Tingkat Penyerapan Nitrogen dan Fosfor Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum pada sistem Integrated Multitrophic Aquaculture di Teluk Gerupuk

TINGKAT PENYERAPAN NITROGEN DAN FOSFOR RUMPUT LAUT
Kappaphycus alvarezii DAN Eucheuma spinosum PADA SISTEM
Integrated Multi Trophic Aquaculture DI TELUK GERUPUK

ERNA YUNIARSIH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Tingkat Penyerapan
Nitrogen dan Fosfor Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma
spinosum pada Sistem Integrated Multi Trophic Aquaculture di Teluk Gerupuk
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Erna Yuniarsih
NIM C151120431

RINGKASAN
ERNA YUNIARSIH. Tingkat Penyerapan Nitrogen dan Fosfor Rumput Laut
Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum pada sistem Integrated Multi
Trophic Aquaculture di Teluk Gerupuk. Dibimbing oleh KUKUH NIRMALA dan
I NYOMAN RADIARTA
Budidaya laut dengan konsep Integrated Multi Tropic Aquaculture (IMTA)
merupakan salah satu metode yang dirancang untuk mengatasi beberapa masalah
lingkungan terkait penggunaan pakan pada kegiatan akuakultur . Dalam konsep
IMTA rumput laut memiliki peranan sebagai biofilter dengan cara menyerap
nutrien inorganik terlarut (nitrogen dan fosfor) kemudian merubahnya menjadi
biomassa yang dapat dipanen. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat
penyerapan nitrogen dan fosfor rumput laut Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma
spinosum pada sistem IMTA serta kondisi kualitas perairan secara umum pada
sistem IMTA di Teluk Gerupuk, Lombok Tengah. Budidaya rumput laut

menggunakan metode rawai (long line) dengan ukuran 50x50 m2.Terdapat tiga
unit long line rumput laut yang disiapkan dalam penelitian ini. Dua unit long line
diletakkan pada sistem IMTA yaitu masing-masing di sisi barat (KaB=K.
alvarezii barat; EsB= E. spinosum barat) dan sisi timur (KaT = K. alvarezii timur ;
EsT= E. spinosum timur) unit karamba jaring apung (KJA) , dengan jarak masingmasing 20 m. KJA merupakan titik tengah dari sistem IMTA yang diaplikasikan,
dimana unit KJA merupakan KJA jaring ganda terdiri dari empat lubang yang
berukuran 3x3x3 m3. Pengamatan terhadap rumput laut dan kondisi perairan
dilakukan setiap 15 hari, mulai hari ke-0 sampai hari ke-45. Parameter uji yang
diamati pada rumput laut yaitu laju penyerapan nitrogen dan fosfor oleh rumput
laut, pertumbuhan dan produksi karbohidrat rumput laut. Parameter kualitas air
yang diukur meliputi parameter fisika dan kimia air. Analisis data rumput laut
menggunakan analisis ragam (ANOVA) menggunakan software Minitab 16,
sedangkan data kualitas air secara vertikal dianalisis menggunakan software
Ocean Data View 4 (ODV).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter kualitas air (parameter fisik
dan kimia perairan) selama pemeliharaan rumput laut K. alvarezii dan E.
spinosum, di Teluk Gerupuk masih mendukung kegiatan budidaya rumput laut.
Dari hasil analisis vertikal, menunjukkan bahwa parameter NO3-N banyak
terakumulasi pada sisi barat dari KJA, sedangkan untuk sebaran konsentrasi PO4P di perairan banyak terakumulasi di sisi timur dari KJA .
Laju penyerapan nitrogen berdasarkan biomassa panen pada rumput laut K.

alvarezii di lokasi IMTA (86,95 ton N/hektar/tahun) mencapai 457,10 % lebih
tinggi dibandingkan K alvarezii di lokasi kontrol (15,61 ton/hektar/tahun).
Sedangkan laju penyerapan fosfor pada rumput laut K alvarezii di lokasi IMTA
(20,56 ton P/hektar/tahun) mencapai 285,12 % lebih tinggi dibandingkan kontrol
(5,34 ton P/hektar/tahun). Selain itu, laju pertumbuhan dan produksi karbohidrat
K alvarezii di lokasi IMTA juga lebih tinggi, yang mengindikasikan tingkat
pemanfaatan nitrogen dan fosfor pada proses fotosintesis rumput laut.
Peningkatan bobot rata-rata K. alvarezii yang dibudidayakan di lokasi IMTA
mencapai 4.114,36 gm-2 atau 89,87 % lebih tinggi dibandingkan K. alvarezii di
lokasi control (2167,3 gm-2). Produksi karbohidrat yang dihasilkan dari biomassa

K. alvarezii pada akhir pemeliharaan meningkat hingga 138,16 gm-2 (KaB) ,
101,31 gm-2 (KaT) dan 51,82 gm-2(KaK) (berat kering), yaitu produksi karbohidrat
KaB lebih tinggi 266.6 % dibandingkan dengan produksi karbohidrat KaK.
Untuk rumput laut jenis E. spinosum laju penyerapan nitrogen berdasarkan
biomassa panen di lokasi IMTA (69,78 ton N/hektar/tahun) mencapai 128,57 %
lebih tinggi dibandingkan rumput laut sejenis di lokasi kontrol (30,53 ton
N/hektar/tahun). Sedangkan untuk laju penyerapan fosfor E. spinosum, rumput
laut di lokasi IMTA (8,69 ton P/hektar/tahun) mencapai 126,47 % lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol (3,84 ton P/hektar/tahun). Pertambahan bobot rata

rata-rata E. spinosum pada longline barat (EsB) di hari ke-45 mencapai 3.698,2 g
m-2 atau lebih tinggi 57,55 % dibandingkan longline kontrol (EsK) yaitu 2347,3 g
m-2). Produksi karbohidrat yang dihasilkan dari biomassa E. spinosum di akhir
masa pemeliharaan (hari ke-45) adalah 104,9 gm-2 (EsB) , 89,7 gm-2 (EsT) dan
77,6 gm-2 (EsK) (berat kering). Produksi karbohidrat EsB 35% lebih tinggi
dibandingkan EsK.
Berdasarkan area potensial budidaya rumput laut di Teluk Gerupuk, potensi
penyerapan nitrogen dan fosfor untuk K. alvarezii di lokasi ini masing-masing
mencapai 27.996,93 ton N/tahun dan 6.619 ton P/tahun. Sementara untuk E.
spinosum, potensi penyerapan nitrogen dan fosfor masing-masing mencapai
22.470,02 ton N/tahun dan 2796,82 ton P/tahun. Penerapan budidaya rumput laut
berbasis IMTA secara jelas memberikan keuntungan ekonomi dan ekologi dengan
adanya peningkatan biomassa dan perbaikan kondisi lingkungan budidaya.
Kata kunci: Eucheuma spinosum, IMTA, Kappaphycus alvarezii, penyerapan
nitrogen dan fosfor ,Teluk Gerupuk

