taman Nasional Meru Betiri terletak di dua kabupaten yang juga memiliki dua pintu gerbang untuk memasuki kawasan taman nasional. Pintu gerbang di sebelah barat adalah Desa Andongrejo yang terletak di Kabupaten Jember dan pintu gerbang sebelah timur adalah Pantai Rajegwesi yang merupakan salah satu obyek wisata yang


(32)

terletak di Kabupaten Banyuwangi. Obyek wisata dalam kawasan TNMB yang terletak di Kabupaten Jember adalah TOGA, Pantai Bandealit, Teluk Meru, Goa jepang dan habitat Rafflesia. Sedangkan Obyek wisata dalam kawasan TNMB yang terletak di Kabupaten Banyuwangi adalah Pantai Sukamade, Teluk Damai, Teluk Hijau, pantai Rajegwesi, Teluk Permisan, dan habitat Rafflesia.


(33)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Sukamade Taman Nasional Meru Betiri, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, selama tiga bulan yaitu pada bulan Juni hingga Agustus 2005.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bambu manggong dan masyarakat yang tinggal di dusun Sukamade sebagai responden. Sedangkan alat yang digunakan adalah peta kawasan TNMB, kompas, kamera, tambang plastik, alat ukur tinggi, tali rafia, meteran, alkohol 70%, koran, sasak bambu, plastik, kertas label, tally sheet, alat tulis menulis, panduan wawancara dan komputer beserta perlengkapannya.

Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian adalah sebagai berikut :

1. Studi Pustaka

Dalam melakukan pengumpulan data, tahap yang pertama dilakukan adalah melakukan studi pustaka. Studi pustaka yang dilakukan merupakan langkah awal dalam melakukan penelitian. Dari studi pustaka ini diketahui kondisi umum lokasi penelitian dan semua informasi yang berhubungan dan dibutuhkan dalam penelitian. Kegiatan studi pustaka ini dilakukan dengan cara mencari semua informasi yang dibutuhkan, baik itu melalui buku-buku, buletin, dokumen, skripsi atau laporan yang relevan, internet, dan data-data yang telah ada.

Data-data yang diperoleh melalui studi pustaka meliputi :

a. Keadaan umum lokasi penelitian yang meliputi kondisi fisik, biologi dan sosial ekonomi budaya masyarakat setempat.


(34)

2. Pengamatan dan pengukuran secara langsung di lapangan

Adapun kegiatan yang dilakukan adalah melakukan kegiatan pengumpulan data-data secara langsung di lokasi penelitian. Di lokasi penelitian tersebut, telah diamati, diukur dan diteliti semua kejadian yang terjadi di lokasi penelitian tersebut. Dari pengamatan di lokasi penelitian ini diketahui potensi dan penyebaran bambu manggong dimana nantinya dari data-data yang diperoleh digunakan untuk membuat suatu perencanaan pengembangan pelestarian dan pemanfaatan bambu manggong yang baik. Tahapan kegiatan dalam pengamatan dan pengukuran di lapangan yaitu :

a. Pengukuran Luas Hutan Bambu

Pengukuran luas hutan bambu merupakan kegiatan survey pendahuluan sebelum kegiatan pengukuran dan pengamatan. Berdasarkan informasi dari petugas TNMB serta literatur, bambu manggong tumbuh secara mengelompok di berbagai tempat di Sukamade antara lain Sumbersari, Tegalwatu, camping ground serta di belakang mes VIP Pantai Sukamade. Untuk mengetahui luas hutan bambu serta mengetahui kondisi lokasi pengambilan data maka dilakukan pengukuran luas hutan bambu. Selain itu kegiatan ini juga merupakan kegiatan untuk membatasi lokasi pengambilan data bambu. Untuk mengetahui luasnya adalah dengan mengukur langsung luas areal yang ditumbuhi dengan asumsi luas areal berbentuk lingkaran (Tabel 3.).

Tabel 3. Luas hutan bambu manggong di Sukamade

No Lokasi Luas hasil pengukuran (Ha)

1 Camping ground Pantai Sukamade 2,236

2 Belakang mes VIP Pantai Sukamade 1,591

3 Sumbersari 605,81

4 Tegalwatu 87,75

Luas total 697,387

Sumber : Data Primer (2005)

b. Penentuan Intensitas sampling

Intensitas sampling yang digunakan dalam pengumpulan data potensi dan penyebaran bambu manggong ini sebesar 1 %.


(35)

c. Penentuan jumlah petak pengamatan

Jumlah petak pengamatan yang digunakan untuk pengambilan data ditentukan melalui persamaan sebagai berikut :

n = IS x N Keterangan :

n = Jumlah petak pengamatan IS = Intensitas sampling

N = Jumlah total petak pengamatan

Sedangkan jumlah total petak pengamatan yang digunakan ditentukan melalui persamaan berikut ini :

A N = --- a Keterangan :

N = Jumlah total petak pengamatan A = Luas total areal pengamatan a = Luas petak pengamatan d. Peletakan petak pengamatan

Petak-petak pengamatan yang dibuat untuk pengambilan data diletakkan dengan posisi sejajar satu dengan lainnya yang mewakili semua lokasi pengamatan. Dalam pelaksanaannya di lapangan, digunakan petak berbentuk persegi berjumlah 174 buah dengan ukuran 20 x 20 m (Tabel 4.) Tabel 4. Jumlah petak pengamatan berdasarkan luas hutan bambu manggong

No Lokasi Banyaknya petak

1 Camping ground Pantai Sukamade 1

2 Belakang mes VIP Pantai Sukamade 1

3 Sumbersari 151

4 Tegalwatu 21

Jumlah petak pengamatan 174


(36)

e. Pengambilan data

Data yang diambil di lapangan berupa data mengenai letak dan luas areal hutan bambu manggong, kondisi bambu manggong, kondisi habitat bambu manggong, dan pendugaan nilai ekonomi bambu manggong (Lampiran 1.) 3. Wawancara

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan suatu cara untuk mendapatkan data mengenai kondisi bambu manggong. Wawancara dilakukan kepada masyarakat setempat, tokoh masyarakat, pihak pengelola dan pengusaha di bidang industri bambu. Kegiatan ini dilakukan secara langsung dimana wawancara merupakan wawancara yang terpadu. Wawancara ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar pengetahuan dan pemahaman tokoh masyarakat dan masyarakat tentang bambu manggong. Selain itu, dari wawancara ini akan diketahui seberapa besar pemanfaatan bambu ini oleh masyarakat dan pengusaha di bidang industri bambu.

