Dampak liberalisasi perdagangan pertanian terhadap perekonomian negara maju dan berkembang

(1)

DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN

PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN

NEGARA MAJU DAN BERKEMBANG

DISERTASI

HARYADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:

DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PERTANIAN

TERHADAP PEREKONOMIAN NEGARA MAJU

DAN BERKEMBANG

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar dalam program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, November 2008

HARYADI


(3)

ABSTRACT

HARYADI. The Impact of Agricultural Trade Liberalization on Developed and Developing Countries Economy (RINA OKTAVIANI as Chairman, MANGARA TAMBUNAN and NOER AZAM ACHSANI as Members of the Advisory Committee)

The process of economic liberalization that create a free trade area in the world is becoming to be reality after three pillars of agricultural negotiation involved domestic supports, export subsidies, and market access has been agreed to be eliminated by 2013. Nevertheless, this liberalization policy is believed to be able to create some opportunities and challenges. This policy is expected to change the trade map of all commodities in the world either manufacture or agricultural products. Indonesia is one country that will be expected to be infected by this policy, because agriculture sector is still becoming one of the key sector in Indonesian economy.

This research intends: (1) to map the international trade flow specialy in the agricultral sector, (2) to analyze the impact of trade protection elimination, and (3) to explore the impact of tariffs on special product prevailed by Indonesia. The GTAP model was used as the main tool of analysis.

The results of the research show that: (1) international trade flow is still dominated by developed countries, so that the opinion of scholars stating that the developed countries export manufacture and developing countries export agricultural products can not be proved, (2) the elimination of trade protection in one side result in an increase in welfare and household income, but in the same time it also results an increase in trade competition, decrease in most of the output experiencing support elimination, sharply decrease in export for countries that previously prevailed export subsidies, and increase in import of most countries that prevailed import tariffs, and (3) the simulation of special tariff prevailed by Indonesia on a certain products fails to improve the GDP, household income, and welfare. Nevertheless, this policy succeeds in reducing import, increasing domestic production, and increasing demand for labors.

The developing countries should improve their competitive advantage and should force the developed countries to quicken the elimination process of trade protection, so the world trade can be implemented fairly. For Indonesia, prevailing of special product is still possible to be implemented because it can reduce import, increase domestic production, increase demand for labor. Finance Ministrial Regulation No 590 2004 need to be revised because this policy do not success in improve Indonesian trade performance. Nevertheless, the effort to minimizing the negative impact should be implemented simultaneously. This policy can be implemented through forcing the competitive advantage of all products so the product is no longer depending on government protection.

Keywords: World Trade Organization, International Trade, General Trade Analysis Project


(4)

HARYADI. Dampak Liberalisasi Perdagangan Pertanian Terhadap Perekonomian Negara Maju dan Berkembang (RINA OKTAVIANI sebagai

Ketua, MANGARA TAMBUNAN and NOER AZAM ACHSANI masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Proses libaralisasi untuk mewujudkan suatu perdagangan dunia yang bebas semakin kentara setelah pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) World Trade Organzation (WTO) ke-enam di Hong Kong. Tiga pilar negosiasi sektor pertanian yang mencakup: dukungan domestik, subsidi ekspor, dan akses pasar sudah harus dihapuskan pada 2013. Namun demikian, kebijakan liberalisasi seperti ini diyakini berpotensi untuk memunculkan peluang sekaligus tantangan bagi setiap negara anggota WTO. Salah satu yang diperkirakan akan mengalami perubahan adalah peta kekuatan perdagangan dunia, baik itu perdagangan komoditi industri maupun komoditi pertanian. Indonesia adalah salah satu negara yang akan terimbas dari dampak ini, mengingat sektor pertanian masih menjadi salah satu sektor kunci dalam perekonomian Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis peta aliran perdagangan dunia khususnya pada sektor pertanian, (2) menganalisis dampak kebijakan penghapusan semua hambatan perdagangan, dan (3) mengeksplorasi dampak pemberlakuan tarif khusus oleh Indonesia. Model GTAP digunakan sebagai alat analisis utama dalam penelitian ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) negara maju masih mendominasi perdagangan dunia baik untuk sektor industri maupun sektor pertanian sehingga pandangan yang menyatakan bahwa negara maju mengekspor produk industri dan negara berkembang mengekspor produk pertanian ternyata tidak terbukti, (2) kebijakan penghapusan hambatan perdagangan secara total akan menurunkan produksi domestik, menurunkan ekspor, serta meningkatkan impor pada negara-negara yang saat ini masih menerapkan hambatan tersebut, sedangkan negara-negara berkembang secara umum mengalami peningkatan impor, penurunan produksi, dan kenaikan impor, dan (3) simulasi kebijakan pemberlakuan tarif khusus oleh Indonesia pada produk–produk tertentu ternyata gagal dalam meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB), pendapatan rumahtangga dan tingkat kesejahteraan masyarakat, namun kebijakan ini sukses dalam menurunkan impor, meningkatkan produksi domestik, serta meningkatkan permintaan tenaga kerja.

Negara berkembang perlu meningkatkan daya saing serta terus mendesak negara maju agar segera menghapus semua hambatan perdagangan, sembari tetap mempertahankan perlakuan khusus bagi produk-produk tertentu sesuai dengan ketentuan WTO. Bagi Indonesia, perlakuan khusus masih memungkinkan dimaksimalkan sesuai dengan batas tertinggi yang ditetapkan WTO. Keputusan Menteri Keuangan No 590 Tahun 2004 ternyata belum memberikan dampak positif yang maksimal, oleh karena itu keputusan tersebut sudah seharusnya di revisi.

Kata kunci: World Trade Organization, Perdagangan Internasional, General Trade Analysis Project


(5)

RINGKASAN

Dampak liberalisasi perdagangan merupakan salah satu topik yang masih sering diperdebatkan sampai saat ini. Dua kutub yang saling berbeda pandangan memiliki argumen yang kuat mengenai dampak positif dan negatif dari liberalisasi ini. Kelompok yang pro-liberalisasi mengklaim bahwa liberalisasi memberikan manfaat berupa peningkatan ekspor dan kesejahteraan masyarakat, sementara kelompok yang anti-liberalisasi justru menuding liberalisasi berpotensi untuk menghacurkan perekonomian suatu negara. Terlepas dari perdebatan tersebut, liberalisasi berpotensi untuk menciptakan peluang sekaligus tantangan bagi setiap negara. Liberalisasi diperkirakan juga akan merobah peta perdagangan dunia. Pertanyaan yang muncul adalah apakah semua negara di dunia siap menghadapi liberalisasi? Untuk menjawab perdebatan tersebut, diperlukan suatu penelitian yang mampu menemukan suatu jawaban tentang dampak yang ditimbulkannya.

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) untuk menganalisis peta aliran perdagangan negara maju dan berkembang termasuk Indonesia, (2) menganalisis dampak dari penerapan kesepakatan WTO tentang sektor pertanian yaitu penghapusan dukungan domestik, penghapusan subsidi ekspor dan pembukaan akses pasar yang seluas-luasnya melalui penghapusan tarif impor di semua negara, dan (3) mengeksplorasi dampak penerapan tarif khusus (special product) terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia Indonesia.

Untuk menjawab tujuan penelitian, dalam disertasi ini digunakan model

Computable General Equilibrium (CGE) multinegara dengan alat analisis utama adalah General Trade Analysis Project (GTAP). Alasan penggunaan model ini adalah: (1) karena model ini mampu melihat dampak dan keterkaitan perdagangan antar negara secara sekaligus baik secara makro maupun secara sektoral, dan (2) model ini mampu menyediakan data yang lebih lengkap mengenai transaksi perdagangan antar negara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, sampai saat ini peta kekuatan ini kekuatan ekonomi dunia termasuk di sektor pertanian masih dikuasai oleh negara maju yang terlihat dari: (1) dominasi Uni Eropa (sebagai suatu wilayah) dalam perdagangan sektor pertanian yang terlihat dari posisinya sebagai negara asal impor oleh hampir semua negara, (2) Amerika Serikat masih tetap menjadi pasar yang empuk bagi sebagian besar negara-negara di dunia karena sebagian besar negara di dunia hanya menjadikan Amerika sebagai tempat pelemparan hasil produksi tapi tidak untuk tempat memasok kebutuhan domestik, dan (3) negara berkembang masih memiliki ketergantungan yang relatif sangat kuat terhadap negara maju, termasuk bagi impor komoditi pertanian. Temuan ini sekaligus menunjukkan bahwa pandangan yang selama ini menyatakan bahwa negara berkembang adalah pengekspor produk pertanian sementara negara maju eksportir manufaktur ternyata tidak sepenuhnya benar.

Kedua, penghapusan hambatan perdagangan pertanian berdampak pada: (1) penurunan produksi, ekspor, dan impor pada sebagian besar sektor-sektor yang selama ini diberikan subsidi baik berupa dukungan domestik, maupun subsidi ekspor di negara maju, (2) peningkatan impor pada negara berkembang secara umum, meski ada juga komoditi yang mengalami peningkatan meski subsidinya dihapus,


(6)

perdagangan dihapus total maka negara maju adalah kelompok yang paling diuntungkan, dan (4) dalam konteks Indonesia, meskipun tingkat kesejahteraannya meningkat namun peningkatannya adalah yang terkecil diantara semua negara yang ditunjukkan oleh menurunnya sebagian besar ekspor, meningkatnya impor, dan menurunnya produksi dalam negeri. Temuan ini mengindikasikan bahwa Indonesia sesungguhnya belum sanggup untuk melakukan perdagangan pada tingkat tarif nol. Sektor dan komoditi strategis masih perlu dilindungi agar bisa berkembang. Indonesia memerlukan waktu untuk meningkatkan daya saing.

Ketiga, penerapan tarif SP berhasil meciptakan dampak positif bagi perekonomian Indonesia yang ditunjukkan oleh (1) meningkatnya produksi dalam negeri, (2) menurunnya impor, dan (3) meningkatkan ekspor. Meski dampak terhadap kesejahteraan masyarakat menunjukkan penurunan, namun PDB riil dan ekonomi sektoral menunjukkan perbaikan. Hasil ini sampai pada kesimpulan bahwa untuk saat ini Indonesia masih perlu menerapkan tarif khusus sesuai dengan ambang batas yang disetujui oleh WTO.

