Perbandingan Tingkat Perkembangan Tanah Menurut Metode Morfologi Tanah, Mineral Liat dan Mineral Indeks Van Wambeke Pada Tiga Pedon Pewakil di Arboretum Kampus USU Kwala Bekala

(1)

PERBANDINGAN TINGKAT PERKEMBANGAN TANAH MENURUT METODE MORFOLOGI TANAH, MINERAL LIAT DAN MINERAL INDEKS

VAN WAMBEKE PADA TIGA PEDON PEWAKIL DI ARBORETUM KAMPUS USU KWALA BEKALA

SKRIPSI

OLEH JOSEPH CAREY S

050303029 ILMU TANAH

DEPARTEMEN ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(2)

PERBANDINGAN TINGKAT PERKEMBANGAN TANAH MENURUT METODE MORFOLOGI TANAH, MINERAL LIAT DAN MINERAL INDEKS

VAN WAMBEKE PADA TIGA PEDON PEWAKIL DI ARBORETUM KAMPUS USU KWALA BEKALA

SKRIPSI

OLEH

JOSEPH CAREY S 050303029 ILMU TANAH

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Di Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan

DEPARTEMEN ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(3)

Judul Skripsi : Perbandingan Tingkat Perkembangan Tanah Menurut Metode Morfologi Tanah, Mineral Liat dan Mineral Indeks Van Wambeke Pada Tiga Pedon Pewakil di Arboretum Kampus USU Kwala Bekala

Nama : Joseph Carey S

NIM : 050303029

Departemen : Ilmu Tanah

Progam Studi : Klasifikasi Tanah dan Evaluasi Lahan

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

(Ir. P. Marpaung, SU) (Kemala Sari Lubis, SP, MP) Ketua Anggota

NIP. 19540205 198003 1003 NIP. 19700831 199510 2001

Mengetahui

(Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP) Ketua Departemen Ilmu Tanah

NIP. 19590917 198701 1001

DEPARTEMEN ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(4)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untukmengetahui tingkat perkembangan tanah dan membandingkan metode penentuan tingkat perkembangan tanah di Arboretum Kampus USU Kwala Bekala. Penenlitian ini dilakukan di Arboretum Kampus USU Kwala Bekala dan di Laboratorium PTKI (Pendidikan Teknologi Kimia Industri) Medan, Sumatera Utara.

Dilakukan pengamatan profil di lapangan pada tiga lokasi. Profil 1 berada di dekat sungai dengan kemiringan lereng 3 % (landai), profil 2 pada kemiringan lereng 10 % (bergelombang), profil 3 pada kemiringan lereng 2 % (datar). Pada masing-masing profil diamati sifat-sifat fisik tanah, seperti warna, struktur, konsistensi, perakaran dan diambil sampel masing-masing profil tiap horison, lalu dianalisis mineral liat, mineral indeks Van Wambeke, tekstur tanah.

Dari hasil penelitian memperlihatkan bahwa tingkat perkembangan tanah berdasarkan morfologi tanah pada pedon 1 adalah muda, pedon 2 adalah dewasa dan pedon 3 adalah dewasa, tapi lebih berkembang dari pedon 2. Berdasarkan mineral liat, pada pedon 1 adalah berkembang ke arah yang lebih lanjut, pedon 2 adalah awal, dan pedon 3 adalah berkembang ke arah yang lebih lanjut, tetapi lebih berkembang dari pedon 2. Berdasarkan mineral indeks Van Wambeke, pada pedon 1 adalah tanah yang berkembang dan ada pengendapan, pedon 2 adalah tanah yang berkembang dan ada pengendapan (lebih besar dari pedon 1), dan pedon 3 adalah tanah yang telah berkembang dan ada pengendapan (lebih besar dari pedon 2).

Kata kunci: Perkembangan Tanah, Morfologi Tanah, Mineral Liat, Mineral Indeks Van Wambeke.


(5)

ABSTRACT

This research aims to determine the level of soil development and compare methods of determining the level of soil development in the Arboretum Kampus USU Kwala Bekala. This research is being held in Arboretum Kampus USU Kwala Bekala and in Laboratorium PTKI (Pendidikan Teknologi Kimia Industri) Medan, Sumatera Utara.

Observations made in the feld profile at three locations. Profile 1 was near the river with 3 % slope (sloping), the profile slope 2 at 10 % (corrugated), the profile slope 3 at 2 % (flat). In each of the observed profile of physical properties such as color, structure, consistency, roots and taken samples of each profile of each horizon, and then analyzed clay minerals, index mineral Van Wambeke and soil texture.

From the research result show that the level of soil development based on soil morphology is the young in pedon 1, pedon 2 is a mature and pedon 3 in an adult, but more developed than pedon 2. Based on clay minerals, in pedon 1 was developed in the direction of more advance. Pedon 2 is the beginning, and pedon 3 is developed to more advance, but more developed than pedon 2. Based on index mineral Van Wambeke, in pedon 1 is developed and there is sedimentation, pedon 2 is a developed and there is sedimentation (greater than pedon 1) and pedon 3 is the land that has been developed and there is sedimentation (greater than pedon 2).

Keywords: Soil Development, Soil Morphology, Clay Minerals, Index Mineral Van Wambeke


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Joseph Carey Siburian, lahir di Abepura 29 Mei 1987, putra kedua dari

pasangan Ayahanda D. L. Siburian dan Ibunda Esther Tito, merupakan putra

kedua dari dua bersaudara.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah :

- SD Mutiara 17 Agustus Bekasi lulus pada tahun 1999

- SMP Negeri 21 Bekasi lulus pada tahun 2002

- SMA Negeri 1 Babelan lulus pada tahun 2005

- Masuk USU pada tahun 2005 melalui jalur SPMB di Fakultas Pertanian,

Departemen Ilmu Tanah dengan minat studi Klasifikasi dan Evaluasi

Lahan.

Adapun kegiatan yang pernah diikuti oleh penulis selama masa

perkuliahan adalah :

- Anggota Ikatan Mahasiswa Ilmu Tanah (IMILTA) Fakultas Pertanian,

Universitas Sumatera Utara, Medan.

- Asisten Genesis dan Morfologi Tanah pada tahun 2007-2008.

- Asisten Klasifikasi dan Taksonomi Tanah tahun 2008-2009.

- Penulis melakukan penelitian di Kampus Pertanian USU Baru di Kwala Bekala Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang

- Melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) pada bulan Juli 2008 di


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,

karena berkat kasih karuniaNyalah penulis dapat menyelesaikan penelitian

skripsi ini dengan baik.

Adapun judul dari penelitian ini adalah Perbandingan Tingkat

Pekembangan Tanah Menurut Metode Morfologi Tanah, Mineral Liat dan Mineral Indeks Van Wambecke Pada Tiga Pedon Pewakil di Arboretum Kampus USU Kwala Bekala yang merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana di Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian,

Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Purba Marpaung, SU;

sebagai ketua komisi pembimbing dan Kemala Sari Lubis, SP., MP; sebagai

anggota komisi pembimbing, yang telah membimbing dan menuntun penulis

dalam menyelesaikan penelitian ini sampai akhir penulisan skripsi ini.

Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini

Penulis menyadari dalam penulisan ini masih terdapat kesalahan dan

kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun

untuk perbaikan.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih, semoga penelitian ini


(8)

Medan, Oktober 2009

Penulis

DAFTAR TABEL

No. Hal

1. Puncak Endotermik dan Eksotermik dari Beberapa Mineral Liat

Utama ...10

2. Morfologi Profil 1 di Arboretum USU Kwala Bekala, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang ...18

3. Morfologi Profil 2 di Arboretum USU Kwala Bekala, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang ...19

4. Morfologi Profil 3 di Arboretum USU Kwala Bekala, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang ...20

5. Analisis Tekstur Tanah ...21

6. Puncak Endotermik dan Jenis Mineral Liat Pedon 1 ...28

7. Puncak Endotermik dan Jenis Mineral Liat Pedon 2 ...29

8. Puncak Endotermik dan Jenis Mineral Liat Pedon 3 ...29

9. Acuan Sederahana Perkembangan Solum Tanah dengan Menggunakan Perhitungan Mineral Indeks ...30


(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal

1. Termogram Horison Ap ...22

2. Termogram Horison IIC ...22

3. Termogram Horison Bt ...23

4. Termogram Horison IC...23

5. Termogram Horison Bw ...24

6. Termogram Horison Ap ...24

7. Termogram Horison Bw1 ...25

8. Termogram Horison Bw2 ...25

9. Termogram Horison Bw3 ...26

10.Termogram Horison C ...26

11.Termogram Horison Ap ...27

12.Termogram Horison Bt1 ...27

13.Termogram Horison Bt2 ...28


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No.

1. Prosedur Pemakaian DTA

2. Prosedur Analisis Tekstur dengan Metode Pipet

3. Perhitungan Tekstur Tanah

4. Perhitungan Mineral Indeks Van Wambeke

5. Peta Lokasi Penelitian

6. Peta Ketinggian Tempat Lokasi Penelitian

7. Peta Geologi Lokasi Penelitian

8. Peta Jenis Tanah Lokasi Penelitian

9. Profil 1 – Arboretum Kampus USU Kwala Bekala

10.Profil 2 – Arboretum Kampus USU Kwala Bekala


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...i

ABSTRACT ...ii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...iii

KATA PENGANTAR ...iv

DAFTAR TABEL ...v

DAFTAR GAMBAR ...vi

DAFTAR LAMPIRAN ...vii

DAFTAR ISI ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ...1

Tujuan Penelitian ...2

Kegunaan Penelitian ...3

TINJAUAN PUSTAKA Tingkat Perkembangan Tanah...4

Morfologi Tanah ...7

Analisi Mineral Liat ...8

Mineral Indeks Van Wambecke ...11

BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Penelitian ...14

Bahan dan Alat ...14

Metode Penelitian ...14

Pelaksanaan Penelitian...16

Persiapan ...16

Kegiatan di Lapangan ...16

Analisis Laboratorium ...16

HASIL DAN PEMABAHASAN Hasil ...18

Deskripsi Profil ...18

Analisis Laboratorium ...21

1. Tekstur Tanah ...21

2. Mineral Liat ...21


(12)

Pembahasan ...31

Deskripsi Profil Tanah ...32

Perkembangan Tanah ...32

1. Morfologi Tanah ...32

2. Mineral Liat ...34

3. Van Wambecke ...35

4. Perbandingan Metode Penentuan Tingkat Perkembangan Tanah ...36

Analisis Laboratorium ...37

1. Tekstur Tanah ...37

2. Mineral Liat Tanah ...38

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ...40

Saran ...40

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(13)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untukmengetahui tingkat perkembangan tanah dan membandingkan metode penentuan tingkat perkembangan tanah di Arboretum Kampus USU Kwala Bekala. Penenlitian ini dilakukan di Arboretum Kampus USU Kwala Bekala dan di Laboratorium PTKI (Pendidikan Teknologi Kimia Industri) Medan, Sumatera Utara.

Dilakukan pengamatan profil di lapangan pada tiga lokasi. Profil 1 berada di dekat sungai dengan kemiringan lereng 3 % (landai), profil 2 pada kemiringan lereng 10 % (bergelombang), profil 3 pada kemiringan lereng 2 % (datar). Pada masing-masing profil diamati sifat-sifat fisik tanah, seperti warna, struktur, konsistensi, perakaran dan diambil sampel masing-masing profil tiap horison, lalu dianalisis mineral liat, mineral indeks Van Wambeke, tekstur tanah.

Dari hasil penelitian memperlihatkan bahwa tingkat perkembangan tanah berdasarkan morfologi tanah pada pedon 1 adalah muda, pedon 2 adalah dewasa dan pedon 3 adalah dewasa, tapi lebih berkembang dari pedon 2. Berdasarkan mineral liat, pada pedon 1 adalah berkembang ke arah yang lebih lanjut, pedon 2 adalah awal, dan pedon 3 adalah berkembang ke arah yang lebih lanjut, tetapi lebih berkembang dari pedon 2. Berdasarkan mineral indeks Van Wambeke, pada pedon 1 adalah tanah yang berkembang dan ada pengendapan, pedon 2 adalah tanah yang berkembang dan ada pengendapan (lebih besar dari pedon 1), dan pedon 3 adalah tanah yang telah berkembang dan ada pengendapan (lebih besar dari pedon 2).

