Waspadai Hidden Hunger Pada Pengungsi

TTIIN
NJJA
AU
UA
AN
N PPU
USSTTA
AK
KA
A

WASPADAI HIDDEN HUNGER PADA PENGUNGSI
David H. Simanjuntak
Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
Food shortages and nutritional problems are frequent in refugee or displaced
population (due to the, for example, disarter, like tsunamic) and have led to high
prevalence rates of acute malnutrition, when compared to rates of commonly found
in no-refugee populations. Two main factors explain why the risk of malnutrition is

higher in population which has been displaced (and whose environment has
suddenly changed). First, the sudden and massive reduction in food availability
and in food accesibility (no means of buying food or inequities in the food
distribution). This severely affects the food security of a household, i.e., the ability
of household to feed its members). Second, the impaired health environment, i.e
higher exposure to communicable disese, lower standard of health services, lack of
water, and poor hygiene. This article tell us the possibility of hidden hunger in
refugee population due to disarter and some attemps to handle this community
nutritional problem.
Key words: Hidden hunger, Refugee population, Food shortage
PENDAHULUAN
Bencana tsunami di Aceh dan
Sumatera Utara telah meninggalkan duka
yang dalam bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berbagai masalah muncul pascabencana
tersebut. Ratusan ribu manusia harus tinggal
di tempat-tempat pengungsian karena
rumahnya lenyap disapu badai. Mereka
menjadi sangat tergantung pada bantuan
orang lain untuk dapat bertahan hidup.

Salah satu masalah serius yang lazim
dihadapi pengungsi adalah meningkatnya
angka kurang gizi. Dari data kurang gizi pada
pengungsi di berbagai lokasi, seperti di
Somalia (1980), Ethiopia (1988-1989),
Kenya (1991), Sudan (1988), dan Liberia
(1990), diketahui bahwa secara rata-rata
terjadi peningkatan prevalensi kurang gizi
sebesar 20% (Latham, 1997). Masalah gizi
utama adalah kekurangan energi protein
(KEP). KEP ditandai oleh menurunnya berat
badan (kurus). Pada tingkat yang lebih parah,
KEP dapat mengakibatkan marasmus (kulit
keriput dan wajah tampak seperti wajah
orang tua), kwashiorkor (oedem dan wajah
bulat), atau gabungan keduanya.

KEP merupakan penyebab utama
tidak langsung utama kematian pengungsi.
Analisis data dari 42 kamp pengungsi di Asia

dan Afrika menunjukkan adanya hubungan
yang erat antara prevalensi kurang gizi dan
tingginya angka kematian pengungsi. Hal ini
terjadi karena penderita KEP sangat rentan
terhadap penyakit, terutama penyakit akibat
infeksi.
Ada beberapa faktor penyebab
meningkatnya prevalensi kurang gizi pada
pengungsi. Pertama, penurunan secara
mendadak ketersediaan pangan (food
availability) akibat tidak adanya pangan
dan/atau distribusi pangan yang terganggu.
Daya jangkau ke pangan (food accesibility)
yang cukup, baik jumlah maupun mutu, juga
rendah akibat terganggunya distribusi
pangan. Kondisi ini makin diperparah oleh
rendahnya daya beli pengungsi. Kedua,
kondisi lingkungan yang tidak sehat (higiene
dan sanitasi yang buruk), tingkat paparan
terhadap penyakit menular yang tinggi, dan

rendahnya standar layanan kesehatan makin
memperberat masalah kurang gizi pada
pengungsi.

117
Universitas Sumatera Utara

Selain
itu,
pengungsi
juga
dihadapkan kepada lingkungan yang sama
sekali baru. Mereka “dipaksa” untuk
menerima budaya makan (kebiasaan makan)
yang baru. Ini akan berdampak pada
keterterimaan pangan dan pada akhirnya
pada kuantitas dan kualitas pangan yang
dikonsumsi sehari-hari.
1. Hidden Hunger
Saat ini, seiring dengan mengalirnya

bantuan
pangan
kepada
pengungsi,
kebutuhan pangan (untuk memenuhi rasa
lapar) mungkin tidak masalah. Akan tetapi,
pangan tidak hanya bertujuan untuk
memenuhi rasa lapar. Lebih daripada itu,
pangan harus dapat menyediakan zat gizi
yang dibutuhkan oleh tubuh.
Masalah gizi lain yang tidak kalah
seriusnya yang mengancam pengungsi adalah
kekurangan zat gizimikro (misalnya vitamin
A, kelompok vitamin B, vitamin C, vitamin
D, vitamin E, besi, kalsium, iodium, fosfor,
dan seng). Masalah kekurangan gizi ini juga
dikenal sebagai kelaparan tersembunyi
(hidden hunger). Kelaparan tersembunyi
akan
berdampak

