Jaringan dan Keputusan Migrasi Untuk Penguasaan Lahan Kajian Komunitas Petani Coklat Migran Bugis di Sulawesi Tenggara.

JARINGAN DAN KEPUTUSAN MIGRASI
UNTUK PENGUASAAN LAHAN
Kajian Komunitas Petani Coklat Migran Bugis di Sulawesi Tenggara

ELOK PONCO MULYOUTAMI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Jaringan dan
Keputusan Migrasi Untuk Penguasaan Lahan, Kajian Komunitas Petani
Coklat Migran Bugis di Sulawesi Tenggara adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Elok Ponco Mulyoutami
NIM I35311007

RINGKASAN
ELOK PONCO MULYOUTAMI. Jaringan dan Keputusan Migrasi Untuk
Penguasaan Lahan Kajian Komunitas Petani Coklat Migran Bugis di
Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh EKAWATI SRI WAHYUNI dan LALA M
KOLOPAKING.
Migrasi desa ke desa secara spontan berdampak hampir pada setiap dimensi
manusia. Migrasi atas dasar kehausan terhadap lahan yang dipicu oleh
pengembangan tanaman komoditi dengan nilai ekonomi tinggi berlangsung secara
bergelombang. Migrasi ini memicu terjadinya perubahan sosial dan ekonomi
dalam struktur keluarga dan struktur sosial. Perubahan tersebut akan disertai
dengan perubahan pola penghidupan, pengelolaan lahan serta keputusan terhadap
migrasi lain. Studi mengenai jaringan migrasi dalam menguasai lahan
pertanian/perkebunan dilakukan untuk memotret proses migrasi yang berlangsung
terus menerus, aktor yang terkait dalam proses migrasi dan perannya dalam
memfasilitasi migrasi serta pengaruhnya terhadap keputusan bermigrasi.

Studi dilakukan pada komunitas migran Bugis di Sulawesi Tenggara.
Komunitas Bugis dikenal sebagai perantau ulung dan sukses di daerah barunya.
Di Sulawesi Tenggara, komunitas ini mendominasi perkebunan coklat rakyat.
Data BPS tahun 2010 menunjukkan produksi coklat 137.833 ton, dan masyarakat
pendatang menyumbang dua pertiga dari produksi tersebut. Penelitian dilakukan
di daerah tujuan migrasi, Kecamatan Besulutu, Kabupaten Konawe dan di
Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten Sinjai, yaitu daerah asal dari beberapa
migran Bugis di dalam Komunitas migran yang diteliti.
Studi menunjukkan bahwa lahan, merupakan motivasi utama para migran
Bugis ke daerah Sulawesi Tenggara. Perpindahan komunitas Bugis ke Tenggara
dibagi menjadi tiga fase besar yang ditandai dengan program pengembangan
komoditas pada setiap periode waktu. Periode tersebut adalah revolusi hijau
dengan komoditas padi (tahun 1970 – 1980-an), dan masa meledaknya tanaman
coklat yang dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase awal (1980 – 2000-an) dan fase
lanjutan (2000-an hingga kini). Pada setiap periode ini, pengambilan keputusan
migran berdasarkan pertimbangan rumah tangga, bukan hanya individu. Beberapa
pola jaringan migran sengaja atau tidak sengaja dibentuk oleh para migran
tersebut, meliputi migrasi karena jaringan kekerabatan, migrasi atas hubungan
patron dan klien, serta migrasi yang terjadi karena penempatan pekerjaan. Pola
jaringan yang keempat adalah pola yang dibangun oleh para migran yang sudah

terlebih dahulu ada di Sulawesi Tenggara dan berupaya mengembangkan kebun
coklat ke beberapa daerah lain di Sulawesi Tenggara. Jaringan keluarga dan
pertemanan berperan penting di tahap awal migrasi. Jaringan ini juga
dimanfaatkan oleh aktor sentral dalam proses migrasi, yaitu perantara migrasi atau
perantara lahan, yang menjadi salah satu simpul pada jaringan yang membuka
jaringan tersebut dengan jaringan-jaringan lainnya.
Keywords: migrasi spontan, pengambilan keputusan bermigrasi, jaringan
bermigrasi, Sulawesi, penguasaan lahan, perantara lahan

SUMMARY
ELOK PONCO MULYOUTAMI. Migration Network and Decision Making
For Land Acquisition Case on Cacao Farmers – Bugis Migrant Community
in Southeast Sulawesi. Supervised by EKAWATI SRI WAHYUNI and LALA
M KOLOPAKING.
Spontaneous rural to rural migration has many impacts on every human
being dimension. The wave of migration on the basis of the land thirsty was
triggered by the development of high economic value cash crops. Migration can
lead to changes in social and economic spheres, in social and family structure.
Those changes followed by changes in livelihood, land distribution, land
management and the decision for another migration step. Study of migration

networks will contribute to a good portrait of never-ending migration, the related
actors and their role in facilitating the migration and also influence the decision
for migration.
The study was conducted at Bugis migrant communities in Southeast
Sulawesi. Bugis community were known as the great wanderer and always
successful in their new area. In Southeast Sulawesi, smallholder cacao plantation
were dominated by the Bugis migrant. Data from Statistic Bureau of Indonesia
(2010) showing that cacao production in this province is about 137.833 ton, and
the migrant communities contribute two third from all the production. Research
was conducted in the destination areas of Bugis migrants (Besulutu sub district,
Konawae District) and in the origin areas (Tellu Limpoe sub district, Sinjai
district).
The results of the study showed that the main motivation Bugis migrants to
the Southeast Sulawesi is because of land. Waves of Bugis migration to the
Southeast can be defined in three main phases that was characterized by
development of some major commodity in each difference time period. Green
revolution with paddy development in 1970 – 1980s, cacao booming in early (in
1980 s – 2000s) and post phase (2000s until now). Migration decision making in
each time period were based on household or family consideration, is not only
rely on the individual bases. There were four migration network pattern that was

deliberate or undeliberately developed by the Bugis migrant community. Kinship
network, patron client relationship, and migration due to work displacement. The
fourth network pattern is the migration by the pioneer migration that was
inhabited Southeast Sulawesi for long time period. The motivation were to expand
the agriculture or plantation land in other areas in Southeast Sulawesi. Family and
friendship network play a very important in the early stages of migration. Another
central actor in the migration is the migrant land broker, who becomes the node of
the network that opens the network to different villages and families.
Keywords: spontaneous migration, migration decision making, migration
network, Sulawesi, land acquisition, land broker

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


JARINGAN DAN KEPUTUSAN MIGRASI
UNTUK PENGUASAAN LAHAN
Kajian Komunitas Petani Coklat Migran Bugis di Sulawesi Tenggara

