Struktur Komunitas Meiofauna Interstisial di Substrat Padang Lamun Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOFAUNA INTERSTISIAL
DI SUBSTRAT PADANG LAMUN PULAU PRAMUKA,
KEPULAUAN SERIBU

NOVI DWI INDRIYANI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Struktur Komunitas
Meiofauna Interstisial di Substrat Padang Lamun Pulau Pramuka, Kepulauan
Seribu adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014
Novi Dwi Indriyani
NIM C54100093

ABSTRAK
NOVI DWI INDRIYANI. Struktur Komunitas Meiofauna Interstisial di Substrat
Padang Lamun Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh DIETRIECH
GEOFFREY BENGEN dan ADRIANI SUNUDDIN.
Meiofauna yang hidup dalam ruang interstisial memiliki peranan penting
dalam berbagai proses ekologis di padang lamun. Penelitian ini bertujuan untuk
(1) Mengetahui struktur komunitas meiofauna interstisial (2) Mengetahui
keterkaitan antara kelimpahan meiofauna dengan karakteristik fisika-kimia
lingkungan padang lamun. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – Juli
2014 yang bertempat di Pulau Pramuka, sebelah Selatan (Stasiun 1) dan Tenggara
(Stasiun 2) serta Laboratorium FPIK IPB. Pengambilan sampel meiofauna
dilakukan dengan cara membenamkan pipa paralon (corer) dengan diameter 4.5
cm dan tinggi 15 cm di sekitar plot pengamatan lamun dengan menggunakan

transek 1 x 1 m2. Analisis struktur komunitas meiofauna dan lamun menggunakan
perhitungan indeks ekologi. Analisis Komponen Utama digunakan untuk
mengetahui hubungan meiofauna dengan parameter fisika-kimia substrat dan
vegetasi lamun. Kondisi kualitas perairan Pulau Pramuka secara umum dalam
keadaan baik untuk menunjang kehidupan lamun dan meiofauna. Berdasarkan
hasil penelitian, meiofauna interstisial yang ditemukan pada substrat pasir padang
lamun terdiri dari 6 filum, 8 kelas, 22 ordo, 50 famili dan 55 genera. Komunitas
meiofauna didominasi oleh Famili Oxystominidae, (Filum Nematoda). Substrat
dengan karakteristik fisika-kimia lingkungan akan mempengaruhi keberadaan
jenis meiofauna yang hidup diantara rongga-rongga sedimen.
Kata kunci: Struktur komunitas, meiofauna, lamun, substrat, Pulau Pramuka

ABSTRACT
NOVI DWI INDRIYANI. Community Structure of Meiofauna Interstitial in
Substrate of Seagrass Bed at Pramuka Island, Kepulauan Seribu. Supervised by
DIETRIECH GEOFFREY BENGEN and ADRIANI SUNUDDIN.
Meiofauna are organism that lived in interstitial area which has important
role in many ecological processes in marine seagrass plain. The purpose of this
study are to (1) determine community structure of meiofauna interstitial, (2) find
out the relationship between abudance of meiofauna with physical-chemical

characteristics of the enviroment seagrass. This study was conducted in MarchMay 2014 at two stations in the South section (Station 1) and Southeast section
(Station 2) of Pramuka Island, and also in FPIK IPB Laboratory. Sample had
beeen with draw by sink 4.5 cm and 15 cm paralon pipe (corer) around the
observation area with 1 x 1 m2 transek. Calculations of ecological index is used to
analyse community structure of meiofauna and seagrass. Principal Component
Analysis (PCA) method used to find out the relation between physical-chemical
characteristics of substrate and seagrass vegetation. In general, the water quality
of Pramuka Island were in good condition to support the lives of meiofauna and
seagrass. The result of this study showed that meiofauna interstitial that is found

in the substrate of seagrass consisted of 6 phyla, 8 classes, 22 orders, 50 families,
and 55 genera. Meiofauna family dominated Oxystominidae, which is a part of
nematode phylum. Substrates with certain physical-chemical characteristics of the
environment would affect the existence of the meiofauna who lived between
sediment cavities.
Keywords : Community structure, meiofauna, seagrass, substrat, Pramuka Island

.

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOFAUNA INTERSTISIAL DI

SUBSTRAT PADANG LAMUN PULAU PRAMUKA,
KEPULAUAN SERIBU

NOVI DWI INDRIYANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Struktur Komunitas Meiofauna Interstisial di Substrat Padang
Lamun Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu
Nama

: Novi Dwi Indriyani
NIM
: C54100093

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Dietriech G Bengen, DEA

Adriani Sunuddin, SPi, MSi

Pembimbing I

Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir I Wayan Nurjaya, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah
meiofauna, dengan judul Struktur Komunitas Meiofauna Interstisial di Substrat
Padang Lamun Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Dietriech G Bengen,
DEA dan Ibu Adriani Sunuddin, SPi, MSi selaku pembimbing. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Siti Nursiyamah laboran
Laboratorium Bio Mikro I, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB atas bantuan saat menganalisis sampel
di laboratorium. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta
seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Novi Dwi Indriyani

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

METODE

2

Lokasi dan Waktu

2


Bahan

4

Alat

4

Pengambilan Sampel dan Pengukuran Parameter Lingkungan

5

Prosedur Analisis Data

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

10


Karakteristik Fisika dan Kimia Perairan di Pulau Pramuka

10

Karakteristik Fisika – Kimia Substrat Padang Lamun di Pulau Pramuka

12

Karakteristik Vegetasi Lamun

15

Komunitas Meiofauna Interstisial di Pulau Pramuka

17

Hubungan Meiofauna dengan Karakteristik Fisika-Kimia Substrat
dan Vegetasi Lamun
SIMPULAN DAN SARAN


23
24

Simpulan

24

Saran

24

DAFTAR PUSTAKA

25

LAMPIRAN

28

RIWAYAT HIDUP

43

DAFTAR TABEL
1 Parameter fisika-kimia air laut dan sedimen yang diukur dan alat serta
metode pengukurannya
2 Parameter fisika kimia di masing – masing stasiun penelitian

4
11

DAFTAR GAMBAR
1 Gambar Peta Lokasi Pengambilan Sampel Meiofauna di Pulau Pramuka,
Kepulauan Seribu
2 Gambar Karakteristik Fisika Sedimen Padang Lamun
3 Gambar Karakteristik Kimia Sedimen Padang Lamun
4 Gambar Kerapatan Lamun di Pulau Pramuka, (a) Stasiun 1
(b) Stasiun 2
5 Gambar Penutupan Lamun di Pulau Pramuka, (a) Stasiun 1
(b) Stasiun 2
6 Gambar Grafik Kelimpahan Meiofauna di Pulau Pramuka
7 Gambar Indeks Keanekaragaman Meiofauna di Pulau Pramuka
8 Gambar Nilai Keseragaman Meiofauna di Pulau Pramuka
9 Gambar Nilai Dominasi Meiofauna di Pulau Pramuka
10 Gambar Hasil Analisis Komponen Utama (PCA) antara Kelimpahan
Meiofauna dengan Karakteristik Fisika-Kimia Substrat dan Vegetasi
Lamun

