Aplikasi Marka Molekuler untuk Seleksi Ketahanan Blas pada Populasi Padi Haploid Ganda
APLIKASI MARKA MOLEKULER UNTUK SELEKSI
KETAHANAN BLAS PADA POPULASI
PADI HAPLOID GANDA
GUT WINDARSIH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aplikasi Marka
Molekuler untuk Seleksi Ketahanan Blas pada Populasi Padi Haploid Ganda
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Tesis ini
adalah bagian dari penelitian berjudul Pembentukan Padi Tahan Hama dan
Penyakit Utama (Penggerek Batang, HDB, Blas, dan Tungro) yang dibiayai oleh
dana DIPA APBN BB Biogen, Bogor, dengan nomor kontrak 1798.011.002.013
Tahun 2013. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor dan BB Biogen, Departemen Pertanian.
Bogor, Mei 2014
Gut Windarsih
NRP G353110191
RINGKASAN
GUT WINDARSIH. Aplikasi Marka Molekuler untuk Seleksi Ketahanan Blas
pada Populasi Padi Haploid Ganda. Dibimbing oleh UTUT WIDYASTUTI dan
DWINITA WIKAN UTAMI.
Penyakit blas, disebabkan oleh cendawan Pyricularia grisea Sacc.,
merupakan salah satu penyakit yang merusak pada padi. Penggunaan varietas
tahan blas adalah salah satu cara paling efisien untuk melindungi padi dari
penyakit ini. Varietas tahan blas dapat diproduksi melalui program pemuliaan.
Penggunaan marker-assisted selection (MAS) tersedia untuk membantu seleksi
galur tahan berdasarkan gen ketahanan. Program pemuliaan varietas tahan blas
dapat dikombinasikan dengan pendekatan kultur antera untuk memproduksi galur
haploid ganda terfiksasi agar lebih efisien.
Ketahanan terhadap penyakit blas terjadi berdasarkan interaksi gene-to-gene
antara gen ketahanan pada tanaman inang dan gen avirulen pada patogen blas.
International Rice Research Institute (IRRI) telah mengembangkan set varietas
padi diferensial, di mana setiap varietas memiliki gen ketahanan tunggal yang
teridentifikasi. Penggunaan set varietas diferensial memungkinkan kita untuk
membandingkan respons ketahanan terhadap patogen blas tertentu dan untuk
mengidentifikasi gen ketahanan yang bertanggung jawab melindungi tanaman dari
patogen blas berdasarkan teori gene-to-gene.
Tujuan penelitian ini yaitu: (1) membandingkan respons ketahanan galur
haploid ganda dari persilangan ganda IR54/Parekaligolara//Bio110/Markuti
dengan sistem diferensial standar terhadap tiga ras blas dari kawasan Indonesia
terseleksi; (2) mengidentifikasi gen ketahanan blas pada populasi haploid ganda
yang diuji menggunakan marka molekuler untuk gen Pi1, Pi2, Pi9, Pi33, Pib,
Pir4, dan Pir7; serta (3) mengidentifikasi potensi gen-gen yang memiliki
kontribusi membentuk ketahanan blas berdasarkan analisis asosiasi antara data
fenotipe respons ketahanan dan data genotipe menggunakan marka molekuler.
Empat puluh sembilan galur haploid ganda dari persilangan ganda
IR54/Parekaligolara//Bio110/Markuti diseleksi menggunakan marka gen Pib, Pi1,
Pi2, Pi9, Pi33, Pir4, dan Pir7. Untuk membandingkan seleksi fenotipe digunakan
varietas diferensial yang terdiri atas 10 galur monogenik dengan background
genetik LTH. Semua tanaman diinokulasi dengan 3 isolat dari genotipe PH14.
Hasil menunjukkan ras 173 memiliki virulensi paling luas terhadap set
varietas diferensial. Berdasarkan sistem penentuan respons ketahanan menurut
Hayashi et al. (2009), gen Pish, Pi5, Pi1, Piz, dan Pita bertanggung jawab
melindungi tanaman dari ras 123. Gen Pia, Pish, Pi5, Pikm, Pi1, Pita, dan Pita2
bertanggung jawab melindungi tanaman dari ras 133. Gen Pia, Piz, dan Pita2
bertanggung jawab melindungi tanaman dari ras 173. Respons ketahanan yang
hampir sama juga ditunjukkan berdasarkan IRRI (1996) kecuali respons terhadap
ras 133, varietas diferensial yang memiliki gen Pia rentan terhadap ras ini. Hasil
ini mengindikasikan bahwa gen Pia tidak berkontribusi melindungi tanaman dari
ras 133. Galur monogenik LTH dikelompokkan dalam 5 kelompok patotipe
berdasarkan respons patotipe terhadap isolat blas diferensial Jepang. Pada
pengelompokan tersebut, galur-galur dari kelompok patotipe yang sama memiliki
respons patotipe yang sama terhadap isolat blas diferensial Jepang, namun hasil
menunjukkan gen-gen ketahanan dari varietas diferensial pada kelompok patotipe
yang sama belum tentu memiliki respons patotipe yang sama terhadap ketiga
isolat. Hal ini mengindikasikan galur monogenik LTH tidak dapat digunakan
sebagai pembanding respons ketahanan tanaman terhadap isolat blas di Indonesia.
Berdasarkan evaluasi fenotipe terhadap 49 galur haploid ganda, 2 galur
tahan terhadap ras 123; 38 galur medium tahan, dan 9 galur bersifat rentan. Dua
puluh satu galur tahan terhadap ras 133, 17 galur medium tahan, dan 11 galur
bersifat rentan. Dua galur tahan terhadap ras 173, 21 galur medium tahan, dan 26
galur bersifat rentan.
Hasil reaksi PCR menunjukkan 8 primer mampu mengamplifikasi fragmen
DNA target (RM138, RM166, RM208, RM266, RM224, PiSNP4, PiSNP7, dan
G1010). Namun, pita DNA target yang dihasilkan pada masing-masing primer
tidak konsisten dengan respons ketahanan tanaman yang diuji terhadap ketiga
isolat, kecuali PiSNP7 yang merupakan marka spesifik untuk gen Pir7. Marka
PiSNP7 lebih konsisten dengan respons ketahanan terhadap ketiga ras.
Analisis asosiasi antara marka molekuler dan respons fenotipe menurut
Hayashi et al. (2009) menunjukkan 3 marka berasosiasi dengan gen Pi target:
RM224 berasosiasi dengan gen Pi1, RM166 berasosiasi dengan gen Pib, dan
PiSNP7 berasosiasi dengan gen Pir7. Gen Pib berkontribusi membentuk
ketahanan terhadap ras 123, sedangkan gen Pi1 dan Pir7 berkontribusi
membentuk ketahanan terhadap ras 123 dan 133. Primer PiSNP7 paling presisi
digunakan sebagai marka seleksi karena menghasilkan pita target yang
berhubungan langsung dengan respons ketahanan. Sementara itu, analisis asosiasi
antara marka molekuler dan respons fenotipe menurut IRRI (1996) menunjukkan
gen Pib tidak berasosiasi dengan respons ketahanan terhadap ras 123, tetapi
terhadap ras 133. Hasil ini menunjukkan bahwa sistem evaluasi standar dari IRRI
(1996) masih diperlukan untuk menentukan tingkat ketahanan tanaman terhadap
serangan blas daun. Primer RM138, RM208, RM266, PiSNP4, dan G1010 tidak
berasosiasi dengan respons ketahanan terhadap ketiga ras sehingga tidak dapat
digunakan sebagai marka seleksi. Tidak adanya asosiasi antara RM138, RM208,
RM266, dan G1010 dengan respons ketahanan disebabkan adanya jarak genetik
antara marka tersebut dengan lokus gen target sehingga memungkinkan terjadinya
rekombinasi. Hal ini menunjukkan bahwa marka molekuler yang didesain untuk
suatu populasi persilangan tidak selalu dapat diaplikasikan untuk populasi
persilangan yang lain dengan latar belakang genetik yang berbeda. PiSNP4
merupakan primer spesifik untuk gen Pir4 yang hanya menyebabkan ketahanan
terhadap isolat dari genotipe CM28. Tidak ada primer yang berasosiasi dengan
respons ketahanan tanaman terhadap ras 173. Hasil ini mengindikasikan respons
ketahanan terhadap ras 173 tidak dikontribusikan oleh gen Pi1, Pi2, Pi9, Pib, Pi33,
Pir4, maupun Pir7.
Berdasarkan evaluasi fenotipe, 2 galur haploid ganda terseleksi paling tahan
terhadap ras 123, 21 galur paling tahan terhadap ras 133, dan 2 galur paling tahan
terhadap ras 173. Untuk menyeleksi galur unggul, karakteristik agronomi harus
diamati seperti tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, dan bobot gabah.
Kata kunci: marka molekuler, penyakit blas, populasi haploid ganda, Pyricularia
grisea
SUMMARY
GUT WINDARSIH. Molecular Markers Application for Blast Resistance
Selection on The Double Haploid Rice Population. Supervised by UTUT
WIDYASTUTI and DWINITA WIKAN UTAMI.
Blast disease, caused by fungal Pyricularia grisea Sacc., is one of the
devastating diseases in rice. The using of blast-resistant varieties is one of the
most efficient ways to protect rice from this disease. Blast resistant varieties can
be produced through breeding program. The using of marker-assisted selection
(MAS) available to support selection of resistant lines based on resistance gene.
The breeding program of blast resistant varieties can be come together with anther
culture approach to produce the fixed double haploid lines more efficiently.
The resistance to blast disease is governed by a gene-to-gene interaction
between resistance gene in the host and avirulence gene in the blast pathogen. The
International Rice Research Institute (IRRI) had developed differential rice variety
set. Each variety had single resistance gene identified. The using of differential
variety set allowed us to compare the resistance response to certain blast pathogen
and to identify the resistance gene that responsible to protect plant from blast
pathogen based on gene-to-gene theory.
The objectives of this research were: (1) to compare the resistance response
of
the
double
haploid
lines
from
a
double
cross
IR54/Parekaligolara//Bio110/Markuti with the standard differential system to
three selected Indonesian blast races; (2) to identify blast resistance genes on the
double haploid population tested using molecular markers for Pi1, Pi2, Pi9, Pi33,
Pib, Pir4 and Pir7 genes; and (3) to identify the potency of gene(s) that had a
contribution in form the blast resistance based on association analysis between the
phenotype data of resistance response and the genotype data using molecular
markers.
Forty-nine double haploid lines from a double cross between
IR54/Parekaligolara//Bio110/Markuti were selected by using the markers based
on Pib, Pi1, Pi2, Pi9, Pi33, Pir4 and Pir7 genes. To compare the phenotype
selection, the differential varieties consisted of ten monogenic lines with LTH
genetic background were used. All plants were inoculated with 3 isolates from
PH14 genotype.
The result showed race 173 had the widest virulence on differential variety
set. Based on the designation system of resistance response by Hayashi et al.
(2009), Pish, Pi5, Pi1, Piz and Pita genes were responsible to protect plant from
race 123. Pia, Pish, Pi5, Pikm, Pi1, Pita and Pita2 genes were responsible to
protect plant from race 133. Pia, Piz and Pita2 genes were responsible to protect
plant from race 173. Almost the same performance of resistance response was also
showed based on IRRI (1996) except the response to race 133, the differential
variety that had Pia gene was susceptible to this race. It indicated this gene did not
contributed to protect the plant from race 133. LTH monogenic lines were divided
into 5 pathotype groups based on pathotype response on Japanese differential blast
isolates. On this grouping, the lines from same pathotype group have same
pathotype response to Japanese diferential blast isolates. But, the result showed
the resistance genes from differential varieties in same group did not always have
same pathotype response to blast isolates from Indonesia. It indicated LTH
monogenic lines could not be used to compare the resistance response on plant to
blast isolates in Indonesia.
Based on the phenotype evaluation on 49 double haploid lines, 2 lines were
resistant to race 123; 38 lines were medium resistant and 9 lines were susceptible.
Twenty-one lines was resistant to race 133, 17 lines were medium resistant and 11
lines were susceptible. Two lines were resistant to race 173, 21 lines were medium
resistant and 26 lines were susceptible.
The result of PCR reaction showed 8 primers amplified the targeted DNA
fragments (RM138, RM166, RM208, RM266, RM224, PiSNP4, PiSNP7 and
G1010). But, the targeted DNA fragments produced on each primer were not
consistent with the resistant response on plant tested to three isolates, except
PiSNP7 that was a specific marker for Pir7 gene. This marker was more
consistent with the resistant response to these races.
The association analysis between the molecular markers and the phenotype
response by Hayashi et al. (2009) showed 3 markers were associated to Pi genes
targeted: the RM224 was associated to Pi1 gene, the RM166 was associated to
Pib gene and the PiSNP7 was associated to Pir7 gene. Pib gene contributed in
form the resistance to race 123, while Pi1 and Pir7 genes contributed in form the
resistance to races 123 and 133. Primer PiSNP7 was the most precision to be used
as selection marker because produced the targeted band that directly according
with the resistance response. Meanwhile, the association analysis between the
molecular markers and the phenotype response by IRRI (1996) showed the Pib
was not associated with the resistance response to race 123, but to race 133. This
showed that the standar evaluation system from IRRI (1996) was still needed to
determine the resistance degree of plant to leaf blast attack. Primers RM138,
RM208, RM266, PiSNP4 and G1010 were not associated with the resistance
response to three races, therefore they could not be used as selection markers.
There were no association between the primers RM138, RM208, RM266 and
G1010 with the resistance response was caused by the genetic distance between
these markers and the targeted genes locus, therefore possible to cause the
recombination. This showed that the molecular marker designed for specific
crossing population could not always be used for other crossing population from
different genetic background. PiSNP4 was a specific primer for Pir4 gene that
cause the resistance to isolate from CM28 genotype only. There was no primer
that associated with the response of resistance on plants to race 173. This result
indicated that the resistance response to race 173 was not contributed by Pi1, Pi2,
Pi9, Pib, Pi33, Pir4 or Pir7 genes.
According to phenotype evaluation, 2 selected double haploid lines were the
most resistant to race 123, 21 lines were the most resistant to race 133 and 2 lines
were the most resistant to race 173. To select superior lines, the agronomic
characteristic must be observed such as plant height, date of flowering, date to
harvest and grain weight.