SUMMARY
ERNA YUNIARSIH. Nitrogen and Phosphorus Absorption Levels Seaweed
Kappaphycus alvarezii and Eucheuma spinosum on Integrated Multitrophic
Aquaculture System in Gerupuk Bay. Supervised by KUKUH NIRMALA and I

NYOMAN RADIARTA
Mariculture development based on IMTA (Integrated Multi-Trophic
Aquaculture) is a method that design to address the issues on environmental
problems related to the use of feed in aquaculture. In IMTA concept seaweed has
a role as a biofilter by absorbing dissolved inorganic nutrients (nitrogen and
phosphorus) and convert them into biomass that can be harvested . The aims of
this research was to analyze the level of nitrogen and phosphorus absorption from
seaweed Kappaphycus alvarezii and Eucheuma spinosum in IMTA systems and
general water quality conditions in IMTA systems in Gerupuk Bay, Central
Lombok. Seaweed cultivation using longline methods with a size of 50x50 m2.
There were three units of seaweed long line prepared in this study. Two units long
line was placed at IMTA systems on the west side (KaB = K. alvarezii west ; ESB
= E. spinosum west ) and the east side ( KaT = K. alvarezii east ; EST = E.
spinosum east ) of KJA, with a distance of 20 m, respectively. KJA is the
midpoint of IMTA systems, KJA unit was double net KJA that consist of 4 hole
sizedn 3x3x3 m3. Seaweed and sea water parameter were investigated and
anayzed every 15 days starting from day 0 to 45. Parameters were observed in the
seaweed were the rate of nitrogen and phosphorus absorption level, the growth
and production of carbohydrates. Water quality parameters measured include
physical and chemical parameters of water.

The result showed that the water quality parameter (physical and chemical
parameters of waters) during seaweed K. alvarezii and E. spinosum cultivation, in
the Gerupuk Bay still supports seaweed farming activities. From the vertical
analysis showed that the NO3-N many accumulated at west side of the KJA, while
the distribution of PO4-P concentrations in the waters many accumulated on the
east side of the KJA.
The nitrogen absorption rate based on seaweed K. alvarezii biomass harvest
on IMTA location reached 86.95 tons N /hectare /year, 457.10 % higher than the
K. alvarezii on control that reached 15.61 tons N /hectare /year. While the
phosphorus absorption rate of seaweed K. alvarezii in IMTA locations reached
20.56 ton P/hectare /year, 285.12 % higher than in controls that reached 5.34 ton
P/ hectare/year. In addition, the growth rate and carbohydrate production of K.
alvarezii at IMTA locations also higher, which indicates that, the level of
utilization of nitrogen and phosphorus in seaweed photosynthesis proces. The
increasement average weight of K. alvarezii cultivated in the IMTA location
reached 4114.36 gm-2 or 89.87 % higher than K. alvarezii in control location
(2167.3 gm-2). Carbohydrates production of K. alvarezii from biomass at the end
of the cultivation period increased to 138.16 g m-2 ( KaB ) , 101.31 g m-2 ( KaT )
and 51.82 g m-2 ( KaK) ( dry weight ) , where the carbohydrate production of KaB
266.6 % higher than KaK . The nitrogen absorption rate of E. spinosum by

biomass harvesting in IMTA locations reached 69.78 tons N/hectare/year,

128.57 % higher than similar seaweed on control (30.53 tonnes N/hectare/years).
Meanwhile the phosphorus absorption rate of E spinosum in IMTA location
reached 8.69 tons P/hectare/year, 126.47 % higher than in controls (3.84 tons P
/hectare/year). Average weight increasement on E. spinosum in west longline
(ESB) at day 45 reached 3698.2 gm-2or 57.55 % higher than the control longline
(ESK) that reached 2347.3 gm-2. Carbohydrates production from biomass of E.
spinosum at the end of the cultivation period (day 45) was 104.9 gm-2 (ESB), 89.7
g m-2 (EST) and 77.6 gm-2 (ESK) (dry weight). The carbohydrates production of
ESB is 35% higher than the Esk.
Based on potential area of seaweed aquaculture in Gerupuk Bay, the
potential of nitrogen and phosphorus absorption for K. alvarezii in this area was
reached 27.996.93 tonN/year and 6.619.16 tonP/year, respectively. While for E.
spinosum, the potential of nitrogen and phosphorus absorption was reached
22.470.02 tonN/year and 2796.82 tonP/year, respectively. Seaweeds culture using
IMTA systems obviously give an economical and ecological advantaged by
increasing the biomass and improving water quality condition.

Key words : Eucheuma spinosum Gerupuk Bay, IMTA, Kappaphycus alvarezii

nitrogen and phosphorus absorption,

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

TINGKAT PENYERAPAN NITROGEN DAN FOSFOR RUMPUT LAUT
Kappaphycus alvarezii DAN Eucheuma spinosum PADA SISTEM
Integrated Multi Trophic Aquaculture DI TELUK GERUPUK

ERNA YUNIARSIH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Eddy Supriyono, MSc

Judul Tesis

Nama
NIM

: Tingkat Penyerapan Nitrogen dan Fosfor Rumput Laut
Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum pada sistem
Integrated Multitrophic Aquaculture di Teluk Gerupuk
: Erna Yuniarsih

: C151120431

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc
Ketua

I Nyoman Radiarta, SPi, MSc, PhD
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Akuakultur