3
13
14
15
17
19
20
21
22

23

DAFTAR LAMPIRAN
1

Dokumentasi Alat dan Bahan yang digunakan untuk Penyaringan dan
Mengawetkan Sampel Meiofauna
2 Dokumentasi Proses Pengambilan Sampel Meiofauna di Substrat
Lamun
3 Dokumentasi Proses Penyaringan Sampel Meiofauna
4 Dokumentasi Proses Pengawetan dan Pemberian rose bangle
pada Sampel Meiofauna
5 Parameter Fisika-Kimia Substrat di Pulau Pramuka
6 Hasil Perhitungan Kerapatan (Di), Frekuensi (Fi), Penutupan (Ci)
dan Indeks Nilai Penting (INP) pada Lamun di Stasiun Penelitian,
Pulau Pramuka
7 Kelimpahan Meiofauna di Lokasi Penelitian (Stasiun 1)
8 Kelimpahan Meiofauna di Lokasi Penelitian (Stasiun 2)
9 Hasil Analisis Komponen Utama (Principal Component Analisis)
Kelimpahan Meiofauna dengan Parameter Fisika – Kimia Substrat dan
Vegetasi Lamun
10 Dokumentasi Spesimen Meiofauna
11 Hasil Perhitungan Indeks Kesamaan Taksa (IS) Meiofauna di Stasiun
Penelitian

28
28
29
30
30

31
31
33

37
38
41

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai ekosistem, laut terdiri atas komponen biotik dan abiotik yang saling
mempengaruhi dan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Dari seluruh komponen biotik yang ada, salah satu diantaranya yang dikaji
adalah meiofauna interstisial, yang merupakan kelompok hewan yang berukuran
antara 63-1000 µm yang lolos pada saringan 0.063-1 mm (Linhart et al 2002).
Meiofauna hidup dalam ruang interstisial yang merupakan ruang di antara partikel
sedimen atau di sela-sela butiran sedimen. Padang lamun merupakan salah satu
ekosistem yang penting pada daerah pesisir yang ditumbuhi oleh lamun sebagai
vegetasi yang dominan. Peranan padang lamun berperan penting sebagai produsen
dalam jaring makanan di daerah pesisir (Susetiono 2004). Peranan lain dari
padang lamun adalah sebagai tempat hidup bagi berbagai kelompok hewan seperti
plankton, nekton, bentos, detritus dan meiofauna.
Meiofauna memiliki peran ekologis yang berperan dalam keberadaan biota
laut lain. Peranan penting dari meiofauna antara lain: (1) sumber makanan bagi
meiofauna lainnya; (2) berperan aktif dalam penguraian bahan organik berupa
serasah yang melimpah di lamun, terutama dalam proses biodegradasi sisa-sisa
tumbuhan yang berlanjut ke proses mineralisasi oleh mikroorganisme
(Metcalfe 2005); (3) sebagai makanan bagi tingkat trofik yang lebih tinggi. Luas
tutupan dan kerapatan lamun juga berpengaruh pada kepadatan meiofauna
interstisial yang menghuni substratnya.
Kepadatan meiofauna interstisial cenderung menurun seiring dengan
semakin kecilnya luas tutupan lamun. Kepadatan meiofauna tertinggi berada pada
lokasi dengan luas tutupan padang lamun terbesar, sedangkan jumlah kepadatan
terendah berada pada lokasi yang tanpa tutupan lamun (Pujiyanti 2008). Kondisi
substrat yang berbeda akan mempengaruhi keragaman jenis serta struktur
komunitas meiofauna interstisial yang hidup di dalamnya (Zulkifli 2008). Hal
tersebut terkait dengan mekanisme adaptasi yang mereka lakukan terhadap
lingkungan tempat tinggalnya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara jenis substrat padang lamun yang memiliki karakteristik berbeda
dengan meiofauna interstisial yang hidup di padang lamun Pulau Pramuka.

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang d iatas, masalah yang dirumuskan penelitian ini
adalah (1) Bagaimana struktur komunitas meiofauna interstisial padang lamun ?
(2) Bagaimana hubungan antara kelimpahan meiofauna dengan karakteristik
fisika-kimia lingkungan padang lamun ?

2

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui struktur komunitas meiofauna
interstisial pada substrat padang lamun Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu; (2)
mengetahui keterkaitan antara kelimpahan meiofauna dengan karakteristik fisikakimia lingkungan padang lamun.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dasar tentang
keanekaragaman hayati meiofauna interstisial di substrat padang lamun Pulau
Pramuka, Kepulauan Seribu. Penelitian ini dapat mengeksplorasi peranan penting
meiofauna di dalam dinamika trofik di lingkungan ekosistem padang lamun.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang,
Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Stasiun penelitian
terletak di sebelah Selatan (Stasiun 1) dan Tenggara (Stasiun 2) Pulau Pramuka.
Penelitian ini dibagi kedalam tiga tahap, yaitu survey lapang, pengambilan
sampel, pengolahan dan analisis data. Pengambilan sampel lamun, kualitas air dan
sampling meiofauna di substrat padang lamun di lakukan pada tanggal 22-24
Maret 2014. Tahapan penyaringan dan identifikasi meiofauna dilaksanakan pada
bulan April 2014 bertempat di Laboratorium Bio Mikro 1 Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan dan Laboratorium Bioprospeksi Kelautan
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.

3

Gambar 1 Peta Lokasi Pengambilan Sampel Meiofauna di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu

4

Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel meiofauna
interstisial, sampel air laut, sampel substrat, sampel lamun, gliserol, kertas label
formalin dan rose bangle (Lampiran 1).

Alat
Alat dan teknik pengukuran parameter fisika-kimia air laut dan sedimen,
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter fisika-kimia air laut dan sedimen yang diukur dan
metode pengukurannya.
Parameter
unit
Alat dan Teknik Pengukuran
Fisika Air
- Kedalaman
meter
Tongkat berskala (cm)
- Kecerahan
meter
Secchi disk
o
- Suhu
Termometer Hg
C

alat serta
Keterangan
In situ
In situ
In situ

Kimia Air
- Salinitas
- Oksigen terlarut
- pH
- Nitrat (NO3-N)


ppm
ppm

- Ortofosfat (PO4-P)

ppm

Fisika Sedimen
- Tekstur / Fraksi
sedimen

%

Saringan bertingkat,Segitiga Laboratorium
Shepard

Kimia Sedimen
- C-organik
- Bahan
Organik
Total (TOM)

%
%

Titrasi
Titrasi

Biologi Sedimen
- Kelimpahan
Meiofauna
Interstisial
- Kerapatan Lamun

ind/m2
ind /m2

Hand Refractometer
DO meter
pH meter
Spektrofotometer,
Brucine
Method
Spektrofotometer,Titrimetrik,
KMnO4

In situ
In situ
In situ
Laboratorium
Laboratorium

Laboratorium
Laboratorium

Corer
(pipa
paralon) Laboratorium
(diameter 4.5 cm, tinggi 15
cm), mikroskop binokuler
Kuadran 1 x 1 m2
Laboratorium