pada
terganggunya
pertumbuhan dan perkembangan bayi, anakanak, dan janin yang dikandung oleh ibu.
Kekurangan
zat
gizi
mikro
juga
mengakibatkan daya tahan tubuh (imunitas)
anak rendah. Akibatnya anak mudah
terserang penyakit.
Kekurangan
zat
gizi
mikro
disebabkan oleh terbatasnya pangan sumber
zat gizi ini. Sumber utamanya adalah sayursayuran, buah-buahan, dan daging. Makanan
kering (seperti siap saji)—yang saat ini
menjadi menu pokok pengungsi—hanya
dapat menyumbang 20-30% kebutuhan

vitamin dan mineral per hari. Bahkan
beberapa mineral yang sangat dibutuhkan
tubuh tidak terdapat pada makanan kering
(cepat saji).
2. Perlunya Surveilens Gizi
Last
(1988)
mendefinisikan
surveilens gizi sebagai pengumpulan dan
analisis data status gizi secara terus-menerus
dengan
maksud
untuk
memberikan
peringatan akan krisis yang segera terjadi
atau untuk membuat kebijakan dan
keputusan terprogram yang mengarah kepada
perbaikan
keadaan
gizi

masyarakat/

118

penduduk. Data yang terkumpul dari
surveilens berguna untuk memprediksi dan
mendeteksi dini masalah gizi, memonitor,
mengevaluasi, dan memperbaiki program
pencegahan dan pengendalian penyakit
(masalah akibat kekurangan gizi) (Murti,
2003).
Menurut Nutrition Working Group,
tujuan surveilens gizi, antara lain (1) untuk
memantau
keadaan
populasi,
(2)
mengidentifikasi daerah/masyarakat yang
berpotensi berisiko mengalami masalah gizi
(sistem peringatan dini), (3) mengidentifikasi

kecenderungan status gizi masyarakat
(korban bencana) setiap waktu, (4)
memantau hasil intervensi gizi, (5) untuk
membangun kapasitas untuk memonitor
status gizi masyarakat, dan (6) untuk
memfasilitasi pembagian informasi (Mason,
dkk., 1984 dan MacLaren, 1983).
3. Indikator Surveilens Gizi pada Keadaan
Darurat
Departemen
Kesehatan
RI
mendefinisikan keadaan darurat sebagai
situasi yang terjadi akibat konflik politik,
bencana alam, atau konflik lainnya yang
mengakibatkan banyak penduduk keluar dari
daerah tempat tinggalnya dan tinggal pada
lokasi baru (tempat pengungsian) (Depkes
RI, 2000).
Penanganan gizi pada keadaan

darurat bertujuan untuk memperbaiki
manajemen penanganan masalah gizi pada
situasi ini. Indikator yang digunakan untuk
menyatakan keadaan darurat gizi adalah
prevalensi wasting (BB/TB), yaitu prevalensi
BB/TB ( 15%, atau antara 10-15%
dengan angka kematian kasar 1/10000, atau
angka kematian gizi buruk > 1%.
Data diperoleh melalui survei cepat
(rapid survey) dan pemantauan keadaan gizi
di lokasi darurat oleh pihak provinsi dan
pusat atau oleh badan-badan internasional.
Survei dilakukan sekali pada saat terjadi
pengungsian,
sementara
pemantauan
dilakukan sekali dalam 3 atau 6 bulan,
tergantung kebutuhan.
4. Program Intervensi Pangan
Sebelum masalah gizi pengungsi

menjadi beban bangsa di masa mendatang,
kita harus sesegera mungkin melakukan
upaya pencegahan yang tepat. Program

