Tipologi Komunitas Lamun kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku

(1)

TIPOLOGI KOMUNITAS LAMUN KAITANNYA DENGAN

POPULASI BULU BABI DI PULAU HATTA,

KEPULAUAN BANDA, MALUKU

JOHNY DOBO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Tipologi Komunitas Lamun kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2009

Johny Dobo


(3)

ABSTRACT

JOHNY DOBO. Tipology of the Seagrass Community and Its Relation with Sea Urchin in Hatta Island, Banda Archipelago, Moluccas. Under direction of NEVIATY P. ZAMANY and I WAYAN NURJAYA

Sea urchin (Echinoidea) is a group of animal inhabiting seagrass bed. As a grazer, sea urchin could create the bare area of seagrass bed and it will be disturbing the important role of this ecosystem in buffering the linked ecosystems. The aims of this study were to analyse seagrass condition, sea urchin population and relation of both at Hatta Island of Banda Archipelagos, Moluccas. Sampling were carried out from July to October 2008 using quadrat transect method. There are 6 species of seagrasses dominated by Thalassia hemprichii, and 5 species of sea urchins dominated by Tripneustes gratilla. The area where the high density of seagrass and sea urchin were found in sandy substrates. Tripneustes gratilla usually present following the presence of Thalassia hemprichii. Grazing rates of Tripneustes gratilla for Thalassia hemprichii in

seagrass bed at Hatta Island is 0.15% sheet/m2/day. The lower density of

seagrasses were found at the area which highest density of sea urchin. This research concludes that seagrass condition at Hatta Island is still carrying the life of sea urchin population.

Keywords: seagrass, sea urchin, grazing, Thalassia, Tripneustes, Hatta Island


(4)

RINGKASAN

JOHNY DOBO. Tipologi Komunitas Lamun kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku. Dibimbing oleh NEVIATY P. ZAMANI and I WAYAN NURJAYA

Penelitian ini dilakukan sejak Bulan Juli hingga Oktober 2008 di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku. Tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan informasi mengenai tipologi komunitas lamun, mengkaji karakteristik habitat, sebaran dan komposisi jenis bulu babi di padang lamun, mendeterminasi kemampuan merumput bulu babi serta menguraikan keterkaitan antara bulu babi dan komunitas lamun. Pengambilan contoh lamun dan bulu babi dilakukan pada empat stasiun penelitian yaitu stasiun tenggara Hatta, timur Hatta, utara Hatta, dan barat Hatta dengan menggunakan metode transek kuadrat yang berorientasi sejajar garis pantai. Analisis terhadap data karakteristik habitat, komunitas lamun dan komunitas bulu babi menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) dan Analisis Kelompok (Cluster Analysis). Untuk mengkaji keterkaitan antara lamun dan bulu babi digunakan Analisis Faktorial Koresponden

(Correspondence Analysis). Keseluruhan analisis ini dintegrasikan dalam

perangkat lunak Statistica 6.0 release for windows.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik habitat lamun dan bulu babi di Pulau Hatta dicirikan oleh tipe substrat yang didominasi sedimen berpasir, dengan parameter fisik kimia perairan berada dalam kisaran baku mutu yang dapat ditoleransi oleh biota laut. Tipe vegetasi lamun di Pulau Hatta adalah vegetasi campuran (mixed seagrass beds) yang umumnya didominasi oleh Thalassia

hemprichii baik dalam kerapatan, penutupan, frekuensi jenis maupun nilai

pentingnya. Bulu babi yang dijumpai di padang lamun Pulau Hatta terdiri dari

Tripneustes gratilla, Toxopneustes pileolus, Diadema setosum, Echinotrix diadema, dan Echinometra mathaei dengan kepadatan tertinggi diwakili oleh

Tripneustes gratilla. Tripneustes gratilla yang merupakan salah satu grazer

penting di padang lamun Pulau Hatta terlihat mampu menghabiskan Thalassia hemprichii sebanyak 0.15% teg/m2/hari.

Keterkaitan antara bulu babi dengan komunitas lamun ditunjukkan dengan adanya kecenderungan bulu babi Tripneustes gratilla, Diadema setosum dan

Echinotrix diadema berasosiasi dengan kerapatan jenis lamun T. hemprichii,

Halodule uninervis, Halophila ovalis yang lebih rendah dan Enhalus acoroides

serta Cymodocea rotundata yang lebih padat, sementara Toxopneustes pileolus

dan Echinometra mathaei cenderung berasosiasi dengan daerah dimana kerapatan

Thalassia hemprichii lebih padat.

Kata kunci: lamun, bulu babi, Thalassia, Tripneustes, Pulau Hatta


(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(6)

TIPOLOGI KOMUNITAS LAMUN KAITANNYA DENGAN

POPULASI BULU BABI DI PULAU HATTA,

KEPULAUAN BANDA, MALUKU

JOHNY DOBO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(7)

Judul : Tipologi Komunitas Lamun kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku

Nama : Johny Dobo

NRP : C551060051

Program Studi : Ilmu Kelautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. Anggota

Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Kelautan

Tanggal Ujian: 29 Mei 2009 Tanggal Lulus: Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunianya sehingga tesis ”Tipologi Komunitas Lamun kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku” ini berhasil diselesaikan.

Telah diketahui bahwa padang lamun memiliki peran penting baik dalam meningkatkan produksi perikanan maupun perlindungan bagi ekosistem di sekitarnya. Dalam perannya sebagai pelindung bagi ekosistem lain (pencegah erosi), padang lamun tidak senantiasa dalam keadaan siap, tetapi tergantung faktor fisik-kimia perairan maupun faktor biologi yang bekerja di dalamnya. Bulu babi sebagai salah satu grazer penting di padang lamun, dalam jumlah besar, mampu mengurangi peran padang lamun ini. Olehnya itu, tesis ini berusaha untuk memberikan gambaran mengenai keterkaitan antara komunitas lamun dan bulu babi, khususnya di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku.

Penulis sadari, tesis ini tidak diselesaikan sendiri, namun berkat kemudahan dan bantuan yang tidak terkuantifikasi dari Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing serta Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA selaku Penguji Luar Komisi yang banyak memberikan masukan sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis ini.

Tulisan ini juga bukan merupakan hasil kerja penulis semata, olehnya itu penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung terutama kepada : 1. Bapak H. Des Alwi, Ketua Yayasan Warisan dan Budaya Banda Naira.

2. Bapak Prof. Dr. Hamadi B. Husain, Ketua Sekolah Tinggi Perikanan Hatta-Sjahrir Banda Naira.

3. Dirjen DIKTI, Departemen Pendidikan Nasional RI, atas Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) yang diberikan.

4. Pimpinan dan staf SPs IPB, terutama Program Studi Ilmu Kelautan, atas layanan dan kerjasamanya selama ini.

5. Program Mitra Bahari-COREMAP II, terutama Ibu Tri Iswari Subekti, atas bantuan penulisan tesis tahun 2008.

6. Bapak Dr. Ir. Safar Dody, M.Si dan keluarga, atas kepedulian dan petunjuk-petunjuk praktisnya.

7. Bapak Drs. Usman Thalib, M.Hum dan Bapak Drs. Hadji Sama, MS atas bantuan dan motivasinya.

8. Seluruh Civitas Akademika Sekolah Tinggi Perikanan Hatta-Sjahrir Banda Naira, atas kebersamaannya selama ini.

9. Teman-teman IKL ’06 (Faizal Kasim, Chaterina A. Paulus, Mukti Trenggono, Iis Triyulianti, Rikoh Manogar Siringoringo, Dondy Arafat, Degen E. Kalay, Nurmila Anwar, Ira Puspita Dewi, Ria Faizah, Ernawati Widyastuti, Syahrul Purnawan, Ratih Deswati, dan Pak Muhamad Ramli) serta teman-teman IKL ’05 (Heron Surbakti dan Wa Nurgayah).


(9)

10.Budiono Senen, S.Pi., Jenny Abidin, S.Pi., Iksan Rumakat, S.Pi., Johan Ahmad, Jafar Rumakat, Idul La Muhammad, S.Pi, Dewi Ode Saleh, S.Pi, Nurhayati Bugis, S.Pi., Iksan La Hoari, Nardi Rumbawas, Jusuf Difinubun, Salem Ahmad, Oga Ahmad, Buhari, Sani Abdullah, Sariwati Kamidin, Bang Dede, Bang Fauzan, Oom Djumsari Dobo serta keluarga besar ”Pulau Hatta” atas bantuannya selama pengambilan data.

11.Bapak Chalid Ohorella dan Ibu Saadiah Polanunu, atas perhatian dan doanya. 12.Istriku tercinta Munira Ohorella, atas perhatian, pengertian dan doa serta

secara khusus kepada Ayahandaku Muhammad Bin Dobo (alm.) atas harapannya, Ibundaku Hadidjah Dobo dan Adikku Fitria Jofari Dobo atas ketabahan, kesabaran, perhatian, pengertian, restu dan doa sehingga penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah ini.

Akhirnya penulis menyadari, hasil yang disampaikan dalam tulisan ini belum merupakan hasil mutlak, penjelasan-penjelasan ilmiah yang ada di dalamnya bersifat sementara, dan senantiasa dalam keadaan siap untuk diperluas, diperhalus, diperbaiki atau bahkan diganti. Penulis berusaha untuk membuat tulisan ini sebaik mungkin dan semoga tulisan ini dapat memenuhi fungsinya.

Bogor, Mei 2009

Johny Dobo


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Banda Naira, Maluku Tengah pada tanggal 13 Mei 1977, anak pertama dari dua bersaudara, Ayah Muhammad Bin Dobo dan Ibu Hadidjah Dobo.

Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Banda dan diterima pada program studi Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura, Ambon pada tahun yang sama. Tahun 1999 penulis pindah ke Universitas Haluoleo, Kendari dan menyelesaikan pendidikan sarjana pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan tahun 2001. Sejak tahun 2002 hingga kini penulis bekerja sebagai pengajar pada Sekolah Tinggi Perikanan Hatta-Sjahrir Banda Naira, Maluku. Tahun 2006 penulis menerima beasiswa (BPPS DIKTI) untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (SPs IPB) pada program studi Ilmu Kelautan, program minat Biologi Laut. Selama mengikuti pendidikan pascasarjana, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan Wahana Interaksi Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kelautan (WATERMASS-IKL). Tahun 2008 penulis mendapat beasiswa penulisan tesis dari Program Mitra Bahari- COREMAP II.

Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana IPB penulis melakukan penelitian mengenai ”Tipologi Komunitas Lamun kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku”.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan dan Manfaat ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Komunitas Lamun... 6

Morfologi dan Klasifikasi Lamun... 6

Habitat, Distribusi dan Peran Ekologis Lamun... 7

Bulu Babi (Echinoidea)... 11

Morfologi dan Klasifikasi ... 11

Habitat, Distribusi dan Tingkah Laku Bulu Babi ... 13

METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ... 15

Alat dan Bahan Penelitian... 15

Prosedur Penelitian ... 15

Analisis Data ... 18

Komunitas Lamun... 18

Komunitas Bulu Babi... 21

Sebaran Karakteristik Biofisik-Kimia Perairan ... 22

Keterkaitan antara Komunitas Lamun dan Populasi Bulu Babi... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lokasi Penelitian ... 24

Vegetasi Lamun di Pulau Hatta ... 26

Struktur Komunitas dan Pola Penyebaran Lamun di Pulau Hatta ... 30

Sebaran Karakteristik Fisik-kimia Padang Lamun di Pulau Hatta... 32

Struktur Komunitas dan Pola Penyebaran Bulu Babi di Pulau Hatta ... 35

Kemampuan Merumput Tripneustes gratilla terhadap Thalassia hemprichii 38 Sebaran Spasial Lamun dan Bulu Babi di Pulau Hatta ... 39

Keterkaitan antara Komunitas Lamun dan Bulu Babi di Pulau Hatta ... 44

SIMPULAN DAN SARAN ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47

LAMPIRAN... 55


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Distribusi Jenis Lamun di Kepulauan Maluku... 9

2 Kepadatan beberapa Jenis Bulu Babi di Kepulauan Indonesia... 14

3 Parameter Fisik-kimia Perairan dan Metode Pengukurannya... 16

4 Nilai rata-rata Parameter Fisik-kimia di Padang Lamun Pulau Hatta... 26

5 Nilai Struktur Komunitas dan Pola Penyebaran Lamun di Pulau Hatta ... 30

6 Nilai Struktur Komunitas dan Pola Penyebaran Bulu Babi di Pulau Hatta .... 36 7 Kemampuan merumput Tripneustes gratilla terhadap Thalassia hemprichii. 38


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka Pendekatan Masalah ... 5

2 Morfologi Tumbuhan Lamun... 6

3 Bentuk Umum Bulu Babi Regularia ... 11

4 Peta Lokasi Penelitian ... 15

5 Ilustrasi pengambilan contoh lamun dan bulu babi dengan transek kuadrat 16 6 Ilustrasi kurungan pengamatan kemampuan grazing bulu babi... 17

7 Perbandingan Persentase Sedimen di Lokasi Penelitian... 24

8 Perbandingan Topografi Dasar Perairan di Pulau Hatta ... 25

9 Perbandingan Kerapatan Rata-rata Jenis Lamun di Pulau Hatta ... 27

10 Perbandingan Penutupan Rata-rata Jenis Lamun di Pulau Hatta ... 28

11 Perbandingan Indeks Nilai Penting Lamun di Pulau Hatta... 30

12 Ilustrasi Sebaran Spasial Lamun di Pulau Hatta ... 31

13 Grafik Analisis Komponen Utama: Karakteristik Fisik-Kimia di Padang Lamun Pulau Hatta... 33

14 Dendogram Klasifikasi Hierarki Stasiun Penelitian berdasarkan Karakteristik Fisik-Kimia Padang Lamun Pulau Hatta... 34

15 Kepadatan Rata-rata Jenis Bulu Babi di Pulau Hatta... 35

16 Ilustrasi Sebaran Spasial Bulu Babi di Pulau Hatta ... 37

17 Grafik Analisis Faktorial Koresponden antara Stasiun Penelitian dan Lamun pada Sumbu Faktorial 1 dan 2. ... 40

18 Dendogram Klasifikasi Hierarki Stasiun Pengamatan berdasarkan Kerapatan Jenis Lamun di Pulau Hatta ... 40

19 Grafik Analisis Faktorial Koresponden antara Stasiun Penelitian dan Bulu Babi pada Sumbu Faktorial 1 dan 2. ... 41

20 Dendogram Klasifikasi Hierarki Stasiun Pengamatan berdasarkan Kepadatan Jenis Bulu Babi di Pulau Hatta ... 42

21 Ilustrasi Sebaran Spasial Lamun dan Bulu Babi di Pulau Hatta ... 43

22 Grafik Analisis Faktorial Koresponden antara Bulu Babi dan Kerapatan Jenis Lamun pada Sumbu Faktorial 1 dan 2 ... 44


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Persentase Sedimen di Lokasi Penelitian... 55

2 Topografi Pantai Pulau Hatta ... 56

3 Profil Pasang Surut di Kepulauan Banda Naira tanggal 3-17 Juli 2008. ... 57

4 Nilai Parameter Fisik-Kimia Padang Lamun Pulau Hatta ... 58

5 Hasil Perhitungan Kerapatan, Penutupan dan Frekuensi Jenis Lamun di Pulau Hatta... 59

6 Nilai Kerapatan Relatif (RDi), Frekuensi Relatif (RFi), Penutupan Relatif (RCi), dan Indeks Nilai Penting (INP)... 60

7 Pola Penyebaran Lamun di Pulau Hatta... 62

8 Hasil Analisis Komponen Utama Parameter Fisik Kimia Perairan ... 64

9 Hasil Perhitungan Kepadatan Jenis Bulu Babi di Padang Lamun Pulau Hatta ... 67

10 Pola Penyebaran Bulu Babi di Lokasi Penelitian... 68

11 Hasil Pengamatan Kemampuan Merumput (Daya Grazing) Tripneustes Gratilla terhadap Thalassia Hemprichii di Padang Lamun Pulau Hatta ... 70

12 Hasil Analisis Faktorial Koresponden (CA) Lamun dengan Stasiun Pengamatan ... 71

13 Hasil Analisis Faktorial Koresponden (CA) Bulu Babi dengan Stasiun Pengamatan ... 72

14 Hasil Analisis Faktorial Koresponden (CA) Bulu Babi dengan KomunitasLamun... 73

15 Dokumentasi Kegiatan Penelitian ... 75


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bulu babi termasuk anggota dari Filum Echinodermata yang tersebar mulai dari daerah intertidal yang dangkal hingga ke laut dalam (Jeng 1998). Fauna ini umumnya menghuni ekosistem terumbu karang dan padang lamun dan menyukai substrat yang agak keras terutama substrat di padang lamun campuran yang terdiri dari pasir dan pecahan karang (Aziz 1994a). Di dunia terdapat kurang lebih 6000 jenis fauna Echinodermata (Guille et al. 1986, diacu dalam Jeng 1998) dan diperkirakan 950 jenis diantaranya adalah bulu babi (Suwignyo et al. 2005) yang terbagi dalam 15 ordo, 46 famili (Aziz 1987; Suwignyo et al. 2005) dan 121 genus (Heinke & Schultz 2006). Di Indonesia, terdapat kurang lebih 84 jenis bulu babi yang berasal dari 31 famili dan 48 genus (Clark & Rowe 1971).

Studi mengenai berbagai aspek ekologi bulu babi telah dilakukan di berbagai tempat di dunia, antara lain studi ekologi komunitas: Echinoidea (McClanahan et al. 1994; Jeng 1998; McClanahan 1998; Larrain et al. 1999; Chao 2000; Paulay 2003; Putchakam & Soncaeng 2004; Lessios 2005), Echinometra

mathaei (McClanahan 1995), dan Echinometra viridis (McClanahan 1999);

struktur komunitas: Echinoidea (McClanahan & Shafir 1990; Andrew & McDiarmid 1991; Levitan 1992; McClanahan et al. 1996;), Diadema antillarum

(Carpenter 1990a, 1990b), dan Echinometra mathaei (Kessing 1992; Prince 1995); ekologi tingkah laku: Echinoidea (Shulman 1990; Ikuo et al. 1999),

Strongylocentrotus droebachiensis (Bernstein et al. 1981; Mann et al. 1984; Scheibling & Hamm 1991; Russell 1998), Strongylocentrotus purpuratus

(Edwards & Ebert 1991), Paracentrotus lividus (Barnes & Cook 2001),

Echinometra mathaei (Black et al. 1982; Black et al. 1984; Neill 1988), Diadema antillarum (Levitan 1991), dan Heliocidaris erythrogramma (Constable 1993); dan studi aktivitas makan: Echinoidea (Valentine & Kenneth 1991; Macia 2000; Alcovero & Mariani 2002), Echinometra mathaei (Hart & Chia 1990), Lytechinus variegatus (Greenway 1995), dan Evechinus chloroticus (Barker et al. 1998).

Berbagai aspek ekologi bulu babi yang telah diteliti di Indonesia, antara lain aspek ekologi Echinoidea (Tuwo et al. 1997; Rondo 1992, Radjab 2004),


(16)

studi aktivitas makan: Echinoidea (Aziz 1994b, 1999a) dan Tripneustes gratilla

(Darsono & Aziz 2000). Selain aspek ekologi, telah dilaporkan juga berbagai studi mengenai aspek biologi: Echinoidea (Sumitro et al. 1992, Aziz 1999a);

Tripneustes gratilla (Darsono & Sukarno 1993; Tuwo 1995); pertumbuhan:

Diadema setosum (Yusron & Manik 1989), Tripneustes gratilla (Yusron 1991; Radjab 1997); aspek reproduksi: Diadema setosum (Aziz & Darsono 1979, Darsono 1993), Tripneustes gratilla (Andamari et al. 1994; Tuwo & Pelu 1997; Radjab 1998; Baszary et al. 2001), Echinometra mathaei (Lintong, 1998; Lasut et al. 2002), Toxopneustes pileolus (Hayati 1998 & Zulaika 1998), Temnopleurus alexandri (Sugiharto, 1995), dan komposisi kimia gonad Tripneustes gratilla

(Chasanah & Andamari 1997).

Di Indonesia, beberapa marga bulu babi yang dijumpai di padang lamun antara lain Diadema, Tripneustes, Toxopneustes, Echinotrix, Echinometra,

Temnopleurus, Mespilia dan Salmacis (Sumitro, et al. 1992 dan Aziz 1994a). Gonad bulu babi dari marga-marga tersebut telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir sebagai bahan makanan (Darsono 1982; Aziz 1993; Chasanah & Andamari 1997 dan Radjab 1998) dan dapat dijadikan sebagai bahan uji toksikologi lingkungan (Sumitro et al. 1992; Lasut et al. 2002). Selain itu, jenis-jenis seperti Toxopneustes pileolus, Tripneustes gratilla, Diadema setosum,

dan Asthenosoma menghasilkan peditoxin, bahan bioaktif yang berguna dalam

bidang farmasi (Takei et al. 1991; Nakagawa et al. 2003).

Padang lamun sebagai salah satu habitat bagi bulu babi memiliki peran ekologis yang penting tidak hanya bagi bulu babi semata tetapi juga bagi berbagai organisme lain yang ada di dalamnya serta bagi lingkungan di sekitarnya. Kikuchi dan Peres (1977) menyebutkan bahwa secara ekologi padang lamun berfungsi sebagai habitat dari berbagai organisme, sementara secara fisik padang lamun merupakan suatu bentuk tahanan yang mempengaruhi pola aliran arus dengan mereduksi kecepatan arus sehingga perairan di sekitarnya menjadi tenang (Randall 1965, diacu dalam Azkab 2006), sehingga berfungsi sebagai stabilisator dasar, penangkap sedimen dan penahan erosi (Kikuchi & Peres 1977).

Secara ekonomi padang lamun memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Dalam penelitian mengenai nilai ekonomi padang lamun di Balerang dan Bintan,


(17)

3

Kusumastanto et al. (1999) melaporkan bahwa dari produksi perikanan nilai ekonomi padang lamun mencapai 3,858.91 US$/ha/tahun, pencegahan erosi 34,871.75 US$/ha/tahun, dari biodiversity mencapai 15.00 US$/ha/tahun, dan total nilai ekonominya mencapai 38,745.66 US$/ha/tahun.

Kepulauan Banda terdiri atas 6 (enam) pulau besar dan 7 (tujuh) pulau kecil yang berada di sekitar pulau besar tersebut. Di kepulauan ini, padang lamun dijumpai hampir di semua pulau, kecuali Pulau Gunung Api karena daerah intertidalnya yang sangat sempit. Secara ekonomi, padang lamun di kepulauan ini dimanfaatkan nelayan sebagai daerah penangkapan ikan dengan berbagai alat tangkap seperti jaring insang (gill net), jaring pantai (beach seine) maupun pancing. Pada musim-musim tertentu juga masyarakat memanen berbagai jenis moluska, krustasea dan echinodermata. Selain padang lamun, terumbu karang yang ada di wilayah ini menyimpan berbagai jenis organisme ekonomis penting seperti ikan dan moluska yang dimanfaatkan nelayan sebagai sumber penghasilan. Karenanya, keberadaan padang lamun yang dapat berfungsi sebagai pelindung bagi ekosistem terumbu menjadi penting artinya baik secara ekonomi maupun ekologi bagi masyarakat di kepulauan ini.