5
Pengambilan Sampel dan Pengukuran Parameter Lingkungan
Penentuan Stasiun
Stasiun penelitian ditentukan melalui survei pendahuluan yakni dengan
berjalan sejajar dengan garis pantai dan snorkling pada daerah yang telah
ditentukan pada peta. Di dalam satu stasiun dibuat 3 plot berupa transek garis dan
di dalam 1 transek garis terdapat 3 kuadran, dengan jarak antara transek garis
yang satu terhadap transek garis berikutnya ± 50 m, sedangkan jarak kuadran satu
terhadap kuadran berikutnya adalah 10 m.
Pengambilan Sampel Meiofauna dan Pengamatan Lamun
Pengamatan biologi yang dilakukan meliputi lamun, sampel substrat dan
meiofauna yang dilakukan setiap stasiun pengamatan. Pengambilan sampel
meiofauna diambil dengan cara membenamkan pipa paralon (corer) dengan
diameter 4.5 cm dan tinggi 15 cm di sekitar plot pengambilan lamun dengan
menggunakan transek 1 x 1 m2 (Lampiran 2). Contoh sedimen yang berisi
meiofauna diambil dari tiga stasiun, pengambilan dilakukan sebanyak tiga kali
ulangan setiap plot/kuadran. Sampel yang berhasil diambil dimasukkan ke dalam
kantung plastik sampel dan diberi larutan formalin 4% agar awet, kemudian diberi
label dengan kode stasiun, plot tempat pengambilan sampel serta ulangan.
Pengambilan Sampel Parameter Perairan dan Sedimen
Pengukuran parameter fisika meliputi suhu, kedalaman, dan kecerahan.
Pengukuran parameter kimia meliputi salinitas, oksigen terlarut, pH secara insitu.
Untuk mendapatkan parameter kimia maka diambil 1 botol air sampel pada
masing-masing stasiun. Sampel air yang dibawa kemudian dianalisis di
laboratorim. Pengukuran suhu, pH dan salinitas air dilakukan sebelum
pengamatan lapangan. Parameter fisika-kimia sedimen yang diukur dan dianalisa
meliputi fraksinasi sedimen, kandungan bahan organik (C-organik dan TOM).
Pengambilan contoh sedimen dilakukan dengan menggunakan corer dengan
diameter 4.5 cm dan tinggi 15 cm, sedimen dasar diambil sebanyak ± 200 gram.
Pengukuran bahan organik pada sedimen dianalisa di Laboratorium Ilmu Tanah
dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB.
Perlakuan Sampel Meiofauna di Laboratorium
Sampel yang telah diambil dilokasi kemudian diberi rose bengal untuk
mengawetkan sampel tersebut serta memberi warna merah untuk mempermudah
proses sortir dan identifikasi. Sampel yang telah diberi rose bengal kemudian
dituang ke dalam gelas ukur yang berisi air tawar, kemudian sedimen disaring
dengan saringan berukuran 1 mm (Susetiono 1995) bertujuan untuk memisahkan
sampel dengan makrofauna, butiran pasir yang besar, serta potongan akar lamun.
Sampel meiofauna dan pasir halus yang melayang-layang diatas permukaan air
disaring menggunakan saringan 0.032 mm, tahapan ini diulang sebanyak lima kali
(Lampiran 3). Sampel meiofauna dari hasil peyaringan kemudian diawetkan
menggunakan larutan formalin 10% yang berisi rose bengal (Lampiran 4)
Untuk mengetahui taksa dan jumlah meiofauna, maka dilakukan proses
identifikasi. Mengidentifikasi sampel menggunakan mikroskop binokuler dengan
perbesaran 4x10. Buku identifikasi yang digunakan adalah Introduction to the

6
study of meiofauna (Higgins dan Thiel 1988) dan Meiobenthology the microscopic
fauna in aquatic sediments (Giere 1993). Setelah diidentifikasi dan dicacah
sampel dimasukkan ke dalam botol sampel yang diisi larutan gliserol, dan diberi
label untuk digunakan penelitian lebih lanjut.

Prosedur Analisis Data
Struktur Komunitas Lamun
a. Kerapatan Jenis Lamun
Kerapatan jenis lamun adalah jumlah total individu suatu jenis lamun dalam
satu unit area yang dihitung. Kerapatan jenis lamun dihitung berdasarkan rumus
(English et al 1997) sebagai berikut:

Keterangan :
Di = Kerapatan jenis ke-i (ind/m2)
Ni = Jumlah total individu jenis ke-i (ind)
A = Luas area total pengambilan contoh (m2)
b. Persentase Penutupan Jenis Lamun
Persentase penutupan jenis lamun yaitu luasan area yang tertutupi oleh
tumbuhan lamun. Penutupan lamun ditentukan berdasarkan rumus (English et al
1997) sebagai berikut :

Keterangan :
Ci
= Penutupan jenis ke-i (ind/m2)
Mi = Persentase nilai tengah kelas ke-i
Fi

= Frekuensi (jumlah jenis ke-i)
= Jumlah total frekuensi jenis ke-i

Struktur Komunitas Meiofauna
Data hasil identifikasi dan perhitungan yang diperoleh kemudian ditabulasi
untuk dianalisis serta mengetahui kelimpahan, keanekaragaman, keseragaman,
dominasi, dan kesamaan taksa meiofauna.
a. Kelimpahan
Kelimpahan adalah jumlah individu dalam satuan luas (Brower et al 1989),
dengan formulasi :

7
Keterangan :
D = Kelimpahan meiofauna (ind/m2)
a = Jumlah meiofauna yang di hitung (individu)
b = Luas lingkaran corer (cm2) nilai 10.000 adalah nilai konversi dari cm2 ke m2
b. Indeks Keanekaragaman (H’)
Keanekaragaman jenis digunakan untuk mengetahui keanekaragaman hayati
biota yang akan diteliti. Bila nilai indeks semakin tinggi, berarti komunitas biota
perairan itu makin beragam dan tidak hanya didominasi oleh satu atau dua taksa
saja. Keanekaragaman jenis ditentukan dengan Indeks Shannon–Wiener
(Krebs 1972) yang persamaannya adalah sebagai berikut :

Keterangan :
H’ = Indeks Keanekaragaman
pi = ni / N
ni = Jumlah individu pada taksa ke-i
N = Jumlah individu seluruh taksa
S = Jumlah taksa
Kriteria hasil indeks keanekaragaman menurut Brower et al 1989 yaitu
sebagai berikut :
H’< 3.32
= Indeks keanekaragaman rendah artinya penyebaran jumlah
individu tiap spesies dalam kestabilan komunitas rendah
3.32 < H’ < 9.97 = Indeks keanekaragaman sedang artinya penyebaran jumlah
individu tiap spesies dalam kestabilan sedang atau moderat.
H’ > 9.97
= Indeks keanekaragaman tinggi artinya penyebaran jumlah
individu tiap spesies dalam kestabilan komunitas tinggi
c. Keseragaman (E)
Keseragaman digunakan untuk mengetahui pola penyebaran individu tiap
taksa. Rumus indeks keseragaman (Index Evenness) ditentukan dengan persamaan
(Krebs 1972) sebagai berikut:

Keterangan :
E
= Indeks keseragaman (Index Evenness)
H’
= Indeks keanekaragaman Shanon & Wiener
H maks = Keragaman maksimum (ln S)
S
= Banyaknya taksa (jumlah individu yang ditemukan)
Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0 sampai 1. Indeks keseragaman
mendekati 0 berarti penyebaran jumlah individu tiap taksa tidak sama dan
cenderung terjadi dominasi jenis. Bila indeks keseragaman mendekati nilai 1
menunjukkan kecenderungan jumlah individu tiap taksa relatif sama dan tidak

