Model Pengembangan Tata Kelola Pariwisata Di Taman Nasional Bunaken
MODEL PENGEMBANGAN TATA KELOLA PARIWISATA
DI TAMAN NASIONAL BUNAKEN
HERI SANTOSO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model
Pengembangan Tata Kelola Pariwisata di Taman Nasional Bunaken adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Heri Santoso
NIM E362100031
RINGKASAN
HERI SANTOSO. Model Pengembangan Tata Kelola Pariwisata di Taman
Nasional Bunaken. Dibimbing oleh ENDANG KOESTATI SRI HARINI
MUNTASIB, HARIADI KARTODIHARDJO, dan RINEKSO SOEKMADI.
Kegiatan pariwisata alam di Taman Nasional Bunaken (TNB) sudah ada
sejak sebelum penunjukannya sebagai taman nasional pada tahun 1991 dan telah
berkembang melalui kegiatan pariwisata alam. Banyak pemangku kepentingan
terlibat dalam pengembangan pariwisata alam di TNB, baik pemerintah, swasta,
masyarakat, maupun pihak lainnya. Bahkan para pemangku kepentingan tersebut
telah pernah melakukan kegiatan koordinasi dalam suatu lembaga Dewan
Pengelolaan TNB (DPTNB) yang merupakan lembaga yang muncul dari para
pemangku kepentingan untuk secara bersama mengelola wisata alam di TNB.
Pada tahun 2011 pemerintah pusat (Kementerian Pariwisata) mengembangkan
suatu bentuk manajemen destinasi yang disebut Destination Management
Organization Bunaken (DMOB). Mekanisme hubungan para pemangku
kepentingan dan implementasi peraturan pemanfaatan wisata alam serta kinerja
kedua lembaga yang ada perlu dilakukan suatu telaah lebih lanjut untuk bisa
dikembangkan dalam tata kelola pariwisata di TNB. Sehubungan dengan itu
diperlukan penelitian tentang tata kelola pariwisata yang sesuai dengan situasi
dan kondisi di lokasi studi. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengidentifikasi dan
menguraikan peranan serta kebutuhan para pemangku kepentingan dalam tata
kelola pariwisata di TNB, 2) mengevaluasi proses implementasi peraturan
pemanfaatan wisata alam dalam rangka pengembangan tata kelola pariwisata di
TNB, 3) mengevaluasi kinerja lembaga pengelola wisata yang ada di TNB, dan 4)
menyusun model pengembangan tata kelola pariwisata di TNB.
Kajian peranan dan kebutuhan pemangku kepentingan mengidentifikasi 17
pemangku kepentingan yang terdiri dari kelompok pemerintah pusat, pemerintah
daerah, swasta, masyarakat, akademisi dan kelompok lainnya. Peranan para
pemangku kepentingan terbanyak dalam pengembangan tata kelola pariwisata di
TNB sebagai key players, diikuti subjects, lalu context setters, dan terakhir crowd.
Banyaknya para pemangku kepentingan yang berperan sebagai key players
menunjukkan para pemangku kepentingan banyak yang berperan aktif dalam tata
kelola pariwisata di TNB. Peranan yang aktif ditunjukkan dalam pelaksanaan
tugas pokok, kewenangan, dan fungsi dari para pemangku kepentingan.
Hubungan antara pemangku kepentingan dalam tata kelola pariwisata di TNB
berupa hubungan koordinasi, kerjasama dan potensi konflik. Kebutuhan dalam
pengembangan tata kelola pariwisata di TNB, yaitu: pemahaman pemangku
kepentingan tentang TNB dan pengelolaannya serta ketentuan peraturan
perundangan yang mengatur pengembangan pariwisata di kawasan konservasi,
koordinasi dan komunikasi di tingkat daerah untuk menyatukan persepsi tentang
pengembangan tata kelola TNB, serta implementasi dan sinkronisasi
(keterpaduan) kegiatan dan program pengembangan pariwisata di TNB dari para
pemangku kepentingan. Peranan yang aktif dan kebutuhan para pemangku
kepentingan dapat dipenuhi melalui koordinasi yang lebih intensif dalam
menunjang pengelolaan TNB.
Peraturan perundangan pemanfaatan pariwisata alam di kawasan
konservasi yang dikaji dalam penelitian ini telah memenuhi persyaratan sebagai
pengatur dan pengendali perilaku para pemangku kepentingan secara hierarki.
Peraturan pemanfaatan pariwisata alam juga telah memenuhi kecukupan isi yang
dicirikan oleh adanya kejelasan tujuan, objek hukum, sanksi serta pemberian
kewenangan yang jelas bagi pelaksana. Namun dalam implementasinya peraturan
pemanfaatan pariwisata alam belum mendapat respon positif dari pelaksana
peraturan maupun kelompok sasaran peraturan. Tingkat pemahaman dan
pelaksanaan dari peraturan perudangan pemanfaatan pariwisata alam yang masih
kurang menjadi hal yang mendasari kurangnya respon positif dari pelaksana
peraturan maupun kelompok sasaran peraturan. Situasi ini jika dibiarkan
berlangsung terus menerus maka fungsi peraturan perundangan pemanfaatan
pariwisata alam sebagai pengatur dan pengendali perilaku para pemangku
kepentingan di TNB tidak akan terwujud.
DPTNB yang merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan keinginan
dari daerah menunjukkan penerapan prinsip-prinsip tata kelola pariwisata yang
lebih baik dibanding lembaga DMOB yang merupakan lembaga bentukan pusat.
Prinsip-prinsip tata kelola pariwisata meliputi dimensi legitimasi, transparansi,
akuntabilitas, inklusifitas, keadilan, keterkaitan, dan daya tahan. Hasil penilaian
kinerja lembaga DPTNB yang terendah adalah menyangkut daya tahan yang
sangat ditentukan dari kemampuan untuk beradaptasi, melihat dan merespons
ancaman, dan memiliki kapasitas yang diperlukan untuk berlanjutnya kehidupan
organisasi. Faktor pengungkit terbesarnya adalah sumber daya manusia, sehingga
bagi lembaga DPTNB dapat meningkatkan daya tahannya dengan lebih
meningkatkan pula kompetensi dari sumber daya manusia di dalamnya. Hasil
penilaian kinerja DMOB yang terendah adalah akuntabilitas. Akuntabilitas
menyangkut penerimaan tugas dan tanggung jawab dan kemampuan untuk
melaksanakannya. Faktor pengungkit terbesar dari dimensi tersebut adalah
tanggung jawab pada atasan, sehingga lembaga DMOB dapat meningkatkan
akuntabilitasnya dengan lebih meningkatkan pula tanggung jawab pada atasan.
Model pengembangan tata kelola pariwisata di TNB yang dihasilkan
memberikan tiga skenario pengembangan, yaitu pengembangan lembaga DPTNB,
penggabungan dua lembaga DPTNB dan DMOB serta pengembangan lembaga
KPHK TNB. Skenario pertama merupakan pengembangan lembaga yang sudah
ada, yaitu DPTNB. Kelebihan skenario pertama adalah DPTNB bersumber dari
keinginan para pihak di daerah (bottom up).
Kekurangannya adalah
keanggotaannya yang terbatas hanya 15 instansi. Skenario kedua merupakan
penggabungan lembaga DPTNB dan DMOB. Kelebihan skenario kedua adalah
mengingat kedua lembaga sudah ada sebelumnya dengan keanggotaan masingmasing sehingga relatif lebih sederhana dan lebih banyak jaringan/dukungan.
Kekurangannya belum memiliki dasar peraturan perundang-undangan untuk
penggabungannya, mengingat status lembaga yang berbeda (pusat dan daerah).
Skenario ketiga merupakan pengembangan lembaga KPHK TNB. Kelebihan
skenario ketiga adalah secara operasional BTNB dipandang sebagai KPHK TNB
sehingga KPHK TNB telah memiliki arahan yang jelas. Kekurangannya adalah
KPHK TNB belum dipahami secara konseptual oleh para pemangku kepentingan
di daerah Sulawesi Utara.
Kata kunci: tata kelola pariwisata, pemangku kepentingan, TN Bunaken
SUMMARY
HERI SANTOSO. Model of Tourism Governance Development in Bunaken
National Park. Supervised by ENDANG KOESTATI SRI HARINI MUNTASIB,
HARIADI KARTODIHARDJO, and RINEKSO SOEKMADI.
Nature tourism activities in the Bunaken National Park (BNP) has been
around since before it appointment as a national park in 1991 and has progressed
through the nature tourism activity. Many stakeholders are involved in the
development of nature tourism in the park, government, private, community, or
other party. Even these stakeholders have been conducting coordination in an
institution BNP Management Board (BNPMB) which is an institution that
emerged from the stakeholders to jointly manage natural attractions in the park. In
2011 the central government (Ministry of Tourism) developed a form of
destination management called Destination Management Organization Bunaken
(DMOB). Mechanism of stakeholder relations and implementation of regulations
utilization of natural attractions as well as the performance of both existing
institutions need to do a further study to be developed in the tourism governance
in BNP. In connection with the necessary research on the tourism governance in
accordance with the circumstances and conditions in the study area. Research in
aims to: 1) identify and describe the role and the needs of stakeholders in the
governance of tourism in the park, 2) evaluate the process of implementation of
regulations utilization of natural attractions in order to develop the tourism
governance in the BNP, 3) evaluate the performance of management institutions
existing tourism in BNP, and 4) the model development of the tourism
governance in the BNP.
Study of the role and needs of stakeholders identified 17 stakeholder group
consisting of the central government, local government, private, community,
academics and other groups. The role of stakeholders in the development of
tourism governance most in the park as the key players, followed by subjects, then
cottext setters, and the last crowd. Many stakeholders who play a role as a key
player shows many stakeholders who play an active role in the tourism
governance in the BNP. Indicated an active role in the implementation of basic
tasks, powers, and functions of stakeholders. Requirement in the development of
tourism governance in the BNP, namely: understanding of stakeholders on the
park and its management as well as the provisions of laws and regulations that the
development of tourism governance in the conservation area, coordination and
communication at the regional level to unify perceptions about governance
development park, as well as implementation and synchronization (alignment ) the
activities and program of tourism development in the park of the stakeholders.
Active role and needs of the stakeholders can be met through more intensive
coordination in supporting the management of the park.
Legislation utilization of natural tourism in protected areas that were
examined in this study have met the requirements as a regulator and controller of
the behavior of the stakeholders in the hierarchy. Regulation utilization of natural
tourism also has content that meets adequacy characterized by clarity of purpose,
the object of the law, sanctions and the provision of clear authority for the
executive. However, in the implementation rules of nature tourism utilization have
not received a positive response from the implementing rules and regulations of
the target group. The level of understanding and implementation of regulations
perudangan utilization of natural tourism is still less of a thing that underlies the
lack of positive response from the implementing rules and regulations of the target
group. This situation, if left continues the functions of legislation utilization of
nature tourism as a regulator and controller of the behavior of the stakeholders in
the park will not be realized.
BNPMB which is an institution established by the wishes of the area show
the application of the principles of tourism governance better than DMOB
institution which is formed by the central agency. The principles of tourism
governance include the dimension of legitimacy, transparency, accountability,
inclusiveness, equity, relevance, and durability. Results of performance
assessment institution which is the lowest BNPMB concerning durability is
determined from the ability to adapt, view and respond to threats, and have the
necessary capacity for the continued life of the organization. The biggest lever
factor is human resources, so that the institution can improve its durability
BNPMB to further improve also the competence of the human resources therein.
Results DMOB lowest performance assessment is accountability. Accountability
involves acceptance of the duties and responsibilities and the ability to implement
them. Factors biggest levers of these dimensions is the responsibility of the
employer, so that the institution can DMOB improve accountability by further
improving also the responsibility of the employer.
The development model of tourism governance in BNP generated gives
three scenarios of development, namely development BNPMAB agency, merging
the two institutions BNPMAB and DMOB, and development KPHK TNB
institutions. The first scenario is the development of an existing institution, ie
BNPMAB. The first scenario is considering the advantages of BNPMAB derived
from the wishes of the parties in the area (bottom up). The drawback is that its
membership was limited to 15 agencies. The second scenario is a merger of
institutions BNPMAB and DMOB. The second scenario is considering the
advantages of both institutions had been there before with the membership of each
so it is relatively simpler and more networking/support. The drawback not have
the basic legislation for the merger, given the status of different institutions
(central and local). The third scenario is the development of institutions KPHK
TNB. The third scenario is considering the advantages of operationally BTNB
seen as KPHK TNB so KPHK TNB has had a clear direction. The drawback is
KPHK TNB yet conceptually understood by stakeholders in the area of North
Sulawesi.