Keberadaan populasi bulu babi di padang lamun tidak hanya menggambarkan kekayaan ataupun keanekaragaman jenis organisme yang menempati habitat tersebut, akan tetapi, kehadiran bulu babi mampu mempengaruhi fungsi ekologis ekosistem ini. Walaupun studi ekologi bulu babi di Indonesia telah lama dilakukan, namun, hingga kini studi yang secara khusus menggambarkan keterkaitan antara bulu babi dengan padang lamun masih relatif sedikit. Oleh karena itu penelitian ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya yang dapat memperkaya khazanah informasi mengenai keterkaitan antara populasi bulu babi dengan padang lamun yang berperan sebagai habitatnya.

Perumusan Masalah

Adanya proses hidrologis dan aktivitas manusia yang berlangsung di ekosistem lamun akan menghasilkan tipologi tertentu bagi komunitas lamun serta mempengaruhi organisme lain yang memanfaatkan ekosistem ini sebagai habitatnya. Padang lamun sebagai salah satu habitat bagi beberapa jenis bulu babi menyediakan tegakan lamun sebagai tempat perlindungan dari predator dan


(18)

segatan sinar matahari, menyediakan daun lamun sebagai makanan serta menciptakan kondisi fisik kimia yang baik bagi kelangsungan hidupnya.

Kelompok bulu babi tertentu akan cenderung memilih tipe habitat tertentu yang disediakan padang lamun, dimana kecenderungan ini baik disebabkan oleh faktor tingkah laku maupun akibat dari hasil interaksinya dengan padang lamun. Oleh karenanya, akan dijumpai kelompok populasi bulu babi tertentu menempati tipe komunitas lamun tertentu pula. Sebagai grazer penting di padang lamun, kehadiran bulu babi dalam jumlah besar mampu meninggalkan area gundul (bare area) sehingga fungsi ekologis ekosistem ini dapat terganggu. Hingga kini informasi yang mengungkap berbagai keterkaitan antara komunitas lamun dengan jenis-jenis bulu babi yang menempati padang lamun belum

banyak dilaporkan. Untuk mendapatkan jawaban terhadap permasalahan di atas, penelitian ini dilakukan dengan berpatokan pada kerangka pendekatan masalah

sebagaimana yang dijabarkan dalam Gambar 1.

Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan: (i) untuk mendapatkan informasi mengenai tipologi komunitas lamun, (ii) mengkaji karakteristik habitat dan sebaran spasial bulu babi di padang lamun, (iii) mendeterminasi kemampuan merumput bulu babi dan menguraikan keterkaitan antara bulu babi dan padang lamun. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah tersedianya informasi mengenai komunitas lamun di Kepulauan Banda, diketahuinya sebaran spasial bulu babi di padang lamun Pulau Hatta, dan diketahuinya keterkaitan antara komunitas lamun dengan jenis-jenis bulu babi yang menempati padang lamun sebagai habitatnya.


(19)

5

Gambar 1. Kerangka Pendekatan Masalah

EKOSISTEM LAMUN

Komponen Biotik: H’, E, C

Kerapatan, Frekuensi & Penutupan

Indeks Nilai Penting (INP)

Komponen Abiotik: Suhu, Salinitas, pH, Kec. Arus,

Topografi, Pasut DO, PO4, NO3

Tipe Substrat

TIPOLOGI KOMUNITAS LAMUN

Aktivitas Manusia Proses Hidrologis

Keterkaitan antara Bulu Babi dengan Tipologi Komunitas Lamun

ANALISIS KELOMPOK

Menentukan similaritas habitat dan keterkaitan rata-rata antar kelompok

ANALISIS KOMPONEN UTAMA

Menentukan karakteristik habitat bulu babi

Komponen Biotik: H’, E, C

Kepadatan Jenis Pola Penyebaran

Aktifitas Grazing

KOMUNITAS BULU BABI

ANALISIS FAKTORIAL

KORESPONDEN

Menentukan sebaran spasial lamun dan bulu babi

Habitat


(20)

Komunitas Lamun

Morfologi dan Klasifikasi Lamun

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (Anthophyta) yang hidup dan tumbuh terbenam di lingkungan laut, berpembuluh, berimpang (rhizoma), berakar, dan berkembang biak secara generatif maupun vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh terbenam dan menjalar dalam substrat pasir, lumpur dan pecahan karang (Azkab 2006).

Jenis-jenis lamun umumnya memiliki morfologi luar yang tampak hampir serupa yakni memiliki daun panjang, tipis dan mirip pita yang mempunyai saluran air, serta bentuk pertumbuhannya monopodial. Bagian tubuh lamun dapat dibedakan ke dalam morfologi yang tampak seperti akar, batang, daun, bunga dan buah (Philips & Menez 1988; Fortes 1990; Tomascik et al. 1997).

Akar tunggal Rhizome Pelepah daun

Batang daun r ruas daun

entuk oval

Pangkal daun

Sambungan akar

Ruas memanjang

daun

Ujung daun

Lembaran daun

Pelepah daun

Sarung daun

Tunas yang berduri

Batang aka Lembaran daun

Gambar 2. Morfologi tumbuhan lamun (dimodifikasi dari Philips & Menez 1988)

Alu berb

r

Akar cabang


(21)

7

Tumbuhan lamun yang terdapat di seluruh perairan dunia berjumlah kurang lebih 58 jenis yang berasal 12 genus dan 2 famili. Famili Potamogetonaceae terdiri dari 9 genus sedangkan famili Hydrocharitaceae terdiri dari 3 genus (Azkab 2006).

Hingga kini, tercatat kurang lebih 12 jenis lamun dijumpai di perairan Indonesia yang termasuk dalam 7 genus dan 2 famili. Famili Hydrocharitaceae terdiri dari Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, dan

H. minor sedangkan famili Potamogetonaceae terdiri dari Syringodium

isoetifolium, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Halodule pinifolia, H. uninervis, dan Thalassodendron ciliatum (Nontji, 1993; Azkab 2006).

Klasifikasi tumbuhan lamun yang terdapat di Indonesia menurut Philip dan Menez (1988) adalah sebagai berikut :

Divisi: Anthophyta

Subkelas: Monocotyledoneae Ordo: Helobiae

Famili: Hydrocharitaceae Genus: Enhalus

Genus: Thalassia

Genus: Halophila

Famili: Patamogetonaceae Genus: Cymodoceae

Genus: Halodule

Genus: Syringodium

Genus: Thalassodendron

Habitat, Distribusi dan Peran Ekologis Lamun

Lamun dapat berhasil hidup di laut karena mampu hidup di media air asin, mampu berfungsi normal dalam keadan terbenam, mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik, mampu berbiak generatif dalam keadaan terbenam, dan mampu berkompetisi dengan organisme lain dalam keadaan kondisi stabil ataupun tidak stabil pada lingkungan laut (Philips & Menez 1988).

Syarat dasar habitat lamun adalah perairan dangkal, memiliki substrat yang lunak dan perairan yang cerah. Syarat lainnya adalah adanya sirkulasi air yang


(22)

membawa pergi sisa-sisa metabolisme. Selanjutnya, di beberapa daerah padang lamun dapat tumbuh namun tidak dapat berkembang dengan baik karena tidak terlindung pada saat air surut (Dahuri et al. 1997). Lamun dapat tumbuh pada empat tipe substrat yaitu rataan terumbu, paparan terumbu, teluk dangkal yang didominasi oleh pasir hitam terigenous dan pantai intertidal datar yang didominasi oleh lumpur halus (Erftemeijer 1993). Lamun juga dapat ditemukan pada daerah subtidal dengan kedalaman 40 m bahkan hingga 90 m selama masih ada sinar matahari (den Hartog 1977).

Dari 12 genus lamun yang dijumpai di seluruh perairan dunia, 7 genus diantaranya yakni Enhalus, Halophila, Thalassia, Cymodoceae, Halodule,

Syringodium, dan Thalassodendron tersebar di perairan tropis, sedangkan 5 genus lainnya yakni Zostera, Heterozostera, Phyllospadix, Posidonia dan Amphibolis

merupakan penghuni perairan subtropis (den Hartog 1970).

Komunitas lamun biasanya terdapat dalam area yang luas dan rapat. Secara umum, terdapat tiga tipe vegetasi padang lamun, yaitu: 1) padang lamun vegetasi tunggal (monospecific seagrass beds), dimana hanya terdapat satu jenis lamun, 2) padang lamun yang terdiri dari dua atau tiga jenis, tipe ini lebih sering dijumpai dibanding tipe vegetasi tunggal, dan 3) padang lamun vegetasi campuran (mixed seagrass beds), umumnya terdiri dari E. acoroides, T. hemprichii, C. Rotundata,

C. serrulata, S. isoetifolium, Halodule uninervis dan Halophila ovalis (Brouns & Heijs 1991; Tomascik et al. 1997). Padang lamun di perairan Indonesia umumnya termasuk padang lamun vegetasi campuran (Nienhuis et al. 1989).

Penyebaran lamun di Indonesia meliputi perairan Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara serta Irian Jaya (Fortes, 1990; Tomascik et al. 1997). Dari 12 jenis lamun yang terdapat di perairan Indonesia, hanya Halophila spinulosa yang belum dijumpai di Kepulauan Maluku (Kuriandewa 1998a). Hingga kini, terdapat 8 jenis lamun yakni Enhalus acoroides, Thallasia hemprichii, Halophila ovalis, Cymodocea rotundata,

Cymodocea serrulata, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium, dan


(23)

9

Tabel 1. Distribusi jenis lamun di Kepulauan Maluku Jenis Lamun No Lokasi

Ea Th Ho Hm Hd Hs Cr Cs Hp Hu Si Tc

Sumber

1 T. Elpaputih + + + + - - + - + + + - Kuriandewa (1998a) 2 T. Piru + + + + - - + + + + + - Kuriandewa (1998a) 3 T. Kotania + + + + + - + + + + + - Kuriandewa (1998a) 4 T. Ambon + + - + - - - - + - - - Kuriandewa (1998a) 5 T. Buli + + + - - - + + + + + - Kuriandewa (1998a) 6 Waisarissa + + + - - - + - + - - - Kuriandewa (1998a) 7 P. Tayandu

& Tual + + + + + - + + + + + + Kuriandewa (1998a) 8 P. Kei Besar + + + - - - + - + - - - Kuriandewa (1998a) 9 P. Yamdena + + + + - - + + + + + + Kuriandewa (1998a) 10 Kep. Sermata + + + - - - + + + + + + Kuriandewa (1998a) 11 Kep. Sula + + + - - - + + + + - + Kuriandewa (1998a) 12 Kep. Banda + + + - - - + + - + + + David et al. (2002) Ket: Ea=Enhalus acoroides, Th=Thalassia hemprichii, Ho=Halophila ovalis, Hm=H. minor, Hd=H. decipiens,

Hs=H. spinulosa, Cr=Cymodocea rotundata, Cs=C. serrulata, Hp=Halodule pinifolia, Hu=H. uninervis, Si=Syringodium isoetifolium, Tc=Thalassodendron ciliatum.

+ = ada, - = tidak ada

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan di Indonesia, dilaporkan bahwa kerapatan dan penutupan jenis lamun di Teluk Kuta, Lombok Selatan masing-masing berkisar antara 90-2520 teg/m2 dan <5-35% (Kiswara & Winardi 1994), di Teluk Awur, Jepara kerapatan jenis berkisar antara 46.41-545.43 teg/m2 dan penutupan 4.87-31.64% (Merryanto 2000), sementara di Teluk Banten, kerapatan jenis berkisar antara 16.7-159 teg/m2 dan penutupan mencapai 67% (Erina 2006). Dari penelitian-penelitian ini juga dijumpai adanya kecenderungan dominasi kerapatan dan penutupan oleh Thalassia hemprichii seperti di Teluk Awur, Jepara (Merryanto 2000), Teluk Gilimanuk (Rosalinda 2006), Air Cina, Kupang (Putra 2006), Pulau Lima, Teluk Banten (Erina 2006), tetapi berbeda dengan Teluk Kuta, Lombok Selatan dimana kerapatan didominasi Halodule pinifolia dan penutupan oleh Enhalus acoroides (Kiswara & Winardi 1994), maupun di Temukanak dan Wasmolok, Timur Tengah Utara (Putra 2006) dimana kerapatan didominasi Thalassia hemprichii sementara dominasi tutupan diwakili

Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata.