Kata kunci: Perkembangan Tanah, Morfologi Tanah, Mineral Liat, Mineral Indeks Van Wambeke.


(14)

ABSTRACT

This research aims to determine the level of soil development and compare methods of determining the level of soil development in the Arboretum Kampus USU Kwala Bekala. This research is being held in Arboretum Kampus USU Kwala Bekala and in Laboratorium PTKI (Pendidikan Teknologi Kimia Industri) Medan, Sumatera Utara.

Observations made in the feld profile at three locations. Profile 1 was near the river with 3 % slope (sloping), the profile slope 2 at 10 % (corrugated), the profile slope 3 at 2 % (flat). In each of the observed profile of physical properties such as color, structure, consistency, roots and taken samples of each profile of each horizon, and then analyzed clay minerals, index mineral Van Wambeke and soil texture.

From the research result show that the level of soil development based on soil morphology is the young in pedon 1, pedon 2 is a mature and pedon 3 in an adult, but more developed than pedon 2. Based on clay minerals, in pedon 1 was developed in the direction of more advance. Pedon 2 is the beginning, and pedon 3 is developed to more advance, but more developed than pedon 2. Based on index mineral Van Wambeke, in pedon 1 is developed and there is sedimentation, pedon 2 is a developed and there is sedimentation (greater than pedon 1) and pedon 3 is the land that has been developed and there is sedimentation (greater than pedon 2).

Keywords: Soil Development, Soil Morphology, Clay Minerals, Index Mineral Van Wambeke


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanah merupakan kumpulan benda alam di permukaan bumi yang meliputi

horison-horison tanah yang terletak di atas bahan batuan dan terbentuk sebagai

hasil interaksi dari faktor-faktor pembentuk tanah yaitu iklim, organisme hidup,

bahan induk, relief dan waktu.

Proses pembentukan tanah dimulai dari pelapukan bahan batuan menjadi

bahan induk tanah atau horison C. Setelah bahan induk terbentuk, maka terjadi

proses perubahan bahan induk tanah menjadi tubuh tanah. Proses pembentukan

tubuh tanah ini meliputi proses penambahan bahan organik dan mineral ke dalam

tanah, kehilangan bahan tersebut dari tanah, pemindahan bahan-bahan tanah dari

satu lapisan ke lapisan lain dan perubahan bentuk bahan-bahan mineral atau bahan

organik di dalam tanah. Proses perubahan bahan induk tanah menjadi tubuh tanah

disebut dengan perkembangan tanah.

Perkembangan tanah adalah proses pembentukan tanah lanjut setelah

terbentuknya horison C. Ada beberapa cara untuk menentukan tingkat

perkembangan tanah, diantaranya berdasarkan morfologi tanah, dengan melihat

kelengkapan horison tanah penyusun morfologi tanah, berdasarkan mineral liat,

dengan melihat kandungan mineral liat tanahnya dan berdasarkan mineral indeks

Van Wambeke dengan melihat perubahan bobot liat dan bukan liat pada setiap


(16)

Berdasarkan cara morfologi tanah, maka perkembangan tanah dapat

dikelompokkan menjadi tanah muda, dewasa dan tua. Berdasarkan mineral liat,

perkembangan tanah dapat dikelompokkan menjadi perkembangan tanah awal,

berkembang, dan akhir. Berdasarkan mineral indeks Van Wambeke,

perkembangan tanah dapat dikelompokkan menjadi tanah berkembang tanpa

terjadi erosi, tanah berkembang dengan terjadi erosi dan tanah berkembang

dengan terjadi pengendapan.

Kawasan hutan pendidikan (Arboretum) Kampus USU Kwala Bekala

terletak di bagian selatan kampus, berdampingan dengan kawasan laboratorium

terpadu. Menempati lahan seluas ± 30 ha, merupakan taman hutan raya sebagai

bagian dari kegiatan akademik Fakultas Kehutanan dan Pertanian, memungkinkan

terlaksananya fungsi area hijau sebagai daerah konservasi kawasan. Daerah ini

memiliki kondisi topografi yang beragam yang diduga memiliki tingkat

perkembangan yang berbeda dan jenis tanah yang berbeda pula. Lokasi ini belum

pernah dilakukan penelitian tentang tingkat perkembangan tanahnya. Oleh karena

itu penulis tertarik untuk meneliti tingkat perkembangan tanah di lahan Arboretum

Kampus USU Kwala Bekala.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

a) Untuk mengetahui tingkat perkembangan tanah di Arboretum Kampus

USU Kwala Bekala

b) Untuk membandingkan metode penentuan tingkat perkembangan tanah di


(17)

Kegunaan Penelitian

a) Sebagai bahan informasi bagi pengelolaan tanah

b) Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Tingkat Perkembangan Tanah

Mohr dan Van Baren mengenal 5 tahap dalam perkembangan tanah di

daerah tropika: 1. Tahap awal–bahan induk yang tidak terkikis; 2. Tahap yuwana–

pengikisan telah dimulai, tetapi sebagian besar bahan aslinya belum terkikis;

3. Tahap dewasa–mineral yang mudah terkikis sebagian besar telah terombak,

kandungan tanah liat telah meningkat dan kelembutannya dapat telihat nyata;

4. Tahap tua–perombakan sampai pada tahap terakhir dan hanya kebanyakan

mineral yang paling resisten dapat bertahan; 5. Tahap akhir–perkembangan tanah

telah selesai dan tanah terkikis habis di bawah keadaan yang berlaku (Foth, 1994).

Proses-proses perkembangan tanah yang menimbulkan ciri asasi terdiri

atas: (1) proses akumulasi bahan organik di permukaan bumi sambil membentuk

horison O, antara lain termasuk proses yang menimbulkan ciri khas seperti

pembentukan humus, gambut; (2) proses elluviasi sambil membentuk horison A,

termasuk proses khas berupa antara lain pencucian basa, latosolisasi, podzolisasi;

(3) proses illuviasi sambil membentuk haorison B, terdiri atas proses khas seperti

antara lain akumulasi kapur, lempung (clay), besi, pembentukan ciri solonetz dan

lain-lain; (4) proses diferensiasi horison yang teratur, sebagai akibat proses-proses

(1), (2), dan (3) tersebut di atas (Darmawidjaya, 1990).

Topografi memodifikasi perkembangan profil tanah dalam tiga cara: (1)


(19)

dipertahankan dalam tanah, jadi mempengaruhi perkembangan air; (2) dengan

mempengaruhi laju pembuangan tanah oleh erosi; (3) dengan mengarahkan

gerakan bahan dalam suspensi atau larutan atau dari satu daerah ke daerah lainnya

(Foth, 1994).

Oleh karena waktu merupakan faktor pasif, suatu jenis tanah yang sama

tetapi berasal dari bahan induk dan iklim yang berbeda dapat mempunyai umur

yang tidak sama atau sebaliknya, maka kematangan suatu jenis tanah tidak saja

tergantung umurnya tetapi lebih tergantung pada kelengkapan horisonnya.

(Hanafiah, 2005).

Perkembangan tanah adalah proses pembentukan tanah lanjut setelah

terbentuknya horison C, banyak cara untuk menentukan perkembangan tanah,

yaitu: (1) berdasarkan morfologi tanah, dinilai kelengkapan horison penyusun

morfologi tanah. Berikut ini urutan perkembangan tanah (yang awal lebih

berkembang dari yang dibelakangnya): A-E-Bt-C; A-Bt-C; A-Bw-C; A-C; C-R;

R. (2) berdasarkan nisbah SiO2-R2O3 (Al2O3+Fe2O3). Tanah dengan nisbah lebih

dari satu lebih berkembang daripada kurang dari satu. (3) berdasarkan mineral

primer, ditentukan mineral resisten yang dominan lebih berkembang daripada

yang didominasi mineral mudah melapuk. (4) berdasarkan mineral liat, ditentukan

jenis dan jumlah mineral liat penyusun tanah. Tingkat perkembangan tanah

ditentukan berdasarkan susunan mineral liat yaitu tanah dengan

mineral gibsit>kaolinit>montmorillonit>alofan (> berarti lebih berkembang).

(5) berdasarkan mineral indeks Van Wambeke. Khusus kajian ini bahwa bahan

organik tidak termasuk perhitungan. Diamsusikan bahwa tanah berkembang dari


(20)

resisten dipergunakan sebagai mineral indeks dan dijadikan faktor mineral indeks.

Dengan menggunakan tabel model sederhana Van Wambeke dapat diketahui

tingkat perkembangan tanah dan bahan dapat dihitung besar erosi atau pencucian

(Marpaung, 2008).

Karena proses perkembangan tanah yang terus berjalan, maka bahan induk

tanah berubah berturut-turut menjadi tanah muda, tanah dewasa, dan tanah tua.

Menurut Hardjowigeno (1993), ciri dari tingkat perkembangan tanah adalah

sebagai berikut:

- Tanah muda (perkembangan awal). Terjadi proses pembentukan tanah

terutama proses pelapukan bahan organik dan bahan mineral, pencampuran

bahan organik dan bahan mineral di permukaan tanah dan pembentukan

struktur tanah karena pengaruh dari bahan organik tersebut (sebagai perekat).

Hasilnya adalah pembentukan horison A dan horison C.

- Tanah dewasa (perkembangan sedang). Dimana pada proses lebih lanjut

terbentuk horison B akibat penimbunan liat (iluviasi) dari lapisan atas ke

lapisan bawah, atau terbentuknya struktur pada lapisan bawah, atau perubahan

warna (Bw) yang menjadi lebih cerah dari pada horison C di bawahnya. Pada

tingkat ini tanah mempunyai kemampuan berproduksi tinggi karena unsur hara

dalam tanah cukup tersedia sebagai hasil dari pelapukan mineral, sedangkan

pencucian hara lebih lanjut.

- Tanah tua (perkembangan lanjut), dengan meningkatnya unsur hara maka

proses pembentukan profil tanah berjalan lebih lanjut sehingga terjadi

perubahan yang nyata pada horison A dan horison B. Tanah menjadi sangat


(21)

tanah dewasa. Akumulasi liat atau seskuioksida di horison B sangat nyata

sehingga membentuk horison argilik (Bt). Apabila terjadi penimbunan liat,

maka horison E tidak terbentuk, sedang di horison B tidak terjadi seskuioksida,

tetapi pelapukan akan berjalan terus menerus dan banyaklah terbentuk

oksida-oksida besi dan aluminium. Horison ini disebut horison oksik (Bo)

Morfologi Tanah

Morfologi tanah adalah sifat-sifat tanah yang diamati dan dipelajari di

lapang. Pengamatan sebaiknya dilakukan di profil tanah yang baru dibuat.

Pengamatan di lapang biasanya dimulai dengan membedakan lapisan-lapisan

tanah atau horison-horison. Di lapang masing-masing horison diamati

sifat-sifatnya yang meliputi: warna, tekstur, konsistensi, struktur, kutan, konkresi dan

nodul, pori-pori tanah, pH (metode lapang), batas-batas horison

(Hardjowigeno, 1993).

Ciri-ciri morfologi ditentukan melalui profil tanah yang merupakan

petunjuk dari proses-proses yang telah dialami suatu jenis tanah selama pelapukan

dan perkembangannya. Perbedaan intensitas faktor-faktor pembentuk tanah

terutama iklim, meninggalkan ciri-ciri pada profil tanah yang dapat digunakan

untuk menentukan suatu jenis tanah (Darmawidjaya, 1990).