ELOK PONCO MULYOUTAMI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Ekawati Sri Wahyuni dan
Bapak Dr. Lala M Kolopaking selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Arya Hadi
Darmawan yang telah banyak memberi kritik dan saran dalam penyempurnaan
thesis ini. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Suyanto, Dr. James
Roshetko, Dr. Meine van Noordwijk, dan Dr. Ujjwal Pradhan, yang telah
memberikan inspirasi atas berbagai masukan kritis terhadap penulis dalam
penulisan tesis ini. Beberapa masukan berharga didapatkan juga dari Dr Sonya
Dewi dan Dr Carol Colfer. Terimakasih kepada rekan-rekan team TAMMU
(Trees, Agroforestry Management, and Marketing) di ICRAF Bogor yang telah
menjadi teman diskusi dan berbagi peran selama penulis menjalani masa kuliah,
penelitian dan dalam masa penulisan tesis. Apresiasi diberikan kepada temanteman AGFOR Kendari dan Bantaeng yang telah memfasilitasi kegiatan
penelitian ini, serta kepada Adlan, Sahabuddin dan Gilang yang telah membantu
dalam kegiatan pengumpulan data lapangan. Penghargaan yang besar kepada
rekan-rekan Sosiologi Pedesaan 2011, yang telah memberikan semangat moril
sebagai teman seperjuangan dan bertukar ilmu, serta mencurahkan hati dan saling
mendukung. Ungkapan terima kasih yang setulusnya kepada Amin Prihartono,
Akmal Zhafif Makarim dan Arsyad Rizki Makarim, tiga lelaki yang selalu

mendukung psikis dan moril kepada penulis. Tulisan ini dipersembahkan kepada
Almarhum Prof. Ir. Agus Pudji Prawoto, ayahanda penulis serta ibunda penulis
yang tercinta.
Adapun kegiatan penelitian ini merupakan bagian kecil dari sebuah program
besar yang dilakukan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, yaitu Hutan dan
Agroforest - Mengaitkan Pengetahuan Menuju Tindakan (Agroforestry and
Forestry, Linking Knowledge to Action). Program ini dipimpin oleh Dr. James
Roshetko (ICRAF), yang dilakukan dengan kerjasama beberapa mitra seperti
Operation Wallacea Trust, Universitas Hasanuddin, dan beberapa organisasi lokal
seperti Balang dan LEPMIL, serta mendapat dukungan dana dari perwakilan
kedutaan Kanada di Indonesia (DFATD - Department of Foreign Affairs, Trade
and Development Canada)
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membaca dan
menjadikan karya ini sebagai referensi.

Bogor, Juni 2014
Elok Ponco Mulyoutami

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


iii

DAFTAR GAMBAR

iv

DAFTAR SINGKATAN

v

1 PENDAHULUAN

1

1.1 Latar Belakang

1

1.2 Perumusan Masalah


4

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

6

2 TINJAUAN PUSTAKA

7

2.1 Migrasi Dalam Berbagai Ranah Teori

7

2.2 Jaringan Bermigrasi Sebagai Sebuah Modal Sosial

8

2.3 Keputusan bermigrasi


11

2.4 Jaringan Migrasi: Analisa Posisi dan Peran Para Aktor

14

2.5 Bugis dan Penguasaan Lahan Untuk Kebun Coklat

15

2.6 Kerangka Konseptual

16

3 METODE

18

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

18

3.2 Metode Pengumpulan Data

20

3.3 Analisa Data

21

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

24

4.1 Gambaran Komunitas Bugis Di Desa Asal

24

4.2 Gambaran komunitas migran Bugis di desa tujuan

28

4.3 Ikhtisar

30

5 GERAK PENDUDUK DI DAERAH ASAL PARA MIGRAN

31

5.1 Penyebaran Komunitas Bugis: Sebuah Analisis Sejarah

31

5.2 Gerak Penduduk di Desa Asal

34

5.3 Karakteristik Migran Keluar

36

5.4 Keputusan Bermigrasi

37

5.5 Ikhtisar

45

6 MIGRASI KOMUNITAS PETANI COKLAT BUGIS DI SULAWESI
TENGGARA

47

6.1 Perdesaan di Sulawesi Tenggara: Wilayah Tujuan Para Migran Bugis 47
6.2 Gelombang kedatangan migran Bugis
i

48

ii

6.3 Migrasi dan Pola Penghidupan di Desa Tujuan

52

6.4 Pola-Pola Migrasi

55

6.5 Mengapa Bermigrasi?

60

6.6 Lahan Dan Pewarisan

62

6.7 Ikhtisar

63

7 MENGURAI JARINGAN MIGRASI

64

7.1 Jaringan Sosial Vertikal Dan Horisontal

64

7.2 ‘Sentralisasi Keantaraan’ Dan ‘Sentralisasi Pengaruh’

65

7.3 Ikhtisar

68

8 PERANTARA: SIMPUL UTAMA DALAM JEJARING MIGRASI

70

8.1 Lahan dan Ledakan Komoditi Coklat

72

8.2 Migrasi Karena Perantara

73

8.3 Ikhtisar

76

9 PENUTUP

77

9.1 Simpulan

77

9.2 Implikasi Terhadap Perkembangan Teoritis

78

9.3 Implikasi Terhadap Iklim Kebijakan

79

DAFTAR PUSTAKA

80

DAFTAR TABEL
1

Perkembangan teori migrasi

8

2

Jenis dan sumber data

22

3

Karakteristik penduduk di Desa Asal dan Desa Tujuan

24

4

Gerak penduduk di Kabupaten Bantaeng dan Bulukumba

33

5

Gerak penduduk di desa asal (Desa Kalobba, Sinjai)

35

6

Karakteristik migran pergi ditinjau dari tujuan wilayah migrasi

37

7

Tingkat Pendidikan ‘migran pergi’ dan ‘bukan migran’

40

8

Pendapatan ‘migran pergi’ dan ‘bukan migran’

40

9

Lahan yang dikuasai oleh kategori rumah tangga responden yang
merupakan ‘migran pergi’ dan ‘bukan migran’ di daerah asal

41

10

Migrasi masuk di beberapa desa di Sulawesi Tenggara

51

11

Tipe migran di daerah tujuan dan karakteristiknya (N=32)

55

12

Nilai ‘sentralisasi keantaraan’ dan sentralisasi pengaruh pada
beberapa aktor dalam jaringan migrasi Sulawesi Tenggara

68

iii

DAFTAR GAMBAR
1

Kerangka konseptual penelitian

17

2

Lokasi penelitian di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara

19

3

Lokasi Desa Kalobba, Kecamatan Tellu Limpoe, Sinjai

25

4

Penggunaan lahan di Desa Kalobba

26

5

Provinsi dengan laju migrasi keluar tertinggi di Indonesia

32

6

Estimasi migrasi masuk dan keluar setiap periode waktu di Desa
Kalobba berdasarkan hasil diskusi kelompok

35

7

Beberapa pertimbangan ‘bukan migran’ untuk tetap tinggal di daerah
asal

39

8

Persentase migran perdesaan dan perkotaan di beberapa provinsi di
Indonesia

48

9

Rute migran dari Sulawesi Selatan ke wilayah di Sulawesi Tenggara

49

10

Fase migrasi di Sulawesi Tenggara dan beberapa faktor yang
menandai fase tersebut