Kehadiran padang lamun di perairan dangkal sangat penting karena perannya sebagai produser primer, pendaur ulang zat hara, tempat berpijah dan


(24)

mencari makan berbagai biota bentik dan ikan, stabilisator dasar, penangkap sedimen dan penahan erosi (Kikuchi & Peres 1977). Sebagai produser primer, lamun memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian memasuki rantai makanan di laut. Kandungan bahan organik di lamun yang tinggi berasal dari serasah daun lamun.

Sebagai habitat biota, lamun memberikan perlindungan bagi beberapa jenis biota baik yang menempel di daun, berada di atas akar dan rhizoma, maupun pada sedimen dasar sehingga terlindung dari predator (Fortes 1990). Sebagai sumber makanan, biota yang menghuni padang lamun dapat memakan tumbuhan lamun secara langsung (direct grazing) maupun melalui jalur detritus (Wood et al. 1969, diacu dalam Philips & Menez 1988). McRoy dan Helfferich (1980) melaporkan bahwa salah satu avertebrata yang memakan daun lamun secara langsung adalah bulu babi, sedangkan dari kelompok vertebrata yaitu beberapa ikan (Scaridae, Acanthuridae), penyu dan duyung, sedangkan bebek dan angsa memakan lamun ketika lamun tersebut muncul pada surut terendah.

Dalam kaitannya dengan peran lamun sebagai habitat, Kikuchi (1980) menyebutkan bahwa terdapat lima hal pokok dari ekosistem lamun dalam kaitannya sebagai penyusun suatu habitat yaitu: 1) lamun membentuk vegetasi lebat di bawah permukaan air dan menyediakan lapisan dasar yang ada bagi organisme penggali dan epifit, 2) vegetasi yang lebat tersebut menenangkan gerakan air yang ditimbulkan oleh arus dan gelombang, 3) dengan keadaan hidrodinamik yang tenang, mineral dan partikel organik dalam air dengan mudah dapat mengendap di dasar perairan, dimana endapan dari serasah lamun yang membusuk dan partikel organik lainnya membentuk suatu lingkungan yang sesuai bagi kehidupan mikroorganisme dan hewan bentik lainnya, 4) daun-daun lamun mereduksi cahaya yang berlebihan sehingga menjadi teduh dan melindungi organisme yang ada di bawahnya, 5) berdasarkan penyebab di atas, maka padang lamun merupakan habitat yang baik bagi juvenil dan nekton bahari berukuran kecil untuk mendapatkan tempat berlindung dan mencari makanan.

Selanjutnya, Howard et al. (1989) membagi empat grup besar fauna yang menghuni padang lamun, yaitu: 1) infauna, merupakan hewan yang hidup di dalam sedimen di antara rhizoma, 2) epifauna motil, merupakan hewan yang berukuran kecil dan bergerak berasosiasi dengan permukaan sedimen, hancuran


(25)

11

lamun dan di helaian daun, 3) epifauna sessil, merupakan hewan yang hidup secara permanen melekat di helaian lamun, 4) fauna epibentik, merupakan hewan yang berukuran lebih besar, mampu bergerak bebas dan lebih berasosiasi dengan padang lamun daripada lamun secara individual.

Bulu Babi (Echinoidea) Morfologi dan Klasifikasi

Secara morfologi, bulu babi terbagi dalam dua kelompok yakni bulu babi regularia atau bulu babi beraturan (regular sea urchin) dan bulu babi iregularia atau bulu babi tidak beraturan (irregular sea urchin). Bentuk tubuh bulu babi regularia adalah simetri pentaradial hampir berbentuk bola sedangkan bulu babi iregularia memperlihatkan bentuk simetri bilateral yang bervariasi (Aziz 1987; Chao 2000; Pechenik 2005; Radjab 2001).

Gambar 3. Bentuk umum bulu babi regularia

Selain itu, Suwignyo et al. (2005) juga menyebutkan bahwa tubuh bulu babi berbentuk bulat atau pipih bundar, tidak bertangan, mempunyai duri-duri panjang yang dapat digerakkan. Semua organ pada bulu babi umumnya terletak di dalam tempurung (test sceleton) yang terdiri atas 10 keping pelat ganda, biasanya bersambungan dengan erat, yaitu pelat ambulakra, disamping itu terdapat pelat ambulakra yang berlubang-lubang tempat keluarnya kaki tabung. Pada permukaan tempurung terdapat tonjolan-tonjolan pendek yang membulat, tempat menempelnya duri. Di antara duri-duri tersebar pedicellaria dengan 3 gigi. Kebanyakan bulu babi mempunyai 2 macam duri, duri panjang atau utama dan duri pendek atau sekunder. Selanjutnya, mulut bulu babi terletak di daerah


(26)

oral, dilengkapi dengan lima gigi tajam dan kuat untuk mengunyah yang dikenal sebagai aristotle’s lantern. Anus, lubang genital dan madreporit terletak di sisi aboral.

Klasifikasi bulu babi menurut Heinke dan Schultz (2006) adalah: Filum: Echinodermata

Subfilum: Echinozoa Kelas: Echinoidea Ordo: Cidaroida

Famili: Cidaridae, Psychocidaridae, Histocidaridae Ordo: Echinothuroida

Famili: Echinothuridae Ordo: Diadematoida

Famili: Diadematidae, Micropygidae Ordo: Phymosomatoida

Famili: Glyptocidariidae, Stomopneustidae Ordo: Arbacioida

Famili: Arbaciidae Ordo: Temnopleuroida Famili: Temnopleuridae Ordo: Echinoida

Famili: Echinidae, Parechinidae, Echinometridae, Strongylocentrotidae,

Toxopneustidae

Ordo: Clypeasteroida

Famili: Clypeasteridae, Arachnoididae, Laganiidae, Rotulidae, Echinarachniidae, Dendrasteridae, Mellitidae Ordo: Spatangoida

Famili: Spatangidae, Mycrasteridae, Brissidae, Loveniidae, Schizasteridae, Pericosmidae, Asterostomatidae Ordo: Holectypoida

Famili: Echinoneidae Ordo: Cassiduloida

Famili: Cassidulidae, Apatopygidae, Echinolampadidae Ordo: Holasteroida


(27)

13

Habitat, Distribusi dan Tingkah Laku Bulu Babi

Bulu babi hidup pada ekosistem terumbu karang dan ekosistem lamun. Di ekosistem terumbu karang bulu babi tersebar di zona pertumbuhan algae dan zona lamun. Bulu babi ini dapat ditemui mulai dari daerah intertidal sampai ke kedalaman 10 m (Aziz 1993), bahkan ditemukan juga bulu babi hingga kedalaman 5000 m (Suwignyo et al. 2005). Bulu babi juga lebih menyukai perairan yang jernih dan airnya relatif tenang (Radjab 2004).

Bulu babi sebagai salah satu biota penghuni padang lamun, kerap kali ditemukan di daerah padang lamun campuran. Kondisi ini terutama disebabkan karena bulu babi tergantung kepada berbagai jenis lamun dari marga Thalassia,

Syringodium, Thalassodendron, dan Cymodocea. Selain itu bulu babi juga lebih menyukai substrat yang agak keras, dimana substrat padang lamun campuran terutama terdiri dari campuran pasir dan pecahan karang. Bulu babi yang menempati padang lamun dapat hidup mengelompok seperti Diadema setosum,

D. Antilarrum, Tripneustes gratilla, T. ventricosus, Lytechinus variegatus,

Temnopleurus toreumaticus dan Strongilocentrotus spp. maupun yang cenderung hidup menyendiri seperti Mespilia globulus, Toxopneustes pileolus, Pseudoboletia maculata dan Echinotrix diadema (Aziz 1994a). Ditambahkan, bulu babi marga

Tripneustes, Lytechinus dan Temnopleurus lebih sering dijumpai di padang lamun dibandingkan dengan di daerah terumbu karang.

Penyebaran lokal bulu babi sangat tergantung pada faktor habitat dan makanan yang terdapat di sekeliling biota tersebut (de Beer 1990). Pada umumnya masing-masing jenis memiliki habitat yang spesifik, seperti

Tripneustes gratilla sering ditemukan di daerah berpasir atau pasir lumpur yang banyak ditumbuhi lamun dengan kedalaman antara 0.5 m sampai dengan 20 m (Radjab 2004). Mellita quinquisperforata merupakan salah satu komponen penting di komunitas pantai berpasir (Tavares & Borzone 2006). Hingga kini, tercatat kurang lebih 151 jenis fauna Echinoidea yang terdiri dari 93 genus dan 34 famili dijumpai di perairan Laut Banda dan sekitarnya. Fauna Echinoidea yang dijumpai di wilayah ini tersebar mulai dari perairan dangkal hingga kedalaman 2250 m (Aziz 1999b). Penyebaran dan kepadatan beberapa jenis bulu babi di perairan Indonesia ditampilkan dalam tabel di bawah ini.


(28)

Tabel 2. Kepadatan beberapa jenis bulu babi di Kepulauan Indonesia

Jenis Lokasi Kepadatan Sumber

Tripneustes gratilla Bali 1-60/50m2 Darsono & Sukarno (1993)

Tripneustes gratilla Padaido 0.003-0.021/m2 Radjab (2004)

Diadema setosum Padaido 0.001-0.002/m2 Radjab (2004)

Brissus latecarinatus Padaido 0.010/m2 Radjab (2004)

Heterocentrotus mammilatus Padaido 0.001/m2 Radjab (2004)

Echinometra mathaei Padaido 0.008/m2 Radjab (2004)

Protoreaster gratiosa Padaido 0.001/m2 Radjab (2004) Echinoidea Spermonde 0.17-0.61/m2 de Beer (1990) Echinoidea Bunaken 0.17-0.61/m2 Rondo (1992)

Menurut Aziz (1987), kelompok bulu babi regularia baik yang menyendiri ataupun mengelompok, hidup bebas mencari makan secara aktif, berpindah dari satu rumpun ke rumpun algae lainnya. Aktifitas makan ini terutama dilakukan pada malam hari. Sementara itu, kelompok bulu babi iregularia baik sand dollar, heart urchin ataupun sea biscuit hidup dengan makan sisa-sisa organik yang terkandung dalam lumpur (deposit feeders). Hewan ini hidup membenamkan diri dalam lumpur atau pasir halus dan secara pasif mengumpulkan jasad-jasad renik dan sisa organik yang tertangkap oleh duri-durinya terutama pada sisi aboral, atau memperoleh makanan dengan cara menelan pasir yang ada pada medium di sekitarnya.

Selanjutnya, kebiasaan bulu babi jenis tertentu untuk hidup mengelompok seperti pada marga Diadema dan Strongylocentrotus ternyata mempunyai pengaruh negatif terhadap komunitas algae dan lamun (Aziz 1987). Dari penelitian yang dilakukan di Teluk Mukkaro Washington, Paina dan Vadas (1969)

dalam Aziz (1987) dilaporkan bahwa apabila semua bulu babi Strongylocentrotus

disingkirkan pada luas areal tertentu pada kedalaman 0-6 m, akan terlihat algae dari marga Hedophyllum menjadi predominan. Hal yang sama juga terlihat pada kedalaman sampai 8 m dimana kelp dari marga Laminaria akan menjadi predominan setelah bulu babi disingkirkan. Selain itu, Scheibling (1984) juga melaporkan bahwa meningkatnya populasi bulu babi Strongylocentrotus droebachiensis telah mengakibatkan rusaknya padang kelp (kelp beds) di Nova Scotia.