Sebagai bagian dari dunia global, Indonesia tidak mungkin menghindari liberalisasi perdagangan. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan oleh suatu negara adalah memperkuat daya saing komoditi dari negara masing-masing. Indonesia masih punya waktu 5 tahun untuk membenahi daya saing sektor pertaniannya sebelum penerapan kesepakatan WTO dilaksanakan pada tahun 2013. Semakin kuat daya saing semakin mampu suatu negara untuk menghadapi tantangan liberalisasi perdagangan tersebut. Peningkatan daya saing akan menyebabkan peta perdagangan dunia tidak lagi dikuasai oleh negara-negara maju, apalagi dukungan domestik dan subsidi ekspor yang diberikan oleh negara-negara maju dihapuskan sama sekali.

Dalam konteks Indonesia, diperlukan upaya dan terobosan dengan cara memprioritaskan pengembangan produksi komoditi-komoditi unggulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa komoditi Indonesia memiliki keunggulan bersaing dibanding komoditi dari negara lain, antara lain adalah minyak nabati yang di dalam sektor tersebut juga termasuk minyak sawit. Komoditi lain yang juga mengalami peningkatan output adalah kedele, gandum dan ternak. Dengan lahan yang luas amat memungkinkan untuk mengembangkan komoditi ini. Namun demikian, diperlukan pula sumberdaya manusia yang handal baik dilevel petani maupun di level pengambil kebijakan sehingga program tersebut bisa berhasil dengan baik.

Disamping itu, Indonesia juga harus melakukan revisi ulang tentang penetapan tarif khusus. WTO sesungguhnya telah memberikan ambang batas tertinggi bagi penetapan tarif untuk produk tertentu, namun tidak satupun komoditi tersebut yang dikenakan tarif sampai pada ambang batas tertinggi sesuai dengan yang diperkenankan oleh WTO. Oleh karena itu Keputusan Menteri Keuangan No 590 Tahun 2004 sudah seharusnya direvisi.


(7)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengambilan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmuah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh


(8)

PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN NEGARA

MAJU DAN BERKEMBANG

HARYADI

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

Judul Disertasi : DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN NEGARA MAJU DAN BERKEMBANG

N a m a : HARYADI

NRP. : A161040031

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. Ketua

Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.S. Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(10)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Sc. (Staff Pengajar Departemen Ilmu

Ekonomi FEM IPB)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec.

(Direktur Program Manajemen Bisnis IPB)

2. Dr. Julius, M.A. (Bappenas)


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sungai Tutung, sebuah kota kecamatan di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi, pada tanggal 01 April 1965. Penulis adalah anak pertama dari 5 bersaudara Keluarga dari Bapak Muhammad Kamal (Alm) dan Ibu Suariah (Almh). Ketika penulis berumur 7 tahun, Ibunda yang melahirkan penulis meninggal dunia, dan sejak itu penulis dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh Ibunda Riwasna . Kasih sayang beliau menghantarkan penulis menjadi sarjana dan berkerja sebagai dosen di Universitas Jambi.

Jenjang pendidikan penulis diawali pada Sekolah Dasar (SD No.1) Kota Muara Bungo Jambi, sempat berpindah-pindah SD mengikuti orang tua, namun akhirnya menamatkan SD pada tahun 1978 di Sungai Tutung Kerinci. Tahun itu juga penulis melanjutkan ke SMP Negeri 5 Sungai Penuh dan tamat pada tahun 1981. Pendidikan Sekolah Menengah Atas ditempuh penulis di di SMA Negeri 1 Sungai Penuh hingga tamat tahun 1984. Sarjana ekonomi diraih oleh penulis dari Fakultas Ekonomi Universiatas Jambi pada tahun 1989 dan pada tahun itu juga diterima sebagai dosen di Universitas Jambi sampai sekarang. Gelar Master diperoleh dari School of Management University of Waikato New Zealand pada Februari 1998 dengan spesialisasi perdagangan internasional dan penanaman modal asing. Pada September 2004 penulis diterima di Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor dengan program studi Ilmu Ekonomi Pertanian dengan kosentrasi Tataniaga Pertanian dan Perdagangan Internasional. Penulis menikah dengan Delima,SPd pada tahun 1990 dan dikaruniai dua orang putra, Delta Forza Haryadi dan Zailand Hudaya Haryadi.


(12)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi yang berjudul ”Dampak Liberalisasi Perdagangan Sektor Pertanian WTO terhadap Perekonomian Negara Maju dan Berkembang” ini berhasil diselesaikan.

Topik mengenai perdagangan bebas termasuk di sektor pertanian masih tetap menjadi isu menarik untuk dibahas. Salah satu penyebab hangatnya pembahasan isu ini antara lain karena masih terdapatnya perbedaan temuan diantara para peneliti. Sebagian menemukan bahwa perdagangan internasional mampu memberikan dampak positif kepada setiap negara, sementara sebagian lagi menemukan bahwa perdagangan bebas justru telah menimbulkan dampak negatif pada sebagian negara. Perbedaan temuan ini menjadi salah satu alasan penulis untuk ikut meneliti lebih jauh akan dampak perdagangan bebas terhadap negara-negara anggota WTO termasuk terhadap Indonesia. Berdasarkan temuan penulis, ternyata tidak semua negara diuntungkan oleh perdagangan bebas. Saat ini Indonesia adalah termasuk ke dalam kelompok negara yang dirugikan.

Banyak pihak yang telah memberikan kontribusi terhadap penulisan disertasi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kontribusi tersebut datang sejak dari pembuatan proposal sampai kepada penyempurnaan dari disertasi ini. Meski masih terdapat keterbatasan, semua yang disebutkan dalam disertasi ini tetap menjadi tanggung jawab penulis.

Izinkan penulis menyampaikan terimakasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS, selaku ketua komisi pembimbing. Ditengah-tengah kesibukan, beliau masih bisa dengan sabar memberikan arahan kepada penulis dalam penyelesaian disertasi ini. Beliau juga banyak memberikan referensi serta melibatkan penulis pada beberapa penelitian yang beliau lakukan. Dorongan semangat dari beliau telah memberikan konstribusi besar bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan disertasi ini.


(13)

2. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc, dan Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS yang telah banyak meluangkan waktu bagi penulis untuk berdiskusi, meminta arahan, dan memohon bimbingan. Dengan segala keahlian yang dimiliki oleh masing-masing, segala arahan dan masukan serta bimbingan yang diberikan amat berharga bagi penulis termasuk dalam menyelesaikan proposal ini.

3. Ketua Program Studi EPN (Prof. Dr. Bonar M. Sinaga, MA) yang telah banyak memberikan arahan kepada penulis termasuk teknis penulisan. Para Dosen pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian SPs-IPB yang telah banyak memberikan ilmu-ilmu pengetahuan yang bernas dan berharga sehingga amat memperkaya wawasan dan pemikiran penulis.

4. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. selaku penguji luas komisi pada ujian tertutup, Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. dan Dr. Julius, M.A. selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka yang telah memberikan masukan dan saran berharga. 5. Rektor Universitas Jambi dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Jambi serta

Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) pada Universitas Jambi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan penulis ke program doktor. Dorongan semangat dari Dekan FE-UNJA serta ketua jurusan IESP banyak membantu dalam mempercepat proses penyelesaian kuliah penulis.

6. Rektor, Dekan dan seluruh staff Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program S3 di IPB.

7. Staf administrasi di Program Studi EPN (Rubi, Santi, Yani, dan A'am ) serta Pak Husen yang telah banyak membantu kelancaran proses perkuliahan penulis di IPB.

8. Gubernur Jambi dan Kepala Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Jambi beserta staff serta Bupati Sarolangun yang telah berkenan memberikan bantuan pendidikan kepada penulis. Terimakasih banyak atas bantuannya, semoga Allah memberikan balasan yang berlipat ganda.

9. Rekan-rekan dan para kerabat penulis. Teman seangkatan dan teman satu rumah. Terimakasih atas kekompakannya. Terimakasih juga ditujukan kepada


(14)

rekan-lagi terimakasih atas bantuannya. Teman-teman di IPB terutama Eka Puspitawati dan Sahara yang telah memberikan andil besar kepada penulis dalam memahami

tools GTAP dan CGE, trimakasih banyak atas kebaikannya.

10.Ibunda Riwasna, dengan kasih sayang beliau yang tak pernah habis, doa yang tak pernah putus amat berperan dalam mengantarkanku hingga bisa menyelesaikan kuliahku ini. Adik-adikku Andri Zaspa, Syaiful Aswan, Pasrianti, dan Aina Fitria yang selalu berdoa untukku. Mertuaku serta adik-adikku Firdaus, Dahlia, dan Herlina. Seluruh keluarga besarku yang tak dapat disebutkan satu persatu, trimakasih atas doanya.

11.Ayahandaku Muhammad Kamal (almarhum) dan Ibundaku Suariah (Almarhumah). Semoga kesuksesan ini dapat memberikan kegembiraan bagi papa dan ibu. Ananda yakin, Ayahanda dan Ibunda di alam sana pasti ikut bergembira dengan keberhasilan ini. Terimakasih atas doa yang tak pernah putus dari Ayahanda dan Ibunda.

12.Terakhir tetapi teramat penting dan tak pernah terlupakan untuk selamanya adalah ucapan terimakasih yang tulus kepada istriku tercinta Delima dan kedua anakku Delta Forza Haryadi dan Zeilan Hudaya Haryadi. Kasih sayang, cinta, doa dan pengorbanan yang telah kalian berikan menjadi dorongan bagi papa untuk menyelesaikan studi.

Penulis menyadari bahwa Disertasi ini masih memiliki banyak keterbatasan. Oleh karena itu, kritik dan saran konstruktif akan diterima dengan senang hati. Semoga hasil studi ini bermanfaat, Amien!

Bogor, 10-10-2008


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ... xviii

DAFTAR GAMBAR ... .. xxi

DAFTAR LAMPIRAN ... .. xxiv

I.

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang ...

1

1.2.

Perumusan

Masalah

...

5

1.3.

Tujuan Penelitian ...

8

1.4.

Kegunaan Penelitian ...

8

1.5.

Signifikansi Penelitian ...

9

1.6.

Ruang

Lingkup

...

9

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Arti Penting Liberalisasi Perdagangan ...

11

2.2. Perkembangan Perundingan Perdagangan Dunia ...

16

2.1.1. Perjanjian Umum Tentang Tarif dan Perdagangan ...

17

2.1.2.

World Trade Organization

...