Tanah-tanah muda dicirikan oleh horison yang baru berkembang dan

tanah-tanah dewasa dicirikan oleh horison yang lengkap, sedangkan tanah-tanah

tua dicirikan oleh horison-horison lapisan atas yang menipis atau hilang sama


(22)

Bahan induk mungkin ditransformasi menjadi tanah yuwana atau tanah

muda dalam waktu yang relatif singkat apabila kondisi menguntungkan. Tahap ini

dicirikan oleh akumulasi bahan organik pada permukaan tanah dan sedikit

pengikisan, pencucian atau translokasi koloid. Hanya terdapat horison A dan C

dan sifat-sifat tanah sampai batas yang agak luas telah diturunkan dari bahan

induk. Tahap dewasa diperoleh dengan perkembangan horison B. Akhirnya,

cukup waktu berlalu, tanah dewasa mungkin menjadi sangat berbeda sehingga

perbedaan besar terdapat sifat-sifat horison A dan B ini (Foth, 1994).

Tiap jenis dan tipe tanah memiliki ciri yang khas dipandang dari sifat-sifat

fisika maupun kimianya. Pada bagian ini menyangkut tanah-tanah yang memiliki

horison-horison sebagai akibat berlangsungnya evolusi genetis di dalam tanah.

Terdapatnya horison pada tanah-tanah yang memiliki perkembangan genetis

menyugestikan bahwa beberapa proses tertentu umum terdapat dalam

perkembangan bentukan profil tanah (Hakim, dkk, 1986).

Dalam penelitian Nadeak (2006) pada tanah Entisol (pedon 1) dan

Inseptisol (pedon 2) di Desa Lingga Julu Kecamatan Simpang Empat Kabupaten

Karo diperoleh data pada pedon 1 horisonnya adalah Ap-IIC1-IIC2-Bw-IC dan

pedon 2 Ap-Bw-C1-C2. Disimpulkan bahwa pedon 2 lebih berkembang

dibandingkan pedon 1, karena di pedon 1 terjadi diskontinuitas litologi, sehingga

perkembangan tanah terhambat.

Analisis Mineral Liat

Gambaran lain tentang laju perkembangan tanah adalah pembentukan


(23)

kandungan mineral utama yang tinggi mungkin dicirikan dengan laju

pembentukan tanah liat yang tinggi. Pada tanah dewasa atau tua yang kebanyakan

mineral utamanya telah terkikis, bentukan tanah liat silikat seharusnya rendah.

Akan tetapi, kandungan tanah liat yang tinggi mendorong laju perombakan tanah

liat yang relatif tinggi. Jadi terlihat bahwa beberapa di antara proses itu lebih

operatif pada tanah muda sedangkan proses yang lain lebih operatif pada tanah tua

(Foth, 1994).

Mineral liat merupakan komponen penting dalam tanah, sehingga

keberadaanya dapat menentukan sifat dan ciri tanah. Beberapa aspek penting yang

berkaitan dengan sifat mineral liat adalah (a) muatan (kapasitas tukar kation), (b)

difusi double layer, (c) mengembang dan mengkerutnya tanah dan (d) konsistensi

tanah (Munir, 1996).

Berdasarkan perkembangannya, para ahli ilmu pengetahuan tanah

membedakan dua urutan mineral (pelikan) yaitu mineral primer dan mineral

sekunder. Yang dimaksud mineral primer adalah mineral asli yang terdapat dalam

batuan. Pada umumnya mineral primer terdiri atas mineral silikat yaitu

persenyawaan silikon dan oksigen (SiO2), kemudian variasinya terdiri dari

mineral feldsfar yang mengandung persenyawaan alumunium, kalsium, natrium,

besi, dan magnesium. Perubahan susunan kimia selama pelapukan batuan dekat

permukaan bumi mengubah mineral primer yang terurai dan kemudian

bersenyawa lagi membentuk mineral sekunder. Mineral sekunder adalah mineral

penting (esensial) untuk perkembangan dan kesuburan tanah (Rafi’i 1990).

Identifikasi kuantitatif mineral dapat dilakukan dengan mengintepretasi


(24)

dengan termogram DTA dari mineral standar, atau dengan kurva dari mineral

yang telah diketahui. Tiap mineral liat menampakkan ciri-ciri reaksi termal yang

spesifik (Tan, 1991).

Tabel 1. Puncak Endotermik dan Eksotermik Dari Beberapa Mineral Liat Utama

Mineral Liat Puncak Endotermik (0C) Puncak Eksotermik (0C)

Kaolinit 500 – 600 900 – 1000

Montmorilonit 100 – 250 900 – 1000

Haloisit 500 – 600

100 – 200

930 – 950

Gibsit 250 – 350 800 – 900

Geotit 300 – 400 800 – 900

Alofan: 50 – 200 800 – 1000

Imogolit 390 – 420 900 – 1000

Sumber: Tan (1991)

Metode umum yang dipakai untuk menditeksi alofan adalah analisis

diferensial termal. Kurva ADT alofan umumnya dicirikan oleh puncak endotermik

yang besar dan tajam antara 50 – 200OC yang disebabkan oleh hilangnya air

terjerap (Tan, 1991).

Dalam penelitian Sitinjak (2001) pada tanah Inseptisol (pedon 1, 2, 3) di

Uruk Gerunggang Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat diperoleh data pada

pedon 1 dan pedon 2 dengan horison Ap1-Ap2-Bw1-Bw2 disusun oleh mineral

alofan di lapisan permukaan dan mineral gibsit di lapisan bawah, sedangkan

pedon 3 dengan horison Oa-Ap1-Ap2-Bw disusun oleh alofan, dengan demikian

penyusun utamanya adalah mineral alofan. Disimpulkan bahwa ketiga pedon


(25)

Dalam peneltian Sudihardjo, dkk (1995) di wilayah Karst Gunung Kidul,

yaitu di daerah perbukitan Karst Gadung (AMGD), Gatel (AMGT), Duleng

(AMDL) dan Panjeran (AAM), menunjukkan hasil analisis liat dengan DTA

didominasi mineral alofan, ditunjukkan oleh reaksi endotermik pada temperatur

100OC – 12OC dan reaksi eksotermik pada ± 900OC. Reaksi endotermik kuat pada

temperatur 100OC – 120OC yang diikuti reaksi endotermik lemah pada temperatur

± 475OC merupakan sifat karakteristik alofan. Pada contoh AAM haloisit hidrat

ditunjukkan oleh reaksi endotermik 490 – 500OC, ferihidrit ± 370OC dan gibsit

pada reaksi endotermik ± 285OC, imogolit pada 480OC. Dengan susunan mineral

liat yang didominasi oleh alofan, sedikit haloisit hidrat, imogolit dan gibsit, maka

dapat diduga bahwa beberapa mekanisme proses pelapukan tersebut mengikuti

sekuens sebagai berikut: alofan  haloisit hidrat + gibsit pada kondisi pencucian intensif, sedangkan yang telah menjadi kaolinit, mungkin sekuen pelapukannya

mengikuti mekanisme: alofan (B, AB, A)  haloisit/metahaloisit  kaolinit. Dari analisis liat dengan DTA dimana imogolit juga ditemukan, maka diduga bahwa

proses pelapukan alofan mengikuti mekanisme: alofan  imogolit  haloisit hidrat.

Mineral Indeks Van Wambeke

Khusus kajian ini bahan organik tidak termasuk dalam perhitungan.

Diasumsikan bahwa tanah berkembang dari kolum bahan homogen original

seperti horison C. Partikel pasir kasar dari mineral resisten dipergunakan sebagai

mineral indeks dan dijadikan faktor mineral indeks. Dengan menggunakan tabel

model sederhana Van Wambeke dapat diketahui tingkat perkembangan tanah dan


(26)

Van Wambeke dalam Buol, et al (1980), menyatakan suatu model

sederhana dari perkembangan solum tanah yang menggunakan perhitungan

Mineral Indeks dengan asumsi bahwa tanah berkembang dari suatu kolum bahan

yang homogen yang pada awalnya seperti horison C. Dengan menggunakan

metode Mineral Indeks dapat dikaji perkembangan suatu tanah. Bobot total saat

ini merupakan masa tanah pada suatu kolum tanah, bobot liat semula merupakan

hasil perkalian bobot liat saat ini dengan faktor MI (Mineral Indeks). Bobot MI

merupakan bobot pasir halus pada satu kolum. Bobot liat saat ini adalah bobot liat

setelah mengalami pelapukan ataupun proses perkembangan tanah. Bobot bukan

liat saat ini merupakan bobot fraksi debu dan pasir. Bobot total semula adalah

hasil perkalian antara faktor MI dengan bobot total saat ini. Bobot liat semula

adalah hasil kali faktor MI dengan bobot liat saat ini. Bobot bukan liat semula

merupakan hasil kali faktor MI dengan bobot bukan liat saat ini.

Dalam penelitian Grace (2002) di Uruk Gerunggang Kecamatan Kuala

Kabupaten Langkat dengan Metode Van Wambeke disimpulkan bahwa

perkembangan tanah Uruk Gerunggang yaitu pada pedon 1 dan pedon 2 adalah

tahap awal, karena telah terbentuk fraksi liat yang lebih sedikit dari fraksi bukan

liat yang hilang dan pedon 3 sedikit lebih berkembang dibanding pedon 1 dan

pedon 2, karena fraksi liat yang terbentuk sedikit lebih besar dari fraksi bukan liat

yang hilang tetapi tanpa pengendapan.

Dalam penelitian Silalahi (2006) di Desa Lingga Julu Kecamatan Simpang

Empat Kabupaten Karo diperoleh data pada pedon 1 horisonnya adalah

Ap-IIC-Bw-IC dan pedon 2 Ap-Bw-C1-C2. Pada pedon 1 Ap-IIC memperlihatkan


(27)

sebesar 9,53 g, berdasarkan hitungan Van Wambeke kriterianya adalah termasuk

tanah yang berkembang disertai pengendapan, dimana bobot liat yang terbentuk <

bobot bukan liat yang hilang. Pada pedon 1 Bw-IC2 terjadi pengurangan bahan

bukan liat sebesar -3,31 g dan penambahan bahan liat sebesar 3,1 g, berdasarkan

hitungan Van Wambeke kriterianya termasuk tanah yang berkembang disertai

pengendapan, dimana bobot liat yang terbentuk < bobot bukan liat yang hilang.

Dan pada pedon 2 Ap-Bw-C terjadi pengurangan bahan bukan liat sebesar 1,75 g

dan penambahan liat sebesar 227,78 g, berdasarkan hitungan Van Wambeke

kriterianya termasuk tanah berkembang, dimana bobot liat yang terbentuk > bobot


(28)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Deskripsi Profil

Deskripsi profil daerah penelitian adalah sebagai berikut:

Deskripsi Profil 1

Pedon : P1

Lokasi : Arboretum USU Kwala Bekala, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang

Kordinat : 3028’41,9” LU - 98038’18,5” BT Bahan Induk : Aluvium

Kemiringan Lereng : 3% (landai)

Drainase : Buruk

Altitude : 50 m di atas permukaan laut Kedalaman Efektif : 18 cm

Vegetasi : Jagung (Zea mays), rumput-rumputan (Graminae), pisang (Musa paradisiaca)

Kedalaman air tanah : 54 cm

Tanggal : 22 Januari 2009

Tabel 2. Morfologi Profil 1 di Arboretum USU Kwala Bekala, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang

Horison Kedalaman (cm) Uraian

Ap

0 – 17/20 Coklat (7,5 YR 5/4 ), pasir, sedang, remah, sangat gembur, tak lekat, lepas, tidak terdapat batuan, perakaran banyak, beralih nyata berombak ke…

IIC

17/20 – 24/31 Coklat gelap (7,5 YR 4/2), pasir, sedang, gumpal, gembur, agak lekat, lunak, tidak terdapat batuan, perakaran sedikit, beralih nyata berombak ke …

Bt

24/31 – 33/38 Coklat gelap kemerahan (5 YR 3/4), lempung, agak halus, prisma, gembur, agak lekat, lunak, tidak terdapat batuan, tidak ada perakaran, terdapat karatan, beralih nyata ke…

IC

33/38 – 43/50 Coklat gelap (7,5 YR 4/4), pasir, sedang, gumpal, gembur,


(29)

perakaran, beralih nyata berombak ke…

Bw

43/50 – 54 Coklat kemerahan (5 YR 5/4), lempung berpasir, agak halus, pejal, gembur, agak lekat, lunak, tidak ada batuan, tidak ada perakaran, terdapat karatan.