52

11

Pola migrasi di Desa Lawonua pada periode tertentu

53

12

Kepemilikan lahan berdasarkan tipologi migran

57

13

Pola migrasi dan model jaringan yang terbentuk

57

14

Faktor-faktor dalam pengambilan keputusan lokasi bermigrasi

61

15

Determinan migrasi di beberapa daerah tujuan di Sulawesi Tenggara

62

16

Jaringan migrasi dan sentralisasi para aktor

67

iv

DAFTAR SINGKATAN
ADB

Asian Development Bank

BPN

Badan Pertanahan Nasional

BPS

Badan Pusat Statistik

SNA

Social Network Analysis

SPMA

Sekolah Pertanian Menengah Atas

SRADP

Sulawesi Rainfed Agriculture Development Project

v

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Migrasi sebagai sebuah fenomena telah banyak menjadi bahan diskusi
dalam berbagai disiplin ilmu seperti ekonomi, geografi, demografi, sosiologi dan
psikologi sosial. Sebagai sebuah fenomena sosial, migrasi dipengaruhi dan
mempengaruhi banyak dimensi manusia, sehingga diskusi mengenai migrasi tiada
hentinya dilakukan. Perpindahan penduduk melintasi batas wilayah dengan
karakteristik fisik dan komunitas yang berbeda memunculkan berbagai isu lain
seperti perebutan ruang dan sumber daya, kerusakan lingkungan, pengangguran
dan tenaga kerja, dan berbagai isu lainnya.
Zelinksi (1971) menggambarkan model transisi mobilitas dengan kolonisasi
agraris menjadi satu strategi atas persaingan terhadap produksi lahan dan
pertumbuhan penduduk. Model ini berada di fase awal dalam transisi masyarakat,
dengan penghidupan utama komunitas masih berbasis kepada lahan dan aktivitas
pertanian. Salah satu bentuk dari kolonisasi agraris ini adalah migrasi desa ke
desa. Persaingan sumber daya lahan di desa asal mendorong gerakan penduduk ke
area lain yang memiliki sumber daya lahan yang lebih memadai.
Migrasi dari satu daerah ke daerah lainnya yang kaya akan sumber daya
lahan merupakan sebuah fenomena yang menjadi sebab dari adanya berbagai
permasalahan sosial serta sebagai akibat dari berbagai fenomena sosial, ekonomi
serta juga lingkungan. Di ranah ilmu tentang lingkungan, migrasi kerap dianggap
sebagai satu biang terjadinya kerusakan lingkungan, karena berhubungan dengan
perubahan alih fungsi lahan dan deforestasi. Pada ranah ilmu sosiologi, sebagai
lanjutan dari perebutan ruang dan sumber daya alam, migrasi seringkali dianggap
menjadi penyebab terjadinya konflik sosial, pengusiran komunitas lokal akibat
kesuksesan para migran, dan konflik dengan ruang yang terlindungi seperti cagar
alam dan suaka margasatwa. Sumber daya alam umumnya banyak terdapat di
wilayah pedesaan, sehingga dalam konteks ini, migrasi desa ke desa dapat
menggambarkan lebih jelas mengenai migrasi atas dasar sumber daya alam.
Biasanya isu migrasi desa ke desa berkaitan dengan program pemerintah
(transmigrasi, relokasi paska bencana atau konflik) namun migrasi yang bersifat
spontan terjadi secara simultan bahkan mengalami perkembangan dari tahun ke
tahunnya (Tirtosudarmo 2009:19). Migrasi spontan ini, meski sedikit demi sedikit,
namun karena terjadi secara berkelanjutan justru memiliki jumlah yang bisa jadi
lebih besar daripada migrasi terprogram. Migrasi ini bersifat sporadik dan sulit
diprediksi perkembangannya. Migrasi spontan juga merupakan migrasi yang
terjadi sebagai dampak lanjutan dari adanya migrasi terprogram yaitu transmigrasi
sebagaimana dijelaskan oleh Charas dan Pain (1993).
Gambaran migrasi spontan dari desa ke desa jelas tergambar dalam
fenomena petani coklat migran di Sulawesi Tenggara. Provinsi ini dikenal sebagai
salah satu produsen coklat yang besar di Indonesia. Sulawesi dikenal sebagai satu
daerah dengan pertumbuhan coklat terbesar dan tercepat sepanjang sejarah dunia.
Ruf dan Yoddang (2001:277) menyatakan bahwa pertumbuhan cepat dan ledakan
perkembangan coklat di wilayah ini memicu serta juga dipercepat dengan adanya
1

2

migrasi besar-besaran, sistem sewa hutan (forest rent) yang memicu deforestasi.
Jadi coklat merupakan komoditi yang telah membawa ledakan permintaan (boom)
namun sekaligus juga membawa pengaruh penurunan tajam (bust). Boom atau
ledakan karena mampu memberikan nilai ekonomi yang besar bagi komunitas
serta pertumbuhan ekonomi regional. Namun, bagai sebuah pisau bermata dua,
perkembangan komoditi ini juga memberikan dampak negative, seperti tingkat
migrasi yang tinggi yang diikuti dengan persoalan lahan dan laju deforestasi yang
cukup tinggi. Selain migrasi terprogram yang difasilitasi pemerintah di beberapa
wilayah transmigrasi di Sulawesi, migrasi spontan sporadik juga terjadi cukup
massif di sebagian wilayah Sulawesi seperti Sulawesi Tengah dan Sulawesi
Tenggara.
Data BPS pada tahun 2010, menunjukkan bahwa dari 137.833 ton produksi
coklat di Sulawesi Tenggara, 99% diantaranya dihasilkan dari kebun coklat rakyat
(smallholder) yang tersebar di sebagian besar wilayah yang terdapat di pulau
utama di Sulawesi Tenggara. Hasil observasi lapang dan beberapa diskusi dengan
sejumlah informan kunci dan tokoh pemerintah menyebutkan bahwa kebun coklat
rakyat di Sulawesi Tenggara terutama dikelola oleh komunitas pendatang (lebih
dari dua pertiganya). Tingginya produktivitas coklat dari provinsi ini disumbang
oleh penduduk pendatang, dan terutama pendatang dari Selatan baik komunitas
Bugis maupun Tator (Tana Toraja). Data BPS 2010 menunjukkan komposisi
penduduk migran di wilayah pedesaan di Sulawesi Tenggara sekitar 4.22%.
Komposisi ini tertinggi untuk beberapa wilayah di Pulau Sulawesi yang memiliki
rata-rata migran di pedesaan 2.08%. Sulawesi Tengah menempati posisi kedua di
pulau ini dengan komposisi penduduk migran pedesaan sebesar 4.03%. Sebagian
penduduk migran pedesaan berasal dari program transmigrasi dari Jawa, Madura
dan Bali, serta juga dari beberapa daerah di sekitar desa transmigrasi yang beretnis
Tolaki (etnis lokal di Sulawesi Tenggara), dan sebagian lainnya merupakan
migran yang berasal dari Sulawesi Selatan (etnis Bugis, Tana Toraja/Tator, dan
Makassar).
Suku Bugis dan Toraja telah dikenal sejak jaman dulu sebagai perantau
yang ulet dan selalu sukses di daerah tujuan (Lineton 1975, Acciaioli 1998, Pelras
2006). Budaya merantau yang dikenal oleh komunitas Bugis dan Toraja ini
menjadi faktor yang berpengaruh besar mengapa mereka bermigrasi ke daerahdaerah lain di Indonesia, bahkan hingga ke luar Indonesia, seperti ke Malaysia.
Studi Abustam (1989) mencoba mengeksplorasi beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya gerak penduduk pada beberapa komunitas tani di
pedesaan. Abustam sepakat dengan Lineton (1975) bahwa tradisi Sompe atau
merantau telah melembaga pada komunitas Bugis sejak beberapa abad yang lalu.
Faktor pendorong lain adalah konflik sosial, serta juga konsep bekerja dan jiwa
pelaut atau wiraswasa, lalu nilai budaya siri (malu) serta sistem pelapisan sosial
juga menentukan perilaku migrasi komunitas Bugis (Kinseng dan Saharudin 2009,
Vayda dan Sahur 1985, Vayda dan Sahur 1996).
Hasil studi awal penulis menunjukkan bahwa migrasi yang banyak
didominasi oleh komunitas dari Suku Bugis dan Toraja ke Sulawesi Tenggara
berawal sejak tahun 1970an. Migran yang terlebih dahulu datang dan bermukim di
daerah baru secara berkelompok, dan keberhasilan mereka telah mengundang
migran lain dari daerah mereka untuk datang ke lokasi mereka yang baru (Lineton