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Widanarni, MSi


Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian: 13 Juni 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Budidaya Laut Terintegrasi dengan konsep IMTA (Integrated Multitrophic
Aquaculture) merupakan salah satu pilihan dalam upaya peningkatan produktivitas
produk budidaya ikan dengan tetap menerapkan prinsip-prinsip blue economy
antara lain terintegrasi, berbasis kawasan, sistem produksi bersih,investasi kreatif
dan inovatif, serta berkelanjutan. Melalui penelitian yang berjudul Tingkat
Penyerapan Nitrogen dan Fosfor Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dan
Eucheuma spinosum pada sistem integrated multitrophic aquaculture di Teluk
Gerupuk ini, penulis berusaha menjawab beberapa permasalahan yang terkait
dengan pemanfaatan
limbah dan pengendalian kondisi lingkungan akibat
peningkatan aktivitas budidaya di suatu kawasan. Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan September – Oktober 2013 di Perairan Teluk Gerupuk, Kabupaten Lombok
Tengah, Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Terima kasih yang tulus penulis
sampaikan kepada Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc dan I Nyoman Radiarta, SPi,
MSc,PhD selaku komisi pembimbing yang telah memberikan masukan, koreksi,
dan saran yang sangat berharga bagi perbaikan tesis ini. Terima kasih kepada Dr Ir
Eddy Supriyono,MSc selaku penguji luar komisi atas koreksi, saran dan
masukannya yang sangat berarti dalam ujian tesis. Penghargaan dan terima kasih
penulis sampaikan kepada Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia,
Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan beasiswa kepada
penulis serta membiayai penelitian ini. Terima Kasih penulis sampaikan kepada
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan
dan Perikanan yang telah memberikan dukungan finansial dalam pelaksanaan
penelitian ini serta kepada Erlania, MSi, Bapak Buntaran, MSi beserta staf Balai
Budidaya Laut Lombok yang telah memberikan bantuan teknis selama penelitian
berlangsung.
Terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan pula
kepada Bapak dan Ibu yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mendapatkan pendidikan yang baik, serta kepada Arif Miftahul Aziz, SPi, MSi atas
do’a, kesabaran dan kesediaannya sebagai partner berdiskusi pada setiap tahapan
pelaksanaan studi. Tak lupa terima kasih penulis sampaikan kepada Novi
Susanti,MSi, dan Eko Rini Farastuti MSi serta rekan-rekan AKU 2012 atas bantuan
dan dukungan yang diberikan selama melaksanakan studi.
Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi upaya-upaya
pengembangan perikanan budidaya yang berorientasi pada prinsip-prinsip ekonomi
biru.

Bogor, Juni 2014
Erna Yuniarsih

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis

1
1
3
3
4
4

2 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Materi Uji
Prosedur Penelitian
Budidaya Rumput Laut pada sistem IMTA

4
4
5
5
5

Pengukuran Parameter Kualitas Air
Pengumpulan data sekunder
Parameter Uji
Analisis Data

7
8
8
9

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kualitas perairan dalam sistem IMTA

10
10
10

Kandungan dan laju penyerapan nitrogen rumput laut pada sistem
IMTA

12

Kandungan dan laju penyerapan Fosfor rumput laut pada sistem
IMTA

14

Pertumbuhan dan produktivitas rumput laut

15

Karbohidrat pada rumput laut

18

Estimasi penyerapan nitrogen dan fosfor di kawasan Teluk Gerupuk

19

Kondisi klimatologi lokasi penelitian

20

Pembahasan
Kondisi umum lokasi penelitian

21
21

Hubungan parameter lingkungan perairan dengan tingkat penyerapan N
dan P pada rumput laut
23
Penyerapan N dan P berdasarkan pertumbuhan dan produksi karbohidrat
pada rumput laut.
24
Potensi penyerapan nitrogen dan fosfor pada kawasan budidaya rumput
laut di Teluk Gerupuk
26
Perspektif penyerapan N dan P rumput laut terhadap pengembangan
budidaya laut terintegrasi

27

4. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

28
28
28

DAFTAR PUSTAKA

28

LAMPIRAN

29

RIWAYAT HIDUP

43

DAFTAR TABEL
1.

2.
3.
4.

Pengamatan parameter kualitas air dan rumput laut di Teluk
Gerupuk
Kondisi kualitas perairan di Teluk Gerupuk selama penelitian
Parameter budidaya rumput laut K. alvarezii dan E. spinosum
pada system IMTA dan kontrol
Potensi penyerapan nitrogen dan fosfor oleh rumput laut di
kawasan Teluk Gerupuk per tahun

7
11
17
20

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.

Lokasi penelitian di teluk gerupuk, Lombok Tengah, Nusa
Tenggara Barat
Konstruksi longline berbingkai 50x50 cm
Konstruksi lajur pada longline budidaya rumput laut
Desain budidaya laut berbasis IMTA
Parameter fisika kualitas air (a) suhu, (b) pH dan (c) salinitas
Analisis vertikal kualitas perairan di lokasi IMTA Teluk Gerupuk
Kandungan nitrogen pada rumput laut
Laju penyerapan nitrogen K. alvarezii dan E. spinosum
Kandungan fosfor rumput laut
Laju penyerapan fosfor K. alvarezii dan E. spinosum
Pertambahan bobot dan laju pertumbuhan harian K. alvarezii
pada setiap umur pemeliharaan
Pertambahan bobot dan laju pertumbuhan harian E. spinosum
pada setiap umur pemeliharaan
Kandungan karbohidrat dan produksi per m2 area budidaya
rumput laut K. alvarezii setiap umur pemeliharaan
Kandungan karbohidrat dan produksi karbohidrat area budidaya
rumput laut E. spinosum pada setiap umur pemeliharaan
Kondisi klimatologi (kecepatan angin, curah hujan, lama
penyinaran dan suhu udara) tahun 2013 di lokasi penelitian
Zonasi pemanfaatan perairan di Teluk Gerupuk, Lombok
Tengah,Provinsi Nusa Tenggara Barat (Radiarta&Rasidi 2012)

4
5
6
7
11
12
13
13
14
15
16
17
18
19
21
22

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.

Pertambahan bobot per titik tanam dan laju pertumbuhan harian
K. alvarezii pada setiap waktu pengamatan
Pertambahan bobot per titik tanam dan laju pertumbuhan harian
E. spinosum pada setiap waktu pengamatan

34
35

3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Kandungan
nitrogen K. alvarezii berdasarkan biomassa
persatuan luas
Laju penyerapan nitrogen K.alvarezii
Kandungan nitrogen E. spinosum berdasarkan biomassa
persatuan luas
Laju penyerapan nitrogen E. spinosum
Kandungan fosfor K.alvarezii berdasarkan biomassa persatuan
luas
Laju penyerapan fosfor K.alvarezii
Kandungan E. spinosum berdasarkan biomassa persatuan luas
Laju penyerapan fosfor E. spinosum
Kandungan dan produksi karbohidrat K. alvarezii setiap waktu
pengamatan
Kandungan dan produksi karbohidrat K.alvarezii setiap
pengamatan
Analisis ragam pertambahan bobot rumput laut
Analisis ragam kandungan nitrogen rumput laut di akhir masa
penelitian
Analisis ragam kandungan nitrogen rumput laut di akhir masa
penelitian