8
terjadi dominasi jenis (Brower et al 1977). Penggolongan nilai keseragaman
menurut Pielou (1977) adalah sebagai berikut :
a) 0.00 – 0.25 tidak merata
b) 0.26 – 0.50 kurang merata
c) 0.51 – 0.75 cukup merata
d) 0.76 – 0.95 hampir merata
e) 0.06 – 1.00 merata
d. Indeks Dominasi (D)
Ada tidaknya dominasi dari suatu taksa tertentu yang ditentukan dengan
indeks Simpson (Brower et al 1989) dengan persamaannya sebagai berikut :

Keterangan :
D = Indeks dominansi
Pi = ni/N
ni = Jumlah individu dari taksa ke-i
N = Jumlah keseluruhan dari individu
Nilai indeks dominasi berkisar antara 0 hingga 1. Jika indeks dominasi
mendekati 0 berarti hampir tidak ada taksa yang mendominasi dan biasanya
diikuti dengan indeks keseragaman yang besar. Apabila indeks dominasi
mendekati 1 berarti ada salah satu taksa yang mendominasi dan diikuti dengan
nilai keseragaman yang semakin kecil (Odum 1997).
Kriteria indeks dominasi dibagi kedalam tiga bagian menurut Legendre
(1983) sebagai berikut :
C < 0.4
= Dominasi rendah
0.4 < C < 0.6 = Dominasi sedang
C > 0.6
= Dominasi tinggi
e. Indeks Kesamaan Taksa (IS)
Indeks Kesamaan taksa menggambarkan kesamaan taksa meiofauna di dua
daerah yang berbeda, dihitung berdasarkan indeks kesamaan jenis Sorensen
(Magurran 1988) sebagai berikut :

Keterangan :
IS = Indeks kesamaan taksa Sorensen
A = Jumlah taksa di Stasiun 1
B = Jumlah taksa di Stasiun 2
C = Jumlah taksa yang sama di kedua Stasiun 1 dan 2
Penilaian indeks kesamaan dalam penelitian ini ditentukan dengan :
 Jika IS < 50% maka dinyatakan berbeda
 Jika IS > 50% maka dinyatakan sama

9
Data hasil perhitungan tersebut kemudian ditabulasi untuk dapat mengetahui
pola struktur komunitas meiofauna interstisial seperti komposisi, nilai
keanekaragaman, keseragaman, kesamaan serta jenis yang mendominasi pada
habitat padang lamun. Asosiasi antara jenis substrat dan keseragaman kelompok
meiofauna interstisial dapat diketahui dengan membandingkan sampel substrat
dengan jumlah ragam kelompok meiofauna yang ditemukan dalam substrat.
Sedimen
Analisis TOM sedimen bertujuan untuk mengetahui kandungan total bahan
organik yang terdapat pada sedimen. Cara kerja untuk analisis TOM adalah
sebagai berikut :
a. Timbang cawan kosong guna mengetahui berat dari cawan.
b. Masukkan sampel sedimen ke dalam cawan.
c. Cawan yang telah berisi sampel dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 70
0
C selama 24 jam.
d. Dinginkan sampel, kemudian ditimbang untuk mendapatkan nilai berat
kering sampel.
e. Masukkan ke dalam tanur untuk proses pengabuan dengan suhu 600 0C
selama 4 jam.
f. Timbang kembali dan hasilnya dikurangi dengan berat cawan untuk
mendapatkan nilai berat pengabuan. Selanjutnya hitung persentase berat
TOM dengan rumus :

Analisis fraksi sedimen (grain size) dan TOM sedimen dilakukan di
Laboratorium. Analisis ukuran fraksi sedimen ditujukan untuk mengetahui
komposisi sedimen. Cara kerja untuk analisis fraksi sedimen adalah sebagai
berikut:
a. Sampel dikeringkan menggunakan oven 70 °C selama 24 jam.
b. Sampel disaring menggunakan saringan bertingkat.
c. Timbang sampel yang sudah disaring dari mulai ukuran 2 - 0.063 mm.
d. Substrat yang telah diketahui persentasenya tersebut selanjutnya dianalisis
dan ditentukan tipe substratnya.
Hubungan Meiofauna dengan Karakteristik Fisika Kimia Substrat dan
Vegetasi Lamun
Adanya interaksi suatu organisme dengan karakteristik habitat tertentu dapat
dipakai sebagai indikasi hadir tidaknya organisme tersebut pada suatu tempat
dengan kepadatan yang tertentu pula. Untuk menentukan hubungan meiofauna
dengan karakteristik fisika-kimia substrat dan vegetasi lamun digunakan suatu
pendekatan analisis stastistik multivariabel yang didasarkan kepada Analisis
Komponen Utama (Principal Component Analysis) (Legendre 1983) ( Bengen et
al 1998).
Analisis komponen utama adalah metode statistik deskriptif yang digunakan
untuk mempresentasikan data dalam bentuk grafik informasi maksimun yang
terdapat dalam suatu matrik data. Matrik data yang dimaksud terdiri dari stasiun

10
penelitian sebagai individu (baris), meiofauna, karakteristik fisika-kimia substrat
dan vegetasi lamun sebagai variabel (kolom). Analisis Komponen Utama
menggunakan indeks yang menunjukkan ragam stasiunnya yang maksimum.
Indeks ini disebut komponen utama pertama yang merupakan sumbu utama 1
(F1). Suatu proporsi tertentu dari ragam total stasiun yang dijelaskan oleh
komponen utama pertama. Selanjutnya dicari komponen utama kedua (F2) yang
memiliki korelasi nihil dengan komponen utama pertama. Komponen utama
kedua memberikan informasi terbesar kedua sebagai pelengkap komponen utama
pertama. Proses ini berlanjut terus hingga komponen ke-p, yaitu menuju pada
bagian informasi yang semakin kecil.
Prinsip Analisis Komponen Utama menggunakan pengukuran jarak
Euclidiean, yaitu jumlah kuadrat antara stasiun untuk parameter yang
berkoresponden pada data jarak Euclidan yang didasarkan pada rumus :

Keterangan :
d2 = jarak Euclidiean
i,i’ = dua stasiun pada baris
j
= kelimpahan meiofauna, parameter fisika-kimia substrat dan vegetasi lamun
pada kolom (bervariasi dari 1 hingga p)
Analisis komponen utama tidak menghasilkan dua grafik yang independen,
akan tetapi hanya satu grafik unik dimana baris dan kolom dipresentasekan pada
yang sama. Analisis komponen utama menggunakan software MiniTab.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Fisika dan Kimia Perairan di Pulau Pramuka
Stasiun penelitian berada di Pulau Pramuka yang ada di Kelurahan Pulau
Panggang, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Stasiun 1 terletak
disebelah Selatan dan Stasiun 2 terletak di Tenggara Pulau Pramuka. Kondisi
fisika-kimia perairan mempengaruhi segala bentuk kehidupan yang ada di
dalamnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kondisi lingkungan di
padang lamun Pulau Pramuka masih cukup baik. Nilai parameter fisika-kimia
perairan yang tercatat di dua stasiun penelitian tidak memiliki kisaran perbedaan
yang cukup signifikan dan dapat dikatakan cukup mendukung kehidupan
meiofauna interstisial. Parameter fisika kimia pada stasiun penelitian meliputi
kecerahan, kedalaman, suhu, salinitas, pH, Dissolved Oxygen (DO), nitrat, dan
ortofosfat yang dapat dilihat pada Tabel 2.

