23.64 Ea 3.84 C r 4.22 1.22 Ed 2.00 Total 9.78 12.33

28 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Pe nut upa n R e la ti f Th 22.39

20.33 23.64

24.71 Ea

3.17 3.84

1.79 0.73

Ho 0.00

0.03 0.04

0.28 Hu

0.00 5.03

19.88 12.99

Si 0.71

0.28 10.77

12.29 C r

12.48 2.19

0.37 15.37

Te nggara Hatta Ti mur Hatta Utara Hatta Barat Hatta Penutupan Jenis Ket : Cr=Cymodocea rotundata, Si=Syringodium isoetifolium, Hu=Halodule uninervis, Ho=Halophila ovalis, Ea=Enhalus acoroides, Th=Thalassia hemprichii. Gambar 10. Perbandingan penutupan rata-rata jenis lamun di Pulau Hatta Secara keseluruhan, penutupan rata-rata jenis lamun di Pulau Hatta didominasi oleh Thalassia hemprichii 22.77, kemudian Halodule uninervis 12.63, Cymodocea rotundata 7.60, Syringodium isoetifolium 6.01, Enhalus acoroides 2.38, dan terendah Halophila ovalis 0.12. Sesuai Gambar 9 dan 10, kerapatan dan penutupan lamun di Pulau Hatta umumnya didominasi Thalassia hemprichii, Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata . Tingginya kerapatan dan penutupan Thalassia hemprichii berkaitan dengan kemampuan adaptasinya terhadap tipe substrat pasir halus hingga pasir kasar yang umumnya dijumpai di Pulau Hatta. Kondisi ini sejalan dengan laporan den Hartog 1970 bahwa Thalassia hemprichii hidup dalam semua jenis substrat, bervariasi dari pecahan karang hingga substrat lunak. Keberadaan Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata di Pulau Hatta juga sejalan dengan laporan Tomascik et al. 1997 yang menyebutkan bahwa Halodule uninervis lebih banyak hidup pada pasir halus hingga kasar di zona intertidal dan subtidal, dan Cymodocea rotundata hidup pada daerah dangkal yang tertutup pasir karang dan mempunyai toleransi yang tinggi pada daerah terbuka tidak terendam air. 29 Lamun Syringodium isoetifolium memiliki nilai kerapatan dan penutupan yang lebih rendah dibanding Thalassia, Halodule dan Cymodocea. Kondisi ini terjadi karena jenis ini hanya mampu mentoleransi kekeringan dalam waktu singkat Phillips Menez 1998, dan biasanya ditemukan di antara lamun lain yang dominan den Hartog 1970. Enhalus acoroides, walaupun mampu beradaptasi terhadap berbagai tipe substrat, di Pulau Hatta, jenis ini memiliki kerapatan dan penutupan yang relatif lebih rendah. Kondisi ini berkaitan dengan kedalaman dan topografi perairan Pulau Hatta yang landai sehingga lebih banyak area padang lamun yang terbuka saat surut, akibatnya jenis ini hanya tersebar pada padang lamun yang saat surut masih terendam air. Lamun Halophila ovalis yang memiliki nilai kerapatan dan penutupan terendah di keempat stasiun penelitian, ditemukan secara bersama-sama dengan Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium dengan Thalassia hemprichii sesuai dengan yang dikemukakan oleh Brazier 1975, diacu dalam Philips dan Menez 1988 bahwa keempat marga lamun ini membentuk Asosiasi Thalassia yang terutama ditemui pada perairan tropis. Selain itu, Nienhuis et al. 1991 juga menyebutkan bahwa jenis ini sering terlihat sebagai jenis pembuka yang mendiami substrat pasir. Peranan masing-masing jenis lamun di lokasi penelitian ditunjukkan dengan Indeks Nilai Penting INP. Perbandingan indeks nilai penting lamun antar stasiun penelitian di Pulau Hatta selengkapnya ditampilkan dalam Gambar 11. Hasil perhitungan Indeks Nilai Penting seperti yang ditampilkan dalam Gambar 11 dan Lampiran 6 menunjukkan bahwa Thalassia hemprichii memiliki nilai penting tertinggi 105.16-143.56 mulai dari stasiun 1 Tenggara Hatta hingga stasiun 4 Barat Hatta. Hal ini berarti, secara ekologis Thalassia hemprichii memiliki peranan yang paling penting terhadap struktur komunitas lamun di Pulau Hatta. Setelah Thalassia hemprichii, Cymodoce rotundata juga memiliki peran penting 67.70-100.87 di Tenggara Hatta dan Barat Hatta , dan Halodule uninervis 107.99 di Utara Hatta. 30 Gambar 11. Perbandingan indeks nilai penting jenis lamun di lokasi penelitian Ket: Th=Thalassia hemprichii, Ea=Enhalus acoroides, Ho=Halophila ovalis, Hu=halodule uninervis, Si=Syringodium isoetifolium, Cr=Cymodocea rotundata Cr, 100.87 Th, 143.58 Si, 13.72 Ea, 41.82 Hu, 50.30 Ho, 1.00 Ea, 56.85 Si, 7.49 Cr, 32.22 Th, 152.14 Si, 56.29 Cr, 5.58 Hu, 107.99 Ho, 1.05 Ea, 13.34 Th, 115.74 Th, 105.16 Cr, 67.70 Si, 56.04 Ea, 6.08 Ho, 3.01 Hu, 62.02 Struktur Komunitas dan Pola Penyebaran Lamun di Pulau Hatta Hasil perhitungan nilai indeks keanekaragaman H’, keseragaman E, dominansi C, dan pola penyebaran Id lamun di Pulau Hatta ditampilkan dalam tabel berikut. Tabel 5. Nilai struktur komunitas dan pola penyebaran lamun di Pulau Hatta Stasiun Tenggara Hatta Timur Hatta Utara Hatta Barat Hatta Struktur Komunitas 1A 1B 1C 2A 2B 2C 3A 3B 3C 4A 4B 4C Jumlah Individu Ind. 1896 1800 1676 1504 1372 1364 2808 3372 2472 4868 3960 692 Keanekaragaman H’ 1.362 1.671 1.697 1.443 1.423 1.340 0.598 1.839 1.276 1.388 1.596 0.509 Keseragaman E 0.859 0.836 0.849 0.621 0.711 0.670 0.598 0.711 0.805 0.598 0.687 0.321 Dominansi C 0.418 0.353 0.352 0.460 0.452 0.486 0.752 0.317 0.443 0.431 0.410 0.830 Pola Penyebaran Id 1.053 1.025 1.008 1.087 1.070 1.003 1.030 1.173 1.640 1.134 1.257 1.322 Cymodocea rotundata 1.585 1.156 1.065 2.196 3.000 3.000 3.000 0.000 3.000 1.580 1.520 Syringodium isoetifolium 1.181 1.313 3.000 3.000 3.000 1.927 1.667 Halodule uninervis 1.498 1.082 1.396 0.000 1.380 3.000 Halophila ovalis 3.000 3.000 0.000 3.000 Enhalus acoroides 1.495 1.008 1.034 3.000 1.101 1.057 3.000 1.928 3.000 2.087 3.000 Thalassia hemprichii 1.034 1.002 1.045 3.000 1.091 1.026 1.095 1.598 1.191 1.169 1.469 3.000 31 Stasiun 1 Tenggara Hatta 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 Ke da la m an m Stasiun 3 Utara Hatta 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 K eda la m an m Stasiun 2 Timur Hatta 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 Ked al am an m Stasiun 4 Barat Hatta 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 Jarak dari Pantai m Ked al am an m 20 40 60 80 100 120 140 160 Ho Hu Th Ea Cr Si Ket: Ho=Halophila ovalis, Hu=Halodule uninervis, Cr=Cymodocea rotundata, Th=Thalassia hemprichii, Ea=Enhalus acoroides, Si=Syringodium isoetifolium. Gambar 12. Ilustrasi sebaran spasial lamun di Pulau Hatta Pasang tertinggi Surut terendah Substasiun A Substasiun B Substasiun C 32 Keanekaragaman jenis lamun yang dijumpai di lokasi penelitian umumnya rendah H’ 3.322. Hal ini terjadi karena selain jumlah jenis lamun yang relatif sedikit, juga karena proporsi jumlah tegakan antar jenis yang menyusun komunitas tersebut relatif memiliki rentang yang lebar. Selain itu, adanya asosiasi antara dua atau tiga jenis pada beberapa titik pengamatan sepertinya turut berkontribusi terhadap nilai keanekaragaman ini. Walaupun demikian, keseragaman jenis E di setiap stasiun relatif mendekati 1 0.598-0.859 kecuali pada substasiun 4C 0.321, dengan dominansi jenis C yang relatif mendekati 0 