Keywords: tourism governance, stakeholders, BNP
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
MODEL PENGEMBANGAN TATA KELOLA PARIWISATA
DI TAMAN NASIONAL BUNAKEN
HERI SANTOSO
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Bambang Supriyanto, MSc
Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc
Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Ir Bambang Supriyanto, MSc
Prof Dr Ir Bramasto Nugroho, MS
PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian
berjudul Model Pengembangan Tata Kelola Pariwisata di Taman Nasional
Bunaken. Penelitian ini terdiri dari rangkaian penelitian meliputi Peranan dan
Kebutuhan Pemangku Kepentingan dalam Tata Kelola Pariwisata di TNB,
Implementasi Peraturan Pemanfaatan Wisata Alam dalam rangka Pengembangan
Tata Kelola Pariwisata di TNB dan Kinerja Lembaga Pengelola Wisata yang Ada
di TNB serta Model Pengembangan Tata kelola Pariwisata di TNB. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan masukan pada para pengambil kebijakan tata kelola
pariwisata, para pemangku kepentingan
dan otoritas pengelola kawasan
konservasi terkait model pengembangan tata kelola pariwisata yang sesuai di
kawasan konservasi laut.
Pada kesempatan ini, penulis ucapkan terima kasih kepada Ibu Prof Dr
E.K.S. Harini Muntasib, MS, Bapak Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS, dan
Bapak Dr Ir Rinekso Soekmadi, MScF selaku komisi pembimbing atas segala
bimbingan, masukan kritik dan sarannya selama ini. Ucapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Bambang Supriyanto, MSc selaku penguji
luar komisi pada ujian tertutup dan ujian terbuka, Bapak Dr Ir Fredinan Yulianda
MSc selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, dan Bapak Prof Dr Ir
Bramasto Nugroho, MS selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka. Ucapan
terima kasih pula penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Rahmad Hermawan,
MScF yang mewakili Program Studi MEJ pada pelaksanaan ujian tertutup dan
ujian terbuka. Kepada Pimpinan dan staf BTNB, kawan-kawan seperjuangan di
kampus (Ichwan Muslih, Gunardi D. Winarno, dan Irwan Bempah), penulis
menyampaikan ucapan terima kasih. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015
Heri Santoso
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerangka Pemikiran
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kebaharuan Penelitian
2 KARAKTERISTIK KAWASAN TNB
Sejarah Penunjukan Kawasan
Proses Perkembangan Pengelolaan TNB
Penataan Kawasan TNB
Kondisi Fisik Kawasan TNB
Kondisi Biologi dan Ekologi Kawasan TNB
Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Setempat
Potensi Pariwisata Kawasan TNB
3 PERANAN DAN KEBUTUHAN PEMANGKU KEPENTINGAN
DALAM TATA KELOLA PARIWISATA DI TNB
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan dan Saran
4 IMPLEMENTASI PERATURAN PEMANFAATAN WISATA
ALAM DALAM RANGKA PENGEMBANGAN TATA KELOLA
PARIWISATA DI TNB
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan dan Saran
5 KINERJA LEMBAGA PENGELOLA WISATA YANG ADA
DI TNB
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan dan Saran
1
1
4
5
7
7
7
8
8
8
11
12
15
19
20
24
24
25
27
42
43
43
44
45
61
63
63
64
66
82
DAFTAR ISI (Lanjutan)
6 MODEL PENGEMBANGAN TATA KELOLA PARIWISATA
DI TNB
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan dan Saran
83
83
83
84
98
DAFTAR PUSTAKA
99
LAMPIRAN
104
RIWAYAT HIDUP
115
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Komposisi genera dan spesies terumbu karang di TNB
Luas terumbu karang dan bagian- bagiannya di TNB
Kondisi persentase tutupan karang hidup TNB
Kategori persentase tutupan karang hidup
Kriteria baku kerusakan terumbu karang
Luasan padang lamun di TNB
Luasan hutan mangrove di TNB
Potensi wisata alam dan sebarannya
Data kunjungan wisatawan ke TNB 2001-2014
Pengusaha dive center yang berada dalam kawasan TNB
Pengusaha dive center yang berada di luar kawasan TNB
Ukuran skoring terhadap kepentingan dan pengaruh
pemangku kepentingan
Pemangku kepentingan pengembangan tata kelola
pariwisata TNB
Hasil nilai dari kepentingan dan pengaruh pemangku
Kepentingan
Hubungan para pemangku kepentingan dalam pengembangan
pariwisata di TNB
Kebutuhan kelompok pemangku kepentingan dalam
pengembangan pariwisata di TNB
Kecukupan isi peraturan perundang-undangan pemanfaatan
wisata alam
Perbandingan ketentuan perundang-undangan dan aspirasi
daerah
Respon terhadap implementasi peraturan pemanfaatan
pariwisata alam
Kategori indeks tata kelola pariwisata yang baik
Nilai Stress dan R2 untuk penilaian kinerja DPTNB dan DMOB
Perbedaan indeks nilai GTG dan hasil analisis Montecarlo
16
16
17
17
17
18
18
21
22
23
23
26
27
31
36
38
52
55
61
66
79
79
DAFTAR TABEL (lanjutan)
23
24
Hasil Perhitungan semua dimensi indeks GTG
Skenario kelembagaan pengembangan tata kelola pariwisata
di TNB
80
95
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Kerangka Pemikiran Penelitian
Lokasi Taman Nasional Bunaken
Peta zonasi TNB tahun 2008
Tren kunjungan wisatawan selama tahun 2014
dibandingkan dengan tahun 2013
Matrik kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan
dalam tata kelola pariwisata di TNB
Hubungan antar pemangku kepentingan
Matriks pemahaman dan pelaksanaan peraturan
pengusahaan pariwisata alam
Matriks pemahaman dan pelaksanaan peraturan jenis dan
tarif atas PNBP yang berlaku pada Kementerian
Kehutanan (pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam)
Matriks pemahaman dan pelaksanaan terhadap peraturan
daerah pungutan masuk pada kawasan TNB
Nilai leverage dari masing-masing atribut pada
dimensi legitimasi
Nilai leverage dari masing-masing atribut pada
dimensi transparansi
Nilai leverage dari masing-masing atribut
pada dimensi akuntabilitas
Nilai leverage dari masing-masing atribut pada
dimensi inklusivitas
Nilai leverage dari masing-masing atribut pada
dimensi keadilan
Nilai leverage dari masing-masing atribut pada
dimensi keterkaitan
Nilai leverage dari masing-masing atribut pada
dimensi daya tahan
Nilai Indeks GTG untuk masing-masing dimensi
pada Lembaga DPTNB dan DMOB
Konsepsi model pengembangan tata kelola pariwisata
di TNB skenario pertama
Lembaga DPTNB dalam tata kelola pariwisata di TNB
skenario pertama
Konsepsi model pengembangan tata kelola pariwisata
di TNB skenario kedua
Lembaga dewan mitra dalam tata kelola pariwisata
di TNB skenario kedua
6
9
13
22
32
37
60
60
60
71
72
73
75
76
77
78
81
86
86
90
90
DAFTAR GAMBAR (lanjutan)
22
23
Konsepsi model pengembangan tata kelola pariwisata
di TNB skenario kedua
Lembaga KPHK TNB dalam tata kelola pariwisata
di TNB skenario ketiga
94
94
DAFTAR LAMPIRAN
1
Peraturan dasar Dewan Pengelolaan TNB
100
DAFTAR SINGKATAN
ASITASU
BLHM
BLU
BSDASU
BTNB
DAS
Ditjen PHKA
DKSU
DMOB
DPTNB
DPPSU`
DPBM
DPKISU
Fasdes
Faslok
FMPTNB
GFG
GTG
HPISU
HPWLB
IUPJWA
IUPSWA
KPA
Kemenhut
KPHK
KSDAHE
LSM
MDS
NRM
NSWA
PALMB
Perda
Permenhut
PHRISU
PNBP
PNM
PP
PSU
RP
SDA
Simaksi
SK Menhut
TNB
USRM
UPT
: Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Sulawesi Utara
: Badan Lingkungan Hidup Minahasa
: Badan Layanan Umum
: Biro Sumber Daya Alam Provinsi Sulawesi Utara
: Balai Taman Nasional Bunaken
: Daerah Aliran Sungai
: Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
: Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara
: Destination Management Organization Bunaken
: Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken
: Direktorat Kepolisian Perairan, Polda Sulawesi Utara
: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Manado
: Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi Sulawesi Utara
: Fasilitator Destinasi
: Fasilitator Lokal
: Forum Masyarakat Peduli Taman Nasional Bunaken
: Good Forest Governance
: Good Tourism Governance
: Himpunan Pramuwisata Indonesia Provinsi Sulawesi Utara
: Himpunan Pengelola Wisata Lokal Bunaken
: Izin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam
: Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam
: Kawasan Pelestarian Alam
: Kementerian Kehutanan
: Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi
: Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
: Lembaga Swadaya Masyarakat
: Multi Dimension Scaling
: Natural Resources Management
: North Sulawesi Waterport Association
: Perhimpunan Angkutan Laut Manado Bunaken
: Peraturan Daerah
: Peraturan Menteri Kehutanan
: Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Sulawesi Utara
: Penerimaan Negara Bukan Pajak
: Politeknik Negeri Manado
: Peraturan Pemerintah
: Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara
: Rencana Pengelolaan
: Sumber Daya Alam
: Surat Ijin Memasuki Kawasan Konservasi
: Surat Keputusan Menteri Kehutanan
: Taman Nasional Bunaken
: Universitas Sam Ratulangi Manado
:Unit Pelaksana Teknis
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengembangan pariwisata di suatu kawasan konservasi merupakan suatu
fenomena yang kompleks sebagai suatu sistem. Menurut Gunn (1994) ada tiga hal
mendasar yang disyaratkan untuk mengembangkan suatu pariwisata dari sisi
supply maupun faktor eksternal, meliputi : kesesuaian antara pasar dan produk
pariwisata, keterkaitan antar unsur-unsur pembangun sistem pariwisata, dan
keterlibatan pelaku-pelaku pariwisata. Pengembangan wisata alam di kawasan
konservasi, juga tidak terlepas dari peran para pemangku kepentingan,
diantaranya : pihak pengelola, pemerintah pusat, pemerintah daerah, LSM,
perusahaan swasta, biro jasa wisata serta masyarakat sekitar kawasan. Masingmasing pihak memiliki peran dan kegiatan yang berbeda-beda yang
mencerminkan adanya kepentingan dan pengaruh para pemangku kepentingan
dalam mengembangkan wisata alam di kawasan konservasi.
Dalam pelaksanaannya pengembangan pariwisata di Indonesia termasuk di
kawasan konservasi belum berjalan dengan baik.
Direktorat
Pengembangan
Wisata Minat Khusus, Konvensi, Insentif dan Even, Direktorat Jenderal
Pengembangan Destinasi Pariwisata, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif (DPWMKKIE 2012), mencatat beberapa permasalahan pariwisata di
Indonesia yang muncul ke permukaan diantaranya kebijakan yang tidak sinkron
dan harmonis, lemahnya koordinasi antar para pihak, peran serta pelaku usaha
yang tidak optimal, ketidaksiapan sarana dan prasarana destinasi serta masyarakat
yang tidak siap menjadi destinasi pariwisata. Sementara itu pada pengelolaan
kawasan konservasi mengalami tekanan yang sangat besar. Direktorat Kawasan
Konservasi dan Bina Hutan Lindung, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan (DKKBHL 2012), mencatat beberapa
tekanan tersebut, diantaranya tumpang tindih aturan dan konflik kepentingan serta
lemahnya koordinasi/kolaborasi menjadi faktor yang membutuhkan penanganan
yang komprehensif. Faktor-faktor lain seperti penegakan hukum dan kepatuhan
pada hukum/aturan, kendala keterbatasan sarana dan prasarana pengelolaan juga
menjadi faktor penekan terhadap pengelolaan lestari kawasan taman nasional.
Fenomena pariwisata di suatu kawasan konservasi sebagai suatu sistem
menghadirkan konsepsi pengembangan wisata yang tidak bisa dilakukan secara
sendirian dan menuntut kebersamaan arah tindak dan keseimbangan para
pemangku kepentingan. yang mengarah pada tata kelola. Secara umum, kerangka
konseptual tata kelola terdiri dari dua pendekatan utama, yaitu pendekatan
berbasis hukum atau aturan dan pendekatan berbasis hak atau ekonomi politik.
Pendekatan berbasis hukum atau aturan bertumpu kepada peran dan fungsi formal
negara berupa kehadiran institusi-institusi formal negara, pembuatan kerangka
hukum dan peraturan formal, norma dan nilai-nilai normatif dan pemberian
layanan publik. Sedangkan konsep tata kelola berbasis hak, lebih melihat
hubungan antar aktor negara dan non negara, struktur-struktur yang mendorong
interaksi antar aktor, ruang negosiasi dengan pemegang otoritas publik, dan
mekanisme akuntabilitas antar aktor (Saunders dan Reeve 2010).