36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
48
49

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan produksi akuakultur telah memberikan kontribusi sebesar 40.10
% dari total produksi perikanan dunia pada tahun 2011 (FAO 2013). Peningkatan
produksi tersebut sejalan dengan meningkatnya pula pertumbuhan sektor
budidaya laut yang semakin lama semakin pesat, yang secara tidak langsung
menyebabkan akumulasi limbah dari kegiatan akuakultur di laut semakin tidak
teratasi.
Budidaya laut terintegrasi dengan konsep Integrated Multi Tropic
Aquaculture (IMTA) merupakan salah satu metode yang dirancang untuk
mengatasi beberapa masalah lingkungan terkait penggunaan pakan pada kegiatan
akuakultur. Prinsip utama dari penerapan IMTA yaitu mendaur ulang limbah
budidaya yang dihasilkan oleh spesies utama menjadi produk yang dapat dipanen
sekaligus dapat mengurangi dampak lingkungan (Ren et al. 2012). IMTA
memiliki konsep menggabungkan kegiatan pemeliharaan beberapa spesies
organisme dari trophic level yang berbeda seperti organisme akuakultur yang
diberi pakan (finfish), dengan organisme akuakultur penyadap bahan inorganik
(contoh rumput laut) serta organisme akuakultur penyadap bahan organik
(suspension dan deposit feeder, contoh kekerangan) (Troell et al. 2009). Menurut
Barrington et al. (2009), IMTA merupakan suatu konsep budidaya yang dapat
memberikan keuntungan positif dalam aspek lingkungan dan sosio-ekonomi bagi
industri akuakultur yang menggunakan pakan ikan.
Rumput laut merupakan salah satu komoditas unggulan Kementerian
Kelautan dan Perikanan RI (KKP) yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi,yaitu
menurut statistik FAO tahun 2010, produksi rumput laut Indonesia menempati
peringkat kedua dengan kontribusi sebesar 3.90 juta ton atau 20.60 % dari total
produksi rumput laut dunia (FAO 2012). Pada tahun 2011 Indonesia telah berhasil
meningkatkan volume produksi rumput laut nasional menjadi sebesar 5.170.201
ton (KKP 2012 ). Menurut Radiarta et al. (2013), budidaya rumput laut dapat
dijadikan aktivitas dalam penerapan ekonomi biru (blue economy) yang tengah
menjadi perhatian utama KKP saat ini karena : (1) mengintegrasikan antara sosial,
ekonomi, dan lingkungan, (2) pengembangannya berbasis kawasan, (3) sistem
produksi bersih efisien bebas pencemaran, tidak merusak lingkungan, dan
bermanfaat bagi seluruh masyarakat, dan (4) berkelanjutan dengan cara menjaga
keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan
dan antara produksi dan konsumsi.
Dalam kerangka IMTA rumput laut memiliki peranan sebagai biofilter dan
penghasil biomassa yang bernilai ekonomis, dimana limbah budidaya yang
terbuang di laut baik berupa sisa pakan yang tidak termakan dan hasil
metabolisme merupakan nutrien yang sangat sesuai untuk pertumbuhan rumput
laut ( Troell et al. 2003). Berdasarkan Nobre et al. (2010), penerapan IMTA pada
budidaya abalone dengan rumput laut telah menurunkan kadar N dan P perairan
sebesar 44% dan 23% dibandingkan dengan budidaya abalone monokultur.
Sedangkan menurut Abreu et al. (2009), 100 Hektar Gracilaria dapat menyerap
80% limbah nitrogen yang dihasilkan oleh 1500 ton ikan salmon. Pada usaha

2
budidaya skala kecil yang menghasilkan ikan kurang dari 400 ton, efek positif dari
keberadaan rumput laut dapat dideteksi pada lokasi yang dekat dengan KJA
(Troell et al. 1997).
Jenis rumput laut yang umum dibudidayakan di Indonesia adalah
kelompok penghasil karaginan (karagenofit) seperti Kappaphycus alvarezii
(dapat disebut juga Eucheuma cottonii) dan Eucheuma spinosum dan penghasil
agar (agarofit) seperti Glacilaria sp ( Parenrengi et al. 2011). Hal ini disebabkan
oleh teknik budidaya yang mudah dan permintaan pasar yang cukup tinggi. Sentra
pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia tersebar di beberapa provinsi
diantaranya Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Bali, Jawa
Timur, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Barat. Metode budidaya rumput
laut yang telah berkembang saat ini dan dikenal secara umum oleh masyarakat
meliputi metode lepas dasar, metode rakit apung dan metode rawai (Parenrengi et
al. 2011). Budidaya rumput laut yang berkembang pada umumnya masih bersifat
monokultur.
Kappaphycus alvarezii memiliki ciri fisik mempunyai thallus silindris dan
permukaan licin. Warnanya tidak selalu tetap terkadang berwarna hijau, hijau
kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna tersebut dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar
saling berdekatan di daerah pangkal. Cabang pertama dan kedua tumbuh
membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya
sinar matahari. Cabang-cabang tersebut ada yang memanjang atau melengkung
seperti tanduk (DJPB 2005). Tipe karaginan yang dihasilkan oleh rumput laut k.
alvarezii yaitu jenis kappa-karaginan yang kandungannya bersifat hampir
eksklusif pada jenis rumput laut tersebut ( McHugh 2003), dimana dengan
kandungan karaginan yang tinggi tersebut membuat K. alvarezii bernilai
ekonomis karena karaginannya banyak digunakan pada industry kosmetik,
makanan dan obat-obatan.
Eucheuma spinosum merupakan salah satu jenis rumput laut dari kelas
Rhodophyceae (ganggang merah). Ciri fisik dari Eucheuma spinosum
mempunyai bentuk thallus bulat tegak, dengan ukuran panjang panjang 5-30 cm,
transparan, warna coklat kekuningan sampai merah kekuningan. Permukaan
thallus tertutup oleh tonjolan yang berbentuk seperti duri-duri runcing yang tidak
beraturan, duri tersebut ada yang memanjang seolah berbentuk seperti cabang
(Atmadja et al. 1996). Tipe karaginan yang dihasilkan oleh Eucheuma spinosum
merupakan jenis iota-karaginan, merupakan salah satu fraksi karaginan yang
banyak digunakan dalam industry makanan, kosmetik dan obat-obatan (Apriyana
2006).
Teluk Gerupuk merupakan salah satu kawasan minapolitan budidaya
rumput laut dengan luas kawasan teluk sebesar 834 Ha yang telah dimanfaatkan
untuk berbagai kegiatan meliputi perikanan budidaya (ikan, lobster, dan rumput
laut), perikanan tangkap, dan pariwisata (surfing). Berdasarkan penelitian Radiarta
dan Rasidi (2012) kawasan teluk Gerupuk yang dapat dimanfaatkan untuk
budidaya rumput laut mencapai 322 Ha dan jenis rumput laut yang banyak
dibudidayakan adalah Kappaphycus alvarezii. Produksi rumput laut dari kawasan
ini menunjukkan fluktuasi yang cukup nyata selama tiga tahun terakhir, yaitu pada
tahun 2009 produksi rumput laut kering mencapai 13.300 ton kemudian
mengalami penurunan tahun 2010 dan 2011 yaitu 10.228,51 ton dan 8.266,99 ton