Key words: blast disease, double haploid population, molecular marker,
Pyricularia grisea
© Hak Cipta milik IPB dan BB Biogen, tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB dan BB Biogen
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB dan BB Biogen
APLIKASI MARKA MOLEKULER UNTUK SELEKSI
KETAHANAN BLAS PADA POPULASI
PADI HAPLOID GANDA
GUT WINDARSIH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr.Ir. Hajrial Aswidinnoor, MSc
Judul Tesis : Aplikasi Marka Molekuler untuk Seleksi Ketahanan Blas pada
Populasi Padi Haploid Ganda
Nama
: Gut Windarsih
NIM
: G353110191
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Utut Widyastuti, MSi
Ketua
Dr. Dwinita Wikan Utami, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Biologi Tumbuhan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Miftahudin, MSi
Dr.Ir. Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 10 Maret 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian ini adalah Aplikasi Marka Molekuler untuk Seleksi
Ketahanan Blas pada Populasi Padi Haploid Ganda. Penelitian ini dilaksanakan
pada bulan September 2012 sampai Oktober 2013 di Laboratorium Bioteknologi
dan Biologi Molekuler, Balai Besar Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian (BB Biogen), Bogor. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian
berjudul Pembentukan Padi Tahan Hama dan Penyakit Utama (Penggerek Batang,
HDB, Blas, dan Tungro) yang dibiayai oleh dana DIPA APBN BB Biogen, Bogor,
dengan nomor kontrak 1798.011.002.013 Tahun 2013.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr.Ir. Utut Widyastuti, M.Si. dan
Ibu Dr. Dwinita Wikan Utami, M.Si. selaku pembimbing serta Bapak Dr.Ir.
Hajrial Aswidinnoor, MSc selaku penguji luar komisi yang telah memberikan
banyak saran dan masukan. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada Bapak Wawan, Bapak Dadang, dan Bapak Yana Suryatna dari BB Biogen,
Bogor serta Ibu Pepi Elvavina dari Laboratorium Biorin, IPB yang telah banyak
membantu selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada ayah, ibu, beserta seluruh keluarga, atas doa dan semangat yang diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi dunia penelitian dan masyarakat.
Bogor, Mei 2014
Gut Windarsih
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
1
4
5
2 BAHAN DAN METODE
Bahan Penelitian
Waktu dan Tempat Penelitian
Metode Penelitian
Analisis Data
5
5
5
6
10
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Respons Fenotipe terhadap Ras Blas
Evaluasi Genotipe Menggunakan Marka Molekuler
Keterkaitan (Asosiasi) Marka Molekuler dengan Respons Fenotipe
10
10
14
17
4 SIMPULAN DAN SARAN
25
DAFTAR PUSTAKA
26
RIWAYAT HIDUP
28
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Daftar galur monogenik LTH
Sistem penentuan ras blas berdasarkan reaksi galur monogenik LTH
Nomor ras dominan berdasarkan pola reaksinya terhadap varietas
diferensial Indonesia
Deskripsi isolat blas yang digunakan
Skala skor penyakit blas daun tanaman padi (Hayashi et al. 2009)
Skala skor penyakit blas daun tanaman padi (IRRI 1996)
Primer untuk amplifikasi fragmen gen penanda ketahanan blas
Pola reaksi varietas diferensial terhadap tiga isolat blas
Pola reaksi terhadap tiga ras blas pada tetua
Pola reaksi terhadap tiga ras blas pada galur haploid ganda
Amplifikasi fragmen DNA target menggunakan marka molekuler
Analisis asosiasi marka molekuler dengan respons fenotipe menurut
Hayashi et al. (2009)
Analisis asosiasi marka molekuler dengan respons fenotipe menurut
IRRI (1996)
2
3
3
5
7
7
9
11
12
13
16
17
24
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Skema produksi galur haploid ganda melalui kultur antera pada F1 hasil
persilangan ganda IR54/Parekaligolara//Bio110/Markuti
Inokulasi tanaman dengan tiga ras isolat blas
Standar pemberian skor blas menurut Hayashi et al. (2009): skor 0-2
untuk sifat tahan, skor 3 untuk medium tahan, dan skor 4-5 untuk sifat
rentan
Standar pemberian sklor blas daun menurut IRRI (1996)
Amplifikasi PCR dari primer RM224 pada populasi haploid ganda (149), 10 galur monogenik LTH (50-59), tetua (60=Bio110,
61=Parekaligolara, 62=Markuti, 63=IR54), dan US2 (64)
Amplifikasi PCR dari primer RM166 pada populasi haploid ganda (149), 10 galur monogenik LTH (50-59), tetua (60=Bio110,
61=Parekaligolara, 62=Markuti, 63=IR54), dan US2 (64)
Amplifikasi PCR dari primer PiSNP7 pada populasi haploid ganda (149), 10 galur monogenik LTH (50-59), tetua (60=Bio110,
61=Parekaligolara, 62=Markuti, 63=IR54), dan US2 (64)
Peta genetik kromosom 2 oleh Temnykh et al. (2001) (a); analisis
kandidat gen ketahanan Pir pada kromosom 2 pada posisi antara primer
RM263 dan RM250 (Utami et al. 2008)
Analisis pemetaan gen Pir4 dan Pir7 pada populasi backcross dari
persilangan antara IR64 dan Oryza rufipogon; gen Pir4 terpetakan pada
posisi 110.9 cM, sedangkan gen Pir7 terpetakan pada posisi 122.8 cM
(Utami et al. 2008)
4
6
7
8
14
15
15
19
20
10 Peta genetik kromosom 11 (a) oleh Temnykh et al. (2001); daerah
antara 110.0 dan 123.2 cM (b) dilengkapi dengan informasi yang
tersedia di database Gramene (www.gramene.org); analisis keterpautan
marka RM123*I dan RM224 pada posisi 0.0 cM terhadap gen
ketahanan Pi1(t) (c)
11 Peta genetik kromosom 2 (a) oleh Temnykh et al. (2001); peta genetik
marka RM166, RM208, RM266, dan RM138 pada kromosom 2 yang
dekat dengan gen Pib pada populasi F12 dari persilangan Gulfmont
(tahan) dan Te-Qing (rentan) (Fjellstrom et al. 2004)
12 Peta genetik kromosom 8 (a) oleh Temnykh et al. (2001); pemetaan
genetik gen Pi33 pada populasi rekombinan haploid ganda hasil
persilangan IR64 x Azucena menggunakan 8 marka SSR dan RFLP
yang memiliki jarak genetik paling dekat dengan gen Pi33 (b)
21
22
23
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit blas merupakan salah satu penyakit yang merusak pada padi
(Kumar et al. 2010). Di Indonesia, luas serangan penyakit blas mencapai 1285
juta ha atau sekitar 12% dari total luas areal pertanaman padi
(http://www.deptan.go.id, 2004). Penyakit blas disebabkan oleh cendawan
Pyricularia grisea Sacc. (teleomorph: Magnaporthe grisea; sinonim: Pyricularia
oryzae Cavara) (Rossman et al. 1990). Fungisida dapat digunakan untuk
mengendalikan penyakit blas pada padi, namun residu kimianya dapat
menyebabkan kontaminasi lingkungan. Oleh karena itu, penggunaan varietas
tahan merupakan salah satu cara yang paling efisien untuk melindungi padi dari
penyakit blas (Koide et al. 2009). Pemuliaan varietas padi tahan blas dapat
dikombinasikan dengan pendekatan kultur antera untuk menghasilkan galur
haploid ganda secara lebih efisien (Niizeki & Oono 1968).
Sistem penyerangan penyakit blas terjadi berdasarkan interaksi gene-to-gene
antara gen ketahanan pada tanaman inang dan gen avirulen pada patogen blas
(Silue et al. 1992). Lebih dari 70 gen ketahanan blas telah diidentifikasi melalui
analisis quantitative trait locus (QTL), tetapi hanya 18 gen yang telah dikloning
dan dikarakterisasi (Roychowdhury et al. 2011). Gen-gen ketahanan ini dapat
dideteksi menggunakan marka molekuler, sehingga varietas tahan blas dapat
diseleksi menggunakan marka molekuler yang berdekatan dengan gen ketahanan,
dengan demikian proses seleksi lebih cepat (Koide et al. 2009).
International Rice Research Institute (IRRI) telah mengembangkan varietas
padi diferensial. Varietas diferensial ini terdiri atas 29 galur monogenik
(monogenic lines/MLs) dengan latar belakang genetik varietas Japonica, Lijianxin-tuan-heigu (LTH), masing-masing mengandung satu dari 24 gen ketahanan
blas: Pia, Pib, Pii, Pik, Pik-h, Pik-m, Pik-p, Pik-s, Pish, Pit, Pita, Pita-2, Piz, Piz-t,
Piz-5, Pi1, Pi3(t), Pi5(t), Pi7(t), Pi9, Pi11(t), Pi12(t), Pi19(t), dan Pi20(t) (Tabel
1). Penggunaan varietas diferensial berfungsi sebagai pembanding respons
ketahanan terhadap suatu ras patogen tertentu dan mengidentifikasi gen ketahanan
yang melindungi tanaman dari patogen blas berdasarkan teori gene-to-gene
(Hayashi & Fukuta 2009).
Galur monogenik LTH dikelompokkan dalam 5 kelompok patotipe (Tabel
1). Pengelompokan patotipe tersebut dilakukan berdasarkan respons patotipe
masing-masing galur terhadap isolat blas diferensial standar Jepang. Galur yang
memiliki reaksi ketahanan hampir sama dikelompokkan dalam satu kelompok
patotipe yang sama. Gen-gen ketahanan pada galur monogenik tersebut
merupakan gen multialelik yang dikelompokkan dalam 4 lokus genetik (Tabel 2).
Gen-gen ketahanan yang multialelik atau terpaut dekat dengan lokus Pii, Pik, Piz,
dan Pita dikelompokkan dalam 4 lokus yang berbeda (Hayashi & Fukuta 2009).
Galur monogenik LTH merupakan sistem internasional baru dalam
penentuan ras P. grisea berdasarkan respons patotipe isolat blas diferensial Jepang.
Setiap nomor kode ras meliputi 5 bagian yang terpisah oleh suatu tanda hubung,
sebagai contoh isolat blas ras U73-i7-k177-z17-ta773 (Tabel 2). Bagian pertama
dari nomor kode ras memiliki 2 angka dan terdiri atas LTH dan IRBLa-A di sisi
2
satuan, sedangkan IRBLsh-B (atau IRBLsh-S), IRBLb-B, dan IRBLt-K59 di sisi
puluhan. Bagian kedua memiliki satu angka dan terdiri atas IRBLi-F5, IRBL3CP4, dan IRBL5-M. Bagian ketiga memiliki 3 angka dan terdiri atas IRBLk-Ka,
IRBLkp-K60, dan IRBL7-M di sisi satuan, RBLkm-Ts, IRBL1-CL, dan IRBLkhK3 di sisi puluhan, sedangkan IRBLks-S di sisi ratusan. Bagian keempat memiliki
2 angka dan terdiri atas IRBLz-Fu, IRBLz5-CA, dan IRBLzt-T di sisi satuan,
sedangkan IRBL9-W di sisi puluhan. Bagian kelima memiliki 3 angka dan terdiri
atas IRBL19-A dan IRBL20-IR24 di sisi satuan, IRBLta-K1 dan IRBLta-CP1 di
sisi puluhan, sedangkan IRBLta2-Pi, IRBLta2-Re, dan IRBL12-M di sisi ratusan.
Huruf i, k, z, dan ta berturut-turut disertakan di depan bagian 2 hingga 5 yang
menunjukkan lokus dari multialel. Suatu nomor ras merupakan jumlah dari suatu
nomor kode yang menunjukkan reaksi rentan. Huruf U sebelum nomor pada
bagian pertama menunjukkan ras blas international (Hayashi & Fukuta 2009).
Tabel 1 Daftar galur monogenik LTHa
Varietas
IRBLt-K59
IRBLsh-S
IRBLsh-B
IRBLb-B
IRBLa-A
IRBLi-F5
IRBL3-CP4
IRBL5-M
IRBLks-F5
IRBLk-K
IRBLkp-K60
IRBLkh-K3
IRBLkm-Ts
IRBL1-CL
IRBL7-M
IRBLz-Fu
IRBLz5-CA-1
IRBLz5-CA-2
IRBLzt-T
IRBL9-W
IRBL12-M
IRBL19-A
IRBLta-K1
IRBLta-CT2
IRBLta-CP1
IRBLta2-Pi
IRBLta2-Re
IRBL20-IR24
LTH
a
Hayashi et al. (2009)
Gen Ketahanan
Blas
Kelompok
Patotipe
Pit
Pish
Pish
Pib
Pia
Pii
Pi3
Pi3
Pik-s
Pik
Pik-p
Pik-h
Pik-m
Pi1
Pi7(t)
Piz
Piz-5 = Pi2 (t)
Piz-5 = Pi2 (t)
Piz-t
Pi9
Pi12(t)
Pi19
Pita = Pi4(t)
Pita = Pi4(t)
Pita = Pi4(t)
Pita-2
Pita-2
Pi20(t)
Rentan
I
I
I
I
I
II
II
II
III
III
III
III
III
III
III
IV
IV
IV
IV
IV
V
V
V
V
V
V
V
V
-
3
Tabel 2 Sistem penentuan ras blas berdasarkan reaksi galur monogenik LTH
Kelompok patotipe
I
II
III
IV
V
Kelompok lokus
-
Pii
Pik
Piz
Pita
Gen ketahanan
Galur monogenik
(IRBL)
Kode
Contoh isolat gen
yang virulen
terhadap semua gen
Pish
Pib
Pit
sh-S
b-B
t-K59
1
2
4
S
S
S
7
+
Pia
LTH
a-A
1
2
S
S
3
Pii
Pi3(t)
Pi5(t)
i-F5
3-CP4
5-M
1
2
4
S
S
S
7
Pik-s
ks-S
1
S
1
Pik-m
Pi1
Pik-h
km-Ts
1-CL
kh-K3
1
2
4
S
S
S
7
Pik
Pik-p
Pi7(t)
k-Ka
kp-K60
7-M
1
2
4
S
S
S
7
Pi9
9-W
1
S
1
Piz
Piz-5
Piz-t
z-Fu
z5-CA
zt-T
1
2
4
S
S
S
7
Pita-2
Pita-2
Pi12(t)
ta2-Pi
ta2-Re
12-M
1
2
4
S
S
S
7
Pita
Pita
ta-K1
ta-CP1
1
2
S
S
3
Pi19(t)
Pi20(t)
19-A
20-IR24
1
2
S
S
3
Sementara itu, penentuan ras blas di Indonesia secara konvensional
dilakukan dengan pengujian ras pada satu set varietas diferensial Indonesia yang
meliputi Asahan, Cisokan, IR64, Krueng Aceh, Cisadane, Cisanggarung, dan
Kencana Bali. Ketujuh varietas diferensial tersebut memberikan reaksi yang
bersifat spesifik terhadap ras-ras dominan yang ditemukan di kawasan endemik
blas di Indonesia (Tabel 3). Varietas Asahan mempunyai nomor kode pola reaksi
ketahanan paling tinggi. Hal ini karena pola reaksi ketahanannya bersifat tahan
terhadap semua ras dominan yang diinokulasikan, kecuali terhadap ras yang
paling virulen 201. Setiap isolat baru akan mempunyai nilai skor 200 apabila
mampu menginfeksi varietas diferensial Asahan. Varietas diferensial berikutnya
adalah Cisokan. Varietas ini menunjukkan pola reaksi rentan terhadap ras 101.