4. Pembuatan herbarium

Herbarium merupakan koleksi spesimen tumbuhan yang terdiri dari bagian-bagian tumbuhan. Herbarium dibuat dengan cara kering. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pembuatan herbarium adalah :

a. Mengambil contoh bagian tumbuhan yang akan dijadikan herbarium, seperti ranting lengkap dengan daunnya, bunga serta buahnya juga diambil jika ada. b. Merapikan contoh bagian tumbuhan yang telah diambil dengan

menggunakan gunting

c. Memasukkan contoh bagian tumbuhan yang telah dirapikan ke dalam kertas koran .

d. Selanjutnya beberapa contoh bagian tumbuhan yang akan dijadikan herbarium disusun lalu dimasukkan ke dalam plastik untuk disemprot dengan alkohol 70 %. Kemudian bagian tumbuhan tersebut disusun diatas sasak yang terbuat dari bambu untuk selanjutnya dijemur dibawah sinar matahari.

e. Herbarium yang sudah dijemur kemudian dioven dengan suhu 40º C selama 24 jam untuk menyempurnakan proses pengeringan dan lebih tahan lama.


(37)

Pengolahan Data

Produktivitas rumpun bambu

Erizal (1997) menyatakan bahwa produktivitas rumpun bambu dihitung berdasarkan dua hal yaitu : jumlah rebung yang dihasilkan setiap tahun dan jumlah batang serta LBDS total batang yang ada pada masing-masing rumpun.

LBDS (Luas Bidang Dasar) dapat didekati melalui diameter pangkal batang dan jumlah batang. Variabel lainnya seperti tebal batang dan tinggi batang tidak digunakan karena belum ada ketentuan mengenai batas pengukuran tinggi batang bambu yang dapat dipakai untuk memperkirakan produktivitas. Selain itu juga belum ada rumus yang dapat dipakai untuk menentukan volume bambu sehingga untuk menentukan produktivitas dapat didekati melalui LBDS saja. Besarnya nilai LDBS ditentukan melalui persamaan berikut :

LBDS = ¼ x 3,14 x D²

LBDS total batang = ((0,25 x 3,14 x D²) x J1) + ((0,25 x 3,14 x D²) x J2) LBDS rata-rata = LBDS total / jumlah batang

Keterangan :

D = Diameter pangkal batang pada ruas ke-3 (± 100 cm dari permukaan tanah) J1, J2 = Jumlah batang tua dan muda dalam satu rumpun

Kerapatan rumpun bambu

Menurut Erizal (1997), penentuan kerapatan rumpun bambu dilakukan melalui dua pendekatan yaitu banyaknya batang per satuan luas dan indeks kerapatan rumpun. Besarnya nilai kerapatan rumpun bambu ditentukan melalui persamaan berikut :

a. Banyaknya batang per satuan luas = jumlah batang / luas tapak rumpun (m²)

b. Indeks kerapatan rumpun = LBDS total batang (m²) / LBDS rumpun LBDS total batang = ((0,25 x 3,14 x D²) x J1) + ((0,25 x 3,14 x D²) x J2) LBDS batang rata-rata = LBDS total batang / jumlah batang total LBDS rumpun = 0,25 x 3,14 x (D rumpun)²


(38)

Menurut Setiawan (1999), kondisi potensi hutan bambu didekati dengan persen permudaan dan persen pemanenan pada petak terukur. Besarnya persen permudaan dan pemanenan ditentukan melalui persamaan berikut :

a. % Permudaan = (∑ tunas + ∑ batang muda) / ∑ total batang dalam rumpun

b. % Pemanenan = ∑ tunggak / ∑ total batang dalam rumpun

Jumlah total batang = Jumlah total batang tua + jumlah total batang muda + jumlah tunas + jumlah tunggak yang

ada dalam rumpun

Analisa Data

Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif. Adapun analisa tersebut merupakan penguraian dan penjelasan mengenai perbandingan data. Data yang diperbandingkan tersebut berupa data yang berkaitan dengan karakteristik bambu manggong. Selain itu juga dibandingkan data sosial mengenai masyarakat sekitar yang berkaitan dengan areal hutan bambu tersebut guna mengetahui interaksi antara keduanya. Interaksi masyarakat dengan tanaman bambu ini dikaitkan dengan pengambilan bambu oleh masyarakat yang selanjutnya dikaitkan dengan kondisi sosek masyarakat.


(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kemampuan Produktivitas Rumpun Bambu Manggong

Untuk perhitungan mengenai kemampuan produksi batang atau buluh dapat dilakukan berdasarkan jumlah batang dan berdasarkan LBDS masing-masing jenis bambu. Erizal (1997) menyatakan bahwa produktivitas rumpun bambu dihitung berdasarkan dua hal yaitu : jumlah rebung yang dihasilkan setiap tahun dan jumlah batang serta LBDS total batang yang ada pada masing-masing rumpun.

LBDS (Luas Bidang Dasar) dapat didekati melalui diameter pangkal batang dan jumlah batang. Variabel lainnya seperti tebal batang dan tinggi batang tidak digunakan karena belum ada ketentuan mengenai batas pengukuran tinggi batang bambu yang dapat dipakai untuk memperkirakan produktivitas. Selain itu juga belum ada rumus yang dapat dipakai untuk menentukan volume bambu sehingga untuk menentukan produktivitas dapat didekati melalui LBDS saja.

