Persyaratan Analisis Instrumen Sebagai Prasyarat Ketepatan Hasil Analisis Dalam Penelitian Pendidikan

(1)

PERSYARATAN ANALISIS INSTRUMEN SEBAGAI PRASYARAT

KETEPATAN HASIL ANALISIS DALAM PENELITIAN PENDIDIKAN

Syarifah

Dosen FIS Universitas Negeri Medan Abstract

Clasical test theory uses a very simple measurement model, i. e., the resulting score consist of actual score and error score. The measurement error is classified into two tpes i. e., specified and random. One of theory applications in modern measurement in education is to apply what is called as item response theory particularly measurement of learning result through (0,1). Before analyzing the resulting data, some requirements should be satisfied, thus the result of analysis will be reliable scientifically. The model in item response theory will occur if only three requirements: unidimensional assumsion, local independence assumsion, and invariance assumsion, are satisfied.

Keywords: The three requirements in model item response theory: unidimensional, local independence, and invariance assumsion

PENDAHULUAN

Pemilihan model yang akan digunakan harus berdasarkan pada keadaan data, data yang ada cocok dengan model yang mana. Menurtut Hambleton (1999: 164) jangan memaksakan suatu model untuk semua keadaan data. Ada yang cocok dengan satu, dua, atau tiga-parameter. Walaupun demikian dalam mengembangkan soal pada umumnya sudah dipilih model mana yang digunakan, sehingga butir-butir yang tidak cocok (fit) dengan model dapat dipisahkan. Pada hakekatnya teori responsi butir tes bertujuan untuk mengatasi kelemahan yang terdapat pada pengukuran klasik.

Pada teori responsi butir tes, peluang jawaban benar yang diberikan siswa, ciri atau parameter butir, dan ciri atau parameter peserta tes dihubungkan melalui suatu model rumus yang harus ditaati baik oleh kelompok butir tes maupun kelompok peserta tes. Artinya, butir yang sama terhadap peserta tes yang berbeda harus tunduk pada aturan rumus itu, atau peserta tes yang sama terhadap butir tes yang berbeda juga harus patuh terhadap rumus.

Dalam proses ini terjadi apa yang disebut

invariansi di antara butir tes dan peserta tes.

Perbedaan mendasar antara pengukuran klasik dengan pengukuran modern terletak pada invariansi

penskoran, di mana penskoran modern adalah invarians (tetap) terhadap butir tes serta terhadap peserta tes. Invariansi parameter butir tes melalui kelompok peserta tes merupakan karakteristik yang paling penting dari teori responsi butir tes. Kita

biasanya memikirkan bahwa indeks kesukaran butir tes sebagai proporsi jawaban yang benar sehingga sukar membayangkan bagaimana indeks kesukaran butir tes dapat menjadi invarian terhadap kelompok peserta tes dari tingkat kemampuan yang berbeda (Lord: 1980: 35).

Apabila teori responsi butir tes digunakan sesuai konsep statistika, soal yang diperoleh tidak bergantung kepada sampel pengikut ujian. Jadi, walaupun soal-soal dikerjakan oleh siswa yang pandai atau siswa yang kurang pandai, indikasi taraf sukar suatu soal tetap tidak berubah, yang mana hal ini merupakan salah satu kelebihan yang dimiliki teori responsi butir tes jika dibandingkan dengan tes klasik (Setiadi, 1998: 7).

KAJIAN TEORETIS DAN PEMBAHASAN 1. Hakikat Teori Responsi Butir

Fungsi Informasi Butir Tes didasarkan pada Teori Responsi Butir (Item Response Theory) yang merupakan suatu pengkajian terhadap tes dan skor butir yang didasarkan pada asumsi-asumsi yang berkaitan antara parameter butir tes (yang tercermin dalam jawaban-jawaban butir tes) dan kemampuan (yang lainnya dihipotesiskan sebagai ciri). Nama lain dari Item Response Theory adalah Item

Characteristic Curve Theory, Latent Trait Theory,

Rasch Model, Model 2P, Model 3P, dan Model Birnbaum (Rudner, 2001: 1).

Teori Responsi Butir (Item Response Theory


(2)

Terpendam (Latent Trait Theory disingkat LTT) atau Lengkungan Karakteristik Butir (Item Characteristic

Curve disingkat ICC), atau Fungsi Karakteristik

Butir (Item Characteristic Function disingkat ICF). Untuk memudahkan pengertian, di sini hanya digunakan istilah IRT (Naga, 1992: 160). Sementara menurut McDonald (2001:8), masalah muncul dalam memberi nilai yang bersifat binary seperti lulus/gagal atau benar/salah yang dipecahkan melalui suatu analisis yang dikenal sebagai latent

structure analysis, dan salah satu bagian analisis

tersebut dikenal sebagai Teori Responsi Butir (Item Response Theory).

Menurut Hambleton (1999 70, bahwa Teori Responsi Butir mengacu pada dua postulat dasar yakni, (a) kinerja peserta tes pada suatu butir tes dapat diprediksi atau dijelaskan dengan sekelompok faktor yang disebut sebagai ciri atau sifat yang terpendam atau kemampuan-kemampuan, dan (b) hubungan antara kinerja peserta tes dan kumpulan sifat-sifat yang mendasari kinerja pada butir dapat dijelaskan oleh satu fungsi yang meningkat secara monoton yang dinamakan fungsi karakteristik butir

(Item Characteristic Function) atau kurva

karakteristik butir (Item Characteristic Curva = ICC).

Seperti disebutkan di atas, pada hakekatnya teori responsi butir tes bertujuan untuk mengatasi kelemahan yang terdapat pada pengukuran klasik. Pada teori responsi butir tes, peluang jawaban benar yang diberikan siswa, ciri atau parameter butir, dan ciri atau parameter peserta tes dihubungkan melalui suatu model rumus yang harus ditaati baik oleh kelompok butir tes maupun kelompok peserta tes. Artinya, butir yang sama terhadap peserta tes yang berbeda harus tunduk pada aturan rumus itu, atau peserta tes yang sama terhadap butir tes yang berbeda juga harus patuh terhadap rumus. Dalam proses ini terjadi apa yang disebut invariansi di antara butir tes dan peserta tes.

Perbedaan mendasar antara pengukuran klasik dengan pengukuran modern terletak pada

invariansi penskoran, di mana penskoran modern

adalah invarians (tetap) terhadap butir tes serta terhadap peserta tes. Invariansi parameter butir tes melalui kelompok peserta tes merupakan karakteristik yang paling penting dari teori responsi butir tes. Kita biasanya memikirkan bahwa indeks kesukaran butir tes sebagai proporsi jawaban yang benar sehingga sukar membayangkan bagaimana indeks kesukaran butir tes dapat menjadi invarian terhadap kelompok peserta tes dari tingkat kemampuan yang berbeda (Lord, 1980: 35).

Teori Responsi Butir (Item Response

Theory) yang merupakan suatu pengkajian terhadap

tes dan skor butir yang didasarkan pada asumsi-asumsi yang berkaitan antara parameter butir tes (yang tercermin dalam jawaban-jawaban butir tes) dan kemampuan (yang lainnya dihipotesiskan sebagai ciri). Sementara menurut McDonald (1991: 8) bahwa masalah muncul dalam memberi nilai yang bersifat binary seperti lulus/gagal atau benar/salah yang dipecahkan melalui suatu analisis yang dikenal sebagai latent structure analysis, dan salah satu bagian analisis tersebut dikenal sebagai Teori Responsi Butir (Item Response Theory).