18

2.3.

Studi Terdahulu Dampak Liberalisasi Perdagangan ...

36

2.3.1. Dampak Liberalisasi terhadap Kinerja Ekonomi. ...

36

2.3.2.

Dampak

World Trade Organization

terhadap

Perekonomian ...

55

2.4.

Perkembangan Liberalisasi Perdagangan di Indonesia ...

62

III.

KERANGKA TEORI

3.1.

Teori dan Distorsi dalam Perdagangan Internasional ...

70

3.1.1. Pemberlakukan Tarif Impor ...

74

3.1.2. Pemberlakuan Subsidi Ekspor ...

79

3.1.3. Pemberlakuan Dukungan Domestik ...

84


(16)

xv

3.2. Teori Keseimbangan Umum ...

92

3.2.1. Keunggulan

Model

Computable General Equilibrium

...

96

3.2.2. Keterbatasan Model

Computable General Equilibrium

.

98

3.2.3.

Model

General Trade Analysis Project

...

99

3.3.

Kerangka

Pemikiran

...

100

IV.

METODE PENELITIAN

4.1.

Jenis dan Sumber Data ... 103

4.2.

Metode

Analisis

...

103

4.2.1. Alat Analisis untuk Menjawab Tujuan Penelitian ... 103

4.2.2. Proses Penentuan Agregasi dan Disagregasi ... 106

4.2.3. Metode Pengolahan Data ... 110

4.3.

Spesifikasi

Model

General Trade Analysis Project

... 111

4.3.1. Ekonomi Tertutup Tanpa Pajak ... 112

4.3.2. Ekonomi Terbuka Tanpa Pajak ... 116

4.3.3. Ekonomi Tertutup dengan Pajak ... 118

4.3.4. Ekonomi Terbuka dengan Pajak ... 120

4.4.

Diagram Alur Penelitian ... 157

4.5.

Simulasi

Kebijakan

...

160

V.

PETA ALIRAN PERDAGANGAN DAN POSISI INDONESIA

DIANTARA NEGARA-NEGARA DI DUNIA

5.1.

Pendahuluan

...

163

5.2.

Peta

Aliran

Perdagangan

...

163

5.3.

Peta Aliran Perdagangan Komoditi Pertanian... 173

5.3.1. Beras

...

173

5.3.2. Gandum

...

178

5.3.3. Jagung

...

180

5.3.4. Hortikultura ... 184

5.3.5. Kedele

...

186


(17)

xvi

5.3.7. Kapas

...

193

5.3.8. Ternak

...

195

5.3.9. Kehutanan

...

197

5.3.10.

Perikanan

...

199

5.3.11. Minyak Nabati ... 201

5.3.12

Makanan

...

205

5.3.13

Susu

...

207

5.4.

Posisi Indonesia Diantara Negara-Negara di Dunia ... 209

5.5.

Peta Hambatan Perdagangan Negara-Negara di Dunia ... 210

5.5.1. Dukungan

Domestik

...

211

5.5.2

Subsidi

Ekspor

...

218

5.5.3

Tarif

Impor

...

222

VI.

DAMPAK EKONOMI PENGHAPUSAN HAMBATAN

PERDAGANGAN PERTANIAN NEGARA MAJU

DAN

BERKEMBANG

6.1.

Pendahuluan

...

226

6.2.

Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap

Keragaan Ekonomi Sektoral ... 226

6.2.1. Dampak terhadap Keragaan Output ... 228

6.2.2. Dampak terhadap Keragaan Ekspor ... 235

6.2.3. Dampak terhadap Keragaan Impor ... 239

6.3. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan

terhadap Keragaan Makroekonomi. ... 244

6.3.1. Dampak terhadap Produk Domestik Bruto Nominal ... 245

6.3.2. Dampak terhadap Produk Domestik Bruto Deflator ... 247

6.3.3. Dampak terhadap Produk Domestik Bruto Riil ... 248

6.3.4.

Dampak

terhadap

Terms Of Trade

... 249

6.3.5. Dampak terhadap Tingkat Kesejahteraan ... 251

6.3.6. Dampak terhadap Pendapatan Rumahtangga ... 253

6.4.

Dampak Hambatan Tarif Sektor Pertanian terhadap

Makroekonomi ... 254


(18)

xvii

VII.

DAMPAK PENERAPAN TARIF PRODUK-PRODUK

TERHADAP KERAGAAN EKONOMI

7.1.

Pendahuluan

...

258

7.2.

Dampak Penerapan Tarif Khusus terhadap Kinerja

Ekonomi

Sektoral

...

258

7.2.1. Dampak terhadap Keragaan Output ... 259

7.2.2. Dampak terhadap Keragaan Impor ... 261

7.2.3. Dampak terhadap Keragaan Ekspor ... 263

7.2.4. Dampak Penerapan Tarif Khusus terhadap

Tenaga Kerja Buruh ... 265

7.2.5 Dampak Penerapan Tarif Khusus terhadap

Penggunaan Tenaga Kerja Terdidik ... 266

7.2.6 Dampak Penerapan Tarif Khusus terhadap

Penggunaan Sumberdaya Modal ... 268

7.2.7 Dampak Penerapan Tarif Khusus terhadap

Neraca Perdagangan Per Sektor ... 269

7.3.

Dampak Tarif Khusus terhadap Kinerja Makroekonomi ... 271

7.3.1. Dampak Tarif Khusus terhadap Neraca Perdagangan

Antar Negara ... 271

7.3.2. Dampak Tarif Khusus terhadap Kesejahteraan ... 272

7.3.3.

Dampak Tarif Khusus terhadap Produk Domestik

Bruto Riil ... 273

VIII.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

8.1. Ringkasan Penelitian ... 275

8.2. Kesimpulan ... 280

8.3.

Implikasi Kebijakan ... 281

8.4. Keterbatasan Penelitian ... 285

8.5. Saran Penelitian Lanjutan ... 286

DAFTAR

PUSTAKA

...

286


(19)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Rasio Ekpor terhadap Produk Domestik Bruto Negara di Dunia... 2

2. Putaran Perdagangan dalam Perjanjian Umum Tentang Tarif dan Perdagangan ... 17

3. Konferensi Tingkat Menteri yang Telah Dilaksanakan Oleh World Trade Organization ... 21

4. Hasil Pertemuan Konferensi Tingkat Menteri VI di Hongkong Khususnya Negosiasi Bidang Pertanian, 18 Desember 2006 ... 28

5. Threshold dan Ambang Batas Potongan Agregate Measure Support ... 34

6. Pertumbuhan Ekpor Setelah Liberalisasi Perdagangan Luar Negeri di Indonesia dan Beberapa Negara Asia Lainnya... 37

7. Agregasi Negara Berdasarkan DatabaseGeneral Trade Analysis Project Versi 6.2 ... 108

8. Agregasi Negara Berdasarkan DatabaseGeneral Trade Analysis Project Versi 6.2 ... 110

9. Distribusi Penjualan Barang i yang Diproduksi di Wilayah r ke Pasar Wilayah s ... 124

10. Sumber Pengeluaran Rumahtangga dan Pemerintah untuk Barang i di Wilayah s ... 126

11. Sumber Pengeluaran Sektor j dari Barang i atau Faktor Primer i ... 128

12. Sumber Pendapatan Faktor Jasa Rumahtangga untuk Faktor i ... 129

13. Disposisi dan Sumber Pendapatan Regional ... 130

14. Sektor Transportasi Global ... 131

15. Permintaan untuk Barang-Barang Investasi Regional ... 132


(20)

xix

17. Negara Tujuan Ekspor Utama Dunia ... 165

18. Negara Asal Impor Utama Dunia ... 166

19. Kontribusi Perdagangan Antar Wilayah ... 168

20. Peta Aliran Perdagangan Menurut Komoditi ... 170

21. Neraca Perdagangan Dunia ... 171

22. Peta Aliran Perdagangan Beras Dunia ... 175

23. Perkembangan Produksi dan Kebutuhan Beras Indonesia Tahun 2002-2006... 177

24. Peta Aliran Perdagangan Komoditi Gandum Dunia ... 179

25. Perkembangan Harga Gandum di Pasar Dunia Tahun 2000-2006 181

26. Peta Aliran Perdagangan Komoditi Jagung Dunia ... 182

27. Perkembangan Luas Lahan, Produktivitas, dan Jumlah Produksi Jagung di Indonesia Tahun 1990-2007 ... 183

28. Peta Aliran Perdagangan Hortikultura ... 185

29. Peta Aliran Perdagangan Komoditi Kedele ... 187

30. Perkembangan Luas Lahan, Produktivitas, dan Jumlah Produksi Jagung di Indonesia Tahun 1990-2007 ... 190

31. Peta Aliran Perdagangan Komoditi Gula ... 192

32. Peta Aliran Perdagangan Komoditi Kapas ... 194

33. Peta Aliran Perdagangan Komoditi Ternak ... 196

34. Peta Aliran Perdagangan Komoditi Kehutanan ... 198

35. Peta Aliran Perdagangan Komoditi Perikanan ... 200

36. Peta Aliran Perdagangan Komoditi Minyak Nabati... 202

37. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit Seluruh Indonesia Menurut Provinsi dan Status Pengusahaan ... 204


(21)

xx

38. Perkembangan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia ... 205

39. Peta Aliran Perdagangan Komoditi Makanan ... 206

40. Peta Aliran Perdagangan Komoditi Susu ... 208

41. Peta Status dan Possisi Neraca Perdagangan Indonesia Diantara Negara- Negara/Wilayah ... 209

42. Bentuk Dukungan yang Diberikan Terhadap Komoditas Susu ... 211

43. Negara-negara yang Memberikan Dukungan Domestik ... 213

44. Dukungan Domestik yang Diberikan Negara-Negara Di Dunia ... 215

45. Ukuran Dukungan Domestik Indonesia dalam Kotak Hijau Tahun 1995-2000 ... 216

46. Ukuran Dukungan Domestik Indonesia dalam Kotak Hijau Tahun 2001-2004 ... 217

47. Subsidi Ekspor Uni Eropa Berdasarkan Komoditi dan Negara Tujuan ... 220

48. Subsidi Ekspor Amerika Serikat Berdasarkan Komoditi dan Negara Tujuan ... 221

49. Subsidi Ekspor G33 Berdasarkan Komoditi dan Negara Tujuan ... 222

50. Rata-rata Tarif Impor Antara Negara Menurut Komoditi ... 223

51. Rata-rata Tarif Sektor Primer Menurut Komoditi dan Negara ... 225

52. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap Kinerja Sektoral ... 227

53. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan Pertanian terhadap Makroekonomi ... 255

54. Dampak Penerapan Special Products terhadap Kesejahteraan ... 272


(22)

Nomor Halaman 1. Kedudukan World Trade Organization Diantara Organisasi

Perdagangan Dunia ... 19 2. Proses Terjadinya Perdagangan Antara Dua Negara ... 72 3. Dampak Tarif pada Model Kesimbangan Umum untuk Kasus

Negara Kecil ... 76 4. Dampak Tarif pada Model Kesimbangan Umum untuk Kasus

Negara Besar ... 78 5. Dampak Subsidi Ekspor pada Model Keseimbangan Umum

untuk Kasus Negara Kecil ... 81 6. Dampak Subsidi Ekspor pada Model Keseimbangan Umum

untuk Kasus Negara Besar ... 83 7. Dampak Dukungan Model Domestik pada Model Keseimbangan

Umum untuk Kasus Negara Kecil... 86 8. Dampak Dukungan Model Domestik pada Model Keseimbangan

Umum untuk Kasus Negara Besar ... 88 9. Surplus Produsen dan Surplus Konsumen pada Kondisi

Keseimbangan Pasar ... 90 10. Perubahan Surplus Produsen ... 91 11. Perubahan Surplus Konsumen ... 92 12. Kerangka Pemikiran ... 102 13. Pemanfaatan Model General Trade Analysis Project dengan

SoftwareRunGTAP ... 111 14. Model Kasus Satu Wilayah, Perekonomian Tertutup, Tanpa Pajak. 113 15. Model Multi Wilayah, Perekonomian Terbuka, Tanpa Intervensi ... 118 16. Model Satu Wilayah, Perekonomian Tertutup, dengan Pajak ... 119


(23)

xxii

17. Neraca Penerimaan dan Pengeluaran pada Sistem

Ekonomi Terbuka ... 121 18. Subsidi / Pajak Ekspor di Region r untuk Tujuan ke s ... 138 19. Subsidi / Pajak Impor di Region s untuk Impor dari r ... 139 20. Struktur Produksi Model General Trade Analysis Project ... 145 21. Diagram Alur Penelitian ... 158 22. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap

Output Terkait di Uni Eropa ... 228 23. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap

Output Terkait di Amerika Serikat . ... 229 24. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan pada Komoditi

Gandum dan Padi terhadap Output Terkait di Jepang ... 230 25. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan pada Ekspor

Uni Eropa ... 236 26. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap Ekspor

Amerika Serikat...………... 237 27. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan pada Komoditi

terhadap Impor Uni Eropa. ………... 240 28. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan pada Komoditi

terhadap Impor Amerika Serikat ………... 241

29. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap Impor

Indonesia...………...…... 242 30. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap Produk

Domestik Bruto Nominal di Beberapa Negara…………... 245 31. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap Produk

Domestik Bruto Deflator di Beberapa Negara Terpilih…..…... 247 32. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap Produk

Domestik Bruto Riil di Beberapa Negara terpilih….…... 248 33. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap


(24)

xxiii

34. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap

Kesejahteraan Dunia Secara Umum... 251 35. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap

Terms Of Trade di Beberapa Negara Terpilih...………... 253 36. Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan terhadap

Pendapatan Rumahtangga...………..…………... 254 37. Dampak Pemberlakuan Tarif Khusus terhadap Output Komoditi

Indonesia...………... 259 38. Dampak Pemberlakuan Tarif Khusus terhadap Impor Komoditi

Indonesia...………... 262 39. Dampak Pemberlakuan Tarif Khusus terhadap Ekspor Komoditi

Indonesia...………... 264 40. Dampak Tarif Khusus terhadap Tenaga Kerja Buruh... 267 41. Dampak Tarif Khusus terhadap Tenaga Kerja Terdidik... . 268 42. Dampak Tarif Khusus terhadap Sumberdaya Modal... ... 269 43. Dampak Tarif Khusus terhadap Neraca Perdagangan Sektoral... 270 44. Dampak Tarif Khusus terhadap Neraca Perdagangan Antar Negara .. 271


(25)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Dalam dua dasawarsa terakhir perkembangan perekonomian dunia telah mengalami perubahan relatif pesat. Beberapa perubahan tersebut ditandai oleh: (1) mulai bergesernya gravitasi perekonomian dari kawasan Atlantik yang lebih didominasi oleh Amerika Serikat dan Eropa, ke kawasan Pasifik yang yang dimotori oleh Jepang dan diikuti oleh kekuatan-kekuatan baru (Asia Timur dan Asia Tenggara), (2) semakin lancarnya pergerakan produk dan jasa antar negara sebagai dampak dari liberalisasi perdagangan, dan (3) berdirinya organisasi perdagangan dunia (OPD) atau World Trade Organisation (WTO).

OPD adalah suatu lembaga yang bertujuan untuk menciptakan liberalisasi perdagangan terutama di sektor pertanian. Negara-negara yang tergabung dalam OPD dituntut untuk menghapus semua hambatan perdagangan atau setidak-tidaknya dilakukan secara bertahap. Saat ini hampir semua negara mulai mengurangi tarif terhadap produk dan jasa yang masuk dari negara lain.

Bersamaan dengan dilaksanakannya liberalisasi perdagangan, tingkat keterbukaan setiap negara di dunia pun semakin meningkat. Salah satu indikasinya terlihat dari proporsi ekspor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) setiap negara (Tabel 1).

Berdasarkan tabel tersebut, 103 dari 160 negara di dunia memiliki proporsi ekspor diatas 35 persen dari PDB masing-masing, 35 negara memiliki proporsi ekspor antara 25 persen s/d 34 persen dari PDB, dan 20 negara memiliki proporsi 10 persen s/d 24 persen dari PDB mereka dan hanya dua negara yang memiliki proporsi di bawah 10 persen (World Bank, 2008).


(26)

Tabel 1. Rasio Ekspor terhadap Produk Domestik Bruto Negara-negara di Dunia

No Rasio Ekspor terhadap PDB Jumlah Negara

1 >35 persen 103

2 25 s/d 34 35

3 10 s/d 24 persen 20

4 <10 persen 2

Sumber: World Bank (2008)

Sudah banyak peneliti yang mengkaji dan menganalisis dampak liberalisasi perdagangan internasional terhadap perekonomian antara lain: Michaely (1977), Heller dan Porter (1978), Balassa (1982), Tyler (1981), Kavoussi (1984), Devaragan et al. (1990), Feder (1992), Matusz et al. (1999), Anggarwal dan Agmon dalam Wijaya (2000), Wijaya (2000), Oktaviani (2000), Paulino (2000), Lopez (2003) , Jensen and Tarp (2003) , Hakim (2004), Walsh et al. (2005), Matthews (2005), dan Brooks dan Sugiyarto (2005).

Dari survey literatur diatas dapat diketahui bahwa temuan tentang dampak liberalisasi perdagangan ternyata masih beragam. Pemberlakuan perdagangan bebas secara umum telah memunculkan dua pandangan yang berbeda. Sebagian peneliti menemukan bahwa perdagangan bebas dapat menguntungkan negara-negara yang melakukannya. Namun demikian terdapat pula peneliti yang

menemukan dampak negatif dari liberalisasi perdagangan. Dari sejumlah peneliti yang telah disebutkan diatas, mereka yang

menemukan dampak positif dari liberalisasi adalah Michaely (1977), Heller dan Porter (1978), Balassa (1982), Tyler (1981), Kavoussi (1984), Feder (1992), Wijaya (2000), Oktaviani (2000), dan Paulino (2000). Namun demikian, tidak


(27)

3 sedikit pula peneliti yang menemukan bahwa perdagangan bebas telah menimbulkan efek negatif pada perekonomian suatu negara. Temuan tersebut antara lain dikemukakan oleh Devaragan et al. (1990), Matusz et al. (1999), Anggarwal dan Agmon dalam Wijaya (2000), Paulino (2000), Lopez (2003), Jensen and Tarp (2003), Walsh at al. (2005), dan Brooks dan Sugiyarto (2005).

Devaragan et al. (1990) menunjukkan bahwa perubahan term of trade

(TOT) pada negara-negara Afrika telah menimbulkan efek pendapatan yang menyebabkan permintaan produk untuk kebutuhan domestik meningkat dengan kecendrungan impornya lebih tinggi. Menurut Devaragan, yang terjadi bukanlah perbaikan ekonomi negara-negara tersebut akan tetapi justru memperburuk neraca pembayaran (balance of trade) negara tersebut. Hasil penelitian ini kemudian diperkuat oleh Aggarwal dan Agmon dalam Wijaya (2000), yang menunjukkan bahwa justru negara investor asing di negara berkembang yang menikmati sukses, sedangkan manfaat bagi negara berkembang masih menjadi pertanyaan.

Temuan Agmon dan Aggarwal konsisten dengan Tambunan (2008). Bila merujuk kepada peta perusahaan multinasional di dunia, sebagian besar perusahaan yang melakukan aktivitas di negara berkembang adalah perusahaan multinasional atau multinational corporations (MNCs). Sebagian besar rantai produksi dan pemasaran termasuk pangan dunia mulai dari industri input pertanian, usaha tani, pengolahan dan pedagang, dan pengecer pangan merupakan perusahan multinasional yang berasal dari negara maju. Kondisi ini sungguh ironis karena sebagian besar komoditi pangan adalah merupakan komoditi strategis di negara-negara berkembang. Negara berkembang hanyalah tempat


(28)

memperoleh bahan baku murah, tempat berproduksi dengan memanfaatkan tenaga kerja murah, serta menjadi konsumen terbesar dari produk MNCs.

Menurut Muchtar (2004), terdapat berbagai konflik diantara negara-negara anggota. Masing-masing negara atau kelompok berupaya mempertahankan kepentingannya. Faktor ini pulalah yang diduga kuat menjadi penyebab pertemuan WTO seringkali gagal. Salah satu contoh konkrit kegagalan WTO terjadi pada pertemuan para perwakilan negara pada konferensi tahunan di Jenewa yang berlangsung dari tanggal 21 sampai dengan 27 Juli 2008.