3

1975, Charras dan Pain 1993, Weber et al 2007). Melalui jaringan yang terbentuk,
komunitas mendapatkan informasi lahan mana yang dijual dan dapat mereka
akses untuk diolah menjadi lahan kebun coklat. Jaringan inilah yang kemudian
memandu terjalinnya rantai migrasi (Massey et al 1993:728) ke Sulawesi
Tenggara secara simultan.
Lahan, menjadi komoditas yang menarik para migran masuk dan menempati
suatu daerah. Hall (2011) dan Galudra et al (2013) menjelaskan bahwa kurang
jelasnya status lahan di suatu wilayah telah membuka peluang pasar lahan yang
memudahkan proses migrasi masuk berlangsung. Masuknya para migran ke dalam
suatu wilayah telah mengubah pola tata guna lahan dan seringkali diasosiasikan
dengan terjadinya deforestasi (Faust et al 2003). Sebagai akibatnya, terjadi konflik
kepentingan antar kelompok komunitas pribumi dengan pendatang. Di Sulawesi
Tengah, di sekitar Taman Nasional Lore Lindu, penduduk pribumi terusir dari
wilayah desa mereka dengan semakin masifnya migran dari Sulawesi Selatan
yang menempati dan menguasai lahan di wilayah desa para pribumi (Suku Kaili
dan Kulawi) tersebut (Abdulkadir-Sunito dan Sitorus 2007, Weber et al 2007).
Penduduk pribumi terpaksa masuk dan merambah wilayah yang termasuk dalam
wilayah taman nasional (Sitorus 2002a) dan dianggap sebagai pengganggu. Meski
demikian mereka tidak punya pilihan lain karena lahan yang mereka miliki sudah
berpindah tangan.
Fenomena yang nyaris sama terjadi di Sulawesi Tenggara, di mana
komunitas lokal beretnis Tolaki mulai berkurang lahannya, dan komunitas Bugis
yang berdatangan dari Selatan mulai menguasai sejumlah besar lahan. Seperti
pisau bermata dua, fenomena tersebut tak lagi terelakkan. Di satu sisi, komunitas
pendatang telah mempercepat proses pembangunan dan pengembangan wilayah di
Sulawesi Tengah dan Tenggara. Pendatang dari Selatan memiliki kemampuan
yang cukup besar untuk menyerap pengetahuan baru dan mengembangkan teknik
penanaman coklat (Ruf dan Yoddang 2001, Schippers dan Faust 2009), komoditi
utama di Sulawesi Tenggara. Dengan demikian, produksi coklat di provinsi ini
cukup pesat meningkat dan memicu pertumbuhan di segi lainnya. Di sisi lainnya,
komunitas pribumi yang sejatinya merupakan pemilik lahan semakin tergeser dan
lebih suka menekuni pekerjaan yang tidak berkaitan dengan pertanian/perkebunan.
Berbagai studi sudah di lakukan baik di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi
Tengah untuk menjelaskan kompetisi kekuatan yang terjadi antara komunitas
pendatang dan pribumi atas lahan (Abdulkadir-Sunito dan Sitorus 2007, Sitorus
2002a, Li 2012), serta juga perubahan struktur agrarian yang terjadi (Sitorus
2002b, Soetarto 2003). Penjelasan mengenai rantai migrasi yang terjadi diantara
orang Bugis dan proses mereka berpindah ke daerah baru tersebut belum banyak
diperoleh. Studi ini hendak memotret lebih jauh mengenai mengapa banyak orang
Bugis datang ke daerah Sulawesi Tenggara, dan bagaimana mereka membentuk
jaringan dalam proses mereka bermigrasi ke Tenggara untuk mendapatkan lahan
garapan tanaman coklat demi meningkatkan sumber penghidupan mereka.
Ilustrasi mengenai bagaimana komunitas pendatang Bugis mengambil keputusan
mengenai lokasi yang mereka tuju untuk membuka lahan baru akan memberikan
gambaran kemana arah pergeseran lokasi perpindahan mereka.

4

1.2 Perumusan Masalah
Proses migrasi komunitas Bugis ke beberapa wilayah di Indonesia
merupakan suatu proses yang berkelanjutan dan sangat terkelola dengan baik
(Vayda dan Sahur 1985). Proses ini berdampak besar pada perubahan tata kelola
lahan di wilayah yang mereka tempati, termasuk juga terhadap pola kehidupan
komunitas pribumi. Proses migrasi komunitas ini relatif berbeda dengan proses
migrasi lainnya yang biasanya terjadi secara langsung dalam periode waktu
tertentu, seperti halnya transmigrasi dan migrasi yang terjadi karena kebutuhan
tenaga kerja (contohnya migrasi orang Jawa ke Kerinci, Jambi untuk tenaga kerja
perkebunan teh Negara, dan migrasi orang Jawa ke Simalungun, Sumatera Utara,
sebagai tenaga kerja perkebunan karet milik swasta). Migrasi ini berlangsung
secara bergelombang. Komunitas Bugis, sebagaimana halnya dengan komunitas
perantau lain, misalnya etnis Minang, bermigrasi sesuai dengan budaya mereka,
yaitu budaya perantau (Lineton 1975).
Gelombang migrasi komunitas Bugis ini seringkali didorong atau ditarik
oleh hal yang berbeda, sesuai dengan masalah yang mereka hadapi dan peluang
yang ingin mereka ambil pada saat itu. Dan itu bisa berbeda dalam setiap periode
waktu yang berbeda sesuai dengan kondisi yang berkembang pada masa tersebut.
Pada masa sebelum kemerdekaan, migrasi Bugis lebih banyak didorong karena
rasa malu atas kekalahan kerajaan Makassar dari Koloni. Kemudian paska
kemerdekaan akibat adanya konflik Kahar Muzakar. Setelah itu, migrasi
komunitas ini berlangsung sebagai respon dari permintaan komoditi pertanian dan
perkebunan yang tinggi untuk Indonesia, seperti pada masa program Panca Usaha
Tani (sekitar tahun 1970-an) dan pengembangan kebun merica, coklat dan kopi.
Isu penting untuk dicermati dalam memahami gelombang migrasi orang
Bugis adalah hal-hal yang mendasari keputusan komunitas Bugis untuk
bermigrasi, arah migrasi, serta juga bagaimana merantau sebagai suatu lembaga
penting dalam komunitas Bugis. Lineton (1975) menyebutkan bahwa budaya
migrasi dan kemauan orang Bugis untuk bekerja keras menjadi dasar penting atas
keputusan mereka untuk bermigrasi. Kinseng dan Saharuddin (2009) juga
menggambarkan bagaimana etos kerja keras komunitas Bugis yang kini bermukim
di daerah pesisir telah membuka peluang mobilitas sosial yang tidak hanya
horisontal namun juga vertikal dan membuat mereka selalu berhasil di setiap
daerah baru di mana mereka tinggal. Namun demikian, penjelasan mengenai etos
kerja dan semangat bermigrasi belum dapat menunjukkan arah perpindahan
komunitas ini. Lahan, merupakan satu faktor yang dapat menunjukkan arah
migrasi komunitas Bugis dari masa ke masa. Lahan merupakan komoditi yang
dicari untuk mengembangkan produksi pertanian dan perkebunan.
Lee (1966) menyebutkan bahwa migrasi terjadi karena empat hal: faktor
penarik di daerah tujuan, faktor pendorong di daerah asal, faktor pribadi dan
beberapa hambatan yang mungkin terjadi. Etos kerja dan budaya bermigrasi dapat
dikategorikan sebagai faktor pribadi yang menentukan efek positif dan penyebab
negatif dalam bermigrasi. Etos kerja dan budaya migrasi mungkin juga
dikategorikan sebagai faktor pendorong migrasi, pada saat migran merasa malu
untuk tinggal di kampung halaman dan dianggap tidak berani mengambil resiko
dalam bermigrasi. Faktor penarik migrasi merupakan lahan yang dapat diakses