(30)

Deskripsi Profil 2

Pedon : P2

Lokasi : Arboretum USU Kwala Bekala, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang

Kordinat : 3028’44,22” LU - 98038’12,5” BT

Bahan Induk : Aluvium

Kemiringan Lereng : 10% (bergelombang)

Drainase : baik

Elevasi : 60 m di atas permukaan laut

Kedalaman Efektif : 16 cm

Vegetasi : Kemiri (Aleurites moluccana), lamtoro

(leucaena leucocepala), rumput-rumputan (Graminae)

Kedalaman air tanah : -

Tanggal : 22 Januari 2009

Tabel 3. Morfologi Profil 2 di Arboretum USU Kwala Bekala, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang

Horison Kedalaman (cm) Uraian

Ap

0 – 2/4 Abu-abu gelap kemerahan (5 YR 4/2), lempung berliat, halus, prisma, gembur, lekat, lunak, perakaran banyak, tidak ada batuan, beralih nyata berombak ke…

Bw 1

2/4 – 9/16 Coklat kekuningan (10 YR 5/6), lempung, sedang,

gumpal, gembur, agak lekat, lunak, perakaran banyak, terdapat batuan, beralih nyata berombak ke…

Bw 2

9/16- 62/72 Kuning (10 YR 6/6, liat, sedang, gumpal, gembur, agak

lekat, agak keras, perakaran sedikit, terdapat batuan, beralih nyata berombak ke…

Bw 3

62/72 – 150/153 Coklat gelap kekuningan (10 YR 4/6), liat, agak halus, gumpal, gembur, lekat, agak keras, tidak ada perakaran, terdapat batuan, beralih nyata berombak ke..

C

150/153 – 165 Kuning (10 YR 6/6), lempung liat berpasir, agak halus, gumpal, gembur, agak lekat, agak keras.


(31)

Deskripsi Profil 3

Pedon : P3

Lokasi : Arboretum USU Kwala Bekala, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang

Kordinat : 3028’44,22” LU - 98038’11,0” BT

Bahan Induk : Satuan Singkut (andesit, dasit, mikrodiorit, tufa)

Kemiringan Lereng : 2% (datar)

Drainase : baik

Elevasi : 80 m di atas permukaan laut

Kedalaman Efektif : 36 cm

Vegetasi : Jambu (Psidium guajava L.), rumput-rumputan (Graminae), sirsak (Anona muricata L.), lamtoro (Leucaena leucocepala), jati (Tectona grandis).

Kedalaman air tanah : -

Tanggal : 22 Januari 2009

Tabel 4. Morfologi Profil 3 di Arboretum USU Kwala Bekala, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang

Horison Kedalaman (cm)

Uraian

Ap

0 – 10/17 Merah kehitaman (2,5 YR 3/2), liat, halus, gumpal, teguh, agak lekat, agak keras, perakaran banyak, tidak terdapat batuan, beralih nyata berombak ke…

Bt1

10/17 – 89/98 Coklat kemerahan ( 2,5 YR 4/4), liat, halus, gumpal, teguh, lekat, keras, sedikit perakaran, tidak ada batuan, beralih nyata berombak ke…

Bt2

89/98 – 140 Merah ( 2,5 YR 4/8), liat, halus, prisma, teguh, lekat, keras, tidak ada perakaran, terdapat batuan


(32)

Analisis Laboratorium

1. Tekstur Tanah

Analisis tekstur tanah menggunakan metode pipet. Data analisis tekstur

tanah tertera pada Tabel 5.

Tabel 5. Analisis Tekstur Tanah

Pedon Horison Kedalaman (cm)

Fraksi (%) Tekstur

Pasir Debu Liat

P1 Ap 0 – 17/20 88,82 10,98 0,2 Pasir

IIC 17/20 – 24/31 90,68 7,96 1,36 Pasir Bt 24/31 – 33/38 52,43 28,36 19,21 Lempung IC 33/38 – 43/50 90,44 6,97 2,59 Pasir Bw 43/50 – +50 53,99 30,44 15,57 Lempung Berpasir

P2 Ap 0 – 2/4 38,54 28,49 32,97 Lempung Berliat Bw1 2/4 – 9/16 40,7 37,94 21,36 Lempung Bw2 9/16 – 62/72 22,22 31,66 46,12 Liat Bw3 62/72 – 150/153 33,08 25,75 41,17 Liat

C 150/153 – +153 53,61 25,57 20,82 Lempung Liat Berpasir

P3 Ap 0 – 10/17 14,23 28,42 57,35 Liat

Bt1 10/17 – 89/98 25,85 32,08 42,07 Liat Bt2 89/98 – 140 7,49 13,59 78,92 Liat

2. Mineral Liat Tanah

Analisis mineral liat tanah menggunakan alat Differential Thermal Analysis


(33)

Pedon 1


(34)

Gambar 2. Termogram Horison IIC

Gambar 3. Termogram Horison Bt


(35)

Gambar 5. Termogram Horison Bw


(36)

Gambar 6. Termogram Horison Ap

Gambar 7. Termogram Horison Bw1


(37)

Gambar 9. Termogram Horison Bw3


(38)

Pedon 3


(39)

Gambar 12. Termogram Horison Bt1

Gambar 13. Termogram Horison Bt2

Data puncak endotermik dan jenis mineral liat tanah tertera pada tabel di

bawah ini.

Tabel 6. Puncak Endotermik dan Jenis Mineral Liat Pedon 1

Horison Puncak Endotermik (0C) Jenis Mineral Liat Ap

IIC

Bt

IC

Bw

60 255 470 65 260 470 70 260 475 60 260 470 60 260 480

Alofan Gibsit Imogolit

Alofan Gibsit Imogolit

Alofan Gibsit Imogolit

Alofan Gibsit Imogolit

Alofan Gibsit Imogolit


(40)

Tabel 7. Puncak Endotermik dan Jenis Mineral Liat Pedon 2

Horison Puncak Endotermik (0C) Jenis Mineral Liat Ap Bw1 Bw2 Bw3 C 60 470 70 475 65 480 70 480 65 475 Alofan Imogolit Alofan Imogolit Alofan Imogolit Alofan Imogolit Alofan Imogolit Tabel 8. Puncak Endotermik dan Jenis Mineral Liat Pedon 3

Horison Puncak Endotermik (0C) Jenis Mineral Liat Ap Bt1 Bt2 65 265 480 70 275 480 60 260 480 Alofan Gibsit Imogolit Alofan Gibsit Imogolit Alofan Gibsit Imogolit 3. Mineral Indeks Van Wambeke

Berdasarkan perhitungan mineral indeks Van Wambeke (lampiran 5),

diperoleh angka-angka: bobot mineral indeks, faktor mineral indeks, bobot liat

saat ini, bobot bukan liat saat ini, bobot total semula, bobot liat semula, bobot

bukan liat semula, serta perubahan kadar liat dan bukan liat yang tertera pada


(41)

Pembahasan

Deskripsi Profil Tanah

Berdasarkan morfologi tanah pada pedon 1 diperoleh data bahwa pedon ini

terdiri dari lima horison, yaitu Ap-IIC-Bt-IC-Bw dengan kedalaman profil 54 cm,

yang memiliki batas peralihan yang berombak dan nyata. Pada pedon 2 terdiri dari

lima horison yaitu Ap-Bw1-Bw2-Bw3-C dengan kedalaman profil 165 cm, yang

memiliki batas peralihan yang berombak dan nyata. Pada pedon 3 terdiri dari lima

horison yaitu Ap-Bt1-Bt2 dengan kedalaman profil 140 cm, yang memiliki batas

peralihan yang berombak dan nyata.

Pada ketiga pedon tanah tersebut diamati warna tanah dengan

menggunakan buku Munsell Soil Color Chart, dan diamati dalam keadaan

lembab. Warna tanah ini disusun oleh tiga variabel, yaitu hue, value, dan chroma.

Hue menunjukkan warna spektrum yang dominan, sesuai dengan panjang

gelombang, value menunjukkan gelap terangnya warna sesuai dengan banyaknya

sinar yang dipantulkan dan chroma menunjukkan kemurnian atau kekuatan dari

warna spektrum. Warna tanah ini merupakan salah satu parameter yang digunakan

dalam membedakan setiap batas horison dalam profil tanah.

Tekstur tanah pada pedon 1 didominasi oleh tekstur pasir, hal ini karena

profil 1 terletak di dekat aliran sungai. Pada saat air sungai meluap, maka akan

membawa partikel tanah yang berukuran kecil yaitu liat dan debu bersama dengan

aliran air sungai, sehingga akan didominasi oleh partikel pasir. Hal ini juga

didukung oleh kedalaman air tanah yang hanya 54 cm dan curah hujan tahunan


(42)

Pada pedon 2 dengan kedalaman tanah 150 cm sudah didapatkan bahan

induk atau horison C, sedangkan pada pedon 3 belum didapatkan bahan induk

dengan kedalaman 140 cm. Hal ini terjadi karena kedua pedon memiliki

ketinggian tempat yang berbeda, pedon 2 ketinggian tempatnya 60 m dpl,

sedangkan pedon 3 ketinggian tempatnya 70 m dpl. Tetapi sesungguhnya kedua

pedon ini memiliki bahan induk yang sama, jika dilihat dari toposekuennya. Hal

ini dapat terlihat dari gambar berikut:

Pedon 3

70 m dpl

Pedon 2

60 m dpl

Gambar 14. Toposekuen Pedon 2 dan Pedon 3

Perkembangan Tanah

1. Morfologi Tanah

Penilaian tingkat perkembangan tanah ditentukan berdasarkan

kelengkapan horison tanahnya. Menurut Marpaung (2008), urutan perkembangan

tanah adalah sebagai berikut A-E-Bt-C; A-Bt-C; A-Bw-C; A-C; C-R; R, dimana

yang awal lebih berkembang daripada yang belakangnya.

Pedon 1 memiliki horison Ap-IIC-Bt-IC-Bw. Pada pedon ini terjadi

diskontinuitas litologi atau terjadi perulangan horison C. Ini disebabkan oleh

proses erosi dan pengendapan partikel tanah yang dilakukan air sungai pada saat


(43)

pada tingkat perkembangan tanah muda. Hal ini sesuai dengan literatur

Hanafiah (2005) yang mengatakan bahwa tanah-tanah muda dicirikan oleh

horison yang baru berkembang.

Pedon 2 memiliki horison Ap-Bw1-Bw2-Bw3-C. Berdasarkan

kelengkapan horisonnya maka pedon 2 dapat dikategorikan pada tingkat

perkembangan tanah dewasa. Hal ini sesuai dengan literatur Foth (1994) yang

menyatakan bahwa tahap dewasa diperoleh dengan perkembangan horison B.

Pedon 3 memiliki horison Ap-Bt1-Bt2. Berdasarkan kelengkapan

horisonnya maka pedon 3 dapat dikategorikan pada tingkat perkembangan tanah

dewasa, tetapi lebih berkembang dari pedon 2, sesuai dengan literatur Marpaung

(2008) yang menjelaskan tentang urutan perkembangan tanah, diamana A-Bt-C

lebih berkembang dari A-Bw-C. Hal ini terjadi karena pedon 2 terletak pada

kemiringan lereng 10 % yang menyebabkan proses iluviasi dan eluviasi terganggu

oleh karena aliran permukaan atau run off, sedangkan pedon 3 kemiringan

lerengnya 3 % yang membuat proses iluviasi dan eluviasi dapat berlangsung

dengan baik.

Dari hasil penelitan Nadeak (2006) menyimpulkan bahwa pada pedon 2

dengan horison Ap-Bw-C1-C2 lebih berkembang daripada pedon 1 dengan

horison Ap-IIC1-IIC2-Bw-IC, karena pada pedon 1 terjadi diskontinuitas litologi,

hal ini sesuai dengan data yang didapat pada hasil penelitian, pedon 2 dengan

horison Bw1-Bw2-Bw3 lebih berkembang dari pedon 1 dengan horison


(44)

2. Mineral Liat

Penentuan tingkat perkembangan tanah didasarkan pada susunan mineral

mineral liat penyusun tanah. Menurut Marpaung (2008) urutan mineral liat adalah

gibsit-kaolinit-montmorillonit-alofan, dimana yang awal lebih berkembang

daripada yang di belakangnya.