Menurut Hambleton, Swaminathan, Rogers (1991: 7) bahwa Teori Responsi Butir mengacu pada dua postulat dasar yakni, (a) kinerja peserta tes pada suatu butir tes dapat diprediksi atau dijelaskan dengan sekelompok faktor yang disebut ciri atau sifat yang terpendam atau kemampuan-kemampuan, dan (b) hubungan antara kinerja peserta tes dan kumpulan sifat-sifat yang mendasari kinerja pada butir dapat dijelaskan oleh satu fungsi yang meningkat secara monoton yang dinamakan fungsi karakteristik butir (Item Characteristic Function)

atau kurva karakteristik butir (Item Characteristic Curva = ICC).

Perbedaan mendasar antara pengukuran klasik dengan pengukuran modern terletak pada

invariansi penskoran, di mana penskoran modern

adalah invarians (tetap) terhadap butir tes serta terhadap peserta tes. Invariansi parameter butir tes melalui kelompok peserta tes merupakan karakteristik yang paling penting dari teori responsi butir tes. Kita biasanya memikirkan bahwa indeks kesukaran butir tes sebagai proporsi jawaban yang benar sehingga sukar membayangkan bagaimana indeks kesukaran butir tes dapat menjadi invarian terhadap kelompok peserta tes dari tingkat kemampuan yang berbeda (Lord: 1980: 35).

Gambaran tentang invariansi ini, adalah sebagai berikut.

P 1 1,0 2

0,5

0,0 b1 θ

A B

Gambar 1. Curva Jawaban Butir dari Hubungan Dua Kelompok Peserta Tes

Pada Gambar 1, tampak ada dua kurva karakteristik butir tes A dan butir tes B yang berbeda, yang memperlihatkan dua kurva dari dua


(3)

kelompok peserta tes yang berbeda. Sementara kurva butir 1 dan kurva butir 2 menyangkut kemampuan untuk suatu probabilitas kesuksesan pada sebuah butir tes yang tidak bergantung pada distribusi kemampuan dari beberapa kemampuan, sehingga konsekuensinya, indeks kesukaran butir (b) adalah sama terhadap kelompok butir tes.

Tampak bahwa pada kelompok A, butir 1 dijawab benar lebih sedikit dari butir 2. Di dalam kelompok B, sebaliknya lebih banyak dijawab benar. Jika digunakan proporsi jawaban benar untuk mengukur indeks kesukaran butir tes, ditemukan bahwa butir 1 lebih mudah dari butir 2 untuk suatu kelompok tetapi sebaliknya lebih sukar bagi kelompok yang lain.

Proporsi jawaban benar di dalam sebuah kelompok peserta tes tidak secara nyata mengukur kesulitan tes tersebut. Proporsi tersebut tidak hanya menjelaskan butir tes tetapi juga kelompok peserta yang dites. Hal ini merupakan suatu tujuan dasar analisis statistik butir tes. Teori responsi butir diawali dengan dalil bahwa jawaban individu untuk butir tes atau pertanyaan ditentukan oleh suatu atribut mental individu yang tidak terobservasi. Masing-masing atribut merupakan hal pokok yang mendasar, dan sering disebutkan sebagai ciri terpendam (latent trait) atau kemampuan (ability)

yang diasumsikan bagi suatu perubahan yang berlangsung terus menerus sepanjang kemampuan yang dinyatakan dengan θ. Di dalam teori responsi butir tes, kedua hal tersebut yakni butir tes dan jawaban individu ditunjukkan pada nilai θ dari tingkat terendah sampai tertinggi (Shreyer Insititute for Teching Excellence, 2000: 1).

2. Asumsi-Asumsi IRT

Menurut Hambleton, Swaminathan, dan Rogers (1999: 164) bahwa asumsi untuk model IRT secara mendalam digunakan, sehingga hanya satu kemampuan yang diukur dengan butir-butir tes tersebut. Hal ini dinamakan asumsi unidimensi.

Suatu konsep yang menghubungkan keunidimensian adalah apa yang disebut dengan independensi lokal

(local independence). Asumsi lain dalam model IRT

adalah fungsi karakteristik yang secara khusus melukiskan hubungan antara variabel kemampuan yang tidak teramati dengan variabel kemampuan yang teramati. Asumsi-asumsi tersebut juga menyangkut karakteristik butir tes yang relevan terhadap kinerja peserta tes pada suatu butir tes. Suatu konsep hubungan keunidimensian adalah independensi lokal. Unidimensi dan independensi lokal merupakan asumsi pokok dalam IRT, yang juga melibatkan asumsi invariansi.

2.1. Unidimensional

Persyaratan unidimensi ditujukan untuk mempertahankan invariansi pada IRT. Kalau butir tes sampai mengukur lebih dari satu dimensi, maka jawaban terhadap butir itu akan merupakan kombinasi dari berbagai kemampuan peserta tes. Akibatnya, tidak lagi diketahui kontribusi dari setiap kemampuan terhadap jawaban peserta tes. Dengan mengganti butir tes atau kelompok peserta tes, kita tidak dapat lagi mempertahankan invariansi pada ukuran ciri butir tes dan pada ukuran ciri peserta tes, sehingga ketidakmampuan mempertahankan syarat invariansi ini akan bertentangan dengan tujuan ITR tersebut (Naga, 1992: 64).

Unidimensi merupakan suatu dimensi ukur yang berarti bahwa setiap butir hanya mengukur satu macam ciri di kalangan peserta tes. Karena setiap ciri ditentukan oleh satu dimensi ukur, maka persyaratan satu macam ciri ini dapat ditafsirkan sebagai persyaratan untuk mempertahankan invariansi pada IRT. Dengan terpenuhinya persyaratan unidimensi, maka diperlukan cara untuk menentukan apakah suatu butir tes merupakan unidimensi atau tidak. Untuk hal ini, biasanya digunakan metode analisis faktor yang bertujuan untuk memperlihatkan pada kelompok faktor mana butir tes itu berada. Setiap faktor hanya menunjukkan suatu dimensi indikator tes. Dengan demikian, setiap dimensi indikator tes terhimpun dalam satu faktor yang melibatkan beberapa butir tes yang diperlukan.

Andaikan suatu butir tes bertujuan untuk mengukur kemampuan siswa tentang pengetahuan matematika. Kalau saja dalam kalimat butir tes bahasa yang digunakan cukup meragukan, maka butir tes akan terkontaminasi mengukur dimensi kemampuan bahasa dan kemampuan matematika. Dengan demikian seandainya jawaban butir tes ternyata salah, maka tidak lagi dapat diketahui apakah kesalahan tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan siswa di bidang matematika atau bahasa.

Asumsi unidimensi tidak dapat secara tegas terlihat karena beberapa faktor kognitif, personaliti, dan faktor pengambilan tes selalu mempengaruhi kinerja tes, paling tidak untuk beberapa tingkat. Faktor-faktor itu mungkin melibatkan tingkat motivasi, kecemasan tes, kemampuan bekerja cepat, menebak ketika dalam kesangsian menjawab, dan keterampilan kognitif dalam menambah sesuatu yang dominan diukur oleh sekumpulan butir tes. Asumsi unidimensi untuk menemukan sekumpulan data tes atau suatu komponen yang dominan atau faktor yang mempengaruhi kinerja tes. Komponen dominan atau faktor adalah berhubungan dengan


(4)

kemampuan yang diukur oleh tes itu, dan kemudian dicatat, yang mana kemampuan tersebut tidak perlu merupakan sifat yang melekat (inherent) atau tidak dapat berubah (Swaminathan, dan Rogers:1999: 9-10).