(29)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan selama bulan Juli hingga Oktober 2008 di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku. Lokasi penelitian dibagi dalam 4 (empat) stasiun dimana masing-masing stasiun terletak di Pantai Utra (Tenggara Hatta), Pantai Polo (Timur Hatta), Pantai Bakereij (Utara Hatta), dan Pantai Ujung Paser (Barat Hatta). Posisi stasiun penelitian selengkapnya ditampilkan dalam Gambar 4.

Gambar 4. Peta lokasi penelitian

Alat dan Bahan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain rol meter, petak kuadrat, sedimen core, kantong plastik, alat tulis, buku identifikasi lamun (Philips & Menez 1988) dan buku identifikasi bulu babi (Colin & Arneson 1995) serta bahan pengawet formalin 4%. Peralatan yang digunakan dalam pengukuran parameter kualitas air selengkapnya ditampilkan dalam Tabel 3.

Prosedur Penelitian

Evaluasi terhadap tipologi padang lamun dilakukan melalui penggambaran terhadap distribusi, kerapatan dan penutupan jenis lamun yang diperoleh dengan menggunakan metode transek linear kuadrat berdasarkan petunjuk


(30)

English et al. (1994). Lokasi penelitian dibagi dalam 4 (empat) stasiun pengamatan dimana setiap stasiun terdiri atas 3 (tiga) substasiun yang dipasang sejajar garis pantai. Substasiun A berada pada daerah lamun bagian belakang, substasiun B pada daerah lamun bagian tengah dan substasiun C pada daerah lamun bagian depan (Gambar 5).

Tabel 3. Parameter fisik kimia perairan dan metode pengukurannya

Parameter Unit Alat/Metode Keterangan

Suhu oC Termometer/Pemuaian in situ Salinitas ppt Refraktometer/Refraksi in situ

pH - pH indikator in situ

Kekeruhan NTU Turbidimeter lab Kec. Arus m/det Floating Dradge/Lagrangian in-situ Pasut/Topografi cm Palm tide & water pass in situ

DO mg/l DO meter in situ

Nitrat mg/l Spektrofotometer/Spektrofotometri lab Fosfat mg/l Spektrofotometer/Spektrofotometri lab Tipe substrat % Saringan bertingkat/Wentworth lab

Substasiun A Substasiun B Substasiun C

Gambar 5. Ilustrasi pengambilan contoh lamun dan bulu babi dengan transek kuadrat

Pengamatan terhadap komunitas bulu babi dilakukan dalam 3 (tiga) petak kuadrat pada setiap substasiun, dengan ukuran kuadrat 2.5 m x 10 m. Pengamatan terhadap komunitas lamun dilakukan dalam 6 (enam) petak kuadrat pada setiap substasiun dengan ukuran kuadrat 0.5 m x 0.5 m dan setiap petak kuadrat tersebut


(31)

17

dibagi dalam grid-grid berukuran 0.1 m x 0.1 m. Pengamatan terhadap komunitas dilakukan dalam kuadrat pengamatan bulu babi. Untuk keperluan analisis keterkaitan antara bulu babi dan lamun, hasil pengmatan pada setiap kuadrat dikonversi ke dalam satuan individu per meter kuadrat (ind/m2). Selanjutnya, pada setiap substasiun pengamatan dilakukan pengukuran terhadap kondisi fisik kimia air yang meliputi suhu, salinitas, pH, kekeruhan, kecepatan arus, DO, nitrat, fosfat, dan tipe substrat.

Pengamatan tingkah laku bulu babi (aktivitas merumput) terhadap lamun dilakukan secara langsung (alam) dan tidak langsung (akuarium). Pengamatan secara langsung dilakukan dengan menempatkan kurungan berukuran 25 cm x 25 cm x 50 cm sebanyak 8 buah di padang lamun yang telah dihitung jumlah tegakannya. Kemudian, setiap kurungan tersebut dimasukkan 1 individu bulu babi dan diamati kecepatan makan bulu babi tersebut hingga lamun yang terdapat dalam kurungan tersebut habis. Pengamatan tak langsung (akuarium) dilakukan dengan memelihara 4 individu bulu babi dalam akuarium yang berbeda selama 12 hari, dan diberi makan daun lamun yang telah diketahui berat awalnya. Setiap 24 jam, lamun yang tersisa ditimbang beratnya untuk mengetahui bobot lamun yang dimakan bulu babi per hari.

Gambar 6. Ilustrasi kurungan pengamatan langsung aktivitas merumput bulu babi (A), pengamatan tak langsung aktivitas merumput bulu babi di akuarium (B).

(B) (A)


(32)

Analisis Data Komunitas Lamun

Keanekaragaman, keseragaman dan dominansi jenis

Indeks keanekaragaman (H’) merupakan penggambaran terhadap keadaan suatu populasi organisme secara matematis sehingga mempermudah menganalisis informasi jenis dan jumlah individu setiap jenis yang menyusun suatu komunitas. Penghitungan keanekaragaman jenis ini dilakukan dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener yang didasarkan pada logaritma basis dua (Krebs 1989) dengan formula:

=

=

s

i i i

p

log

p

'

H

1 2

dimana H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener

pi = ni/N

ni = jumlah individu jenis ke-i

N = jumlah total individu seluruh jenis s = jumlah jenis

dengan kriteria (Brower et al. 1990):

H’ < 3.322 = Keanekaragaman rendah 3.322 < H’ < 9.966 = Keanekaragaman sedang H’ > 9.966 = Keanekaragaman tinggi

Nilai indeks keseragaman (E) digunakan untuk menggambarkan komposisi individu tiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas, yang dihitung dengan menggunakan petunjuk Krebs (1989), sebagai berikut:

max

H

'

H

E

=

dimana: E = indeks keseragaman

H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wienner Hmax = log2 S

S = jumlah jenis dengan kriteria:

0.00 < E < 0.50 = komunitas tertekan 0.50 < E < 0.75 = komunitas labil 0.75 < E < 1.00 = komunitas stabil


(33)

19

Nilai indeks dominasi (C) digunakan untuk menggambarkan ada tidaknya dominansi suatu jenis dalam suatu komunitas, yang dihitung dengan menggunakan indeks dominasi Simpson (Magurran 1988), sebagai berikut:

=

=

s

i

pi

C

1 2

dimana: C = indeks dominansi Simpson

pi = ni/N

ni = jumlah individu jenis ke-i

N = jumlah total individu seluruh jenis s = jumlah jenis

dengan kriteria:

0.00 < C < 0.50 = dominansi rendah 0.50 < C < 0.75 = dominansi sedang 0.75 < C < 1.00 = dominansi tinggi

Kerapatan jenis dan kerapatan relatif jenis lamun

Kerapatan jenis lamun adalah jumlah total individu atau tegakan lamun dalam suatu unit area yang dihitung berdasarkan petunjuk English et al. (1994) sebagai berikut :

A

ni

Di

=

dimana: Di = kerapatan jenis ke-i (ind/m2)

ni = jumlah total individu jenis ke-i (ind.) A = luas area total pengambilan contoh (m2)

Kerapatan relatif jenis lamun adalah perbandingan kerapatan mutlak jenis ke-i dan jumlah kerapatan seluruh jenis, dihitung berdasarkan petunjuk English et al. (1994) sebagai berikut :

100

x

D

Di

RDi

=

dimana: RDi = kerapatan relatif jenis ke-i Di = kerapatan jenis ke-i (ind/m2)

ΣD = jumlah kerapatan seluruh jenis (ind/m2 )


(34)

Frekuensi jenis dan frekuensi relatif jenis lamun

Frekuensi jenis lamun adalah peluang ditemukannya jenis ke-i dalam suatu petak contoh terhadap seluruh petak contoh yang diamati, dihitung berdasarkan petunjuk English et al. (1994) sebagai berikut:

=

P

Pi

Fi

dimana: Fi = frekuensi jenis ke-i

Pi = jumlah petak contoh ditemukannya jenis ke-i ΣP = jumlah total petak contoh yang diamati

Frekuensi relatif jenis lamun adalah perbandingan frekuensi jenis ke-i dengan jumlah total frekuensi jenis, dihitung berdasarkan petujuk English et al. (1994) sebagai berikut :

100

x

F

Fi

RFi

=

dimana: RFi = frekuensi relatif jenis ke-i Fi = frekuensi jenis ke-i

ΣF = jumlah total frekuensi jenis

Penutupan jenis dan penutupan relatif jenis lamun

Perhitungan penutupan jenis lamun dilakukan berdasarkan petunjuk Saito dan Atobe (1970), diacu dalam English et al. (1994) sebagai berikut:

(

)

∑ ∑

=

fi fi x Mi Ci

dimana: Ci = penutupan jenis ke-i

Mi = persentase nilai tengah kelas ke-i

fi = frekuensi (jumlah tutupan kotak-kotak kecil dari jenis ke-i, yang dominan)

Σf = jumlah total frekuensi jenis ke-i

Penutupan relatif jenis lamun adalah perbandingan antara penutupan jenis ke-i dengan jumlah total penutupan seluruh jenis.

100

x

C

Ci

RCi

=

dimana; RCi = penutupan relatif jenis ke-i Ci = penutupan jenis ke-i ΣC = jumlah total penutupan


(35)

21

Indeks nilai penting jenis lamun

Indeks nilai penting digunakan untuk menghitung dan menduga peranan jenis ke-i dalam suatu komunitas. Semakin tinggi Indeks Nilai Penting jenis ke-i maka semakin tinggi jenis ke-i di dalam komunitas dan sebaliknya (Brower et al. 1990) :

RCi

RFi

RDi

IVi

=

+

+

dimana: IVi = indeks nilai penting jenis ke-i RDi = kerapatan relatif jenis ke-i RFi = frekuensi relatif jenis ke-i RCi = penutupan relatif jenis-ke-i

Komunitas Bulu Babi Echinoidea

Keanekaragaman, keseragaman dan dominansi jenis

Formula perhitungan nilai indeks keanekaragam, keseragaman dan dominansi jenis bulu babi dilakukan dengan menggunakan formula sebagaimana yang digunakan terhadap komunitas lamun.

Pola Penyebaran

Pola penyebaran bulu babi dalam suatu komunitas dihitung dengan menggunakan Indeks Penyebaran Morisita (Poole 1974), sebagai berikut:

(

1

)

2

=

N

N

N

x

n

I

d

dimana: Id = indeks penyebaran Morisita n = jumlah plot

N = jumlah total individu dalam total n plot

x2 = kuadrat jumlah individu per plot untuk total n plot dengan kriteria, jika:

Id = 1, maka pola penyebaran acak Id = 0, maka pola penyebaran merata

Id = n, maka pola penyebaran mengelompok

Selanjutnya, untuk mendeterminasi signifikansi pola penyebaran yang diperoleh, dilakukan uji khi-kuadrat (χ2) pada selang kepercayaan 95% (α=0.05) dengan formula:

N N

X n

=

2 2


(36)

Sebaran Karakteristik Biofisik-Kimia

Untuk menentukan sebaran karakteristik biofisik-kima perairan, digunakan pendekatan sidik peubah ganda melalui Analisis Komponen Utama (Principal

Component Analysis) dengan menggunakan pengukuran jarak Euklidean (jumlah

kuadrat beda antar individu untuk variabel yang berkoresponden) dengan rumus (Legendre & Legendre 1983; Bengen 2000) :

=

− = p

j

j i

ij X

X i

i d

1

2 ' 2(, ') ( )

dimana: i,i’ = dua baris

j = indeks pada kolom (bervariasi dari 1 hingga p)

Analisis Komponen Utama (PCA) ini merupakan metode statistik interdependen yang bertujuan yang bertujuan mempresentasikan informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data dalam bentuk grafik. Matriks data ini terdiri dari stasiun pengamatan sebagai individu statistik pada baris dan parameter biofisik-kimia air sebagai variabel kuantitatif pada kolom.