0.352-0.752, kecuali spada substasiun 4C 0.830. Hal ini menandakan bahwa komunitas lamun di Pulau Hatta berada dalam kondisi yang relatif stabil dengan dominansi jenis yang rendah. Pola penyebaran lamun di Pulau Hatta umumnya mengelompok dengan nilai Id berkisar antara 1.003-1.640. Perhitungan pola penyebaran dari setiap jenis lamun Tabel 5 dan Lampiran 7 juga menghasilkan nilai pola penyebaran Id yang lebih besar dari 1 dengan nilai χ 2 hitung χ 2 tabel sehingga setiap jenis lamun yang dijumpai di Pulau Hatta menyebar mengelompok. Sesuai Gambar 12, sebaran kerapatan lamun berdasarkan kedalaman relatif sama kecuali pada stasiun barat Hatta dimana kerapatan lamun berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini berkaitan dengan tingginya kerapatan Halodule uninervis di daerah dekat daratan. Sebaran Karakteristik Fisik-kimia Padang Lamun di Pulau Hatta Analisis komponen utama untuk mengkaji sebaran karakteristik fisik-kimia padang lamun di Pulau Hatta dilakukan terhadap suhu, salinitas, pH, kekeruhan, kecepatan arus, oksigen terlarut, nitrat, fosfat, dan tipe substrat pasir kasar, pasir sedang dan pasir halus sebagai variabel aktif serta variabel suplemen berupa kerapatan jenis lamun dan kepadatan jenis bulu babi. Analisis ini memunculkan empat sumbu utama yang merepresentasikan 86.68 informasi dari ragam total. Akar ciri dan persentase ragam dari masing-masing sumbu berturut-turut sebesar 4.536 37.80, 2.810 23.42, 1.567 13.06, dan 1.49 12.41. Berdasarkan Gambar 13A dan Lampiran 8, pembentukan sumbu 1 positif diwakili oleh kekeruhan TUR dan pasir halus PAH dengan kontribusi 92.96 dan 58.82, pembentukan sumbu 1 negatif diwakili oleh kecepatan arus KEA, pasir sedang PS, dan pasir kasar PAK dengan kontribusi 78.25, 57.31, dan 33 48.49. Sumbu 2 positif dibentuk oleh oksigen terlarut DO dengan kontribusi 63.98, sementara sumbu 2 negatif dibentuk oleh salinitas SAL dan suhu SUH dengan kontribusi 49.94 dan 44.54. Sumbu 3 negatif dibentuk oleh fosfat FOS dan pH PH dengan kontribusi 51.55 dan 38.62 dan pembentukan sumbu 4 negatif diwakili oleh nitrat NIT dan kedalaman KED dengan kontribusi 41.23 dan 24.04. A B Ket: SUH=suhu, SAL=salinitas, PH=pH, NIT=nitrat, FOS=fosfat, DO=oksigen terlarut, KEA=kec. arus, TUR=kekeruhan, PAH=pasir halus, PAS=pasir sedang, PAK=pasir kasar, TH=Thalassia hemprichii, EA=Enhalus acoroides, HO=Halophila ovalis, HU=halodule uninervis, SI=Syringodium isoetifolium, CR=Cymodocea rotundata , Tg=Tripneustes gratilla, Tp=Toxopneustes pileolus, Ds=Diadema setosum, Ed=Echinotrix diadema, Em=Echinometra mathaei, 1A - 4C = stasiun 1 substasiun 1 – stasiun 4 substasiun 3. Gambar 13. Grafik analisis komponen utama karakteristik fisik-kimia padang lamun Pulau Hatta. A Lingkaran korelasi variabel fisik-kimia pada sumbu utama 1 dan 2; B Sebaran stasiun penelitian pada sumbu utama 1 dan 2 Matriks korelasi antara parameter fisik-kimia sebagai variabel aktif dan kerapatan jenis lamun serta kapadatan jenis bulu babi sebagai variabel suplemen memperlihatkan adanya korelasi antara beberapa parameter fisik-kimia perairan. Kekeruhan TUR berkorelasi positif dengan pasir halus PAH, oksigen terlarut DO berkorelasi positif dengan kecepatan arus KEA. Kondisi substrat pasir sedang PS dan pasir kasar PAK juga berkorelasi positif dengan kecepatan arus KEA. Selain itu terlihat adanya korelasi positif antara suhu SUH dan salinitas SAL. Berdasarkan variabel suplemen, lamun Enhalus acoroides EA berkorelasi dengan pasir halus PAH dan kekeruhan TUR, Cymodoce rotundata CR berkorelasi positif dengan kecepatan arus KEA dan Oksigen terlarut DO, Halodule uninervis HU berkorelasi positif dengan pasir sedang PS, Halophila 34 ovalis HO berkorelasi negatif dengan kedalaman KED, Syringodium isoetifolium SI berkorelasi positif dengan pasir kasar PK, dan Thalassia hemprichii TH cenderung berasosiasi dengan keadaan lingkungan yang dicirikan dengan oksigen terlarut DO, kecepatan arus KEA, pasir sedang PS dan pasir kasar PAK yang tinggi. Gambar 13A dan Lampiran 8 juga menunjukkan bahwa bulu babi Tripneustes gratilla TG, Diadema setosum DS, Echinotrix diadema D dan Echinometra mathaei EM berkorelasi positif dengan kedalaman KED, sementara Toxopneustes pileolus TP cenderung berkorelasi positif dengan kecepatan arus KEA dan berkorelasi negatif dengan kekeruhan TUR. Adanya korelasi positif antara bulu babi dengan kedalaman ini diduga berkaitan dengan tingkah laku bulu babi yang cenderung menghindari cahaya fototaxis negatif serta penghindarannya terhadap keadaan yang terbuka ketika air surut. Sebaran stasiun pengamatan berdasarkan kondisi biofisik padang lamun di Pulau Hatta Gambar 13B memperlihatkan bahwa stasiun timur Hatta umumnya dicirikan oleh kekeruhan, pasir halus dan kerapatan Enhalus acoroides yang tinggi. Stasiun tenggara Hatta umumnya dicirikan oleh oksigen terlarut yang tinggi, sementara stasiun utara Hatta dan barat Hatta umumnya dicirikan dengan kecepatan arus, pasir sedang dan pasir kasar. Kerapatan jenis lamun serta kepadatan jenis bulu babi yang tinggi cenderung berasosiasi dengan stasiun ini. 4C 4B 3C 3B 4A 3A 1C 1B 2C 2B 2A 1A 5 10 15 20 25 Jarak Eukl id ean 2.75 4.19 3.97 5.71 3.57 3.04 7.5 8.03 13.79 15.79 21.69 Kel. 1 Kel. 2 Kel. 3 Kel. 4 8.18 Ket: 1A, 1B, 1C = stasiun 1; 2A, 2B, 2C = stasiun 2; 3A, 3B, 3C = stasiun 3; 4A, 4B, 4C = stasiun 4 Gambar 14. Dendogram klasifikasi hierarki stasiun pengamatan berdasarkan parameter fisik-kimia padang lamun Pulau Hatta 35 Sesuai Gambar 13B, sebaran karakteristik fisik-kimia perairan yang selanjutnya diverifikasi dengan analisis kelompok cluster analysis berdasarkan jarak euklidean Gambar 14 menunjukkan adanya 4 empat kelompok stasiun. Kelompok pertama terdiri dari stasiun utara Hatta 3B, 3C dan barat Hatta 4B, 4C yang dicirikan dengan kecepatan arus, persentase pasir sedang serta oksigen terlarut yang tinggi, kelompok kedua terdiri dari stasiun utara Hatta 3A dan barat Hatta 4A yang dicirikan dengan suhu dan salinitas yang tinggi. Kelompok ketiga adalah stasiun tenggara Hatta 1C, dan kelompok keempat terdiri dari stasiun tenggara Hatta 1B, 1C dan stasiun timur Hatta 2A, 2B, 2C yang dicirikan dengan persentase pasir halus serta kekeruhan yang lebih tinggi Struktur Komunitas dan Pola Penyebaran Bulu Babi di Pulau Hatta Bulu babi yang dijumpai di padang lamun Pulau Hatta terdiri dari 5 lima jenis yaitu Tripneustes gratilla, Toxopneustes pileolus, Diadema setosum, Echinotrix diadema , dan Echinometra mathaei. Kelima jenis bulu babi ini berasal dari famili Toxopneustidae Tripneustes gratilla dan Toxopneustes pileolus, famili Diadematidae Diadema setosum dan Echinotrix diadema, dan famili Echinometridae Echinometra mathaei. T p T g T g T g T g T p T p T p Ds Ds Ds Ds Ed Ed Ed Ed Em Em Em Em T ot al T ot al T ot al T ot al 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 K e pa da ta n J e ni s ind 2 5 m 2 Tg 5.89