11
Tabel 2 Parameter fisika kimia di masing – masing stasiun penelitian
Lokasi
NO Parameter Fisika Kimia
Stasiun 1
Stasiun 2
1.
Kecerahan (%)
100
100
2.
Kedalaman (cm)
25 – 15
35 – 40
3.
Suhu (oC)
28 – 30
27 – 29
4.
Salinitas (‰)
31.7
31.4
5.
pH
7
7
6.
DO (mg/l)
7.5
5.5
7.
Nitrat (mg/l)
0.105
0.087
8.
Ortofosfat (mg/l)
0.021
0.019
Nilai kecerahan di stasiun penelitian memiliki nilai yang sama yaitu 100%,
hal tersebut terlihat dari substrat dasar perairan yang terlihat dengan jelas. Hal ini
juga yang menyebabkan penetrasi cahaya matahari masih dapat menembus hingga
dasar perairan. Semakin rendah intensitas cahaya matahari yang masuk dalam
kolom perairan mengakibatkan semakin rendah laju fotosintesis. Padang lamun
membutuhkan intensitas cahaya matahari yang tinggi untuk membantu proses
fotosintesis. Cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan produksi
lamun di perairan pantai yang keruh (Hutomo 1997). Umumnya lamun
membutuhkan kisaran tingkat kecerahan 4 – 29% untuk dapat tumbuh dengan
rata-rata 11% (Hemminga dan Duarte 2000).
Kedalaman perairan pada stasiun penelitian kurang dari 1 meter. Kedalaman
perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun hidup pada
daerah perairan dangkal yang masih dapat dijumpai sampai kedalaman 40 meter
dengan penetrasi cahaya yang masih baik (Hemminga dan Duarte 2000). Semakin
dalam suatu perairan maka intensitas cahaya matahari untuk menembus dasar
perairan menjadi terbatas dan kondisi ini akan menghambat laju fotosintesis
lamun di dalam air.
Hasil pengukuran suhu perairan di masing – masing stasiun selama
penelitian berkisar antara 27 – 30 ⁰C. Kisaran nilai tersebut memperlihatkan
bahwa suhu perairan di stasiun penelitian berada dalam kisaran suhu normal untuk
daerah tropis. Suhu yang optimum untuk perkembangan meiofauna adalah 20 – 30
⁰C, hal ini menunjukkan bahwa kisaran suhu diperairan Pulau Pramuka dapat
mendukung kehidupan meiofauna (Heip et al 1985). Suhu merupakan faktor
penting bagi kehidupan organisme di perairan khususnya lautan, karena
pengaruhnya terhadap aktivitas metabolisme dari organisme tersebut. Suhu
mempengaruhi proses fisiologi yaitu fotosintesis, laju respirasi, dan pertumbuhan.
Lamun dapat tumbuh pada kisaran 5 – 35 ⁰C, dan tumbuh dengan baik pada
kisaran suhu 25 – 30 ⁰C (Marsh et al 1986) sedangkan pada suhu di atas 45 ⁰C
lamun akan mengalami stres dan dapat mengalami kematian (McKenzie 2008).
Hasil pengukuran salinitas pada stasiun penelitian berada pada kisaran nilai
optimum yaitu 31.4‰ – 31.7‰. Besarnya nilai salinitas pada stasiun penelitian
dapat dipengaruhi oleh faktor yaitu intensitas curah hujan, penguapan pada
permukaan perairan dan pasang surut. Keberadaan meiofauna pada setiap stasiun
dapat beradaptasi terhadap nilai salinitas yang tinggi yang dilakukan dengan cara
mengubah cairan tubuhnya sesuai dengan konsentrasi garam di luar tubuhnya

12
(Zulkifli 2008). Kisaran nilai salinitas pada stasiun penelitian termasuk nilai yang
optimum untuk pertumbuhan meiofauna.
Nilai pH atau derajat keasaman pada stasiun penelitian tidak bervariasi yaitu
7. Derajat keasaman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan
meiofauna, hal ini sesuai dengan pernyataan Odum (1997) yaitu, umumnya
derajat keasaman atau pH perairan berkisar antara 4 – 9 masih layak untuk
kehidupan biota air termasuk meiofauna karena pH berperan dalam pengaturan
respirasi dan sistem enzim. Fluktuasi pH dipengaruhi oleh fotosintesa dan
dekomposisi bahan organik.
Nilai pengukuran DO pada stasiun penelitian berkisar antara 5.5 - 7.5 mg/l.
Kandungan DO di suatu peraiaran sangat terkait dengan proses fotosintesis dan
sumberdaya lamun serta biota yang hidup di sekitar padang lamun. Parameter DO
di lokasi penelitian dapat memenuhi kriteria yang baik bagi biota laut yaitu > 5
mg/l (Kep. MENLH No.51 Tahun 2004)
Hasil pengukuran konsentrasi nitrat (NO3-N) dan ortofosfat (PO4-P) pada
stasiun penelitian berkisar antara 0.087 – 0.105 mg/l dan 0.019 – 0.021 mg/l.
Nitrat merupakan bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien
bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Menurut MenLH (2004) baku mutu untuk
nitrat adalah sebesar 0.008 mg/l. Apabila kadar nitrat lebih dari 0.2 mg/l, maka
akan terjadi pengayaan organik dalam perairan yang selanjutnya memicu
pertumbuhan alga secara pesat (blooming). Jika kadar nitrat lebih dari 5 mg/l
mengindikasikan bahwa terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari
aktifitas manusia dan tinja hewan, namun nitrat tidak bersifat toksik terhadap
organisme akuatik (Effendi 2003).
Ditinjau dari kadar zat hara fosfat di perairan Pulau Pramuka, dapat
dikatakan bahwa perairan ini relatif subur karena masih berada pada kisaran zat
hara fosfat di perairan laut yang normal yaitu 0.10 – 1.68 µg A/l
(Sutamihardja 1978). Kep. MENLH No.51 Tahun 2004 menetapkan ambang
batas kandungan ortofosfat untuk kehidupan biota laut sebesar 0.015 mg/l. Hal ini
berarti nilai yang didapat menunjukkan bahwa nilai tersebut masih dapat atau
masih memenuhi untuk kehidupan biota laut.
Karakteristik Fisika – Kimia Substrat Padang Lamun di Pulau Pramuka
Kehidupan organisme perairan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisika,
kimia maupun biologi. Penyebaran hewan meiofauna erat sekali hubungannya
dengan kondisi perairan dimana organisme ini ditemukan dan dipengaruhi oleh
parameter fisika dan kimia lingkungan seperti tekstur sedimen dan kandungan
bahan organik pada sedimen. Sedimen padang lamun mempunyai kandungan
bahan organik, konsentrasi kloropigmen dan biomassa bakteri yang tinggi
(Danovaro dan Gambi 2002 dalam Zulkifli 2008). Hasil pengukuran beberapa
parameter fisika dan kimia sedimen dasar yang meliputi tekstur sedimen,
C-organik dan TOM (Bahan Organik Total) disajikan pada Gambar 2 dan 3.