Berdasarkan hasil interpretasi termogram diketahui bahwa pada pedon 1

kandungan mineralnya adalah alofan, gibsit, imogolit. Berdasarkan data ini, maka

tingkat perkembangan tanahnya adalah berkembang ke arah yang lebih lanjut,

karena telah terbentuk mineral gibsit yang berasal dari pelapukan alofan.

Pada pedon 2 disusun oleh alofan, imogolit. Berdasarkan data ini, maka

tingkat perkembangan tanahnya adalah awal, karena belum terbentuk mineral

yang lebih lanjut seperti gibsit.

Dan pedon 3 disusun oleh mineral alofan, gibsit, imogolit. Berdasarkan

data ini, maka tingkat perkembangan tanahnya adalah berkembang ke arah yang

lebih lanjut, karena telah terjadi pelapukan mineral alofan menjadi gibsit.

Berdasarkan mineral penyusunnya, maka pedon 1 dan pedon 3 lebih

berkembang dari pedon 2, karena pedon 1 dan 3 sudah terdapat mineral gibsit.

Dan di antara pedon 1 dan pedon 3, diketahui bahwa pedon 3 lebih berkembang

dari pedon 1 karena puncak endotermik dari mineral gibsit pada profi 3 lebih jelas

terlihat dibanding pada pedon 1.

Dari hasil penelitian Sitinjak (2001), pada pedon 1 dan pedon 2 dengan

horison Ap1-Ap2-Bw1-Bw2 terdapat mineral alofan dan juga gibsit pada horison

Bw2. Jika dibandingkan dengan data hasil penelitian, terutama pada pedon 2


(45)

dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tingkat perkembangan tanah dengan

menggunakan mineral liat walaupun mempunyai horison yang serupa

(horison Bw).

3. Mineral Indeks Van Wambeke

Penentuan tingkat perkembangan tanah didasarkan kepada bobot liat yang

terbentuk dan bobot bukan liat yang hilang. Umumnya dalam perkembangan

tanah terjadi pengurangan bobot bahan bukan liat dan penambahan kadar liat.

Pada pedon 1 diperoleh data bobot bukan liat yang hilang adalah +20,05 g dan

bobot liat yang terbentuk adalah - 4,54 g. Dalam hal ini terjadi penambahan bobot

bukan liat dan pengurangan bobot liat. Perkembangan tanah pada pedon 1 adalah

tanah yang telah berkembang dan terjadi pengendapan.

Pada pedon 2 diperoleh data bobot bukan liat yang hilang adalah

+280,57 g dan bobot liat yang terbentuk adalah +422,54 g. Dalam hal ini terjadi

penambahan bobot bukan liat dan penambahan bobot liat. Berdasarkan hal ini

maka perkembangan tanah pada pedon 2 adalah tanah yang telah berkembang dan

terjadi pengendapan.

Pada pedon 3 diperoleh data bobot bukan liat yang hilang adalah

+213,86 g dan bobot liat yang terbentuk adalah +667,29 g. Dalam hal ini terjadi

penambahan bobot bukan liat dan penambahan bobot liat. Berdasarkan hal ini

maka tanah pada pedon 3 adalah tanah yang telah berkembang dan terjadi

pengendapan.

Berdasarkan bobot bukan liat yang hilang dan bobot liat yang terbentuk

pada ketiga pedon, maka diketahui bahwa pedon 3 lebih berkembang dari pedon 1


(46)

besar yaitu +881,15 g dibanding pedon 2 yaitu +703,11 g dan pedon 1 yaitu

+ 15,51 g. Dan diketahui juga bahwa pedon 2 lebih berkembang dari profil 1,

karena pada pedon 1 telah terjadi erosi yang menyebabkan bobot liatnya

berkurang,

Dari hasil penelitian Silalahi (2006), pada pedon 1 dengan horison

Ap-IIC-Bw-IC yang terjadi diskontunitas litologi memperlihatkan terjadinya pengurangan

bahan bukan liat sebesar -70,21 g dan penambahan bahan liat sebesar 9,53 g pada

horison Ap-IIC, sehingga disimpulkan sebagai tanah yang berkembang dan

disertai pengendapan. Jika dibandingkan dengan data hasil penelitian, terutama

pada pedon 1 dengan horison Ap-IIC-Bt-IC-Bw yang juga terjadi diskontuinitas

litologi, yang memperlihatkan adanya penambahan bahan bukan liat sebesar

+20,05 g dan pengurangan liat -4,54 g pada horison Ap-IIC, maka dapat

disimpulkan bahwa walaupun kedua pedon mengalami diskontuinitas litologi,

tetapi terdapat perbedaan terhadap hasil yang didapat yaitu pada perubahan kadar

bukan liat dan perubahan kadar liatnya.

4. Perbandingan Metode Penentuan Tingkat Perkembangan Tanah

Perbandingan metode penentuan tingkat perkembangan tanah, berdasarkan

metode morfologi, mineral liat dan mineral indeks Van Wambeke dapat dilihat


(47)

Tabel 8. Perbandingan Metode Penentuan Tingkat Perkembangan Tanah

No Metode Pedon

1 2 3

1 Morfologi Muda Dewasa Dewasa (lebih dari

pedon 2)

2 Mineral Liat Berkembang ke arah

yang lebih lanjut Awal

Berkembang ke arah yang lebih lanjut

3 Mineral Indeks

Van Wambeke

Berkembang (ada pengendapan)

Berkembang (ada pengendapan, lebih banyak dari pedon 1)

Berkembang (ada pengendapan, lebih banyak dari pedon 2)

Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa pada pedon 1 perkembangan tanah

berdasarkan morfologi adalah muda, dan berdasarkan mineral liat adalah

berkembang ke arah lanjut. Sedangkan pada pedon 2 pada metode morfologi,

tanah dikategorikan pada tingkat perkembangan tanah dewasa,dan pada metode

mineral liat, tanah dikategorikan tingkat perkembangan awal. Seharusnya pada

metode mineral liat, pedon 2 lebih berkembang dari pedon 1, tetapi pada tabel

didapati hasil yang berbeda, yaitu pedon 1 lebih berkembang daripada pedon 2.

Hal ini dikarenakan terdapatnya mineral gibsit pada pedon 1 yang berasal dari

bahan induk atau horison C-nya (IIC dan IC), sehingga horison yang berada di

atasnya (Ap dan Bt) juga terdapat mineral gibsit. Sedangkan pada pedon 2 tidak

terdapat mineral gibsit. Tidak terdapatnya mineral gibsit pada pedon 2 karena

tidak terdapatnya mineral gibsit pada horison C-nya dan pedon ini terdapat pada

kemiringan lereng bergelombang (10 %), sehingga pelapukan mineral alofan

terhambat oleh proses aliran permukaan.

Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa dengan metode morfologi, tingkat

perkembangan tanah pada pedon 1 adalah muda karena terjadi diskontinuitas

litologi, tetapi dengan metode mineral liat, tingkat perkembangan tanahnya adalah

berkembang ke arah yang lebih lanjut (sama dengan pedon 3), karena terdapat


(48)

tidak dapat menetukan tingkat perkembangan secara tepat, karena pada pedon 1

yang terjadi diskontinuitas litologi memiliki tingkat perkembangan yang sama

dengan pedon 3 yang tidak terjadi diskontinuitas litologi dan juga lebih

berkembang dari pedon 2.

Berdasarkan tabel di atas, penentuan tingkat perkembangan tanah dengan

metode mineral indeks Van Wambeke hanya dapat menyimpulkan tanah

berkembang dengan terjadi pengendapan atau erosi atau tidak keduanya. Dari hal

ini dapat terlihat kelemahan dari metode ini, karena tidak dapat menentukan

tingkat perkembangan tanah pada tingkat muda, dewasa dan lanjut. Tetapi metode

ini mempunyai kelebihan, yaitu dapat mengetahui erosi yang terjadi.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa metode yang

terbaik dalam menentukan tingkat perkembangan tanah adalah metode morfologi

karena dapat menentukan secara tepat tingkat perkembangan tanahnya. Sedangkan

metode mineral liat dan mineral indeks Van Wambeke dapat dijadikan sebagai

data pelengkap.

Analisis Laboratorium

1. Tekstur Tanah

Pada pedon 1, pada horison Ap dan IIC tekstur tanahnya didominasi oleh

fraksi pasir, yaitu antara 88 sampai 90%, sedangkan fraksi lainnya memiliki

presentase rendah, seperti debu hanya 7 sampai 10% dan liat yang hanya 0,2

sampai 1,36%. Dari presentase fraksi tanah ini dapat dilihat bahwa horison Ap

masih memiliki sifat yang hampir sama dengan bahan induknya, yaitu horison

IIC, tetapi sudah mengalami perkembangan yang ditandai dengan berkurangnya


(49)

Pada pedon 1, fraksi liatnya mengalami penurunan dari horison IIC yaitu

sebesar 1,36% menadi hanya 0,2% di horison Ap. Hal ini dimungkinkan karena

letak dari pedon 1 yang berada di dekat sungai, yang dapat menyebabkan

terbawanya partikel yang ringan yaitu liat bersama dengan aliran sungai pada saat

air sungai meluap.

Pedon 2 memiliki presentase partikel liat yang lebih kecil dari pedon 3.

Pada pedon 2 partikel liatnya berkisar antara 21 sampai 46 %, sedangkan pada

pedon 3 partikel liatnya berkisar antara 42 sampai 78 %. Hal ini dapat terjadi

karena pedon 2 memiliki kemiringan lereng yang bergelombang yaitu 10 %, yang

menyebabkan proses iluviasi dan eluviasi terganggu, karena aliran permukaan

atau run off yang dapat membawa partikel liat dan mengendapkannya, sedangkan

pedon 3 kemiringan lerengnya datar yaitu 2 % yang memungkinkan proses

iluviasi dan eluviasi berlangsung dengan baik.

2. Mineral Liat Tanah

Untuk melakukan analisis mineral liat digunakan alat DTA (Differential

Thermal Analysis). Prinsip kerja dari alat DTA ini adalah membandingkan garis

yang terbentuk pada kertas termogram yang disebabkan oleh perubahan

temperatur antara contoh tanah dengan bahan pembanding, dalam hal ini

digunakan Al2O3, dengan kecepatan pemanasan yang konstan, dalam penelitian

ini digunakan kecepatan 10OC/menit. Contoh tanah dan bahan pembanding

tersebut dipanaskan dalam suatu wadah yang disebut thermocouple yang berbahan

dasar platinum rodium (PR). Temperatur yang digunakan dalam melakukan


(50)

Pada termogram terlihat adanya puncak yang mengarah ke bawah, puncak

ini disebut dengan puncak endotermik. Puncak ini terjadi apabila terjadi

dehiroksilasi atau pelepasan air yang disebabkan oleh peningkatan temperatur.

Berdasarkan hasil, diketahui bahwa pada ketiga pedon didominasi oleh

mineral alofan, ditunjukkan oleh puncak endotermik pada temperatur 60 – 70OC.

Kandungan mineral yang lainnya adalah imogolit yang terdapat pada ketiga

pedon ditunjukkan oleh puncak endotermik pada temperatur 255-275OC dan

gibsit pada pedon 1 dan 3, ditunjukkan oleh puncak endotermik pada temperatur

470 – 480OC.

Dengan susunan mineral liat yang didominasi oleh alofan, sedikit imogolit

dan gibsit, dan menurut literatur Sudihardjo, dkk (1995) maka dapat diduga

beberapa mekanisme proses pelapukan mineral liat tersebut mengikuti sekuens

sebagai berikut: alofan  haloisit hidrat + gibsit pada kondisi pencucian intensif, dan pada karena imogolit juga ditemukan, maka diduga pelapukan alofan

mengikuti mekanisme sebagai berikut: alofan  imogolit  haloisit hidrat.