Di dalam tubuh WTO terdapat lebih dari 150 negara anggota dengan tingkat perekonomian yang beragam. Secara umum terdapat dua kelompok besar yang memiliki kepentingan yang seringkali berbeda. Dua kelompok tersebut adalah negara berkembang dan negara maju. Negara maju terutama dimotori oleh Uni Eropa, Amerika Serikat dan Jepang, sementara negara berkembang mengelompok kedalam beberapa group diantaranya adalah G33.

Dalam hampir setiap perundingan, perdebatan antara dua kelompok tersebut selalu muncul. Negara-negara maju mendesak negara-negara berkembang untuk menghapus atau setidak-tidaknya mengurangi tarif impor produk-produk pertanian, sebaliknya negara berkembang menginginkan agar diberikan hak untuk memberlakukan tarif khusus pada komoditas strategis di negara masing-masing.

Diantara Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang telah dilakukan oleh WTO, perundingan yang dinilai oleh banyak pihak cukup berhasil adalah KTM VI WTO di Hong Kong 2005. KTM tersebut menyepakati penghapusan 3 (tiga) pilar negosiasi di sektor pertanian yakni: dukungan domestik (domestic support), subsidi ekspor (export subsidy), dan akses pasar (market access) pada tahun 2013.


(29)

5 Jika penghapusan hambatan perdagangan tersebut betul-betul dilakukan secara konsisten, maka kebijakan tersebut diperkirakan akan berdampak kepada perekonomian negara-negara anggota. Oleh karena itu perlu ditemukan jawaban tentang negara manakah yang akan diuntungkan oleh liberalisasi perdagangan pertanian ini.

Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan suatu kajian ilmiah yang diharapkan bisa menjadi dasar pengambilan kebijakan, sehingga setiap negara dapat memperoleh manfaat dari liberalisasi perdagangan pertanian tersebut. Jawaban ini amat dibutuhkan, mengingat sebagian besar anggota WTO adalah negara berkembang yang rakyatnya hidup dari sektor pertanian dengan tingkat daya saing yang rendah. Kondisi ini akan menyebabkan negara berkembang rentan dengan serbuan impor. Dampak selanjutnya adalah sulitnya perkembangan produksi dalam negeri terutama untuk komoditi strategis, menurunnya permintaan akan tenaga kerja, yang akhirnya akan menyebabkan ketimpangan kesejahteraan antara negara maju dan berkembang semakin lebar. Atas alasan tersebut, penelitian tentang dampak liberalisasi perdagangan di sektor pertanian terhadap perekonomian negara maju dan berkembang termasuk Indonesia amat diperlukan. Alasan tersebut menjadi dasar munculnya penelitian ini.

1.2. Perumusan Masalah

Kebijakan WTO yang masih memperkenankan negara maju memberikan dukungan domestik dan subsidi ekspor bagi produsen dan eksportir pertanian di negara-negara itu, serta menerapkan tarif terhadap produk impor pertanian yang berasal dari negara berkembang berpotensi untuk menciptakan ketimpangan


(30)

dalam peta aliran perdagangan pertanian dunia. Sebaliknya, liberalisasi perdagangan akan memunculkan dilema berupa peluang dan tantangan. Di satu sisi sebagian negara anggota mendapatkan peluang untuk meningkatkan ekspor, namun di sisi lain sebagian negara yang tidak memiliki keunggulan komparatif akan berperan sebagai pemasok produk impor sehingga akan cenderung dirugikan. Untuk mengetahui negara mana saja yang mendominasi perdagangan pertanian dunia perlu diketahui peta aliran perdagangan dunia saat ini.

Data awal menunjukkan bahwa saat ini liberalisasi perdagangan pertanian yang berlangsung diantara negara maju dan berkembang belum berjalan sesuai harapan. Distorsi perdagangan yang menjurus kepada ketidak-adilan masih dilakukan negara maju dan masih diperkenankan pula oleh WTO. Negara maju terutama Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang memberikan bantuan domestik dan subsidi ekspor yang besar kepada produsen dan eksportir pertanian mereka.

Disamping itu, negara maju ternyata menerapkan tarif impor yang besar terhadap komoditi yang berasal dari negara berkembang. Jepang bahkan merupakan negara yang paling memproteksi pertanian mereka dari impor. Negara ini bahkan menerapkan rata-rata tarif impor 80 persen (Database GTAP 6.2) dan merupakan tarif yang tertinggi di dunia. Kebijakan negara maju yang masih tetap bertahan dengan dukungan domestik, subsidi ekspor dan pengenaan tarif mengindikasikan adanya keraguan terhadap prospek komoditi pertanian mereka setelah penghapusan hambatan perdagangan. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah: jika kedua belah pihak meliberalisasi perdagangan pertanian, apakah semua negara bisa memperoleh dampak ekonomi yang positif? Jawaban ini penting agar dapat diketahui dampak liberalisasi yang sesungguhnya. Untuk


(31)

7 menjawab pertanyaan ini, perlu dilakukan analisis dampak penghapusan hambatan perdagangan terhadap perekonomian negara maju dan berkembang.

Berbalikan dengan negara maju, negara berkembang yang umumnya berpendapatan rendah tidak mampu memberikan dukungan domestik dan subsidi ekspor kepada produsen dan eksportir di negara mereka. Negara berkembang mengajukan proposal agar diberikan perlakuan tarif khusus pada produk-produk tertentu atau Special Product (SP), namun usulan tersebut kurang direspon oleh negara maju. Kelompok negara ini malah mendesak negara berkembang agar menghapus semua tarif impor, padahal negara maju sendiri masih menerapkannya. Perlakuan tidak adil seperti ini berpotensi menyebabkan semakin lebarnya ketimpangan kesejahteraan antara negara maju dan berkembang.

Usulan negara berkembang agar diperkenankan memberlakukan tarif khusus pada produk tertentu menyiratkan adanya harapan agar mereka lebih mampu memperkuat ketahanan pangan, mengurangi kemiskinan, serta membangun perdesaan. Harapan ini perlu ditemukan jawabannya agar dapat diketahui dampak ekonomi yang sebenarnya. Jika kebijakan SP dilakukan, apakah mampu berdampak positif terhadap perekonomian negara berkembang. Dalam konteks ini perlu dilakukan eksplorasi terhadap dampak penerapan tarif khusus pada perekonomian negara berkembang dengan mengambil kasus Indonesia.

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak liberalisasi perdagangan di sektor pertanian terhadap perekonomian negara maju dan berkembang termasuk Indonesia.


(32)

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis aliran perdagangan negara maju dan negara berkembang termasuk Indonesia.

2. Menganalisis dampak penerapan kesepakatan WTO tentang sektor pertanian yaitu dukungan domestik, subsidi ekspor dan akses pasar terhadap perekonomian negara maju dan negara berkembang termasuk Indonesia.

3. Menganalisis dampak pemberian perlakuan tarif khusus pada produk tertentu melalui penerapan SP terhadap kinerja perekonomian Indonesia.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak baik akademisi maupun pengambil kebijakan. Manfaat tersebut adalah:

1. Sebagai salah satu sumber literatur ilmiah terutama yang berkaitan dengan liberalisasi perdagangan sehingga dapat menjadi rujukan bagi para peneliti berikutnya.

2. Sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan kebijakan terutama menyangkut kebijakan perdagangan sektor pertanian. 3. Sebagai bahan rujukan bagi pengambil kebijakan dalam melakukan negosiasi

dengan berbagai pihak termasuk dengan WTO.

1.5. Signifikansi Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan dan tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka penelitian ini amat mendesak untuk dilakukan. Pertimbangannya adalah bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang akan


(33)

9 terkena dampak liberalisasi perdagangan. Dampak itu sendiri bisa positif maupun negatif. Jika tidak dilakukan pengkajian ilmiah, dikhawatirkan akan terjadi salah antisipasi sehinga berpotensi untuk terjadinya pengambilan keputusan yang salah.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian

1. Penelitan ini dibatasi pada analisis mengenai dampak yang berpotensi ditimbulkan oleh perwujudan penghapusan tiga pilar negosiasi sektor pertanian WTO yaitu: bantuan domestik, subsidi ekspor, dan akses pasar. 2. Kinerja Perekonomian yang dianalisis meliputi kinerja makroekonomi dan

sektoral.

3. Kinerja makroekonomi mencakup PDB riil, tingkat kesejahteran, TOT, dan neraca perdagangan, sedangkan kinerja sektoral meliputi output, ekspor dan impor, TOT, penciptaan lapangan kerja dan sumber daya modal.

4. Negara maju yang dianalisis difokuskan pada 5 (lima) negara di 4 (empat) wilayah, dan 3 (tiga) diantaranya adalah wilayah yang paling banyak memberikan dukungan domestik dan subsidi ekspor yaitu wilayah Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Australia dan Selandia Baru 2 (dua) negara di (satu) wilayah yang merupakan salah satu produsen utama produk pertanian di dunia..

5. Negara berkembang yang dianalisis adalah negara-negara yang menjadi partner dagang utama Indonesia khususnya di sektor pertanian yaitu Cina, Malaysia, Philipina, Thailand, Vietnam, dan Indonesia sendiri.

6. Produk-produk yang dianalisis difokuskan kepada produk pertanian yang termuat di dalam database GTAP 6.2. Pengelompokan dan pemisahannya


(34)

didasarkan pada produk pertanian yang mendapatkan tarif impor, subsidi ekspor dan bantuan domestik dari negara-negara maju dan negara berkembang, serta komoditi strategis Indonesia dan tersedia datanya dalam GTAP 6.2.


(35)

10

TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai (DAS) atau watershed adalah sebidang lahan yang menampung air hujan dan mengalirkannya menuju parit, sungai dan akhirnya bermuara ke danau atau laut (Agus dan Widianto 2004). Pengertian tersebut menggambarkan bahwa DAS merupakan satu sistem sehingga ada keterkaitan antara bagian hulu dan hilir. Daerah aliran sungai (DAS) terdiri atas sub sistem biofisik dan sosial ekonomi yang juga saling berkaitan. Oleh sebab itu DAS sebagai satu unit perencanaan perlu dikelola secara terpadu. Kartodihardjo et al.

(2004) juga mengemukakan bahwa berdasarkan kajian institusi DAS dapat dipandang sebagai sumberdaya alam yang berupa stock dengan ragam pemilikan (private, common, state property) dan berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa, baik bagi individu dan atau kelompok masyarakat maupun bagi publik secara luas serta menyebabkan interdependensi antar pihak, individu dan atau kelompok masyarakat.