Keterkaitan antara Komunitas Lamun dan Populasi Bulu Babi

Evaluasi keterkaitan antara komunitas lamun dan populasi bulu babi di lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan Analisis Faktorial Koresponden (Correspondence Analysis) (Bengen 2000), yang didasarkan pada matriks data i baris (kerapatan lamun, kepadatan bulu babi) dan j kolom (stasiun) dimana kepadatan bulu babi atau kerapatan lamun kei-i untuk stasiun ke-j terdapat pada baris ke-i dan kolom ke-j. Matriks datanya merupakan tabel kontigensi kerapatan jenis bulu babi x stasiun pengamatan dan tabel kontigensi kerapatan jenis lamun x stasiun pengamatan.

Matriks yang sama dievaluasi pula kerapatan jenis dalam menentukan sebaran kepadatan bulu babi. Evaluasi terhadap variabel tersebut dilakukan dengan cara memasukkannya sebagai variabel asosiatif. Matriks datanya merupakan tabel kontigensi kepadatan bulu babi x kerapatan jenis lamun.

Analisis ini merupakan suatu analisis komponen utama ganda dengan pengukuran jarak khi-kuadrat. Analisis Faktorial Koresponden ini tidak menghasilkan dua grafik yang independen tapi hanya satu grafik unik dimana baris dan kolom dipresentasekan pada grafik yang sama. Pengukuran kemiripan


(37)

23

antara dua baris dan dua kolom dilakukan melalui pengukuran jarak khi-kuadrat dengan persamaan:

j i

j i p

j

i

ij X X X X

X i

i

d ( , ') ( / / )2 /

' ' 1

2 =

=

dimana: d2 = jarak khi-kuadrat

Xi = jumlah dari baris i untuk keseluruhan kolom j Xj = jumlah dari kolom j untuk keseluruhan baris i

Pengelompokan stasiun yang diperoleh dari Analisis Faktorial Koresponden, selanjutnya dikonfirmasi dengan klasifikasi hierarki (Cluster Analysis) yang diwujudkan dalam bentuk dendogram (Bengen 2000).


(38)

Kondisi Lokasi Penelitian

Kepulauan Banda adalah gugusan kepulauan oseanik yang terletak kurang lebih pada 04 31’ S dan 129 54’BT di laut Banda – Indonesia Timur, dengan panjang garis pantai ± 84.81 km dan diperkirakan memiliki luas padang lamun mencapai 3.1 km2 (David et al. 2002). Ditambahkan bahwa, lamun di daerah ini umumnya terbatas (localized) dengan jarak 150 m dari pantai dan lebar sampai dengan 500 m sepanjang pantai.

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan pada empat stasiun di Pulau Hatta yang merupakan salah satu pulau yang terletak di sebelah tenggara Kepulauan Banda. Stasiun 1 terletak di Pantai Utra (Tenggara Hatta), stasiun 2 di Pantai Polo (Timur Hatta), stasiun 3 di Pantai Bakereij (Utara Hatta) dan stasiun 4 di Pantai Ujung Paser (Barat Hatta). Panjang garis pantai Pulau Hatta mencapai ± 9.5 km dengan garis pantai potensial yang ditumbuhi lamun ± 3.1 km. Tipe substrat di lokasi penelitian umumnya didominasi oleh sedimen pasir. Perbandingan komposisi sedimen antar stasiun penelitian ditampilkan dalam gambar di bawah ini.

Ket:

KS=kerikil sedang, K=kerikil, PSK=pasir sangat kasar, PAK=pasir kasar, PS=pasir sedang, PH=pasir halus, PSH=pasir sangat halus, LMP=lumpur.

0.45 2.58 5.47 8.12 20.76 37.03 22.23 3.35 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 100.0

KS K PSK PAK PS PAH PSH LMP -2.5 -1.5 -0.5 0.5 1.5 2.5 3.5 4.5

Nilai Tengah Kategori Ukuran Butiran Sedimen (φ)

Pe r se n ta se Bo b o t (%)

0.00 0.60 5.17 7.96 15.74 37.77 29.10 3.66 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 100.0

KS K PSK PAK PS PAH PSH LMP -2.5 -1.5 -0.5 0.5 1.5 2.5 3.5 4.5

Nilai Tengah Kategori Ukuran Butiran Sedimen (φ)

P e r se n ta se Bo b o t (%) 3.68 8.83 14.39 22.99 23.94 16.57 8.09 1.51 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 100.0

KS K PSK PAK PS PAH PSH LMP -2.5 -1.5 -0.5 0.5 1.5 2.5 3.5 4.5

Nilai Tengah Kategori Ukuran Butiran Sedimen (φ)

P e r se n ta se Bo b o t (%) 3.52 8.60 13.67 24.79 27.39 15.81 5.08 1.13 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 100.0

KS K PSK PAK PS PAH PSH LMP -2.5 -1.5 -0.5 0.5 1.5 2.5 3.5 4.5

Nilai Tengah Kategori Ukuran Butiran Sedimen (φ)

P ersen ta se B o b o t (% )


(39)

25

Tipe substrat seperti yang ditampilkan dalam Gambar 7 dan Lampiran 1, menunjukkan bahwa pantai tenggara dan pantai timur Pulau Hatta umumnya didominasi oleh pasir halus dengan rata-rata diameter ukuran butiran sebesar 0.231 mm dan 0.211 mm, sementara tipe substrat pada pantai utara dan pantai barat adalah pasir kasar dengan rata-rata diameter ukuran butiran sebesar 0.524 mm dan 0.554 mm.

Tenggara Hatta Timur Hatta

Utara Hatta Barat Hatta

Stasiun 1 (Tenggara Hatta) 0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 K eda la ma n ( m )

Stasiun 2 (Timur Hatta) 0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 Ke d al am an ( m )

Stasiun 3 (Utara Hatta) 0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 K eda la m an ( m )

Stasiun 4 (Barat Hatta) 0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0

Jarak dari Pantai (m)

Ke da la ma n ( m )

0 20 40 60 80 100 120 140 160 Pasang tertinggi

Surut terendah


(40)

Topografi pantai di lokasi penelitian (Gambar 8 dan Lampiran 2) umumnya landai, dengan derajat kemiringan pada pantai tenggara hingga pantai barat sebesar 1.504o, 1.509o, 1.495o, dan 1.491o. Pasang surut yang terjadi di wilayah ini adalah tipe campuran yang condong ke harian ganda (mixed tide prevailing semi diurnal) dimana pergerakan air pasang dan surut masing-masing terjadi dua kali sehari dengan tinggi dan periode yang berbeda (Lampiran 3).

Hasil pengukuran rata-rata parameter fisik-kimia perairan Pulau Hatta seperti yang ditampilkan dalam Tabel 4 dan Lampiran 4 menunjukkan kisaran nilai yang relatif kecil. Suhu perairan berkisar antara 28-29.3 oC, salinitas berkisar antara 30.2-31.2 ppt, pH antara 7.5-8.0, kekeruhan antara 0.39-0.96 NTU, kecepatan arus antara 0.05-0.12 m/det, oksigen terlarut antara 5.38-6.96 mg/l, nitrat antara 0.04-0.67 mg/l, fosfat antara 0.29-0.34 mg/l.

Tabel 4. Nilai rata-rata parameter fisik kimia di padang lamun Pulau Hatta

Stasiun Parameter

Fisik Kimia Tenggara Hatta Timur Hatta Utara Hatta Barat Hatta

Suhu (oC) 28.8 28.5 29.3 28.0

Salinitas (ppt) 30.5 31.1 31.2 30.2

pH 7.5 8.0 7.5 7.5

Kekeruhan (NTU) 0.71 0.96 0.60 0.39 Kec. Arus (m/det) 0.09 0.05 0.06 0.12 DO (mg/l) 6.61 5.97 5.38 6.96 Nitrat (mg/l) 0.04 0.67 0.52 0.11

Fosfat (mg/l) 0.34 0.29 0.31 0.29

Hasil ini menunjukkan bahwa nilai parameter fisik kimia yang terukur di perairan Pulau Hatta berada dalam kisaran standar baku mutu bagi biota laut yang disarankan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51/MENLH/2004, dimana suhu perairan berkisar antara 28-32oC, salinitas tertinggi 34o/oo, pH antara 6.5-8.5, kekeruhan <5 mg/l, oksigen terlarut (DO) > 5 mg/l.

Vegetasi Lamun di Pulau Hatta

Tipe vegetasi lamun yang umum dijumpai di Pulau Hatta adalah vegetasi campuran (mixed seagrass beds), dan terlihat adanya asosiasi antara dua atau tiga jenis lamun pada beberapa titik pengambilan contoh. Di Pulau Hatta terdapat 7 (tujuh) jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis (famili Hydrocharitaceae), Cymocea rotundata, Syringodium isoetifolium,


(41)

27

Halodule uninervis dan Thalassodendron ciliatum (famili Potamogetonaceae). Lamun Thalassodendron ciliatum yang dijumpai di Pulau Hatta berada pada daerah yang lebih dalam, di luar area pengamatan.

Berdasarkan Gambar 9, kerapatan rata-rata jenis lamun di Pulau Hatta berkisar antara 3.85-296.89 teg/m2, dengan kerapatan tertinggi diwakili Thalassia hemprichii (296.89±31.74 teg/m2), Halodule uninervis (249.33±81.75 teg/m2),

Syringodium isoetifolium (123.67±61.97 teg/m2), Cymodocea rotundata

(113.11±50.11 teg/m2), Enhalus acoroides (48.22±16.73 teg/m2) dan terendah

Halophila ovalis (3.85±1.86 teg/m2). Kerapatan lamun pada pantai tenggara didominasi Thalassia dan Cymodocea, pantai timur dan utara didominasi

Thalassia dan Halodule, dan pantai barat didominasi Thalassia, Syringodium dan

Halodule. Ea T h Cr Cr Cr Cr Si Si Si Si Hu Hu Hu Ea Ea Ea T h T h T h

T ot al

T ot al

T ot al

T ot al

0 200 400 600 800

Ket: Cr=Cymodocea rotundata, Si=Syringodium isoetifolium, Hu=Halodule uninervis, Ho=Halophila ovalis, Ea=Enhalus acoroides, Th=Thalassia hemprichii.

Gambar 9. Perbandingan kerapatan rata-rata jenis lamun di Pulau Hatta (x ± SE) Penutupan relatif jenis lamun seperti yang ditampilkan dalam Gambar 10 dan Lampiran 6 memperlihatkan bahwa pada pantai tenggara dan pantai timur penutupan lamun didominasi oleh Thalassia hemprichii dengan penutupan relatif mencapai 64.13%, pada pantai utara didominasi oleh Thalassia hemprichii dan

Halodule uninervis dengan penutupan relatif sebesar 41.84% dan 35.19%

sementara pada pantai barat, lamun Thalassia dan Cymodocea rotundata

mendominasi tutupan sebesar 37.24% dan 23.16%.

1000 1200 400 K e r a pa ta n J e n is ( te g /m 2 ) 1

C r 226.67 51.56 9.33 164.89

Si 24.89 11.11 203.56 255.11

Hu 0.00 105.78 388.89 253.33

Ho 0.00 1.78 2.22 7.56

Ea 72.89 80.44 26.67 12.89

Th 272.44 220.44 330.67 364.00

Total 596.89 471.11 961.33 1057.78


(42)

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Pe

nut

upa

n R

e

la

ti

f

Th 22.39 20.33 23.64 24.71

Ea 3.17 3.84 1.79 0.73

Ho 0.00 0.03 0.04 0.28

Hu 0.00 5.03 19.88 12.99

Si 0.71 0.28 10.77 12.29

C r 12.48 2.19 0.37 15.37

Te nggara Hatta Ti mur Hatta Utara Hatta Barat Hatta

Penutupan Jenis

Ket: Cr=Cymodocea rotundata, Si=Syringodium isoetifolium, Hu=Halodule uninervis, Ho=Halophila ovalis, Ea=Enhalus acoroides, Th=Thalassia hemprichii.