3
(Anonimous, 2011a). Fluktuasi produksi tersebut dapat disebabkan karena
berbagai hal diantaranya kondisi lingkungan perairan dan iklim yang sangat
mempengaruhi pola musim tanam rumput laut ( Parenrengi et al. 2011; Rusman
2012). Kondisi ini secara otomatis akan mempengaruhi produktivitas lahan untuk
mendukung hasil yang maksimal.
Dalam rangka mengkaji prospek implementasi IMTA budidaya laut di
Indonesia serta mendukung kebijakan ekonomi biru (Blue Economy), maka perlu
dilakukan kajian tentang efektifitas rumput laut sebagai komponen IMTA dalam
peningkatan produktivitas kawasan perairan Teluk Gerupuk, sekaligus
memanfaatkan kawasan secara efisien dan optimal dengan tetap ramah
lingkungan.

Perumusan Masalah
Peningkatan produktivitas budidaya laut yang terus berkembang memicu
perluasan dan intensifikasi lahan budidaya. Hal ini dapat mengakibatkan
terjadinya penurunan kualitas lingkungan perairan akibat meningkatnya akumulasi
residu pakan terutama unsur N dan P di perairan. Peningkatan kadar fosfat dalam
air laut, akan menyebabkan terjadinya ledakan populasi (blooming) fitoplankton
yang akhirnya dapat menyebabkan kematian ikan secara missal ( Hutagalung et
al. 1997)
Metode integrated multitrophic aquaculture (IMTA) terbukti dapat
mengatasi masalah penurunan kondisi lingkungan tersebut. IMTA merupakan
suatu konsep pemanfaatan atau daur ulang nutrient melalui pemeliharaan berbagai
spesies dari trofik level yang berbeda secara bersamaan. Penggunaan rumput laut
sebagai komponen utama IMTA didasarkan pada fungsinya sebagai bio filter dan
penghasil biomassa bernilai ekonomis.
Mengingat bahwa metode ini belum diterapkan dalam kegiatan budidaya
laut di Indonesia, maka diperlukan kajian efektivitas rumput laut sebagai
komponen IMTA dalam pemanfaatan limbah N dan P guna meningkatkan
produksi ( biomassa) rumput laut dan menurunkan dampak lingkungan dari
aktivitas akuakultur ( aktivitas tanpa limbah/ zero waste). Penggunaan dua jenis
rumput laut (Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum) adalah sebagai
bahan kajian untuk perbandingan efektifitas dalam penyerapan N dan P.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis tingkat penyerapan Nitrogen dan Fosfor oleh rumput laut
Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum pada sistem
IMTA
(Integrated Multitrophic Aquaculture)
2. Menganalisis peningkatan biomassa rumput laut pada sistem IMTA
3. Mengkaji kualitas perairan pada sistem IMTA (Integrated Multitrophic
Aquaculture

4
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk dapat menjadi
data dasar pengembangan budidaya laut berbasis IMTA di lokasi potensial
lainnya, sehingga dapat meningkatkan produktivitas budidaya laut dengan tetap
menjaga kondisi lingkungan akuakultur, dan berkelanjutan.

Hipotesis
Rumput laut K. alvarezii dan E. spinosum yang dibudidayakan pada
sistem IMTA dapat menyerap limbah N dan P sehingga biomassa rumput laut
dapat meningkat dan kualitas perairan di Teluk Gerupuk dapat terjaga dengan
baik.

2 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di perairan Teluk Gerupuk, Kabupaten Lombok
Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat pada 116o19’40” – 116o21’00” Lintang
Selatan dan 9o53’45” – 9o55’45” Bujur Timur (Gambar 1a). Jangka waktu
pelaksanaan penelitian terdiri atas satu siklus budidaya rumput laut (satu siklus 45
hari), yang dilaksanakan pada bulan September - Oktober 2013. Analisa sampel
air laut dilakukan di Laboratorium Kualitas Air Balai Budidaya Laut Lombok dan
pengujian sampel rumput laut di Laboratorium SEAMEO Biotrop Bogor.

Gambar 1 Lokasi penelitian di Teluk Gerupuk, Lombok Tengah, Nusa Tenggara
Barat

5
Materi Uji
Bibit rumput laut yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
Kappaphycus alvarezii strain maumere dan Eucheuma spinosum yang berasal dari
National Seaweed Center, Balai Budidaya Laut Lombok yang berlokasi di
perairan Teluk Gerupuk, Kabupaten Lombok Tengah. Selama penelitian
dilakukan pengujian terhadap sampel rumput laut dan sampel air laut dari lokasi
budidaya.

Prosedur Penelitian
Budidaya Rumput Laut pada sistem IMTA
Budidaya rumput laut dilakukan berdasarkan SNI 7579.2:2010 tentang
produksi budidaya rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) bagian 2: metode long
line, dimana pemeliharaan untuk satu siklus K. alvarezii dan E. Spinosum adalah
45 hari. (Gambar 2). Bibit rumput laut diikatkan pada tali titik berjarak 20 cm
dengan berat ± 100 gr setiap titik ikat (Gambar 3). Pada setiap satu tali ris terdapat
250 titik ikat, dengan jarak antara tali ris pasa satu unit longline adalah satu meter
( Gambar 2). Bibit rumput laut dipelihara pada kedalam 20-25 cm di bawah
permukaan air.