Daerah aliran sungai (DAS) mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain. Karakteristik DAS terdiri atas ukuran (luas), elevasi dan kemiringan

(slope), aspek dan orientasi, bentuk DAS dan jaringan drainase (Black 1995). Karakteristik DAS sangat penting diketahui dalam menentukan tindakan pengelolaan secara tepat. Karakteristik setiap DAS akan menunjukkan perbedaan satu sama lain sehingga tindakan pengelolaan DAS bersifat spesifik lokasi.

Pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai unit pengelolaan. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Easter et al. 1986; Dephut 2001).

Pengelolaan DAS ini terdiri atas beberapa tahapan proses (fase) yaitu : fase identifikasi dan analisis masalah, fase perencanaan, fase implementasi dan fase evaluasi, dimana keempat fase tersebut dapat terus berlangsung membentuk suatu siklus (Gambar 2). Perencanaan pengelolaan DAS tidak selesai hanya dengan dihasilkannya dokumen rencana, tetapi sebagai proses yang berulang dan berkaitan dengan aktivitas-aktivitas pengelolaan DAS.


(36)

Pelaksanaan rencana memerlukan monitoring terhadap tujuan dan sasaran yang ditetapkan, sehingga memungkinkan adanya umpan balik dan revisi terhadap rencana yang telah disusun (Davenport 2002 dan Dephut 2001).

Gambar 2 Fase-fase atau tahapan perencanaan pengelolaan DAS (Davenport 2002).

Pengelolaan DAS yang mampu memadukan aspek biofisik, sosial ekonomi dan budaya sinergi dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan yang mengutamakan pemberdayaan ekonomi rakyat/masyarakat dan pelestarian lingkungan secara simultan dan seimbang. Ciri pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dalam suatu DAS adalah (1) mampu memberikan produktivitas yang tinggi dan pendapatan yang layak bagi seluruh masyarakat, (2) mampu menjamin kelestarian DAS, yaitu dapat menjamin fungsi DAS yang baik, dapat menyimpan air dan memberikan hasil air yang cukup untuk seluruh keperluan yang merata sepanjang tahun dengan kualitas yang baik (erosi/sedimen rendah, pencemaran kecil) dan kuantitas yang mencukupi, (3) mampu memeratakan pendapatan (equity) dan (4) mampu menjamin kelenturan (resiliency) DAS (Sinukaban et al. 2001).

Konsep Pertanian Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan harus diterapkan pada berbagai bidang, termasuk pertanian. Pertanian berkelanjutan pada dasarnya berarti pertanian yang mampu berproduksi dengan tetap mempertahankan basis sumberdaya. Defenisi pertanian berkelanjutan telah banyak dikemukakan oleh berbagai pakar, diantaranya :

1. United State Society of Agronomy (1989), mendefenisikan pertanian berkelanjutan sebagai pertanian jangka panjang yang meningkatkan kualitas lingkungan dan sumberdaya yang diperlukan untuk kegiatan pertanian. Pertanian ini menyediakan makanan pokok manusia dan kebutuhan serat dan secara ekonomi dapat meningkatkan kualitas hidup petani dan masyarakat secara keseluruhan.

FASE PERENCANAAN

FASE IDENTIFIKASI MASALAH

FASE IMPLEMENTASI


(37)

12 2. Menurut TAC/CGIAR (1988), diacu dalam Reijntjes et al. (1999), pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam.

3. Defenisi pertanian berkelanjutan secara lebih luas mencakup beberapa hal seperti (1) mantap secara ekologis, (2) bisa berlanjut secara ekonomis, (3) adil, (4) manusiawi dan (5) luwes (Gips 1986, diacu dalam Sabiham 2005)

Unsur-unsur pendekatan SPB terdiri atas praktek-praktek ekologi (kebutuhan lingkungan dan didasarkan pada prinsip prinsip ekologi), tanggung jawab sosial (pemberdayaan masyarakat, kesamaan sosial, dan kesehatan kesejahteraan penduduk), dan semangat ekonomi (ketahanan pangan, kelayakan ekonomi dan bernuansa teknologi). Pengertian dan pendekatan tersebut menunjukkan bahwa SPB harus dapat memenuhi indikator dari berbagai aspek (Thrupp 1996). Indikator-indikator SPB adalah pendapatan masyarakat (petani) yang cukup tinggi, tidak menimbulkan kerusakan dan dapat dikembangkan dengan sumberdaya yang dimiliki oleh petani (Sinukaban 1994). Oleh karena itu keberlanjutan sistem usahatani bergantung pada 3 (tiga) karakteristik utama, yaitu kemampuan untuk mengendalikan kehilangan tanah hingga kurang dari Etol atau tolarable of soil loss (TSL), efektivitas dalam meningkatkan pendapatan petani dan secara sosial agroteknologi yang digunakan harus dapat diterima dan diterapkan (acceptable dan replicable) dengan sumberdaya yang ada, termasuk pengetahuan, ketrampilan dan persepsi petani (Sinukaban 2007c).

Pendapatan yang diperoleh petani harus dapat memenuhi kebutuhan hidup petani secara layak. Pendapatan yang tinggi dapat diperoleh jika produksi yang diperoleh dari usahatani juga tinggi dan sangat bergantung pada sistem usahatani, termasuk pengelolaan lahan. Produksi tanaman akan optimal jika ditanam pada lahan yang sesuai dengan persyaratan tumbuh tanaman. Selain itu komoditi yang dipilih juga harus mempunyai nilai ekonomi tinggi dan sesuai dengan keinginan ataupun kebiasaan petani.

Pertanian berkelanjutan harus pula diindikasikan dengan tidak terjadinya kerusakan lingkungan. Indikator kerusakan ini dapat dilihat dengan tingkat erosi yang terjadi di lahan pertanian. Erosi di lahan pertanian tidak mungkin dapat dihindari karena kondisi lahan yang selalu terganggu, tetapi kerusakan tersebut


(38)

dapat diminimalkan. Kerusakan lahan sedikit atau tidak terjadi jika erosi yang terjadi lebih kecil dari Etol.

Produksi pertanian yang tinggi dapat dipertahankan secara terus menerus bila erosi lebih kecil dari Etol. Erosi yang lebih besar dari Etol akan menyebabkan produktivitas lahan menurun, sehingga produksi yang tinggi itu hanya dapat dipertahankan beberapa tahun saja (pertanian tidak lestari) (Sinukaban 2003). Oleh sebab itu perlu dilakukan pengendalian terhadap erosi pada lahan pertanian, misalnya penerapan SPK dengan agroteknologi yang dapat diterima dan dikembangkan oleh petani.

Salah satu faktor penghambat implementasi teknologi usahatani adalah terbatasnya adopsi petani terhadap paket teknologi yang diperkenalkan karena petani merasa tidak ikut merencanakan dan tidak mengerti sehingga tidak merasa memiliki kegiatan yang mereka lakukan (Subagyono et al. 2004). Pembangunan pertanian berkelanjutan memerlukan teknologi tepat guna, kebijakan dan pengelolaan sumberdaya yang sesuai dengan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah (Adnyana 2006).

Usahatani Karet dan Kelapa sawit Usahatani Karet

Indonesia pernah menjadi negara penghasil karet alam terbesar di dunia. Komoditi ini pernah diandalkan sebagai penopang perekonomian negara. Karet telah menjadi komoditi ekspor utama Indonesia dan telah menjadi mata pencaharian bagi berjuta-juta keluarga. Usahatani karet terdiri atas perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Karet rakyat meliputi 83% dari total luas kebun karet di Indonesia dengan volume produksi 68% dari total produksi karet di Indonesia. Perkebunan karet rakyat di Indonesia menyebar di Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Riau dan Sumatera Utara, sedangkan perkebunan besar negara dan swasta sebagian besar terdapat di Sumatera Utara (Balitbang Pertanian 2005a).

Provinsi Jambi merupakan penghasil karet terbesar ketiga setelah Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Perkebunan karet rakyat di Jambi pertama kali dibudidayakan pada tahun 1904. Karet rakyat tersebut ada yang dipelihara dengan baik dan ada yang tidak. Perkebunan yang tidak dirawat tampak seperti tanaman liar yang tumbuh diantara vegetasi lainnya dengan produktivitas tanaman yang rendah. Perkebunan karet rakyat di Jambi menyebar


(39)

14 ke seluruh wilayah (Lampiran 1) karena karet merupakan salah satu komoditi ekspor Provinsi Jambi (Joshi et al. 2006)

Karet rakyat menyumbangkan produksi ”getah” di Jambi hingga 97% terhadap total produksi. Tahun 1992 dan 1998, laju perkembangan kebun karet di Jambi mencapai 5 520 ha/tahun, tetapi produktivitas karet rakyat masih tetap rendah, yaitu 500 – 650 kg KKK/ha/tahun; produktivitas ini hanya sepertiga hingga setengah kali produktivitas perkebunan karet klon yang mencapai 1 000 – 1 800 kg KKK/ha/tahun (Joshi et al. 2006). Volume ekspor karet di Jambi tahun 2004 mencapai 127 432 916 kg dan menghasilkan devisa sebesar 142 987 228 dollar AS (Harian Kompas 4 Agustus 2005).

Jumlah atau besarnya devisa yang dihasilkan tersebut tidak berbanding lurus dengan perhatian pemerintah terhadap petani karet di Jambi. Hal ini dapat dilihat dari semakin menurunnya produksi karet di daerah ini. Berdasarkan data Disbun Provinsi Jambi (2004), tahun 2003 luas total kebun karet di Jambi adalah 563 502 ha dan 122 060 ha diantaranya merupakan tanaman karet tua dengan produksi hanya sekitar 250 kg lateks/ha/tahun. Fenomena penurunan produksi terjadi hampir di seluruh wilayah yang mengembangkan usahatani karet di Provinsi Jambi, termasuk kecamatan Pelepat yang tercakup dalam DAS Batang Pelepat (Tabel 1).

Tabel 1 Perkembangan luas tanam dan produksi karet di Kecamatan Pelepat, Tahun 2000 - 2004

Tahun Luas Lahan (ha) Produksi (ton)

2000 2001 2002 2003 2004

10 233 9 690 9 604 5 261 6 463

4 162 4 560 4 560 1 011 2 920

Sumber : Disbun Provinsi Jambi (2004).