Gambar 10. Perbandingan penutupan rata-rata jenis lamun di Pulau Hatta

Secara keseluruhan, penutupan rata-rata jenis lamun di Pulau Hatta didominasi oleh Thalassia hemprichii (22.77%), kemudian Halodule uninervis

(12.63%), Cymodocea rotundata (7.60%), Syringodium isoetifolium (6.01%),

Enhalusacoroides (2.38%), dan terendah Halophila ovalis (0.12%).

Sesuai Gambar 9 dan 10, kerapatan dan penutupan lamun di Pulau Hatta umumnya didominasi Thalassia hemprichii, Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata. Tingginya kerapatan dan penutupan Thalassia hemprichii berkaitan dengan kemampuan adaptasinya terhadap tipe substrat pasir halus hingga pasir kasar yang umumnya dijumpai di Pulau Hatta. Kondisi ini sejalan dengan laporan den Hartog (1970) bahwa Thalassia hemprichii hidup dalam semua jenis substrat, bervariasi dari pecahan karang hingga substrat lunak.

Keberadaan Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata di Pulau Hatta juga sejalan dengan laporan Tomascik et al. (1997) yang menyebutkan bahwa

Halodule uninervis lebih banyak hidup pada pasir halus hingga kasar di zona intertidal dan subtidal, dan Cymodocea rotundata hidup pada daerah dangkal yang tertutup pasir karang dan mempunyai toleransi yang tinggi pada daerah terbuka (tidak terendam air).


(43)

29

Lamun Syringodium isoetifolium memiliki nilai kerapatan dan penutupan yang lebih rendah dibanding Thalassia, Halodule dan Cymodocea. Kondisi ini terjadi karena jenis ini hanya mampu mentoleransi kekeringan dalam waktu singkat (Phillips & Menez 1998), dan biasanya ditemukan di antara lamun lain yang dominan (den Hartog 1970). Enhalus acoroides, walaupun mampu beradaptasi terhadap berbagai tipe substrat, di Pulau Hatta, jenis ini memiliki kerapatan dan penutupan yang relatif lebih rendah. Kondisi ini berkaitan dengan kedalaman dan topografi perairan Pulau Hatta yang landai sehingga lebih banyak area padang lamun yang terbuka saat surut, akibatnya jenis ini hanya tersebar pada padang lamun yang saat surut masih terendam air.

Lamun Halophila ovalis yang memiliki nilai kerapatan dan penutupan terendah di keempat stasiun penelitian, ditemukan secara bersama-sama dengan

Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium dengan Thalassia hemprichii sesuai dengan yang dikemukakan oleh Brazier (1975), diacu dalam Philips dan Menez (1988) bahwa keempat marga lamun ini membentuk "Asosiasi Thalassia" yang terutama ditemui pada perairan tropis. Selain itu, Nienhuis et al. (1991) juga menyebutkan bahwa jenis ini sering terlihat sebagai jenis pembuka yang mendiami substrat pasir.

Peranan masing-masing jenis lamun di lokasi penelitian ditunjukkan dengan Indeks Nilai Penting (INP). Perbandingan indeks nilai penting lamun antar stasiun penelitian di Pulau Hatta selengkapnya ditampilkan dalam Gambar 11.

Hasil perhitungan Indeks Nilai Penting seperti yang ditampilkan dalam Gambar 11 dan Lampiran 6 menunjukkan bahwa Thalassia hemprichii memiliki nilai penting tertinggi (105.16-143.56) mulai dari stasiun 1 (Tenggara Hatta) hingga stasiun 4 (Barat Hatta). Hal ini berarti, secara ekologis Thalassia hemprichii memiliki peranan yang paling penting terhadap struktur komunitas lamun di Pulau Hatta. Setelah Thalassia hemprichii, Cymodoce rotundata juga memiliki peran penting (67.70-100.87) di Tenggara Hatta dan Barat Hatta , dan


(44)

Gambar 11. Perbandingan indeks nilai penting jenis lamun di lokasi penelitian Ket:

Th=Thalassia hemprichii, Ea=Enhalus acoroides, Ho=Halophila ovalis, Hu=halodule uninervis, Si=Syringodium isoetifolium, Cr=Cymodocea rotundata

Cr, 100.87 Th, 143.58

Si, 13.72 Ea, 41.82

Hu, 50.30

Ho, 1.00 Ea, 56.85

Si, 7.49 Cr, 32.22

Th, 152.14

Si, 56.29 Cr, 5.58

Hu, 107.99 Ho, 1.05

Ea, 13.34 Th, 115.74

Th, 105.16 Cr, 67.70

Si, 56.04 Ea, 6.08

Ho, 3.01 Hu, 62.02

Struktur Komunitas dan Pola Penyebaran Lamun di Pulau Hatta

Hasil perhitungan nilai indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dominansi (C), dan pola penyebaran (Id) lamun di Pulau Hatta ditampilkan dalam tabel berikut.

Tabel 5. Nilai struktur komunitas dan pola penyebaran lamun di Pulau Hatta Stasiun

Tenggara Hatta Timur Hatta Utara Hatta Barat Hatta Struktur Komunitas

1A 1B 1C 2A 2B 2C 3A 3B 3C 4A 4B 4C Jumlah Individu (Ind.) 1896 1800 1676 1504 1372 1364 2808 3372 2472 4868 3960 692 Keanekaragaman (H’) 1.362 1.671 1.697 1.443 1.423 1.340 0.598 1.839 1.276 1.388 1.596 0.509 Keseragaman (E) 0.859 0.836 0.849 0.621 0.711 0.670 0.598 0.711 0.805 0.598 0.687 0.321 Dominansi (C) 0.418 0.353 0.352 0.460 0.452 0.486 0.752 0.317 0.443 0.431 0.410 0.830 Pola Penyebaran (Id) 1.053 1.025 1.008 1.087 1.070 1.003 1.030 1.173 1.640 1.134 1.257 1.322 Cymodocea rotundata 1.585 1.156 1.065 2.196 3.000 3.000 3.000 0.000 3.000 1.580 1.520 Syringodium isoetifolium 1.181 1.313 3.000 3.000 3.000 1.927 1.667 Halodule uninervis 1.498 1.082 1.396 0.000 1.380 3.000 Halophila ovalis 3.000 3.000 0.000 3.000 Enhalus acoroides 1.495 1.008 1.034 3.000 1.101 1.057 3.000 1.928 3.000 2.087 3.000 Thalassia hemprichii 1.034 1.002 1.045 3.000 1.091 1.026 1.095 1.598 1.191 1.169 1.469 3.000


(45)

31

Stasiun 1 (Tenggara Hatta)

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 Ke da la m an ( m )

Stasiun 3 (Utara Hatta)

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 K eda la m an ( m )

Stasiun 2 (Timur Hatta)

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 Ked al am an ( m )

Stasiun 4 (Barat Hatta)

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0

Jarak dari Pantai (m)

Ked al am an ( m )

0 20 40 60 80 100 120 140 160

Ho Hu

Th Ea Cr

Si

Ket: Ho=Halophila ovalis, Hu=Halodule uninervis, Cr=Cymodocea rotundata, Th=Thalassia hemprichii, Ea=Enhalus acoroides, Si=Syringodium isoetifolium.

Gambar 12. Ilustrasi sebaran spasial lamun di Pulau Hatta

Pasang tertinggi

Surut terendah

Substasiun A

Substasiun B


(46)

Keanekaragaman jenis lamun yang dijumpai di lokasi penelitian umumnya rendah (H’ < 3.322). Hal ini terjadi karena selain jumlah jenis lamun yang relatif sedikit, juga karena proporsi jumlah tegakan antar jenis yang menyusun komunitas tersebut relatif memiliki rentang yang lebar. Selain itu, adanya asosiasi antara dua atau tiga jenis pada beberapa titik pengamatan sepertinya turut berkontribusi terhadap nilai keanekaragaman ini. Walaupun demikian, keseragaman jenis (E) di setiap stasiun relatif mendekati 1 (0.598-0.859) kecuali pada substasiun 4C (0.321), dengan dominansi jenis (C) yang relatif mendekati 0 (0.352-0.752), kecuali spada substasiun 4C (0.830). Hal ini menandakan bahwa komunitas lamun di Pulau Hatta berada dalam kondisi yang relatif stabil dengan dominansi jenis yang rendah.

Pola penyebaran lamun di Pulau Hatta umumnya mengelompok dengan nilai Id berkisar antara 1.003-1.640. Perhitungan pola penyebaran dari setiap jenis lamun (Tabel 5 dan Lampiran 7) juga menghasilkan nilai pola penyebaran (Id) yang lebih besar dari 1 dengan nilai χ2 hitung > χ2

tabel sehingga setiap jenis lamun yang dijumpai di Pulau Hatta menyebar mengelompok. Sesuai Gambar 12, sebaran kerapatan lamun berdasarkan kedalaman relatif sama kecuali pada stasiun barat Hatta dimana kerapatan lamun berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini berkaitan dengan tingginya kerapatan Halodule uninervis di daerah dekat daratan.

Sebaran Karakteristik Fisik-kimia Padang Lamun di Pulau Hatta

Analisis komponen utama untuk mengkaji sebaran karakteristik fisik-kimia padang lamun di Pulau Hatta dilakukan terhadap suhu, salinitas, pH, kekeruhan, kecepatan arus, oksigen terlarut, nitrat, fosfat, dan tipe substrat (pasir kasar, pasir sedang dan pasir halus) sebagai variabel aktif serta variabel suplemen berupa kerapatan jenis lamun dan kepadatan jenis bulu babi. Analisis ini memunculkan empat sumbu utama yang merepresentasikan 86.68% informasi dari ragam total. Akar ciri dan persentase ragam dari masing-masing sumbu berturut-turut sebesar 4.536 (37.80%), 2.810 (23.42%), 1.567 (13.06%), dan 1.49 (12.41%).

Berdasarkan Gambar 13A dan Lampiran 8, pembentukan sumbu 1 positif diwakili oleh kekeruhan (TUR) dan pasir halus (PAH) dengan kontribusi 92.96% dan 58.82%, pembentukan sumbu 1 negatif diwakili oleh kecepatan arus (KEA), pasir sedang (PS), dan pasir kasar (PAK) dengan kontribusi 78.25%, 57.31%, dan


(47)

33

48.49%. Sumbu 2 positif dibentuk oleh oksigen terlarut (DO) dengan kontribusi 63.98%, sementara sumbu 2 negatif dibentuk oleh salinitas (SAL) dan suhu (SUH) dengan kontribusi 49.94% dan 44.54%. Sumbu 3 negatif dibentuk oleh fosfat (FOS) dan pH (PH) dengan kontribusi 51.55% dan 38.62% dan pembentukan sumbu 4 negatif diwakili oleh nitrat (NIT) dan kedalaman (KED) dengan kontribusi 41.23% dan 24.04%.

A B

Ket: SUH=suhu, SAL=salinitas, PH=pH, NIT=nitrat, FOS=fosfat, DO=oksigen terlarut, KEA=kec. arus, TUR=kekeruhan, PAH=pasir halus, PAS=pasir sedang, PAK=pasir kasar, TH=Thalassia hemprichii, EA=Enhalus acoroides, HO=Halophila ovalis, HU=halodule uninervis, SI=Syringodium isoetifolium, CR=Cymodocea rotundata, Tg=Tripneustes gratilla, Tp=Toxopneustes pileolus, Ds=Diadema setosum, Ed=Echinotrix diadema, Em=Echinometra mathaei, 1A - 4C = stasiun 1 substasiun 1 – stasiun 4 substasiun 3.