Sejumlah kemampuan atau sifat siswa peserta tes ditemukan dengan analisis faktor, bergantung pada kekhususan atau keluasan atribut-atribut tes yang dirancang untuk pengukuran. Inteligensi telah dipertimbangkan oleh Spearman sebagai suatu kesatuan, memiliki unidimensi, yang oleh Thurstone memiliki 7 dimensi yang dinamakan kemampuan mental utama, dan oleh Guilford memiliki 64 dimensi (McDonald,1999:167).

Faktor-faktor tersebut meliputi motivasi, kecemasan, kemampuan bekerja cepat, menebak bila dalam keadaan ragu-ragu menjawab, dan keterampilan kognitif di dalam menjumlahkan, serta faktor dominan lain yang diukur dengan sehimpunan butir tes.

Asumsi unidimensi bertujuan untuk melihat secara lengkap sekumpulan data tes dari sebuah komponen yang dominan atau faktor yang mempengaruhi kinerja tes tersebut. Komponen dominan atau faktor dihubungkan dengan kemampuan yang diukur melalui tes, di mana kemampuan itu tidak cukup inheren atau tidak dapat berubah. Skor-skor kemampuan dapat berubah, karena adanya faktor belajar, mengingat dan sebagainya (Hambleton, Swaminathan, and Rogers, 1992: 10). Dengan adanya syarat unidimensi, maka diperlukan cara untuk menentukan apakah suatu butir itu unidimensi atau tidak. Salah satu cara yang biasa digunakan untuk menentukan dimensi ukur adalah metoda analisis faktor. Analisis faktor dapat menunjukkan di rumpun faktor mana suatu perangkat ujites itu terletak (Naga, 1992 165). Penggunaan teori tes klasik (classical test theory)

memiliki beberapa kerugian apabila dibandingkan dengan penggunaan IRT. Dalam teori tes klasik,

taraf sukar soal tergantung pada sampel dari peserta tes (Setiadi, 1998: 6). Apabila soal-soal dikerjakan oleh siswa yang pandai maka soal-soal tersebut sepertinya menjadi mudah atau taraf sukar soalnya menjadi kecil, tetapi sebaliknya apabila dikerjakan oleh kelompok siswa yang kurang pandai, maka soal-soal tersebut sepertinya menjadi sukar atau taraf sukar soal itu menjadi besar. Jadi, statistik soal-soal itu tidak konsisten atau berubah-ubah tergantung pada kemampuan kelompok sampel siswa yang menempuh ujian. Hal semacam itu tidak menguntungkan karena soal-soal yang dibangun itu seharusnya tetap konsisten tidak berubah-ubah, dalam arti bahwa soal itu tidak tergantung pada siapa yang mengerjakan apakah oleh siswa pandai

atau siswa yang kurang pandai. Dengan kata lain, apabila analisis butir secara klasik dijadikan dasar pada penyusunan butir-butir soal maka akan sangat sukar apabila kita ingin memonitor atau membandingkan mutu siswa dari tahun ke tahun jika soal-soal yang digunakan berbeda walaupun berasal dari pokok bahasan yang sama.

Menurut Hambleton, Swaminathan, and Rogers (1992: 56), untuk memeriksa asumsi unidimensi maka langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:

• Plotlah nilai eigen (dari yang terbesar ke yang terkecil) terhadap matriks korelasi antar butir. Gambaran nilai-nilai eigen tersebut adalah untuk menentukan apakah faktor pertama yang muncul adalah dominan.

• Bandingkan plot-plot nilai eigen dari matriks interkorelasi antar butir dengan menggunakan data tes, dan matriks korelasi antar butir dengan data random. Plot dua nilai eigen kemudian dibandingkan. Jika asumsi keunidimensian ditemukan dalam data tersebut, maka dua plot tersebut menjadi mirip kecuali untuk nilai eigen pertama dari nilai eigen untuk data lainnya. Nilai eigen pertama secara substansi lebih besar dari pasangan lain dalam plot data random itu.

2.2. Independensi Lokal

Di samping asumsi unidimensi, maka asumsi independensi lokal merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh IRT. Independensi lokal dimaksudkan sebagai letak pada suatu titik di kontinum parameter ciri peserta tes yakni θ (Naga

1992: 170). Independensi lokal maksudnya bahwa kemampuan mempengaruhi kinerja tes secara tetap. Artinya, skor tes yang diperoleh seorang siswa tidak dipengaruhi oleh jawaban siswa lain, tidak ada hubungan yang pasti antara jawaban-jawaban peserta tes untuk butir-butir yang berbeda. Dalam hal ini, kemampuan khusus dalam model tersebut hanyalah faktor-faktor yang mempengaruhi jawaban-jawaban peserta tes untuk butir-butir tes itu (Hambleton, Swaminathan, and Rogers1999: 19).

Independensi lokal menginginkan setiap dua butir tidak berkorelasi yang cukup berarti. Artinya, diharapkan butir-butir tidak berkorelasi dalam kelompok, di mana θ bervariasi. Dalam hal tertentu,

independensi lokal secara otomatis mengikuti keunidimensian.

Pengujian independensi lokal bertujuan untuk melihat apakah kemampuan peserta dalam suatu sub populasi yang sama independen terhadap butir. Pengujian independensi lokal dapat dilakukan dengan memeriksa nilai matriks variansi-kovariansi


(5)

dari data kemampuan yang telah dibuat dalam sub-sub populasi. Independensi lokal dapat dikatakan memenuhi syarat jika varians-kovariansi antar kelompok interval kemampuan peserta yang terletak pada unsur-unsur diagonalnya adalah kecil dan mendekati nol (Hambleton, Swaminathan, and Rogers 1999: 20).

2.3. Invarian Butir

Sifat invarians terhadap parameter butir dan kemampuan merupakan dasar dari IRT dan yang merupakan perbedaan utama dari teori tes klasik. Sifat ini menyatakan secara langsung bahwa parameter-parameter tersebut mencirikan suatu butir yang tidak bergantung pada distribusi kemampuan peserta tes dan parameter yang mencirikan seorang peserta tes tidak bergantung pada himpunan butir-butir tes tersebut. Sifat invarian parameter butir-butir tampak pada Gambar 2 yang menunjukkan bahwa lengkungan responsi atau karakteristik butir adalah tetap atau tidak berubah meskipun butir tes itu dijawab oleh kelompok peserta yang berbeda. Seandainya beberapa kelompok peserta itu masing-masing membentuk lengkungan yang berbeda, maka akan ditemukan beberapa lengkungan yang berbeda pula, sehingga lengkungan pada responsi butir ini tidak invarian lagi. Sifat invariansi merupakan suatu ciri yang tepat terhadap model regresi linier.

Invariansi dipenuhi bila kecocokan model untuk data tersebut adalah pasti di dalam populasi. Situasi ini adalah identik untuk regresi linier, di mana koefisien regresi adalah invarian hanya apabila model linier tersebut memiliki kecocokan data secara pasti di dalam populasi. Invariansi butir tes dibedakan dalam dua bagian yaitu: (1) invariansi terhadap estimasi parameter-parameter butir tes, dan (2) invariansi terhadap estimasi parameter kemampuan (Hambleton, Swaminathan, and Rogers, 1999: 19).