Titik pengukuran diameter batang dilakukan pada bagian pangkal batang dengan ketinggian ± 50 – 100 cm atau pada ruas ke 2 – 3 yaitu pada kondisi bentuk batang sudah normal (Gambar 4.). Bentuk batang sudah normal adalah bentuk batang yang tidak lagi dipengaruhi oleh pangkal bonggol batang yang membengkok.

Nilai LBDS total batang pada masing-masing rumpun (Lampiran 8.) dalam petak pengamatan digunakan untuk mengetahui jumlah batang yang ada pada petak tersebut. LBDS total batang seluruh petak pengamatan di hutan bambu Sumbersari sebesar 45,2953 m², sedangkan nilai LBDS total batang pada hutan bambu Tegalwatu untuk seluruh petak pengamatan sebesar 0,6066 m². Untuk kedua lokasi lainnya yaitu hutan bambu yang terletak di Camping ground Pantai Sukamade dan belakang mes VIP Pantai Sukamade masing-masing memiliki LBDS total batang sebesar 0,6145 m² dan 0,6787 m². Dengan demikian LBDS total batang pada keempat lokasi sebesar 47,1951 m².

Hutan bambu Sumbersari memiliki LBDS total batang yang paling besar diantaranya ketiga lokasi lainnya, hal ini diduga disebabkan oleh banyaknya jumlah batang dan besarnya diameter batang dibanding ketiga lokasi lainnya. Untuk hutan bambu Tegalwatu mempunyai nilai LBDS total batang yang mendekati nilai LBDS di


(40)

Camping ground dan belakang mes VIP, hal ini diduga disebabkan oleh sedikitnya jumlah batang dan kecilnya diameter batang bambu. Besarnya nilai LBDS total batang ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu diameter batang dan jumlah batang pada masing-masing rumpun.

Jumlah batang yang banyak tidak selalu akan menghasilkan LBDS yang besar karena faktor penentu lainnya adalah diameter batang dari bambu itu sendiri. Nilai LBDS total batang untuk bambu manggong di Camping ground Pantai Sukamade mempunyai nilai yang hampir sama dengan bambu manggong di belakang mes VIP Pantai Sukamade.

Sutiyono (1992) menggambarkan bahwa tingkat kesuburan tanah berpengaruh terhadap ukuran batang, baik panjang ruas, diameter batang, tebal dinding namun tidak berpengaruh terhadap jumlah ruang. Pada tanah-tanah dengan tingkat kesuburan lebih tinggi akan dihasilkan ukuran batang yang lebih besar dibanding tanah-tanah dengan tingkat kesuburan lebih rendah.

Gambar 4. Batang bambu yang digunakan untuk menghitung LBDS

Perhitungan produktivitas rumpun dalam penelitian ini tidak hanya untuk jenis bambu manggong saja, melainkan untuk semua jenis bambu yang ditemukan dalam petak pengamatan, hal ini dikarenakan bahwa pada tempat tumbuh bambu manggong seperti Sumbersari ditemukan juga jenis bambu lain seperti bambu petung meskipun dalam jumlah yang sedikit dengan pola penyebaran acak dan terpencar. Data hasil


(41)

perhitungan LBDS total batang (Lampiran 2.) belumlah dapat menggambarkan produktivitas rumpun bambu sesungguhnya tetapi data ini sekiranya cukup untuk menggambarkan potensi/produksi bambu manggong.

Dengan mengetahui LBDS total batang maka dapat diketahui jumlah total batang pada seluruh petak pengamatan. Kawasan hutan bambu Sumbersari menjadi lokasi yang paling banyak ditumbuhi bambu manggong, sebanyak 14930 batang bambu ditemukan pada 151 petak pada saat pengamatan di lapangan. Hutan bambu Tegalwatu yang merupakan lokasi terdekat dengan pemukiman penduduk mempunyai batang bambu berjumlah 678. Lokasi lainnya yaitu Camping ground Pantai Sukamade dan belakang mes VIP Pantai Sukamade diperkirakan terdapat batang bambu berjumlah 209 dan 200. Besarnya jumlah batang bambu di hutan bambu Sumbersari dan Tegalwatu mengakibatkan kedua lokasi ini menjadi lokasi utama pengambilan bambu oleh masyarakat.

Besarnya jumlah batang bambu yang dapat dipanen setiap tahunnya juga dapat diketahui melalui jumlah total batang pada seluruh petak pengamatan. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan maka jumlah batang bambu yang dapat dipanen setiap tahunnya yaitu sebesar 533.900 batang. Besarnya jumlah batang yang dapat dipanen per tahun merupakan hasil pembagian jumlah batang tua dan batang muda dibagi 3. Perhitungan ini diasumsikan bahwa batang tua yang ada dalam rumpun merupakan batang tua yang siap panen pada tahun ini, sedangkan batang muda yang ada dalam rumpun merupakan batang muda yang berumur 1 dan 2 tahun sehingga dapat dipanen 1 dan 2 tahun kedepan.

Produktivitas batang bambu manggong juga dapat diketahui melalui nilai kerapatannya yang umumnya dinyatakan dalam banyaknya batang per hektar. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh banyaknya batang dalam satu rumpun berjumlah 32,8217 batang/rumpun. Sedangkan banyaknya batang per hektar adalah sebesar 2301,2931 batang/ha dan banyaknya rumpun per hektar sebesar 70,1149 rumpun/ha.

Data mengenai jumlah total batang bambu dapat digunakan untuk menduga nilai ekonomi bambu di Sukamade. Nilai ekonomi bambu manggong di Sukamade diperkirakan sebesar Rp.266.950.000,- untuk bambu yang digunakan oleh masyarakat dan Rp. 682.826.046,- untuk bambu yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan pulp dan kertas. Perbedaan nilai ekonomi bambu manggong ini disebabkan oleh


(42)

tujuan penggunaannya dan harga dasar yang digunakan. Masyarakat Sukamade umumnya menggunakan bambu berukuran 5 – 7 m untuk berbagai keperluan dengan harga Rp. 500,- per batang. Sedangkan untuk pembuatan pulp dan kertas diasumsikan menggunakan bambu manggong seluruh batang dari pangkal batang hingga pucuk. Berdasarkan pemikiran tersebut maka diasumsikan bahwa terjadi penambahan harga dasar per batang bambu yang disebabkan oleh penambahan panjang dan pengurangan diameter atau dengan kata lain terjadi pertambahan volume batang bambu. Diasumsikan pertambahan volume batang bambu sebesar 40% mengakibatkan penambahan harga dasar Rp. 200,- sehingga harga batang bambu untuk tujuan pulp dan kertas ini sebesar Rp. 700,-.