Penurunan produksi juga terkait dengan pengelolaan lahan dan tanaman yang kurang optimal. Usahatani karet rakyat hanya diusahakan secara tradisional, tanpa ada pemeliharaan yang baik seperti pemupukan ataupun penyiangan. Perkebunan karet lebih menyerupai hutan karet (“sesap karet”), yang dari aspek konservasi lebih menguntungkan karena kemungkinan terjadinya kerusakan lahan akibat erosi lebih kecil dan dapat menghasilkan kekayaan biodiversiti seperti hutan, tetapi tidak didukung oleh produksi yang optimal. Erosi yang relatif besar terjadi pada awal pembukaan lahan hingga tajuk


(40)

tanaman dapat menutupi permukaan tanah dengan baik karena tidak ada penerapan teknik KTA yang memadai.

Produksi lateks yang optimal dari karet dapat dicapai bila ada pengelolaan ideal dan memenuhi persyaratan lingkungan yang diinginkan oleh karet. Karet dapat tumbuh baik pada ketinggian 1 – 600 m diatas permukaan laut (dpl), curah hujan yang cukup tinggi (2000 – 2 500 mm/tahun) dan merata sepanjang tahun serta sinar matahari dengan intensitas cukup 5 – 7 jam/hari. Karet dapat berproduksi maksimal pada tanah-tanah subur, tetapi tanaman karet mempunyai tingkat toleran yang tinggi terhadap tanah yang kurang subur bila dilakukan pemupukan. Tanaman ini masih dapat tumbuh pada batas pH 4 – 8, namun paling cocok pada pH 5 – 6 (Tim Penulis Penebar Swadaya 2004). Kualitas lahan yang dibutuhkan untuk karet ini secara lengkap telah disusun oleh Djaenudin et al. (2003) seperti terlampir pada Lampiran 2.

Karet membutuhkan perawatan, baik sebelum maupun setelah menghasilkan. Perawatan tanaman sebelum menghasilkan meliputi penyulaman, penyiangan, pemupukan, seleksi dan penjarangan, penanaman tanaman penutup tanah serta pengendalian hama dan penyakit. Tanaman yang sudah menghasilkan (diatas 5 tahun) perlu dilakukan penyiangan dan pemupukan. Pemupukan karet harus dilakukan dengan cara, waktu dan takaran yang tepat. Balitbang Pertanian (2005b) menganjurkan penggunaan pupuk urea, TSP dan KCl pada tanaman karet di Kabupaten Bungo (DAS Batang Pelepat) dengan takaran masing-masing 100, 50 dan 50 kg/ha/tahun. BPP Sembawa (2003) juga mengeluarkan rekomendasi pemupukan untuk karet dengan takaran pupuk pupuk urea, SP-36 dan KCl yang bervariasi sesuai dengan umur tanaman (Tabel 2).

Tabel 2 Rekomendasi takaran pupuk dan frekuensi pemupukan tanaman karet sesuai dengan umur tanaman

Umur Tanaman (tahun) Urea (g/pohon/tahun) SP-36 (g/pohon/tahun) KCl (g/pohon/tahun) Frekuensi Pemupukan 0 1 2 3 4 5 6 – 15 16 – 25

- 250 250 250 300 300 350 300 125 150 250 250 250 250 260 190 - 100 200 200 250 250 300 250 2 kali/tahun 2 kali/tahun 2 kali/tahun 2 kali/tahun 2 kali/tahun 2 kali/tahun 2 kali/tahun 2 kali/tahun Sumber : BPP Sembawa (2003).


(41)

16 Karet yang sudah tidak produktif perlu diremajakan. Peremajaan kebun karet umumnya dilakukan dengan sistem tebas bakar, tetapi petani tidak menerapkan sistem ini karena mempunyai keterbatasan modal dan lahan serta mengurangi resiko kegagalan penanaman baru. Petani di Jambi umumnya mengadopsi teknik peremajaan dengan melakukan sisipan. Bibit karet ditanam diantara celah-celah pohon karet untuk mengganti pohon yang sudah tidak produktif. Cara ini mampu memperpanjang usia produktif kebun karet secara nyata (Wibawa dan Hendratno 2006).

Karet dapat ditanam secara monokultur dan tumpangsari. Karet yang ditanam secara tumpangsari di Jambi sering dikenal dengan istilah “sesap karet” atau dikenal pula dengan “wanatani karet” atau “agroforestri karet”. Salah satu contoh pengusahaan karet dengan sistem wanatani adalah di Desa Bebeko (Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi). Kebun karet sudah berumur 40 tahun tetapi masih menghasilkan lateks sekitar 40 kg per minggu (dari 300 pohon karet). Pemanenan (penyadapan) karet dilakukan tidak serentak, karena umur tanaman berbeda-beda. Di dalam kebun karet ini juga ditemukan species kayu seperti

Alseodaphne spp (kayu medang), Shorea spp. (kayu meranti), Styrax benzoin

(kemenyan), garcinia parvifolia (asam kandis), bambu, parkia speciosa (petai),

Pithecellobium ellipticum (kabau) dan Baccaurea spp. (rambe). Beberapa tahun yang lalu pemilik telah dapat menjual kayu meranti dan kayu medang dari kebun ini (Joshi et al. 2006). Karet juga dapat ditanam secara tumpangsari dengan tanaman pertanian lain seperti kopi, kakao dan pisang ataupun tanaman kehutanan.

Teknik budidaya karet berkelanjutan perlu juga disertai dengan teknik KTA seperti tanaman legum penutup tanah (LCC) berupa campuran 4 kg

Pueraria Javanica, 6 kg Colopogonium mucunoides dan 4 kg Centrosema pubescens. Penanaman karet pada lahan dengan kemiringan lereng lebih dari 15% dianjurkan untuk membuat teras. Lebar teras berkisar antara 1.25 – 1.50 m dan jarak antar teras dapat disesuaikan dengan jarak tanam (7 m untuk jarak tanam 3 m x 7 m atau 8 m untuk jarak tanam 2.5 m x 8 m) (BPP Sembawa 2003). Penggunaan LCC adalah teknik KTA paling umum diterapkan pada lahan perkebunan. Teras masih tergolong jarang digunakan, karena biaya yang diperlukan relatif mahal dan memerlukan pemeliharaan yang intensif. Teras yang umum digunakan dalam mengembangkan tanaman perkebunan adalah teras gulud dan teras kebun (Ditjen PLA Deptan 2007).


(42)

Usahatani Kelapa Sawit

Kelapa sawit berasal dari Guinea Afrika dan mulai diusahakan di Indonesia tahun 1911. Kelapa sawit berkembang terus hingga mencapai 25 000 ha pada tahun 1925 dan telah ditanam di berbagai daerah di Indonesia, diantaranya Aceh, Sumatera timur, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bangka, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi dan Irian Barat (Sutaryanto 1999).

Perkebunan kelapa sawit di Indonesia akhir-akhir ini mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Indonesia telah menjadi negara produsen dan eksportir CPO terbesar kedua setelah Malaysia. Berdasarkan data Ditjenbun hingga tahun 2004 total luas perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai 5.6 juta ha yang terdiri atas perkebunan rakyat (1 960 395 ha), perkebunan besar negara (672 331 ha) dan perkebunan besar swasta (2 969 044 ha) (Khoiri 2006). Berdasarkan catatan terakhir tahun 2003, volume ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 6.5 juta ton dengan volume produksi 9.9 juta ton (Ditjenbun 2004).

Peluang Indonesia untuk meningkatkan produksi lebih besar dibandingkan dengan Malaysia karena berkaitan dengan ketersediaan lahan, kesesuaian iklim, ketersediaan sumberdaya manusia sebagai sumber tenaga kerja dan biaya pembangunan dan perawatan per hektar yang lebih murah, tetapi persoalan klasik dan struktural masih harus dihadapi oleh perkebunan kelapa sawit Indonesia dan hingga saat ini belum teratasi secara tuntas. Persoalan tersebut diantaranya adalah ketersediaan input produksi (bibit yang berkualitas, pestisida dan pupuk), produktivitas yang rendah dan harga yang fluktuatif.

Kualitas bibit yang rendah merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi perkebunan kelapa sawit Indonesia sehingga berpengaruh terhadap produktivitas. Menurut Thahar dan Khoiri (2006), di Jambi saat ini diperkirakan terdapat 60 000 ha kelapa sawit yang berasal dari bibit palsu. Produksi kelapa sawit Jambi saat ini sekitar 1.4 ton tandan buah segar (TBS) kelapa sawit/ha/tahun, tetapi produksi kelapa sawit dari bibit palsu hanya 700 kg TBS/ha/tahun. Akibatnya dengan standar harga TBS sebesar Rp653/kg berarti petani mengalami kerugian sebesar Rp164.5 milyar/tahun.

Selain itu pengembangan kelapa sawit juga menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan ketersediaan lahan dan tudingan sebagian besar aktivis lingkungan yang menganggap bahwa pembukaan lahan untuk kelapa sawit


(43)

18 secara besar-besaran telah menyebabkan kerusakan lingkungan. Hal ini terkait dengan terjadinya konversi lahan, terutama hutan. Penebangan hutan akan berpengaruh terhadap siklus hidrologi karena terjadi perubahan infiltrasi tanah, evapotranspirasi dari tanaman dan secara potensial juga akan mengurangi jumlah air yang masuk ke sungai. Selain itu setiap aktivitas yang dilakukan pada saat dan setelah konversi hutan mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap lingkungan dan pola aliran sungai (Connolly dan Pearson 2005).

Pembukaan hutan untuk kelapa sawit juga sering menyebabkan kebakaran hutan yang menimbulkan pencemaran udara, erosi dan rusaknya biodiversiti. Vegetasi hutan berfungsi baik untuk meresapkan air sehingga dapat mengurangi aliran permukaan. Menurut Iswara (1999), diacu dalam Aswandi (2004), konversi hutan alam menjadi kebun kelapa sawit akan meningkatkan aliran permukaan hingga 300 mm sebelum tanaman tersebut dewasa.

Sebagian besar aktivis lingkungan meminta disain ulang perkebunan kelapa sawit. Disain ini penting agar lahan yang belum terjamah budidaya kelapa sawit tidak dengan mudah dikonversi menjadi kebun kelapa sawit, baik kawasan hutan konservasi, hutan lindung maupun lahan pertanian rakyat yang sudah ada (Khoiri 2006). Disain ulang tersebut harus lebih menjamin keberlanjutan usahatani kelapa sawit, tanpa mementingkan aspek dan pihak tertentu.