2
Penjabaran kedua kerangka konseptual tergambar didalam definisi tata
kelola yang digunakan Bank Dunia dan UNDP. Bank dunia melihat pendekatan
berbasis aturan sangat dipengaruhi oleh pertimbangan efektifitas bantuan, dan
dengan demikian definisi sangat diwarnai oleh model pembangunan ekonomi
klasik. Ini termaktub dalam definisi tata kelola menurut Bank Dunia yang
menyatakan “…consisting of the traditions and institutions by which authority in
a country is exercised. This includes the process by which goverments are
selected, monitored and replaced; the capacity of the government to effectively
formulate and implement sound policies; and the respect of citizens and the state
for institutions that govern economic and social interactions among them.”
Definisi ini menekankan bahwa pendekatan konsep tata kelola berbasis aturan
memberikan porsi lebih besar kepada peran dan fungsi aturan dan negara, namun
kurang melihat peran dan fungsi aturan informal, dan peran aktor-aktor non
negara lainnya (Saunders dan Reeve 2010).
Sebaliknya rumusan lebih
operasional dari pendekatan berbasis hak dapat disimak dari definisi tata kelola
dari UNDP yang menyatakan “… governance for human development as
comprising the mechanisms, processes, and institutions that determine how power
is exercised, how decisions are made on issues of public concern, and how
citizens articulate their interests, exercise their legal rights and meet their
obligations and mediate their difference.” Definisi ini mengindikasi bahwa
konsep tata kelola diambil dari sejumlah pandangan inti demokrasi. Karenanya
kosep tata kelola yang dimaksud adalah konsep democratic governance yang
memasukan prinsip-prinsip partisipasi yang inklusif, kelembagaan yang responsif,
penghormatan kepada hak asasi manusia, keadilan gender dan integritas.
Sejalan dengan konsepsi tersebut Hall (2011) memberikan dua makna
yang luas dari tata kelola yaitu pertama : …to describe contemporary state
adaptation to its economic and political environment with respect to how it
operates, yang dikenal sebagai “tata kelola baru”, dan kedua … to denote a
conceptual and theoretical representation of the role of the state in the
coordination of socio-economic systems. Pada pemahaman pertama, Yee (2004)
menggambarkan tata kelola baru sebagai "kegiatan tata kelola yang terjadi tidak
hanya melalui pemerintahan". Pada pemahaman kedua dapat dibagi menjadi dua
kategori lanjut. Yang pertama berfokus pada kapasitas negara untuk mengarahkan
sistem sosial-ekonomi dan karena itu berhubungan antara negara dan aktor-aktor
kebijakan lain (Pierre & Peters 2000). yang kedua berfokus pada koordinasi dan
pemerintahan itu sendiri, terutama berkenaan dengan jaringan hubungan dan
kemitraan publik-swasta (Rhodes 1997).
Tata kelola merupakan mekanisme pengelolaan sumberdaya, ekonomi dan
sosial yang melibatkan pengaruh sektor pemerintah dan sekton non-pemerintah
dalam suatu usaha kolektif. Adapun tata kelola pariwisata merupakan bentuk
pengaturan hubungan antara pelaku wisata dengan sumberdaya wisata, konsumen,
pemerintah, pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap sumberdaya
wisata yang sama. (Muntasib 2009).
Salah satu kawasan konservasi dengan upaya pemanfaatan pariwisata
alamnya adalah Taman Nasional Bunaken (TNB), di Provinsi Sulawesi Utara.
Sebagai kawasan konservasi yang memiliki tingkat aksesibilitas yang relatif dekat
dengan ibu kota provinsi dan didukung keunikan sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya maka TNB memiliki potensi besar dalam pengembangan wisata
3
alam. TNB merupakan kawasan ekowisata dan destinasi unggulan serta menjadi
kekuatan pariwisata Kota Manado. Pertumbuhan usaha industri pariwisata
memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) Kota Manado tahun 2012, yaitu sebesar 4.37 trilyun rupiah atau
28 % dari total PDRB Kota Manado (15.62 trilyun rupiah) (DPKKM 2013).
Dibandingkan dengan Provinsi Bali pengukuran sektor pariwisata berasal dari
kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu sebesar 25.37 trilyun
rupiah atau 30.23% dari total PDRB Provinsi Bali (83.94 trilyun rupiah) (BPSPB
2013).
Kegiatan pariwisata alam di TNB sebenarnya sudah ada sejak sebelum
penunjukannya sebagai taman nasional pada tahun 1991 dan saat ini telah
berkembang melalui pengembangan pariwisata alam.
Pelaku swasta
pengembangan pariwisata alam di dalam dan luar kawasan TNB berjumlah 48
unit. Bidang usaha kegiatan pengusahaan pariwisata alam tersebut terdiri dari jasa
penginapan (cottages/resort dan hotel), restoran, spa, jasa penyewaan peralatan
selam, paket tur wisata, transportasi laut, katamaran (perahu dasar kaca), kapal
semi selam, dan penjualan cinderamata (BTNB 2010b).
Kajian pengembangan pariwisata alam di TNB menjadi menarik karena :
(1) TNB merupakan salah satu kawasan konservasi dengan upaya pemanfaatan
wisata alam baharinya yang cukup berkembang, bahkan sebelum penunjukannya
sebagai kawasan konservasi, (2) status kawasan TNB yang ditunjuk melalui SK
Menteri Kehutanan Nomor 730/Kpts-II/1991 tanggal 15 Oktober 1991,
merupakan taman nasional laut yang tertua di Indonesia dan telah ditunjuk sebagai
taman nasional model berdasarkan SK Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam Nomor 69/IV/Set-H0/2006, (3) pengelolaan TNB sejak tahun
2000 menghadirkan pengelolaan kolaboratif dalam bentuk institusi Dewan
Pengelolaan TNB (DPTNB) yang melibatkan para pemangku kepentingan
termasuk didalamnya para pelaku wisata, dan (4) pada tahun 2011 TNB juga
menjadi salah satu lokasi strategis pengembangan destinasi pariwisata (kawasan
strategis pariwisata nasional) dalam bentuk DMO (Destination Management
Organization) dari 15 DMO di seluruh Indonesia.
Banyak pemangku kepentingan terlibat dalam pengembangan pariwisata
alam di TNB, baik pemerintah, swasta, masyarakat, maupun pihak lainnya.
Bahkan para pemangku kepentingan tersebut telah pernah melakukan kegiatan
koordinasi dalam suatu lembaga Dewan Pengelolaan TNB (DPTNB) yang
merupakan lembaga yang muncul dari para pemangku kepentingan untuk secara
bersama mengelola wisata alam di TNB. Pada tahun 2011 pemerintah pusat
(Kementerian Pariwisata) mengembangkan suatu bentuk manajemen destinasi
yang disebut Destination Management Organization Bunaken (DMOB).
Mekanisme hubungan para pemangku kepentingan, dan implementasi peraturan
pemanfaatan wisata alam serta kinerja kedua lembaga yang ada perlu dilakukan
suatu telaah lebih lanjut untuk bisa dikembangkan dalam tata kelola pariwisata di
TNB. Sehubungan dengan itu diperlukan penelitian tentang tata kelola pariwisata
yang sesuai dengan situasi dan kondisi di lokasi studi.
4
Kerangka Pemikiran
Kegiatan pariwisata yang dapat dilakukan di kawasan konservasi seperti
taman nasional, sesuai peraturan perundangan yang berlaku (UU 5/19901), adalah
pariwisata alam. Pariwisata alam merupakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan wisata alam, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik serta usaha yang
terkait dengan wisata alam. Adapun pengertian wisata alam di kawasan TN
adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan
secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan
keindahan alam di kawasan TN. Pengembangan wisata alam merupakan proses
menjadikan lebih baik kegiatan wisata alam. Upaya pengembangan pariwisata
alam di kawasan TN mengacu pada strategi konservasi yaitu pemanfaatan secara
lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berupa pemanfaatan kondisi
lingkungan kawasan TN. Pemanfaatan wisata alam di kawasan TN dilakukan
sesuai peraturan perundang-undangan untuk wisata alam (PP 28/20112). Upaya
pemanfaatan pariwisata alam diantaranya berupa kegiatan untuk
menyelenggarakan usaha pariwisata alam yang disebut pengusahaan pariwisata
alam. Pengusahaan pariwisata alam meliputi usaha penyediaan jasa wisata alam,
seperti : jasa informasi pariwisata, jasa pramuwisata, jasa transportasi, jasa
perjalanan wisata, jasa makanan dan minuman; dan usaha penyediaan sarana
wisata alam, seperti : wisata tirta, akomodasi, dan sarana wisata petualangan (PP
36/2010).
Pada tahap awal penelitian ini dilakukan kajian para pemangku
kepentingan pariwisata. Tujuan dari analisis ini ialah untuk mengidentifikasi para
pemangku kepentingan sebagai aktor yang terkait dengan pengembangan
pariwisata dalam bentuk analisis pemangku kepentingan. Analisis ini
mengidentifikasi dan mendaftar semua keterlibatan para pemangku kepentingan,
dan menggolongkan kedalam beberapa kelompok. Selain itu dalam analisis ini
dilakukan pengembangan pula yaitu analisis kebutuhan untuk mengidentifikasi
kebutuhan para pemangku kepentingan.
Tahap berikutnya dari penelitian ini terkait dengan implementasi peraturan
pemanfaatan wisata alam. Adanya peraturan yang implementasi belum berjalan
baik akan dianalisa dengan modifikasi dari pendekatan yang menyatakan
peraturan perundang-undangan dapat berfungsi sebagai instrumen pengendali
perilaku apabila memiliki kekuatan hukum yang berjenjang secara hierarki, serta
memiliki kecukupan isi. Kecukupan isi peraturan perundang-undangan dicirikan
oleh adanya kejelasan tujuan, objek hukum, sanksi serta pemberian kewenangan
yang jelas bagi pelaksana. Kecukupan isi akan dianalisis dengan menggunakan
content analysis. Terdapat empat aspek yang menentukan berhasil tidaknya suatu
kebijakan/peraturan agar direspon secara positif oleh pelaksana dan subjek
peraturan (kelompok sasaran), yaitu: isi peraturan; tingkat informasi (pemahaman)
dari pelaksana dan sasaran peraturan; dukungan masyarakat; dan pembagian
potensi.
1
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
2
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam
5
Tahapan selanjutnya terkait dengan kinerja lembaga pengelola wisata di
lokasi studi, yaitu Dewan Pengelola TNB (DPTNB) dan Destination Management
Organization (DMO) Bunaken. Dalam sektor kehutanan terdapat prinsip-prinsip
penerapan good governance. Prinsip-prinsip Tata Kelola Hutan yang Baik (Good
Forest Governance/GFG) dengan beberapa kriteria utama seperti: legitimasi,
transparansi, akuntabilitas, inklusivitas, keadilan, keterkaitan, dan daya tahan.
Evaluasi kinerja kelembagaan tata kelola pariwisata dilakukan dengan
memodifikasi prinsip-prinsip GFG menjadi tata kelola pariwisata yang baik
(Good Tourisms Governance/GTG) yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi
di lokasi studi.
Data dan analisis pada bagian sebelumnya yang meliputi kajian peranan
dan kebutuhan para pemangku kepentingan, evaluasi implementasi peraturan dan
evaluasi lembaga pengelola wisata akan digunakan dalam pembuatan model
pengembangan tata kelola pariwisata di lokasi studi. Model yang dibangun
merupakan model konseptual yang akan menjelaskan dan/atau memprediksikan
sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-pilihan kebijakan. Gambar
1 menunjukkan kerangka berpikir penelitian.
Perumusan Masalah
Bentuk pengaturan hubungan antara pelaku wisata, pemerintah dan pihakpihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap sumberdaya wisata di TNB
telah dilakukan, baik oleh pemerintah pusat melalui Balai TNB, pemerintah
daerah, kelompok masyarakat, dan pihak swasta. Namun masing-masing pihak
masih berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan masing-masing, sebagai
contoh pelaku usaha wisata swasta yang sudah melakukan kegiatan wisata dalam
kawasan TNB masih belum memenuhi persyaratan perijinan yang berlaku dalam
PP No 36/20103 yang sebelumnya pada PP No 18/19944 (selanjutnya hanya akan
disebut PP No 36/2010). Selain itu terdapat tumpang tindih peraturan antara
pemerintah pusat dan daerah, yang mengatur pungutan masuk kawasan TNB. Para
wisatawan yang berkunjung ke TNB baik wisatawan mancanegara maupun
nusantara telah dipungut karcis masuk sejak tahun 2001 yang dilakukan oleh
instansi Dewan Pengelolaan TNB dengan berdasar pada Perda No 14/20005 dan
No 9/2002 6 . Ketentuan pungutan tarif masuk TNB sesuai peraturan daerah
tersebut tidak sejalan dengan ketentuan pada PP No 12/20147; yang sebelumnya
PP No 59/19988 (selanjutnya hanya akan disebut PP No 12/2014), yang mengatur
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka
Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam
4
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona
Pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam
5
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Utara Nomor 14 Tahun 2000 tentang Pungutan masuk pada
kawasan Taman Nasional Bunaken
6
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Utara Nomor 9 Tahun 2002 tentang Perubahan Pertama
Perda 14/2000 tentang Pungutan masuk pada kawasan Taman Nasional Bunaken
7
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Kehutanan
8
Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang berlaku pada Kementerian Kehutanan dan Perkebunan.