4.89 4.22

5.33 Tp

0.22 0.22

0.44 1.22

Ds 1.78

2.00 1.22

1.67 Ed

3.11 2.00

1.67 2.78

Em 0.89

0.67 0.89

1.33 Total

11.89 9.78

8.44 12.33

Te n ggara Hatta Ti mu r Hatta Utara Hatta Barat Hatta Ket : Tg=Tripneustes gratilla, Tp=Toxopneustes pileolus, Ds=Diadema setosum, Ed=Echinotrix diadema, Em=Echinometra mathaei. x Gambar 15. Kepadatan rata-rata jenis bulu babi di Pulau Hatta ± SE 36 Kepadatan bulu babi di Pulau Hatta berkisar antara 8.44-12.33 ind25m 2 dengan kepadatan jenis tertinggi diwakili oleh Tripneustes gratilla 4.22-5.89 ind25m 2 , Echinotrix diadema 1.67-3.11 ind25m 2 , dan Diadema setosum 1.67-2.00 indm 2 . Tingginya kepadatan Tripneustes gratilla di lokasi ini diduga berkaitan dengan ketersediaan makanan yang cukup lamun Thalassia hemprichii dan kondisi substrat yang didominasi oleh sedimen berpasir yang lebih disukai oleh bulu babi jenis ini. Tabel 6. Nilai struktur komunitas dan pola penyebaran bulu babi di Pulau Hatta Stasiun Struktur Tenggara Hatta Timur Hatta Utara Hatta Barat Hatta Komunitas 1A 1B 1C 2A 2B 2C 3A 3B 3C 4A 4B 4C Jumlah Individu ind 23 29 55 15 18 55 8 20 48 24 26 54 Keanekaragaman H’ 1.121 1.442 1.970 0.700 1.405 1.999 1.299 1.292 2.085 1.428 1.323 2.101 Keseragaman E 0.483 0.621 0.848 0.301 0.605 0.861 0.559 0.556 0.898 0.615 0.570 0.905 Dominansi C 0.520 0.474 0.277 0.760 0.488 0.275 0.469 0.580 0.260 0.406 0.518 0.255 Pola Penyebaran Id 1.269 0.975 0.980 0.886 0.961 0.996 0.857 0.900 0.960 1.062 0.957 0.969 Tripneustes gratilla 1.400 1.316 1.316 0.923 0.955 1.263 1.800 0.886 0.941 0.885 0.882 1.081 Toxopneustes pileolus 0.000 2.143 Diadema setosum 0.000 1.022 0.925 0.933 1.000 1.145 Echinotrix diadema 1.000 1.200 1.000 1.000 0.923 0.000 0.000 1.145 0.500 0.500 0.904 Echinometra mathaei 0.000 3.000 0.600 0.000 1.000 1.000 0.800 Hasil perhitungan nilai indeks keanekaragaman H’, keseragaman E, dominansi C, dan pola penyebaran Id bulu babi di Pulau Hatta seperti yang ditampilkan dalam Tabel 6 menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis H’ bulu babi pada setiap stasiun di Pulau Hatta menghasilkan nilai yang relatif kecil 1.121-2.101, karenanya status diversitas bulu babi di Pulau Hatta termasuk dalam kategori rendah H’ 3.322. Berdasarkan nilai keseragaman E, komunitas bulu babi pada substasiun 1A dan 2A berada dalam kondisi tertekan, substasiun 1B, 2B, 3A, 3B, 4° dan 4B dalam kondisi labil, sementara pada substasiun 1C, 2C, 3C dan 4C berada status komunitas yang stabil. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas bulu babi yang stabil berada pada daerah yang lebih dalam karena senantiasa tergenang ketika terjadi surut serta berkurangnya penetrasi cahaya matahari. Selain itu, di setiap stasiun penelitian tidak dijumpai adanya dominansi jenis tertentu. 37 ` Stasiun 1 Tenggara Hatta 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 Ke da la m an m Stasiun 3 Utara Hatta 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 K eda la m an m Stasiun 2 Timur Hatta 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 Ked al am an m Stasiun 4 Barat Hatta 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 Jarak dari Pantai m Ked al am an m 20 40 60 80 100 120 140 160 Tp Ds Tg Ed Em Pasang tertinggi Surut terendah Substasiun A Substasiun B Substasiun C Ket: Tg=Tripneustes gratilla, Tp=Toxopneustes pileolus, Ds=Diadema setosum, Ed=Echinotrix diadema, Em=Echinometra mathaei Gambar 16. Ilustrasi sebaran spasial bulu babi di Pulau Hatta 38 Hasil perhitungan indeks penyebaran bulu babi di Pulau Hatta berkisar antara 0.857-1.269 dan setelah dilakukan uji khi-kuadrat ternyata pola penyebaran bulu babi umumnya acak Tabel 6 dan Lampiran 9. Pola penyebaran bulu babi seperti ini didukung oleh pendapat Aziz 1994a bahwa di padang lamun, bulu babi dapat hidup soliter atau hidup mengelompok tergantung pada jenis dan habitatnya. Sesuai Gambar 16, sebaran kepadatan jenis bulu babi di Pulau Hatta menunjukkan adanya peningkatan dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini diduga berkaitan dengan kecenderungan bulu babi untuk menghindari area terbuka ketika surut sehingga lebih banyak bulu babi yang menyebar pada area yang lebih dalam. Kemampuan merumput Tripneustes gratilla terhadap Thalassia hemprichii Bulu babi jenis Tripneustes gratilla memiliki kepadatan yang relatif lebih tinggi dibandingkan keempat jenis bulu babi lainnya yang dijumpai di Pulau Hatta. Menurut Aziz 1994a, jenis ini merupakan salah satu grazer penting di padang lamun. Ditambahkan, makanan utama bulu babi ini adalah lamun Thalassia , Syringodium, Thalassodendron, dan Cymodocea. Aziz 1994b juga menyebutkan bahwa 82.4 isi lambung Tripneustes gratilla adalah Thalassia hemprichii . Pengamatan kemampuan merumput Tripneustes gratilla di Pulau Hatta dikhususkan terhadap Thalassia hemprichii yang merupakan lamun penting di pulau ini. Tabel 7. Kemampuan merumput Tripneustes gratilla terhadap Thalassia hemprichii Kemampuan merumput Bobot No Alami Aquarium Tripneustes gratilla g tegindhari gindhari 1 50.11 13.538 2 52.16 3.000 3 59.73 12.548 4 60.78 2.202 5 87.04 12.290 6 87.65 1.826 7 96.21 1.756 8 97.05 12.262 Rata-rata 2.196 12.660 Hasil pengamatan kemampuan grazing bulu babi seperti yang ditampilkan dalam Tabel 7 dan Lampiran 10 memperlihatkan rata-rata kemampuan grazing Tripneustes gratilla di Pulau Hatta sebesar 12.660 gindhari, hampir sama dengan 39 Kasim 1999 yang menemukan kemampuan grazing Tripenustes gratilla dengan bobot tubuh 51.9-56.2 g sebesar 13.38-14.65 gindhari. Selain itu, terlihat kemampuan grazing lebih tinggi cenderung dilakukan oleh bulu babi dengan bobot tubuh yang lebih kecil. Hasil ini sejalan dengan yang ditemukan Kasim 1999 yang menyebutkan bahwa Tripneustes dengan bobot tubuh yang lebih kecil cenderung rakus karena memerlukan energi yang lebih besar bagi pertumbuhannya. Berdasarkan pengamatan langsung, kemampuan grazing Tripneustes gratilla terhadap Thalassia hemprichii di Pulau Hatta berkisar antara 1.756-3.000 tegindhari dengan daya grazing rata-rata 2.196 tegindhari. Dengan kenyataan bahwa kepadatan rata-rata bulu babi ini sebesar 5.08 ind25m 2 , dan kepadatan rata-rata Thalasiia hemprichii sebesar 296.89 tegm 2 7422.25 teg25m 2 , maka dalam sehari, populasi Tripneustes gratilla yang ada pada padang lamun seluas 25 m 2 menghabiskan 11.16 tegakan Thalassia atau 0.15 tegm 2 hari. Dengan kata lain, populasi Tripneustes gratilla yang ada di Pulau Hatta hanya mampu menghabiskan Thalassia hemprichii sebanyak 0.45 tegm 2 hari. Kondisi ini menandakan bahwa keberadaan populasi Tripneustes gratilla di Pulau Hatta tidak akan mengganggu stabilitas komunitas lamun di pulau ini, sehingga peran padang lamun sebagai produser primer, habitat dari berbagai biota laut, pendaur ulang zat hara dan peredam arus serta perangkap sedimen akan tetap berlangsung. Sebaran Spasial Lamun dan Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda Informasi maksimum sebaran spasial lamun terhadap stasiun penelitian yang dihasilkan dari analisis faktorial koresponden correspondence analysis sebesar 80.68 dari ragam total terpusat pada sumbu faktorial 1 dan 2, dengan akar ciri dan ragam pada masing-masing sumbu sebesar 0.50 48.53 dan 0.33 32.1. Hasil analisis seperti yang ditampilkan dalam Gambar 17 dan Lampiran 12 yang selanjutnya diverifikasi melalui analisis kelompok cluster analysis berdasarkan jarak khi-kuadrat Gambar 18 dan Lampiran 12 menunjukkan adanya 7 tujuh kelompok habitat di lokasi penelitian. Kelompok pertama terdiri dari substasiun 1A, 1B, 1C, 2B, 2C dan 4C, kemudian kelompok 2 2A, kelompok 3 3B, kelompok 4 3C, kelompok 5 3A, kelompok 6 4A, dan kelompok 7 4B. 40 Ket: CR=Cymodocea rotundata, SI=Syringodium isoetifolium, HU=Halodule uninervis, HO=Halophila ovalis, EA=Enhalus acoroides, TH=Thalassia hemprichii; 1A-4C=substasiun Gambar 17. Grafik Analisis Faktorial Koresponden antara stasiun penelitian dan lamun pada sumbu faktorial 1 dan 2 1 1 1 2 2 4 2 3 3 3 4 4 12.0 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 1A 1B 1C 2B 2C 4C 2A 3B 3C 3A 4A 4B 6.59 Khi-kuadrat Kel 1 Kel 2 Kel 3 Kel 4 Kel 5 Kel 6 Kel 7 Gambar 18. Dendogram klasifikasi hierarki stasiun pengamatan berdasarkan kerapatan jenis lamun di Pulau Hatta 41 Berdasarkan hasil di atas, terlihat bahwa Cymodocea rotundata dan Enhalus acoroides lebih banyak menyebar pada tenggara Hatta 1A, 1B, 1C dan timur Hatta 2B, 2C. Kondisi ini terjadi karena Cymodocea rotundata mampu beradaptasi terhadap substrat dan keadaan yang terbuka dari stasiun tenggara, sementara Enhalus acoroides terlihat lebih menyukai perairan dengan substrat yang lebih halus yang disediakan stasiun timur Hatta. Syringodium isoetifolium lebih banyak dijumpai pada substasiun 3C dan 4B, Halodule uninervis dan Halophila ovalis lebih banyak menyebar pada daerah dangkal di timur Hatta 2A, utara Hatta 3A dan barat Hatta 4A, karena komposisi substrat di ketiga substasiun ini lebih didominasi oleh pasir sedang dan pasir kasar disamping kondisi perairannya yang