2.3.1. Invariansi terhadap Parameter Butir Tes Untuk memeriksa invariansi parameter kemampuan, dilakukan pemilahan kelompok kemampuan tinggi dan kelompok kemampuan rendah masing-masing dipilih sebanyak 27% dari total peserta tes dari setiap kelompok. Kemudian hasil jawaban mereka diestimasi yang menghasilkan parameter-parameter butir tes (daya beda a, taraf sukar b, dan tebakan c) untuk setiap kelompok. Selanjutnya masing-masing pasangan parameter dikorelasikan, dan jika korelasinya tinggi maka asumsi invariansi dipenuhi. Pemeriksaan invariansi dapat juga dilakukan dengan menganggap bahwa

sampel-sampel berbeda pada masing-masing kemampuan. Kemudian dilukis gambar taraf sukar estimasi dari dua sampel yang terletak pada sebuah garis lurus, dengan beberapa pasangan titik, dan dari gambar dapat disimpulkan bahwa invariansi dipenuhi jika korelasinya tinggi.

2.3.2. Invariansi terhadap Estimasi Kemampuan Untuk memeriksa hal ini butir tes dipilah atas kelompok butir tes ganjil dan kelompok butir tes genap. Kemudian dilakukan estimasi dengan program ASCAL sehingga diperoleh parameter kemampuan setiap siswa dari kedua kelompok. Selanjutnya kedua kelompok kemampuan dikorelasikan, dan jika ternyata korelasinya tinggi maka asumsi invariansi kemampuan dipenuhi. 2.4. Persyaratan Unidimensi

Secara umum teori responsi butir mempersyaratkan bahwa setiap butir hanya mengukur satu macam ciri di kalangan siswa peserta tes. Karena setiap ciri ditentukan oleh satu dimensi ukur, maka persyaratan satu macam ciri ini dapat ditafsirkan sebagai persyaratan untuk mengukur hanya satu dimensi ciri siswa peserta tes, yang dinamakan sebagai unidimensi. Untuk menentukan persyaratan ini digunakan analisis faktor. Menurut Hambleton; Swaminathan; dan Rogers, 1999: 56) dilakukan langkah-langkah berikut:

• Gambarkan nilai eigen dari yang terbesar ke yang terkecil pada matriks korelasi antara butir untuk melihat apakah faktor pertama sangat dominan terhadap faktor yang lain. • Kemudian gambar dari nilai-nilai eigen pada

matriks interkorelasi antara butir dibandingkan. Apabila asumsi unidimensi dipenuhi, maka gambar dari nilai-nilai eigen menjadi mirip, kecuali untuk gambar nilai eigen pertama, yang secara substansi jauh lebih besar dari nilai-nilai eigen lain.

Secara umum dapat dikatakan bahwa apabila “eigenvalue” yang berhubungan dengan faktor pertama jauh lebih besar dari pada faktor kedua, dan “eigenvalue” dari faktor yang kedua tidak sangat berbeda besarnya dari faktor-faktor yang lain, maka soal-soal tersebut kemungkinan cukup dapat dikatakan unidimensional untuk model IRT (Setiadi, 1998: 11). Dari hasil analisis data dengan analisis faktor diperoleh hasilnya sebagai berikut:


(6)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Component Number

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30

Ei

genvalue

Scree Plot

(Sumber: Asmin,2005: 200) Gambar 2. Plot Nilai Eigen untuk Data dengan SPSS

Dari Gambar 3 tampak bahwa faktor 1 memiliki nilai sebesar 0,275 disusul faktor 2 dengan nilai 0,026 dan faktor-faktor lain yang berada di bawahnya. Ini berarti faktor 1 sangat dominan terhadap faktor-faktor lain, sedang faktor-faktor lain tersebut adalah memiliki nilai eigen yang berdekatan atau mirip. Dengan demikian asumsi unidimensi dipenuhi.

2.4.1. Pemeriksaan Asumsi Independensi Lokal Untuk melihat apakah kemampuan peserta tes yang berada dalam sub-sub populasi adalah independen terhadap butir tes digunakan independesi lokal. Caranya dapat dilakukan dengan memeriksa nilai-nilai kemampuan yang terdapat pada matriks variansi-kovariansi. Syarat independensi lokal dipenuhi jika nilai kovariansi antara interval kemampuan peserta yang terletak pada unsur-unsur diagonalnya adalah kecil dan mendekati nol (Hambleton; Swaminathan; dan Rogers, 1991: 56). Menurut Gulliksen dalam Setiadi (1998: 11), bahwa varians dari banyaknya soal yang tidak dikerjakan oleh pengikut tes dibandingkan dengan varians banyaknya soal yang dijawab salah oleh pengikut

tes, dan apabila asumsi ini dipenuhi maka rationya mendekati nol. Misalnya dari data penelitian, sub-sub populasi dibagi kedalam sepuluh bagian sehingga hasil analisis data seperti Tabel 1.

Dari Tabel 1 tampak bahwa kovarians yang terletak pada diagonalnya kecil dan mendekati nol, sehingga dengan demikian asumsi independensi lokal untuk sel A1B1 dipenuhi.

2.4.2. Pemeriksaan Asumsi Invarinasi

Asumsi Invariansi dibedakan dalam dua bagian yaitu: (1) invariansi terhadap estimasi parameter kemampuan, dan (2) invariansi terhadap parameter-parameter butir tes.

1) Asumsi Invariansi Butir Tes

Pemeriksaan terhadap asumsi invariansi parameter kemampuan dapat dilakukan dengan memiilah antara kelompok siswa yang memiliki kemampuan tinggi dan kemampuan rendah, masing-masing sebanyak 27% dari total peserta tes. Kemudian jawaban kedua kelompok siswa diestimasi yang hasilnya berupa parameter butir tes (daya beda a, taraf sukar b, dan tebakan c) dari kedua kelompok siswa. Selanjutnya pasangan parameter butir dari kedua kelompok kemampuan tinggi dan rendah dikorelasikan. Jika ternyata korelasinya tinggi, maka asumsi invariansi butir tes dipenuhi.

Selajan dengan hal tersebut di atas, pemeriksaan terhadap asumsi invariansi dilakukan dengan menganggap bahwa setiap sampel berbeda pada masing-masing kemampuan. Kemudian dilukis gambar taraf sukar estimasi dari dua sampel yang terletak pada sebuah garis lurus, dengan beberapa pasangan titik, dan dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa invariansi dipenuhi jika korelasinya tinggi. Misalnya dari hasil suatu penelitian diperoleh korelasi antara parameter-parameter butir tes untuk kelompok tinggi dan kelompok rendah seperti pada Tabel 2.

Tabel 1. Rangkuman Matriks Variansi-Covariansi

C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10

C1 0,058

C2 0,038 0,028

C3 0,01 0,008 0,002

C4 0,052 0,04 0,011 0,062

C5 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

C6 0,004 0,003 0,000 0,004 0,000 0,001

C7 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

C8 0,021 0,012 0,03 0,016 0,000 0,001 0,000 0,01

C9 0,083 0,053 0,14 0,071 0,001 0,005 0,001 0,03 0,15

C10 0,012 0,008 0,02 0,011 0,000 0,000 0,000 0,01 0,02 0,003

Sumber: Asmin (2005: 207)


(7)

Tabel 2. Korelasi antara Parameter-Parameter Butir Tes dari 27% Kelompok Rendah dan 27% Kemompok Tinggi pada Masing-Masing Kelompok Sel A1B1, A2B1, A1B2, dan A2B2

Kelompok Sel Parameter butir Korelasi Keterangan atinggi, arendah 0,855

btinggi, brendah 0,847

A1B1

ctinggi, crendah 0,759

Invarian

atinggi, arendah 0,892

btinggi, brendah 0,802

A2B1

ctinggi, crendah 0,856

Invarian

atinggi, arendah 0,919

btinggi, brendah 0,887

A1B2

ctinggi, crendah 0,906

Invarian

atinggi, arendah 0,922

btinggi, brendah 0,890

A2B2

ctinggi, crendah 0,916

Invarian

Sumber: Asmin (2005: 211)