Waspadai Hidden Hunger pada Pengungsi (117-120)
David H. Simanjuntak
Universitas Sumatera Utara

intervensi gizi adalah salah satu upaya
tersebut.
Tujuan umum program ini adalah
untuk memenuhi kebutuhan gizi dasar
pengungsi dan menurunkan angka kesakitan
dan kematian berkaitan dengan kekurangan
gizi. Secara operasional, tujuan tersebut
dapat dicapai melalui penurunan prevalensi
kurang gizi dengan cara penanganan korban
kurang gizi akut dan pencegahan kurang gizi
pada kelompok berisiko tinggi.
Untuk dapat berhasil dengan baik,
program intervensi gizi harus ditujukan
kepada sasaran yang tepat. Sasaran tersebut
ditetapkan berdasarkan data masalah gizi
yang tepat pula. Salah satu informasi yang
diperlukan untuk menggambarkan masalah
gizi pada masyarakat (pengungsi) adalah
prevalensi kurang gizi akut pada balita
(bawah lima tahun). Pada kondisi darurat,
indikator status gizi yang paling sesuai
adalah indeks berat badan menurut tinggi
badan (BB/TB). Ha ini dikarenakan indeks
BB/TB mencerminkan secara lebih tepat
keadaan masa kini (misalnya keadaan pada
saat terjadi defisit konsumsi pangan). Data
ini dapat dilakukan melalui survei cepat

(rapid survey). Data lain yang juga sangat
dibutuhkan
adalah
keterjaminan
dan
ketersediaan sumberdaya pendukung.
Berdasarkan hasil penilaian dari
kondisi aktual di lapangan, strategi intervensi
pangan pada kondisi darurat adalah: (1)
distribusi
pangan
untuk
menjamin
ketersediaan pangan yang cukup bagi semua
orang dan (2) program bantuan pangan
(makanan) secara selektif.
Program bantuan pangan secara
selektif dapat dilakukan melalui dua cara,
yaitu (1) supplementary feeding programs
(SFPs) dan (2) therapeutic feeding program
(TFP). SFPs menyediakan suplemen
makanan dan itu diikuti oleh pemantauan
medis pada sasaran program, yaitu penderita
kurang gizi ringan dan kelompok berisiko
(ibu hamil). Sementara itu, TFP adalah
program penanganan khusus (medis dan gizi)
yang ditujukan kepada penderita gizi buruk.
Angka prevalensi kurang gizi
menentukan perlunya intervensi gizi dan
jenis intervensi yang sesuai. Berikut ini
adalah diagram alir jenis intervensi gizi
berdasarkan prevalensi kurang gizi pada
masyarakat pengungsi atau keadaan darurat.

Prevalensi kurang gizi ≥ 20%

atau
Prevalensi kurang gizi 10-19%
dengan
Faktor-faktor yang memperburuk
Prevalensi kurang gizi 10-19%

atau

Prevalensi kurang gizi 5-9%
dengan
Faktor-faktor yang memperburuk
Prevalensi kurang gizi 1/10.000 per hari
- Terjadi epidemi campak atau penyakit menular lain
- Tidak ada tempat berlindung bagi pengungsi

Diagram alir program intervensi gizi pada keadaan darurat

Waspadai Hidden Hunger pada Pengungsi (117–120)
David H. Simanjuntak

119
Universitas Sumatera Utara

Last,

PENUTUP
Program intervensi gizi, terutama
pada keadaan darurat, bukan pekerjaan yang
mudah. Oleh karena itu, dia memerlukan
kerjasama dari berbagai pihak, seperti
pemerintah, lembaga swadaya masyarakat,
relawan, dan lembaga-lembaga internasional.
Dan akhirnya, program intervensi gizi untuk
pengungsi bukan sekedar memenuhi rasa
lapar mereka, tetapi juga memenuhi apa (zat
gizi) yang benar-benar mereka butuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI, 2000. “Surveilens Gizi (draft)”.
Direktorat Gizi Masyarakat. Jakarta

120

J.M. 1988. A Dictionary of
Epidemiology. 2nd edition. Oxford
University Press.
Latham, M.C. 1997. Human Nutrition in
Developing Countries. FAO/UN
MacLaren, D.S. 1983. Nutrition Surveilence
Principle and Practice. John Wiley &
Sons Ltd.
Mason, J.B., Habitch, J.P., dan Valverde,
T.H. 1984. Nutrition Suveilance.
WHO. Geneva
MSF. 1995. “Nutrition Guidelines”. Medecin
Sans Frontieres
Murti, B. 2003. Prinsip dan Metode Riset
Epidemiologi. Edisi kedua. Gadjah
Mada University Press

Waspadai Hidden Hunger pada Pengungsi (117–120)
David H. Simanjuntak
Universitas Sumatera Utara