3
6
pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam termasuk karcis masuk taman nasional
yang menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan. Hal ini menyebabkan upaya
pemanfaatan pariwisata di TNB yang telah dilakukan sejak lama cenderung
berjalan secara tidak terkendali.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Permasalahan penelitian diuraikan dalam bentuk beberapa pertanyaan
penelitian, yaitu :
7
1. Bagaimana peranan dan kebutuhan para pemangku kepentingan dalam tata
kelola pariwisata di TNB
2. Bagaimana implementasi peraturan pemanfaatan wisata alam dalam rangka
pengembangan tata kelola pariwisata di TNB ?
3. Bagaimana kinerja lembaga pengelola wisata yang ada di TNB ?
4. Bagaimana model pengembangan tata kelola pariwisata di TNB ?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi dan menguraikan peranan serta kebutuhan para pemangku
kepentingan dalam tata kelola pariwisata di TNB.
2. Mengevaluasi proses implementasi peraturan pemanfaatan pariwisata alam
dalam tata kelola pariwisata di TNB.
3. Mengevaluasi kinerja lembaga pengelola wisata yang ada di TNB.
4. Menyusun model pengembangan tata kelola pariwisata di TNB.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ilmu
pengetahuan, para pihak yang terlibat di lokasi studi, dan masyarakat pada
umumnya. Manfaat bagi ilmu pengetahuan diantaranya merupakan
pengembangan studi-studi mengenai institusi tata kelola pariwisata, hubungan
diantara pemangku kepentingan, implementasi peraturan perundangan, dan
pengembangan pariwisata di kawasan konservasi laut seperti taman nasional.
Secara khusus penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada
pengambil kebijakan tata kelola pariwisata, para pemangku kepentingan dan
otoritas pengelola kawasan konservasi terkait model pengembangan tata kelola
pariwisata yang sesuai di kawasan konservasi laut. Selanjutnya penelitian ini
dapat digunakan sebagai rujukan dalam melakukan pengembangan tata kelola
pariwisata di kawasan konservasi lainnya.
Kebaruan Penelitian
Novelty (kebaruan) dalam penelitian ini yaitu dalam menghasilkan
formulasi konseptual model pengembangan tata kelola pariwisata di kawasan
konservasi seperti di TNB, yang dibangun dari hasil kajian peranan dan kebutuhan
para pemangku kepentingan, evaluasi implementasi peraturan pemanfaatan
pariwisata alam dan evaluasi kinerja lembaga tata kelola pariwisata.
8
2 KARAKTERISTIK KAWASAN TNB
Sejarah Penunjukan Kawasan
Pulau Bunaken dan sekitarnya dikenal sebagai obyek wisata sudah sejak
sekitar tahun 1978, dimana pada tahun tersebut sudah ada beberapa aktivitas yang
dilakukan disekitar gugus Pulau Bunaken seperti pengusahaan ikan hias,
penelitian taman laut oleh PT. Ida Cipta dan adanya pembangunan pantai Liang.
Pada tahun 1979, kegiatan pariwisata disekitar Pulau Bunaken dimulai secara
formal setelah dipublikasikannya hasil penelitian Taman Laut oleh PT. Ida Cipta
serta adanya kunjungan dari Pangeran Bernardt dari Kerajaan Belanda pada tahun
yang sama. Setahun kemudian tepatnya pada tahun 1980, Pemerintah Daerah
Tingkat I Propinsi Sulawesi Utara mulai mempromosikan Taman Laut Bunaken
dengan mengeluarkan SK Gubernur No. 224/1980 tentang Perlindungan,
Pengamanan dan Pengembangan Obyek Pariwisata Taman Laut Manado yang
meliputi wilayah Pulau Bunaken, Siladen dan sekitarnya.
Kemudian pada tahun 1984, dikeluarkan SK Gubernur No. 201/1984 yang
berisi penetapan mengenai Perluasan Obyek Wisata Manado hingga wilayah
Arakan-Wawontulap. Instansi yang ditunjuk untuk pengelolaan tersebut adalah
Dinas Pariwisata Daerah. Pada masa tersebut pernah muncul beberapa konflik
antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat lokal menyusul munculnya rencana
relokasi penduduk dari dalam kawasan. Penolakan sangat kuat muncul dari
masyarakat sehingga pada akhirnya rencana tersebut tidak direalisasikan.
Selanjutnya kewenangan pengelolaan berpindah pada Pemerintah Pusat melalui
Instansi Teknis Departemen Kehutanan dalam hal ini Sub Balai Konservasi
Sumber Daya Alam. Pada tahun 1986 dikeluarkan SK Menteri Kehutanan No.
328/Kpts.-II/86 yang menetapkan kawasan Pulau Bunaken ini menjadi Cagar
Alam Laut Bunaken-Manado Tua yang meliputi Pulau Bunaken, Pulau Manado
Tua, Pulau Siladen dan pesisir sekitar Tanjung Pisok untuk wilayah utara dan
untuk wilayah selatan ditetapkan sebagai Cagar Alam Laut Arakan-Wawontulap
yang meliputi kawasan Arakan hingga Wawontulap.
Tahun 1989, dikeluarkan SK Menteri Kehutanan No. 444/Menhut-II/89
yang menetapkan Cagar Alam Laut Bunaken-Manado Tua dan Cagar Alam Laut
Arakan-Wawontulap sebagai Calon Taman Nasional dengan menggabungkan
keduanya dengan nama Taman Nasional Bunaken (TNB). Pada tanggal 15
Oktober 1991 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 730/Kpts.-II/1991, resmi
ditunjuk sebagai Kawasan TNB dengan total luas wilayahnya mencapai 89.065
hektar. Peresmian TNB ini dilakukan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 21
Desember 1992 di Manado. Gambar 2 memperlihatkan lokasi TNB.
Proses Perkembangan Pengelolaan TNB
Sejak ditunjuknya pada tahun 1991, pengelolaan kawasan TNB menjadi
kewenangan Departemen Kehutanan, khususnya Ditjen Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam (saat itu masih bernama PHPA, Pelestarian Hutan dan
Perlindungan Alam), dan di daerah, dilaksanakan oleh Sub-Balai Konservasi
Sumberdaya Alam (SBKSDA) Sulawesi Utara.
9
Masa SBKSDA Sulawesi Utara (1992-1998)
Sebagai kawasan TNB yang baru ditunjuk, SBKSDA mulai menerapkan
aturan-aturan pengelolaan yang meliputi pengembangan prasarana dasar kawasan
serta kegiatan pelestarian alamnya. Antara lain dibangun beberapa Pondok Kerja,
seperti di Pulau Bunaken (Kampung Tawara), di Molas (dekat Nusantara Diving
Club), dan di Desa Sondaken. Sedangkan untuk kegiatan-kegiatan pelestarian
alam, mulai dilakukan pendataan potensi keanekaragaman hayati, terutama untuk
ekosistem terumbu karang. Tentu pula, dibarengi dengan kegiatan-kegiatan
pengamanan, baik oleh Jagawana (Polisi Kehutanan) sendiri maupun melalui
operasi gabungan bersama kepolisian dan pemerintah daerah.
Gambar 2 Lokasi Taman Nasional Bunaken
Sejak tahun 1993, Departemen Kehutanan juga melakukan kerjasama
dengan berbagai bersama Program Natural Resources Management (NRM) untuk
membangun sistem pengelolaan TNB. Termasuk di dalamnya: 1) kegiatan
pendataan atau pengembangan informasi kawasan, 2) pemetaan dan pembagian
zonasi atau tata ruang penggunaan kawasan, dan 3) perencanaan kelembagaan
pengelolaannya. Hasil - hasil kegiatan itu semua terangkum dalam 3 (tiga) buku
Rencana Pengelolaan TNB, yang disahkan oleh Gubernur Sulawesi Utara dan
Direktur Jenderal PHKA Dephut pada tahun 1995/1996.
Momentum untuk masa pengelolaan oleh SBKSDA Sulut berakhir pada
tahun 1998, saat Departemen Kehutanan secara resmi membentuk Balai TNB
(BTNB), yang berkantor di kampung Batu Saiki, Desa Molas. Dengan adanya
10
BTNB, setidaknya tenaga kerja pengelolaan menjadi lebih kuat, baik dari segi
jumlah maupun dari segi keahlian. Misalnya, jumlah jagawana yang dulunya
hanya 9 (sembilan) orang, saat itu telah mencapai 30 (tiga puluh) orang lebih.
Masa BTNB
Setelah terbentuk, BTNB mulai melakukan kegiatan-kegiatan penguatan
kelembagaan pengelolaan TNB. Di antaranya penguatan kemampuan teknis staf
atau SDM-nya melalui pelatihan-pelatihan; serta mulai pula mengembangkan
mekanisme koordinasi dan pengembangan kerjasama dengan instansi/lembaga
daerah lainnya. Namun, usaha-usaha bertujuan baik tersebut masih kurang
berhasil dengan efektif karena masih kuatnya pendekatan sektoral (ego sektoral).
Walaupun berhasil dilakukan pertemuan-pertemuan kerja antara dinas dan instansi,
namun keputusan-keputusan penting belum bisa dihasilkan dengan memuaskan.
Sesuai Rencana Pengelolaan TNB, Kantor BTNB juga melakukan
kegiatan pengelolaan lingkungan, di antaranya memberdayakan aturan zonasi (tata
ruang) kawasan TNB. Dalam pemberdayaan zonasi tersebut termasuk melakukan
perbaikan (revisi) zonasi, seperti yang telah dilakukan untuk Pulau Bunaken.
Setelah UU 22/19999 terbit, berkembang pula harapan-harapan baru yang
mampu memberi motivasi dan semangat bagi sejumlah pemangku kepentingan di
daerah untuk membangun kembali mekanisme koordinasi dan kerjasama yang
nyata bagi pengelolaan TNB. Dan untuk itu, proses-proses dialog para pemangku
kepentingan kembali dikembangkan oleh BTNB. Tujuannya untuk membangun
kesepahaman, komitmen dan kerjasama para pemangku kepentingan untuk
meningkatkan keberhasilan pengelolaan kawasan TNB. Sejumlah hasil awalnya,
antara lain:
1. Berhasil dibangunnya dukungan dari pihak swasta, terutama para pengusaha
dive center (penyedia jasa wisata penyelaman), yang kemudian tergabung
dalam NSWA (North Sulawesi Watersport Association). NSWA mulai
menggalang dukungan dana konservasi bagi pengamanan terumbu karang,
serta dukungan untuk kesejahteraan warga kampung setempat melalui
program beasiswa.
2. Patroli bersama yang lebih intensif dan teratur, bersama NSWA dan DPPSU.
3. Pemerintah daerah dan BTNB (yang disetujui oleh Dephut) membentuk tim
kerja untuk mengkaji resmi sistem dan mekanisme “pengelolaan partisipatif
dan desentralistik” bagi pengelolaan TNB. Hasilnya adalah konsep “Sistem
Tarif Masuk TNB”.
4. Proses revisi zonasi juga terus berjalan, dengan prinsip-prinsip demokratis dan
melibatkan warga setempat secara langsung lewat pengembangan
pengambilan keputusan di kampung-kampung.
Seluruh proses yang sangat dinamis dari para pemangku kepentingan
tersebut, akhirnya membentuk kesepahaman, komitmen, dan kesepakatan untuk
membangun sebuah wadah bersama para pihak pada bulan Oktober 2000 untuk
menjadi forum bersama dalam berbagi informasi/berkomunikasi dan membangun
kerjasama yang berkaitan dengan pengelolaan TNB.
Masa Pengelolaan Bersama Para Pemangku Kepentingan (2000-sekarang)
Adanya kesepakatan para pihak menjadi modal dasar yang sangat kuat
bagi proses legalitas selanjutnya. Aturan hukum pendukung yaitu:
9
Undang‐Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
11
1. SK Gubernur No. 233 tahun 2000, tertanggal 12 Desember 2000, tentang
Pembentukan Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara.
2. Peraturan Daerah Sulawesi Utara No. 14 tahun 2000, tertanggal 14 Desember
2000, tentang Pungutan Masuk Pada Kawasan TN Bunaken.
3. Kesepakatan antara Pemda dan Dephut (Ditjen PKA) tentang pelaksaan Perda
dan tata kerja DPTNB, 15 Desember 2000.
Pada tanggal 16 Desember 2000 bertempat di Hotel Ritzy Manado,
DPTNB diresmikan secara bersama oleh Gubernur Sulawesi Utara dan Menteri
Kehutanan. Dan sejak saat itu, dimulai penerapan sistem dan mekanisma baru
pengelolaan TNB, yang tidak lagi hanya bertumpu pada Departemen Kehutanan,
lewat BTNB, tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama berbagai pihak di
Sulawesi Utara termasuk di dalamnya : pemerintah propinsi, pemerintah kota dan
kabupaten, pemerintahan desa dan kelurahan, perguruan tinggi, LSM, sektor
swasta, dan terlebih pula seluruh warga kam
DI TAMAN NASIONAL BUNAKEN
HERI SANTOSO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model
Pengembangan Tata Kelola Pariwisata di Taman Nasional Bunaken adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Heri Santoso
NIM E362100031
RINGKASAN
HERI SANTOSO. Model Pengembangan Tata Kelola Pariwisata di Taman
Nasional Bunaken. Dibimbing oleh ENDANG KOESTATI SRI HARINI
MUNTASIB, HARIADI KARTODIHARDJO, dan RINEKSO SOEKMADI.