2) Asumsi Invariansi Kemampuan

Terlebih dahulu dipilah dua kelompok tes ganjil dan tes genap, kemudian diestimasi dengan program ASCAL untuk mendapatkan kemampuan masing-masing peserta tes. Selanjutnya kedua kelompok kemampuan dikorelasikan, dan hasilnya adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Korelasi antara Parameter-Parameter Kemampuan Peserta Tes dari Kemompok Butir Tes Ganjil dan Kelompok Butir Genap pada Masing-Masing Sel A1B1, A2B1, A1B2,

dan A2B2

Kelompok Sel Koefisien korelasi Keterangan

A1B1 0,87 Invarian

A2B1 0,85 Invarian

A1B2 0,84 Invarian

A2B2 0,73 Invarian

Sumber: Asmin (2005: 212)

Korelasi yang dihasilkan pada setiap kelompok seperti pada Tabel 3. di mana tampak bahwa semua korelasi kemampuan dari kedua kelompok butir ganjil dan genap cukup tinggi, sehingga keempat kelompok sel memiliki invariansi kemampuan.

Korelasi Kemampuan

-3 -2 -1 0 1 2 3

-2 0 2 4

Kemampuan pd butir ganjil

K

e

m

a

m

puan

pd b

u

ti

r

genap

Series1

Sumber: Asmin (2005: 212) Gambar 3. Grafik Korelasi Kemampuan dari Kelompok

Butir

Kesimpulan

Pemenuhan persyaratan analisis dalam suatu penelitian tidak dapat diabaikan begitu rupa sehingga hasil peneitian tersebut kurang layak digunakan. Hal ini karena pada dasarnya suatu hasil penelitian dapat diterima secara ilmiah bila semua persyaratan yang telah ditetapkan terlebih dahulu dipenuhi, sehingga hal ini dapat memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Hasilnyai digunakan untuk melihat seberapa jauh perbedaan antara apa yang diprediksi oleh model dengan apa yang sebenarnya diperoleh. Perbedaan yang terjadi berdasarkan analisis tersebut kemudian dihitung secara statistik sehingga memberi informasi apakah suatu butir soal cocok dengan model IRT atau fit secara statistika (Hayat, 1997). Dalam kaitannya dengan instrumen yang digunakan, maka butir soal yang cocok (fit)

berarti soal tersebut berperilaku secara konsisten dengan apa yang diharapkan oleh model IRT. Suatu instrumen yang fit dengan model IRT bila grafik model butir soal asimpton (Jan-Eric Gustafsson, dalam Pakpahan, 1999: 59) yaitu suatu garis lengkung (linier) yang titik awal dimulai pada dasar grafik hingga titik akhir puncak grafik.

DAFTAR PUSTAKA

Asmin, Pengaruh Ragam Bentuk Tes Objektif dan Gaya Berpikir Terhadap Fungsi Informasi Butir Tes, Disertasi, 2005.

Hambleton, Ronald., Swaminathan, H., dan Jane Rogers, H. Fundamental of Item Response

Theory. London: SAGE Publications, Inc,

1999.

Hari Setiadi, Bank Soal Yang Dikalibrasi Dengan Konsep IRT Memecahkan Permasalahan Pada Ujian-Ujian Sistematik Yang Diadakan Pada Periode-Periode Tertentu (Jakarta: Jurnal Kajian Dikbud No. 013, Tahun IV, 1998), p. 7


(8)

Hayat, Bahrul. “Standardisasi Soal Ebtanas” Jurnal

Pendidikan dan Kebudayaan, Nomor 20

Tahun ke-5, 1997, p. 51.

Lawrence M. Rudner, Item Response Theory, p. 1, 2001(http://edres.org/irt/).

Lord, Frederick M, Aplication of Item Response

Theory to Practical Testing Problems. New

Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publisher, 1980.

Naga, Dali, S. Pengantar Teori Skor pada

Pengukuran Pendidikan. Jakarta: Besbats,

1992.

Mc Donald, Roderick P. Test Theory: A Unified

Treatment New Jersey: Lawrence Erlbaum

Associates Publishers, 1991.

Pakpahan, Rogers. “Studi Kebiasan Soal Ebtanas SMU Tahun 1996/1997” Jakarta: Jurnal

Kajian Dikbud No. 020, Tahun ke 5, 1999, p.

59.

Shreyer Insititute for Teching Excellence, Academic

Testing Item Response Theory, p.1, 2000

(http://www.uts.psu.edu/item response theory frame.htm).


(1)

kelompok peserta tes yang berbeda. Sementara kurva butir 1 dan kurva butir 2 menyangkut kemampuan untuk suatu probabilitas kesuksesan pada sebuah butir tes yang tidak bergantung pada distribusi kemampuan dari beberapa kemampuan, sehingga konsekuensinya, indeks kesukaran butir (b) adalah sama terhadap kelompok butir tes.

Tampak bahwa pada kelompok A, butir 1 dijawab benar lebih sedikit dari butir 2. Di dalam kelompok B, sebaliknya lebih banyak dijawab benar. Jika digunakan proporsi jawaban benar untuk mengukur indeks kesukaran butir tes, ditemukan bahwa butir 1 lebih mudah dari butir 2 untuk suatu kelompok tetapi sebaliknya lebih sukar bagi kelompok yang lain.

Proporsi jawaban benar di dalam sebuah kelompok peserta tes tidak secara nyata mengukur kesulitan tes tersebut. Proporsi tersebut tidak hanya menjelaskan butir tes tetapi juga kelompok peserta yang dites. Hal ini merupakan suatu tujuan dasar analisis statistik butir tes. Teori responsi butir diawali dengan dalil bahwa jawaban individu untuk butir tes atau pertanyaan ditentukan oleh suatu atribut mental individu yang tidak terobservasi. Masing-masing atribut merupakan hal pokok yang mendasar, dan sering disebutkan sebagai ciri terpendam (latent trait) atau kemampuan (ability) yang diasumsikan bagi suatu perubahan yang berlangsung terus menerus sepanjang kemampuan yang dinyatakan dengan θ. Di dalam teori responsi butir tes, kedua hal tersebut yakni butir tes dan jawaban individu ditunjukkan pada nilai θ dari tingkat terendah sampai tertinggi (Shreyer Insititute for Teching Excellence, 2000: 1).

2. Asumsi-Asumsi IRT

Menurut Hambleton, Swaminathan, dan Rogers (1999: 164) bahwa asumsi untuk model IRT secara mendalam digunakan, sehingga hanya satu kemampuan yang diukur dengan butir-butir tes tersebut. Hal ini dinamakan asumsi unidimensi. Suatu konsep yang menghubungkan keunidimensian adalah apa yang disebut dengan independensi lokal (local independence). Asumsi lain dalam model IRT adalah fungsi karakteristik yang secara khusus melukiskan hubungan antara variabel kemampuan yang tidak teramati dengan variabel kemampuan yang teramati. Asumsi-asumsi tersebut juga menyangkut karakteristik butir tes yang relevan terhadap kinerja peserta tes pada suatu butir tes. Suatu konsep hubungan keunidimensian adalah independensi lokal. Unidimensi dan independensi lokal merupakan asumsi pokok dalam IRT, yang juga melibatkan asumsi invariansi.