13

Gambar 2 Karakteristik Fisika Sedimen di Padang Lamun
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian, diketahui bahwa pasir
sedang mendominasi komposisi sedimen di seluruh titik pada stasiun penelitian.
Jenis sedimen di lokasi penelitian sangat penting diketahui, karena merupakan
faktor pembatas penyebaran meiofauna. Jenis sedimen ini erat kaitannya dengan
konsentrasi oksigen dan ketersediaan bahan organik dalam sedimen. Menurut
Zulkifli (2008) pada sedimen berbutir kasar (berpasir), konsentrasi oksigen relatif
lebih besar dibandingkan dengan sedimen yang lebih halus (berlumpur). Hal ini
disebabkan oleh sedimen berbutir kasar terdapat pori udara yang memungkinkan
terjadinya percampuran yang lebih intensif dengan air diatasnya. Pada tipe
sedimen yang mendominasi Stasiun 1 adalah pasir berbutiran sedang sebanyak
49.03%, baru diikuti oleh pasir kasar (35.50%), pasir halus (10.43%), pasir
(3.88% ) dan debu sebanyak 1.16%. Stasiun 2 memiliki komposisi sedimen yang
tidak jauh berbeda dengan Stasiun 1 yaitu komposisi sedimen yang mendominasi
adalah pasir sedang sebesar 47.78%, pasir kasar 25.60%, pasir halus 23.48%, debu
2.61% dan pasir 0.53% (Lampiran 5). Komposisi butiran sedimen juga
mempengaruhi jenis meiofauna interstisial yang berada di padang lamun. Pada
Stasiun 1 dan 2 jenis meiofauna yang paling banyak ditemukan adalah Filum
Nematoda, hal ini dipengaruhi oleh komposisi sedimen. Stasiun 1 dan 2
mempunyai kandungan pasir sedang/kerikil yang paling tertinggi (Gambar 2).
Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa keragaman Nematoda tinggi
pada sedimen kasar (Gourbault et al 1995) (Steyaert et al 1999)
Kandungan bahan organik (C-organik dan TOM) dalam sedimen erat
kaitannya dengan jenis sedimen. Jenis sdimen yang berbeda akan mempunyai
kandungan bahan organik yang berbeda pula. Hasil pengukuran karakteristik
kimia sedimen yaitu C-organik dan TOM (Bahan Organik Total) dapat dilihat
pada Gambar 3.

14

Gambar 3 Karakteristik Kimia Sedimen di Padang Lamun
Berdasarkan hasil penelitian kandungan C-organik pada lokasi penelitian
berkisar antara 0.24% - 0.32% (Lampiran 5). Keberadaan kandungan bahan
organik terkait dengan ukuran partikel sedimen. Pada sedimen halus, persentase
bahan organik lebih tinggi daripada sedimen kasar (Koster dan Meyer-Reil 2001).
Kandungan C-organik yang paling tinggi berada pada Stasiun 1 sebesar 0.32%,
hal ini dikarenakan kandungan sedimen di Stasiun 1 memiliki persentase paling
tinggi dan kelimpahan meiofauna yang tinggi. Kandungan C-organik yang rendah
berada pada Stasiun 2 dengan nilai C-organik sebesar 0.24%. Bahan organik yang
tersedimentasi merupakan sumber makanan bagi meiofauna, jasad renik dan
organisme bentos lainnya. Menurut Libes (1992) organisme tersebut mampu
mengubah karakteristik fisika, kimia dan geologi sedimen.
Hasil pengukuran TOM pada stasiun peneletian yaitu 0.41% - 0.55%
(Lampiran 5). Bervariasinya nilai TOM sedimen pada stasiun penelitian berkaitan
dengan tipe sedimen, kondisi lingkungan serta berhubungan dengan sumbernya.
Keberadaan nilai TOM yang tinggi pada Stasiun 1 disebabkan oleh adanya faktor
yang berperan sebagai pensuplai bahan organik dalam jumlah besar. Sumber
utama bahan organik sedimen di ekosistem padang lamun adalah jaringan
tumbuhan lamun, baik yang berupa serasah maupun sisa – sisa tumbuhan lamun
yang setiap tahunnya dapat tersedia dalam jumlah besar, serta adanya suplai bahan
organik dari sungai dan ekosistem mangrove di sekitarnya. Batang dan akar
tumbuhan lamun akan terombak oleh meiofauna dan jasad renik yang akhirnya
akan menjadi komponen sedimen. Dengan demikian jaringan tumbuhan lamun
merupakan makanan bagi meiofauna dan jasad renik sedimen. Sementara,
rendahnya nilai TOM sedimen di Stasiun 2 disebabkan oleh tidak adanya faktor –
faktor yang berperan sebagai pensuplai bahan organik dalam jumlah besar ke
lokasi tersebut. Nybakken dan Bertness (2005) menyatakan bahwa sedimen
berpasir umumnya mempunyai kandungan bahan organik lebih sedikit
dibandingkan dengan sedimen berlumpur.

15
Karakteristik Vegetasi Lamun
Berdasarkan hasil pengamatan di stasiun penelitian ditemukan 5 jenis
lamun yang tersebar di dua stasiun penelitian. Vegetasi lamun di Pulau Pramuka
termasuk vegetasi campuran (mixed seagrass beds), hal ini terlihat adanya asosiasi
antara dua atau tiga jenis lamun pada beberapa transek kuadran pengambilan data.
Padang lamun di perairan Indonesia umumnya termasuk padang lamun vegetasi
campuran (Nienhuis et al 1989).
Jenis lamun yang ditemukan di perairan Pulau Pramuka yaitu Enhalus
acoroides, Cymodocea rotundata, Thalasia hemprichii, Halodule uninerys,
Syringodium isoetifolium. Jenis lamun Cymodocea rotundata dan Thalassia
hemprichii paling mendominasi kerapatan lamun di Stasiun 1 dan 2. Hal ini sesuai
dengan penelitian Azkab (2006) bahwa tercatat terdapat kurang lebih 12 jenis
lamun di perairan Indonesia yang termasuk dalam 7 genera dan 2 famili. Jenis
Cymodocea rotundata dan Thalasia hemprichii merupakan jenis lamun yang juga
ditemukan di Pulau Pramuka.
Kerapatan Lamun
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil kerapatan lamun dari setiap
stasiun. Hasil Kerapatan lamun di Pulau Pramuka dapat disajikan pada Gambar
4.

(a)