Setiap isolat baru akan mempunyai nilai skor 100 apabila dapat menginfeksi
varietas diferensial Cisokan. Demikian juga untuk varietas diferensial yang lain.
Penentuan ras selanjutnya dilakukan berdasarkan jumlah skor rentan pada ketujuh
varietas diferensial tersebut (Mogi et al. 1991).
Tabel 3 Nomor ras dominan berdasarkan pola reaksinya terhadap varietas
diferensial Indonesia
Varietas
Asahan
Cisokan
IR64
Krueng Aceh
Cisadane
Cisanggarung
Kencana Bali
Ras-ras Dominana
001
003
011
013
021
041
T
T
T
T
T
T
R
T
T
T
T
T
R
R
T
T
T
T
R
T
R
T
T
T
T
R
R
R
T
T
T
R
T
T
R
T
T
R
T
T
T
R
051 101
T
T
R
T
R
T
R
T
R
T
T
T
T
R
111
113
133
201
Nilai
Skor
T
R
T
T
R
T
R
T
R
T
T
R
R
R
T
R
T
R
R
R
R
R
T
T
T
T
T
R
200
100
40
20
10
2
1
a
T = tahan, R = rentan; ras-ras pada tabel merupakan ras dominan di Indonesia yang semakin
virulen searah tanda panah
Pyricularia grisea bersifat dinamis karena mampu beradaptasi dengan cepat
terhadap kondisi tanaman inang. Patogen ini juga memiliki tingkat
keanekaragaman genetik yang tinggi dan kemampuan untuk menghasilkan ras
baru dengan cepat. Lebih dari 26 ras cendawan P. grisea telah diidentifikasi dari
kawasan endemik penyakit blas di Indonesia, 7 ras di antaranya (ras 001, 023, 033,
4
073, 101, 133, dan 173) merupakan isolat dominan yang selalu ada di setiap
musim tanam (Santoso & Nasution 2009). Oleh karena itu, pengembangan
varietas padi tahan blas yang mempunyai ketahanan yang tahan lama dan bersifat
poligenik menjadi sangat esensial (Utami et al. 2011). Salah satu strategi untuk
mengatasi patogen blas yang multi-ras adalah mengembangkan varietas tahan blas
yang memiliki banyak gen ketahanan melalui pyramiding genes.
Parekaligolara x IR54
F1
Bio110 x Markuti
x
F1
F1 hasil persilangan ganda
Kultur antera
Galur haploid ganda
Gambar 1 Skema produksi galur haploid ganda melalui
kultur antera pada F1 hasil persilangan ganda
IR54/Parekaligolara//Bio110/Markuti
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya
Genetik Pertanian (BB BIOGEN), Bogor, telah melakukan persilangan ganda dari
IR54/Parekaligolara//Bio110/Markuti, kemudian pada tanaman F1 hasil
persilangan tersebut dilakukan kultur antera sehingga diperoleh 49 galur haploid
ganda (Gambar 1). IR54 toleran terhadap defisiensi fosfat dan tahan penyakit
blas. Galur ini dideteksi dengan marka molekuler memiliki gen ketahanan blas:
Pi1, Pi2, Pi9, Pi33, dan Pib. Bio110 tahan terhadap blas dan memiliki gen
ketahanan Pir4 dan Pir7. Gen-gen ini dideteksi menggunakan marka molekuler
pada populasi pemetaan backcross hasil persilangan antara IR64 dan spesies padi
liar Oryza rufipogon (Utami et al. 2008). Parekaligolara tahan terhadap penyakit
hawar daun bakteri (bacterial leaf blight), sedangkan Markuti toleran terhadap
cekaman keracunan logam Fe. Dari persilangan tersebut diharapkan akan
diperoleh varietas unggul yang toleran terhadap defisiensi fosfat dan cekaman
keracunan logam Fe serta tahan terhadap penyakit blas dan hawar daun bakteri.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah (1) membandingkan respons ketahanan pada
populasi haploid ganda hasil persilangan IR54/Parekaligolara//Bio110/Markuti
dengan varietas diferensial terhadap tiga ras blas dominan di Indonesia; (2)
mengidentifikasi gen ketahanan blas pada populasi haploid ganda menggunakan
marka molekuler penanda gen Pi1, Pi2, Pi9, Pi33, Pib, Pir4, dan Pir7; serta (3)
mengidentifikasi potensi gen yang memiliki kontribusi membentuk ketahanan
berdasarkan analisis gabungan respons ketahanan dengan data genotipe
menggunakan marka molekuler tersebut.
5
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memperoleh galur-galur tahan blas baik
berdasarkan evaluasi fenotipe maupun gen ketahanan blas. Galur-galur terpilih
tersebut merupakan kandidat galur harapan untuk selanjutnya dilakukan uji daya
hasil pendahuluan (UDHP) dan uji daya hasil lanjutan (UDHL) yang pada
gilirannya nanti dapat dilepas sebagai varietas unggul.
2 BAHAN DAN METODE
Bahan Penelitian
Bahan tanaman yang digunakan terdiri atas 49 galur haploid ganda hasil
persilangan dari IR54/Parekaligolara//Bio110/Markuti, 10 galur monogenik
dengan latar belakang genetik LTH sebagai kontrol tahan, dan varietas US2 untuk
kontrol rentan. Untuk evaluasi fenotipe, setiap tanaman diuji respons
ketahanannya terhadap ras 123, 133, dan 173 (Tabel 4). Ketiga isolat tersebut
telah terkarakterisasi berdasarkan tingkat penyerangannya pada tanaman isogenik
yang mengandung gen Pi target (ditunjukkan dalam LTH-kode patogenik), tipe
perkawinan, dan gen avirulen (ACE1-avr gene). Adapun untuk evaluasi genotipe,
DNA diekstrak dari daun untuk mengamplifikasi fragmen DNA penanda gen
ketahanan blas target melalui proses PCR.
Tabel 4 Deskripsi isolat blas yang digunakan
Ras
Asal
Lokasi
Tahun
Koleksi
No.
Isolat
Asal
Varietas
123
133
Lampung
Lampung
2004
2003
ID22
ID23
Cirata
Cirata
173
Lampung
2003
ID24
Cirata
a
LTH-Kode
Patogenika
U73-i0-k110z16-ta122
(U73-i3-k170z17-ta532)
Mating
Typea
ACE-1
Gen vir
1-2
PH14
PH14
1-2
PH14
- = belum diketahui LTH-kode patogenik dan tipe perkawinannya
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi dan Biologi
Molekuler, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor dari September 2012 hingga Oktober 2013.
6
Metode Penelitian
Penyiapan Tanaman
Analisis respons fenotipe dilakukan menurut Utami et al. (2011). Benih padi
dikecambahkan pada cawan petri yang telah diberi tisu basah selama tiga hari.
Selanjutnya, kecambah ditanam dalam pot plastik (ukuran: 35 cm x 25 cm x 10
cm) yang telah diisi dengan media tanah sawah. Tiga benih per galur ditanam
dalam setiap baris. Varietas US2 ditanam dalam setiap pot plastik.
Penyiapan Inokulum
Penyiapan inokulum mengikuti metode Utami et al. (2007). Setiap ras P.
grisea ditumbuhkan pada media potato dextrose agar (PDA) untuk
memperbanyak dan memurnikan isolat. Setelah tujuh hari, isolat dipindah ke
media gandum (oatmeal) untuk memproduksi konidia. Pada hari kesepuluh,
koloni cendawan digosok dengan kuas dan air steril yang telah ditambah dengan
streptomisin 0.01 gram/L. Isolat kemudian disimpan dalam inkubator di bawah
penerangan lampu neon 20 watt selama 48 jam. Proses penggosokan dan
pemberian cahaya lampu bertujuan untuk menginduksi terjadinya sporulasi pada
cendawan. Isolat selanjutnya digosok kembali dengan kuas dan air steril yang
mengandung 0.02% Tween 20 untuk memperoleh suspensi konidia. Kerapatan
konidia yang digunakan untuk inokulasi adalah 5 x 104 konidia/ml.
Preparasi tanaman
Inokulasi
Di ruang lembab selama 48 jam
Pengembunan di rumah kaca
Gambar 2 Inokulasi tanaman dengan tiga ras isolat blas
Inokulasi dan Evaluasi Ketahanan
Setelah berumur tiga minggu, setiap galur diinokulasi dengan metode
penyemprotan sebanyak 3.5 ml suspensi konidia per tanaman. Tanaman yang
telah diinokulasi diletakkan di ruang lembab (suhu 25.5 oC, kelembaban udara
relatif 100%) selama 48 jam untuk memberikan kondisi yang sesuai untuk spora
cendawan menginfeksi tanaman, kemudian dipindah ke rumah kaca (suhu 25.5-26
o
C, kelembaban udara relatif 91-95%). Kelembaban udara dipelihara melalui
pengembunan menggunakan sprinkler (Gambar 2). Reaksi ketahanan terhadap
serangan blas daun pada dua minggu setelah inokulasi diskor berdasarkan sistem
7
penentuan tingkat ketahanan menurut Hayashi et al. (2009) (Gambar 3; Tabel 5)
dan IRRI (1996) (Gambar 4; Tabel 6), selanjutnya hasil kedua metode tersebut
dibandingkan.
0
1
2
3
4
5
Gambar 3 Standar pemberian skor blas daun menurut Hayashi et al.
(2009): skor 0-2 untuk sifat tahan, skor 3 untuk medium
tahan, dan skor 4-5 untuk sifat rentan
Tabel 5 Skala skor penyakit blas daun tanaman padi (Hayashi et al. 2009)
a
Skor Gejala
Sifata
Keterangan
0
1
T
T
2
T
3
MT
4
R
5
R
Tidak ada bercak infeksi
Bercak cokelat, diameter lebih kecil dari 0.5 mm, tidak terjadi
sporulasi
Bercak cokelat, diameter 0.5-1.00 mm, tepi bercak cokelat gelap,
tidak terjadi sporulasi
Bercak berbentuk bundar hingga lonjong, diameter 1-3 mm, pusat
bercak berwarna abu-abu dengan tepi bercak cokelat, mampu
mengalami sporulasi
Bercak berbentuk gelendong khas blas, diameter 3 mm, pusat
bercak terjadi nekrotik dan berwarna abu-abu, mampu mengalami
sporulasi
Bercak berbentuk gelendong khas blas, pusat bercak nekrotik dan
berwarna abu-abu, diameter bercak setengah dari salah satu atau
dua helaian daun, mampu mengalami sporulasi
T = Tahan, MT = medium tahan, R = rentan
Tabel 6 Skala skor penyakit blas daun tanaman padi (IRRI 1996)
a
Skor Gejala
Sifata
Keteranganb
0
1
2
3
T
T
T
T
4
5
6
7
8
9
MT
MT
R
R
R
R
Tidak ada gejala serangan
Terdapat bercak sebesar ujung jarum (LDT = 0.5%)
Bercak lebih besar dari ujung jarum (LDT = 1%)
Bercak keabu-abuan, berbentuk bundar dan agak lonjong, panjang
1-2 mm dengan tepi cokelat (LDT = 2%)
Bercak khas blas, panjang 1-2 mm, LDT < 5%
Bercak khas blas, LDT 5-10%
Bercak khas blas, LDT 11-25%
Bercak khas blas, LDT 26-50%
Bercak khas blas, LDT 51-75%
Bercak khas blas, LDT 76-100%
T = Tahan, MT = medium tahan, R = rentan; bLDT = luas daun terserang
8
0
1 2 3
4
5
6
7
8
9
Gambar 4 Standar pemberian skor blas daun menurut
IRRI (1996) (Sumber foto: Nugraha 2005)
Isolasi DNA
Isolasi DNA dilakukan berdasarkan metode CTAB menurut Doyle & Doyle
(1987). Daun tanaman digerus dalam nitrogen cair menggunakan mortar. Sampel
ditambah dengan 750 μl larutan penyangga CTAB dan diinkubasi pada suhu
65 oC selama 30 menit. Sampel ditambah dengan 750 μl CI (kloroform:isoamilalkohol = 24:1) dan disentrifugasi pada kecepatan 10000 rpm selama 15 menit.
Supernatan 500 μl ditambah dengan 50 μl Na-asetat 2M pH 5.2 dan 1 ml etanol
absolut. Setelah dipresipitasi dalam freezer semalam, sampel disentrifugasi pada
kecepatan 10000 rpm selama 15 menit. Pellet ditambah dengan 500 μl alkohol
70% dan disentrifugasi pada kecepatan 10000 rpm selama 5 menit. Setelah
dikeringkan, pellet ditambah dengan 50 μl TE 1x dan 10 μl RNase 10 ng/μl,
selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 oC selama satu jam dan inaktivasi RNase
dilakukan dengan diinkubasi pada suhu 65 oC selama 15 menit.
9
Amplifikasi Fragmen DNA untuk Marka Gen Ketahanan Blas
Reaksi PCR terdiri atas 5 µl KAPA Kit (larutan penyangga, dNTP, enzim
Taq polymerase), 3 µl DNA 10 ng/µl, 0.5 µl primer 10 µM (forward dan reverse),
dan dH2O hingga 10 µl volume total. Dua belas primer (Tabel 7) digunakan untuk
mengamplifikasi fragmen penanda gen ketahanan blas pada tanaman yang diuji.
Proses PCR untuk primer RM138, RM208, RM224, dan RM266 terdiri atas
tahap denaturasi awal pada suhu 94 oC selama 5 menit yang diikuti dengan 36
siklus, setiap siklus terdiri atas tahap denaturasi pada suhu 94 oC selama 1 menit,
penempelan primer pada suhu 55 oC selama 1 menit, dan pemanjangan primer
pada suhu 72 oC selama 2 menit. Pemanjangan akhir dilakukan pada suhu 72 oC
selama 10 menit. Sementara itu, proses PCR untuk primer RM166 terdiri atas
tahap denaturasi awal pada suhu 95 oC selama 3 menit yang diikuti dengan 35
siklus, setiap siklus terdiri atas tahap denaturasi pada suhu 95 oC selama 30 detik,
penempelan primer pada suhu 61 oC selama 30 detik, dan pemanjangan primer
pada suhu 72 oC selama 1 menit. Pemanjangan akhir dilakukan pada suhu 72 oC
selama 5 menit (gramene.org).