5

untuk pengembangan lahan pertanian dan/atau perkebunan. Ketidaktersediaan
lahan, menjadi faktor pendorong terjadinya migrasi keluar dari daerah asal.
Ekspansi lahan dilakukan ke daerah yang masih memiliki lahan dan mudah
diakses. Teori Lee (1966) melihat proses migrasi dalam satu periode waktu saja.
Massey (1990) menyatakan bahwa proses migrasi tidak dapat dilihat dari satu
faktor penyebab saja karena faktor penyebab tersebut merupakan akumulasi dari
faktor yang sebelumnya.
Zelinsky (1971) menyatakan bahwa penyebab migrasi yang terjadi dalam
kurun waktu dan periode yang berbeda juga akan sangat berbeda. Transisi
demografi dalam kaitannya dengan migrasi akan berubah sesuai dengan
perkembangan wilayah. Zelinsky (1971) mengungkapkan lima tahapan
perkembangan masyarakat yaitu (1) masyarakat tradisional pra modern (the
premodern traditional society), (2) Masyarakat transisi awal (the early
transitional society), (3) Masyarakat transisi akhir (the late transitional society),
(4) Masyarakat maju (the advanced society) dan (5) Masyarakat super maju (a
future super advanced society). Migrasi desa ke desa yang digambarkan dalam
studi ini ada pada model yang kedua, yaitu early transitional society. Zelinsky
menjelaskan tahapan ini sebagai upaya kolonisasi pertanian di daerah tepian hutan
yang masih memiliki banyak lahan. Akan tetapi, kondisi daerah kolonisasi di
Sulawesi Tenggara saat ini sudah berbeda dari masa sebelumnya, tidak lagi
merupakan daerah frontier (tepian hutan) yang tak bermilik. Saat ini, hampir
semua lahan yang dituju sudah dimiliki baik oleh komunitas pribumi dan
komunitas pendatang terdahulu. Dengan mempertimbangkan pendekatan Zelinski
dalam menganalisis pola mobilitas penduduk dengan fase perkembangan
masyarakat, studi ini berupaya melihat lebih lanjut proses perolehan lahan dari
komunitas yang telah menetap di Sulawesi Tenggara dalam berbagai periode
waktu yang berbeda sesuai dengan tahapan perkembangan masyarakat.
Dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan, aktor dan pelaku migrasi
tidak lagi dipandang sebagai individu sebagaimana ditekankan oleh Lee (1966).
Keputusan bermigrasi merupakan bagian dari rumah tangga atau keluarga yang
kemudian berperan penting dalam proses pengambilan keputusan. Da Vanzo
(1981) menjelaskan bahwa perpindahaan seseorang yang berkeluarga dilakukan
bersama anggota keluarga lain, atau akan diikuti oleh anggota lain. Selain itu,
bilamana hanya satu orang anggota keluarga pindah, perlu pembagian kerja
keluarga yang baru, terutama bilamana penghidupan keluarga bersandar pada
tenaga kerja keluarga. Dari sudut pandang teori biaya dan manfaat ala Da Vanzo
(1981), keputusan bermigrasi dengan segala resiko dan biaya yang dikeluarkan
memiliki harapan untuk mendapat nilai manfaat yang lebih besar bagi seluruh
anggota keluarga. Dengan demikian, bilamana salah satu anggota keluarga
memandang bahwa migrasi tidak memberi manfaat, maka keputusan bermigrasi
dapat berubah. Wood (1982) menekankan bahwa migrasi merupakan sebuah
aktivitas yang melekat pada keberhasilan dan kegagalan suatu rumah tangga atau
keluarga dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial, ekonomi dan politik. Pada
saat rumah tangga tidak mencapai level pendapatan yang mereka harapkan,
migrasi dapat menjadi suatu pilihan. Dengan demikian, rumah tangga merupakan
bagian terkecil dari interaksi yang kompleks antara struktur dan perilaku
masyarakat yang menentukan pola pergerakan penduduk.