(b)
Gambar 4 Kerapatan Lamun di Pulau Pramuka, (a) Stasiun 1 (b) Stasiun 2

16
Dua jenis lamun yang ditemukan pada Stasiun 1, yakni Cymodocea
rotundata dengan kerapatan paling tinggi sebesar 99% dan Enhalus acoroides
dengan kerapatan hanya 1% (Lampiran 6). Jenis lamun Thalasia hemprichii,
Halodule uninerys, Syringodium isoetifolium tidak ditemukan di Stasiun 1. Hal ini
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang berbeda, yakni pada Stasiun 1 kondisi
perairannya dangkal dan komposisi substrat sedimen kasar yang mengandung
banyak patahan karang. Menurut Kiswara (1997) bahwa lamun jenis Syringodium
isoetifolium dapat tumbuh subur pada perairan yang selalu tergenang oleh air dan
sulit tumbuh di daerah yang dangkal.
Pada Stasiun 2 ditemukan 5 jenis lamun yaitu Enhalus acoroides,
Cymodocea rotundata, Thalasia hemprichii, Halodule uninerys, Syringodium
isoetifolium, dengan kerapatan tertinggi pada jenis Thalassia hemprichii sebesar
50 % (Lampiran 6). Kerapatan rata-rata lamun terendah ditemukan di Stasiun 1,
hal ini dikarenakan sedikitnya jenis lamun yang terukur pada plot pengambilan
data di stasiun tersebut serta perbedaan kerapatan jenis lamun setiap stasiun yang
disebabkan oleh perbedaan kondisi faktor lingkungan di setiap stasiun penelitian.
Sedikitnya jenis lamun yang ditemukan pada Stasiun 1 juga disebabkan oleh jenis
substratnya. Stasiun 1 didominasi oleh substrat hamparan karang mati dan rubble
yang memungkinkan lamun sulit tumbuh, meskipun lamun dapat tumbuh pada
dasar lumpur, pasir, dan kerikil karang diantara karang hidup, cekungan batu
karang maupun pada dasar dan lumpur di bawah naungan mangrove (Kiswara dan
Winardi 1994).
Persentase Penutupan Lamun
Persentase penutupan lamun menggambarkan luas daerah yang tertutupi
oleh lamun. Nilai penutupan tidak hanya bergantung pada kerapatan jenis lamun,
namun dipengaruhi juga oleh morfologi jenis lamun tersebut. Persentase
penutupan lamun merupakan suatu metode untuk melihat status dan untuk
mendeteksi perubahan dari sebuah vegetasi (Hemminga dan Duarte 2000). Hasil
persentase penutupan lamun di Pulau Pramuka disajikan pada Gambar 5.

(a)

17

(b)
Gambar 5 Penutupan Lamun di Pulau Pramuka, (a) Stasiun 1 (b) Stasiun 2
Berdasarkan hasil penelitian bahwa penutupan lamun di Stasiun 1 yang
tertinggi adalah Cymodocea rotundata sebesar 98% dan Enhalus acoroides
memiliki persentase penutupan relatif terendah sebesar 1% (Lampiran 4). Hal ini
dikarenakan bahwa Cymodocea rotundata mempunyai pengaruh paling besar dan
dominan di Stasiun 1. Menurut Tomascik et al (1997) jenis lamun Cymodocea
rotundata mampu hidup pada daerah dangkal yang tertutup karang dan
mempunyai toleransi yang tinggi pada daerah tidak terendam air. Oleh karena itu
lamun jenis ini memiliki kerapatan dan penutupan yang cukup tinggi di Stasiun 1.
Pada Stasiun 2 Thalasia hemprichii merupakan jenis lamun yang memiliki
persentase penutup lamun tertinggi yaitu sebesar 53%. Penutupan relatif terendah
di Stasiun 2 adalah jenis lamun Syringodium isoetifolium sebesar 5% (Lampiran
6), hal ini dikarenakan Thalassia hemprichii adalah jenis lamun yang paling
dominan dan memiliki luas persebaran terbanyak di Stasiun 2. Secara umum,
Thalassia hemprichii memiliki penutupan paling tinggi karena merupakan jenis
yang umum ditemui dan tersebar luas di seluruh perairan Indonesia, termasuk di
Pulau Pramuka serta kemampuan tumbuhnya di berbagai macam tipe substrat
seperti pasir berlumpur, pasir berukuran sedang dan kasar, hingga pecahan karang
mati (Taka dan Azkab 2010).

Komunitas Meiofauna Interstisial di Pulau Pramuka
Berdasarkan hasil identifikasi meiofauna interstisial yang ditemukan pada
substrat padang lamun Pulau Pramuka terdiri dari 6 filum, 8 kelas, 22 ordo, 50
famili dan 55 genera. Hasil yang diperoleh dari perhitungan total dari ke dua
stasiun menunjukkan terdapat 8 kelas meiofauna dari 6 filum, yakni kelas
Polychaeta dan Clitellta dari Filum Annelida masing - masing terdiri dari 13 jenis
dan 1 jenis; Malacostraca dari Filum Arthropoda (7 jenis); Insecta dari Filum
Hexapoda (1 jenis); Adenophorea dari Filum Nematoda (15 jenis); Ostracoda dan
Maxillophoda dari Filum Crustacea (3 jenis dan 9 jenis), Acoelomorpha dari
Filum Xenacoelomorpha (1jenis) (Lampiran 7 dan 8).

18
Nematoda merupakan kelompok meiofauna interstisial yang mendominasi
baik jumlah jenis maupun kelimpahan jumlah individu di seluruh lokasi
penelitian. Hal ini dikarenakan kesesuaian habitat dan adanya beberapa
keunggulan yang dimiliki oleh Nematoda, seperti keunggulan morfologi, fisiologi
dan perilaku. Nematoda hidup dengan tipe habitat yaitu habitat lumpur berpasir
dan lumpur yang kaya akan bahan organik. Biasanya habitat lumpur berpasir dan
lumpur kaya bahan organik memiliki kadar oksigen rendah atau miskin oksigen.
Menurut Higgins dan Thiel (1998) dan Giere (1993), Nematoda cukup toleran dan
dapat beradaptasi dengan baik dengan kondisi kadar oksigen rendah atau miskin
oksigen. Selain itu, Nematoda juga banyak ditemukan di habitat berpasir, hal ini
sesuai dengan melimpahnya jumlah individu yang terdapat di stasiun penelitian.
Polychaeta merupakan kelompok meiofauna interstisial yang menempati
urutan kedua komposisi terbanyak di lokasi penelitian. Komposisi Polychaeta
yang cukup besar dikarenakan beberapa faktor yang mendukung keberadaannya,
yakni bentuk tubuh, sistem pencernaan dan adaptasi fisiologi pada Polycaheta.
Menurut Nybakken dan Bertness (2005) bahwa Kelas Polychaeta sebagai
organisme penggali dan pemakan deposit cenderung melimpah pada sedimen
lumpur lunak, dikarenakan habitat lumpur lunak merupakan daerah yang banyak
mengandung bahan organik sehingga sumber makanan bagi Polychaeta
mencukupi. Beberapa Polychaeta menempati celah-celah sedimen, yaitu dengan
cara menggali sedimen lunak dengan mendorong partikel-partikel sedimen untuk
membuat tempat tinggalnya (Westbeide 1988) (Funch et al 2002).
Kelimpahan Meiofauna
Kelimpahan merupakan perbandingan antara kelimpahan individu tiap jenis
dengan keseluruhan individu yang ditemukan dalam suatu komunitas
(Hawkes 1978). Hasil identifikasi meiofauna dari dua stasiun penelitian dalam
kawasan perairan Pulau Pramuka terdiri atas 50 famili meiofauna dengan
kelimpahan individu sebesar 68651 ind/m2. Dari jumlah total famili meiofauna
yang ada di stasiun penelitian tidak semuanya ada di setiap stasiun. Famili
Bathynellidae, Ampithoidae, Canuellidae, Expanathuridae, Hesionidae
(Lampiran 10), Ingolfiellidae, Microcerberidae, Parergodrilidae, Pasiphaeidae,
Tanaidae tidak ditemukan pada Stasiun 1 akan tetapi famili tersebut dapat
ditemukan pada Stasiun 2, sedangkan Famili Desmoscolecidae, Oweniidae,
Tripyloididae, tidak ditemukan di Stasiun 2 (Gambar 6). Perbedaan keberadaan
famili meiofauna disetiap stasiun dipengaruhi habitat dari setiap famili meiofauna.