Kegiatan pariwisata alam di Taman Nasional Bunaken (TNB) sudah ada
sejak sebelum penunjukannya sebagai taman nasional pada tahun 1991 dan telah
berkembang melalui kegiatan pariwisata alam. Banyak pemangku kepentingan
terlibat dalam pengembangan pariwisata alam di TNB, baik pemerintah, swasta,
masyarakat, maupun pihak lainnya. Bahkan para pemangku kepentingan tersebut
telah pernah melakukan kegiatan koordinasi dalam suatu lembaga Dewan
Pengelolaan TNB (DPTNB) yang merupakan lembaga yang muncul dari para
pemangku kepentingan untuk secara bersama mengelola wisata alam di TNB.
Pada tahun 2011 pemerintah pusat (Kementerian Pariwisata) mengembangkan
suatu bentuk manajemen destinasi yang disebut Destination Management
Organization Bunaken (DMOB). Mekanisme hubungan para pemangku
kepentingan dan implementasi peraturan pemanfaatan wisata alam serta kinerja
kedua lembaga yang ada perlu dilakukan suatu telaah lebih lanjut untuk bisa
dikembangkan dalam tata kelola pariwisata di TNB. Sehubungan dengan itu
diperlukan penelitian tentang tata kelola pariwisata yang sesuai dengan situasi
dan kondisi di lokasi studi. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengidentifikasi dan
menguraikan peranan serta kebutuhan para pemangku kepentingan dalam tata
kelola pariwisata di TNB, 2) mengevaluasi proses implementasi peraturan
pemanfaatan wisata alam dalam rangka pengembangan tata kelola pariwisata di
TNB, 3) mengevaluasi kinerja lembaga pengelola wisata yang ada di TNB, dan 4)
menyusun model pengembangan tata kelola pariwisata di TNB.
Kajian peranan dan kebutuhan pemangku kepentingan mengidentifikasi 17
pemangku kepentingan yang terdiri dari kelompok pemerintah pusat, pemerintah
daerah, swasta, masyarakat, akademisi dan kelompok lainnya. Peranan para
pemangku kepentingan terbanyak dalam pengembangan tata kelola pariwisata di
TNB sebagai key players, diikuti subjects, lalu context setters, dan terakhir crowd.
Banyaknya para pemangku kepentingan yang berperan sebagai key players
menunjukkan para pemangku kepentingan banyak yang berperan aktif dalam tata
kelola pariwisata di TNB. Peranan yang aktif ditunjukkan dalam pelaksanaan
tugas pokok, kewenangan, dan fungsi dari para pemangku kepentingan.
Hubungan antara pemangku kepentingan dalam tata kelola pariwisata di TNB
berupa hubungan koordinasi, kerjasama dan potensi konflik. Kebutuhan dalam
pengembangan tata kelola pariwisata di TNB, yaitu: pemahaman pemangku
kepentingan tentang TNB dan pengelolaannya serta ketentuan peraturan
perundangan yang mengatur pengembangan pariwisata di kawasan konservasi,
koordinasi dan komunikasi di tingkat daerah untuk menyatukan persepsi tentang
pengembangan tata kelola TNB, serta implementasi dan sinkronisasi
(keterpaduan) kegiatan dan program pengembangan pariwisata di TNB dari para
pemangku kepentingan. Peranan yang aktif dan kebutuhan para pemangku
kepentingan dapat dipenuhi melalui koordinasi yang lebih intensif dalam
menunjang pengelolaan TNB.
Peraturan perundangan pemanfaatan pariwisata alam di kawasan
konservasi yang dikaji dalam penelitian ini telah memenuhi persyaratan sebagai
pengatur dan pengendali perilaku para pemangku kepentingan secara hierarki.
Peraturan pemanfaatan pariwisata alam juga telah memenuhi kecukupan isi yang
dicirikan oleh adanya kejelasan tujuan, objek hukum, sanksi serta pemberian
kewenangan yang jelas bagi pelaksana. Namun dalam implementasinya peraturan
pemanfaatan pariwisata alam belum mendapat respon positif dari pelaksana
peraturan maupun kelompok sasaran peraturan. Tingkat pemahaman dan
pelaksanaan dari peraturan perudangan pemanfaatan pariwisata alam yang masih
kurang menjadi hal yang mendasari kurangnya respon positif dari pelaksana
peraturan maupun kelompok sasaran peraturan. Situasi ini jika dibiarkan
berlangsung terus menerus maka fungsi peraturan perundangan pemanfaatan
pariwisata alam sebagai pengatur dan pengendali perilaku para pemangku
kepentingan di TNB tidak akan terwujud.
DPTNB yang merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan keinginan
dari daerah menunjukkan penerapan prinsip-prinsip tata kelola pariwisata yang
lebih baik dibanding lembaga DMOB yang merupakan lembaga bentukan pusat.
Prinsip-prinsip tata kelola pariwisata meliputi dimensi legitimasi, transparansi,
akuntabilitas, inklusifitas, keadilan, keterkaitan, dan daya tahan. Hasil penilaian
kinerja lembaga DPTNB yang terendah adalah menyangkut daya tahan yang
sangat ditentukan dari kemampuan untuk beradaptasi, melihat dan merespons
ancaman, dan memiliki kapasitas yang diperlukan untuk berlanjutnya kehidupan
organisasi. Faktor pengungkit terbesarnya adalah sumber daya manusia, sehingga
bagi lembaga DPTNB dapat meningkatkan daya tahannya dengan lebih
meningkatkan pula kompetensi dari sumber daya manusia di dalamnya. Hasil
penilaian kinerja DMOB yang terendah adalah akuntabilitas. Akuntabilitas
menyangkut penerimaan tugas dan tanggung jawab dan kemampuan untuk
melaksanakannya. Faktor pengungkit terbesar dari dimensi tersebut adalah
tanggung jawab pada atasan, sehingga lembaga DMOB dapat meningkatkan
akuntabilitasnya dengan lebih meningkatkan pula tanggung jawab pada atasan.
Model pengembangan tata kelola pariwisata di TNB yang dihasilkan
memberikan tiga skenario pengembangan, yaitu pengembangan lembaga DPTNB,
penggabungan dua lembaga DPTNB dan DMOB serta pengembangan lembaga
KPHK TNB. Skenario pertama merupakan pengembangan lembaga yang sudah
ada, yaitu DPTNB. Kelebihan skenario pertama adalah DPTNB bersumber dari
keinginan para pihak di daerah (bottom up).
Kekurangannya adalah
keanggotaannya yang terbatas hanya 15 instansi. Skenario kedua merupakan
penggabungan lembaga DPTNB dan DMOB. Kelebihan skenario kedua adalah
mengingat kedua lembaga sudah ada sebelumnya dengan keanggotaan masingmasing sehingga relatif lebih sederhana dan lebih banyak jaringan/dukungan.
Kekurangannya belum memiliki dasar peraturan perundang-undangan untuk
penggabungannya, mengingat status lembaga yang berbeda (pusat dan daerah).
Skenario ketiga merupakan pengembangan lembaga KPHK TNB. Kelebihan
skenario ketiga adalah secara operasional BTNB dipandang sebagai KPHK TNB
sehingga KPHK TNB telah memiliki arahan yang jelas. Kekurangannya adalah
KPHK TNB belum dipahami secara konseptual oleh para pemangku kepentingan
di daerah Sulawesi Utara.
Kata kunci: tata kelola pariwisata, pemangku kepentingan, TN Bunaken
SUMMARY
HERI SANTOSO. Model of Tourism Governance Development in Bunaken
National Park. Supervised by ENDANG KOESTATI SRI HARINI MUNTASIB,
HARIADI KARTODIHARDJO, and RINEKSO SOEKMADI.
Nature tourism activities in the Bunaken National Park (BNP) has been
around since before it appointment as a national park in 1991 and has progressed
through the nature tourism activity. Many stakeholders are involved in the
development of nature tourism in the park, government, private, community, or
other party. Even these stakeholders have been conducting coordination in an
institution BNP Management Board (BNPMB) which is an institution that
emerged from the stakeholders to jointly manage natural attractions in the park. In
2011 the central government (Ministry of Tourism) developed a form of
destination management called Destination Management Organization Bunaken
(DMOB). Mechanism of stakeholder relations and implementation of regulations
utilization of natural attractions as well as the performance of both existing
institutions need to do a further study to be developed in the tourism governance
in BNP. In connection with the necessary research on the tourism governance in
accordance with the circumstances and conditions in the study area. Research in
aims to: 1) identify and describe the role and the needs of stakeholders in the
governance of tourism in the park, 2) evaluate the process of implementation of
regulations utilization of natural attractions in order to develop the tourism
governance in the BNP, 3) evaluate the performance of management institutions
existing tourism in BNP, and 4) the model development of the tourism
governance in the BNP.
Study of the role and needs of stakeholders identified 17 stakeholder group
consisting of the central government, local government, private, community,
academics and other groups. The role of stakeholders in the development of
tourism governance most in the park as the key players, followed by subjects, then
cottext setters, and the last crowd. Many stakeholders who play a role as a key
player shows many stakeholders who play an active role in the tourism
governance in the BNP. Indicated an active role in the implementation of basic
tasks, powers, and functions of stakeholders. Requirement in the development of
tourism governance in the BNP, namely: understanding of stakeholders on the
park and its management as well as the provisions of laws and regulations that the
development of tourism governance in the conservation area, coordination and
communication at the regional level to unify perceptions about governance
development park, as well as implementation and synchronization (alignment ) the
activities and program of tourism development in the park of the stakeholders.
Active role and needs of the stakeholders can be met through more intensive
coordination in supporting the management of the park.
Legislation utilization of natural tourism in protected areas that were
examined in this study have met the requirements as a regulator and controller of
the behavior of the stakeholders in the hierarchy. Regulation utilization of natural
tourism also has content that meets adequacy characterized by clarity of purpose,
the object of the law, sanctions and the provision of clear authority for the
executive. However, in the implementation rules of nature tourism utilization have
not received a positive response from the implementing rules and regulations of
the target group. The level of understanding and implementation of regulations
perudangan utilization of natural tourism is still less of a thing that underlies the
lack of positive response from the implementing rules and regulations of the target
group. This situation, if left continues the functions of legislation utilization of
nature tourism as a regulator and controller of the behavior of the stakeholders in
the park will not be realized.
BNPMB which is an institution established by the wishes of the area show
the application of the principles of tourism governance better than DMOB
institution which is formed by the central agency. The principles of tourism
governance include the dimension of legitimacy, transparency, accountability,
inclusiveness, equity, relevance, and durability. Results of performance
assessment institution which is the lowest BNPMB concerning durability is
determined from the ability to adapt, view and respond to threats, and have the
necessary capacity for the continued life of the organization. The biggest lever
factor is human resources, so that the institution can improve its durability
BNPMB to further improve also the competence of the human resources therein.
Results DMOB lowest performance assessment is accountability. Accountability
involves acceptance of the duties and responsibilities and the ability to implement
them. Factors biggest levers of these dimensions is the responsibility of the
employer, so that the institution can DMOB improve accountability by further
improving also the responsibility of the employer.
The development model of tourism governance in BNP generated gives
three scenarios of development, namely development BNPMAB agency, merging
the two institutions BNPMAB and DMOB, and development KPHK TNB
institutions. The first scenario is the development of an existing institution, ie
BNPMAB. The first scenario is considering the advantages of BNPMAB derived
from the wishes of the parties in the area (bottom up). The drawback is that its
membership was limited to 15 agencies. The second scenario is a merger of
institutions BNPMAB and DMOB. The second scenario is considering the
advantages of both institutions had been there before with the membership of each
so it is relatively simpler and more networking/support. The drawback not have
the basic legislation for the merger, given the status of different institutions
(central and local). The third scenario is the development of institutions KPHK
TNB. The third scenario is considering the advantages of operationally BTNB
seen as KPHK TNB so KPHK TNB has had a clear direction. The drawback is
KPHK TNB yet conceptually understood by stakeholders in the area of North
Sulawesi.