Ket : (1) tali jangkar, (2) tali utama, (3) tali pembantu,(4) tali ris
bentang, (5) tali jangkar utama, (6) jangkar pembantu, (7)
pelampung pembantu.
Sumber : BSN 2010

Gambar 2 Konstruksi longline berbingkai 50 x 50 m

6

Ket : (1) jangkar, (2) tali jangkar, (3) pelampung utama, (4)
pelampung ris bentang, (5) tali ris bentang (BSN 2010)
Sumber : BSN 2010

Gambar 3 Konstruksi lajur pada longline budidaya rumput laut

Budidaya rumput laut menggunakan metode rawai (long line) dengan
ukuran 50x50 m2.Terdapat tiga unit long line rumput laut yang disiapkan dalam
penelitian ini. Dua unit long line diletakkan pada sistem IMTA yaitu masingmasing di sisi barat (KaB =K. alvarezii barat; EsB= E. spinosum barat) dan sisi
timur (KaT = K. alvarezii timur ; EsT= E. spinosum timur) unit karamba jaring
apung (KJA) setelah dengan jarak masing-masing 20 m. Posisi longline rumput
laut di lokasi IMTA tersebut diletakkan setelah longline pemeliharaan kerang
mutiara. (Gambar 4).
KJA merupakan titik tengah dari sistem IMTA yang diaplikasikan. Unit KJA
yang digunakan adalah KJA jaring ganda (double net) yang terdiri dari empat
lubang dengan ukuran masing-masing lubang adalah 3 x 3 x 3m3. Jaring lapisan
pertama dipergunakan untuk memelihara ikan kerapu Cantang (500 ekor ikan per
lubang) dan jaring lapisan kedua dipergunakan untuk ikan baronang (200 ekor per
lubang) dengan bobot ± 100 gr. Pemberian pakan Ikan Kerapu menggunakan
pakan komersil sebanyak dua kali per hari dengan feeding rate (FR) pada saat
penelitian dilakukan adalah 3% dari bobot biomassa ikan. Ikan kerapu Chantang
dan Baronang telah dipelihara di KJA IMTA sejak bulan Juli 2013.
Selanjutnya satu unit long line rumput laut digunakan sebagai kontrol (KaK=
K. alvarezii Kontrol; EsK= E. spinosum kontrol) diletakkan pada lokasi dekat
mulut teluk dengan jarak sekitar 550 m dari sistem IMTA (Gambar 4).
Kedalaman di lokasi penelitian berkisar antara 8 – 14 m, baik lokasi IMTA
maupun control.
.

7

Ket : 1,2,3,4,5,6,: lokasi stasiun pengamatan kualitas perairan. KaB :
Kappaphycus alvarezii Barat; EsB : Eucheuma
spinosum Barat;
KaT : Kappaphycus alvarezii Timur ; EsT : Eucheuma spinosum
Timur ; KaK : Kappaphycus alvarezii Kontrol; EsK : Eucheuma
spinosum Kontrol. DIN : Dissolved Inorganic Nutrien; POM :
Particle Organic Matter

Gambar 4 Desain penelitian budidaya laut berbasis IMTA.

Pengukuran Parameter Kualitas Air
Untuk mengetahui kondisi perairan di lokasi budidaya dilakukan
pengukuran parameter kualitas air. Waktu sampling kualitas air dilakukan
bersamaan dengan sampling rumput laut yaitu pada hari ke-0, 15, 30 dan 45.
Pengukuran dan pengambilan sampel air laut dilakukan secara vertikal di 6
stasiun pada kedalaman 0 m, 3 m dan dasar. Pengambilan sampel air laut
menggunakan alat vertical water sampler. Alat dan metode yang digunakan dalam
pengukuran parameter kualitas air dan rumput laut seperti tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1 Pengamatan parameter kualitas air dan rumput laut di Teluk Gerupuk
No

Parameter

Jenis sampel Metode

Lokasi Analisa
Seameo Biotrop
Seameo Biotrop

In situ

1
2

Total N
Total P

Rumput Laut
Rumput Laut

3

Karbohidrat

Rumput Laut

Kjeldahl
HNO3-HClO4Spektrofometri
Luff Schoorl

4

Suhu

Air laut

YSI Pro

Seameo Biotrop

8
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Salinitas
Oksigen
Terlarut
(DO)
pH
TDS
Nitrat (NO3-N)
Nitrit (NO2-N)
Amonia ( NH3-N)
Fosfor (PO4-P)
Kecerahan
Kecepatan arus

Air laut
Air laut

YSI Pro
DO meter

In situ
In situ

Air laut
Air laut
Air laut
Air laut
Air laut
Air laut
Air laut
Air Laut

YSI Pro
YSI Pro
Spektrofotometri
Spektrofotometri
Spektrofotometri
Spektrofotometri
Sechi disc
Current-meter

In situ
In situ
BBL Lombok
BBL Lombok
BBL Lombok
BBL Lombok
In situ
In situ

Pengumpulan data sekunder
Pada penelitian ini dilakukan juga pengambilan data sekunder kondisi
klimatologi lokasi budidaya rumput laut dari Badan Meteorologi, Klimatologi,
dan Geofisika (BMKG) terdekat. Beberapa parameter yang diambil adalah curah
hujan, suhu udara, dan kecepatan angin. Parameter klimatologi tersebut diduga
dapat mempengaruhi kondisi lingkungan budidaya rumput laut, termasuk kondisi
fisik perairan.
Parameter Uji
Parameter uji yang akan diamati selama penelitian terdiri atas :
1. Laju Pertumbuhan harian rumput laut
Laju pertumbuhan harian (daily growth rate / DGR) dihitung dengan formula
sebagai berikut (Luning 1990) :
DGR (%) = 100 ln (Wt/Wo)
T2 – T1
Dimana :
Wt
= Bobot pada waktu T2 (g)
Wo
= Bobot pada waktu T 1 (g)
T1 dan T2 = Waktu pemeliharaan (hari)
2. Penyerapan N dan P pada rumput laut
Penyerapan N dan P rumput laut dapat dilihat dengan jumlah kandungan
Nitrogen dan Fosfor pada rumput laut yang diamati setiap 15 hari sekali. Laju
penyerapan nitrogen dan fosfor merupakan jumlah nitrogen dan fosfor yang
diserap oleh rumput laut per luas areal budidaya. Laju penyerapan N dan P
pada rumput laut akan dihitung dengan rumus sebagai berikut ( Kitadai dan
Kadowaki 2007) :

9

Dimana :
Pob = Laju penyerapan N dan P rumput laut per area budidaya (mg m-2 hari-1)
Co = Kandungan N dan P rumput laut di awal pemeliharaan (mg DW g-1)
Ct = Kandungan N dan P rumput laut di akhir pemeliharaan ( mg DWg-1)
α = Biomassa kering rumput laut per area budidaya ( g m-2)
t = Lama pemeliharaan (hari)
Nilai laju penyerapan N dan P tersebut akan dikonversikan dari satuan g m-1
menjadi nilai kapasitas penyerapan N dan P dengan satuan ton/hektar/tahun
guna memudahkan dalam penghitungan estimasi penyerapan N dan P di
kawasan Teluk Gerupuk.

