Level Situasional Sosiocultural Practice pada Berita Kekerasan terhadap Perempuan Aceh

3.3.1. Level Situasional

Teks dihasilkan dalam suatu kondisi atau suasana yang khas, unik, sehingga satu teks bisa jadi berbeda dengan teks yang lain. Kalau wacana dipahami sebagai suatu tindakan, maka tindakan itu sesungguhnya adalah upaya untuk merespon situasi atau konteks sosial tertentu. Teks-teks berita kekerasan pada perempuan Aceh yang diproduksi oleh jurnalis Merdeka.com dipengaruhi oleh aspek situasional ketika teks tersebut dibuat. Bila dikaji pada aspek sitiasionalnya, berita-berita yang dipilih dan dianalisis dalam studi ini, kasus kekerasannya relatif masih up to date, sebab periodesasi penelitiannya ini telah ditentukan mulai Januari sampai November 2014. Selain itu, di Aceh juga memiliki peraturan daerah berupa Syariat Islam. Situasional dari kekerasan perempuan Aceh banyak dikaitkan dengan adanya pemberlakuan Qanun Syariat Islam sebagai landasan Peraturan Daerah yang ada di Aceh dan banyak masyarakat yang masih mengganggap peraturan ini terlalu mendiskriminasi perempuan. Padahal peraturan tersebut juga mengatur tentang laki- laki dan tidak mendiskriminasi pihak mana pun juga. Tidak hanya terkait kekerasan yang dialami perempuan, namun dalam pemuatan berita kekerasan pun biasanya kasus-kasus yang terjadi akan dikaitkan dengan peraturan tersebut. Padahal dalam berita tidak ada kaitannya dengan syariat Islam. Namun yang tidak bisa dipungkiri adalah keberadaan perempuan dalam kasus kekerasan akan selalu menjadi sesuatu hal yang menarik. Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia FJPI Aceh, Saniah LS dalam diskusi tentang penguatan isu perempuan dan jurnalis, yang digelar Aliansi Jurnalis Independen AJI Banda Aceh di sekretariatnya di Banda Aceh, Kamis, 4 Mei 2015 mengatakan, masih ada media baik lokal maupun nasional belum ramah dalam memberitakan tentang isu perempuan dan anak yang jadi korban tindak kekerasan serta terkait penegakan syariat Islam di Aceh. Dicontohkannya, saat media memberitakan eksekusi hukuman cambuk. Sejumlah media hanya menonjolkan foto perempuan dibandingkan laki-laki. Padahal, seharusnya seimbang. Dalam mengangkat isu perempuan dan anak, baik itu kekerasan maupun terkait syariat Islam, jurnalis diharapkan mengutamakan kode etik jurnalistik saat menjalankan tugasnya. “Karena tugas kita lebih menarik lagi tanpa harus menghilangkan kode etik dan moral,” tuturnya. Pendiskriminasian terhadap perempuan dalam media tidak hanya terjadi di Aceh tetapi terhadap semua perempuan yang mengalami kekerasan. Biasanya perempuan akan menjadi obyek dalam berita agar pemberitaan semakin menarik. Dengan adanya peraturan Syariat Islam yang diterapkan di Aceh banyak masyarakat luar yang tidak paham tentang peraturan Islam yang ada akan lebih mengatakan bahwa perempuan Aceh didiskriminasi kembali melalui peraturan daerah tersebut. Oleh karena itu, para wartawan Aceh yang tergabung dalam Kaukus Wartawan Pembela Syariat Islam KWPSI yang dibentuk 23 September 2012 memberi dukungan konkret bagi ulama, pemerintah, dan aktivitas Wilayatul Hisbah dalam memberantas berbagai bentuk maksiat di Aceh. Menurut Arif Ramdan, wartawan Harian Serambi Indonesia dan salah seorang penggagas kaukus, KWPSI juga bertujuan mengawal pelaksanaan syariat Islam di Aceh agar berjalan sesuai dengan qanun dan undang-undang Syariat Islam sendiri. Sebagai lembaga yang beranggota wartawan, kaukus ini akan memperjuangkan kebebasan pers dan menyelaraskan kode etik jurnalistik dengan nilai Islam, sebagai panduan moral wartawan dalam menjalankan tugasnya. Kaukus akan mengawal pelaksanaan syariat dari anasir-anasir busuk yang berlindung dibalik tema-tema intelektual dan hak asasi manusia dalam Satrio Arismunandar, 2012: 7.

3.3.2. Level Institusional