Nilai ekonomi tersebut tentunya akan berubah setiap tahun seiring dengan pertumbuhan dan pertambahan batang bambu dalam setiap rumpun. Dengan besarnya nilai ekonomi yang dimiliki bambu manggong di Sukamade serta statusnya yang langka dan endemik maka tidak salah apabila bambu ini kemudian sangat potensial untuk dikembangkan, baik melalui konservasi in-situ maupun dengan konservasi ek-situ.

Karakteristik Rumpun Bambu Manggong

Untuk mengetahui kondisi rumpun bambu manggong maka dilakukan penghitungan karakteristik rumpun (Lampiran 4.) yang meliputi LBDS rumpun, kerapatan batang dan indeks kerapatan rumpun.

Mengenai LBDS rumpun, dari data yang diperoleh memperlihatkan bahwa bambu manggong yang terdapat di Sumbersari mempunyai nilai LBDS rumpun, kerapatan batang dan indeks kerapatan rumpun yang jauh lebih besar daripada bambu manggong yang terdapat di 3 lokasi lainnya dan bambu petung yang ditemukan dalam petak pengamatan (Lampiran 5.).

Bambu manggong di Sumbersari yang memiliki nilai LBDS rumpun terbesar terdapat pada rumpun 1 petak 102 sebesar 18,0097 m², sedangkan nilai LBDS terkecil terdapat pada rumpun 5 petak 109 dan rumpun 4 petak 90 dengan nilai LBDS yang sama yaitu sebesar 0,0796 m². Bambu manggong yang terdapat di Tegalwatu yang memiliki LBDS rumpun terbesar terdapat pada rumpun 1 petak 156 sebesar 3,9684 m² dan nilai LBDS rumpun terkecil terdapat pada rumpun 4 petak 160, rumpun 2 petak


(43)

162 dan rumpun 1 petak 168 dengan nilai yang sama dengan bambu manggong yang terdapat di Sumbersari yaitu sebesar 0,0796 m².

Untuk bambu manggong di Camping ground dan belakang mes VIP Pantai Sukamade memiliki nilai LBDS rumpun yang hampir sama. Nilai LBDS rumpun pada rumpun 1 petak 173 sebesar 5,8748 m², sedangkan nilai LBDS pada rumpun 2 petak yang sama sebesar 3,8016 m². Pada lokasi lain yaitu di belakang mes VIP Pantai Sukamade, nilai LBDS pada rumpun 1 petak 174 sebesar 7,0800 m² dan pada rumpun 2 petak yang sama memiliki nilai LBDS sebesar 4,1045 m². Data lain yang diperoleh adalah rata-rata LBDS rumpun pada seluruh petak pengamatan diketahui sebesar 2,1031 m².

Nilai LBDS rumpun yang diperoleh memperlihatkan kondisi rumpun yang terdapat di Sukamade. Nilai LBDS rumpun ini dipengaruhi oleh diameter rumpun dan dengan mengetahui besarnya diameter rumpun dan LBDS rumpun maka dapat digunakan untuk menduga jenis rumpun bambu tersebut. Jenis rumpun yang dimaksud disini adalah rumpun muda dan rumpun tua. Rumpun muda menggambarkan penyebaran alami bambu manggong, sedangkan rumpun tua menggambarkan pertumbuhan bambu.

Nilai LBDS terkecil menggambarkan rumpun muda sedangkan nilai LBDS terbesar menggambarkan rumpun tua. Meskipun belum ada standar yang dapat digunakan untuk menentukan rumpun muda dan rumpun tua, namun dari data yang diperoleh sementara dapat digunakan untuk menentukan jenis rumpun muda dan tua.

Selain dari LBDS rumpun, karakteristik rumpun dapat juga dilihat dari kerapatan batang atau jumlah batang per satuan luas. Data kerapatan batang dalam suatu rumpun adalah suatu data yang akan memberikan gambaran mengenai keadaan tapak/rumpun bambu. Kerapatan batang merupakan perbandingan jumlah batang pada suatu rumpun dengan luas tapak rumpun atau LBDS rumpun. Dengan mengetahui kerapatan rumpun bambu maka dapat memperkirakan dan memikirkan tehnik pemanenan yang tepat sehingga diperoleh pengusahaan bambu yang lestari.

Dari data yang diperoleh memperlihatkan kerapatan batang dalam suatu rumpun dengan pendekatan berdasarkan banyaknya batang dalam suatu luasan tertentu dan berdasarkan penutupan batang terhadap luasan tapak rumpun. Dari dua pendekatan ini dapat diketahui rapat/tidaknya rumpun bambu dan jumlah batang dalam satuan luas tapak bambu (m²).


(44)

Di Sumbersari, bambu manggong yang memiliki kerapatan batang terbesar terdapat pada rumpun 5 petak 109 sebesar 175,8400 batang/m², sedangkan nilai kerapatan batang terkecil terdapat pada rumpun 3 petak 17 sebesar 1,7054 batang/m². Bambu manggong yang terdapat pada rumpun 5 petak 109 di Sumbersari memiliki nilai kerapatan batang terbesar dan LBDS rumpun terkecil, hal ini disebabkan bahwa nilai kerapatan batang berbanding terbalik dengan nilai LBDS rumpun. Untuk bambu manggong di Tegalwatu (Gambar 6.) yang memiliki kerapatan batang terbesar terdapat pada rumpun 2 petak 165 sebesar 113,0400 batang/m². Sedangkan nilai kerapatan batang terkecil terdapat pada rumpun 3 petak 161 sebesar 1,3956 batang/m².