Keywords: tourism governance, stakeholders, BNP
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
MODEL PENGEMBANGAN TATA KELOLA PARIWISATA
DI TAMAN NASIONAL BUNAKEN
HERI SANTOSO
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Bambang Supriyanto, MSc
Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc
Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Ir Bambang Supriyanto, MSc
Prof Dr Ir Bramasto Nugroho, MS
PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian
berjudul Model Pengembangan Tata Kelola Pariwisata di Taman Nasional
Bunaken. Penelitian ini terdiri dari rangkaian penelitian meliputi Peranan dan
Kebutuhan Pemangku Kepentingan dalam Tata Kelola Pariwisata di TNB,
Implementasi Peraturan Pemanfaatan Wisata Alam dalam rangka Pengembangan
Tata Kelola Pariwisata di TNB dan Kinerja Lembaga Pengelola Wisata yang Ada
di TNB serta Model Pengembangan Tata kelola Pariwisata di TNB. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan masukan pada para pengambil kebijakan tata kelola
pariwisata, para pemangku kepentingan
dan otoritas pengelola kawasan
konservasi terkait model pengembangan tata kelola pariwisata yang sesuai di
kawasan konservasi laut.
Pada kesempatan ini, penulis ucapkan terima kasih kepada Ibu Prof Dr
E.K.S. Harini Muntasib, MS, Bapak Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS, dan
Bapak Dr Ir Rinekso Soekmadi, MScF selaku komisi pembimbing atas segala
bimbingan, masukan kritik dan sarannya selama ini. Ucapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Bambang Supriyanto, MSc selaku penguji
luar komisi pada ujian tertutup dan ujian terbuka, Bapak Dr Ir Fredinan Yulianda
MSc selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, dan Bapak Prof Dr Ir
Bramasto Nugroho, MS selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka. Ucapan
terima kasih pula penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Rahmad Hermawan,
MScF yang mewakili Program Studi MEJ pada pelaksanaan ujian tertutup dan
ujian terbuka. Kepada Pimpinan dan staf BTNB, kawan-kawan seperjuangan di
kampus (Ichwan Muslih, Gunardi D. Winarno, dan Irwan Bempah), penulis
menyampaikan ucapan terima kasih. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015
Heri Santoso
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerangka Pemikiran
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kebaharuan Penelitian
2 KARAKTERISTIK KAWASAN TNB
Sejarah Penunjukan Kawasan
Proses Perkembangan Pengelolaan TNB
Penataan Kawasan TNB
Kondisi Fisik Kawasan TNB
Kondisi Biologi dan Ekologi Kawasan TNB
Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Setempat
Potensi Pariwisata Kawasan TNB
3 PERANAN DAN KEBUTUHAN PEMANGKU KEPENTINGAN
DALAM TATA KELOLA PARIWISATA DI TNB
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan dan Saran
4 IMPLEMENTASI PERATURAN PEMANFAATAN WISATA
ALAM DALAM RANGKA PENGEMBANGAN TATA KELOLA
PARIWISATA DI TNB
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan dan Saran
5 KINERJA LEMBAGA PENGELOLA WISATA YANG ADA
DI TNB
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan dan Saran
1
1
4
5
7
7
7
8
8
8
11
12
15
19
20
24
24
25
27
42
43
43
44
45
61
63
63
64
66
82
DAFTAR ISI (Lanjutan)
6 MODEL PENGEMBANGAN TATA KELOLA PARIWISATA
DI TNB
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan dan Saran
83
83
83
84
98
DAFTAR PUSTAKA
99
LAMPIRAN
104
RIWAYAT HIDUP
115
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Komposisi genera dan spesies terumbu karang di TNB
Luas terumbu karang dan bagian- bagiannya di TNB
Kondisi persentase tutupan karang hidup TNB
Kategori persentase tutupan karang hidup
Kriteria baku kerusakan terumbu karang
Luasan padang lamun di TNB
Luasan hutan mangrove di TNB
Potensi wisata alam dan sebarannya
Data kunjungan wisatawan ke TNB 2001-2014
Pengusaha dive center yang berada dalam kawasan TNB
Pengusaha dive center yang berada di luar kawasan TNB
Ukuran skoring terhadap kepentingan dan pengaruh
pemangku kepentingan
Pemangku kepentingan pengembangan tata kelola
pariwisata TNB
Hasil nilai dari kepentingan dan pengaruh pemangku
Kepentingan
Hubungan para pemangku kepentingan dalam pengembangan
pariwisata di TNB
Kebutuhan kelompok pemangku kepentingan dalam
pengembangan pariwisata di TNB
Kecukupan isi peraturan perundang-undangan pemanfaatan
wisata alam
Perbandingan ketentuan perundang-undangan dan aspirasi
daerah
Respon terhadap implementasi peraturan pemanfaatan
pariwisata alam
Kategori indeks tata kelola pariwisata yang baik
Nilai Stress dan R2 untuk penilaian kinerja DPTNB dan DMOB
Perbedaan indeks nilai GTG dan hasil analisis Montecarlo
16
16
17
17
17
18
18
21
22
23
23
26
27
31
36
38
52
55
61
66
79
79
DAFTAR TABEL (lanjutan)
23
24
Hasil Perhitungan semua dimensi indeks GTG
Skenario kelembagaan pengembangan tata kelola pariwisata
di TNB
80
95
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Kerangka Pemikiran Penelitian
Lokasi Taman Nasional Bunaken
Peta zonasi TNB tahun 2008
Tren kunjungan wisatawan selama tahun 2014
dibandingkan dengan tahun 2013
Matrik kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan
dalam tata kelola pariwisata di TNB
Hubungan antar pemangku kepentingan
Matriks pemahaman dan pelaksanaan peraturan
pengusahaan pariwisata alam
Matriks pemahaman dan pelaksanaan peraturan jenis dan
tarif atas PNBP yang berlaku pada Kementerian
Kehutanan (pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam)
Matriks pemahaman dan pelaksanaan terhadap peraturan
daerah pungutan masuk pada kawasan TNB
Nilai leverage dari masing-masing atribut pada
dimensi legitimasi
Nilai leverage dari masing-masing atribut pada
dimensi transparansi
Nilai leverage dari masing-masing atribut
pada dimensi akuntabilitas
Nilai leverage dari masing-masing atribut pada
dimensi inklusivitas
Nilai leverage dari masing-masing atribut pada
dimensi keadilan
Nilai leverage dari masing-masing atribut pada
dimensi keterkaitan
Nilai leverage dari masing-masing atribut pada
dimensi daya tahan
Nilai Indeks GTG untuk masing-masing dimensi
pada Lembaga DPTNB dan DMOB
Konsepsi model pengembangan tata kelola pariwisata
di TNB skenario pertama
Lembaga DPTNB dalam tata kelola pariwisata di TNB
skenario pertama
Konsepsi model pengembangan tata kelola pariwisata
di TNB skenario kedua
Lembaga dewan mitra dalam tata kelola pariwisata
di TNB skenario kedua
6
9
13
22
32
37
60
60
60
71
72
73
75
76
77
78
81
86
86
90
90
DAFTAR GAMBAR (lanjutan)
22
23
Konsepsi model pengembangan tata kelola pariwisata
di TNB skenario kedua
Lembaga KPHK TNB dalam tata kelola pariwisata
di TNB skenario ketiga
94
94
DAFTAR LAMPIRAN
1
Peraturan dasar Dewan Pengelolaan TNB
100
DAFTAR SINGKATAN
ASITASU
BLHM
BLU
BSDASU
BTNB
DAS
Ditjen PHKA
DKSU
DMOB
DPTNB
DPPSU`
DPBM
DPKISU
Fasdes
Faslok
FMPTNB
GFG
GTG
HPISU
HPWLB
IUPJWA
IUPSWA
KPA
Kemenhut
KPHK
KSDAHE
LSM
MDS
NRM
NSWA
PALMB
Perda
Permenhut
PHRISU
PNBP
PNM
PP
PSU
RP
SDA
Simaksi
SK Menhut
TNB
USRM
UPT
: Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Sulawesi Utara
: Badan Lingkungan Hidup Minahasa
: Badan Layanan Umum
: Biro Sumber Daya Alam Provinsi Sulawesi Utara
: Balai Taman Nasional Bunaken
: Daerah Aliran Sungai
: Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
: Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara
: Destination Management Organization Bunaken
: Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken
: Direktorat Kepolisian Perairan, Polda Sulawesi Utara
: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Manado
: Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi Sulawesi Utara
: Fasilitator Destinasi
: Fasilitator Lokal
: Forum Masyarakat Peduli Taman Nasional Bunaken
: Good Forest Governance
: Good Tourism Governance
: Himpunan Pramuwisata Indonesia Provinsi Sulawesi Utara
: Himpunan Pengelola Wisata Lokal Bunaken
: Izin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam
: Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam
: Kawasan Pelestarian Alam
: Kementerian Kehutanan
: Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi
: Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
: Lembaga Swadaya Masyarakat
: Multi Dimension Scaling
: Natural Resources Management
: North Sulawesi Waterport Association
: Perhimpunan Angkutan Laut Manado Bunaken
: Peraturan Daerah
: Peraturan Menteri Kehutanan
: Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Sulawesi Utara
: Penerimaan Negara Bukan Pajak
: Politeknik Negeri Manado
: Peraturan Pemerintah
: Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara
: Rencana Pengelolaan
: Sumber Daya Alam
: Surat Ijin Memasuki Kawasan Konservasi
: Surat Keputusan Menteri Kehutanan
: Taman Nasional Bunaken
: Universitas Sam Ratulangi Manado
:Unit Pelaksana Teknis
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengembangan pariwisata di suatu kawasan konservasi merupakan suatu
fenomena yang kompleks sebagai suatu sistem. Menurut Gunn (1994) ada tiga hal
mendasar yang disyaratkan untuk mengembangkan suatu pariwisata dari sisi
supply maupun faktor eksternal, meliputi : kesesuaian antara pasar dan produk
pariwisata, keterkaitan antar unsur-unsur pembangun sistem pariwisata, dan
keterlibatan pelaku-pelaku pariwisata. Pengembangan wisata alam di kawasan
konservasi, juga tidak terlepas dari peran para pemangku kepentingan,
diantaranya : pihak pengelola, pemerintah pusat, pemerintah daerah, LSM,
perusahaan swasta, biro jasa wisata serta masyarakat sekitar kawasan. Masingmasing pihak memiliki peran dan kegiatan yang berbeda-beda yang
mencerminkan adanya kepentingan dan pengaruh para pemangku kepentingan
dalam mengembangkan wisata alam di kawasan konservasi.
Dalam pelaksanaannya pengembangan pariwisata di Indonesia termasuk di
kawasan konservasi belum berjalan dengan baik.
Direktorat
Pengembangan
Wisata Minat Khusus, Konvensi, Insentif dan Even, Direktorat Jenderal
Pengembangan Destinasi Pariwisata, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif (DPWMKKIE 2012), mencatat beberapa permasalahan pariwisata di
Indonesia yang muncul ke permukaan diantaranya kebijakan yang tidak sinkron
dan harmonis, lemahnya koordinasi antar para pihak, peran serta pelaku usaha
yang tidak optimal, ketidaksiapan sarana dan prasarana destinasi serta masyarakat
yang tidak siap menjadi destinasi pariwisata. Sementara itu pada pengelolaan
kawasan konservasi mengalami tekanan yang sangat besar. Direktorat Kawasan
Konservasi dan Bina Hutan Lindung, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan (DKKBHL 2012), mencatat beberapa
tekanan tersebut, diantaranya tumpang tindih aturan dan konflik kepentingan serta
lemahnya koordinasi/kolaborasi menjadi faktor yang membutuhkan penanganan
yang komprehensif. Faktor-faktor lain seperti penegakan hukum dan kepatuhan
pada hukum/aturan, kendala keterbatasan sarana dan prasarana pengelolaan juga
menjadi faktor penekan terhadap pengelolaan lestari kawasan taman nasional.
Fenomena pariwisata di suatu kawasan konservasi sebagai suatu sistem
menghadirkan konsepsi pengembangan wisata yang tidak bisa dilakukan secara
sendirian dan menuntut kebersamaan arah tindak dan keseimbangan para
pemangku kepentingan. yang mengarah pada tata kelola. Secara umum, kerangka
konseptual tata kelola terdiri dari dua pendekatan utama, yaitu pendekatan
berbasis hukum atau aturan dan pendekatan berbasis hak atau ekonomi politik.
Pendekatan berbasis hukum atau aturan bertumpu kepada peran dan fungsi formal
negara berupa kehadiran institusi-institusi formal negara, pembuatan kerangka
hukum dan peraturan formal, norma dan nilai-nilai normatif dan pemberian
layanan publik. Sedangkan konsep tata kelola berbasis hak, lebih melihat
hubungan antar aktor negara dan non negara, struktur-struktur yang mendorong
interaksi antar aktor, ruang negosiasi dengan pemegang otoritas publik, dan
mekanisme akuntabilitas antar aktor (Saunders dan Reeve 2010).
2
Penjabaran kedua kerangka konseptual tergambar didalam definisi tata
kelola yang digunakan Bank Dunia dan UNDP. Bank dunia melihat pendekatan
berbasis aturan sangat dipengaruhi oleh pertimbangan efektifitas bantuan, dan
dengan demikian definisi sangat diwarnai oleh model pembangunan ekonomi
klasik. Ini termaktub dalam definisi tata kelola menurut Bank Dunia yang
menyatakan “…consisting of the traditions and institutions by which authority in
a country is exercised. This includes the process by which goverments are
selected, monitored and replaced; the capacity of the government to effectively
formulate and implement sound policies; and the respect of citizens and the state
for institutions that govern economic and social interactions among them.”