lebih jernih. Sementara itu, Thalassia hemprchii yang berperan penting di padang lamun pulau ini cenderung menyebar merata di setiap stasiun karena kemampuan adaptasinya terhadap berbagai tipe substrat. Ket: TG=Tripneustes gratilla. DS=Diadema setosum, ED=Echinotrix diadema, TP=Toxopneustes pileolus, EM=Echinometra mathaei; 1A-4C=substasiun Gambar 19. Grafik Analisis Faktorial Koresponden antara stasiun penelitian dan bulu babi pada sumbu faktorial 1 dan 2. Hasil analisis faktorial koresponden correspondence analysis sebaran populasi bulu babi di lokasi penelitian seperti yang ditampilkan dalam Gambar 19 dan Lampiran 13 menunjukkan bahwa sebaran bulu babi terpusat pada sumbu 42 faktorial 1 dan 2. Akar ciri dan ragam dari masing-masing sumbu adalah 0.129 53.55 dan 0.083 34.23, dengan informasi maksimum dari kedua sumbu tersebut sebesar 87.78 dari ragam total. Setelah diverifikasi dengan analisis kelompok cluster analysis berdasarkan jarak khi-kuadrat Gambar 20, pada batas penskalaan dendogram 0.40, terlihat adanya 4 empat kelompok substasiun. Kelompok pertama adalah substasiun 1A, 1B, 2A, 2B, 3A, 3B, dan 4B, kelompok ke-2 terdiri dari 1C, 2C, dan 4C, kelompok ke-3 adalah 3C, dan kelompok ke-4 adalah 4A. 2 3 2 4 3 2 4 3 4 0.96 0.80 0.64 0.48 0.32 0.16 0.00 1A 1B 2A 3B 2B 4B 3A 1C 2C 4C 3C 4A 0.40 Khi-kuadrat Kel 1 Kel 2 Kel 3 Kel 4 Gambar 20. Dendogram klasifikasi hierarki stasiun pengamatan berdasarkan kepadatan jenis bulu babi di Pulau Hatta Sesuai Gambar 19 dan 20 terlihat bahwa secara spasial, Diadema setosum, Echinotrix diadema dan Echinometra mathaei cenderung berasosiasi dengan kelompok substasiun yang berdekatan dengan daerah terumbu karang daerah lamun bagian depan, sedangkan Toxopneustes pileolus berasosiasi dengan substasiun A di barat Hatta. Bulu Babi Tripneustes gratilla cenderung berasosiasi dengan dengan kelompok substasiun pertama dimana karakteristik habitat di masing-masing substasiun ini lebih bervariasi baik tipe substrat maupun kedalamannya. 43 Gambar 21. Ilustrasi sebaran spasial lamun dan bulu babi di Pulau Hatta Stasiun 1 Tenggara Hatta 0.0 0.5 1. 1. 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 Ke da la m an m 5 Stasiun 3 Utara Hatta 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 K eda la m an m Stasiun 2 Timur Hatta 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 Ked al am an m Stasiun 4 Barat Hatta 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 Jarak dari Pantai m Ked al am an m 20 40 60 80 100 120 140 160 Pasang tertinggi Surut terendah Th Substasiun A Substasiun B Substasiun C 44 Keterkaitan antara Komunitas Bulu Babi dan Komunitas Lamun di Pulau Hatta, Kepulauan Banda Hasil analisis faktorial koresponden correspondence analysis sebaran populasi bulu babi terhadap beberapa kategori kerapatan jenis lamun di lokasi penelitian seperti yang ditampilkan dalam Gambar 22 dan Lampiran 14 menunjukkan bahwa sebaran bulu babi terpusat pada sumbu faktorial 1 dan 2. Akar ciri dan ragam dari masing-masing sumbu adalah 0.12 72.39 dan 0.04 21.36, dengan informasi maksimum dari kedua sumbu tersebut sebesar 93.75. Dari hasil ini terlihat adanya 3 tiga kelompok stasiun. Kelompok pertama terdiri dari stasiun tenggara Hatta dan timur Hatta, kelompok kedua adalah stasiun utara Hatta, dan kelompok ketiga adalah stasiun barat Hatta. CR1 =C. rotundata 113.11 indm 2 CR2 = C. rotundata 113.11 - 604 indm 2 SI1 = S. isoetifolium 123.67 indm 2 SI2 = S. isoetifolium 123.67-1532 indm 2 HU1 = H. uninervis 187 indm 2 HU2 = H. uninervis 187 - 1176 indm 2 HO1 = H. ovalis 2.89 indm 2 HO2 = H. ovalis 2.89 - 68 indm EA1 = E. acoroides 48.22 indm 2 EA2 = E. acoroides 48.22 - 148 indm 2 TH1 = T. hemprichii 296.89 indm 2 TH2 = T. hemprichii 296.89 - 1112 indm 2 Ket: TG =Tripneustes gratilla. DS =Diadema setosum, ED =Echinotrix diadema, TP =Toxopneustes pileolus, EM =Echinometra mathaei; Gambar 22. Grafik Analisis Faktorial Koresponden antara bulu babi dan kerapatan jenis lamun pada sumbu faktorial 1 dan 2. 45 Berdasarkan Gambar 22, pada kelompok stasiun pertama yang terdiri dari stasiun tenggara Hatta dan timur Hatta terlihat adanya asosiasi antara bulu babi dari jenis Tripneustes gratilla, Diadema setosum dan Echinotrix diadema dengan kategori kerapatan jenis lamun T. hemprichii 296.89 indm 2 , H. uninervis 187 indm 2 , H. ovalis 2.89 indm 2 , dan E. acoroides 48.22-148 indm 2 Sementara itu, kategori kerapatan lamun C. rotundata 113.11 indm 2 , H. ovalis 2.89 - 68 indm 2 dan H. uninervis 187 - 1176 indm 2 cenderung berasosiasi dengan kelompok stasiun kedua utara Hatta dan tidak terlihat adanya bulu babi jenis tertentu yang berasosiasi dengan kategori kerapatan lamun di stasiun ini. Pada kelompok stasiun ketiga barat Hatta bulu babi Echimetra mathaei terlihat berasosiasi dengan kategori kerapatan lamun T. hemprichii 296.89 - 1112 indm 2 , dimana bulu babi Toxopneustes pileolus juga cenderung berasosiasi dengan kelompok stasiun ini. Keterkaitan antara bulu babi dan komunitas lamun seperti yang dihasilkan dari grafik Analisis Faktorial Koresponden Gambar 22 juga menjelaskan bahwa kepadatan bulu babi yang tinggi cenderung dijumpai pada area dengan kerapatan lamun yang lebih rendah sebagaimana yang dijumpai pada stasiun tenggara dan timur Hatta. Hal ini berkaitan dengan peran bulu babi sebagai grazer yang memanfaatkan lamun tidak hanya sebagai tempat berlindung tetapi secara langsung memakan daun lamun. Selain itu, asosiasi yang terlihat antara Echinometra mathaei dan Toxopneustes pileolus dengan T. hemprichii yang lebih padat di barat Hatta sepertinya berkaitan juga dengan kondisi substrat yang lebih kasar serta perairan yang lebih jernih. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Tipe vegetasi lamun di Pulau Hatta adalah vegetasi campuran mixed seagrass beds yang didominasi oleh Thalassia hemprichii baik dalam kerapatan, penutupan, maupun peranan ekologisnya. Padang lamun di Pulau Hatta umumnya didominasi oleh substrat pasir halus dan pasir kasar. 2. Terdapat 5 jenis bulu babi dengan kepadatan jenis tertinggi diwakili oleh Tripneustes gratilla. Bulu babi yang dijumpai umumnya hidup berasosiasi dengan pasir sedang dan pasir kasar. Jenis Diadema setosum, Echinotrix diadema dan Echinometra mathaei cenderung berasosiasi daerah lamun bagian depan yang berdekatan dengan daerah terumbu karang, Toxopneustes pileolus cenderung berasosiasi dengan daerah lamun bersubstrat kasar dan jernih, sementara Tripneustes gratilla terlihat lebih kosmopolit karena dapat dijumpai pada daerah lamun bagian belakang, bagian tengah maupun bagian depan. 3. Keterkaitan antara bulu babi dengan komunitas lamun ditunjukkan dengan adanya kecenderungan bulu babi Tripneustes gratilla, Diadema setosum dan Echinotrix diadema berasosiasi dengan kerapatan jenis lamun T. hemprichii, H. uninervis , H. ovalis yang lebih rendah dan E. acoroides serta C. rotundata yang lebih padat, sementara Toxopneustes pileolus dan Echinometra mathaei cenderung berasosiasi dengan daerah dimana kerapatan T. hemprichii lebih padat. Populasi Tripneustes gratilla yang ada di Pulau Hatta mampu menghabiskan lamun Thalassia hemprichii di habitatnya sebanyak 0.15 tegm 2 hari. Kerapatan lamun cenderung lebih rendah pada area dengan kepadatan bulu babi yang tinggi. Saran Perlu dilakukan penelitian yang secara khusus mengkaji trap eficiency tumbuhan lamun dalam mencegah erosi dan memerangkap sedimen dan dampak aktifitas grazing bulu babi pada kedalaman yang berbeda terhadap trap eficiency ini. Selain itu, sebagai ekosistem penyangga, keberadaan padang lamun patut diperhatikan kelestariannya sehingga fungsinya sebagai pelindung pantai dan terumbu karang di lokasi ini dapat berlangsung maksimal. DAFTAR PUSTAKA Alcovero T, and Mariani S. 2002. Effects of sea urchin grazing on seagrass Thalassodendron ciliatum beds of a Kenyan lagoon. Mar.Ecol.Prog.Ser 226: 255–263. Andamari R, Zubaidi T, dan Subagiyo. 1994. Beberapa aspek biologi bulu babi Tripneustes spp. di Pulau Naira, Kep. Banda. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 94: 23-34. Andrew NL and MacDiarmid AB. 1991. Interrelationships between sea urchins and spiny lobsters in northeastern New Zealand. Marine Ecology Prog.Ser. 70: 211-222. Aziz A. 1987. Makanan dan cara makan berbagai jenis bulu babi. Oseana 124: 91-100. Aziz A. 1993. Beberapa catatan tentang perikanan bulu babi. Oseana 182: 65-75 Aziz A. 1994a. Tingkah laku bulu babi di padang lamun. Oseana 194: 35-43 Aziz A. 1994b. Aktivitas grazing bulu babi jenis Tripneustes gratilla pada padang lamun di pantai Lombok Selatan Dalam: W. Kiswara, M.K. Mosa, M. Hutomo eds.. Struktur komunitas biologi padang lamun di pantai selatan Lombok dan kondisi lingkungannya. P3O-LIPI. Jakarta. Hal 64-70. Aziz A. 1999a. Biologi pakan: Daya grazing, efisiensi asimilasi, preferensi, dan peranan bulu babi di padang lamun. Dalam: Soemodihardjo, S., O.H. Arinardi, I. Aswandy eds.. Dinamika komunitas biologis pada ekosistem lamun di Pulau Lombok, Indonesia. Jakarta: P3O-LIPI. Hal 69-76. Aziz A. 1999b. Fauna ekinodermata Laut Banda. Dalam: Suyarso ed.. Atlas Oseanologi Laut Banda. Jakarta: P3O LIPI. Aziz A. dan Darsono P. 1979. Reproduksi Bulu Babi Diadema setosum Leske di daerah Gugus Pulau Pari Jakarta. Kongres Nasional Biologi IV. Bandung: Perhimpunan Biologi Indonesia. Azkab MH. 2006. Ada apa dengan lamun. Oseana 313: 45-55. Barker MF, Keogh JA, Lawrence JM and Lawrence AL. 1998. Feeding rate, absorption efficiencies, growth and enhancement of gonad production in the New Zealand sea urchin Evechinus chloroticus Valenciennes Echinoidea: Echinometridae fed prepared and natural diets. Journal of Shellfish Research 175: 1583-1590. Barnes DKA, and Crook AC. 2001. Quantifying behavioural determinants of the coastal European sea-urchin Paracentrotus lividus. Marine Biology 138: 1205-1212. Baszary CDU, Sumitro SB, Djati MS, dan Samino S. 2001. Penghambatan pembelahan mikromer sebagai trigger proses awal gastrulasi dengan perlakuan surfaktan pada embrio landak laut Tripneustes gratilla L. Biosain 12: 65-75. Bengen DG. 2000. Sinopsis Teknis Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir . Bogor: PKSPL IPB. 48 Bernstein BB, Williams BE, and Mann KH. 1981. The role of behavioural responses to predators in modifying urchins’ Strongylocentrotus droebachiensis destructive grazing and seasonal foraging patterns. Marine Biology 63: 39-49. Black R, Codd C, Herbert D, Vink S, and Burt J. 1984. The functional significance of the relative size of Aristotle’s lantern in the sea urchin Echinometra mathaei de Blainville. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 77: 81-97. Black R, Johnson MS, and Trendall JT. 1982. Relative size of Aristotle’s lantern in Echinometra mathaei occurring at different densities. Marine Biology 71: 101-106. Brouns JJWM, and Heijs FML. 1991. Seagrass ecosystem in the tropical west Pacific. In: Mathieson, A.C., and P.H. Nienhuis ed.. Ecosystem Of the World 24: Intertidal and littoral ecosystem. Elsevier. 371-390. Brower JE, Zar JH, and von Endo CN. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology . Boulevard-USA: Wm. C. Brown publ. Carpenter RC. 1990a. Mass mortality of Diadema antillarum i. Long-term effects on sea urchin population dynamics and coral reef algal communities. Marine Biology 104: 67-77. Carpenter RC. 1990b. Mass mortality of Diadema antillarum ii. Effects on population densities and grazing intensity of parrotfishes and surgeonfishes. Marine Biology 104: 79-86. Chao SM. 2000. The Iregular Sea Urchin Echinodernata: Echinoids from Taiwan, with Descriptions of Six New Record. Zoological Studies 393: 250-265. Chasanah E, dan Andamari R. 1997. Komposisi kimia, profil asam lemak dan asam amino gonad bulu babi Tripneustes gratilla dan Salmacis sp. dan potensi pengembangannya. Ambon: Seminar Kelautan LIPI-Unhas. Clark AM and Rowe FWE. 1971. Monograph of Shallow-water Indo-West Pacific Echinoderms . No. 690. British Museum. pp. 238. Colin PL and Arneson C. 1995. Tropical Pacific Invertebrates; a Field Guide to the Marine Invertebrates Occurring on Tropical Pacific Coral Reefs, Seagrass Beds and Mangroves . Coral Reef Press, USA. Constable AJ. 1993. The role of sutures in shrinking of the test in Heliocidaris erythrogramma Echinoidea: Echinometridae. Marine Biology 117: 423-430. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, dan Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu . Jakarta: Pradnya Paramita. Darsono P. 1982. Mengenal perikanan bulu babi. Oseana 86:1-8 Darsono P. 1993. Gametogenesis pada bulu babi Diadema setosum Leske di Pulau Pari, Pulau-Pulau Seribu. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 27: 21-31. 49 Darsono P, dan Aziz A. 1979. Beberapa catatan populasi bulu babi Diadema setosum Leske di terumbu Pulau Pari, Pulau-pulau Seribu. Kongres Nasional Biologi IV . . Bandung : Perhimpunan Biologi Indonesia. Darsono P, dan Aziz A. 2000. Percobaan pemberian makan daun lamun pada bulu babi Tripneustes gratilla : Ekhinoidea di laboratorium. Pros. Seminar Nasional Biologi XVI . Bandung: Perhimpunan Biologi Indonesia Darsono P, dan Sukarno. 1993. Beberapa aspek biologi bulu babi Tripneustes gratilla Linnaeus, di Nusa Dua-bali. Oseanologi di Indonesia 26: 13-25. Dartnal JH, and Jones M. 1986. A Manual Survey for Living Resources in Coastal Area . ASEAN-Australia Cooperative Program In Marine Science. AIMS. David L, Nacorda H, Purwadi M, Nasution I, and Fortes M. 2002. Seagrasses of the Banda Islands, Indonesia. In: P.J. Mous ed.. Report on a rapid ecological assessment of the Banda Islands, Maluku, Eastern Indonesia. Jakarta: UNESCO-TNC. De Beer M. 1990. Distribution patterns of regular sea urchins Echinodermata: Echinoidea across the Spermonde Shelf, SW Sulawesi Indonesia. In: De Ridder, Dubois and Jangoux eds, Echinoderm Research, Balkema Rotterdam: 165-169. Den Hartog C. 1970. The Seagrasses of the World. Amsterdam: North Holland publishing co. Den Hartog C. 1977. Structure, function and classification in seagrass communities. In: McRoy, C.P., and C. Helfferich ed.. Seagrasses ecosystem: a scientific perspective. New York: Marcel Dekker, Inc. 89-121 Edwards PB, and Ebert TA. 1991. Plastic responses to limited food availability and spine damage in the sea urchin Strongylocentrotus purpuratus Stimpson. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 145: 205-220. English S, Wilkinson C, and Baker VJ, 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australia: ASEAN-Australia Marine Project. Erftemeijer PLA. 1993. Differences In Nutrient Concentration and Resources Between Seagrasses Communities on Carbonate and Terrigenous Sediments In South Sulawesi In : P.L.A. Erftemeijer Eds.. Factor Limiting Growth and Production of Tropical Seagrasses; Nutrient Dynamics In Indonesia Seagrass Bed. Bulletin of Marine Science. 54 1. Erina Y. 2006. Keterkaitan antara Komposisi Perifiton pada Lamun Enhalus acoroides Linn.F Royle dengan Tipe Substrat Lumpur dan Pasir di Teluk Banten [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Fortes MD. 1990. Seagrass: A Resource Unknown in the ASEAN Regions. ICLARM education series 5. 46p. Greenway M. 1995. Trophic relationships of macrofauna within a Jamaican seagrass meadow and the role of the echinoid Lytechinus variegatus Lamarck. Bulletin of Marine Science 56 3: 719-736. 50 Hart LJ, and Chia FS. 1990. Effect of food supply and body size on the foraging behaviour of the burrowing sea urchin Echinometra mathaei de Blainville. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 135: 99-108. Hayati A. 1998. Pengaruh Cycloheximide dan ZnCl 2 terhadap Proses Differensiasi dan Sintesa Protein pada Perkembangan Embrio Landak Laut Toxopneutes pileolus [tesis]. Malang: Pascasarjana Universitas Brawijaya. Heinke and Schultz P. 2006. Sea urchin, a guide to worldwide shallow water species. 3 rd ed. Germany: Heinke Peter Schultz Scientific Publication. Ikuo H, Yuko I and Kazuya T. 1999.. Development of an experimental system to determine the diel behaviour of creeping animals, with special emphasis on gastropods and sea urchins. Bull. of the Japan Sea National Fisheries Research Institute 49: 1-12. Jeng MS. 1998. Shallow-water Echinoderms of Taiping Island in the South China Sea. Zoological Studies 372: 137-153 Kasim M. 1999. Aktivitas merumput dan pertumbuhan bulu babi Tripneustes gratilla pada habitat lamun di perairan Bone-Bone Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Keesing JK. 1992. Influence of persistent sub-infestation density Acanthaster planci L. and high-density Echinometra mathaei de Blainville populations on coral reef community structure in Okinawa, Japan. Proceedings of the Seventh International Coral Reef Symposium, Guam 2: 769-779. Kikuchi T, and Peres JM. 1977. Consumer ecology of seagrass beds. In: McRoy, P C. Helfferich ed. Seagrass Ecosystem. A scientific perspective. Marine Science 4: 147-193 Kiswara W. dan Winardi. 1994. Kenaekaragaman dan Sebaran Lamun di Teluk Kuta dan Teluk Gerupuk, Lombok Selatan. W Kiswara eds.. Struktur Komunitas Biologi Padang Lamun di Pantai Lombok Selatan dan Kondisi Lingkungannya. Jakarta: LIPI. Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. New York: Harper and Row Publisher.. 694 p. Kuriandewa TE. 1998. Lamun di Teluk Ambon dan permasalahannya. Dalam: L.F. Wenno F. Salampessy ed.. Pros.Sem. Pengenalan Lingkungan Pesisir Pulau Ambon . Ambon: BAPPEDA Maluku-P3O LIPI. Kusumastanto SK, Haridijatno S, and Wahyudi Y. 1999. Economic valuation of marine coastal resources in Balerang and Bintan. Bogor: PKSPL IPB. Larrain A, Mutschke E, Riveros A, and Solar E. 1999. Preliminary report on Echinoidea and Asteroidea Echinodermata of the Joint Chilean-German- Italian Magellan “Victor Hensen” Campaign 17-25 November 1994. Scientia Marina 631: 433-438. Lasut MT, Sumilat DA, dan Arbie DT. 2002. Pengaruh konsentrasi sublethal diazinon 60 EC terhadap Perkembangan awal embrio bulu babi Echinometra mathaei. Ekoton