Tabel 7 Primer untuk amplifikasi fragmen gen penanda ketahanan blas
Primer
Penanda
Gen Pi
Kromosom
Sekuen Primer Forward
(5’ 3’)
Sekuen Primer Reverse
(5’ 3’)
AGCGCAACAACCAATCC
ATCCG
GGTCCTGGGTCAATAAT
TGGGTTACC
TCTGCAAGCCTTGTCTG
ATG
TAGTTTAACCAAGACTC
TC
ATCGATCGATCTTCACG
AGG
CCAAGTATTCTAGCTCG
CTGTC
TGCAAACAAGCATTTGA
AGC
GAAGCCATGCTATTGCA
AAC
ATGGTCCTTTATCTTTAT
TG
AGATGTTAGTAGCAAGT
TCC
ACTTTGTTGTGCTTGATA
AC
AGAAAACTGGCTGGCTG
TAG
AAGAAGCTGCCTTTGA
CGCTAT
TTGCTGCATGATCCTAA
ACCGG
TAAGTCGATCATTGTGT
GGACC
GGTTGAACCCAAATCT
GCA
TGCTATAAAAGGCATT
CGGG
TGCTAGAGATTTGAGA
AGATGG
GCATCCACCTTTTGTGA
CCT
CATGGAACAGGCGGTC
AC
TTGCTCCATCTCCTCTG
TT
TGTCAGTTATGTCCAA
AGTG
ATGGTGAACGGTATCT
GTAT
TCACGTAGAGGAAAGA
AAACC
RM138
Pib
2
RM166
Pib
2
RM208
Pib
2
RM266
Pib
2
RM224
Pi1
11
G1010
Pi33
8
PiSNP4
Pir4
2
PiSNP7
Pir7
2
NBS2
Pi9/Pi2
6
NBS3
Pi9/Pi2
6
NBS4
Pi9/Pi2
6
NBS5
Pi9/Pi2
6
Produk
(bp)
233
321
173
127
157
210
210
250
2000
1300
1000
700
Proses PCR untuk primer PiSNP4 dan PiSNP7 terdiri atas tahap denaturasi
awal pada suhu 95 oC selama 4 menit yang diikuti dengan 42 siklus. Pada 14
siklus pertama, setiap siklus terdiri atas tahap denaturasi pada suhu 95 oC selama
45 detik, penempelan primer pada suhu 61.5 oC selama 45 detik dengan
penurunan suhu 0.5 oC per siklus, dan pemanjangan primer pada suhu 72 oC
selama 30 detik. Pada 28 siklus berikutnya, setiap siklus terdiri atas tahap
denaturasi pada suhu 95 oC selama 45 detik, pemanjangan primer pada suhu 55 oC
selama 45 detik, dan pemanjangan primer pada suhu 72 oC selama 30 detik.
10
Pemanjangan akhir dilakukan pada suhu 72 oC selama 5 menit (Utami et al. 2008).
Sementara itu, proses PCR untuk primer G1010 terdiri atas tahap denaturasi awal
pada suhu 95 oC selama 3 menit yang diikuti dengan 35 siklus, setiap siklus terdiri
atas tahap denaturasi pada suhu 95 oC selama 30 detik, penempelan primer pada
suhu 59 oC selama 30 detik, dan pemanjangan primer pada suhu 72 oC selama 1
menit. Pemanjangan akhir dilakukan pada suhu 72 oC selama 5 menit (Utami et al.
2011). Proses PCR untuk primer NBS2, NBS3, NBS4, dan NBS5 dilakukan
menurut Qu et al. (2006).
Produk PCR dipisahkan pada elektroforesis gel agarosa 2% dalam TBE 0.5x
pada tegangan 100 volt selama 30 menit. Pita fragmen DNA selanjutnya
divisualisasi di bawah sinar UV setelah direndam dalam etidium bromida.
Analisis Data
Asosiasi antara marka molekuler dan respons fenotipe dianalisis
menggunakan Program Tassel 2.0. Marka yang berasosiasi dengan respons
fenotipe (p_Value kurang dari 0.05) menunjukkan bahwa marka tersebut
berasosiasi dengan gen ketahanan yang menyebabkan ketahanan pada tanaman
terhadap ras blas yang diinokulasikan.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Respons Fenotipe terhadap Ras Blas
Hasil pengamatan respons ketahanan menurut Hayashi et al. (2009)
menunjukkan varietas diferensial yang memiliki gen Pish, Pi5, Pi1, Piz, dan Pita
tahan terhadap ras 123. Hal ini menunjukkan bahwa gen-gen tersebut mengenali
gen Avr dari ras 123 dan melanjutkan untuk menginisiasi sistem mekanisme
pertahanan dari tanaman. Sebaliknya, gen Pia, Pii, Piks, Pikm, dan Pita2 rentan
terhadap ras 123. Hal ini berarti bahwa ras 123 dapat menyerang semua kelompok
patotipe kecuali kelompok IV yang memiliki gen ketahanan Piz. Respons yang
hampir sama juga ditunjukkan pada ras 173. Beberapa gen ketahanan: Pish, Pii,
Pi5, Piks, Pikm, Pi1, dan Pita rentan terhadap ras ini. Gen-gen ini dikelompokkan
dalam kelompok patotipe yang berbeda, kelompok I (Pish), II (Pii, Pi5), III (Piks,
Pikm, Pi1), dan V (Pita). Hal ini mengindikasikan bahwa ras 173 tidak mampu
menyerang gen ketahanan pada kelompok IV (Tabel 8). Namun demikian, ras 173
memiliki spektrum virulensi paling luas dibanding ras 123 dan 133.
Varietas diferensial yang memiliki gen Pia, Pish, Pi5, Pikm, Pi1, Pita, dan
Pita2 tahan terhadap ras 133. Hal ini menunjukkan bahwa gen-gen ini
berkontribusi untuk melindungi tanaman dari serangan ras 133. Dalam respons
yang berbeda, beberapa gen dalam kelompok patotipe yang berbeda rentan
terhadap ras 133, gen-gen ini adalah: Pii (II), Piks (III), dan Piz (IV). Hal ini
mengindikasikan bahwa ras 133 memiliki spektrum virulensi paling sempit.
Hayashi & Fukuta (2009) mengelompokkan galur monogenik LTH dalam 5
kelompok patotipe. Galur-galur dari kelompok patotipe yang sama memiliki
11
respons patotipe yang sama terhadap isolat blas diferensial standar Jepang. Namun,
hasil menunjukkan gen-gen ketahanan dari kelompok patotipe yang sama belum
tentu memiliki respons patotipe yang sama terhadap isolat blas di Indonesia. Gen
Pia dan Pish dari kelompok patotipe I memberikan respons yang berbeda terhadap
ras 123 dan 173. Begitu juga gen Pii dan Pi5 dari kelompok II, keduanya
memberikan respons berbeda terhadap ras 123 dan 133. Piks, Pikm, dan Pi1 dari
kelompok III memberikan respons yang berbeda terhadap ras 123 dan 133. Pita
dan Pita2 dari kelompok V juga memberikan respons yang berbeda terhadap ras
123 dan 173.
Tabel 8 Pola reaksi varietas diferensial terhadap tiga isolat blas
No
Varietas
Diferensial
Gen R
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
IRBLa-A-A
IRBLsh-S
IRBLi-F5
IRBL5-M
IRBLks-F5
IRBLkm-Ts
IRBL1-CL
IRBLz5-CA
IRBLta-CT2
IRBLta2-Pi
Pia
Pish
Pii
Pi5
Piks
Pikm
Pi1
Piz
Pita
Pita2
Kelompok
Patotipea
I
I
II
II
III
III
III
IV
V
V
Hayashi et al. (2009)b
IRRI (1996)b
Ras
123
Ras
133
Ras
173
Ras
123
Ras
133
Ras
173
R
MT
R
MT
R
R
MT
MT
MT
R
MT
MT
R
MT
R
MT
MT
R
MT
MT
MT
R
R
R
R
R
R
MT
R
T
R
MT
R
MT
R
R
MT
MT
MT
R
R
MT
R
MT
R
MT
MT
R
MT
MT
MT
R
R
R
R
R
R
MT
R
T
a
Sistem penentuan kelompok patotipe menurut Hayashi et al. (2009); b T = tahan, MT = medium
tahan, R = rentan
Pengelompokan patotipe pada galur monogenik LTH dilakukan berdasarkan
respons patotipe terhadap isolat blas diferensial standar Jepang. Perbedaan
respons patotipe galur monogenik LTH terhadap isolat blas di Indonesia dengan
isolat blas diferensial Jepang diduga disebabkan adanya perbedaan gen virulensi
pada isolat blas yang digunakan. Hal ini mengindikasikan galur monogenik LTH
tidak dapat digunakan sebagai pembanding respons ketahanan tanaman terhadap
isolat blas Indonesia.
Respons ketahanan yang hampir sama juga ditunjukkan berdasarkan sistem
evaluasi standar menurut IRRI (1996), kecuali terhadap ras 133. Varietas
diferensial yang memiliki gen Pia rentan terhadap ras tersebut. Hal ini
menunjukkan gen ini tidak berkontribusi melindungi tanaman dari serangan ras
133. Meskipun demikian, ras 133 tetap memiliki spektrum virulensi paling sempit
dibanding ras 123 dan 173.
Varietas diferensial berfungsi sebagai pembanding respons ketahanan
(patotipe) terhadap suatu ras patogen. Pola reaksi terhadap patogen blas pada
varietas diferensial selanjutnya dibandingkan dengan respons ketahanan pada
tetua persilangan dan galur haploid ganda yang diuji. Tetua persilangan
menunjukkan reaksi yang beragam terhadap isolat blas yang diinokulasikan.
Bio110 bersifat medium tahan terhadap ras 133, tetapi rentan terhadap ras 123 dan
173, sedangkan Markuti rentan terhadap semua ras. F1 dari persilangan kedua
tetua tersebut tahan terhadap 133. Sementara itu, IR54 medium tahan terhadap ras
133 dan 173, tetapi rentan terhadap ras 123, sedangkan Parekaligolara medium
12
tahan terhadap semua isolat. F1 dari persilangan kedua tetua tersebut tahan
terhadap semua ras. Dengan demikian, persilangan ganda tersebut dapat
menghasilkan galur yang tahan terhadap ketiga ras (Tabel 9).
Tabel 9 Pola reaksi terhadap tiga ras blas pada tetua
Tetua
Bio110
Parekaligolara
Markuti
IR54
a
Hayashi et al. (2009) a
IRRI (1996) a
Ras 123
Ras 133
Ras 173
Ras 123
Ras 133
Ras 173
R
MT
R
R
MT
MT
R
MT
R
MT
R
MT
R
MT
R
R
MT
MT
R
MT
R
MT
R
MT
T = tahan, MT = medium tahan, R = rentan
Sementara itu, hasil evaluasi fenotipe pada galur haploid ganda baik
menurut Hayashi et al. (2009) maupun IRRI (1996) menunjukkan 2 galur tahan
terhadap ras 123, 38 galur medium tahan, dan 9 galur bersifat rentan. Dua puluh
satu galur tahan terhadap ras 133, 17 galur medium tahan, dan 11 galur bersifat
rentan. Dua galur tahan terhadap ras 173, 21 galur medium tahan, dan 26 galur
bersifat rentan. Namun berdasarkan kedua metode penentuan respons ketahanan
tersebut, 4 galur memiliki respons yang berbeda terhadap ras 173: IPBM-32-1-23-3, IPBM-32-1-3-1, IPBM-32-1-3-2, dan BMIP-24-1-4-1 (Tabel 10).
Penamaan pada galur haploid ganda memiliki makna sebagai berikut. Empat
huruf pada bagian pertama menunjukkan simbol varietas yang digunakan sebagai
tetua betina dan tetua jantan. BMIP memiliki arti F1 dari persilangan
Bio110/Markuti merupakan tetua betina, sedangkan F1 dari persilangan
IR54/Parekaligolara merupakan tetua jantan. Sebaliknya, IPBM memiliki arti F1
dari persilangan IR54/Parekaligolara merupakan tetua betina, sedangkan F1 dari
persilangan Bio110/Markuti merupakan tetua jantan. Sementara itu, tanda hubung
menunjukkan tingkat generasi F dari hasil perkawinan sendiri (selfing). Nomor
kode setelah tanda hubung pertama menunjukkan nomor kalus, nomor kode
setelah tanda hubung kedua menunjukkan nomor seleksi pada tanaman hijau, dan
nomor kode setelah tanda hubung ketiga dan seterusnya menunjukkan tahap
seleksi tanaman yang sudah dilakukan berdasarkan penampilan agronomi.
Beberapa galur haploid ganda menunjukkan reaksi yang sama terhadap
ketiga isolat blas yang diinokulasikan (Tabel 10). Semakin banyak tahapan
generasi, galur-galur tersebut sudah tidak mengalami segregasi karakter ketahanan
blas terhadap ketiga isolat. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efek seleksi,
perlu dipertimbangkan perbanyakan tanaman pada generasi berikutnya apabila
dalam seleksi tidak terlihat adanya segregasi untuk karakter ketahanan blas.
Penggunaan material tanaman dapat dilakukan pada generasi terakhir yang
menunjukkan respons ketahanan blas yang sama sehingga dapat meningkatkan
efisiensi biaya.
13
Tabel 10 Pola reaksi terhadap tiga ras blas pada galur haploid ganda
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
26
25
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
a
Galur haploid
ganda
BMIP-46-4-1
IPBM-2-3-2
IPBM-32-1-2-1-1
IPBM-32-1-2-1-2
IPBM-32-1-2-1-3
IPBM-32-1-2-1-4
IPBM-32-1-2-2-1
IPBM-32-1-2-2-2
IPBM-32-1-2-2-3
IPBM-32-1-2-2-4
IPBM-32-1-2-3-1
IPBM-32-1-2-3-2
IPBM-32-1-2-3-3
IPBM-32-1-2-3-4
IPBM-32-1-2-3-5
IPBM-32-1-2-3-6
IPBM-32-1-3-1
IPBM-32-1-3-2
IPBM-32-1-3-3
BMIP-15-4-2-1
BMIP-17-1-4-1
BMIP-18-4-4-1
BMIP-18-4-4-2
BMIP-20-4-2-1
BMIP-20-4-3-2
BMIP-24-4-3-1
BMIP-24-1-2-1
BMIP-24-1-4-1
BMIP-24-1-4-2
BMIP-40-2-1-1
BMIP-40-2-1-2
BMIP-44-4-3-1
BMIP-44-4-3-2
BMIP-20-2-1-1-1
BMIP-20-2-1-1-2
IPBM-28-2-4-1
IPBM-32-2-1-1-1
IPBM-32-2-1-1-2
IPBM-32-2-1-1-3
IPBM-32-2-1-1-4
BMIP-24-1-1-1-1
BMIP-24-1-1-1-2
BMIP-24-1-1-1-3
BMIP-24-1-1-1-4
IPBM-30-1-3-1-1
IPBM-30-1-3-1-2
IPBM-30-1-3-1-3
IPBM-30-1-3-1-4
IPBM-30-1-3-1-5
US2
Filial
F3
F3
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F4
F4
F4
F4
F4
F4
F4
F4
F4
F4
F4
F4
F4
F4
F4
F4
F4
F5
F5
F4
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
-
Genotipe
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
-
Hayashi et al. (2009) a
IRRI (1996) a
Ras 123 Ras 133 Ras 173 Ras 123 Ras 133 Ras 173
R
MT
R
MT
R
MT
MT
R
MT
R
R
MT
MT
R
R
R
T
MT
T
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
R
MT
MT
MT
MT
MT
R
R
R
MT
MT
MT
R
R
MT
MT
R
T
T
MT
T
MT
R
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
R
R
T
MT
T
T
T
T
T
T
T
MT
MT
MT
R
R
MT
R
MT
MT
R
R
KETAHANAN BLAS PADA POPULASI
PADI HAPLOID GANDA
GUT WINDARSIH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aplikasi Marka
Molekuler untuk Seleksi Ketahanan Blas pada Populasi Padi Haploid Ganda
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Tesis ini
adalah bagian dari penelitian berjudul Pembentukan Padi Tahan Hama dan
Penyakit Utama (Penggerek Batang, HDB, Blas, dan Tungro) yang dibiayai oleh
dana DIPA APBN BB Biogen, Bogor, dengan nomor kontrak 1798.011.002.013
Tahun 2013. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor dan BB Biogen, Departemen Pertanian.