6

Fenomena umum sebuah migrasi spontan adalah adanya rantai migrasi yang
terus berkelanjutan. Rantai migrasi ini terbangun dari hubungan antar komunitas
migran dengan komunitas migran pendahulunya yang membentuk modal sosial
yang penting untuk mempermudah proses perpindahan mereka. Jaringan migrasi
ini menjadi sebuah mekanisme yang dinamis dan senantiasa berkembang sesuai
dengan perkembangan kondisi masyarakat dan program pembangunan yang
melatarbelakangi kondisi masyarakat. Dalam pergerakannya, aktor dan posisi
aktor dalam jaringan dapat bertahan, namun mungkin juga dapat berubah. Dalam
hal ini, menarik kiranya untuk mengelaborasi lebih jauh jaringan mana yang
banyak dimanfaatkan oleh para aktor dalam posisi tertentu, serta jaringan mana
yang kemudian tidak lagi digunakan. Adapun jaringan ini sangat berperan penting
agar aktor dan pelaku migrasi dapat memperoleh sumber daya yang mereka
inginkan, yaitu lahan. Pertanyaan lebih lanjut adalah bagaimana struktur jaringan
dalam komunitas mempengaruhi keputusan para pelaku migrasi untuk melakukan
migrasi dalam upaya mereka untuk mendapatkan lahan garapan untuk tanaman
yang bernilai ekonomis.
Sebagai ringkasan dari penjelasan sebelumnya, rumusan permasalahan
penelitian dalam studi ini adalah:
(1) Bagaimana jejaring migrasi dalam upaya mengakses lahan pertanian dan
perkebunan terbentuk, siapa saja aktor yang berperan dan bagaimana posisi
mereka dalam jejaring migrasi?
(2) Bagaimana jejaring migrasi tersebut menentukan proses pengambilan
keputusan dalam rumah tangga migran?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan utama penelitian untuk mengkaji bagaimana proses jaringan dalam
migrasi komunitas migran Bugis menentukan terjadinya migrasi yang berlangsung
secara gradual dalam upaya penguasaan lahan untuk pengembangan kebun dan
lahan pertanian. Secara praktis hasil penelitian ini akan bermanfaat untuk
menghasilkan analisis peranan jaringan dalam pengambilan keputusan bermigrasi
dan upaya penguasaan lahan. Adapun secara strategis, hasil penelitian ini dapat
menjadi bahan pertimbangan dalam pengelolaan dan perencanaan wilayah suatu
daerah yang memiliki laju migrasi antar desa yang cukup tinggi. Penelitian ini
akan bermanfaat bagi para pembuat kebijakan untuk lebih memperhatikan
masalah migrasi desa ke desa, sehingga pola migrasi saat ini tergambar dapat
membantu memprediksikan migrasi yang dapat terjadi dan pendekatan yang
sebaiknya dilakukan untuk mengatasi masalah migrasi ini.
Tujuan penelitian secara lebih rinci dirumuskan sebagai berikut:
(1) Menganalisis model dan pola jejaring migrasi yang terbentuk dalam upaya
mengakses lahan pertanian dan perkebunan.
(2) Menganalisis bagaimana jejaring migrasi menentukan proses pengambilan
keputusan dalam rumah tangga migran.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Teori-teori migrasi yang berkembang dewasa ini mencoba menjelaskan
proses suatu migrasi antar wilayah yang dicirikan oleh karakteristik wilayah yang
berbeda. Hampir semua teori bersandar pada premis ekonomis yaitu atas dasar
upaya mencari penghidupan yang lebih baik, namun juga tetap memperhatikan
dimensi lain yang turut mempengaruhi proses migrasi tersebut. Teori-teori
mengenai sebab migrasi lebih banyak muncul dalam ranah internasional,
sedangkan dalam ranah internal, teori ini dicoba diaplikasikan dengan
memperhatikan aspek mikronya. Teori migrasi internal sendiri lebih berkembang
dalam menjelaskan pola migrasi yang terjadi, penyebab dan eksesnya. Bagian
pertama bab ini menjelaskan perkembangan teori migrasi internasional yang dapat
membantu menjelaskan mengapa fenomena migrasi internal terjadi. Bagian kedua
menjelaskan mengenai teori-teori dalam migrasi internal meliputi beberapa
konsep yang berkembang dalam migrasi internal. Bagian ketiga adalah eksplorasi
teori-teori sosial yang membangun teori jaringan bermigrasi, dilanjutkan dengan
eksplorasi beberapa teori dan konsep terkait dengan pengambilan keputusan
migrasi (bagian keempat). Diskusi ditutup dengan penjelasan kerangka berpikir
yang mendasari penelitian ini.
2.1 Migrasi Dalam Berbagai Ranah Teori
Berbagai teori besar berkembang dalam menjelaskan proses terjadinya suatu
migrasi. Disiplin Ekonomi menjelaskan migrasi dalam tiga fase besar yaitu
Neoklasik, Ekonomi Baru dan Ekonomi Migrasi Keluarga (Tabel 1). Teori-teori
ini memusatkan perhatian pada migrasi tenaga kerja dengan pertimbangan dasar
bahwa terjadi aliran tenaga kerja dari wilayah dengan aras pembangunan yang
lebih rendah daripada wilayah tujuannya. Teori ekonomi neoklasik berkembang
dari yang hanya melihat pada aras makro dengan unit analisa negara, menjadi
lebih fokus melihat pada keputusan individual dalam aras mikro. Dalam teori ini
dikemukakan bahwa dorongan migrasi ditentukan oleh analisis cost – benefit
(biaya dan manfaat) yang dimanifestasikan pada positive net return (Massey et al
1993). Keputusan melakukan migrasi ditentukan dengan mempertimbangkan
investasi.
Perdebatan teori migrasi semakin berkembang dan melahirkan teori
ekonomi baru yang melihat keputusan migrasi yang lebih ditentukan oleh tingkat
rumah tangga atau keluarga (Massey et al 1993). Migrasi ditujukan untuk
meningkatkan pendapatan rumah tangga dengan tujuan untuk mengurangi resiko
akibat tidak adanya jaminan pangan, akses ke pasar yang rendah karena modal
rendah, serta pengangguran. Dalam teori ini, peningkatan pendapatan tidak dalam
pengertian pendapatan yang absolut, namun bersifat relative yang melibatkan
partisipasi seluruh anggota keluarganya.
Selanjutnya dalam ranah sosiologi dan demografi, beberapa teori
berkembang untuk membantu menjelaskan bahwa migrasi tidak hanya didorong
oleh faktor ekonomi saja, namun juga ada pertimbangan lain. Lee (1966)
mengembangkan teori push and pull dari daerah tujuan dan daerah asal migrasi.
7

8

Tabel 1 Perkembangan teori migrasi
Teori

Neo classic

Ekonomi
Baru

Migrasi
keluarga

Push/Pull

Jaringan

Tipe
migrasi

Tenaga kerja

Tenaga
kerja

Tenaga
kerja

Semua tipe
migrasi

Semua
migrasi

Aras

Makro

Mikro

Mikro

Mikro

Mikro

Mikro – Meso Makro

Unit
analisa

Negara

Individu

Keluarga

Keluarga

Individu

Individu/

tipe

Keluarga/
jaringan

Disiplin

Ekonomi

Faktor

Penarik

Sosiologi
Penarik

Penarik

Penarik

Penarik dan pendorong

Dirangkum dari Massey et al 1993

Fokus analisa dalam teori Lee ini lebih bersifat individual dalam aras mikro. Teori
ini melihat karakteristik daerah asal dan daerah tujuan migrasi untuk menentukan
faktor pendorong dan penariknya. Teori ini dapat digunakan untuk menjelaskan
semua tipe migrasi.
Migrasi yang terjadi saat ini sangat mungkin dipengaruhi oleh migrasi yang
telah terjadi sebelumnya. Teori yang dikemukakan oleh Lee (1966) belum cukup
detail menjelaskan keterhubungan antara migrasi yang terjadi sebelumnya dengan
migrasi yang terjadi saat ini. Selanjutnya, berkembanglah teori jaringan yang
dapat dapat lebih menjelaskan rantai migrasi yang terjadi. Teori jaringan ini dapat
membantu menjelaskan konsekuensi dari migrasi yang terjadi dalam ranah budaya,
ekonomi dan sosial masyarakat. Tokoh-tokoh yang memperkenalkan teori
jaringan dalam kaitannya dengan migrasi adalah Boyd (1989) dan Massey (1990).
Jaringan merupakan sebuah bentuk modal sosial yang dapat memfasilitasi
terjadinya migrasi dan menekan biaya yang dikeluarkan untuk bermigrasi. Pilihan
bermigrasi ini sangat dipengaruhi oleh ikatan para migran terhadap daerah asal
mereka melalui jaringan sosial yang bersifat lintas wilayah.
2.2 Jaringan Bermigrasi Sebagai Sebuah Modal Sosial
Keputusan bermigrasi dapat berdasarkan pada beragam alasan. Meski tidak
dapat disangkal bahwa faktor ekonomi memegang peranan penting dalam
keputusan bermigrasi, namun pada saat migrasi terus menerus terjadi, di satu
lokasi yang sama atau berdekatan pasti ada faktor lain yang ikut menentukan
mengapa proses ini terjadi. Percampuran faktor ekonomi dan non ekonomi dalam
perilaku rasional disebut sebagai keterlekatan oleh Granovetter (1985). Faktor non