Bambu manggong di Camping ground dan belakang mes VIP Pantai Sukamade (Gambar 5.) memiliki nilai kerapatan batang yang jauh lebih kecil daripada di Sumbersari dan Tegalwatu. Nilai kerapatan batang pada rumpun 1 petak 173 yaitu sebesar 19,2345 batang/ m², sedangkan pada rumpun 2 petak yang sama nilai kerapatan batang sebesar 25,2525 batang/ m². Di belakang mes VIP Pantai Sukamade, nilai kerapatan batang pada rumpun 1 petak 174 yaitu sebesar 11,7232 batang/ m² sedangkan pada rumpun 2 plot yang sama nilai kerapatan batang sebesar 28,5054 batang/ m². Dengan demikian nilai rata-rata kerapatan batang untuk seluruh lokasi pengambilan data sebesar 22,2035 batang/ m².

Nilai kerapatan batang berbanding lurus dengan jumlah batang dalam rumpun tersebut sehingga apabila nilai kerapatan batangnya besar maka jumlah batang dalam rumpun tersebut juga banyak atau dengan kata lain bahwa nilai kerapatan batang yang besar menggambarkan banyaknya jumlah batang dalam suatu rumpun dan rumpun tersebut termasuk jenis rumpun tua.

Karakteristik rumpun selain dapat dilihat dari nilai LBDS rumpun dan kerapatan batang juga dapat diketahui melalui indeks kerapatan rumpun (Lampiran 8.). Indeks kerapatan rumpun merupakan perbandingan antara LBDS total batang dengan LBDS rumpun.

Bambu manggong di Sumbersari yang memiliki indeks kerapatan rumpun terbesar terdapat pada rumpun 5 petak 109 dengan nilai 0,5621, sedangkan indeks kerapatan rumpun terkecil dimiliki oleh rumpun 1 petak 13 sebesar 0,0080. Sama halnya dengan kerapatan batang, indeks kerapatan rumpun berbanding terbalik dengan LBDS rumpun dan berbanding lurus dengan LBDS total batang. Apabila


(45)

suatu rumpun memiliki indeks kerapatan rumpun yang besar berarti rumpun tersebut memiliki LBDS total batang yang besar juga, namun memiliki nilai LBDS rumpun yang kecil. Pada rumpun 5 petak 109 memiliki indeks kerapatan rumpun dan kerapatan batang terbesar namun memiliki LBDS rumpun terkecil.

Di Tegalwatu, bambu manggong yang memiliki indeks kerapatan rumpun tertinggi terdapat pada rumpun 2 petak 165 sebesar 0,1892, sedangkan indeks kerapatan rumpun terkecil dimiliki oleh rumpun 5 petak 161 sebesar 0,0013. sama halnya dengan bambu manggong di Sumbersari, rumpun 2 petak 165 memiliki nilai indeks kerapatan rumpun dan kerapatan batang terbesar, serta rumpun 5 petak miliki indeks kerapatan rumpun dan kerapatan batang terkecil.

Untuk indeks kerapatan rumpun, bambu manggong di Camping ground (Gambar 5.) dan belakang mes VIP Pantai Sukamade memiliki nilai yang hampir sama dengan bambu manggong yang terletak di Sumbersari dan Tegalwatu. Nilai indeks kerapatan rumpun pada rumpun 1 petak yaitu sebesar 0,0562, sedangkan pada rumpun 2 petak yang sama indeks kerapatan rumpun sebesar 0,0748. Di belakang mes VIP Pantai Sukamade, nilai indeks kerapatan rumpun pada rumpun 1 petak 174 yaitu sebesar 0,0376 sedangkan pada rumpun 2 petak yang sama nilai indeks kerapatan rumpun sebesar 0,1005. Dari data mengenai indeks kerapatan rumpun maka diperoleh nilai rata-rata indeks kerapatan rumpun sebesar 0,0607. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diperoleh jumlah rumpun yang terdapat pada seluruh petak pengamatan berjumlah 488 rumpun.


(46)

Dengan mengetahui indeks kerapatan rumpun dan kerapatan batang maka dapat diduga kondisi rumpun bambu tersebut. Indeks kerapatan rumpun merupakan perbandingan antara LBDS total batang dan LBDS rumpun. Semakin besar nilai indeks kerapatan rumpun maka ruang atau celah kosong antar batang dalam suatu rumpun semakin kecil. Sedangkan kerapatan batang menggambarkan jumlah batang per satuan luas.

Oleh karena itu nilai indeks kerapatan rumpun dan kerapatan batang dapat menggambarkan rapat tidaknya suatu rumpun. Besarnya nilai indeks kerapatan rumpun dan kerapatan batang juga mengakibatkan persaingan yang ketat dalam memperoleh cahaya dan nutrisi bagi batang bambu. Semakin besar nilai indeks kerapatan rumpun menggambarkan semakin rapat batang bambu dalam suatu rumpun. Semakin rapat batang bambu mengakibatkan batang yang berada di tengah rumpun akan kurang mendapatkan cahaya dan nutrisi dibandingkan dengan batang yang berada di tepi rumpun (Gambar 6.). Selain itu dengan kondisi batang yang rapat akan menyulitkan dalam pemanenan terutama untuk batang bambu yang sudah tua dan layak panen. Umumnya pada suatu rumpun bambu, batang bambu yang sudah tua berada di tengah rumpun, sedangkan batang bambu muda dan rebung terletak di tepi rumpun.