Bogor, Mei 2014
Gut Windarsih
NRP G353110191
RINGKASAN
GUT WINDARSIH. Aplikasi Marka Molekuler untuk Seleksi Ketahanan Blas
pada Populasi Padi Haploid Ganda. Dibimbing oleh UTUT WIDYASTUTI dan
DWINITA WIKAN UTAMI.
Penyakit blas, disebabkan oleh cendawan Pyricularia grisea Sacc.,
merupakan salah satu penyakit yang merusak pada padi. Penggunaan varietas
tahan blas adalah salah satu cara paling efisien untuk melindungi padi dari
penyakit ini. Varietas tahan blas dapat diproduksi melalui program pemuliaan.
Penggunaan marker-assisted selection (MAS) tersedia untuk membantu seleksi
galur tahan berdasarkan gen ketahanan. Program pemuliaan varietas tahan blas
dapat dikombinasikan dengan pendekatan kultur antera untuk memproduksi galur
haploid ganda terfiksasi agar lebih efisien.
Ketahanan terhadap penyakit blas terjadi berdasarkan interaksi gene-to-gene
antara gen ketahanan pada tanaman inang dan gen avirulen pada patogen blas.
International Rice Research Institute (IRRI) telah mengembangkan set varietas
padi diferensial, di mana setiap varietas memiliki gen ketahanan tunggal yang
teridentifikasi. Penggunaan set varietas diferensial memungkinkan kita untuk
membandingkan respons ketahanan terhadap patogen blas tertentu dan untuk
mengidentifikasi gen ketahanan yang bertanggung jawab melindungi tanaman dari
patogen blas berdasarkan teori gene-to-gene.
Tujuan penelitian ini yaitu: (1) membandingkan respons ketahanan galur
haploid ganda dari persilangan ganda IR54/Parekaligolara//Bio110/Markuti
dengan sistem diferensial standar terhadap tiga ras blas dari kawasan Indonesia
terseleksi; (2) mengidentifikasi gen ketahanan blas pada populasi haploid ganda
yang diuji menggunakan marka molekuler untuk gen Pi1, Pi2, Pi9, Pi33, Pib,
Pir4, dan Pir7; serta (3) mengidentifikasi potensi gen-gen yang memiliki
kontribusi membentuk ketahanan blas berdasarkan analisis asosiasi antara data
fenotipe respons ketahanan dan data genotipe menggunakan marka molekuler.
Empat puluh sembilan galur haploid ganda dari persilangan ganda
IR54/Parekaligolara//Bio110/Markuti diseleksi menggunakan marka gen Pib, Pi1,
Pi2, Pi9, Pi33, Pir4, dan Pir7. Untuk membandingkan seleksi fenotipe digunakan
varietas diferensial yang terdiri atas 10 galur monogenik dengan background
genetik LTH. Semua tanaman diinokulasi dengan 3 isolat dari genotipe PH14.
Hasil menunjukkan ras 173 memiliki virulensi paling luas terhadap set
varietas diferensial. Berdasarkan sistem penentuan respons ketahanan menurut
Hayashi et al. (2009), gen Pish, Pi5, Pi1, Piz, dan Pita bertanggung jawab
melindungi tanaman dari ras 123. Gen Pia, Pish, Pi5, Pikm, Pi1, Pita, dan Pita2
bertanggung jawab melindungi tanaman dari ras 133. Gen Pia, Piz, dan Pita2
bertanggung jawab melindungi tanaman dari ras 173. Respons ketahanan yang
hampir sama juga ditunjukkan berdasarkan IRRI (1996) kecuali respons terhadap
ras 133, varietas diferensial yang memiliki gen Pia rentan terhadap ras ini. Hasil
ini mengindikasikan bahwa gen Pia tidak berkontribusi melindungi tanaman dari
ras 133. Galur monogenik LTH dikelompokkan dalam 5 kelompok patotipe
berdasarkan respons patotipe terhadap isolat blas diferensial Jepang. Pada
pengelompokan tersebut, galur-galur dari kelompok patotipe yang sama memiliki
respons patotipe yang sama terhadap isolat blas diferensial Jepang, namun hasil
menunjukkan gen-gen ketahanan dari varietas diferensial pada kelompok patotipe
yang sama belum tentu memiliki respons patotipe yang sama terhadap ketiga
isolat. Hal ini mengindikasikan galur monogenik LTH tidak dapat digunakan
sebagai pembanding respons ketahanan tanaman terhadap isolat blas di Indonesia.
Berdasarkan evaluasi fenotipe terhadap 49 galur haploid ganda, 2 galur
tahan terhadap ras 123; 38 galur medium tahan, dan 9 galur bersifat rentan. Dua
puluh satu galur tahan terhadap ras 133, 17 galur medium tahan, dan 11 galur
bersifat rentan. Dua galur tahan terhadap ras 173, 21 galur medium tahan, dan 26
galur bersifat rentan.
Hasil reaksi PCR menunjukkan 8 primer mampu mengamplifikasi fragmen
DNA target (RM138, RM166, RM208, RM266, RM224, PiSNP4, PiSNP7, dan
G1010). Namun, pita DNA target yang dihasilkan pada masing-masing primer
tidak konsisten dengan respons ketahanan tanaman yang diuji terhadap ketiga
isolat, kecuali PiSNP7 yang merupakan marka spesifik untuk gen Pir7. Marka
PiSNP7 lebih konsisten dengan respons ketahanan terhadap ketiga ras.
Analisis asosiasi antara marka molekuler dan respons fenotipe menurut
Hayashi et al. (2009) menunjukkan 3 marka berasosiasi dengan gen Pi target:
RM224 berasosiasi dengan gen Pi1, RM166 berasosiasi dengan gen Pib, dan
PiSNP7 berasosiasi dengan gen Pir7. Gen Pib berkontribusi membentuk
ketahanan terhadap ras 123, sedangkan gen Pi1 dan Pir7 berkontribusi
membentuk ketahanan terhadap ras 123 dan 133. Primer PiSNP7 paling presisi
digunakan sebagai marka seleksi karena menghasilkan pita target yang
berhubungan langsung dengan respons ketahanan. Sementara itu, analisis asosiasi
antara marka molekuler dan respons fenotipe menurut IRRI (1996) menunjukkan
gen Pib tidak berasosiasi dengan respons ketahanan terhadap ras 123, tetapi
terhadap ras 133. Hasil ini menunjukkan bahwa sistem evaluasi standar dari IRRI
(1996) masih diperlukan untuk menentukan tingkat ketahanan tanaman terhadap
serangan blas daun. Primer RM138, RM208, RM266, PiSNP4, dan G1010 tidak
berasosiasi dengan respons ketahanan terhadap ketiga ras sehingga tidak dapat
digunakan sebagai marka seleksi. Tidak adanya asosiasi antara RM138, RM208,
RM266, dan G1010 dengan respons ketahanan disebabkan adanya jarak genetik
antara marka tersebut dengan lokus gen target sehingga memungkinkan terjadinya
rekombinasi. Hal ini menunjukkan bahwa marka molekuler yang didesain untuk
suatu populasi persilangan tidak selalu dapat diaplikasikan untuk populasi
persilangan yang lain dengan latar belakang genetik yang berbeda. PiSNP4
merupakan primer spesifik untuk gen Pir4 yang hanya menyebabkan ketahanan
terhadap isolat dari genotipe CM28. Tidak ada primer yang berasosiasi dengan
respons ketahanan tanaman terhadap ras 173. Hasil ini mengindikasikan respons
ketahanan terhadap ras 173 tidak dikontribusikan oleh gen Pi1, Pi2, Pi9, Pib, Pi33,
Pir4, maupun Pir7.
Berdasarkan evaluasi fenotipe, 2 galur haploid ganda terseleksi paling tahan
terhadap ras 123, 21 galur paling tahan terhadap ras 133, dan 2 galur paling tahan
terhadap ras 173. Untuk menyeleksi galur unggul, karakteristik agronomi harus
diamati seperti tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, dan bobot gabah.
Kata kunci: marka molekuler, penyakit blas, populasi haploid ganda, Pyricularia
grisea
SUMMARY
GUT WINDARSIH. Molecular Markers Application for Blast Resistance
Selection on The Double Haploid Rice Population. Supervised by UTUT
WIDYASTUTI and DWINITA WIKAN UTAMI.
Blast disease, caused by fungal Pyricularia grisea Sacc., is one of the
devastating diseases in rice. The using of blast-resistant varieties is one of the
most efficient ways to protect rice from this disease. Blast resistant varieties can
be produced through breeding program. The using of marker-assisted selection
(MAS) available to support selection of resistant lines based on resistance gene.
The breeding program of blast resistant varieties can be come together with anther
culture approach to produce the fixed double haploid lines more efficiently.
The resistance to blast disease is governed by a gene-to-gene interaction
between resistance gene in the host and avirulence gene in the blast pathogen. The
International Rice Research Institute (IRRI) had developed differential rice variety
set. Each variety had single resistance gene identified. The using of differential
variety set allowed us to compare the resistance response to certain blast pathogen
and to identify the resistance gene that responsible to protect plant from blast
pathogen based on gene-to-gene theory.
The objectives of this research were: (1) to compare the resistance response
of
the
double
haploid
lines
from
a
double
cross
IR54/Parekaligolara//Bio110/Markuti with the standard differential system to
three selected Indonesian blast races; (2) to identify blast resistance genes on the
double haploid population tested using molecular markers for Pi1, Pi2, Pi9, Pi33,
Pib, Pir4 and Pir7 genes; and (3) to identify the potency of gene(s) that had a
contribution in form the blast resistance based on association analysis between the
phenotype data of resistance response and the genotype data using molecular
markers.
Forty-nine double haploid lines from a double cross between
IR54/Parekaligolara//Bio110/Markuti were selected by using the markers based
on Pib, Pi1, Pi2, Pi9, Pi33, Pir4 and Pir7 genes. To compare the phenotype
selection, the differential varieties consisted of ten monogenic lines with LTH
genetic background were used. All plants were inoculated with 3 isolates from
PH14 genotype.
The result showed race 173 had the widest virulence on differential variety
set. Based on the designation system of resistance response by Hayashi et al.
(2009), Pish, Pi5, Pi1, Piz and Pita genes were responsible to protect plant from
race 123. Pia, Pish, Pi5, Pikm, Pi1, Pita and Pita2 genes were responsible to
protect plant from race 133. Pia, Piz and Pita2 genes were responsible to protect
plant from race 173. Almost the same performance of resistance response was also
showed based on IRRI (1996) except the response to race 133, the differential
variety that had Pia gene was susceptible to this race. It indicated this gene did not
contributed to protect the plant from race 133. LTH monogenic lines were divided
into 5 pathotype groups based on pathotype response on Japanese differential blast
isolates. On this grouping, the lines from same pathotype group have same
pathotype response to Japanese diferential blast isolates. But, the result showed
the resistance genes from differential varieties in same group did not always have
same pathotype response to blast isolates from Indonesia. It indicated LTH
monogenic lines could not be used to compare the resistance response on plant to
blast isolates in Indonesia.
Based on the phenotype evaluation on 49 double haploid lines, 2 lines were
resistant to race 123; 38 lines were medium resistant and 9 lines were susceptible.
Twenty-one lines was resistant to race 133, 17 lines were medium resistant and 11
lines were susceptible. Two lines were resistant to race 173, 21 lines were medium
resistant and 26 lines were susceptible.
The result of PCR reaction showed 8 primers amplified the targeted DNA
fragments (RM138, RM166, RM208, RM266, RM224, PiSNP4, PiSNP7 and
G1010). But, the targeted DNA fragments produced on each primer were not
consistent with the resistant response on plant tested to three isolates, except
PiSNP7 that was a specific marker for Pir7 gene. This marker was more
consistent with the resistant response to these races.
The association analysis between the molecular markers and the phenotype
response by Hayashi et al. (2009) showed 3 markers were associated to Pi genes
targeted: the RM224 was associated to Pi1 gene, the RM166 was associated to
Pib gene and the PiSNP7 was associated to Pir7 gene. Pib gene contributed in
form the resistance to race 123, while Pi1 and Pir7 genes contributed in form the
resistance to races 123 and 133. Primer PiSNP7 was the most precision to be used
as selection marker because produced the targeted band that directly according
with the resistance response. Meanwhile, the association analysis between the
molecular markers and the phenotype response by IRRI (1996) showed the Pib
was not associated with the resistance response to race 123, but to race 133. This
showed that the standar evaluation system from IRRI (1996) was still needed to
determine the resistance degree of plant to leaf blast attack. Primers RM138,
RM208, RM266, PiSNP4 and G1010 were not associated with the resistance
response to three races, therefore they could not be used as selection markers.
There were no association between the primers RM138, RM208, RM266 and
G1010 with the resistance response was caused by the genetic distance between
these markers and the targeted genes locus, therefore possible to cause the
recombination. This showed that the molecular marker designed for specific
crossing population could not always be used for other crossing population from
different genetic background. PiSNP4 was a specific primer for Pir4 gene that
cause the resistance to isolate from CM28 genotype only. There was no primer
that associated with the response of resistance on plants to race 173. This result
indicated that the resistance response to race 173 was not contributed by Pi1, Pi2,
Pi9, Pib, Pi33, Pir4 or Pir7 genes.
According to phenotype evaluation, 2 selected double haploid lines were the
most resistant to race 123, 21 lines were the most resistant to race 133 and 2 lines
were the most resistant to race 173. To select superior lines, the agronomic
characteristic must be observed such as plant height, date of flowering, date to
harvest and grain weight.