Definisi ini menekankan bahwa pendekatan konsep tata kelola berbasis aturan
memberikan porsi lebih besar kepada peran dan fungsi aturan dan negara, namun
kurang melihat peran dan fungsi aturan informal, dan peran aktor-aktor non
negara lainnya (Saunders dan Reeve 2010).
Sebaliknya rumusan lebih
operasional dari pendekatan berbasis hak dapat disimak dari definisi tata kelola
dari UNDP yang menyatakan “… governance for human development as
comprising the mechanisms, processes, and institutions that determine how power
is exercised, how decisions are made on issues of public concern, and how
citizens articulate their interests, exercise their legal rights and meet their
obligations and mediate their difference.” Definisi ini mengindikasi bahwa
konsep tata kelola diambil dari sejumlah pandangan inti demokrasi. Karenanya
kosep tata kelola yang dimaksud adalah konsep democratic governance yang
memasukan prinsip-prinsip partisipasi yang inklusif, kelembagaan yang responsif,
penghormatan kepada hak asasi manusia, keadilan gender dan integritas.
Sejalan dengan konsepsi tersebut Hall (2011) memberikan dua makna
yang luas dari tata kelola yaitu pertama : …to describe contemporary state
adaptation to its economic and political environment with respect to how it
operates, yang dikenal sebagai “tata kelola baru”, dan kedua … to denote a
conceptual and theoretical representation of the role of the state in the
coordination of socio-economic systems. Pada pemahaman pertama, Yee (2004)
menggambarkan tata kelola baru sebagai "kegiatan tata kelola yang terjadi tidak
hanya melalui pemerintahan". Pada pemahaman kedua dapat dibagi menjadi dua
kategori lanjut. Yang pertama berfokus pada kapasitas negara untuk mengarahkan
sistem sosial-ekonomi dan karena itu berhubungan antara negara dan aktor-aktor
kebijakan lain (Pierre & Peters 2000). yang kedua berfokus pada koordinasi dan
pemerintahan itu sendiri, terutama berkenaan dengan jaringan hubungan dan
kemitraan publik-swasta (Rhodes 1997).
Tata kelola merupakan mekanisme pengelolaan sumberdaya, ekonomi dan
sosial yang melibatkan pengaruh sektor pemerintah dan sekton non-pemerintah
dalam suatu usaha kolektif. Adapun tata kelola pariwisata merupakan bentuk
pengaturan hubungan antara pelaku wisata dengan sumberdaya wisata, konsumen,
pemerintah, pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap sumberdaya
wisata yang sama. (Muntasib 2009).
Salah satu kawasan konservasi dengan upaya pemanfaatan pariwisata
alamnya adalah Taman Nasional Bunaken (TNB), di Provinsi Sulawesi Utara.
Sebagai kawasan konservasi yang memiliki tingkat aksesibilitas yang relatif dekat
dengan ibu kota provinsi dan didukung keunikan sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya maka TNB memiliki potensi besar dalam pengembangan wisata
3
alam. TNB merupakan kawasan ekowisata dan destinasi unggulan serta menjadi
kekuatan pariwisata Kota Manado. Pertumbuhan usaha industri pariwisata
memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) Kota Manado tahun 2012, yaitu sebesar 4.37 trilyun rupiah atau
28 % dari total PDRB Kota Manado (15.62 trilyun rupiah) (DPKKM 2013).
Dibandingkan dengan Provinsi Bali pengukuran sektor pariwisata berasal dari
kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu sebesar 25.37 trilyun
rupiah atau 30.23% dari total PDRB Provinsi Bali (83.94 trilyun rupiah) (BPSPB
2013).
Kegiatan pariwisata alam di TNB sebenarnya sudah ada sejak sebelum
penunjukannya sebagai taman nasional pada tahun 1991 dan saat ini telah
berkembang melalui pengembangan pariwisata alam.
Pelaku swasta
pengembangan pariwisata alam di dalam dan luar kawasan TNB berjumlah 48
unit. Bidang usaha kegiatan pengusahaan pariwisata alam tersebut terdiri dari jasa
penginapan (cottages/resort dan hotel), restoran, spa, jasa penyewaan peralatan
selam, paket tur wisata, transportasi laut, katamaran (perahu dasar kaca), kapal
semi selam, dan penjualan cinderamata (BTNB 2010b).
Kajian pengembangan pariwisata alam di TNB menjadi menarik karena :
(1) TNB merupakan salah satu kawasan konservasi dengan upaya pemanfaatan
wisata alam baharinya yang cukup berkembang, bahkan sebelum penunjukannya
sebagai kawasan konservasi, (2) status kawasan TNB yang ditunjuk melalui SK
Menteri Kehutanan Nomor 730/Kpts-II/1991 tanggal 15 Oktober 1991,
merupakan taman nasional laut yang tertua di Indonesia dan telah ditunjuk sebagai
taman nasional model berdasarkan SK Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam Nomor 69/IV/Set-H0/2006, (3) pengelolaan TNB sejak tahun
2000 menghadirkan pengelolaan kolaboratif dalam bentuk institusi Dewan
Pengelolaan TNB (DPTNB) yang melibatkan para pemangku kepentingan
termasuk didalamnya para pelaku wisata, dan (4) pada tahun 2011 TNB juga
menjadi salah satu lokasi strategis pengembangan destinasi pariwisata (kawasan
strategis pariwisata nasional) dalam bentuk DMO (Destination Management
Organization) dari 15 DMO di seluruh Indonesia.
Banyak pemangku kepentingan terlibat dalam pengembangan pariwisata
alam di TNB, baik pemerintah, swasta, masyarakat, maupun pihak lainnya.
Bahkan para pemangku kepentingan tersebut telah pernah melakukan kegiatan
koordinasi dalam suatu lembaga Dewan Pengelolaan TNB (DPTNB) yang
merupakan lembaga yang muncul dari para pemangku kepentingan untuk secara
bersama mengelola wisata alam di TNB. Pada tahun 2011 pemerintah pusat
(Kementerian Pariwisata) mengembangkan suatu bentuk manajemen destinasi
yang disebut Destination Management Organization Bunaken (DMOB).
Mekanisme hubungan para pemangku kepentingan, dan implementasi peraturan
pemanfaatan wisata alam serta kinerja kedua lembaga yang ada perlu dilakukan
suatu telaah lebih lanjut untuk bisa dikembangkan dalam tata kelola pariwisata di
TNB. Sehubungan dengan itu diperlukan penelitian tentang tata kelola pariwisata
yang sesuai dengan situasi dan kondisi di lokasi studi.
4
Kerangka Pemikiran
Kegiatan pariwisata yang dapat dilakukan di kawasan konservasi seperti
taman nasional, sesuai peraturan perundangan yang berlaku (UU 5/19901), adalah
pariwisata alam. Pariwisata alam merupakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan wisata alam, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik serta usaha yang
terkait dengan wisata alam. Adapun pengertian wisata alam di kawasan TN
adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan
secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan
keindahan alam di kawasan TN. Pengembangan wisata alam merupakan proses
menjadikan lebih baik kegiatan wisata alam. Upaya pengembangan pariwisata
alam di kawasan TN mengacu pada strategi konservasi yaitu pemanfaatan secara
lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berupa pemanfaatan kondisi
lingkungan kawasan TN. Pemanfaatan wisata alam di kawasan TN dilakukan
sesuai peraturan perundang-undangan untuk wisata alam (PP 28/20112). Upaya
pemanfaatan pariwisata alam diantaranya berupa kegiatan untuk
menyelenggarakan usaha pariwisata alam yang disebut pengusahaan pariwisata
alam. Pengusahaan pariwisata alam meliputi usaha penyediaan jasa wisata alam,
seperti : jasa informasi pariwisata, jasa pramuwisata, jasa transportasi, jasa
perjalanan wisata, jasa makanan dan minuman; dan usaha penyediaan sarana
wisata alam, seperti : wisata tirta, akomodasi, dan sarana wisata petualangan (PP
36/2010).
Pada tahap awal penelitian ini dilakukan kajian para pemangku
kepentingan pariwisata. Tujuan dari analisis ini ialah untuk mengidentifikasi para
pemangku kepentingan sebagai aktor yang terkait dengan pengembangan
pariwisata dalam bentuk analisis pemangku kepentingan. Analisis ini
mengidentifikasi dan mendaftar semua keterlibatan para pemangku kepentingan,
dan menggolongkan kedalam beberapa kelompok. Selain itu dalam analisis ini
dilakukan pengembangan pula yaitu analisis kebutuhan untuk mengidentifikasi
kebutuhan para pemangku kepentingan.
Tahap berikutnya dari penelitian ini terkait dengan implementasi peraturan
pemanfaatan wisata alam. Adanya peraturan yang implementasi belum berjalan
baik akan dianalisa dengan modifikasi dari pendekatan yang menyatakan
peraturan perundang-undangan dapat berfungsi sebagai instrumen pengendali
perilaku apabila memiliki kekuatan hukum yang berjenjang secara hierarki, serta
memiliki kecukupan isi. Kecukupan isi peraturan perundang-undangan dicirikan
oleh adanya kejelasan tujuan, objek hukum, sanksi serta pemberian kewenangan
yang jelas bagi pelaksana. Kecukupan isi akan dianalisis dengan menggunakan
content analysis. Terdapat empat aspek yang menentukan berhasil tidaknya suatu
kebijakan/peraturan agar direspon secara positif oleh pelaksana dan subjek
peraturan (kelompok sasaran), yaitu: isi peraturan; tingkat informasi (pemahaman)
dari pelaksana dan sasaran peraturan; dukungan masyarakat; dan pembagian
potensi.
1
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
2
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam
5
Tahapan selanjutnya terkait dengan kinerja lembaga pengelola wisata di
lokasi studi, yaitu Dewan Pengelola TNB (DPTNB) dan Destination Management
Organization (DMO) Bunaken. Dalam sektor kehutanan terdapat prinsip-prinsip
penerapan good governance. Prinsip-prinsip Tata Kelola Hutan yang Baik (Good
Forest Governance/GFG) dengan beberapa kriteria utama seperti: legitimasi,
transparansi, akuntabilitas, inklusivitas, keadilan, keterkaitan, dan daya tahan.
Evaluasi kinerja kelembagaan tata kelola pariwisata dilakukan dengan
memodifikasi prinsip-prinsip GFG menjadi tata kelola pariwisata yang baik
(Good Tourisms Governance/GTG) yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi
di lokasi studi.
Data dan analisis pada bagian sebelumnya yang meliputi kajian peranan
dan kebutuhan para pemangku kepentingan, evaluasi implementasi peraturan dan
evaluasi lembaga pengelola wisata akan digunakan dalam pembuatan model
pengembangan tata kelola pariwisata di lokasi studi. Model yang dibangun
merupakan model konseptual yang akan menjelaskan dan/atau memprediksikan
sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-pilihan kebijakan. Gambar
1 menunjukkan kerangka berpikir penelitian.
Perumusan Masalah
Bentuk pengaturan hubungan antara pelaku wisata, pemerintah dan pihakpihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap sumberdaya wisata di TNB
telah dilakukan, baik oleh pemerintah pusat melalui Balai TNB, pemerintah
daerah, kelompok masyarakat, dan pihak swasta. Namun masing-masing pihak
masih berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan masing-masing, sebagai
contoh pelaku usaha wisata swasta yang sudah melakukan kegiatan wisata dalam
kawasan TNB masih belum memenuhi persyaratan perijinan yang berlaku dalam
PP No 36/20103 yang sebelumnya pada PP No 18/19944 (selanjutnya hanya akan
disebut PP No 36/2010). Selain itu terdapat tumpang tindih peraturan antara
pemerintah pusat dan daerah, yang mengatur pungutan masuk kawasan TNB. Para
wisatawan yang berkunjung ke TNB baik wisatawan mancanegara maupun
nusantara telah dipungut karcis masuk sejak tahun 2001 yang dilakukan oleh
instansi Dewan Pengelolaan TNB dengan berdasar pada Perda No 14/20005 dan
No 9/2002 6 . Ketentuan pungutan tarif masuk TNB sesuai peraturan daerah
tersebut tidak sejalan dengan ketentuan pada PP No 12/20147; yang sebelumnya
PP No 59/19988 (selanjutnya hanya akan disebut PP No 12/2014), yang mengatur
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka
Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam
4
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona
Pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam
5
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Utara Nomor 14 Tahun 2000 tentang Pungutan masuk pada
kawasan Taman Nasional Bunaken
6
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Utara Nomor 9 Tahun 2002 tentang Perubahan Pertama
Perda 14/2000 tentang Pungutan masuk pada kawasan Taman Nasional Bunaken
7
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Kehutanan
8
Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang berlaku pada Kementerian Kehutanan dan Perkebunan.