Gambar 6. Kondisi rumpun bambu di Tegalwatu

Dengan mengetahui kondisi suatu rumpun maka dapat dirumuskan kegiatan yang harus dilakukan guna menghasilkan bambu yang berkualitas baik dengan jumlah yang banyak. Salah satu cara yang bisa dilakukan yang berkaitan dengan rapat tidaknya kondisi rumpun adalah pemeliharaan tanaman bambu berupa pemangkasan cabang dan pemanenan. Pemeliharaan tanaman bambu tidak perlu dilakukan secara


(47)

intensif sehingga tidak terlalu merepotkan, yang terpenting pemeliharaan tanaman bambu ini bertujuan untuk membiarkan bambu tumbuh maksimal pada suatu rumpun.

Berlian dan Rahayu (1995) menjelaskan bahwa pemangkasan pada tanaman bambu dilakukan dengan memotong cabang-cabang setinggi 2 – 3 m. Cabang-cabang yang dikurangi akan membuat aliran zat makanan lebih terkonsentrasi ke batang utama, dengan demikian diharapkan dapat diperoleh batang bambu yang diameternya lebih besar dan berkualitas baik. Selain itu pemangkasan juga bertujuan untuk membantu aliran udara, cahaya dan nutrisi.

Pemanenan batang-batang tua dan sudah layak panen dalam suatu rumpun akan mempengaruhi pertumbuhan batang yang tersisa. Selain itu pemanenan batang tua yang umumnya terletak di tengah rumpun juga akan berdampak pada banyaknya sinar matahari dan nutrisi yang diperoleh bagi batang-batang yang berada disekelilingnya.

Karakteristik Penutupan Tajuk dan Tinggi Batang

Data mengenai tinggi batang dan tajuk bambu (Lampiran 9. dan Tabel 4.) memperlihatkan pertumbuhan bambu. Selain itu dari segi penampilan tajuk bambu terlihat berstrata atau bertingkat-tingkat.

Tabel 5. Perbandingan karakteristik rumpun serta penutupan tajuk bambu manggong.

No ptk No rumpun D (m) T (m) Σ batang Luas tajuk (m²) LBDS rumpun (m²) Kerapatan batang (batang/m²) Indeks kerapatan rumpun

114 1 20.5 15 150 329,8963 14,0624 35,8971 0,1086

38 3 1.75 15 4 2,4041 0,4976 8,0384 0,0315

171 1 9.5 15 40 70,8463 1,7588 22,7433 0,0197

2 9.5 15 19 70,8463 1,9904 9,5456 0,0094

154 1 2.5 10 8 4,9063 1,2739 6,2800 0,0044

156 3 2.5 10 4 4,9063 0,3646 10,9704 0,0096

157 1 2.5 10 5 4,9063 0,7166 6,9778 0,0088

2 2.5 10 14 4,9063 0,3313 42,2530 0,0293

160

1 2.5 10 5 4,9063 0,3185 15,7000 0,0109

3 2.5 12 9 4,9063 1,1863 7,5868 0,0090

4 2.5 10 5 4,9063 0,0796 62,8000 0,0793

161 1 2.5 12 9 4,9063 0,3185 28,2600 0,0126

165 1 2.5 12 3 4,9063 0,1938 15,4832 0,0123

173 1 8,5 15 113 56,7163 0,3302 19,2345 0,0562


(48)

174 1 11 15 83 94,9850 0,2662 11,7232 0,0376

2 9 15 117 63,5850 0,4125 28,5054 0,1005

Sumber : Data Primer (2005)

Bambu manggong di Sumbersari yang memiliki diameter tajuk rata-rata terbesar adalah rumpun 1 petak 114 sebesar 20,5 m dengan luas tajuk 329,8963 m². Dengan tinggi batang 15 m, diameter tajuk rata-rata terkecil terdapat pada rumpun 3 petak 38 sebesar 1,75 m dengan luas tajuk 2,4042 m². Pada rumpun 3 petak 38 terlihat bahwa bambu memiliki tipe tajuk yang tinggi tetapi memiliki tutupan kanopi tajuk yang kecil sehingga batang menjulang tinggi. Rumpun 1 petak 114 jika dibandingkan dengan rumpun 3 petak 38 memiliki tinggi batang yang sama namun memiliki penutupan tajuk yang jauh lebih luas.

Di Tegalwatu bambu manggong yang memiliki diameter tajuk rata-rata terbesar adalah rumpun 1 dan 2 petak 171 sebesar 9,5 m dengan luas tajuk 70,8463 m², sedangkan diameter tajuk rata-rata terkecil dimiliki oleh rumpun pada petak 154, 156, 157, 160, 161 dan 165 sebesar 2,5 m dengan luas tajuk 4,9063 m². Dari segi penutupan tajuk maka dapat diketahui kekuatan perakaran yang memiliki karakter tersendiri.

Pada tabel 4. dapat dilihat bahwa bambu manggong di Tegalwatu memiliki bentuk tajuk yang kecil, hal ini terlihat dari diameter tajuk rata-rata sebesar 2,5 m dan luas tajuk 4,9063 m² tetapi memiliki kerapatan batang yang jauh lebih besar daripada bambu manggong di Sumbersari. Dengan memiliki luas tapak yang sangat kecil terlihat bahwa bambu manggong di Tegalwatu rentan terhadap tiupan angin sehingga diperkirakan gampang rubuh. Jika dibandingkan dengan bambu manggong di Sumbersari yang memiliki luas tajuk yang sangat besar, kerapatan batang dan luas tapak yang lebih besar, maka bambu manggong di Sumbersari lebih tahan terhadap tiupan angin.

Mengenai tinggi batang rata-rata, selain berkaitan erat dengan kekuatan perakaran juga berkaitan dengan pemanfaatan bambu oleh masyarakat. Bambu manggong di Sumbersari yang memiliki tinggi rata-rata terbesar terdapat pada rumpun 1 petak 9 dan rumpun 1 petak 49 sebesar 20 m, dengan diameter tajuk rata-rata 5,5 m dan luas tajuk 23,7463 m². Sedangkan bambu manggong yang memiliki tinggi rata-rata terkecil dimiliki oleh rumpun 3 petak 126 dengan tinggi 5 m, diameter tajuk rata-rata 6 m dan luas tajuk 28,2600 m².