3. Produksi karbohidrat pada rumput laut
Nilai kandungan karbohidrat dianalisis untuk melihat pola peningkatan
atau penurunan parameter tersebut dalam rumput laut yang dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan dari awal sampai dengan akhir penelitian. Produksi
karbohidrat (g m-2) merupakan jumlah karbohidrat yang dapat dihasilkan oleh
rumput laut per luas areal budidaya yang dapat dikalkulasikan berdasarkan
biomassa rumput laut, kadar karbohidrat dan rendemen rumput laut kering
sebagai berikut (Erlania 2013) :
Produksi karbohidrat (g m-2) =
biomassa (g m-2) x kandungan karbohidrat (%) x rendemen (%)
4. Kualitas perairan
Parameter kualitas perairan diperoleh dari hasil pengukuran secara in situ dan
eks situ (analisis laboratorium).
5. Klimatologi
Data-data klimatologi yang terdiri dari curah hujan, kecepatan angin dan suhu
udara dianalisis secara deskriptif untuk melihat fluktuasi kondisi klimatologi
wilayah penelitian yang dapat mempengaruhi kondisi lingkungan perairan di
lokasi budidaya rumput laut selama penelitian berlangsung.

Analisis Data
Data pertumbuhan dan penyerapan N dan P rumput laut di uji secara
statistik menggunakan analisis ragam (ANOVA) pada selang kepercayaan 95%
dengan software Minitab 16 (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Jika respon yang
dihasilkan berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut menggunakan Tuckey tes.
Data kualitas air yang dikumpulkan kemudian dianalisis secara descriptif dan
spasial. Analisa spasial ditampilkan secara vertikal. Perangkat lunak yang
digunakan dalam analisis ini adalah Ocean Data View (ODV). Untuk melakukan

10
analisis spasial, seluruh data yang terkumpul diinterpolasi dengan teknik VG
gridding (Schlitzer, 2011). Sedangkan data klimatologi dianalisis secara deskriptif
dalam bentuk grafik untuk mengetahui kondisi iklim yang mempengaruhi kondisi
lingkungan budidaya rumput laut.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kualitas perairan dalam sistem IMTA
Kondisi kualitas air merupakan hal yang harus diperhatikan dalam
pengembangan budidaya rumput laut. Parameter kualitas air yang diamati selama
pemeliharaan rumput laut K. alvarezii dan E. spinosum meliputi parameter fisik
dan parameter kimia perairan. Berikut ini merupakan grafik hasil pengukuran
parameter fisik selama masa pemeliharaan rumput laut K. alvarezii dan E.
spinosum, baik di lokasi IMTA maupun kontrol yang meliputi suhu, salinitas dan
pH.

11

Gambar 5 Parameter fisika kualitas air (a) suhu, (b) pH dan (c) salinitas
Berdasarkan Gambar 5, terlihat bahwa nilai suhu perairan berkisar 26. 9–
28.1 oC; nilai pH berkisar 8.2-8.92 dan nilai salinitas berkisar 31 – 35.6 ppt.
Kecepatan arus selama penelitian berkisar 40-60 cm/det dan kecerahan di perairan
budidaya rumput laut berkisar antara 2.5 – 3 m (Tabel 2).
Tabel 2 Kondisi Kualitas Perairan di teluk Gerupuk selama penelitian
Parameter
Kecerahan
Suhu
pH
DO
TDS
Konduktivitas
Salinitas
Kecepatan arus
NH3-N
NO2-N
NO3-N
PO4-P

IMTA
Minimum Maksimum Rataan Deviasi
m
2.5
3.0
2.7
0
C
26.9
28.1
27.3
0.47
8.21
8.92
8.58
0.28
mg/L
4.1
6.89
5.94
0.84
mg/L
31.02
34.58 33.13
1.19
µS/cm
55.18
53.16 55.27
0.07
ppt
31
35.64 33.45
1.43
m/sec
40
60
50
0,14
mg/L
0.0009
0.006 0.002
0.002
mg/L
0.0019
0.5
0.06
0.13
0.4
1.1
0.64
0.22
mg/L
0.0049
0.044
0.5
0.18
Unit

Kontrol
3.0
27.3
8.56
5.82
33.02
53.25
33.25
50
0.0009
0.037
0.75
0.06

Parameter kimia yang merupakan parameter penentu dalam penyediaan
nutrien terlarut bagi pertumbuhan rumput laut meliputi konsentrasi NO3, dan PO4.

12

(a)

(b)

Ket : Warna menunjukkan konsentrasi NO3 dan PO4 di Perairan
Gambar 6 Analisis vertikal kualitas perairan di lokasi IMTA Teluk Gerupuk :(a)
hari ke-30 dan (b) hari ke-45
Analisis vertikal parameter NO3-N dan PO4-P ditampilkan pada Gambar 6.
Dari hasil analisis tersebut, terlihat secara jelas bahwa pada hari ke-30 sebaran
konsentrasi NO3-N perairan terakumulasi paling banyak pada sisi barat dari KJA
IMTA dengan kisaran antara 0,5 mgL-1 – 1,1 mgL-1.Sedangkan untuk sebaran
konsentrasi PO4-P tertinggi terdapat pada sisi timur KJA IMTA dengan kisaran
nilai 0,05 mgL-1 – 0,39 mgL-1 (Gambar 6a). Di akhir masa penelitian rumput laut
(hari ke 45) penyebaran nutrien terlarut baik NO3-N maupun PO4-P terakumulasi
pada paling banyak pada sisi barat KJA IMTA (Gambar 6b).

Kandungan dan laju penyerapan nitrogen rumput laut pada sistem IMTA
Hasil pengujian kandungan nitrogen pada jaringan rumput laut K. alvarezii
di akhir masa pemeliharaan diperoleh bahwa kandungan nitrogen KaB pada hari
ke 45 mencapai 4.73 gN m-2 atau lebih tinggi 148,1% dibandingkan dengan KaK
yaitu hanya mencapai 1.91 gN m-2.Sedangkan untuk KaT kandungan nitrogennya
mencapai 4.40 gN m-2 atau 130,8% lebih tinggi dibandingkan dengan KaK
(Gambar 7a). Kemampuan penyerapan nitrogen oleh rumput laut E. spinosum,
hampir serupa dengan K. Alvarezii, dimana kandungan nitrogen pada jaringan
rumput laut EsB pada hari ke-45 mencapai 4.36 gN m-2, lebih tinggi 32,79%

13
dibandingkan dengan EsK yaitu 3.29 gN m-2. Sedangkan untuk EsT kandungan
nitrogennya mencapai nilai 3.53 gN m-2, atau lebih tinggi 7.54% dibandingkan
dengan EsK (Gambar 7b).