Gambar 13. Grafik analisis komponen utama karakteristik fisik-kimia padang lamun Pulau Hatta. A) Lingkaran korelasi variabel fisik-kimia pada sumbu utama 1 dan 2; B) Sebaran stasiun penelitian pada sumbu utama 1 dan 2

Matriks korelasi antara parameter fisik-kimia sebagai variabel aktif dan kerapatan jenis lamun serta kapadatan jenis bulu babi sebagai variabel suplemen memperlihatkan adanya korelasi antara beberapa parameter fisik-kimia perairan. Kekeruhan (TUR) berkorelasi positif dengan pasir halus (PAH), oksigen terlarut (DO) berkorelasi positif dengan kecepatan arus (KEA). Kondisi substrat pasir sedang (PS) dan pasir kasar (PAK) juga berkorelasi positif dengan kecepatan arus (KEA). Selain itu terlihat adanya korelasi positif antara suhu (SUH) dan salinitas (SAL).

Berdasarkan variabel suplemen, lamun Enhalus acoroides (EA) berkorelasi dengan pasir halus (PAH) dan kekeruhan (TUR), Cymodoce rotundata (CR) berkorelasi positif dengan kecepatan arus (KEA) dan Oksigen terlarut (DO),


(48)

ovalis (HO) berkorelasi negatif dengan kedalaman (KED), Syringodium isoetifolium (SI) berkorelasi positif dengan pasir kasar (PK), dan Thalassia hemprichii (TH)cenderung berasosiasi dengan keadaan lingkungan yang dicirikan dengan oksigen terlarut (DO), kecepatan arus (KEA), pasir sedang (PS) dan pasir kasar (PAK) yang tinggi. Gambar 13A dan Lampiran 8 juga menunjukkan bahwa bulu babi Tripneustes gratilla (TG), Diadema setosum (DS), Echinotrix diadema

(D) dan Echinometra mathaei (EM) berkorelasi positif dengan kedalaman (KED), sementara Toxopneustes pileolus (TP) cenderung berkorelasi positif dengan kecepatan arus (KEA) dan berkorelasi negatif dengan kekeruhan (TUR). Adanya korelasi positif antara bulu babi dengan kedalaman ini diduga berkaitan dengan tingkah laku bulu babi yang cenderung menghindari cahaya (fototaxis negatif) serta penghindarannya terhadap keadaan yang terbuka ketika air surut.

Sebaran stasiun pengamatan berdasarkan kondisi biofisik padang lamun di Pulau Hatta (Gambar 13B) memperlihatkan bahwa stasiun timur Hatta umumnya dicirikan oleh kekeruhan, pasir halus dan kerapatan Enhalus acoroides yang tinggi. Stasiun tenggara Hatta umumnya dicirikan oleh oksigen terlarut yang tinggi, sementara stasiun utara Hatta dan barat Hatta umumnya dicirikan dengan kecepatan arus, pasir sedang dan pasir kasar. Kerapatan jenis lamun serta kepadatan jenis bulu babi yang tinggi cenderung berasosiasi dengan stasiun ini.

4C 4B 3C 3B 4A 3A 1C 1B 2C 2B 2A 1A

0 5 10 15 20 25

Jarak Eukl

id

ean

2.75 4.19 3.97 5.71 3.57

3.04 7.5 8.03

13.79

15.79 21.69

Kel. 1 Kel. 2 Kel. 3 Kel. 4

8.18

Ket: 1A, 1B, 1C = stasiun 1; 2A, 2B, 2C = stasiun 2; 3A, 3B, 3C = stasiun 3; 4A, 4B, 4C = stasiun 4

Gambar 14. Dendogram klasifikasi hierarki stasiun pengamatan berdasarkan parameter fisik-kimia padang lamun Pulau Hatta


(49)

35

Sesuai Gambar 13B, sebaran karakteristik fisik-kimia perairan yang selanjutnya diverifikasi dengan analisis kelompok (cluster analysis) berdasarkan jarak euklidean (Gambar 14) menunjukkan adanya 4 (empat) kelompok stasiun. Kelompok pertama terdiri dari stasiun utara Hatta (3B, 3C) dan barat Hatta (4B, 4C) yang dicirikan dengan kecepatan arus, persentase pasir sedang serta oksigen terlarut yang tinggi, kelompok kedua terdiri dari stasiun utara Hatta (3A) dan barat Hatta (4A) yang dicirikan dengan suhu dan salinitas yang tinggi. Kelompok ketiga adalah stasiun tenggara Hatta (1C), dan kelompok keempat terdiri dari stasiun tenggara Hatta (1B, 1C) dan stasiun timur Hatta (2A, 2B, 2C) yang dicirikan dengan persentase pasir halus serta kekeruhan yang lebih tinggi

Struktur Komunitas dan Pola Penyebaran Bulu Babi di Pulau Hatta

Bulu babi yang dijumpai di padang lamun Pulau Hatta terdiri dari 5 (lima) jenis yaitu Tripneustes gratilla, Toxopneustes pileolus, Diadema setosum,

Echinotrix diadema, dan Echinometra mathaei. Kelima jenis bulu babi ini berasal dari famili Toxopneustidae (Tripneustes gratilla dan Toxopneustes pileolus), famili Diadematidae (Diadema setosum dan Echinotrix diadema), dan famili Echinometridae (Echinometra mathaei).

T p T g

T g

T g

T g

T p T p T p

Ds Ds Ds Ds Ed Ed Ed Ed Em Em Em Em T ot al

T ot al

T ot al

T ot al

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 K e pa da ta n J e ni s ( ind/ 2 5 m 2 ) )

Tg 5.89 4.89 4.22 5.33

Tp 0.22 0.22 0.44 1.22

Ds 1.78 2.00 1.22 1.67

Ed 3.11 2.00 1.67 2.78

Em 0.89 0.67 0.89 1.33

Total 11.89 9.78 8.44 12.33

Te n ggara Hatta Ti mu r Hatta Utara Hatta Barat Hatta

Ket: Tg=Tripneustes gratilla, Tp=Toxopneustes pileolus, Ds=Diadema setosum, Ed=Echinotrix diadema, Em=Echinometra mathaei.

x


(1)

Lampiran 14. Hasil Analisis Faktorial Koresponden (CA) Bulu Babi terhadap

Komunitas Lamun

a) Akar Ciri, persentase ragam, kualitas representase dan kontribusi relatif

variabel pada sumbu faktorial

Sumbu Faktorial Akar Ciri (Eigenvalue)

Sumbu 1 Sumbu 2

Nilai 0.11972 0.03532

Ragam (%) 72.38898 21.35657

Kumulatif Ragam (%) 72.38898 93.74555

Variabel Kode e f g e f g

Tripneustes gratilla TG -0.0928 0.8800 0.0057 0.0319 0.1039 0.0023

Toxopneustes pileolus TP 0.2815 0.1372 0.0054 0.6972 0.8413 0.1124

Diadema setosum DS -0.1136 0.4919 0.0028 -0.0270 0.0277 0.0005

Echinotrix diadema ED -0.1741 0.6256 0.0094 0.1238 0.3164 0.0160

Echinometra mathaei EM 0.0608 0.0639 0.0005 0.2300 0.9149 0.0219

C. rotundata < 113.11 ind/m2 CR1 0.3473 0.6229 0.0897 -0.2665 0.3668 0.1790

C. rotundata 113.11 - 604 ind/m2 CR2 -0.5698 0.6394 0.1364 0.4204 0.3480 0.2517

S. isoetifolium < 123.67 ind/m2 SI1 -0.1356 0.7113 0.0184 -0.0664 0.1704 0.0150

S. isoetifolium 123.67-1532 ind/m2 SI2 0.9571 0.8228 0.1480 0.2785 0.0697 0.0425

H. uninervis < 187 ind/m2 HU1 -0.2426 0.9664 0.0514 0.0404 0.0267 0.0048

H. uninervis 187 - 1176 ind/m2 HU2 0.7924 0.9373 0.1827 -0.1950 0.0568 0.0375

H. ovalis < 2.89 ind/m2 HO1 -0.0260 0.3198 0.0007 -0.0217 0.2241 0.0017

H. ovalis 2.89 - 68 ind/m2 HO2 0.4792 0.6696 0.0223 0.0174 0.0009 0.0001

E. acoroides < 48.22 ind/m2 EA1 0.5374 0.8499 0.1680 0.2253 0.1494 0.1001

E. acoroides 48.22 - 148 ind/m2 EA2 -0.5052 0.7871 0.1485 -0.2623 0.2121 0.1356

T. hemprichii < 296.89 ind/m2 TH1 -0.0577 0.0774 0.0024 -0.1304 0.3946 0.0410

T. hemprichii 296.89 - 1112 ind/m2 TH2 0.1322 0.1785 0.0079 0.1573 0.2529 0.0380

Stasiun Pengamatan e f g e f g

Tenggara Hatta 1 -0.4751 0.9531 0.4808 -0.0237 0.0024 0.0041 Timur Hatta 2 -0.0850 0.1187 0.0149 -0.1793 0.5277 0.2246 Utara Hatta 3 0.4909 0.9190 0.4864 -0.1165 0.0517 0.0928 Barat Hatta 4 0.0916 0.0809 0.0180 0.3056 0.9009 0.6786

Keterangan :

e = kordinat

f = kosinus kuadrat (kualitas representase)


(2)

Lampiran 14. lanjutan

b) Matriks kontigensi kerapatan lamun dan kepadatan bulu babi dengan stasiun

pengamatan

Jenis Lamun (ind/m2) Jenis Bulu Babi (ind/m2) Stasiun

CR SI HU HO EA TH TG TP DS ED EM 1A 294.67 0.00 0.00 0.00 61.33 276.00 0.20 0.01 0.00 0.09 0.00

1B 217.33 34.67 0.00 0.00 78.67 269.33 0.25 0.00 0.03 0.07 0.04

1C 168.00 40.00 0.00 0.00 78.67 272.00 0.25 0.01 0.19 0.21 0.07

2A 84.00 0.00 317.33 5.33 6.67 88.00 0.17 0.00 0.01 0.01 0.00

2B 44.00 14.67 0.00 0.00 118.67 280.00 0.16 0.00 0.01 0.04 0.03

2C 26.67 18.67 0.00 0.00 116.00 293.33 0.25 0.03 0.21 0.19 0.05

3A 0.00 0.00 800.00 0.00 0.00 136.00 0.07 0.01 0.00 0.03 0.00

3B 28.00 238.67 366.67 6.67 28.00 456.00 0.20 0.01 0.01 0.03 0.01

3C 0.00 372.00 0.00 0.00 52.00 400.00 0.24 0.03 0.13 0.15 0.09

4A 96.00 0.00 709.33 22.67 6.67 788.00 0.17 0.09 0.01 0.05 0.07

4B 189.33 765.33 50.67 0.00 14.67 300.00 0.24 0.01 0.04 0.05 0.01


(3)

Lampiran 15. Dokumentasi hasil penelitian

Jenis-jenis Lamun di Pulau Hatta

Enhalus acoroides

Thalassia hemprichii

Halophila ovalis

Cymodocea rotundata

Syringodium isoetifolium


(4)

Lampiran 15. Lanjutan

Jenis-jenis Bulu Babi di Padang Lamun Pulau Hatta

Tripneustes gratilla

Echinotrix diadema

Toxopneustes pileolus


(5)

Lampiran 15. lanjutan

Lokasi Pengambilan Data

Pantai Tenggara Hatta

Pantai Timur Hatta

Pantai Barat Hatta

Pantai Utara Hatta


(6)