21: 17-24.

Legendre L, and Legendre P. 1983. Numerical Ecology. New York: Elsevier 51 Lessios HA. 2005. Echinoids of the Pacific Waters of Panama: Status of knowledge and new records. Int. J. Trop. Biol. 53 3: 147-170. Levitan DR. 1991. Skeletal changes in the test and jaws of the sea urchin Diadema antillarum in response to food limitation. Marine Biology 111: 431-435. Levitan DR. 1992. Community structure in times past: influence of human fishing pressure on algal-urchin interactions. Ecology 73, no.5: 1597-1605. Lintong O. 1998. Efek Lanjut Sianida KCN terhadap Keberhasilan Reproduksi Bulu Babi Echinometra Mathaei. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Program Studi Ilmu Kelautan Unsrat. Macia S. 2000. The effects of sea urchin grazing and drift algal blooms on a subtropical seagrass bed community. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 246, no.1: 53-67. Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and its Measurement. New Jersey: Princetown Press. Mann KH, Wright JLC, Welsford BE and Hatfield E. 1984. Responses of the sea urchins Strongylocentrotus droebachiensis O.F. Muller to waterborne stimuli from potential predators and potential food algae. J. Experimental Marine Biology and Ecology 79: 233-244. McClanahan TR and Shafir SH. 1990. Causes and consequences of sea urchin abundance and diversity in Kenyan coral reef lagoons. Oecologia 83: 362-370. McClanahan TR, Kamukuru AT, Muthiga NA, Yebio MG and Obura D. 1996. Effect of sea urchin reductions on algae, coral and fish populations. Conservation Biology 10 1: 136-154. McClanahan TR, Nugues M and Mwachireya S. 1994. Fish and sea urchin herbivory and competition in Kenyan coral reef lagoons: the role of reef management. J. Experimental Marine Biology and Ecology 184: 237-254. McClanahan TR. 1995. Fish predators and scavengers of the sea urchin Echinometra mathaei in Kenyan coral-reef marine parks. Environmental Biology of Fishes 43: 187-193. McClanahan TR. 1998. Predation and the distribution and abundance of tropical sea urchin populations J. Experimental Marine Biology and Ecology 221: 231-255. McClanahan TR. 1999. Predation and the control of the sea urchin Echinometra viridis and fleshy algae in the patch reefs of Glovers Reef, Belize. Ecosystems 2: 511-523. McRoy CP, and Helfferich C. 1980. Applied Aspect of Seagrass. In: Philips, R.C., C.P. McRoy ed.. Handbook of seagrass biology: an ecosystem perspective. p 297-343. Merryanto Y. 2000. Struktur komunitas ikan dan asosisasinya dengan padang lamun di Perairan Teluk Awur Jepara [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. [MNLH] Menteri Negera Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Jakarta: KEP No. 51MENLHI2004. 8 April 2004. 52 Nakagawa H, Tanigawa T, Tomita K, Tomihara Y, Araki Y, and Tachikawa E. 2003. Recent studies on the pathological effects of purified sea urchin toxins. J. Toxicology: Toxin Reviews 22 4: 633-649 Neill BJ. 1988. Experimental analysis of burrow defense in Echinometra mathaei de Blainville on Indo-West Pacific reef flat. J. Experimental Marine Biology and Ecology 115: 127-136. Nienhuis PH, Coosen J, and Kiswara W. 1989. Community structure and biomass distribution of seagrasses and macrofauna in the Flores Sea, Indonesia. Sea Research 232: 197-214 Nontji A. 1997. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan. Paulay G. 2003. The Asteroidea, Echinoidea, and Holothuroidea Echinodermata of the Mariana Islands. Micronesica 35-36:563-583. Pechenik JA. 2005. Biology of the Invertebrates. 5 th ed. McGraw-Hill International. P 885-521. Philips RS and Menez EG. 1988. Seagrasses. Washington D.C: Smithsonian Institution Press. Poole RW. 1974. An Introduction to Quantitative Ecology. McGrow-Hill. Kogakusha limited. Prince J. 1995. Limited effects of the sea urchin Echinometra mathaei de Blainville on the recruitment of benthic algae and macroinvertebrates into intertidal rock platforms at Rottnest Island, Western Australia. J. Experimental Marine Biology and Ecology 186: 237-258. Putchakam S and Soncaeng P. 2004. Echinoderm fauna of Thailand: history and inventory reviews. ScienceAsia 30: 417-428 Putra AF. 2006. Konektivitas ikan di ekosistem padang lamun dengan ekosistem terumbu karang pada perairan Kabupaten Timur Tengah Utara dan Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Radjab AW. 2004. Sebaran dan kepadatan bulu babi di perairan Kepulauan Padaido, Biak Irian Jaya. Dalam: Setyawan, W.B., Y. Witasari, Z. Arifin, O.S.R. Ongkosongo, S. Birowo eds.. Jakarta: Pros. Sem. Laut Nasional III . Radjab AW. 1997. Pertumbuhan dan reproduksi bulu babi Tripneustes gratilla Linnaeus di perairan Tamedan, Pulau Dullah, Maluku Tenggara. Ambon: Pros. Seminar Kelautan LIPI-Unhas ke-1 . P30 LIPI. Hal 149-156. Radjab AW. 1998. Percobaan pemijahan dan pemeliharaan larva bulu babi Tripneustes gratilla Linnaeus skala laboratorium. Ujung Pandang: Pros. Seminar Nasional Kelautan-II. Unhas-LIPI . Radjab AW. 2000. Komunitas bulu babi Clypeasteroid: Ekinoidea di perairan pantai Pulau Faer, Kei Kecil, Maluku Tenggara. Radjab AW. 2001. Reproduksi dan siklus hidup bulu babi. Oseana 263: 25-36. Rondo M. 1992. Potensi dan komunitas bulu babi Echinoidea di rataan terumbu karang Pulau Bunaken, Sulawesi Utara. Pros. Sem. Ekologi Laut dan Pesisir I. Jakarta , P3O-LIPI, ISSOI : 72-80. 53 Rosalinda R. 2006. Konektivitas ikan pada ekosistem padang lamun dan terumbu karang di Teluk Gilimanuk, Taman Nasional Bali Barat, Provinsi Bali. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Russell MP. 1998. Resource allocation plasticity in sea urchins: rapid, diet induced, phenotypic changes in the green sea urchin, Strongylocentrotus droebachiensis Miller. Journal of Experimental Biology and Ecology 220: 1-14. Scheibling RE and Hamm J. 1991. Interactions between sea urchins Strongylocentrotus droebachiensis and their predators in field and laboratory experiments. Marine Biology 110: 105-116. Scheibling RE. 1984. Echinoids, epizootics and ecological stability in the rocky subtidal off Nova Scotia, Canada. Helgol~inder Meeresunters 7: 233-242. Shulman MJ. 1990. Aggression among sea urchins on Caribbean coral reefs. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 140: 197-207. Sugiharto L. 1995. Perkembangan normal embrio landak laut Sea Urchin Temnopleurus alexandri sampai tahap pluteus. Malang: FMIPA Universitas Brawijaya. Sumitro SB, Wijarni U, Pramana A, Soewondo A dan Samino S. 1992. Inventarisasi jenis, habitat dan tingkah laku hewan bulu babi Sea Urchin di Jawa Timur serta usaha pemijahan dan pengembangan teknik kultur embrio. Jurnal Universitas Brawijaya, . 42: 50-58. Suwignyo S, Widigdo B, Wardiatno Y, Krisanti M. 2005. Avertebrata Air Jilid 2. Jakarta: Penebar Swadaya. Takei M, Nakagawa H, Kimura A and Endo K. 1991. A toxic substance from the sea urchinToxopneustes pileolus induces histamine release from rat peritoneal mast cells. Inflammation Research 323-4: 224-228. Tavares YAG and Borzone CA. 2006. Reproductive Cycle of Mellita quinquiesperforata Leske Echinodermata, Echinoidea in two contrasting beach environtment. Revista Brasileira de Zoologia 23 2: 573-580. Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, and Moosa MK. 1997. The ecology of the Indonesian Seas . The Ecology of Indonesia series. Vol VIII. Singapore: Periplus Edition HK Ltd. Tuwo A, dan Pelu U. 1997. Biologi reproduksi bulu babi Tripneustes gratilla. Ambon: Seminar Kelautan LIPI-Unhas. Tuwo A, Tresnati J, Saru A, dan Rohani. 1997. Strategi adaptasi populasi bulu babi di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Ambon: Seminar Kelautan LIPI-Unhas. Tuwo A. 1995. Aspek biologi bulu babi jenis Tripneustes gratilla di Pulau Kapoposan, Pangkep, Sulawesi Selatan. Oseana 201: 21-29. Valentine JF and Kenneth LHJr. 1991. The role of sea urchin grazing in regulating subtropical seagrass meadows: evidence from field manipulations in the northern Gulf of Mexico. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 154: 215-230. 54 Yusron E, dan Manik N. 1989. Pendugaan beberapa parameter pertumbuhan bulu babi Diadema setosum Leske di perairan terumbu karang Pulau Burung, Seram Barat. Padang.: Kongres Biologi Nasional IX. Yusron E. 1991. Pertumbuhan bulu babi Tripneustes gratilla dalam bak akuarium di Balitbang Sumberdaya Laut-LIPI Ambon. Bogor: Pros. Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi X. Zulaika E. 1998. Pengaruh surfaktan terhadap sintesis protein dan diferensiasi embrio landak laut Toxopneustes sp. [tesis]. Malang: Pascasarjana Universitas Brawijaya. 55 Lampiran 1. Persentase sedimen di lokasi penelitian Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Kategori Ukuran mm 1A 1B 1C R 2A 2B 2C R 3A 3B 3C R 4A 4B 4C R Kerikil sedang 4 - 64 0.00 0.00 1.36 0.45 0.00 0.00 0.00 0.00 2.92 3.88 4.24 3.68 2.95 3.40 4.22 3.52 Kerikil 2 - 4 0.00 1.15 6.60 2.58 0.00 0.61 1.20 0.60 5.03 10.96 10.51 8.83 6.54 9.25 10.00 8.60 Pasir sangat kasar 1 - 2 2.89 5.42 8.10 5.47 4.24 5.44 5.82 5.17 9.14 15.95 18.08 14.39 9.99 15.13 15.90 13.67 Pasir kasar 0.5 - 1 6.50 8.23 9.62 8.12 7.79 7.89 8.19 7.96 20.23 25.96 22.78 22.99 20.42 24.70 29.27 24.79 Pasir sedang 0.25 - 0.5 16.86 20.76 24.66 20.76 15.48 15.23 16.51 15.74 30.97 19.08 21.77 23.94 29.43 28.18 24.55 27.39 Pasir halus 0.125 - 0.25 42.96 35.64 32.50 37.03 35.83 39.32 38.17 37.77 20.03 14.57 15.11 16.57 21.88 14.64 10.91 15.81 Pasir sangat halus 0.0625 - 0.125 26.55 25.85 14.31 22.23 32.67 28.13 26.50 29.10 9.82 7.50 6.95 8.09 7.20 4.49 3.56 5.08 Lumpur 0.0625 4.25 2.95 2.84 3.35 3.99 3.39 3.60 3.66 1.87 2.10 0.56 1.51 1.59 0.21 1.58 1.13 Rata-rata diameter butiran mm 0.178 0.207 0.308 0.231 0.176 0.217 0.239 0.211 0.397 0.577 0.597 0.524 0.429 0.577 0.657 0.554 ket: 1A-4C: substasiun 56 56 Lampiran 2. Topografi pantai Pulau Hatta Kedalaman m Jarak dari pantai m Tenggara Hatta Timur Hatta Utara Hatta Barat Hatta 0 0.00 0.00 0.00 0.00 10 0.98 1.03 1.24 1.04 20 1.57 1.57 1.74 1.69 30 1.70 1.89 1.93 1.74 40 2.06 2.06 2.06 1.89 50 2.23 2.23 2.23 1.99 60 2.52 2.52 2.46 2.12 70 2.71 2.71 2.47 2.28 80 2.77 2.83 2.84 2.51 90 2.99 2.99 2.95 2.67 100 3.14 3.14 2.92 2.77 110 3.20 3.29 2.90 2.97 120 3.31 3.44 3.21 3.20 130 3.45 3.70 3.54 3.11 140 3.66 3.90 3.22 3.30 150 3.84 4.10 3.61 3.44 160 4.25 4.56 3.73 3.54 Kemiringan 1.504 1.509 1.495 1.491 57 57 Lampiran 3. Profil pasang surut di Kepulauan Banda tanggal 3-17 Juli 2008 Hari ke Jam 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 0:00 172 136 95 70 50 54 65 82 107 135 155 168 167 164 1:00 203 181 117 100 88 94 100 87 101 129 144 159 179 177 2:00 211 203 189 168 137 117 114 106 108 121 136 139 171 187 3:00 214 212 216 204 186 168 144 135 127 129 128 135 164 178 4:00 189 217 223 225 217 206 187 178 138 144 143 147 154 164 5:00 173 192 212 237 231 233 217 198 177 169 157 154 150 155 6:00 143 164 191 239 233 230 231 219 204 189 180 168 157 149 7:00 128 143 138 217 214 223 225 228 215 208 200 184 168 157 8:00 138 122 129 143 170 197 211 214 217 216 209 194 177 167 9:00 168 140 118 119 129 156 176 199 204 213 212 204 190 180 10:00 192 159 128 114 108 116 137 169 182 199 204 209 204 194 11:00 230 189 153 122 99 99 103 123 154 170 191 199 200 206 12:00 242 219 184 146 112 92 87 99 109 152 164 181 197 201 13:00 243 239 218 182 140 109 94 87 100 121 139 153 178 196 14:00 234 247 242 214 173 131 105 89 88 84 111 143 149 167 15:00 205 237 244 234 202 176 126 98 79 79 87 110 122 144 16:00 164 209 234 238 225 192 161 109 108 84 79 79 89 109 17:00 108 164 203 224 228 205 175 119 115 93 77 70 71 79 18:00 57 110 157 204 209 209 191 145 138 112 90 77 61 56 19:00 18 45 102 156 177 194 189 169 153 134 105 83 54 51 20:00 0 21 55 102 139 168 173 173 164 149 129 105 75 59 21:00 14 4 21 62 94 108 151 162 162 158 144 122 99 79 22:00 45 18 15 32 65 97 126 144 154 163 156 146 124 107 23:00 87 54 34 28 43 73 98 125 147 160 165 164 139 138 0:00 136 95 70 50 54 65 82 107 135 155 168 167 164 160 50 100 150 200 250 300 0:00 