(49)

Untuk bambu manggong di Tegalwatu yang memiliki tinggi rata-rata terbesar terdapat pada rumpun 1 & 2 petak 171 dengan tinggi 15 m, diameter tajuk rata-rata 9,5 m dan luas tajuk 70,8643 m². Sedangkan untuk tinggi rata-rata terkecil dimiliki oleh rumpun 2 petak 154 sebesar 7 m, dengan diameter tajuk rata-rata 6 m dan luas tajuk 28,2600 m² serta rumpun 2 plot 165 dengan tinggi 7 m, diameter tajuk rata-rata 3 m dan luas tajuk 7,0650 m². Bambu manggong di Camping ground dan belakang mes VIP Pantai Sukamade memiliki tinggi rata-rata yang sama yaitu 15 m dengan luas tajuk yang bervariasi besarnya.

Selain itu dengan diperolehnya data luas penutupan tajuk dan tinggi rata-rata masing-masing rumpun maka informasi ini dapat digunakan terkait dengan penggunaan bambu untuk tujuan konservasi tanah dan air. Menurut Hendarsun (1997) dalam Erizal (1997), kemampuan bambu yang begitu cepat untuk menutupi permukaan tanah dan kemampuannya untuk mengikat tanah yang begitu tinggi yaitu 5 x lebih kuat dibandingkan pohon lain.

Data mengenai penutupan tajuk ini memberikan informasi bahwa bambu memiliki kemampuan yang sangat cepat dalam menutupi tanah yang kiranya sulit ditemukan jenis tumbuhan atau pohon lain yang dapat menyainginya. Erizal (1997) mengemukakan bahwa naungan tajuk bambu akan melindungi tanah dari terpaan air hujan secara langsung. Bambu yang dipilih untuk tujuan konservasi tanah sebaiknya adalah bambu yang memiliki perakaran yang kuat dan tajuk yang luas. Dengan mengetahui kemampuan bambu dalam mengikat tanah maka dapat digunakan sebagai informasi dasar untuk menanam bambu ditempat-tempat yang rawan erosi seperti di pinggir sungai, pinggir jalan, tebing-tebing atau di tempat-tempat lain.

Kerusakan Hutan Bambu di Sukamade

Bagi masyarakat Sukamade, bambu manggong merupakan salah satu komoditi yang penting dalam kehidupan. Pemanfaatan bambu manggong ini telah berlangsung secara turun temurun. Menurut informasi, pengambilan bambu manggong yang banyak terdapat di hutan bambu Sumbersari tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Sukamade saja, beberapa tahun terakhir ini pengambilan bambu secara besar-besaran juga dilakukan oleh masyarakat luar Sukamade dengan menggunakan angkutan truk untuk dijual ke luar Sukamade. Akibat dari pengambilan bambu secara besar-besaran


(50)

ini menimbulkan kerusakan hutan bambu Sumbersari yang berdampak susahnya mencari bambu bagi masyarakat Sukamade.

Untuk mengetahui besarnya kerusakan yang ditimbulkan dari pengambilan bambu secara besar-besaran ini dapat diketahui melalui besarnya pemanenan dalam rumpun (Lampiran 7. dan Tabel 5.). Nilai besarnya pemanenan dalam rumpun atau yang lebih dikenal dengan persen pemanenan merupakan perbandingan jumlah tunggak dengan jumlah total batang dalam rumpun. Jumlah total batang merupakan penjumlahan batang tua, batang muda, tunas/rebung dan tunggak yang ada dalam rumpun.

Di Sumbersari, bambu manggong yang memiliki persen kerusakan terbesar adalah rumpun 2 petak 29 sebesar 88,679 %, sedangkan bambu manggong yang memiliki persen pemanenan terkecil sebesar 0 % atau tidak ada pemanenan dalam rumpun tersebut.

Tabel 6. Jumlah batang dengan nilai persen pemanenan terbesar dan terkecil di empat Lokasi

Lokasi No

Petak No Rmpn

Σ batang % Pemanenan

% Permudaan

Tua Muda Tunggak Total

Sumber sari

29 2 4 2 47 53 88,679 3,774

53 1 4 5 0 9 0 55,556

54 1 7 9 0 16 0 56,250

75 2 10 5 0 15 0 33,333

78 2 11 6 0 17 0 35,294

94 6 8 1 0 10 0 20,000

109 5 12 2 0 14 0 14,286

Tegal watu

161 3 0 4 44 48 91,667 8,333

165 2 9 0 0 9 0 0

168 1 4 1 0 5 0 20,000

Camping ground 173

1 72 41 0 113 0 36,283

2 59 37 0 96 0 38,542

Mes VIP 174 1 48 35 0 83 0 42,169

2 61 56 0 117 0 47,863

Sumber : Data Primer (2005)

Pada rumpun 2 petak 29 terlihat bahwa tingkat pemanenan yang terjadi sangat besar, hal ini dibuktikan dengan jumlah tunggak sisa tebangan berjumlah 47 batang dengan batang tua yang masih tersisa sebanyak 4 batang. Tingginya tingkat pemanenan pada rumpun ini menyebabkan persen permudaan yang terjadi sangat kecil dan sangat mengkhawatirkan. Besarnya tingkat pemanenan yang terjadi dapat


(1)

Lampiran 9. (Lanjutan)

Nama Jenis K (ind/ha) KR (%) F FR (%) D (m²/ha) DR (%) INP (%)