Pada pedon 1, pada setiap horisonnya terdapat mineral gibsit, walaupun

dengan jumlah yang sedikit. Mineral gibsit yang terdapat pada pedon 1

disebabkan karena pada horison C-nya (IIC dan IC) sudah terdapat mineral gibsit,

sehingga horison yang di atasnya (horison Ap dan Bt) memiliki kandungan

mineral gibsit. Pada pedon 2, tidak terdapat horison gibsit, karena topografinya

yang miring (10%), sehingga pencucian dan pelapukan alofan terhambat dan

didukung oleh kandungan mineral liat pada horison C yang juga tidak terdapat

mineral gibsit. Sedangkan pada pedon 3 terdapat mineral gibsit, dan terbanyak


(51)

menjadi gibsit. Hal ini sesuai dengan literatur Sudihardjo, dkk (1995) yang

menyatakan bahwa mekanisme proses pelapukan mineral liat tersebut mengikuti

sekuens sebagai berikut: alofan  haloisit hidrat + gibsit pada kondisi pencucian intensif.


(52)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. a. Berdasarkan morfologi tanah, tingkat perkembangan tanah pada pedon 1

adalah muda, pada pedon 2 adalah dewasa, dan pedon 3 adalah dewasa

(lebih berkembang dari pedon 2).

b. Berdasarkan mineral liat, tingkat perkembangan tanah pada pedon 1 adalah

berkembang ke arah yang lebih lanjut, pedon 2 adalah awal, dan pedon 3

adalah berkembang ke arah yang lebih lanjut (lebih berkembang dari

pedon 1).

c. Berdasarkan mineral indeks Van Wambeke, tingkat perkembangan tanah

pada pedon 1 adalah tanah yang telah berkembang dan ada pengendapan,

pedon 2 adalah tanah yang telah berkembang ada pengendapan (lebih besar

dari pedon 1), dan pedon 3 adalah tanah yang telah berkembang ada

pengendapan (lebih besar dari pedon 2).

2. Metode yang terbaik untuk menentukan tingkat perkembangan tanah adalah

dengan metode morfologi tanah, yang kedua adalah mineral indeks Van

Wambeke dan terakhir adalah mineral liat.

Saran

Agar dilakukan penelitian di daerah lain yang memiliki kondisi topografi

yang sama dengan daerah penelitian ini untuk membandingkan data yang telah


(53)

DAFTAR PUSTAKA

Buol, S. W., F. D. Hole, and R. J. McCracken, 1980. Soil Genesis and

Calssification. Second Edition. The Iowa State University Press, Ames. Halaman 100-101.

Darmawijaya, I., 1990. Klasifikasi Tanah. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Halaman 128, 140.

Foth, H. D., 1994. Dasar-Dasar Ilmu tanah. Terjemahan Soenartono Adisoemarto. Erlangga, Jakarta. Halaman 196, 198, 210.

Grace, D., 2002. Kajian Perkembangan Tanah Uruk Gerungang Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat dengan Metode Van Wambeke. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Halaman 24-25.

Hakim, N, M. Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S. G. Nugroho, M. R. Saul, M. A. Diha, G. B. Hong, dan H. H. Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung Press, Lampung. Halaman 33.

Hanafiah, K. A., 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Kanisius, Yogyakarta. Halaman 53.

Hardjowigeno, S., 1993. Klasifikasi dan Pedogenesis Tanah. Akademika Presindo, Jakarta. Halaman 4

Marpaung, P., 2008. Genesis dan Taksonomi Tanah, Practice Guide Book.

Laboratorium Mineralogi dan Klasifikasi Tanah, Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Halaman 13.

Munir, M., 1996. Geologi Dan Mineralogi Tanah. Pustaka Jaya, Jakarta. Halaman 267-268.

Nadeak, F., 2006. Kajian Perkembangan Tanah pada Toposekuen di Desa Lingga Julu Kecamatan Simpang Empat Kabupaten karo dengan Metoda

Morfologi. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Halaman 33.

Rafi’i, S., 1990. Ilmu Tanah. Penerbit Angkasa, Bandung. Halaman 37.

Silalahi, G. M., 2006. Kajian Perkembangan Tanah pada Toposekuen di Desa Lingga Julu Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo dengan Metode Van Wambeke. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Halaman 25-26.

Sitinjak, E., 2001. Tingkat Perkembangan Tanah di Uruk Gerunggang Kecamatan Kuala kabupaten Langkat Berdasarkan Mineral Liat. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Halaman 28-29.


(54)

Sudihardjo, A.M., Tejoyuwono, N., dan D. Mulyadi. 1995. Andisolisasi Tanah-Tanah di Wilayah Karst Gunung Kidul.Kongres Nasional HITI VI. 1995. Serpong. Halaman 5-7.

Tan, K. H., 1991. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarata. Halaman 130.


(55)

Lampiran 1. Prosedur Pemakaian DTA

 Unit kontrol dan amplifier dihidupkan selama 30 menit sebelum analisa dimulai

 Timbang bahan pembanding (serbuk alumina) sebanyak 30 milligram dengan menggunakan mangkok platina sebagai tempat sampel

 Timbang bahan yang akan diuji (sampel) sebanyak 30 milligram dengan menggunakan mangkok platina sebagai tempat sampel

 Bahan pembanding dan sampel diletakkan ke dalam gagang sampel (bahan pembanding ditempatkan di sebelah kiri dan sampel di tempatkan di sebelah kanan)

 DETEKTOR, set pada DTG dan Thermocouple set PR

 PROGRAM MODE, set Up dan kecepatan pemanasan set 5 ºC sampai 20 ºC (biasanya set 10 ºC)

 TEMPERATUR, K, ºC, mV, set pada ºC  LIMIT TEMPERATUR, set di bawah 1000 ºC

 Saklar amplifier DTA, switch ON dan RANGE ± 250 µV, set sesuai dengan yang diinginkan (± 100 µV). Selektor set TG

 RECORDER:

 Pen 1 (temperatur), POWER switch ON dan RANGE set “S”  ZERO, set pen 1 pada titik 0 (nol)

 RANGE, seleksi sesuai dengan tempeeratur percobaan, thermocouple PR (biasanya set 15 mV)

 Pen 2, (DTA), POWER switch ON dan RENGE set “S”, dan set pen 2 pada titik awal DTA dan RANGE DTA set 20 mV (lihat perubahan pen 2). Jika pen DTA bergerak set kembali ke titik awal dengan memutar tombol ZERO pada amplifier DTA

 Unit control, ST-BY switch ON

 START TEMPERATUR, set 2 ºC sampai 3 ºC lebih kecil dari temperatur yang terbaca pada digital panel meter

 RECORDER, CHART SPEED, dipilih dari 1,25 sampai 40 mm/menit dan CHART SW, Switch ON


(56)

Lampiran 2. Prosedur Analisis Tekstur dengan Metode Pipet Penetapan tekstur cara Pipet

Dasar penetapan

Bahan organik dioksidasi dengan H2O2 dan garam garam yang mudah larut dihilangkan dari tanah dengan HCl sambil dipanaskan. Bahan yang tersisa adalah mineral yang terdiri atas pasir, debu dan liat.

Pasir dapat dipisahkan dengan cara pengayakan basah, sedangkan debu dan liat dipisahkan dengan cara pengendapan yang didasarkan pada hukum Stoke. Peralatan

♦ Piala gelas 800 ml ♦ Pemanas listrik

♦ Ayakan 50 mikron ♦ Gelas ukur 500 ml ♦ Pipet 20 ml ♦ Cawan aluminium ♦ Gelas ukur 200 ml ♦ Stop watch ♦ Oven berkipas

♦ Neraca analitik ketelitian 4 desimal Pereaksi

♦ H2O2 30% ♦ H2O2 10%

H2O2 30% diencerkan tiga kali dengan air bebas ion. ♦ HCl 2N

Encerkan 170 ml HCl 37% teknis dengan air bebas ion dan diimpitkan hingga 1 L. ♦ Larutan Na4P2O7 4%

Larutkan 40 g Na4P2O7.10 H2O dengan air bebas ion dan diimpitkan hingga 1 L .

Cara kerja

- Timbang 10,00 g contoh tanah <2 mm, masukan ke dalam piala gelas 800 ml, ditambah 50 ml H2O2 10% kemudian dibiarkan semalam

- Keesokan harinya ditambah 25 ml H2O2 30% dipanaskan sampai tidak berbusa,

- Selanjutnya ditambahkan 180 ml air bebas ion dan 20 ml HCl 2N.

- Didihkan diatas pemanas listrik selama lebih kurang 10 menit. Angkat dan setelah agak dingin diencerkan dengan air bebas ion menjadi 700 ml. - Diendap-tuangkan sampai bebas asam,

- Kemudian ditambah 10 ml larutan peptisator Na4P2O7 4%. Pemisahan pasir

- Suspensi tanah yang telah diberi peptisator diayak dengan ayakan 50 mikron sambil dicuci dengan air bebas ion.

- Filtrat ditampung dalam silinder 500 ml untuk pemisahan debu dan liat. - Butiran yang tertahan ayakan dipindahkan ke dalam cawan aluminium yang

telah diketahui bobotnya

- Keringkan (hingga bebas air) dalam oven pada suhu 105oC, - Didinginkan dan ditimbang (berat pasir = A g).


(57)

Pemisahan debu dan liat

- Filtrat dalam silinder diencerkan menjadi 500 ml, diaduk selama 1 menit dan segera dipipet sebanyak 20 ml ke dalam pinggan aluminium.

- Filtrat dikeringkan pada suhu 105oC (biasanya 1 malam), didinginkan dalam eksikator dan ditimbang (berat debu + liat + peptisator = B g).

- Untuk pemisahan liat diaduk lagi selama 1 menit lalu dibiarkan selama 3 jam 30 menit pada suhu kamar.

- Suspensi liat dipipet sebanyak 20 ml pada kedalaman 5,2 cm dari permukaan cairan dan dimasukkan ke dalam pinggan aluminium.

- Suspensi liat dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC, didinginkan dalam eksikator dan ditimbang (berat liat + peptisator = C g).

Catatan:

Bobot peptisator pada pemipetan 20 ml berdasarkan penghitungan adalah 0,0095 g. Bobot ini dapat pula ditentukan dengan menggunakan blanko. 25 adalah faktor yang dikonversikan dalam 500 ml dari pemipetan 20 ml.