12:00 0:00 12:00 0:00 12:00 0:00 12:00 0:00 12:00 0:00 12:00 0:00 12:00 0:00 12:00 0:00 12:00 0:00 12:00 0:00 12:00 0:00 12:00 0:00 12:00 0:00 12:00 0:00 Waktu Pengamatan jam Ti nggi M u k a Laut c m 58 Lampiran 4. Nilai parameter fisik-kimia padang lamun Pulau Hatta Stasiun Tenggara Hatta Timur Hatta Utara Hatta Barat Hatta Parameter Fisik Kimia 1A 1B 1C R 2A 2B 2C R 3A 3B 3C R 4A 4B 4C R Suhu o C 28.00 29.00 29.50 28.83 28.00 28.50 29.00 28.50 30.00 29.00 29.00 29.33 28.00 28.00 28.00 28.00 Salinitas ppt 30.00 30.50 31.00 30.50 31.20 30.60 31.60 31.13 31.60 31.00 31.00 31.20 30.20 30.00 30.50 30.23 pH 7.5 7.0 8.0 7.5 7.5 8.0 7.5 8.0 7.50 8.0 7.50 7.5 7.0 8.0 7.5 7.5 Kekeruhan NTU 0.74 0.71 0.68 0.71 1.00 0.94 0.95 0.96 0.60 0.59 0.60 0.60 0.40 0.38 0.39 0.39 Kec. Arus mdet 0.08 0.09 0.10 0.09 0.04 0.06 0.04 0.05 0.05 0.06 0.07 0.06 0.11 0.11 0.14 0.12 Kedalaman m 1.57 2.99 4.25 2.94 1.56 2.83 4.56 2.98 1.74 2.95 3.73 2.81 1.69 2.67 3.54 2.63 DO mgl 7.81 6.02 6.00 6.61 5.38 6.91 5.62 5.97 5.23 5.23 5.68 5.38 6.86 6.98 7.04 6.96 Nitrat mgl 0.04 0.04 0.05 0.04 0.68 0.73 0.59 0.67 0.06 0.64 0.87 0.52 0.10 0.11 0.13 0.11 Fosfat mgl 0.35 0.32 0.35 0.34 0.29 0.31 0.28 0.29 0.30 0.32 0.31 0.31 0.28 0.29 0.29 0.28 ket: 1A-4C: substasiun , R=rata-rata 59 Lampiran 5. Hasil perhitungan kerapatan, penutupan dan frekuensi jenis lamun di Pulau Hatta Kepadatan Jenis Lamun Tenggara Hatta Timur Hatta Utara Hatta Barat Hatta Jenis 1A 1B 1C R 2A 2B 2C R 3A 3B 3C R 4A 4B 4C R Cymodocea rotundata 294.67 217.33 168.00 226.67 84.00 44.00 26.67 51.56 0.00 28.00 0.00 9.33 96.00 189.33 209.33 164.89 Syringodium isoetifolium 0.00 34.67 40.00 24.89 0.00 14.67 18.67 11.11 0.00 238.67 372.00 203.56 0.00 765.33 0.00 255.11 Halodule uninervis 0.00 0.00 0.00 0.00 317.33 0.00 0.00 105.78 800.00 366.67 0.00 388.89 709.33 50.67 0.00 253.33 Halophila ovalis 0.00 0.00 0.00 0.00 5.33 0.00 0.00 1.78 0.00 6.67 0.00 2.22 22.67 0.00 0.00 7.56 Enhalus acoroides 61.33 78.67 78.67 72.89 6.67 118.67 116.00 80.44 0.00 28.00 52.00 26.67 6.67 14.67 17.33 12.89 Thalassia hemprichii 276.00 269.33 272.00 272.44 88.00 280.00 293.33 220.44 136.00 456.00 400.00 330.67 788.00 300.00 4.00 364.00 Penutupan Jenis Lamun Tenggara Hatta Timur Hatta Utara Hatta Barat Hatta Jenis 1A 1B 1C R 2A 2B 2C R 3A 3B 3C R 4A 4B 4C R Cymodocea rotundata 19.90 11.84 5.69 12.48 4.37 1.50 0.71 2.19 0.00 1.12 0.00 0.37 8.14 17.21 20.76 15.37 Syringodium isoetifolium 0.00 1.17 0.96 0.71 0.00 0.38 0.46 0.28 0.00 12.89 19.43 10.77 0.00 36.86 0.00 12.29 Halodule uninervis 0.00 0.00 0.00 0.00 15.10 0.00 0.00 5.03 49.76 9.89 0.00 19.88 37.01 1.96 0.00 12.99 Halophila ovalis 0.00 0.00 0.00 0.00 0.08 0.00 0.00 0.03 0.00 0.13 0.00 0.04 0.83 0.00 0.00 0.28 Enhalus acoroides 3.02 3.12 3.37 3.17 0.04 5.75 5.72 3.84 0.00 1.45 3.91 1.79 0.33 0.08 1.79 0.73 Thalassia hemprichii 24.30 21.26 21.59 22.39 7.18 25.51 28.29 20.33 5.95 37.91 27.06 23.64 51.74 22.40 0.00 24.71 Frekuensi Jenis Lamun Tenggara Hatta Timur Hatta Utara Hatta Barat Hatta Jenis 1A 1B 1C R 2A 2B 2C R 3A 3B 3C R 4A 4B 4C R Cymodocea rotundata 0.77 0.68 0.67 0.71 0.37 0.20 0.15 0.24 0.00 0.21 0.00 0.07 0.29 0.63 0.52 0.48 Syringodium isoetifolium 0.00 0.21 0.32 0.18 0.00 0.09 0.12 0.07 0.00 0.33 0.53 0.29 0.00 0.67 0.00 0.22 Halodule uninervis 0.00 0.00 0.00 0.00 0.60 0.00 0.00 0.20 0.97 0.77 0.00 0.58 0.79 0.13 0.00 0.31 Halophila ovalis 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00 0.00 0.01 0.00 0.04 0.00 0.01 0.09 0.00 0.00 0.03 Enhalus acoroides 0.36 0.59 0.53 0.49 0.04 0.68 0.67 0.46 0.00 0.15 0.25 0.13 0.04 0.09 0.05 0.06 Thalassia hemprichii 0.91 0.92 0.95 0.92 0.31 0.91 0.85 0.69 0.59 0.67 0.88 0.71 0.97 0.65 0.04 0.56 60 Lampiran 6. Nilai Kerapatan Relatif RDi, Frekuensi Relatif RFI, Penutupan Relatif RCi, dan Indeks Nilai Penting INP Stasiun 1 Tenggara Hatta Jenis Lamun Di tegm 2 RDi Fi RFi Ci RCi INP Cymodocea rotundata 226.667 37.975 0.707 30.695 12.477 32.205 100.875 Syringodium isoetifolium 24.889 4.170 0.178 7.722 0.709 1.830 13.722 Enhalus acoroides 72.889 12.211 0.493 21.429 3.171 8.184 41.824 Thalassia hemprichii 272.444 45.644 0.924 40.154 22.385 57.781 143.579 TOTAL 596.889 100.000 2.302 100.000 38.742 100.000 300.000 Stasiun 2 Barat Hatta Jenis Lamun Di tegm 2 RDi Fi RFi Ci RCi INP Cymodocea rotundata 51.556 10.943 0.240 14.362 2.193 6.919 32.224 Syringodium isoetifolium 11.111 2.358 0.071 4.255 0.278 0.877 7.491 Halodule uninervis 105.778 22.453 0.200 11.968 5.033 15.878 50.299 Halophila ovalis 1.778 0.377 0.009 0.532 0.028 0.088 0.997 Enhalus acoroides 80.444 17.075 0.462 27.660 3.840 12.112 56.847 Thalassia hemprichii 220.444 46.792 0.689 41.223 20.327 64.125 152.141 TOTAL 471.111 100.000 1.671 100.000 31.699 100.000 300.000 Stasiun 3 Utara Hatta Jenis Lamun Di tegm 2 RDi Fi RFi Ci RCi INP Cymodocea rotundata 9.333 0.971 0.071 3.951 0.374 0.662 5.584 Syringodium isoetifolium 203.556 21.174 0.289 16.049 10.774 19.071 56.294 Halodule uninervis 388.889 40.453 0.582 32.346 19.882 35.192 107.990 Halophila ovalis 2.222 0.231 0.013 0.741 0.042 0.074 1.046 Enhalus acoroides 26.667 2.774 0.133 7.407 1.785 3.160 13.342 Thalassia hemprichii 330.667 34.397 0.711 39.506 23.639 41.841 115.744 TOTAL 961.333 100.000 1.800 100.000 56.496 100.000 300.000 61 Lampiran 6. lanjutan Stasiun 4 Utara Hatta Jenis Lamun Di tegm 2 RDi Fi RFi Ci RCi INP Cymodocea rotundata 164.889 15.588 0.480 28.954 15.368 23.157 67.699 Syringodium isoetifolium 255.111 24.118 0.222 13.405 12.286 18.513 56.036 Halodule uninervis 253.333 23.950 0.307 18.499 12.987 19.569 62.017 Halophila ovalis 7.556 0.714 0.031 1.877 0.278 0.419 3.010 Enhalus acoroides 12.889 1.218 0.062 3.753 0.734 1.106 6.078 Thalassia hemprichii 364.000 34.412 0.556 33.512 24.712 37.236 105.160 TOTAL 1057.778 100.000 1.658 100.000 66.365 100.000 300.000 62 62 Lampiran 7. Pola penyebaran lamun di Pulau Hatta Stasiun Sub- stasiun Jenis n N Σχ2 Id χ2 hitung χ2 tabel Pola Penyebaran Cymodocea rotundata 3 884 413264 1.58 518.48 5.99 Mengelompok