9

ekonomi dapat mengurangi biaya ekonomi, dan mempengaruhi keputusan dan
perilaku migran. Salah satu faktor non ekonomi dalam keterlekatan sosial ala
Granovetter (1985) adalah identitas etnis, budaya, dan orientasi politis. Namun
demikian, studi ini lebih melihat modal sosial yang terwujud dalam jaringan sosial
juga menentukan perilaku ekonomi seseorang yang menentukan keputusan
mereka untuk bermigrasi.
Jaringan sosial adalah keterhubungan antar aktor, baik itu individu maupun
organisasi, yang berperan atas tujuan tertentu (Coleman 2008). Fazito (2009)
mendefinisikan jaringan sosial sebagai distribusi simpul (node) dan ikatan atau
hubungan antar simpul tersebut yang dapat menggambarkan dinamika perilaku
dalam suatu sistem. Simpul-simpul tersebut digambarkan sebagai individu yang
terhubung dengan simpul lain melalui ikatan atau garis hubungan. Coleman
(2008) menilai bahwa hubungan interpersonal yang melekat pada aktor ini tidak
dapat dipindah-pindah begitu saja, dan bahkan bisa patah atau putus, bisa
memanjang, dan bisa pula memendek. Granovetter (1985) dan Burt (2013)
melihat jaringan sosial sebagai sebuah ikatan yang bisa sangat kuat mengikat
(binding), mengait (bonding), dan menjembatani (bridging), namun juga bisa
sangat lemah. Kuat dan lemahnya ikatan ini dipengaruhi banyak faktor. Sebagai
sebuah sistem yang dinamis, posisi simpul dan hubungan antar simpul dapat
berubah tergantung dari kondisi sosial dan budaya, serta lingkungan fisik. Model
jaringan tersebut belum tentu dapat berubah secara drastis sehingga memotret
jaringan yang terbentuk saat ini dapat membantu melihat dan meramalkan
perubahan pola hubungan yang terjadi. Rantai migrasi merupakan efek langsung
dari adanya jaringan migrasi ini. Interaksi yang terjadi dalam jaringan sosial para
migran ini dapat mereduksi resiko dan biaya yang perlu dikeluarkan dalam
bermigrasi (Granovetter 1985, Abustam 1998, Hugo 1981, dan Massey et al 1993).
Hugo (1981) mengemukakan bahwa jaringan ini dapat memberikan dukungan
sosial dan emosional kepada para migran.
Massey et al (1993) mendefinisikan jaringan sosial dalam migrasi sebagai
suatu hubungan interpersonal yang mengaitkan para migran dan migran yang
terdahulu (pionir) di daerah tujuan dan komunitas yang memutuskan untuk tidak
bermigrasi
di
daerah
asal.
Jaringan
tidak
hanya
melibatkan
aktor/individu/organisasi yang bermigrasi, namun juga yang tidak melakukan
migrasi, serta juga yang mempengaruhi terjadinya migrasi. Masing-masing
aktor/individu/organisasi yang berperan dalam proses migrasi memiliki posisi
tertentu yang akan menentukan besar dan kecilnya peran mereka dalam migrasi.
Portes (1998) melihat beberapa kelemahan modal sosial dalam jaringan
bermigrasi. Komunitas di daerah asal memiliki stratifikasi sosial dan ekonomi.
Migrasi yang terjadi tidak meliputi keseluruhan komunitas, namun ada bagian
komunitas yang tidak ikut bermigrasi atas kehendak dirinya, namun adapula yang
tidak dapat ikut bermigrasi karena kendala stratifikasi sosial atau ekonomi tertentu
(Portes 1998). Jaringan ini dengan sendirinya memiliki peran untuk memfasilitasi
migrasi, namun juga membuat kelompok-kelompok tertentu tidak dapat
bermigrasi. Fazito (2009) juga menekankan bahwa dalam studi migrasi, simpul
atau node merupakan para aktor baik pelaku maupun bukan pelaku migran yang
saling berhubungan dan membantuk jaringan migrasi. Jaringan migrasi
merupakan suatu bentuk modal sosial. Para pelaku migran membangun ikatan

10

sosial dan budaya antara daerah tujuan dengan daerah asalnya sebagai suatu
modal untuk membentuk hubungan sosial yang memudahkan mereka untuk
beradaptasi dengan lingkungan baru dan memungkinkan terjadinya migrasimigrasi lanjutan.
Fazito (2009) menjelaskan bahwa analisis jaringan sosial lebih banyak
melihat pada pola struktur jaringan tersebut tanpa melihat pada dinamika dan
perilaku yang terjadi pada sistem tersebut. Dalam studi migrasi, dinamika dan
perilaku para aktor yang terlibat sangat fluid atau bersifat cair sehingga agak sulit
menggambarkan struktur jaringan tersebut. Dengan demikian, batasan jaringan
yang dianalisis menjadi penting. Batasan dapat dibuat berdasarkan etnik dan
daerah asal migrasi. Etnik tertentu atau kesamaan tempat tinggal dapat
menentukan apakah seseorang mudah atau sulit mengakses sumber daya yang
mereka inginkan. Batasan juga dapat mempertimbangkan fungsi para aktor
tersebut, apakah para aktor tersebut memiliki peran penting dalam jaringan atau
tidak. Batasan juga dapat digunakan untuk melihat pola jaringan yang akan
diamati. Fazito (2009) menyarankan bahwa jaringan yang dilihat secara utuh
dapat dilakukan dengan pendekatan realis atau nominalis. Realis berarti analisis
yang didasarkan pada para aktor (migran) sebagai suatu simpul-simpul (obyektif)
yang memiliki keterhubungan satu sama lain. Pendekatan nominalis berdasarkan
asumsi eksternal. Pendekatan realis lebih mungkin dilakukan untuk jaringan
migrasi yang kecil. Pendekatan nominalis dilakukan untuk migrasi yang
populasinya cukup besar dan sulit dijangkau.
Dalam jaringan migrasi, Portes (1998) menyatakan bahwa selain adanya
hubungan sosial, komponen yang penting dalam menentukan pola jaringan adalah
sumber daya yang dapat diakses melalui hubungan tersebut. Sumber daya tersebut
juga kemudian menentukan waktu dan arah terjadinya migrasi. Waktu, dalam
konteks kapan migrasi tersebut dilakukan, serta juga arah atau kemana migrasi
dilakukan. Sumber daya tersebut dapat berupa apapun, misalnya informasi
mengenai kebutuhan tenaga kerja dan ketersediaan lahan garapan. Portes (1998)
melihat bahwa apapun sumber daya tersebut, namun semua pasti mengarah ke
kebutuhan ekonomis migran, yaitu untuk meningkatkan kemampuan finansial
mereka. Jaringan tidak dengan sendirinya menghasilkan proses migrasi (de Haas
2010), namun ditentukan juga oleh karakter aktor yang terlibat dalam jaringan
tersebut. Dalam jaringan tersebut perlu ada aktor yang memiliki kemampuan
memobilisasi sumber daya atau modal dalam memfasilitasi proses migrasi. Selain
kemampuan (ability) tersebut, migran tersebut memiliki keinginan atau kemauan
(willing) untuk membantu calon migran. Jadi kombinasi antara kemampuan dan
kemampuan cukup menentukan apakah jaringan tersebut bekerja cukup baik
dalam memfasilitasi proses migrasi. Granovetter (1985) menunjukkan bahwa kuat
dan lemahnya ikatan antar simpul dalam suatu jaringan selain ditentukan oleh
atribut individu, juga ditentukan oleh posisi individu dalam jaringan tersebut.
Individu yang terintegrasi dalam suatu kelompok dan memiliki relasi terhadap
aktor lain, dapat mengakses informasi baru. Informasi ini akan lebih mudah
mengalir dalam jaringan dan sangat dipengaruhi oleh unsur kenal dan percaya.
Fazito (2009:11) menganalisis model-model jaringan dan mengemukakan
empat model jaringan migrasi. (1) ‘Model jaringan metafora diskursi’ (discursive
metaphore) dan (2) ‘jaringan semu’ (pseudo-network) merupakan dua model