2.1. Unidimensional

Persyaratan unidimensi ditujukan untuk mempertahankan invariansi pada IRT. Kalau butir tes sampai mengukur lebih dari satu dimensi, maka jawaban terhadap butir itu akan merupakan kombinasi dari berbagai kemampuan peserta tes. Akibatnya, tidak lagi diketahui kontribusi dari setiap kemampuan terhadap jawaban peserta tes. Dengan mengganti butir tes atau kelompok peserta tes, kita tidak dapat lagi mempertahankan invariansi pada ukuran ciri butir tes dan pada ukuran ciri peserta tes, sehingga ketidakmampuan mempertahankan syarat invariansi ini akan bertentangan dengan tujuan ITR tersebut (Naga, 1992: 64).

Unidimensi merupakan suatu dimensi ukur yang berarti bahwa setiap butir hanya mengukur satu macam ciri di kalangan peserta tes. Karena setiap ciri ditentukan oleh satu dimensi ukur, maka persyaratan satu macam ciri ini dapat ditafsirkan sebagai persyaratan untuk mempertahankan invariansi pada IRT. Dengan terpenuhinya persyaratan unidimensi, maka diperlukan cara untuk menentukan apakah suatu butir tes merupakan unidimensi atau tidak. Untuk hal ini, biasanya digunakan metode analisis faktor yang bertujuan untuk memperlihatkan pada kelompok faktor mana butir tes itu berada. Setiap faktor hanya menunjukkan suatu dimensi indikator tes. Dengan demikian, setiap dimensi indikator tes terhimpun dalam satu faktor yang melibatkan beberapa butir tes yang diperlukan.

Andaikan suatu butir tes bertujuan untuk mengukur kemampuan siswa tentang pengetahuan matematika. Kalau saja dalam kalimat butir tes bahasa yang digunakan cukup meragukan, maka butir tes akan terkontaminasi mengukur dimensi kemampuan bahasa dan kemampuan matematika. Dengan demikian seandainya jawaban butir tes ternyata salah, maka tidak lagi dapat diketahui apakah kesalahan tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan siswa di bidang matematika atau bahasa.

Asumsi unidimensi tidak dapat secara tegas terlihat karena beberapa faktor kognitif, personaliti, dan faktor pengambilan tes selalu mempengaruhi kinerja tes, paling tidak untuk beberapa tingkat. Faktor-faktor itu mungkin melibatkan tingkat motivasi, kecemasan tes, kemampuan bekerja cepat, menebak ketika dalam kesangsian menjawab, dan keterampilan kognitif dalam menambah sesuatu yang dominan diukur oleh sekumpulan butir tes. Asumsi unidimensi untuk menemukan sekumpulan data tes atau suatu komponen yang dominan atau faktor yang mempengaruhi kinerja tes. Komponen dominan atau faktor adalah berhubungan dengan


(2)

kemampuan yang diukur oleh tes itu, dan kemudian dicatat, yang mana kemampuan tersebut tidak perlu merupakan sifat yang melekat (inherent) atau tidak dapat berubah (Swaminathan, dan Rogers:1999: 9-10).

Sejumlah kemampuan atau sifat siswa peserta tes ditemukan dengan analisis faktor, bergantung pada kekhususan atau keluasan atribut-atribut tes yang dirancang untuk pengukuran. Inteligensi telah dipertimbangkan oleh Spearman sebagai suatu kesatuan, memiliki unidimensi, yang oleh Thurstone memiliki 7 dimensi yang dinamakan kemampuan mental utama, dan oleh Guilford memiliki 64 dimensi (McDonald,1999:167).

Faktor-faktor tersebut meliputi motivasi, kecemasan, kemampuan bekerja cepat, menebak bila dalam keadaan ragu-ragu menjawab, dan keterampilan kognitif di dalam menjumlahkan, serta faktor dominan lain yang diukur dengan sehimpunan butir tes.

Asumsi unidimensi bertujuan untuk melihat secara lengkap sekumpulan data tes dari sebuah komponen yang dominan atau faktor yang mempengaruhi kinerja tes tersebut. Komponen dominan atau faktor dihubungkan dengan kemampuan yang diukur melalui tes, di mana kemampuan itu tidak cukup inheren atau tidak dapat berubah. Skor-skor kemampuan dapat berubah, karena adanya faktor belajar, mengingat dan sebagainya (Hambleton, Swaminathan, and Rogers, 1992: 10). Dengan adanya syarat unidimensi, maka diperlukan cara untuk menentukan apakah suatu butir itu unidimensi atau tidak. Salah satu cara yang biasa digunakan untuk menentukan dimensi ukur adalah metoda analisis faktor. Analisis faktor dapat menunjukkan di rumpun faktor mana suatu perangkat ujites itu terletak (Naga, 1992 165). Penggunaan teori tes klasik (classical test theory) memiliki beberapa kerugian apabila dibandingkan dengan penggunaan IRT. Dalam teori tes klasik, taraf sukar soal tergantung pada sampel dari peserta tes (Setiadi, 1998: 6). Apabila soal-soal dikerjakan oleh siswa yang pandai maka soal-soal tersebut sepertinya menjadi mudah atau taraf sukar soalnya menjadi kecil, tetapi sebaliknya apabila dikerjakan oleh kelompok siswa yang kurang pandai, maka soal-soal tersebut sepertinya menjadi sukar atau taraf sukar soal itu menjadi besar. Jadi, statistik soal-soal itu tidak konsisten atau berubah-ubah tergantung pada kemampuan kelompok sampel siswa yang menempuh ujian. Hal semacam itu tidak menguntungkan karena soal-soal yang dibangun itu seharusnya tetap konsisten tidak berubah-ubah, dalam arti bahwa soal itu tidak tergantung pada siapa yang mengerjakan apakah oleh siswa pandai

atau siswa yang kurang pandai. Dengan kata lain, apabila analisis butir secara klasik dijadikan dasar pada penyusunan butir-butir soal maka akan sangat sukar apabila kita ingin memonitor atau membandingkan mutu siswa dari tahun ke tahun jika soal-soal yang digunakan berbeda walaupun berasal dari pokok bahasan yang sama.

Menurut Hambleton, Swaminathan, and Rogers (1992: 56), untuk memeriksa asumsi unidimensi maka langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:

• Plotlah nilai eigen (dari yang terbesar ke yang terkecil) terhadap matriks korelasi antar butir. Gambaran nilai-nilai eigen tersebut adalah untuk menentukan apakah faktor pertama yang muncul adalah dominan.

• Bandingkan plot-plot nilai eigen dari matriks interkorelasi antar butir dengan menggunakan data tes, dan matriks korelasi antar butir dengan data random. Plot dua nilai eigen kemudian dibandingkan. Jika asumsi keunidimensian ditemukan dalam data tersebut, maka dua plot tersebut menjadi mirip kecuali untuk nilai eigen pertama dari nilai eigen untuk data lainnya. Nilai eigen pertama secara substansi lebih besar dari pasangan lain dalam plot data random itu.

2.2. Independensi Lokal

Di samping asumsi unidimensi, maka asumsi independensi lokal merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh IRT. Independensi lokal dimaksudkan sebagai letak pada suatu titik di kontinum parameter ciri peserta tes yakni θ (Naga

1992: 170). Independensi lokal maksudnya bahwa kemampuan mempengaruhi kinerja tes secara tetap. Artinya, skor tes yang diperoleh seorang siswa tidak dipengaruhi oleh jawaban siswa lain, tidak ada hubungan yang pasti antara jawaban-jawaban peserta tes untuk butir-butir yang berbeda. Dalam hal ini, kemampuan khusus dalam model tersebut hanyalah faktor-faktor yang mempengaruhi jawaban-jawaban peserta tes untuk butir-butir tes itu (Hambleton, Swaminathan, and Rogers1999: 19).