Gambar 7

Kandungan nitrogen pada rumput laut K. alvarezii (a) dan E.
spinosum (b)

Berdasarkan analisis kandungan nitrogen pada jaringan rumput laut,
biomassa rumput laut dan luasan areal budidaya dari dua spesies rumput laut yaitu
K. alvarezii dan E. spinosum yang dibudidayakan pada longline IMTA dan
kontrol, menunjukkan laju penyerapan nitrogen K. alvarezii pada lokasi IMTA
memiliki
nilai
lebih
tinggi
dengan
kisaran
80.03–86.95
ton/hektar/tahun,dibandingkan dengan kontrol yaitu 15.61 ton/hektar/tahun
(Gambar 8).Untuk jenis E. spinosum laju penyerapan nitrogen di lokasi IMTA
berkisar antara 35.14 – 69.78 ton/hektar/tahun, lebih tinggi dibandingkan dengan
longline kontrol yaitu sejumlah 30.53 ton/hektar/tahun (Gambar 8).

Gambar 8 Laju penyerapan nitrogen K. alvarezii dan E. Spinosum

14
Kandungan dan laju penyerapan Fosfor rumput laut pada sistem IMTA
Fosfor juga merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi
dan algae, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan algae
akuatik serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan (Effendi 2003).
Kandungan fosfor pada rumput laut dipengaruhi oleh konsentrasi PO4-P di
perairan budidayanya. Kandungan fosfor pada rumput laut K. alvareziii dan E.
spinosum yang dibudidayakan dengan sistem IMTA relatif lebih tinggi dengan
kisaran 0.55 - 1.07 gP m-2 dibandingkan dengan rumput laut yang dibudidayakan
di lokasi kontrol (Gambar 9).

Gambar 9

Kandungan fosfor pada rumput laut (a)
Spinosum.

K. alvarezii dan (b) E.

Pada rumput laut jenis K. alvarezii, kandungan fosfor terbaik terdapat pada
KaT dengan kandungan Total P sejumlah 1.07 gP m-2 (Gambar 9a),sedangkan
untuk jenis E. spinosum kandungan total P pada jaringan rumput laut tertinggi
terdapat pada EsB dengan nilai 0.55 gP m-2, lebih tinggi 39% dibandingkan
dengan kontrol (EsK) (Gambar 9b).
Rumput laut K. alvarezii memiliki nilai laju penyerapan fosfor yang lebih
tinggi dibandingkan dengan E. spinosum di semua lokasi budidaya. Kapasitas
penyerapan fosfor K. Alvarezii tertinggi terdapat pada sisi timur KJA IMTA
(KaT) dengan nilai mencapai lima kali lipat yaitu 20.56 ton P/hektar/tahun
dibandingkan dengan laju penyerapan fosfor E. spinosum yaitu 4.39 ton
P/hektar/tahun. Sedangkan untuk E. spinosum laju penyerapan fosfor tertinggi
terdapat pada sisi sebelah barat KJA IMTA (EsB) dengan nilai mencapai 8.69 ton
P/hektar/tahun( Gambar 10).

15

Gambar 10 Laju penyerapan fosfor K. alvarezii dan E. spinosum
Pertumbuhan dan produktivitas rumput laut
Rata-rata pertambahan bobot K. alvarezii di lokasi IMTA dari rata-rata bibit
yang ditanam sekitar 500 g m-2 meningkat pada akhir masa pemeliharaan
(45
hari) menjadi 4114.36 g m-2 pada KaB dan 4113.40 g m-2 pada KaT. Sedangkan
pada perlakuan KaK rata-rata peningkatan bobotnya lebih rendah daripada
perlakuan IMTA , dengan rata-rata bobot pada akhir masa pemeliharaan mencapai
2167.30 g/m2( Gambar 11). Rata-rata pertambahan bobot K alvarezii yang
ditanam pada lokasi IMTA mulai hari ke 30 lebih tinggi dibandingkan dengan K.
alvarezii yang ditanam pada longline kontrol (KaK). Pertambahan bobot rata-rata
yang dicapai K alvarezii di lokasi IMTA mulai hari ke-30 hingga hari ke-45
mencapai 16.67 - 89.84 % untuk KaB dan 10.89 % - 89.79 % untuk KaT lebih
besar dibandingkan KaK pada selang waktu yang sama yaitu pada hari ke-30
hingga hari ke 45. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk biomassa rumput laut
juga menunjukkan bahwa KaB dan KaT memiliki biomassa akhir yang secara
signifikan berbeda dengan KaK (P < 0.05), sedangkan untuk antara KaB dan KaT
biomassa akhir tidak berbeda nyata (P > 0.05).
Rata-rata laju pertumbuhan harian dari KaK tinggi pada hari ke 0-15 yaitu
4.94 % pada hari ke- 0-15 dan menurun hingga akhir masa pemeliharaan (hari ke45) menjadi 2.24%. Sedangkan pada K. alvarezii yang di tanam pada lokasi
IMTA rata-rata laju pertumbuhan harian awalnya lebih rendah yaitu 4.04 % untuk
KaB dan 4.61% pada KaT, kemudian menurun pada hari ke-15 – 30 dan kembali
meningkat menjadi 5.49 % pada KaB dan 6.12 % pada KaT pada masa akhir
pemeliharaan (hari ke-45).

16

Ket : Huruf superscript yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji
5% (uji Tuckey). (analisis ragam pada Lampiran 13)
Gambar 11 Pertambahan Bobot dan laju pertumbuhan harian K. Alvarezii pada
setiap umur pemeliharaan.
Pada rumput laut jenis E. spinosum, dengan bobot awal yang sama, rata-rata
peningkatan bobot pada perlakuan EsB mencapai 3698.2 gm-2 lebih tinggi
dibandingkan dengan bobot rata-rata pada akhir masa pemeliharaan EsT yaitu
sejumlah 2347.3 g m-2. Sedangkan untuk E. spinosum yang ditanam pada
longline timur (EsT) bobot rata-rata pada akhir masa pemeliharaan mencapai
2488.62 gm-2, lebih tinggi 6.02 % dibandingkan dengan EsK yang mencapai
bobot rata-rata akhir 2347.3 gm-2. Hal ini diperkuat dengan hasil analisis ragam,
dimana EsB saja memiliki biomassa akhir yang berbeda signifikan dengan
biomassa akhir EsK (P