11

migrasi yang dapat menjelaskan latar belakang jaringan migrasi terbentuk. Model
‘jaringan metafora diskursi’ dan ‘jaringan semu’ menekankan bagaimana
komposisi para migran di daerah asalnya membangun jaringan atau ikatan. Model
‘jaringan metafora diskursif’merupakan model jaringan yang melihat jaringan
sebagai sebuah entitas alami (natural bounded entity) yang mengikuti proses
migrasi tersebut. Rantai sosial, seperti hubungan pertemanan, kekerabatan,
kedekatan rumah hanya merupakan faktor yang memperkuat proses migrasi yang
terjadi. Hal yang menjadi penting dalam proses migrasi ini adalah tujuan
bermigrasi itu sendiri (Coleman 2008). Dalam ‘model jaringan semu’, jaringan
merupakan strategi untuk mengurangi resiko dan biaya yang timbul dari proses
migrasi, serta juga untuk meningkatkan kemampuan memperoleh sumber finansial
yang lebih dan meningkatkan nilai upah. Jaringan dibentuk atas dasar kebutuhan
dari aktor yang terlibat dalam proses migrasi.
Dua model lainnya, yaitu (3) model ‘jaringan terpusat pada ego’ (egocentered network) dan (4) model ‘jaringan penuh’ (whole network). berupaya
menjelaskan relasi dan posisi aktor atau individu atau organisasi yang berperan
dalam migrasi. Fazito (2009:16) menyatakan bahwa model-model ini bertujuan
untuk mendeskripsikan struktur relasi setiap aktor./simpul/node, yang
menggambarkan distribusi pola ikatan yang terjalin diantara simpul tersebut. Jika
‘jaringan yang terpusat pada ego’ memusatkan perhatian pada satu
aktor/individu/organisasi, maka ‘jaringan penuh’ melihatnya sebagai aktor dalam
satu keseluruhan jaringan. Dengan demikian, posisi aktor dalam jaringan secara
utuh sangat penting untuk memprediksikan perilaku sosial.
2.3 Keputusan bermigrasi
Teori pilihan rasional merupakan teori yang memiliki pengaruh terbanyak
terhadap keputusan migrasi terutama dikaitkan dengan perkembangan sosiologi
migrasi. Pilihan rasional dipelopori oleh Max Weber (2005), yang menyatakan
bahwa tindakan dan pola hubungan sosial dalam struktur masyarakat dipengaruhi
oleh empat faktor yaitu zweck (pertimbangan atas faktor eksternal yaitu karena
pengaruh dari luar), wert (pertimbangan nilai, seperti etika dan estetika), afektual
(motivasi dan emosi), dan tradisional (hukum normative atau kesepakatan
komunitas). Coleman (2008) mengembangkan teori pilihan rasional ini menjadi
sebuah pendekatan dalam sosiologi yang berbasis pada aktor dan mengaitkan pada
kondisi mikro dan makro. Dalam kaitannya dengan kajian migrasi, perspektif
aktor ini dapat dijelaskan melalui perilaku individu. Keputusan di tingkat individu
ini akan berpengaruh pada hasil atau pola bermigrasi yang berada di tingkat
makro.
Dalam kaitannya dengan migrasi, Todaro (1992) mengemukakan bahwa
migrasi merupakan keputusan rasional yang didorong oleh kebutuhan ekonomi.
Tindakan ini didasarkan atas keinginan untuk memperbaiki kondisi hidup dan
pendapatan mereka saat ini dengan asumsi bahwa daerah tujuan migrasi memiliki
peluang lebih baik. Lee (1966) melihat keputusan bermigrasi atas faktor
pendorong dari daerah asal dan penarik dari daerah tujuan. Beberapa dasar
pertimbangan pilihan lokasi untuk migrasi dan/atau kolonisasi agraris ini adalah
ketersediaan lahan yang lebih luas, peluang usaha dan atau kerja yang lebih baik,

12

dan kondisi wilayah yang lebih kondusif dalam mendukung usaha mereka, seperti
pasar yang lebih terbuka. Teori yang dikembangkan oleh Lee (1966) berangkat
dari keputusan individu dengan mempertimbangkan faktor-faktor eksternal namun
kurang memperhatikan dinamika yang terjadi antar faktor tersebut. Teori ini
belum dapat menjelaskan mengapa migrasi kerap terjadi dengan tujuan lokasi
yang sama atau saling berdekatan.
De Jong dan Fawcett (1981) mengemukakan teori harapan nilai (value
expectation theory), yang menunjukkan strategi pemilihan lokasi tujuan untuk
bermigrasi melalui seperangkat alternatif yang merupakan hasil pertimbangan dari
beberapa dimensi. Jadi pengambilan keputusan seseorang untuk bermigrasi perlu
dilihat dari berbagai disiplin ilmu. Dimensi kekayaan (wealth), status sosial,
kenyamanan (comfort), saran dari orang lain, otonomi, afiliasi dan moralitas
menjadi bahan pertimbangan untuk memutuskan bermigrasi sebagaimana
dikemukakan oleh De Jong dan Fawcett (1981). Haberkorn (1981)
mengemukakan beberapa karakteristik lain dapat juga berpengaruh terhadap
keputusan bermigrasi meski tidak s