Independensi lokal menginginkan setiap dua butir tidak berkorelasi yang cukup berarti. Artinya, diharapkan butir-butir tidak berkorelasi dalam kelompok, di mana θ bervariasi. Dalam hal tertentu,

independensi lokal secara otomatis mengikuti keunidimensian.

Pengujian independensi lokal bertujuan untuk melihat apakah kemampuan peserta dalam suatu sub populasi yang sama independen terhadap butir. Pengujian independensi lokal dapat dilakukan dengan memeriksa nilai matriks variansi-kovariansi


(3)

dari data kemampuan yang telah dibuat dalam sub-sub populasi. Independensi lokal dapat dikatakan memenuhi syarat jika varians-kovariansi antar kelompok interval kemampuan peserta yang terletak pada unsur-unsur diagonalnya adalah kecil dan mendekati nol (Hambleton, Swaminathan, and Rogers 1999: 20).

2.3. Invarian Butir

Sifat invarians terhadap parameter butir dan kemampuan merupakan dasar dari IRT dan yang merupakan perbedaan utama dari teori tes klasik. Sifat ini menyatakan secara langsung bahwa parameter-parameter tersebut mencirikan suatu butir yang tidak bergantung pada distribusi kemampuan peserta tes dan parameter yang mencirikan seorang peserta tes tidak bergantung pada himpunan butir-butir tes tersebut. Sifat invarian parameter butir-butir tampak pada Gambar 2 yang menunjukkan bahwa lengkungan responsi atau karakteristik butir adalah tetap atau tidak berubah meskipun butir tes itu dijawab oleh kelompok peserta yang berbeda. Seandainya beberapa kelompok peserta itu masing-masing membentuk lengkungan yang berbeda, maka akan ditemukan beberapa lengkungan yang berbeda pula, sehingga lengkungan pada responsi butir ini tidak invarian lagi. Sifat invariansi merupakan suatu ciri yang tepat terhadap model regresi linier.

Invariansi dipenuhi bila kecocokan model untuk data tersebut adalah pasti di dalam populasi. Situasi ini adalah identik untuk regresi linier, di mana koefisien regresi adalah invarian hanya apabila model linier tersebut memiliki kecocokan data secara pasti di dalam populasi. Invariansi butir tes dibedakan dalam dua bagian yaitu: (1) invariansi terhadap estimasi parameter-parameter butir tes, dan (2) invariansi terhadap estimasi parameter kemampuan (Hambleton, Swaminathan, and Rogers, 1999: 19).

2.3.1. Invariansi terhadap Parameter Butir Tes Untuk memeriksa invariansi parameter kemampuan, dilakukan pemilahan kelompok kemampuan tinggi dan kelompok kemampuan rendah masing-masing dipilih sebanyak 27% dari total peserta tes dari setiap kelompok. Kemudian hasil jawaban mereka diestimasi yang menghasilkan parameter-parameter butir tes (daya beda a, taraf sukar b, dan tebakan c) untuk setiap kelompok. Selanjutnya masing-masing pasangan parameter dikorelasikan, dan jika korelasinya tinggi maka asumsi invariansi dipenuhi. Pemeriksaan invariansi dapat juga dilakukan dengan menganggap bahwa

sampel-sampel berbeda pada masing-masing kemampuan. Kemudian dilukis gambar taraf sukar estimasi dari dua sampel yang terletak pada sebuah garis lurus, dengan beberapa pasangan titik, dan dari gambar dapat disimpulkan bahwa invariansi dipenuhi jika korelasinya tinggi.

2.3.2. Invariansi terhadap Estimasi Kemampuan Untuk memeriksa hal ini butir tes dipilah atas kelompok butir tes ganjil dan kelompok butir tes genap. Kemudian dilakukan estimasi dengan program ASCAL sehingga diperoleh parameter kemampuan setiap siswa dari kedua kelompok. Selanjutnya kedua kelompok kemampuan dikorelasikan, dan jika ternyata korelasinya tinggi maka asumsi invariansi kemampuan dipenuhi. 2.4. Persyaratan Unidimensi

Secara umum teori responsi butir mempersyaratkan bahwa setiap butir hanya mengukur satu macam ciri di kalangan siswa peserta tes. Karena setiap ciri ditentukan oleh satu dimensi ukur, maka persyaratan satu macam ciri ini dapat ditafsirkan sebagai persyaratan untuk mengukur hanya satu dimensi ciri siswa peserta tes, yang dinamakan sebagai unidimensi. Untuk menentukan persyaratan ini digunakan analisis faktor. Menurut Hambleton; Swaminathan; dan Rogers, 1999: 56) dilakukan langkah-langkah berikut:

• Gambarkan nilai eigen dari yang terbesar ke yang terkecil pada matriks korelasi antara butir untuk melihat apakah faktor pertama sangat dominan terhadap faktor yang lain. • Kemudian gambar dari nilai-nilai eigen pada

matriks interkorelasi antara butir dibandingkan. Apabila asumsi unidimensi dipenuhi, maka gambar dari nilai-nilai eigen menjadi mirip, kecuali untuk gambar nilai eigen pertama, yang secara substansi jauh lebih besar dari nilai-nilai eigen lain.

Secara umum dapat dikatakan bahwa apabila “eigenvalue” yang berhubungan dengan faktor pertama jauh lebih besar dari pada faktor kedua, dan “eigenvalue” dari faktor yang kedua tidak sangat berbeda besarnya dari faktor-faktor yang lain, maka soal-soal tersebut kemungkinan cukup dapat dikatakan unidimensional untuk model IRT (Setiadi, 1998: 11). Dari hasil analisis data dengan analisis faktor diperoleh hasilnya sebagai berikut:


(4)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Component Number

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30

Ei

genvalue

Scree Plot

(Sumber: Asmin,2005: 200) Gambar 2. Plot Nilai Eigen untuk Data dengan SPSS

Dari Gambar 3 tampak bahwa faktor 1 memiliki nilai sebesar 0,275 disusul faktor 2 dengan nilai 0,026 dan faktor-faktor lain yang berada di bawahnya. Ini berarti faktor 1 sangat dominan terhadap faktor-faktor lain, sedang faktor-faktor lain tersebut adalah memiliki nilai eigen yang berdekatan atau mirip. Dengan demikian asumsi unidimensi dipenuhi.

2.4.1. Pemeriksaan Asumsi Independensi Lokal Untuk melihat apakah kemampuan peserta tes yang berada dalam sub-sub populasi adalah independen terhadap butir tes digunakan independesi lokal. Caranya dapat dilakukan dengan memeriksa nilai-nilai kemampuan yang terdapat pada matriks variansi-kovariansi. Syarat independensi lokal dipenuhi jika nilai kovariansi antara interval kemampuan peserta yang terletak pada unsur-unsur diagonalnya adalah kecil dan mendekati nol (Hambleton; Swaminathan; dan Rogers, 1991: 56). Menurut Gulliksen dalam Setiadi (1998: 11), bahwa varians dari banyaknya soal yang tidak dikerjakan oleh pengikut tes dibandingkan dengan varians banyaknya soal yang dijawab salah oleh pengikut

tes, dan apabila asumsi ini dipenuhi maka rationya mendekati nol. Misalnya dari data penelitian, sub-sub populasi dibagi kedalam sepuluh bagian sehingga hasil analisis data seperti Tabel 1.