Key words: blast disease, double haploid population, molecular marker,
Pyricularia grisea
© Hak Cipta milik IPB dan BB Biogen, tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB dan BB Biogen
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB dan BB Biogen
APLIKASI MARKA MOLEKULER UNTUK SELEKSI
KETAHANAN BLAS PADA POPULASI
PADI HAPLOID GANDA
GUT WINDARSIH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr.Ir. Hajrial Aswidinnoor, MSc
Judul Tesis : Aplikasi Marka Molekuler untuk Seleksi Ketahanan Blas pada
Populasi Padi Haploid Ganda
Nama
: Gut Windarsih
NIM
: G353110191
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Utut Widyastuti, MSi
Ketua
Dr. Dwinita Wikan Utami, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Biologi Tumbuhan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Miftahudin, MSi
Dr.Ir. Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 10 Maret 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian ini adalah Aplikasi Marka Molekuler untuk Seleksi
Ketahanan Blas pada Populasi Padi Haploid Ganda. Penelitian ini dilaksanakan
pada bulan September 2012 sampai Oktober 2013 di Laboratorium Bioteknologi
dan Biologi Molekuler, Balai Besar Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian (BB Biogen), Bogor. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian
berjudul Pembentukan Padi Tahan Hama dan Penyakit Utama (Penggerek Batang,
HDB, Blas, dan Tungro) yang dibiayai oleh dana DIPA APBN BB Biogen, Bogor,
dengan nomor kontrak 1798.011.002.013 Tahun 2013.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr.Ir. Utut Widyastuti, M.Si. dan
Ibu Dr. Dwinita Wikan Utami, M.Si. selaku pembimbing serta Bapak Dr.Ir.
Hajrial Aswidinnoor, MSc selaku penguji luar komisi yang telah memberikan
banyak saran dan masukan. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada Bapak Wawan, Bapak Dadang, dan Bapak Yana Suryatna dari BB Biogen,
Bogor serta Ibu Pepi Elvavina dari Laboratorium Biorin, IPB yang telah banyak
membantu selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada ayah, ibu, beserta seluruh keluarga, atas doa dan semangat yang diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi dunia penelitian dan masyarakat.
Bogor, Mei 2014
Gut Windarsih
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
1
4
5
2 BAHAN DAN METODE
Bahan Penelitian
Waktu dan Tempat Penelitian
Metode Penelitian
Analisis Data
5
5
5
6
10
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Respons Fenotipe terhadap Ras Blas
Evaluasi Genotipe Menggunakan Marka Molekuler
Keterkaitan (Asosiasi) Marka Molekuler dengan Respons Fenotipe
10
10
14
17
4 SIMPULAN DAN SARAN
25
DAFTAR PUSTAKA
26
RIWAYAT HIDUP
28
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Daftar galur monogenik LTH
Sistem penentuan ras blas berdasarkan reaksi galur monogenik LTH
Nomor ras dominan berdasarkan pola reaksinya terhadap varietas
diferensial Indonesia
Deskripsi isolat blas yang digunakan
Skala skor penyakit blas daun tanaman padi (Hayashi et al. 2009)
Skala skor penyakit blas daun tanaman padi (IRRI 1996)
Primer untuk amplifikasi fragmen gen penanda ketahanan blas
Pola reaksi varietas diferensial terhadap tiga isolat blas
Pola reaksi terhadap tiga ras blas pada tetua
Pola reaksi terhadap tiga ras blas pada galur haploid ganda
Amplifikasi fragmen DNA target menggunakan marka molekuler
Analisis asosiasi marka molekuler dengan respons fenotipe menurut
Hayashi et al. (2009)
Analisis asosiasi marka molekuler dengan respons fenotipe menurut
IRRI (1996)
2
3
3
5
7
7
9
11
12
13
16
17
24
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Skema produksi galur haploid ganda melalui kultur antera pada F1 hasil
persilangan ganda IR54/Parekaligolara//Bio110/Markuti
Inokulasi tanaman dengan tiga ras isolat blas
Standar pemberian skor blas menurut Hayashi et al. (2009): skor 0-2
untuk sifat tahan, skor 3 untuk medium tahan, dan skor 4-5 untuk sifat
rentan
Standar pemberian sklor blas daun menurut IRRI (1996)
Amplifikasi PCR dari primer RM224 pada populasi haploid ganda (149), 10 galur monogenik LTH (50-59), tetua (60=Bio110,
61=Parekaligolara, 62=Markuti, 63=IR54), dan US2 (64)
Amplifikasi PCR dari primer RM166 pada populasi haploid ganda (149), 10 galur monogenik LTH (50-59), tetua (60=Bio110,
61=Parekaligolara, 62=Markuti, 63=IR54), dan US2 (64)
Amplifikasi PCR dari primer PiSNP7 pada populasi haploid ganda (149), 10 galur monogenik LTH (50-59), tetua (60=Bio110,
61=Parekaligolara, 62=Markuti, 63=IR54), dan US2 (64)
Peta genetik kromosom 2 oleh Temnykh et al. (2001) (a); analisis
kandidat gen ketahanan Pir pada kromosom 2 pada posisi antara primer
RM263 dan RM250 (Utami et al. 2008)
Analisis pemetaan gen Pir4 dan Pir7 pada populasi backcross dari
persilangan antara IR64 dan Oryza rufipogon; gen Pir4 terpetakan pada
posisi 110.9 cM, sedangkan gen Pir7 terpetakan pada posisi 122.8 cM
(Utami et al. 2008)
4
6
7
8
14
15
15
19
20
10 Peta genetik kromosom 11 (a) oleh Temnykh et al. (2001); daerah
antara 110.0 dan 123.2 cM (b) dilengkapi dengan informasi yang
tersedia di database Gramene (www.gramene.org); analisis keterpautan
marka RM123*I dan RM224 pada posisi 0.0 cM terhadap gen
ketahanan Pi1(t) (c)
11 Peta genetik kromosom 2 (a) oleh Temnykh et al. (2001); peta genetik
marka RM166, RM208, RM266, dan RM138 pada kromosom 2 yang
dekat dengan gen Pib pada populasi F12 dari persilangan Gulfmont
(tahan) dan Te-Qing (rentan) (Fjellstrom et al. 2004)
12 Peta genetik kromosom 8 (a) oleh Temnykh et al. (2001); pemetaan
genetik gen Pi33 pada populasi rekombinan haploid ganda hasil
persilangan IR64 x Azucena menggunakan 8 marka SSR dan RFLP
yang memiliki jarak genetik paling dekat dengan gen Pi33 (b)
21
22
23
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit blas merupakan salah satu penyakit yang merusak pada padi
(Kumar et al. 2010). Di Indonesia, luas serangan penyakit blas mencapai 1285
juta ha atau sekitar 12% dari total luas areal pertanaman padi
(http://www.deptan.go.id, 2004). Penyakit blas disebabkan oleh cendawan
Pyricularia grisea Sacc. (teleomorph: Magnaporthe grisea; sinonim: Pyricularia
oryzae Cavara) (Rossman et al. 1990). Fungisida dapat digunakan untuk
mengendalikan penyakit blas pada padi, namun residu kimianya dapat
menyebabkan kontaminasi lingkungan. Oleh karena itu, penggunaan varietas
tahan merupakan salah satu cara yang paling efisien untuk melindungi padi dari
penyakit blas (Koide et al. 2009). Pemuliaan varietas padi tahan blas dapat
dikombinasikan dengan pendekatan kultur antera untuk menghasilkan galur
haploid ganda secara lebih efisien (Niizeki & Oono 1968).
Sistem penyerangan penyakit blas terjadi berdasarkan interaksi gene-to-gene
antara gen ketahanan pada tanaman inang dan gen avirulen pada patogen blas
(Silue et al. 1992). Lebih dari 70 gen ketahanan blas telah diidentifikasi melalui
analisis quantitative trait locus (QTL), tetapi hanya 18 gen yang telah dikloning
dan dikarakterisasi (Roychowdhury et al. 2011). Gen-gen ketahanan ini dapat
dideteksi menggunakan marka molekuler, sehingga varietas tahan blas dapat
diseleksi menggunakan marka molekuler yang berdekatan dengan gen ketahanan,
dengan demikian proses seleksi lebih cepat (Koide et al. 2009).
International Rice Research Institute (IRRI) telah mengembangkan varietas
padi diferensial. Varietas diferensial ini terdiri atas 29 galur monogenik
(monogenic lines/MLs) dengan latar belakang genetik varietas Japonica, Lijianxin-tuan-heigu (LTH), masing-masing mengandung satu dari 24 gen ketahanan
blas: Pia, Pib, Pii, Pik, Pik-h, Pik-m, Pik-p, Pik-s, Pish, Pit, Pita, Pita-2, Piz, Piz-t,
Piz-5, Pi1, Pi3(t), Pi5(t), Pi7(t), Pi9, Pi11(t), Pi12(t), Pi19(t), dan Pi20(t) (Tabel
1). Penggunaan varietas diferensial berfungsi sebagai pembanding respons
ketahanan terhadap suatu ras patogen tertentu dan mengidentifikasi gen ketahanan
yang melindungi tanaman dari patogen blas berdasarkan teori gene-to-gene
(Hayashi & Fukuta 2009).
Galur monogenik LTH dikelompokkan dalam 5 kelompok patotipe (Tabel
1). Pengelompokan patotipe tersebut dilakukan berdasarkan respons patotipe
masing-masing galur terhadap isolat blas diferensial standar Jepang. Galur yang
memiliki reaksi ketahanan hampir sama dikelompokkan dalam satu kelompok
patotipe yang sama. Gen-gen ketahanan pada galur monogenik tersebut
merupakan gen multialelik yang dikelompokkan dalam 4 lokus genetik (Tabel 2).
Gen-gen ketahanan yang multialelik atau terpaut dekat dengan lokus Pii, Pik, Piz,
dan Pita dikelompokkan dalam 4 lokus yang berbeda (Hayashi & Fukuta 2009).
Galur monogenik LTH merupakan sistem internasional baru dalam
penentuan ras P. grisea berdasarkan respons patotipe isolat blas diferensial Jepang.
Setiap nomor kode ras meliputi 5 bagian yang terpisah oleh suatu tanda hubung,
sebagai contoh isolat blas ras U73-i7-k177-z17-ta773 (Tabel 2). Bagian pertama
dari nomor kode ras memiliki 2 angka dan terdiri atas LTH dan IRBLa-A di sisi
2
satuan, sedangkan IRBLsh-B (atau IRBLsh-S), IRBLb-B, dan IRBLt-K59 di sisi
puluhan. Bagian kedua memiliki satu angka dan terdiri atas IRBLi-F5, IRBL3CP4, dan IRBL5-M. Bagian ketiga memiliki 3 angka dan terdiri atas IRBLk-Ka,
IRBLkp-K60, dan IRBL7-M di sisi satuan, RBLkm-Ts, IRBL1-CL, dan IRBLkhK3 di sisi puluhan, sedangkan IRBLks-S di sisi ratusan. Bagian keempat memiliki
2 angka dan terdiri atas IRBLz-Fu, IRBLz5-CA, dan IRBLzt-T di sisi satuan,
sedangkan IRBL9-W di sisi puluhan. Bagian kelima memiliki 3 angka dan terdiri
atas IRBL19-A dan IRBL20-IR24 di sisi satuan, IRBLta-K1 dan IRBLta-CP1 di
sisi puluhan, sedangkan IRBLta2-Pi, IRBLta2-Re, dan IRBL12-M di sisi ratusan.
Huruf i, k, z, dan ta berturut-turut disertakan di depan bagian 2 hingga 5 yang
menunjukkan lokus dari multialel. Suatu nomor ras merupakan jumlah dari suatu
nomor kode yang menunjukkan reaksi rentan. Huruf U sebelum nomor pada
bagian pertama menunjukkan ras blas international (Hayashi & Fukuta 2009).
Tabel 1 Daftar galur monogenik LTHa
Varietas
IRBLt-K59
IRBLsh-S
IRBLsh-B
IRBLb-B
IRBLa-A
IRBLi-F5
IRBL3-CP4
IRBL5-M
IRBLks-F5
IRBLk-K
IRBLkp-K60
IRBLkh-K3
IRBLkm-Ts
IRBL1-CL
IRBL7-M
IRBLz-Fu
IRBLz5-CA-1
IRBLz5-CA-2
IRBLzt-T
IRBL9-W
IRBL12-M
IRBL19-A
IRBLta-K1
IRBLta-CT2
IRBLta-CP1
IRBLta2-Pi
IRBLta2-Re
IRBL20-IR24
LTH
a
Hayashi et al. (2009)
Gen Ketahanan
Blas
Kelompok
Patotipe
Pit
Pish
Pish
Pib
Pia
Pii
Pi3
Pi3
Pik-s
Pik
Pik-p
Pik-h
Pik-m
Pi1
Pi7(t)
Piz
Piz-5 = Pi2 (t)
Piz-5 = Pi2 (t)
Piz-t
Pi9
Pi12(t)
Pi19
Pita = Pi4(t)
Pita = Pi4(t)
Pita = Pi4(t)
Pita-2
Pita-2
Pi20(t)
Rentan
I
I
I
I
I
II
II
II
III
III
III
III
III
III
III
IV
IV
IV
IV
IV
V
V
V
V
V
V
V
V
-
3
Tabel 2 Sistem penentuan ras blas berdasarkan reaksi galur monogenik LTH
Kelompok patotipe
I
II
III
IV
V
Kelompok lokus
-
Pii
Pik
Piz
Pita
Gen ketahanan
Galur monogenik
(IRBL)
Kode
Contoh isolat gen
yang virulen
terhadap semua gen
Pish
Pib
Pit
sh-S
b-B
t-K59
1
2
4
S
S
S
7
+
Pia
LTH
a-A
1
2
S
S
3
Pii
Pi3(t)
Pi5(t)
i-F5
3-CP4
5-M
1
2
4
S
S
S
7
Pik-s
ks-S
1
S
1
Pik-m
Pi1
Pik-h
km-Ts
1-CL
kh-K3
1
2
4
S
S
S
7
Pik
Pik-p
Pi7(t)
k-Ka
kp-K60
7-M
1
2
4
S
S
S
7
Pi9
9-W
1
S
1
Piz
Piz-5
Piz-t
z-Fu
z5-CA
zt-T
1
2
4
S
S
S
7
Pita-2
Pita-2
Pi12(t)
ta2-Pi
ta2-Re
12-M
1
2
4
S
S
S
7
Pita
Pita
ta-K1
ta-CP1
1
2
S
S
3
Pi19(t)
Pi20(t)
19-A
20-IR24
1
2
S
S
3
Sementara itu, penentuan ras blas di Indonesia secara konvensional
dilakukan dengan pengujian ras pada satu set varietas diferensial Indonesia yang
meliputi Asahan, Cisokan, IR64, Krueng Aceh, Cisadane, Cisanggarung, dan
Kencana Bali. Ketujuh varietas diferensial tersebut memberikan reaksi yang
bersifat spesifik terhadap ras-ras dominan yang ditemukan di kawasan endemik
blas di Indonesia (Tabel 3). Varietas Asahan mempunyai nomor kode pola reaksi
ketahanan paling tinggi. Hal ini karena pola reaksi ketahanannya bersifat tahan
terhadap semua ras dominan yang diinokulasikan, kecuali terhadap ras yang
paling virulen 201. Setiap isolat baru akan mempunyai nilai skor 200 apabila
mampu menginfeksi varietas diferensial Asahan. Varietas diferensial berikutnya
adalah Cisokan. Varietas ini menunjukkan pola reaksi rentan terhadap ras 101.
Setiap isolat baru akan mempunyai nilai skor 100 apabila dapat menginfeksi
varietas diferensial Cisokan. Demikian juga untuk varietas diferensial yang lain.