Perhitungan fraksi pasir = A g

fraksi debu = 25 (B - C) g fraksi liat = 25 (C - 0,0095) g

Jumlah fraksi = A + 25 (B - 0,0095) g Pasir (%) = A / {A + 25 (B - 0,0095)} x 100

Debu (%) = {25(B - C)} / {A + 25 (B - 0,0095)} x 100 Liat (%) = {25 (C - 0,0095)} / {A + 25 (B - 0,0095)} x 100 Keterangan

A = berat pasir

B = berat debu + liat + peptisator C = berat liat + peptisator


(58)

Lampiran 3. Perhitungan Tekstur Tanah

Tabel Berat Fraksi Tanah Pada Masing-Masing Horison Pedon

Berat Cawan + Berat Fraksi Tanah (g)

Berat Cawan (g) Berat Fraksi Tanah (g) 1 Horizon Ap A B C Horizon C2 A B C Horizon Bt A B C Horizon C1 A B C Horizon Bw A B C 11,5258 2,9372 2,9102 11,8626 2,8504 2,90 7,8386 3,146 2,931 11,8618 2,9038 2,873 8,0927 3,0722 2,97 2,8879 2,8842 2,8999 2,8388 2,8038 2,8851 2,8288 2,9547 2,8481 2,9417 2,8566 2,8533 2,8378 2,8836 2,8999 8,6379 0,053 0,0103 9,0238 0,0466 0,0149 5,0098 0,1913 0,0829 8,9201 0,0472 0,0197 5,2549 0,1886 0,0701 2 Horizon Ap A B C Horizon Bw1 A B C Horizon Bw2 A B C Horizon Bw3 A B C Horizon C A B C 6,345 3,1078 2,9512 6,73 3,1265 3,023 5,0153 3,1154 2,8962 7,0089 3,0975 2,9473 8,5171 3,0405 2,911 2,8812 2,8774 2,8232 2,8451 2,8905 2,9319 2,8235 2,7991 2,7048 3,7368 2,8232 2,7749 4,0612 2,8768 2,8323 3,4638 0,2304 0,128 3,8849 0,236 0,0911 2,1918 0,3163 0,1914 3,2721 0,2743 0,1724 4,4559 0,1637 0,0787 3 Horizon Ap A B C Horizon Bt A B C Horizon Bt 4,2374 3,0963 3,0969 5,3022 3,1005 3,0952 2,8179 2,7446 2,8586 2,7231 2,7951 2,9178 1,4195 0,3517 0,2383 2,5791 0,3054 0,1774


(59)

A B C 4,978 3,1468 3,031 4,234 2,7698 2,708 0,744 0,377 0,323 Keterangan

A = berat pasir

B = berat debu + liat + peptisator C = berat liat + peptisator 100 = konversi ke %

0,0095 g = Bobot peptisator pada pemipetan 20 ml

25 = faktor yang dikonversikan dalam 500 ml dari pemipetan 20 ml Perhitungan:

fraksi pasir = A g fraksi debu = 25 (B - C) g fraksi liat = 25 (C - 0,0095) g Jumlah fraksi = A + 25 (B - 0,0095) g

Pasir (%) = A / {A + 25 (B - 0,0095)} x 100

Debu (%) = {25(B - C)} / {A + 25 (B - 0,0095)} x 100 Liat (%) = {25 (C - 0,0095)} / {A + 25 (B - 0,0095)} x 100

Perhitungan Tekstur Setiap Horison

Profil 1 Horizon Ap Jumlah Fraksi

= 8,6379 + 25 (0,053 – 0,0095) g = 8,6379 + 1,0875 = 9,7254 g Fraksi Pasir = 8,6379 g

Fraksi Debu = 25 (0,053 – 0,0103) = 1,0675 g

Fraksi Liat = 25 (0,0103 – 0,0095) = 0,02 g

Pasir (%) = 8,6379 g / 9,7254 g x 100 = 88,8179 %

Debu (%) = 1,0675 g / 9,7254 g x 100 = 10,9764 %

Liat (%) = 0,02 g / 9,7254 g x 100 = 0,2056 % Tekstur : Pasir

Horizon IC1 Jumlah Fraksi

= 9,0238 + 25 (0,0466 – 0,0095) g = 9,0238 + 0,9275 = 9,9513 g Fraksi Pasir = 9,0238 g

Fraksi Debu = 25 (0,0466 – 0,0149) = 0,7925 g

Fraksi Liat = 25 (0,0149 – 0,0095) = 0,135 g

Pasir (%) = 9,0238 g / 9,9513 g x 100 = 90,6796 %

Debu (%) = 0,7925 g / 9,9513 g x 100 = 7,9637 %

Liat (%) = 0,135 g / 9,9513 g x 100 = 1,3566 %

Tekstur : Pasir Horizon Bt Jumlah Fraksi

= 5,0098 + 25 (0,1913 – 0,0095) g = 5,0098 + 4,545 = 9,5548 g


(60)

Fraksi Pasir = 5,0098 g

Fraksi Debu = 25 (0,1913 – 0,0829) = 2,71 g

Fraksi Liat = 25 (0,0829 – 0,0095) = 1,835 g

Pasir (%) = 5,0098 g / 9,5548 g x 100 = 52,4322 %

Debu (%) = 2,71 g / 9,5548 g x 100 = 28,3627 %

Liat (%) = 1,835 g / 9,5548 g x 100 = 19,2050 %

Tekstur : Lempung Horizon IIC2 Jumlah Fraksi

= 8,9201 + 25 (0,0472 – 0,0095) g = 8,9201 + 0,9425 = 9,8626 g Fraksi Pasir = 8,9201 g

Fraksi Debu = 25 (0,0472 – 0,0197) = 0,6875 g

Fraksi Liat = 25 (0,0197 – 0,0095) = 0,255 g

Pasir (%) = 8,9201 g / 9,8626 g x 100 = 90,4436 %

Debu (%) = 0,6875 g / 9,8626 g x 100 = 6,9707 %

Liat (%) = 0,255 g / 9,8626 g x 100 = 2,5855 %

Tekstur : Pasir Horizon Bw Jumlah Fraksi

= 5,2549 + 25 (0,1886 – 0,0095) g = 5,2549 + 4,4775 = 9,7324 g Fraksi Pasir = 5,2549 g

Fraksi Debu = 25 (0,1886 – 0,0701) = 2,9625 g

Fraksi Liat = 25 (0,0701 – 0,0095) = 1,515 g

Pasir (%) = 5,2549 g / 9,7324 g x 100 = 53,9938 %

Debu (%) = 2,9625 g / 9,7324 g x 100 = 30,4395 %

Liat (%) = 1,515 g / 9,7324 g x 100 = 15,5665 %

Tekstur : Lempung Berpasir Profil 2

Horizon Ap Jumlah Fraksi

= 3,4638 + 25 (0,2304 – 0,0095) g = 3,4638 + 5,5225 = 8,9863 g Fraksi Pasir = 3,4638 g

Fraksi Debu = 25 (0,2304 – 0,128) = 2,56 g

Fraksi Liat = 25 (0,128 – 0,0095) = 2,9625 g

Pasir (%) = 3,4638 g / 8,9863 g x 100 = 38,5453 %

Debu (%) = 2,56 g / 8,9863 g x 100 = 28,4878 %

Liat (%) = 2,9625 g / 9,9863 g x 100 = 32,9668 % Tekstur : Lempung Berliat

Horizon Bw1 Jumlah Fraksi

= 3,8849 + 25 (0,236 – 0,0095) g = 3,8849 + 5,6625 = 9,5474 g Fraksi Pasir = 3,8849 g


(61)

Fraksi Debu = 25 (0,236 – 0,0911) = 3,6225 g

Fraksi Liat = 25 (0,0911 – 0,0095) = 2,04 g

Pasir (%) = 3,8849 g / 9,5474 g x 100 = 40,6906 %

Debu (%) = 3,6225 / 9,5474 g x 100 = 37,9422 %

Liat (%) = 2,04 g / 9,5474 g x 100 = 21,3670 % Tekstur : Lempung

Horizon Bw2 Jumlah Fraksi

= 2,1918 + 25 (0,3163 – 0,0095) g = 2,1918 + 7,67 = 9,8618 g Fraksi Pasir = 2,1918 g

Fraksi Debu = 25 (0,3163 – 0,1914) = 3,1225 g

Fraksi Liat = 25 (0,1914 – 0,0095) = 4,5475 g

Pasir (%) = 2,1918 g / 9,8618 g x 100 = 22,2251 %

Debu (%) = 3,1225 g / 9,8618 g x 100 = 31,6625 %

Liat (%) = 4,5475 g / 9,8618 g x 100 = 46,1122 % Tekstur : Liat

Horizon Bw3 Jumlah Fraksi

= 3,2721 + 25 (0,2743 – 0,0095) g = 3,2721 + 6,62 = 9,8921 g Fraksi Pasir = 3,2721 g

Fraksi Debu = 25 (0,2743 – 0,1724) = 2,5475 g Fraksi Liat = 25 (0,1724 – 0,0095) = 4,0725 g

Pasir (%) = 3,2721 g / 9,8921 g x 100 = 33,0779 %

Debu (%) = 2,5475 g / 9,8921 g x 100 = 25,7528 %

Liat (%) = 4,0725 g / 9,8921 g x 100 = 41,1692 % Tekstur : Liat

Horizon C Jumlah Fraksi

= 4,4559 + 25 (0,1637 – 0,0095) g = 4,4559 + 3,855 = 8,3109 g Fraksi Pasir = 4,4559 g

Fraksi Debu = 25 (0,1637 – 0,0787) = 2,125 g Fraksi Liat = 25 (0,0787 – 0,0095) = 1,73 g

Pasir (%) = 4,4559 g / 8,3109 g x 100 = 53,6151 %

Debu (%) = 2,125 g / 8,3109 g x 100 = 25,5688 %

Liat (%) = 1,73 g / 8,3109 g x 100 = 20,8160 % Tekstur : Lempung Liat Berpasir

Profil 3 Horizon Ap Jumlah Fraksi

= 1,4195 + 25 (0,3571 – 0,0095) g = 1,4195 + 8,555 = 9,9745 g


(62)

Fraksi Pasir = 1,4195 g

Fraksi Debu = 25 (0,3517 – 0,2383) = 2,835 g Fraksi Liat = 25 (0,2383 – 0,0095) = 5,72 g

Pasir (%) = 1,4195 g / 9,9745 g x 100 = 14,2312 %

Debu (%) = 2,835 g / 9,9745 g x 100 = 28,4224 %

Liat (%) = 5,72 g / 9,9745 g x 100 = 57,3462 % Tekstur : Liat

Horizon Bt Jumlah Fraksi

= 2,5791 + 25 (0,3054 – 0,0095) g = 2,5791 + 7,3975 = 9,9766 g Fraksi Pasir = 2,5791 g

Fraksi Debu = 25 (0,3054 – 0,1774) = 3,2 g Fraksi Liat = 25 (0,1774 – 0,0095) = 4,1975 g

Pasir (%) = 2,5791 g / 9,9766 g x 100 = 25,8515 %

Debu (%) = 3,2 g / 9,9766 g x 100 = 32,075 %

Liat (%) = 4,1975 g / 9,9766 g x 100 = 42,0734 % Tekstur : Liat

Horizon Bt Jumlah Fraksi

= 0,744 + 25 (0,377 – 0,0095) g = 0,744 + 9,1875 = 9,9315 g Fraksi Pasir = 0,744 g

Fraksi Debu = 25 (0,377 – 0,323) = 1,35 g

Fraksi Liat = 25 (0,323 – 0,0095) = 7,8375 g

Pasir (%) = 0,744 g / 9,9315 g x 100 = 7,4913 %

Debu (%) = 1,35 g / 9,9315 g x 100 = 13,5931 %

Liat (%) = 7,8375 g / 9,9315 g x 100 = 78,9155 % Tekstur : Liat

Horizon C Jumlah Fraksi

= 4,4559 + 25 (0,1637 – 0,0095) g = 4,4559 + 3,855 = 8,3109 g Fraksi Pasir = 4,4559 g

Fraksi Debu = 25 (0,1637 – 0,0787) = 2,125 g

Fraksi Liat = 25 (0,0787 – 0,0095) = 1,73 g

Pasir (%) = 4,4559 g / 8,3109 g x 100 = 53,6151 %

Debu (%) = 2,125 g / 8,3109 g x 100 = 25,5688 %

Liat (%) = 1,73 g / 8,3109 g x 100 = 20,8160 % Tekstur : Lempung Liat Berpasir


(63)

Tabel Persentase Fraksi Tanah dan Jenis Tekstur Tanah Setiap Horisom Jumlah

Fraksi Tanah (g)

Berat Fraksi Tanah dalam 10 gram BTKO (g)

Persen Fraksi Tanah (%) Tekstur Pedon 1 Horizon Ap Pasir Debu Liat Horizon C2 Pasir Debu Liat Horizon Bt Pasir Debu Liat Horizon C1 Pasir Debu Liat Horizon Bw Pasir Debu Liat 9,7254 9,9513 9,5548 9,8626 9,7324 8,6379 1,0675 0,02 9,0238 0,7925 0,135 5,0098 2,71 1,835 8,9201 0,6875 0,255 5,2549 2,9625 1,515 88,8179 10,9764 0,2056 90,6796 7,9637 1,3566 52,4322 28,3627 19,205 90,4436 6,9707 2,5855 53,9938 30,4395 15,5665 Pasir Pasir Lempung Pasir Lempung Berpasir Pedon 2 Horizon Ap Pasir Debu Liat Horizon Bw1 Pasir Debu Liat Horizon Bw2 Pasir Debu Liat Horizon Bw3 Pasir Debu Liat Horizon C Pasir Debu Liat 8,9863 9,5474 9,8618 9,8921 8,3109 3,4638 2,56 2,9625 3,8849 3,6225 2,04 2,1918 3,1225 4,5475 3,2721 2,5475 4,0725 4,4559 2,125 1,73 38,5443 28,4878 32,9668 40,6906 37,9422 21,3670 22,2251 31,6625 46,1122 33,0779 25,7528 41,1692 53,6151 25,5688 20,8160 Lempung Berliat Lempung Liat Liat Lempung Liat Berpasir Pedon 3 Horizon Ap Pasir Debu Liat Horizon Bt Pasir Debu Liat Horizon Bt 9,9745 9,9766 9,9315 1,4195 2,835 5,72 2,5791 3,2 4,1975 14,2312 28,4224 57,3462 25,8515 32,075 42,0734 Liat Liat