3
6
pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam termasuk karcis masuk taman nasional
yang menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan. Hal ini menyebabkan upaya
pemanfaatan pariwisata di TNB yang telah dilakukan sejak lama cenderung
berjalan secara tidak terkendali.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Permasalahan penelitian diuraikan dalam bentuk beberapa pertanyaan
penelitian, yaitu :
7
1. Bagaimana peranan dan kebutuhan para pemangku kepentingan dalam tata
kelola pariwisata di TNB
2. Bagaimana implementasi peraturan pemanfaatan wisata alam dalam rangka
pengembangan tata kelola pariwisata di TNB ?
3. Bagaimana kinerja lembaga pengelola wisata yang ada di TNB ?
4. Bagaimana model pengembangan tata kelola pariwisata di TNB ?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi dan menguraikan peranan serta kebutuhan para pemangku
kepentingan dalam tata kelola pariwisata di TNB.
2. Mengevaluasi proses implementasi peraturan pemanfaatan pariwisata alam
dalam tata kelola pariwisata di TNB.
3. Mengevaluasi kinerja lembaga pengelola wisata yang ada di TNB.
4. Menyusun model pengembangan tata kelola pariwisata di TNB.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ilmu
pengetahuan, para pihak yang terlibat di lokasi studi, dan masyarakat pada
umumnya. Manfaat bagi ilmu pengetahuan diantaranya merupakan
pengembangan studi-studi mengenai institusi tata kelola pariwisata, hubungan
diantara pemangku kepentingan, implementasi peraturan perundangan, dan
pengembangan pariwisata di kawasan konservasi laut seperti taman nasional.
Secara khusus penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada
pengambil kebijakan tata kelola pariwisata, para pemangku kepentingan dan
otoritas pengelola kawasan konservasi terkait model pengembangan tata kelola
pariwisata yang sesuai di kawasan konservasi laut. Selanjutnya penelitian ini
dapat digunakan sebagai rujukan dalam melakukan pengembangan tata kelola
pariwisata di kawasan konservasi lainnya.
Kebaruan Penelitian
Novelty (kebaruan) dalam penelitian ini yaitu dalam menghasilkan
formulasi konseptual model pengembangan tata kelola pariwisata di kawasan
konservasi seperti di TNB, yang dibangun dari hasil kajian peranan dan kebutuhan
para pemangku kepentingan, evaluasi implementasi peraturan pemanfaatan
pariwisata alam dan evaluasi kinerja lembaga tata kelola pariwisata.
8
2 KARAKTERISTIK KAWASAN TNB
Sejarah Penunjukan Kawasan
Pulau Bunaken dan sekitarnya dikenal sebagai obyek wisata sudah sejak
sekitar tahun 1978, dimana pada tahun tersebut sudah ada beberapa aktivitas yang
dilakukan disekitar gugus Pulau Bunaken seperti pengusahaan ikan hias,
penelitian taman laut oleh PT. Ida Cipta dan adanya pembangunan pantai Liang.
Pada tahun 1979, kegiatan pariwisata disekitar Pulau Bunaken dimulai secara
formal setelah dipublikasikannya hasil penelitian Taman Laut oleh PT. Ida Cipta
serta adanya kunjungan dari Pangeran Bernardt dari Kerajaan Belanda pada tahun
yang sama. Setahun kemudian tepatnya pada tahun 1980, Pemerintah Daerah
Tingkat I Propinsi Sulawesi Utara mulai mempromosikan Taman Laut Bunaken
dengan mengeluarkan SK Gubernur No. 224/1980 tentang Perlindungan,
Pengamanan dan Pengembangan Obyek Pariwisata Taman Laut Manado yang
meliputi wilayah Pulau Bunaken, Siladen dan sekitarnya.
Kemudian pada tahun 1984, dikeluarkan SK Gubernur No. 201/1984 yang
berisi penetapan mengenai Perluasan Obyek Wisata Manado hingga wilayah
Arakan-Wawontulap. Instansi yang ditunjuk untuk pengelolaan tersebut adalah
Dinas Pariwisata Daerah. Pada masa tersebut pernah muncul beberapa konflik
antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat lokal menyusul munculnya rencana
relokasi penduduk dari dalam kawasan. Penolakan sangat kuat muncul dari
masyarakat sehingga pada akhirnya rencana tersebut tidak direalisasikan.
Selanjutnya kewenangan pengelolaan berpindah pada Pemerintah Pusat melalui
Instansi Teknis Departemen Kehutanan dalam hal ini Sub Balai Konservasi
Sumber Daya Alam. Pada tahun 1986 dikeluarkan SK Menteri Kehutanan No.
328/Kpts.-II/86 yang menetapkan kawasan Pulau Bunaken ini menjadi Cagar
Alam Laut Bunaken-Manado Tua yang meliputi Pulau Bunaken, Pulau Manado
Tua, Pulau Siladen dan pesisir sekitar Tanjung Pisok untuk wilayah utara dan
untuk wilayah selatan ditetapkan sebagai Cagar Alam Laut Arakan-Wawontulap
yang meliputi kawasan Arakan hingga Wawontulap.
Tahun 1989, dikeluarkan SK Menteri Kehutanan No. 444/Menhut-II/89
yang menetapkan Cagar Alam Laut Bunaken-Manado Tua dan Cagar Alam Laut
Arakan-Wawontulap sebagai Calon Taman Nasional dengan menggabungkan
keduanya dengan nama Taman Nasional Bunaken (TNB). Pada tanggal 15
Oktober 1991 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 730/Kpts.-II/1991, resmi
ditunjuk sebagai Kawasan TNB dengan total luas wilayahnya mencapai 89.065
hektar. Peresmian TNB ini dilakukan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 21
Desember 1992 di Manado. Gambar 2 memperlihatkan lokasi TNB.
Proses Perkembangan Pengelolaan TNB
Sejak ditunjuknya pada tahun 1991, pengelolaan kawasan TNB menjadi
kewenangan Departemen Kehutanan, khususnya Ditjen Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam (saat itu masih bernama PHPA, Pelestarian Hutan dan
Perlindungan Alam), dan di daerah, dilaksanakan oleh Sub-Balai Konservasi
Sumberdaya Alam (SBKSDA) Sulawesi Utara.
9
Masa SBKSDA Sulawesi Utara (1992-1998)
Sebagai kawasan TNB yang baru ditunjuk, SBKSDA mulai menerapkan
aturan-aturan pengelolaan yang meliputi pengembangan prasarana dasar kawasan
serta kegiatan pelestarian alamnya. Antara lain dibangun beberapa Pondok Kerja,
seperti di Pulau Bunaken (Kampung Tawara), di Molas (dekat Nusantara Diving
Club), dan di Desa Sondaken. Sedangkan untuk kegiatan-kegiatan pelestarian
alam, mulai dilakukan pendataan potensi keanekaragaman hayati, terutama untuk
ekosistem terumbu karang. Tentu pula, dibarengi dengan kegiatan-kegiatan
pengamanan, baik oleh Jagawana (Polisi Kehutanan) sendiri maupun melalui
operasi gabungan bersama kepolisian dan pemerintah daerah.
Gambar 2 Lokasi Taman Nasional Bunaken
Sejak tahun 1993, Departemen Kehutanan juga melakukan kerjasama
dengan berbagai bersama Program Natural Resources Management (NRM) untuk
membangun sistem pengelolaan TNB. Termasuk di dalamnya: 1) kegiatan
pendataan atau pengembangan informasi kawasan, 2) pemetaan dan pembagian
zonasi atau tata ruang penggunaan kawasan, dan 3) perencanaan kelembagaan
pengelolaannya. Hasil - hasil kegiatan itu semua terangkum dalam 3 (tiga) buku
Rencana Pengelolaan TNB, yang disahkan oleh Gubernur Sulawesi Utara dan
Direktur Jenderal PHKA Dephut pada tahun 1995/1996.
Momentum untuk masa pengelolaan oleh SBKSDA Sulut berakhir pada
tahun 1998, saat Departemen Kehutanan secara resmi membentuk Balai TNB
(BTNB), yang berkantor di kampung Batu Saiki, Desa Molas. Dengan adanya
10
BTNB, setidaknya tenaga kerja pengelolaan menjadi lebih kuat, baik dari segi
jumlah maupun dari segi keahlian. Misalnya, jumlah jagawana yang dulunya
hanya 9 (sembilan) orang, saat itu telah mencapai 30 (tiga puluh) orang lebih.
Masa BTNB
Setelah terbentuk, BTNB mulai melakukan kegiatan-kegiatan penguatan
kelembagaan pengelolaan TNB. Di antaranya penguatan kemampuan teknis staf
atau SDM-nya melalui pelatihan-pelatihan; serta mulai pula mengembangkan
mekanisme koordinasi dan pengembangan kerjasama dengan instansi/lembaga
daerah lainnya. Namun, usaha-usaha bertujuan baik tersebut masih kurang
berhasil dengan efektif karena masih kuatnya pendekatan sektoral (ego sektoral).
Walaupun berhasil dilakukan pertemuan-pertemuan kerja antara dinas dan instansi,
namun keputusan-keputusan penting belum bisa dihasilkan dengan memuaskan.
Sesuai Rencana Pengelolaan TNB, Kantor BTNB juga melakukan
kegiatan pengelolaan lingkungan, di antaranya memberdayakan aturan zonasi (tata
ruang) kawasan TNB. Dalam pemberdayaan zonasi tersebut termasuk melakukan
perbaikan (revisi) zonasi, seperti yang telah dilakukan untuk Pulau Bunaken.
Setelah UU 22/19999 terbit, berkembang pula harapan-harapan baru yang
mampu memberi motivasi dan semangat bagi sejumlah pemangku kepentingan di
daerah untuk membangun kembali mekanisme koordinasi dan kerjasama yang
nyata bagi pengelolaan TNB. Dan untuk itu, proses-proses dialog para pemangku
kepentingan kembali dikembangkan oleh BTNB. Tujuannya untuk membangun
kesepahaman, komitmen dan kerjasama para pemangku kepentingan untuk
meningkatkan keberhasilan pengelolaan kawasan TNB. Sejumlah hasil awalnya,
antara lain:
1. Berhasil dibangunnya dukungan dari pihak swasta, terutama para pengusaha
dive center (penyedia jasa wisata penyelaman), yang kemudian tergabung
dalam NSWA (North Sulawesi Watersport Association). NSWA mulai
menggalang dukungan dana konservasi bagi pengamanan terumbu karang,
serta dukungan untuk kesejahteraan warga kampung setempat melalui
program beasiswa.
2. Patroli bersama yang lebih intensif dan teratur, bersama NSWA dan DPPSU.
3. Pemerintah daerah dan BTNB (yang disetujui oleh Dephut) membentuk tim
kerja untuk mengkaji resmi sistem dan mekanisme “pengelolaan partisipatif
dan desentralistik” bagi pengelolaan TNB. Hasilnya adalah konsep “Sistem
Tarif Masuk TNB”.
4. Proses revisi zonasi juga terus berjalan, dengan prinsip-prinsip demokratis dan
melibatkan warga setempat secara langsung lewat pengembangan
pengambilan keputusan di kampung-kampung.
Seluruh proses yang sangat dinamis dari para pemangku kepentingan
tersebut, akhirnya membentuk kesepahaman, komitmen, dan kesepakatan untuk
membangun sebuah wadah bersama para pihak pada bulan Oktober 2000 untuk
menjadi forum bersama dalam berbagi informasi/berkomunikasi dan membangun
kerjasama yang berkaitan dengan pengelolaan TNB.
Masa Pengelolaan Bersama Para Pemangku Kepentingan (2000-sekarang)
Adanya kesepakatan para pihak menjadi modal dasar yang sangat kuat
bagi proses legalitas selanjutnya. Aturan hukum pendukung yaitu:
9
Undang‐Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
11
1. SK Gubernur No. 233 tahun 2000, tertanggal 12 Desember 2000, tentang
Pembentukan Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara.
2. Peraturan Daerah Sulawesi Utara No. 14 tahun 2000, tertanggal 14 Desember
2000, tentang Pungutan Masuk Pada Kawasan TN Bunaken.
3. Kesepakatan antara Pemda dan Dephut (Ditjen PKA) tentang pelaksaan Perda
dan tata kerja DPTNB, 15 Desember 2000.
Pada tanggal 16 Desember 2000 bertempat di Hotel Ritzy Manado,
DPTNB diresmikan secara bersama oleh Gubernur Sulawesi Utara dan Menteri
Kehutanan. Dan sejak saat itu, dimulai penerapan sistem dan mekanisma baru
pengelolaan TNB, yang tidak lagi hanya bertumpu pada Departemen Kehutanan,
lewat BTNB, tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama berbagai pihak di
Sulawesi Utara termasuk di dalamnya : pemerintah propinsi, pemerintah kota dan
kabupaten, pemerintahan desa dan kelurahan, perguruan tinggi, LSM, sektor
swasta, dan terlebih pula seluruh warga kam