Penentuan ras selanjutnya dilakukan berdasarkan jumlah skor rentan pada ketujuh
varietas diferensial tersebut (Mogi et al. 1991).
Tabel 3 Nomor ras dominan berdasarkan pola reaksinya terhadap varietas
diferensial Indonesia
Varietas
Asahan
Cisokan
IR64
Krueng Aceh
Cisadane
Cisanggarung
Kencana Bali
Ras-ras Dominana
001
003
011
013
021
041
T
T
T
T
T
T
R
T
T
T
T
T
R
R
T
T
T
T
R
T
R
T
T
T
T
R
R
R
T
T
T
R
T
T
R
T
T
R
T
T
T
R
051 101
T
T
R
T
R
T
R
T
R
T
T
T
T
R
111
113
133
201
Nilai
Skor
T
R
T
T
R
T
R
T
R
T
T
R
R
R
T
R
T
R
R
R
R
R
T
T
T
T
T
R
200
100
40
20
10
2
1
a
T = tahan, R = rentan; ras-ras pada tabel merupakan ras dominan di Indonesia yang semakin
virulen searah tanda panah
Pyricularia grisea bersifat dinamis karena mampu beradaptasi dengan cepat
terhadap kondisi tanaman inang. Patogen ini juga memiliki tingkat
keanekaragaman genetik yang tinggi dan kemampuan untuk menghasilkan ras
baru dengan cepat. Lebih dari 26 ras cendawan P. grisea telah diidentifikasi dari
kawasan endemik penyakit blas di Indonesia, 7 ras di antaranya (ras 001, 023, 033,
4
073, 101, 133, dan 173) merupakan isolat dominan yang selalu ada di setiap
musim tanam (Santoso & Nasution 2009). Oleh karena itu, pengembangan
varietas padi tahan blas yang mempunyai ketahanan yang tahan lama dan bersifat
poligenik menjadi sangat esensial (Utami et al. 2011). Salah satu strategi untuk
mengatasi patogen blas yang multi-ras adalah mengembangkan varietas tahan blas
yang memiliki banyak gen ketahanan melalui pyramiding genes.
Parekaligolara x IR54
F1
Bio110 x Markuti
x
F1
F1 hasil persilangan ganda
Kultur antera
Galur haploid ganda
Gambar 1 Skema produksi galur haploid ganda melalui
kultur antera pada F1 hasil persilangan ganda
IR54/Parekaligolara//Bio110/Markuti
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya
Genetik Pertanian (BB BIOGEN), Bogor, telah melakukan persilangan ganda dari
IR54/Parekaligolara//Bio110/Markuti, kemudian pada tanaman F1 hasil
persilangan tersebut dilakukan kultur antera sehingga diperoleh 49 galur haploid
ganda (Gambar 1). IR54 toleran terhadap defisiensi fosfat dan tahan penyakit
blas. Galur ini dideteksi dengan marka molekuler memiliki gen ketahanan blas:
Pi1, Pi2, Pi9, Pi33, dan Pib. Bio110 tahan terhadap blas dan memiliki gen
ketahanan Pir4 dan Pir7. Gen-gen ini dideteksi menggunakan marka molekuler
pada populasi pemetaan backcross hasil persilangan antara IR64 dan spesies padi
liar Oryza rufipogon (Utami et al. 2008). Parekaligolara tahan terhadap penyakit
hawar daun bakteri (bacterial leaf blight), sedangkan Markuti toleran terhadap
cekaman keracunan logam Fe. Dari persilangan tersebut diharapkan akan
diperoleh varietas unggul yang toleran terhadap defisiensi fosfat dan cekaman
keracunan logam Fe serta tahan terhadap penyakit blas dan hawar daun bakteri.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah (1) membandingkan respons ketahanan pada
populasi haploid ganda hasil persilangan IR54/Parekaligolara//Bio110/Markuti
dengan varietas diferensial terhadap tiga ras blas dominan di Indonesia; (2)
mengidentifikasi gen ketahanan blas pada populasi haploid ganda menggunakan
marka molekuler penanda gen Pi1, Pi2, Pi9, Pi33, Pib, Pir4, dan Pir7; serta (3)
mengidentifikasi potensi gen yang memiliki kontribusi membentuk ketahanan
berdasarkan analisis gabungan respons ketahanan dengan data genotipe
menggunakan marka molekuler tersebut.
5
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memperoleh galur-galur tahan blas baik
berdasarkan evaluasi fenotipe maupun gen ketahanan blas. Galur-galur terpilih
tersebut merupakan kandidat galur harapan untuk selanjutnya dilakukan uji daya
hasil pendahuluan (UDHP) dan uji daya hasil lanjutan (UDHL) yang pada
gilirannya nanti dapat dilepas sebagai varietas unggul.
2 BAHAN DAN METODE
Bahan Penelitian
Bahan tanaman yang digunakan terdiri atas 49 galur haploid ganda hasil
persilangan dari IR54/Parekaligolara//Bio110/Markuti, 10 galur monogenik
dengan latar belakang genetik LTH sebagai kontrol tahan, dan varietas US2 untuk
kontrol rentan. Untuk evaluasi fenotipe, setiap tanaman diuji respons
ketahanannya terhadap ras 123, 133, dan 173 (Tabel 4). Ketiga isolat tersebut
telah terkarakterisasi berdasarkan tingkat penyerangannya pada tanaman isogenik
yang mengandung gen Pi target (ditunjukkan dalam LTH-kode patogenik), tipe
perkawinan, dan gen avirulen (ACE1-avr gene). Adapun untuk evaluasi genotipe,
DNA diekstrak dari daun untuk mengamplifikasi fragmen DNA penanda gen
ketahanan blas target melalui proses PCR.
Tabel 4 Deskripsi isolat blas yang digunakan
Ras
Asal
Lokasi
Tahun
Koleksi
No.
Isolat
Asal
Varietas
123
133
Lampung
Lampung
2004
2003
ID22
ID23
Cirata
Cirata
173
Lampung
2003
ID24
Cirata
a
LTH-Kode
Patogenika
U73-i0-k110z16-ta122
(U73-i3-k170z17-ta532)
Mating
Typea
ACE-1
Gen vir
1-2
PH14
PH14
1-2
PH14
- = belum diketahui LTH-kode patogenik dan tipe perkawinannya
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi dan Biologi
Molekuler, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor dari September 2012 hingga Oktober 2013.
6
Metode Penelitian
Penyiapan Tanaman
Analisis respons fenotipe dilakukan menurut Utami et al. (2011). Benih padi
dikecambahkan pada cawan petri yang telah diberi tisu basah selama tiga hari.
Selanjutnya, kecambah ditanam dalam pot plastik (ukuran: 35 cm x 25 cm x 10
cm) yang telah diisi dengan media tanah sawah. Tiga benih per galur ditanam
dalam setiap baris. Varietas US2 ditanam dalam setiap pot plastik.
Penyiapan Inokulum
Penyiapan inokulum mengikuti metode Utami et al. (2007). Setiap ras P.
grisea ditumbuhkan pada media potato dextrose agar (PDA) untuk
memperbanyak dan memurnikan isolat. Setelah tujuh hari, isolat dipindah ke
media gandum (oatmeal) untuk memproduksi konidia. Pada hari kesepuluh,
koloni cendawan digosok dengan kuas dan air steril yang telah ditambah dengan
streptomisin 0.01 gram/L. Isolat kemudian disimpan dalam inkubator di bawah
penerangan lampu neon 20 watt selama 48 jam. Proses penggosokan dan
pemberian cahaya lampu bertujuan untuk menginduksi terjadinya sporulasi pada
cendawan. Isolat selanjutnya digosok kembali dengan kuas dan air steril yang
mengandung 0.02% Tween 20 untuk memperoleh suspensi konidia. Kerapatan
konidia yang digunakan untuk inokulasi adalah 5 x 104 konidia/ml.
Preparasi tanaman
Inokulasi
Di ruang lembab selama 48 jam
Pengembunan di rumah kaca
Gambar 2 Inokulasi tanaman dengan tiga ras isolat blas
Inokulasi dan Evaluasi Ketahanan
Setelah berumur tiga minggu, setiap galur diinokulasi dengan metode
penyemprotan sebanyak 3.5 ml suspensi konidia per tanaman. Tanaman yang
telah diinokulasi diletakkan di ruang lembab (suhu 25.5 oC, kelembaban udara
relatif 100%) selama 48 jam untuk memberikan kondisi yang sesuai untuk spora
cendawan menginfeksi tanaman, kemudian dipindah ke rumah kaca (suhu 25.5-26
o
C, kelembaban udara relatif 91-95%). Kelembaban udara dipelihara melalui
pengembunan menggunakan sprinkler (Gambar 2). Reaksi ketahanan terhadap
serangan blas daun pada dua minggu setelah inokulasi diskor berdasarkan sistem
7
penentuan tingkat ketahanan menurut Hayashi et al. (2009) (Gambar 3; Tabel 5)
dan IRRI (1996) (Gambar 4; Tabel 6), selanjutnya hasil kedua metode tersebut
dibandingkan.
0
1
2
3
4
5
Gambar 3 Standar pemberian skor blas daun menurut Hayashi et al.
(2009): skor 0-2 untuk sifat tahan, skor 3 untuk medium
tahan, dan skor 4-5 untuk sifat rentan
Tabel 5 Skala skor penyakit blas daun tanaman padi (Hayashi et al. 2009)
a
Skor Gejala
Sifata
Keterangan
0
1
T
T
2
T
3
MT
4
R
5
R
Tidak ada bercak infeksi
Bercak cokelat, diameter lebih kecil dari 0.5 mm, tidak terjadi
sporulasi
Bercak cokelat, diameter 0.5-1.00 mm, tepi bercak cokelat gelap,
tidak terjadi sporulasi
Bercak berbentuk bundar hingga lonjong, diameter 1-3 mm, pusat
bercak berwarna abu-abu dengan tepi bercak cokelat, mampu
mengalami sporulasi
Bercak berbentuk gelendong khas blas, diameter 3 mm, pusat
bercak terjadi nekrotik dan berwarna abu-abu, mampu mengalami
sporulasi
Bercak berbentuk gelendong khas blas, pusat bercak nekrotik dan
berwarna abu-abu, diameter bercak setengah dari salah satu atau
dua helaian daun, mampu mengalami sporulasi
T = Tahan, MT = medium tahan, R = rentan
Tabel 6 Skala skor penyakit blas daun tanaman padi (IRRI 1996)
a
Skor Gejala
Sifata
Keteranganb
0
1
2
3
T
T
T
T
4
5
6
7
8
9
MT
MT
R
R
R
R
Tidak ada gejala serangan
Terdapat bercak sebesar ujung jarum (LDT = 0.5%)
Bercak lebih besar dari ujung jarum (LDT = 1%)
Bercak keabu-abuan, berbentuk bundar dan agak lonjong, panjang
1-2 mm dengan tepi cokelat (LDT = 2%)
Bercak khas blas, panjang 1-2 mm, LDT < 5%
Bercak khas blas, LDT 5-10%
Bercak khas blas, LDT 11-25%
Bercak khas blas, LDT 26-50%
Bercak khas blas, LDT 51-75%
Bercak khas blas, LDT 76-100%
T = Tahan, MT = medium tahan, R = rentan; bLDT = luas daun terserang
8
0
1 2 3
4
5
6
7
8
9
Gambar 4 Standar pemberian skor blas daun menurut
IRRI (1996) (Sumber foto: Nugraha 2005)
Isolasi DNA
Isolasi DNA dilakukan berdasarkan metode CTAB menurut Doyle & Doyle
(1987). Daun tanaman digerus dalam nitrogen cair menggunakan mortar. Sampel
ditambah dengan 750 μl larutan penyangga CTAB dan diinkubasi pada suhu
65 oC selama 30 menit. Sampel ditambah dengan 750 μl CI (kloroform:isoamilalkohol = 24:1) dan disentrifugasi pada kecepatan 10000 rpm selama 15 menit.
Supernatan 500 μl ditambah dengan 50 μl Na-asetat 2M pH 5.2 dan 1 ml etanol
absolut. Setelah dipresipitasi dalam freezer semalam, sampel disentrifugasi pada
kecepatan 10000 rpm selama 15 menit. Pellet ditambah dengan 500 μl alkohol
70% dan disentrifugasi pada kecepatan 10000 rpm selama 5 menit. Setelah
dikeringkan, pellet ditambah dengan 50 μl TE 1x dan 10 μl RNase 10 ng/μl,
selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 oC selama satu jam dan inaktivasi RNase
dilakukan dengan diinkubasi pada suhu 65 oC selama 15 menit.
9
Amplifikasi Fragmen DNA untuk Marka Gen Ketahanan Blas
Reaksi PCR terdiri atas 5 µl KAPA Kit (larutan penyangga, dNTP, enzim
Taq polymerase), 3 µl DNA 10 ng/µl, 0.5 µl primer 10 µM (forward dan reverse),
dan dH2O hingga 10 µl volume total. Dua belas primer (Tabel 7) digunakan untuk
mengamplifikasi fragmen penanda gen ketahanan blas pada tanaman yang diuji.
Proses PCR untuk primer RM138, RM208, RM224, dan RM266 terdiri atas
tahap denaturasi awal pada suhu 94 oC selama 5 menit yang diikuti dengan 36
siklus, setiap siklus terdiri atas tahap denaturasi pada suhu 94 oC selama 1 menit,
penempelan primer pada suhu 55 oC selama 1 menit, dan pemanjangan primer
pada suhu 72 oC selama 2 menit. Pemanjangan akhir dilakukan pada suhu 72 oC
selama 10 menit. Sementara itu, proses PCR untuk primer RM166 terdiri atas
tahap denaturasi awal pada suhu 95 oC selama 3 menit yang diikuti dengan 35
siklus, setiap siklus terdiri atas tahap denaturasi pada suhu 95 oC selama 30 detik,
penempelan primer pada suhu 61 oC selama 30 detik, dan pemanjangan primer
pada suhu 72 oC selama 1 menit. Pemanjangan akhir dilakukan pada suhu 72 oC
selama 5 menit (gramene.org).