(64)

Pasir Debu Liat 0,744 1,35 7,8375 7,4914 13,5931 78,9155 Liat

Tabel Perhitungan Kerapatan Isi Tanah

Horison BTKU

(g) BTKO (g) Tinggi Ring (cm) Diameter Ring (cm) VT (cm3)

BD (g/cm3) Pedon 1 Ap C1 Bt C2 Bw Pedon 2 Ap Bw1 Bw2 Bw3 C Pedon 3 Ap Bt Bt C 332.6 323.6 429.8 312.9 354.0 366.1 350.1 377.1 330.4 274.2 303.5 285.4 293.1 274.2 225.6 248.6 320 249.8 248.8 250 259.1 268.3 239.1 175.3 215.9 183.7 193.1 175.3 4.0 3.8 3.9 4.0 4.0 4.1 3.8 4.2 3.8 4.4 3.8 4.4 4.5 4.4 8.2 8.3 8.2 8.3 8.3 8.3 8.3 8.3 7.6 7.1 8.3 7.1 7.1 7.1 211.3 205.6 206 216.5 216.5 221.9 205.6 227.3 172.4 174.2 205.6 173.2 178.2 174.2 1.06 1.21 1.55 1.15 1.14 1.12 1.26 1.18 1.38 1.00 1.05 1.05 1.08 1.00

BT = 100% x BTKU

100% + %KA BD = BT/VT

VT = 3.14 x r2. T

%KA = BTKU-BTKO x 100% BTKO

Tabel Penyesuaian Kolum Tanah

Horison VT

(cm3)

BTKO (g) Di sa m ak an D iame te r d an Ti n gg i K ol u m Tan ah Ti n ggi K ol u m = 5 c m , D iam e te r K ol u m = 10 c m Jad i V o lu me K ol u m Tan ah = 392, 5 c m 3 Volume Kolum Tanah (cm3)

BTKO (g) Pedon 1 Ap C1 Bt C2 Bw Pedon 2 Ap Bw1 Bw2 Bw3 C Pedon 3 Ap 211.3 205.6 206 216.5 216.5 221.9 205.6 227.3 172.4 174.2 205.6 225.6 248.6 320 249.8 248.8 250 259.1 268.3 239.1 175.3 215.9 392,5 392,5 392,5 392,5 392,5 392,5 392,5 392,5 392,5 392,5 392,5 419.06 474.58 609.7 452,87 451,05 442,2 494,63 463,29 544,35 394,97 412,16


(65)

Bt Bt C 173.2 178.2 174.2 183.7 193.1 175.3 392,5 392,5 392,5 416,29 425,31 394,97

Tabel Berat Fraksi Tanah dalam Berat Tanak Kering Oven (BTKO)

Pedon Berat Fraksi

Tanah dalam 10 gram BTKO (g)

Berat Tanah Kering Oven (BTKO) (g) Berat Fraksi Tanah dalam BTKO (g) 1 Horizon Ap Pasir Debu Liat Horizon C2 Pasir Debu Liat Horizon Bt Pasir Debu Liat Horizon C1 Pasir Debu Liat Horizon Bw Pasir Debu Liat 8,6379 1,0675 0,02 9,0238 0,7925 0,135 5,0098 2,71 1,835 8,9201 0,6875 0,255 5,2549 2,9625 1,515 419.06 474.58 609.7 452,87 451,05 361,9798 447,3465 0,8381 428,2515 37,6104 6,4068 305,4475 165,2287 111,8799 403,9645 31,1348 11,5481 237,0222 133,6235 68,334 2 Horizon Ap Pasir Debu Liat Horizon Bw1 Pasir Debu Liat Horizon Bw2 Pasir Debu Liat Horizon Bw3 Pasir Debu Liat Horizon C Pasir Debu Liat 3,4638 2,56 2,9625 3,8849 3,6225 2,04 2,1918 3,1225 4,5475 3,2721 2,5475 4,0725 4,4559 2,125 1,73 442,2 494,63 463,29 544,35 394,97 153,1692 113,2032 131,0017 192,1588 179,1797 100,9045 101,5439 144,6623 210,6811 178,1167 138,6731 221,8335 175,9946 83,9311 68,3298 Horizon Ap Pasir Debu 1,4195 2,835 412,16 58,5061 116,8473


(66)

3

Liat Horizon Bt Pasir Debu Liat Horizon Bt Pasir Debu Liat Horizon C Pasir Debu Liat

5,72 2,5791

3,2 4,1975

0,744 1,35 7,8375 4,4559 2,125

1,73

416,29

425,31

394,97

235,7555 107,3653 133,2128 174,7377 31,643 57,4168 333,3367 175,9946 83,9311 68,3298


(67)

Lampiran 4. Perhitungan Mineral Indeks Van Wambeke

Rumus Perhitungan

(11) Bobot Total Semula = (6) Bobot Total Saat Ini (Hors. C) x (8) Faktor MI (12) Bobot Liat Semula = (9) Bobot Liat Saat Ini (Hors. C) x (8) Faktor MI

(13) Bobot Bukan Liat Semula = (10) Bobot Bukan Liat Saat Ini (Hors. C) x (8) Faktor MI (14) Perubahan Kadar Bukan Liat= (10) Bobot Bukan Liat Saat Ini - (13) Bobot Bukan Liat Semula

(15) Perubahan Kadar Liat= (11) Bobot Liat Saat Ini - (12) Bobot Liat Semula

(16) Perubahan Kadar Bersih = (14) Perubahan Kadar Bukan Liat + (15) Perubahan Kadar Liat Pedon 1

Horison Ap

Bobot Total Semula = 474,58 x 0,84 = 359,73 g

Bobot Liat Semula = 6,4 x 0,84 = 5,37 g Bobot Bukan Liat Semula

= 37,61 x 0,84 = 31,59 g Perubahan Kadar Bukan Liat = 44,73 - 31,59 = +13,14 g Perubahan Kadar Liat = 0,83 - 5,37 = -4,54 g Perubahan Kadar Bersih = +13,14 + (-4,54) = +8,6 g Horison C

Bobot Total Semula = 474,58 x 1 =474,58 g Bobot Liat Semula = 6,4 x 1 = 6,4 g Bobot Bukan Liat Semula = 37,61 x 1 =37,61 g

Perubahan Kadar Bukan Liat=37,61 -37,61 = 0 g

Perubahan Kadar Liat=6,4 - 6,4 = 0 g Perubahan Kadar Bersih = 0 + 0 = 0 g Pedon 2

Horison Ap

Bobot Total Semula =394,97 x0,87 = 343,62 g

Bobot Liat Semula = 68,33 x 0,87 = 59,44 g Bobot Bukan Liat Semula

= 83,93 x 0,87 = 73,02 g Perubahan Kadar Bukan Liat

= 83,93 - 73,02 = +40,18 Perubahan Kadar Liat = 131 - 59,44 = +71,56 g Perubahan Kadar Bersih = +40,18 + 71,56 = +111,74 g

Horison Bw1

Bobot Total Semula =394,97 x 1,09 = 430,51 g

Bobot Liat Semula = 68,33 x 1,09 = 74,48 g Bobot Bukan Liat Semula = 83,93 x 1,09 = 91,48 g

Perubahan Kadar Bukan Liat = 179,18 - 91,48 = +87,7 g Perubahan Kadar Liat = 100,9 - 74,48 = +26,42 g Perubahan Kadar Bersih = +87,7 + 26,42 = +114,12 g Horison Bw2

Bobot Total Semula =394,97 x 0,57 = 343,62 g

Bobot Liat Semula = 68,33 x 0,57 = 38,94 g Bobot Bukan Liat Semula

= 83,93 x 0,57 = 47,84 g Perubahan Kadar Bukan Liat = 144,66 - 47,84 = +96,82 g Perubahan Kadar Liat = 210,68 - 38,94 = +171,74 g Perubahan Kadar Bersih = +96,82 + 171,74 = +268,56 g


(68)

Horison Bw3

Bobot Total Semula =394,97 x 1,01 = 398,91 g

Bobot Liat Semula = 68,33 x 1,01 = 69,01 g Bobot Bukan Liat Semula

= 83,93 x 1,01 = 84,77 g Perubahan Kadar Bukan Liat = 138,67 - 84,77 = +53,9 g Perubahan Kadar Liat = 221,83 - 69,01 = +152,82 g Perubahan Kadar Bersih = +53,9 + 152,82 = +206,72 g Horison C

Bobot Total Semula =394,97 x 1 = 394,97 g Bobot Liat Semula = 68,33 x 1 = 68,33 g Bobot Bukan Liat Semula = 83,93 x 1 = 83,93 g

Perubahan Kadar Bukan Liat = 83,93 - 83,93 = 0 g

Perubahan Kadar Liat= 68,33 - 68,33 = 0 g Perubahan Kadar Bersih = 0 + 0 = 0 g Pedon 3

Horison Ap

Bobot Total Semula =394,97 x 0,33 = 130,34 g

Bobot Liat Semula = 68,33 x 0,33 = 22,54 g Bobot Bukan Liat Semula

= 83,93 x 0,33 = 27,7 g Perubahan Kadar Bukan Liat = 116,84 - 27,7 = +89,14 g Perubahan Kadar Liat = 235,75 - 22,54 = +213,21 g Perubahan Kadar Bersih = +89,14 + 213,21 = +302,35 g

Horison Bt1

Bobot Total Semula =394,97 x 0,61 = 240,93 g

Bobot Liat Semula = 68,33 x 0,61 = 41,68 g Bobot Bukan Liat Semula

= 83,93 x 0,61 = 51,19 g Perubahan Kadar Bukan Liat = 133,21 - 51,19 = +82,02 g Perubahan Kadar Liat = 174,73 - 41,68 = +133,05 g Perubahan Kadar Bersih = +82,02 + 133,05 = +215,07 g Horison Bt2

Bobot Total Semula =394,97 x 0,18 = 71,09 g

Bobot Liat Semula = 68,33 x 0,18 = 12,3 g Bobot Bukan Liat Semula

= 83,93 x 0,18 = 15,1 g Perubahan Kadar Bukan Liat = 57,41 - 15,1 = +42,31 g Perubahan Kadar Liat = 333,33 - 12,3 = +321,03 g Perubahan Kadar Bersih = +42,31 + 321,03 = +363,34 g Horison C

Bobot Total Semula =394,97 x 1 = 394,97 g Bobot Liat Semula = 68,33 x 1 = 68,33 g Bobot Bukan Liat Semula = 83,93 x 1 = 83,93 g

Perubahan Kadar Bukan Liat = 83,93 - 83,93 = 0 g

Perubahan Kadar Liat= 68,33 - 68,33 = 0 g Perubahan Kadar Bersih = 0 + 0 = 0


(69)

(70)

(71)

(72)

(73)

Lampiran 9. Profil 1 –Arboretum Kampus USU Kwala Bekala

Lampiran 11. Profil 2 – Tanah Podsolik Coklat Kekuningan (Inseptisol) Kampus Baru Pertanian USU Kwala Bekala


(74)

(75)

(1)

(2)

(3)

(4)

Lampiran 9. Profil 1 –Arboretum Kampus USU Kwala Bekala

Lampiran 11. Profil 2 – Tanah Podsolik Coklat Kekuningan (Inseptisol) Kampus Baru Pertanian USU Kwala Bekala


(5)

(6)