19

Gambar 6 Kelimpahan Meiofauna di Pulau Pramuka

20
Menurut Zulkifli (2008) tipe habitat, kedalaman sedimen dan musim
berperan penting dalam menentukan komunitas meiofauna interstisial. Perbedaan
kondisi padang lamun berpengaruh terhadap terjadinya perbedaan komunitas
meiofauna interstisial di habitat tersebut.
Komposisi genus dan kelimpahan individu meiofauna dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu faktor fisika, kimia dan biologi. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Rosa dan Bemvenuti (2005) bahwa faktor-faktor tersebut di antaranya
ukuran parikel sedimen, suhu, dan arus (faktor fisika), salinitas, oksigen, pH dan
EH sedimen, dan bahan organik sedimen (faktor kimia), bioturbasi dan
pemangsaan/predator (faktor biologi).
Famili meiofauna yang memiliki kelimpahan famili yang tertinggi di Pulau
Pramuka yaitu Famili Oxystominidae (Lampiran 10) dengan nilai kelimpahan
sebesar 6960 ind/m2 (Gambar 6). Famili Oxystominidae memiliki kelimpahan
meiofauna yang tinggi (Lampiran 7 dan 8), Famili Oxystominidae merupakan
bagian dari Filum Nematoda. Menurut Danovaro et al (2002) bahwa laju produksi
harian meiofauna mengalami peningkatan pada bulan Fabruari - Maret (21.3
mgC/m2/hari), Mei - Juni (31.4 mgC/m2/hari), dan Oktober - Desember (44.6-52.0
mgC/m2/hari).
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian lainnya di wilayah Indonesia,
maka perairan pantai Kuta Lombok Tengah tercatat hanya 6 taksa dengan
kelimpahan tertinggi adalah kelompok Nematoda, Foraminifera, Copepoda,
Ostracoda, Turbellaria dan Polychaeta (Susetiono 1994 dalam Zulkifli 2008). Di
perairan Pulau Pari pada substrat padang lamun ditemukan 8 kelompok meiofauna
yaitu kelompok Nematoda yang memiliki kelimpahan terbanyak, kemudian
diikuti oleh kelompok Polychaeta, Oligochaeta, Copepoda, Amphipoda,
Foraminifera, Gnathostomulida dan Turbellaria (Trisnawati 2012)
Keanekaragaman Meiofauna
Indeks keanekaragaman merupakan perbandingan antara jumlah marga
dengan jumlah total individu dalam suatu komunitas.

Gambar 7 Indeks Keanekaragaman Meiofauna di Pulau Pramuka

21
Indeks keanekaragaman yang digunakan dalam penelitian ini yaitu indeks
keanekaragaman yang menggambarkan keadaan populasi organisme secara
matematis agar mempermudah menganalisa informasi jumlah individu masingmasing jenis pada suatu komunitas. Stasiun 2 memiliki keanekaragaman
meiofauna yang lebih tinggi dari pada Stasiun 1. Indeks keanekaragaman jenis
meiofauna interstisial berkisar antara 4.371 – 4.753 ind/m2 (Gambar 7). Nilai
keanekaragaman meiofauna pada Stasiun 2 sebesar 4.753 ind/m2 dan pada
Stasiun 1 nilai keanekaragamannya sebesar 4.371 ind/m2. Indeks keanekaragaman
meiofauna pada kedua stasiun penelitian dikategorikan sedang, karena nilai H’
yang diperoleh berada diantara 3.32 < H’ < 9.97 . Nilai H’ 3.32 < H’ < 9.97
menunjukkan keanekaragaman sedang (Brower et al 1989). Indeks
keanekaragaman sedang artinya penyebaran jumlah individu tiap spesies dalam
kestabilan sedang atau moderat. Hal ini terjadi karena jumlah jenis dari
meiofauna di stasiun penelitian memiliki proporsi jumlah kepadatan sedang yang
menyusun komunitas.
Indeks Keseragaman Meiofauna
Indeks keseragaman adalah indeks yang menunjukkan tingkat keseragaman
individu tiap spesies di dalam suatu komunitas (Hawkes 1978). Nilai indeks
keseragaman berkisar antara 0 sampai dengan 1. Jika indeks keseragaman
mendekati 0, maka semakin kecil pula keseragaman biotanya sehingga dalam
ekosistem tersebut ada kecenderungan terjadi dominasi spesies tertentu. Semakin
besar nilai keseragaman yaitu mendekati 1 dapat diartikan bahwa dalam
komunitas tersebut tidak didominasi oleh satu spesies. Hal ini menunjukkan
bahwa ekosistem dalam kondisi yang relatif baik, yaitu jumlah individu tiap
spesies relatif sama (Odum 1997).

Gambar 8 Nilai Keseragaman Meiofauna di Pulau Pramuka
Indeks keseragaman meiofauna pada kedua stasiun penelitian memiliki nilai
kemerataan hampir merata dengan nilai E’ berada diantara 0.76 – 0.95 (Pielou
1977). Apabila nilai indeks keseragaman 1 atau mendekati 1, maka pada

22
komunitas tersebut memiliki persebaran jenis atau kelompok yang merata.
Semakin tinggi nilai indeks keanekaragaman jenis atau kelompok, maka semakin
merata persebarannya (Magurran 1988 dalam Trisnawati 2012).
Dominasi Meiofauna
Indeks dominasi merupakan indeks yang digunakan untuk memperoleh
informasi mengenai jenis meiofauna yang mendominasi pada suatu komunitas
pada setiap habitat. Berdasarkan nilai indeks dominasi pada stasiun peneltian
berkisar antara 0.046 – 0.068 (Gambar 9).

Gambar 9 Nilai Dominasi Meiofauna di Pulau Pramuka
Staiun 1 memiliki nilai dominasi sebesar 0.068 dan Stasiun 2 sebesar 0.046,
Stasiun 1 memiliki dominasi yang lebih besar dibandingkan dengan stasiun 2
(Gambar 9). Indek dominasi meiofauna pada kedua stasiun penelitian memiliki
nilai dominasi rendah, karena nilai C yang diperoleh adalah C < 0.4. Nilai indeks
dominasi C < 0.4 menunjukkan nilai indeks dominasi rendah (Legendre 1983).
Hal ini menandakan bahwa komunitas meiofauna di Pulau Pramuka berada dalam
kondisi stabil dan tidak ada dominasi oleh suatu jenis spesies dalan komunitas.
Nilai indeks dominasi berkisar antara 0 – 1, nilai indeks dominasi yang
mendekati 0 berarti hampir tidak ada dominasi oleh suatu jenis spesies dalam
komunitas. Nilai indeks dominasi yang mendekati 1 berarti ada dominasi oleh
suatu spesies dalam komunitas tersebut (Odum 1997)
Indeks Kesamaan Taksa (IS)
Indeks kesamaan taksa digunakan untuk mengetahui kesamaan taksa
meiofauna di dua daerah yang berbeda. Nilai indeks kesamaan taksa pada lokasi
penelitian memiliki nilai sebesar 85.057% (Lampiran 11). Indeks kesamaan taksa
meiofauna pada kedua stasiun penelitian dinyatakan sama, karena nilai IS yang
diperoleh > 50%.

23
Hubungan Meiofauna dengan Karakteristik Fisika-Kimia Substrat dan
Vegetasi Lamun
Hubungan antara meiof