Tabel 7 Primer untuk amplifikasi fragmen gen penanda ketahanan blas
Primer
Penanda
Gen Pi
Kromosom
Sekuen Primer Forward
(5’ 3’)
Sekuen Primer Reverse
(5’ 3’)
AGCGCAACAACCAATCC
ATCCG
GGTCCTGGGTCAATAAT
TGGGTTACC
TCTGCAAGCCTTGTCTG
ATG
TAGTTTAACCAAGACTC
TC
ATCGATCGATCTTCACG
AGG
CCAAGTATTCTAGCTCG
CTGTC
TGCAAACAAGCATTTGA
AGC
GAAGCCATGCTATTGCA
AAC
ATGGTCCTTTATCTTTAT
TG
AGATGTTAGTAGCAAGT
TCC
ACTTTGTTGTGCTTGATA
AC
AGAAAACTGGCTGGCTG
TAG
AAGAAGCTGCCTTTGA
CGCTAT
TTGCTGCATGATCCTAA
ACCGG
TAAGTCGATCATTGTGT
GGACC
GGTTGAACCCAAATCT
GCA
TGCTATAAAAGGCATT
CGGG
TGCTAGAGATTTGAGA
AGATGG
GCATCCACCTTTTGTGA
CCT
CATGGAACAGGCGGTC
AC
TTGCTCCATCTCCTCTG
TT
TGTCAGTTATGTCCAA
AGTG
ATGGTGAACGGTATCT
GTAT
TCACGTAGAGGAAAGA
AAACC
RM138
Pib
2
RM166
Pib
2
RM208
Pib
2
RM266
Pib
2
RM224
Pi1
11
G1010
Pi33
8
PiSNP4
Pir4
2
PiSNP7
Pir7
2
NBS2
Pi9/Pi2
6
NBS3
Pi9/Pi2
6
NBS4
Pi9/Pi2
6
NBS5
Pi9/Pi2
6
Produk
(bp)
233
321
173
127
157
210
210
250
2000
1300
1000
700
Proses PCR untuk primer PiSNP4 dan PiSNP7 terdiri atas tahap denaturasi
awal pada suhu 95 oC selama 4 menit yang diikuti dengan 42 siklus. Pada 14
siklus pertama, setiap siklus terdiri atas tahap denaturasi pada suhu 95 oC selama
45 detik, penempelan primer pada suhu 61.5 oC selama 45 detik dengan
penurunan suhu 0.5 oC per siklus, dan pemanjangan primer pada suhu 72 oC
selama 30 detik. Pada 28 siklus berikutnya, setiap siklus terdiri atas tahap
denaturasi pada suhu 95 oC selama 45 detik, pemanjangan primer pada suhu 55 oC
selama 45 detik, dan pemanjangan primer pada suhu 72 oC selama 30 detik.
10
Pemanjangan akhir dilakukan pada suhu 72 oC selama 5 menit (Utami et al. 2008).
Sementara itu, proses PCR untuk primer G1010 terdiri atas tahap denaturasi awal
pada suhu 95 oC selama 3 menit yang diikuti dengan 35 siklus, setiap siklus terdiri
atas tahap denaturasi pada suhu 95 oC selama 30 detik, penempelan primer pada
suhu 59 oC selama 30 detik, dan pemanjangan primer pada suhu 72 oC selama 1
menit. Pemanjangan akhir dilakukan pada suhu 72 oC selama 5 menit (Utami et al.
2011). Proses PCR untuk primer NBS2, NBS3, NBS4, dan NBS5 dilakukan
menurut Qu et al. (2006).
Produk PCR dipisahkan pada elektroforesis gel agarosa 2% dalam TBE 0.5x
pada tegangan 100 volt selama 30 menit. Pita fragmen DNA selanjutnya
divisualisasi di bawah sinar UV setelah direndam dalam etidium bromida.
Analisis Data
Asosiasi antara marka molekuler dan respons fenotipe dianalisis
menggunakan Program Tassel 2.0. Marka yang berasosiasi dengan respons
fenotipe (p_Value kurang dari 0.05) menunjukkan bahwa marka tersebut
berasosiasi dengan gen ketahanan yang menyebabkan ketahanan pada tanaman
terhadap ras blas yang diinokulasikan.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Respons Fenotipe terhadap Ras Blas
Hasil pengamatan respons ketahanan menurut Hayashi et al. (2009)
menunjukkan varietas diferensial yang memiliki gen Pish, Pi5, Pi1, Piz, dan Pita
tahan terhadap ras 123. Hal ini menunjukkan bahwa gen-gen tersebut mengenali
gen Avr dari ras 123 dan melanjutkan untuk menginisiasi sistem mekanisme
pertahanan dari tanaman. Sebaliknya, gen Pia, Pii, Piks, Pikm, dan Pita2 rentan
terhadap ras 123. Hal ini berarti bahwa ras 123 dapat menyerang semua kelompok
patotipe kecuali kelompok IV yang memiliki gen ketahanan Piz. Respons yang
hampir sama juga ditunjukkan pada ras 173. Beberapa gen ketahanan: Pish, Pii,
Pi5, Piks, Pikm, Pi1, dan Pita rentan terhadap ras ini. Gen-gen ini dikelompokkan
dalam kelompok patotipe yang berbeda, kelompok I (Pish), II (Pii, Pi5), III (Piks,
Pikm, Pi1), dan V (Pita). Hal ini mengindikasikan bahwa ras 173 tidak mampu
menyerang gen ketahanan pada kelompok IV (Tabel 8). Namun demikian, ras 173
memiliki spektrum virulensi paling luas dibanding ras 123 dan 133.
Varietas diferensial yang memiliki gen Pia, Pish, Pi5, Pikm, Pi1, Pita, dan
Pita2 tahan terhadap ras 133. Hal ini menunjukkan bahwa gen-gen ini
berkontribusi untuk melindungi tanaman dari serangan ras 133. Dalam respons
yang berbeda, beberapa gen dalam kelompok patotipe yang berbeda rentan
terhadap ras 133, gen-gen ini adalah: Pii (II), Piks (III), dan Piz (IV). Hal ini
mengindikasikan bahwa ras 133 memiliki spektrum virulensi paling sempit.
Hayashi & Fukuta (2009) mengelompokkan galur monogenik LTH dalam 5
kelompok patotipe. Galur-galur dari kelompok patotipe yang sama memiliki
11
respons patotipe yang sama terhadap isolat blas diferensial standar Jepang. Namun,
hasil menunjukkan gen-gen ketahanan dari kelompok patotipe yang sama belum
tentu memiliki respons patotipe yang sama terhadap isolat blas di Indonesia. Gen
Pia dan Pish dari kelompok patotipe I memberikan respons yang berbeda terhadap
ras 123 dan 173. Begitu juga gen Pii dan Pi5 dari kelompok II, keduanya
memberikan respons berbeda terhadap ras 123 dan 133. Piks, Pikm, dan Pi1 dari
kelompok III memberikan respons yang berbeda terhadap ras 123 dan 133. Pita
dan Pita2 dari kelompok V juga memberikan respons yang berbeda terhadap ras
123 dan 173.
Tabel 8 Pola reaksi varietas diferensial terhadap tiga isolat blas
No
Varietas
Diferensial
Gen R
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
IRBLa-A-A
IRBLsh-S
IRBLi-F5
IRBL5-M
IRBLks-F5
IRBLkm-Ts
IRBL1-CL
IRBLz5-CA
IRBLta-CT2
IRBLta2-Pi
Pia
Pish
Pii
Pi5
Piks
Pikm
Pi1
Piz
Pita
Pita2
Kelompok
Patotipea
I
I
II
II
III
III
III
IV
V
V
Hayashi et al. (2009)b
IRRI (1996)b
Ras
123
Ras
133
Ras
173
Ras
123
Ras
133
Ras
173
R
MT
R
MT
R
R
MT
MT
MT
R
MT
MT
R
MT
R
MT
MT
R
MT
MT
MT
R
R
R
R
R
R
MT
R
T
R
MT
R
MT
R
R
MT
MT
MT
R
R
MT
R
MT
R
MT
MT
R
MT
MT
MT
R
R
R
R
R
R
MT
R
T
a
Sistem penentuan kelompok patotipe menurut Hayashi et al. (2009); b T = tahan, MT = medium
tahan, R = rentan
Pengelompokan patotipe pada galur monogenik LTH dilakukan berdasarkan
respons patotipe terhadap isolat blas diferensial standar Jepang. Perbedaan
respons patotipe galur monogenik LTH terhadap isolat blas di Indonesia dengan
isolat blas diferensial Jepang diduga disebabkan adanya perbedaan gen virulensi
pada isolat blas yang digunakan. Hal ini mengindikasikan galur monogenik LTH
tidak dapat digunakan sebagai pembanding respons ketahanan tanaman terhadap
isolat blas Indonesia.
Respons ketahanan yang hampir sama juga ditunjukkan berdasarkan sistem
evaluasi standar menurut IRRI (1996), kecuali terhadap ras 133. Varietas
diferensial yang memiliki gen Pia rentan terhadap ras tersebut. Hal ini
menunjukkan gen ini tidak berkontribusi melindungi tanaman dari serangan ras
133. Meskipun demikian, ras 133 tetap memiliki spektrum virulensi paling sempit
dibanding ras 123 dan 173.
Varietas diferensial berfungsi sebagai pembanding respons ketahanan
(patotipe) terhadap suatu ras patogen. Pola reaksi terhadap patogen blas pada
varietas diferensial selanjutnya dibandingkan dengan respons ketahanan pada
tetua persilangan dan galur haploid ganda yang diuji. Tetua persilangan
menunjukkan reaksi yang beragam terhadap isolat blas yang diinokulasikan.
Bio110 bersifat medium tahan terhadap ras 133, tetapi rentan terhadap ras 123 dan
173, sedangkan Markuti rentan terhadap semua ras. F1 dari persilangan kedua
tetua tersebut tahan terhadap 133. Sementara itu, IR54 medium tahan terhadap ras
133 dan 173, tetapi rentan terhadap ras 123, sedangkan Parekaligolara medium
12
tahan terhadap semua isolat. F1 dari persilangan kedua tetua tersebut tahan
terhadap semua ras. Dengan demikian, persilangan ganda tersebut dapat
menghasilkan galur yang tahan terhadap ketiga ras (Tabel 9).
Tabel 9 Pola reaksi terhadap tiga ras blas pada tetua
Tetua
Bio110
Parekaligolara
Markuti
IR54
a
Hayashi et al. (2009) a
IRRI (1996) a
Ras 123
Ras 133
Ras 173
Ras 123
Ras 133
Ras 173
R
MT
R
R
MT
MT
R
MT
R
MT
R
MT
R
MT
R
R
MT
MT
R
MT
R
MT
R
MT
T = tahan, MT = medium tahan, R = rentan
Sementara itu, hasil evaluasi fenotipe pada galur haploid ganda baik
menurut Hayashi et al. (2009) maupun IRRI (1996) menunjukkan 2 galur tahan
terhadap ras 123, 38 galur medium tahan, dan 9 galur bersifat rentan. Dua puluh
satu galur tahan terhadap ras 133, 17 galur medium tahan, dan 11 galur bersifat
rentan. Dua galur tahan terhadap ras 173, 21 galur medium tahan, dan 26 galur
bersifat rentan. Namun berdasarkan kedua metode penentuan respons ketahanan
tersebut, 4 galur memiliki respons yang berbeda terhadap ras 173: IPBM-32-1-23-3, IPBM-32-1-3-1, IPBM-32-1-3-2, dan BMIP-24-1-4-1 (Tabel 10).
Penamaan pada galur haploid ganda memiliki makna sebagai berikut. Empat
huruf pada bagian pertama menunjukkan simbol varietas yang digunakan sebagai
tetua betina dan tetua jantan. BMIP memiliki arti F1 dari persilangan
Bio110/Markuti merupakan tetua betina, sedangkan F1 dari persilangan
IR54/Parekaligolara merupakan tetua jantan. Sebaliknya, IPBM memiliki arti F1
dari persilangan IR54/Parekaligolara merupakan tetua betina, sedangkan F1 dari
persilangan Bio110/Markuti merupakan tetua jantan. Sementara itu, tanda hubung
menunjukkan tingkat generasi F dari hasil perkawinan sendiri (selfing). Nomor
kode setelah tanda hubung pertama menunjukkan nomor kalus, nomor kode
setelah tanda hubung kedua menunjukkan nomor seleksi pada tanaman hijau, dan
nomor kode setelah tanda hubung ketiga dan seterusnya menunjukkan tahap
seleksi tanaman yang sudah dilakukan berdasarkan penampilan agronomi.
Beberapa galur haploid ganda menunjukkan reaksi yang sama terhadap
ketiga isolat blas yang diinokulasikan (Tabel 10). Semakin banyak tahapan
generasi, galur-galur tersebut sudah tidak mengalami segregasi karakter ketahanan
blas terhadap ketiga isolat. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efek seleksi,
perlu dipertimbangkan perbanyakan tanaman pada generasi berikutnya apabila
dalam seleksi tidak terlihat adanya segregasi untuk karakter ketahanan blas.
Penggunaan material tanaman dapat dilakukan pada generasi terakhir yang
menunjukkan respons ketahanan blas yang sama sehingga dapat meningkatkan
efisiensi biaya.
13
Tabel 10 Pola reaksi terhadap tiga ras blas pada galur haploid ganda
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
26
25
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
a
Galur haploid
ganda
BMIP-46-4-1
IPBM-2-3-2
IPBM-32-1-2-1-1
IPBM-32-1-2-1-2
IPBM-32-1-2-1-3
IPBM-32-1-2-1-4
IPBM-32-1-2-2-1
IPBM-32-1-2-2-2
IPBM-32-1-2-2-3
IPBM-32-1-2-2-4
IPBM-32-1-2-3-1
IPBM-32-1-2-3-2
IPBM-32-1-2-3-3
IPBM-32-1-2-3-4
IPBM-32-1-2-3-5
IPBM-32-1-2-3-6
IPBM-32-1-3-1
IPBM-32-1-3-2
IPBM-32-1-3-3
BMIP-15-4-2-1
BMIP-17-1-4-1
BMIP-18-4-4-1
BMIP-18-4-4-2
BMIP-20-4-2-1
BMIP-20-4-3-2
BMIP-24-4-3-1
BMIP-24-1-2-1
BMIP-24-1-4-1
BMIP-24-1-4-2
BMIP-40-2-1-1
BMIP-40-2-1-2
BMIP-44-4-3-1
BMIP-44-4-3-2
BMIP-20-2-1-1-1
BMIP-20-2-1-1-2
IPBM-28-2-4-1
IPBM-32-2-1-1-1
IPBM-32-2-1-1-2
IPBM-32-2-1-1-3
IPBM-32-2-1-1-4
BMIP-24-1-1-1-1
BMIP-24-1-1-1-2
BMIP-24-1-1-1-3
BMIP-24-1-1-1-4
IPBM-30-1-3-1-1
IPBM-30-1-3-1-2
IPBM-30-1-3-1-3
IPBM-30-1-3-1-4
IPBM-30-1-3-1-5
US2
Filial
F3
F3
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F4
F4
F4
F4
F4
F4
F4
F4
F4
F4
F4
F4
F4
F4
F4
F4
F4
F5
F5
F4
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
F5
-
Genotipe
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
homozigot
-
Hayashi et al. (2009) a
IRRI (1996) a
Ras 123 Ras 133 Ras 173 Ras 123 Ras 133 Ras 173
R
MT
R
MT
R
MT
MT
R
MT
R
R
MT
MT
R
R
R
T
MT
T
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
MT
R
MT
MT
MT
MT
MT
R
R
R
MT
MT
MT
R
R
MT
MT
R
T
T
MT
T
MT
R
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
R
R
T
MT
T
T
T
T
T
T
T
MT
MT
MT
R
R
MT
R
MT
MT
R
R