Dari Tabel 1 tampak bahwa kovarians yang terletak pada diagonalnya kecil dan mendekati nol, sehingga dengan demikian asumsi independensi lokal untuk sel A1B1 dipenuhi.

2.4.2. Pemeriksaan Asumsi Invarinasi

Asumsi Invariansi dibedakan dalam dua bagian yaitu: (1) invariansi terhadap estimasi parameter kemampuan, dan (2) invariansi terhadap parameter-parameter butir tes.

1) Asumsi Invariansi Butir Tes

Pemeriksaan terhadap asumsi invariansi parameter kemampuan dapat dilakukan dengan memiilah antara kelompok siswa yang memiliki kemampuan tinggi dan kemampuan rendah, masing-masing sebanyak 27% dari total peserta tes. Kemudian jawaban kedua kelompok siswa diestimasi yang hasilnya berupa parameter butir tes (daya beda a, taraf sukar b, dan tebakan c) dari kedua kelompok siswa. Selanjutnya pasangan parameter butir dari kedua kelompok kemampuan tinggi dan rendah dikorelasikan. Jika ternyata korelasinya tinggi, maka asumsi invariansi butir tes dipenuhi.

Selajan dengan hal tersebut di atas, pemeriksaan terhadap asumsi invariansi dilakukan dengan menganggap bahwa setiap sampel berbeda pada masing-masing kemampuan. Kemudian dilukis gambar taraf sukar estimasi dari dua sampel yang terletak pada sebuah garis lurus, dengan beberapa pasangan titik, dan dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa invariansi dipenuhi jika korelasinya tinggi. Misalnya dari hasil suatu penelitian diperoleh korelasi antara parameter-parameter butir tes untuk kelompok tinggi dan kelompok rendah seperti pada Tabel 2.

Tabel 1. Rangkuman Matriks Variansi-Covariansi

C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10

C1 0,058

C2 0,038 0,028

C3 0,01 0,008 0,002

C4 0,052 0,04 0,011 0,062

C5 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

C6 0,004 0,003 0,000 0,004 0,000 0,001

C7 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

C8 0,021 0,012 0,03 0,016 0,000 0,001 0,000 0,01

C9 0,083 0,053 0,14 0,071 0,001 0,005 0,001 0,03 0,15

C10 0,012 0,008 0,02 0,011 0,000 0,000 0,000 0,01 0,02 0,003

Sumber: Asmin (2005: 207)


(5)

Tabel 2. Korelasi antara Parameter-Parameter Butir Tes dari 27% Kelompok Rendah dan 27% Kemompok Tinggi pada Masing-Masing Kelompok Sel A1B1, A2B1, A1B2, dan A2B2

Kelompok Sel Parameter butir Korelasi Keterangan

atinggi, arendah 0,855

btinggi, brendah 0,847

A1B1

ctinggi, crendah 0,759

Invarian

atinggi, arendah 0,892

btinggi, brendah 0,802

A2B1

ctinggi, crendah 0,856

Invarian

atinggi, arendah 0,919

btinggi, brendah 0,887

A1B2

ctinggi, crendah 0,906

Invarian

atinggi, arendah 0,922

btinggi, brendah 0,890

A2B2

ctinggi, crendah 0,916

Invarian

Sumber: Asmin (2005: 211)

2) Asumsi Invariansi Kemampuan

Terlebih dahulu dipilah dua kelompok tes ganjil dan tes genap, kemudian diestimasi dengan program ASCAL untuk mendapatkan kemampuan masing-masing peserta tes. Selanjutnya kedua kelompok kemampuan dikorelasikan, dan hasilnya adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Korelasi antara Parameter-Parameter Kemampuan Peserta Tes dari Kemompok Butir Tes Ganjil dan Kelompok Butir Genap pada Masing-Masing Sel A1B1, A2B1, A1B2,

dan A2B2

Kelompok Sel Koefisien korelasi Keterangan

A1B1 0,87 Invarian

A2B1 0,85 Invarian

A1B2 0,84 Invarian

A2B2 0,73 Invarian

Sumber: Asmin (2005: 212)

Korelasi yang dihasilkan pada setiap kelompok seperti pada Tabel 3. di mana tampak bahwa semua korelasi kemampuan dari kedua kelompok butir ganjil dan genap cukup tinggi, sehingga keempat kelompok sel memiliki invariansi kemampuan.

Korelasi Kemampuan

-3 -2 -1 0 1 2 3

-2 0 2 4

Kemampuan pd butir ganjil

K

e

m

a

m

puan

pd b

u

ti

r

genap

Series1

Sumber: Asmin (2005: 212) Gambar 3. Grafik Korelasi Kemampuan dari Kelompok

Butir

Kesimpulan

Pemenuhan persyaratan analisis dalam suatu penelitian tidak dapat diabaikan begitu rupa sehingga hasil peneitian tersebut kurang layak digunakan. Hal ini karena pada dasarnya suatu hasil penelitian dapat diterima secara ilmiah bila semua persyaratan yang telah ditetapkan terlebih dahulu dipenuhi, sehingga hal ini dapat memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Hasilnyai digunakan untuk melihat seberapa jauh perbedaan antara apa yang diprediksi oleh model dengan apa yang sebenarnya diperoleh. Perbedaan yang terjadi berdasarkan analisis tersebut kemudian dihitung secara statistik sehingga memberi informasi apakah suatu butir soal cocok dengan model IRT atau fit secara statistika (Hayat, 1997). Dalam kaitannya dengan instrumen yang digunakan, maka butir soal yang cocok (fit) berarti soal tersebut berperilaku secara konsisten dengan apa yang diharapkan oleh model IRT. Suatu instrumen yang fit dengan model IRT bila grafik model butir soal asimpton (Jan-Eric Gustafsson, dalam Pakpahan, 1999: 59) yaitu suatu garis lengkung (linier) yang titik awal dimulai pada dasar grafik hingga titik akhir puncak grafik.

DAFTAR PUSTAKA

Asmin, Pengaruh Ragam Bentuk Tes Objektif dan Gaya Berpikir Terhadap Fungsi Informasi Butir Tes, Disertasi, 2005.

Hambleton, Ronald., Swaminathan, H., dan Jane Rogers, H. Fundamental of Item Response Theory. London: SAGE Publications, Inc, 1999.

Hari Setiadi, Bank Soal Yang Dikalibrasi Dengan Konsep IRT Memecahkan Permasalahan Pada Ujian-Ujian Sistematik Yang Diadakan Pada Periode-Periode Tertentu (Jakarta: Jurnal Kajian Dikbud No. 013, Tahun IV, 1998), p. 7


(6)

Hayat, Bahrul. “Standardisasi Soal Ebtanas” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Nomor 20 Tahun ke-5, 1997, p. 51.

Lawrence M. Rudner, Item Response Theory, p. 1, 2001(http://edres.org/irt/).

Lord, Frederick M, Aplication of Item Response Theory to Practical Testing Problems. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publisher, 1980.

Naga, Dali, S. Pengantar Teori Skor pada Pengukuran Pendidikan. Jakarta: Besbats, 1992.

Mc Donald, Roderick P. Test Theory: A Unified Treatment New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers, 1991.

Pakpahan, Rogers. “Studi Kebiasan Soal Ebtanas SMU Tahun 1996/1997” Jakarta: Jurnal Kajian Dikbud No. 020, Tahun ke 5, 1999, p. 59.

Shreyer Insititute for Teching Excellence, Academic Testing Item Response Theory, p.1, 2000 (http://www.uts.psu.edu/item response theory frame.htm).