Pohon 90 0,1437 0,1560 0,0057 0,3155 0,0006 0,0004 0,4719

Pohon 91 0,1437 0,1560 0,0057 0,3155 0,0005 0,0003 0,4718

Pohon 92 0,1437 0,1560 0,0057 0,3155 0,0009 0,0006 0,4721

Pohon 93 0,1437 0,1560 0,0057 0,3155 0,0014 0,0009 0,4724

Pohon 94 0,1437 0,1560 0,0057 0,3155 0,0038 0,0026 0,4740

Pohon 95 0,1437 0,1560 0,0057 0,3155 0,0031 0,0021 0,4736

Pohon 96 0,1437 0,1560 0,0057 0,3155 0,0006 0,0004 0,4719

Pohon 97 0,1437 0,1560 0,0057 0,3155 0,0009 0,0006 0,4721

Pohon 98 0,1437 0,1560 0,0057 0,3155 0,0014 0,0009 0,4724

Pohon 99 0,1437 0,1560 0,0057 0,3155 0,0018 0,0012 0,4727

Pohon 100 0,1437 0,1560 0,0057 0,3155 0,0004 0,0003 0,4718

Pohon 101 0,1437 0,1560 0,0057 0,3155 0,0007 0,0005 0,4719

Bambu manggong 70,5460 76,5991 0,9713 53,3134 146,9187 99,0166 228,9291

Bambu petung 0,7184 0,7800 0,0287 1,5773 1,0003 0,6741 3,0315


(2)

Lampiran 10. Curah hujan di Sukamade dalam lima tahun terakhir

No Bulan 2001 2002 2003 2004 2005

HH mm HH mm HH mm HH mm HH mm

1 Januari 17 363 20 427 33 462 11 323 13 302

2 Februari 11 322 16 395 14 260 20 303 9 218

3 Maret 17 210 11 130 11 148 10 366 10 140

4 April 9 187 9 137 3 105 3 30 8 123

5 Mei - - 4 20 8 99 4 95 - -

6 Juni 4 50 - - 4 24 2 6 2 10

7 Juli - - - - 2 15 4 20 9 89

8 Agustus - - 2 12 - - 3 12 1 * 5 *

9 September 4 40 3 8 5 59 3 69

10 Oktober 11 496 - - 6 200 1 30

11 November 16 357 13 299 17 405 14 146

12 Desember 19 367 10 357 16 293 16 435

Jumlah 108 2392 88 1825 119 2070 91 1735

Sumber : Perkebunan Sukamade (2005)

Keterangan : Curah hujan bulan Agustus sampai tanggal 23 Agustus 2005 HH : Jumlah hari hujan


(3)

Lampiran 11. Rekapitulasi biodata responden

No Nama Jenis kelamin Umur Asal Status Pekerjaan Pendidikan

terakhir

1 H. Busiri Laki-laki 50 thn Sukamade Sudah menikah Wiraswasta SD

2 Eko Laki-laki 28 thn Sukamade Sudah menikah Karyawan kebun SD

3 Dwi Supriyono Laki-laki 40 thn Sidoarjo Sudah menikah Guru SD PGSD

4 Hendro Laki-laki 26 thn Kediri Sudah menikah Karyawan kebun SMP

5 M. Ismail Laki-laki 52 thn Banyuwangi Sudah menikah Karyawan kebun SMP

6 Yahmiati Perempuan 50 thn Pesanggaran Sudah menikah Karyawan kebun SMA

7 Ahmad Junaedi Laki-laki 51 thn Jember Sudah menikah Karyawan kebun SMA

8 Hatimah Perempuan 35 thn Sukamade Sudah menikah Petani SD

9 Kusmiyati Perempuan 28 thn Sukamade Sudah menikah Karyawan kebun SD

10 Jumadi Laki-laki 47 thn Sukamade Sudah menikah Supir pimpinan perkebunan SMP

11 Hadi wiyono Laki-laki 32 thn Sukamade Sudah menikah Wiraswasta SLTA

12 Suhermanto Laki-laki 27 thn Sukamade Sudah menikah Karyawan kebun SD

13 Rini Perempuan 21 thn Sukamade Sudah menikah Karyawan kebun SD

14 Ningsih Perempuan 22 thn Jember Sudah menikah Ibu rumah tangga SMP

15 Misgianto Laki-laki 30 thn Sukamade Sudah menikah Wiraswasta SD


(4)

Lampiran 12.

PANDUAN WAWANCARA UNTUK PENGUSAHA BAMBU

Identitas Industri Nama industri : Nama pemilik :

Bidang usaha yang dikerjakan : Lokasi :

Bahan Baku

1. Apakah Bapak/Ibu menggunakan bambu sebagai bahan baku di industri ini ?

2. Apakah bambu manggong digunakan sebagai bahan baku di industri bapak/ibu ? (ya/tidak) 3. Sejak kapan bapak/ibu mulai menggunakan bambu manggong ?

4. Apakah sampai sekarang masih menggunakannya ? Jika ya, isilah tabel dibawah ini 5. Dari daerah mana bapak/ibu mendapatkan bambu manggong ?

Nama daerah : Propinsi :

Tabel Produksi bambu manggong setiap bulan

No Ukuran Volume Jumlah Harga /unit Asal Produk yang


(5)

Lampiran 13.

PANDUAN WAWANCARA UNTUK MASYARAKAT

• Latar belakang responden (nama, pendidikan, umur, lama tinggal didalam kawasan, asal, pekerjaan, dll)

• Keadaan sosial ekonomi

• Pengetahuan masyarakat mengenai bambu apus (ciri morfologinya, tempat tumbuh dan kegunaannya)

• Pengetahuan masyarakat mengenai bambu manggong (ciri morfologi, status kelangkaan, tempat tumbuh dan kegunaannya)

• Perbedaan bambu apus dan bambu manggong (jika masyarakat dapat membedakan kedua jenis bambu tersebut, jenis bambu mana yang lebih baik untuk digunakan)

• Saluran pemasaran bambu (siapa pengepulnya, harga jual, frekuensi pengambilan, lokasi pengambilan)

• Manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dengan adanya hutan bambu di sekitar tempat tinggal mereka

• Kerugian yang mungkin dirasakan oleh masyarakat dengan berkurangnya hutan bambu • Upaya penyelesaian yang mungkin ditawarkan

• Respon masyarakat jika di beberapa bagian zona rehabilitasi ditanami bambu khususnya jenis bambu manggong

• Harapan dan keinginan masyarakat terhadap kawasan khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan bambu manggong


(6)

Lam

p

iran 14

. Peta lokasi

pen

eliti