Perluasan perkebunan kelapa sawit terus terjadi, termasuk di Jambi yang menyebar hampir di seluruh kabupaten. Kabupaten Bungo, khususnya di DAS Batang Pelepat telah dijadikan salah satu kawasan prioritas pengembangan komoditi ini. Hal ini dapat dilihat dari luas lahan kelapa sawit yang terus meningkat selama 5 tahun terakhir, baik yang diusahakan oleh masyarakat maupun perkebunan swasta (Tabel 3), tetapi tidak diikuti dengan produksi yang baik. Fenomena produksi yang kurang baik ini disebabkan oleh banyaknya jumlah tanaman yang rusak sehingga tidak berproduksi secara maksimal, terutama pada perkebunan kelapa sawit rakyat.

Tabel 3 Perkembangan luas tanam dan produksi kelapa sawit di Kecamatan Pelepat, Tahun 2000 - 2004

Tahun Luas Lahan (ha) Produksi (ton)

2000 2001 2002 2003 2004

6 896 8 823 15 384 13 081 14 255

2 143 32 691 59 072 22 650 30 014


(44)

Produksi yang rendah juga terkait dengan teknik budidaya yang belum memadai. Kelapa sawit tumbuh baik di daerah tropis pada curah hujan >1500 mm/tahun, tidak memiliki defisit air dan merata sepanjang tahun, suhu 25oC – 32oC (Sutarta et al. 1999). Persyaratan tumbuh lain untuk kelapa sawit adalah elevasi (0 – 500 m dpl) dan penyinaran matahari 100% diperlukan minimal 5 jam/hari (optmum 7 jam/hari). Kelapa sawit dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dengan syarat drainase baik, solumn dalam (minimal 80 cm), agak masam (pH 4 – 6), topografi datar, landai sampai bergelombang, termasuk tanah gambut (Sutaryanto 1999). Persyaratan kualitas atau karakteristik lahan yang dibutuhkan oleh kelapa sawit terdiri atas sifat-sifat fisik dan kimia tanah (Lampiran 3). Faktor tanah merupakan salah satu faktor utama yang harus dikelola secara tepat untuk memperoleh produksi kelapa sawit yang optimal dan berkelanjutan. Pertumbuhan kelapa sawit memerlukan cadangan unsur hara dan air yang tinggi (Winarna et al. 2000). Oleh karena itu dalam pengembangan kelapa sawit perlu disertai dengan teknik pemupukan dan KTA yang tepat.

Pupuk yang direkomendasikan untuk pengembangan kelapa sawit di Kabupaten Bungo adalah NPK dan MgSO4 dengan takaran masing-masing 0.22 dan 0.10 kg/pohon/tahun (umur 0–2 tahun), sedangkan tanaman yang berumur lebih dari 2 tahun harus diberikan NPK dan MgSO4 dengan takaran masing-masing 0.45 dan 0.40 kg/pohon/tahun (Balitbang Pertanian 2005b). Pengembangan kelapa sawit juga dapat menggunakan pupuk tunggal seperti Urea, TSP, KCl dan Kisierit (MgSO4) dengan takaran yang disesuaikan dengan umur kelapa sawit. Pupuk urea dan KCl diberikan dengan frekuensi satu kali dalam setahun, sedangkan pupuk TSP diberikan dengan frekuensi dua kali dalam setahun. Kisierit diberikan dua kali per tahun pada tanaman yang berumur 0 – 15 tahun dan satu kali per tahun pada tanaman berumur >15 tahun (Tabel 4).

Tabel 4 Rekomendasi takaran pupuk dan frekuensi pemupukan kelapa sawit sesuai dengan umur tanaman

Umur Tanaman (tahun) Urea (kg/pohon/tahun) TSP (kg/pohon/tahun) KCl (kg/pohon/tahun) MgSO4 (kg/pohon/tahun) 0 1 2 3 4 5 6 – 12

> 12 - 1.10 1.50 0.70 0.70 0.70 0.70 1.50 0.50 0.50 0.50 1.00 1.00 1.00 2.00 1.00 - 0.80 1.50 0.50 0.50 0.50 1.50 1.00 - 0.70 0.70 0.90 0.90 0.90 1.00 0.50


(1)

Easter KW, Dixon JA, and Hufschmidt MM. 1986. Watershed Resources Management. Honolulu, Hawaii : Published in Cooperation With The East-West Center, Environment and Policy Institute.

Gaspersz V. 1991. Metode perancangan percobaan. Bandung : CV Armico. Gittinger JP. 1986. Analisa ekonomi proyek-proyek pertanian. Sutomo S dan

Mangiri K, penerjemah. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari : Economics analysis of agriculture project.

Goldman SJ, Jackson K dan Bursztynzky TA. 1986. Erosion and Sediment Control Handbook. McGraw-Hill Book Company.

Gray C, Simanjuntak P, Lien KS, Maspaitella PFL dan Varley RCG. 2007. Pengantar evaluasi proyek. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Gregersen HM, Brooks KN, Dixon JA dan Hamilton S. 1989. Guidelines for

economics appraisal of watershed management projects. FAO Conservatioan Guide 16. FAO.

Gunn RH, Beattie JA, Reid RE dan Graff V. 1988. Australian soil an land survey handbook : guidelines for conducting survey. Melbourne : Inkata Press. Hairiah K, Sulistyani H, Suprayogo D, Widianto, Purnomosidhi P, Widodo RH dan

Noorwidjk MV. 2006. Litter layer resisdence time in forest and coffea agroforestry system in Sumberjaya, West Lampung. Forest Ecology and Management 224:45-57.

Hairiah K, Utami SR, Lusiana R dan Noordwijk MV. 2007. Neraca hara dan karbón dalam sistem agroforestri. Bahan Agroforestri. Bogor : ICRAFT. http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/publicarions/files/lecturenote/L N0036-06 [27 September 2007].

Hammer WI. 1981. Soil conservation consultant report. Bogor : Centre for soil research.

Hardjowigeno S, Widiatmaka dan Yogaswara. 2001. Kesesuaian lahan dan perencanaan tata guna tanah. Bogor : Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB.

Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta : Akademika Prescindo.

JICA. 2002. The study on the development scheme for the principal river ports in Indonesia. Directorate General of Sea Communication Ministry of Communications.

Joshie L, Wibawa G, Vincent G, Boutin D, Akiefnawati R, Manurung G dan Noordwijk MV. 2001. Wanatani kompleks berbasis karet. Bogor : ICRAFT. http://www.icraft.cgiar.org/sea [2 Maret 2006].

Joshie L, Wibawa G, Vincent G, Boutin D, Akiefnawati R, Manurung G dan Noordwijk MV. 2006. Wanatani kompleks berbasis karet. Bogor : ICRAFT. http://www.icraft.cgiar.org/sea [2 Maret 2006].

Juarsah I. 2008. Implementasi sistem pola tanam usahatani konservasi petani peladang berpindah terhadap peningkatan produktivitas lahan dan pendapatan petani. Di dalam : Murtilaksono K, Agus F, Tarigan SD, Dariah A, Nurida NL, Santoso H, Sinukaban, N dan Gintings A Ng, editor. Prosiding Seminar dan Kongres Nasional MKTI VI; Safari Garden Hotel, Cisarua,


(2)

Bogor, 17 – 18 Desember 2007. Jakarta : Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI). Hlmn 237 – 246.

Kadariyah. 1990. Pengantar evaluasi proyek. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Kartodihardjo H, Murtilaksono K dan Sudadi U. 2004. Institusi pengelolaan daerah aliran sungai (konsep dan pengantar analisis kebijakan). Bogor : Fakultas Kehutanan IPB.

Khoiri, I. 2006. Kebun sawit versus hutan konservasi. Harian Kompas tanggal 25 Pebruari 2006.

Lal R. 1994. Soil erosion by wind and water : problem and prospects dalam R. Lal. Soil erosion research methods. Florida : Soil and Water Conservation Society.

Lal R. 1995. Sustainable management of soil resources in the sumid tropics. New York : United Nation University Press.

Linsley RKJR, Kohler MA dan Paulus JLH. 1982. Hirologi untuk Insinyur. Sianipar Y dan Haryadi E, penerjemah. Jakarta : Penerbit Erlangga. Terjemahan dari : Hydrology for engineers.

Lu HJ, Gallart IP, Prosser, Moran C dan Priestley G. 2005. Prediction of sheet and riil erosion over the australian continent, incorporating monthly soil loss distribution. CSIRO Land and Water. Technical Report 13/01. http://www.ciw.csiro.au/publications/technical2001/tr13-01.html. [3 Juli 2005].

Manik ES. 1992. Analisis daya dukung lingkungan berdasarkkan optimasi penggunaan sumberdaya lahan di bagian hulu daerah aliran sungai Way Seputih, Lampung Tengah. [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Martawijaya AI, Kartasujana K, Kadir dan Prawira SA. 2005a. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I. Bogor : Balitbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Martawijaya AI, Kartasujana K, Kadir dan Prawira SA. 2005b. Atlas Kayu

Indonesia. Jilid II. Bogor : Balitbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. McClauley A dan Jones C. 2005. Managing for soil erosion. Di dalam : Soil and

Water Management. Module 3. Montana :Montana State University Estension Service.

[Menhut RI] Menteri Kehutanan Republik Indonesia. 2008. Arahan Kebijakan Pembangunan Kehutanan dalam Penanganan Kawasan Hutan dan lahan yang tidak Produktif. Di dalam : Awang SA, Soepijanto B, Yuliarto JP dan Karyana A, editor : Rehabilitasi Hutan dan Lahan Capaian dan Perubahan. Yogyakarta : Jurusan Managemen Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dn Ditjen RLPS Dephut RI.

Morgan RPC. 1995. Soil erosion and conservation. 2nd edition. London, UK: Longman Group Unlimited.

Mulyono S. 1991. Operations Research. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.


(3)

Parker SP. 2002. Dictionary of Scientific and Technical Terms. 6th edition. McGraw-Hill Companies Inc. http://www.answers.com/library [20 Maret 2008].

Penot E dan Budiman AFS. 2004. Smallholder rubber agroforestry in Indonesia : reconcile production, biodiversity and environment. Di dalam : Arifin HS, Ma’mun S dan Nurheni W, editor. Kompilasi abstrak agrofrestri di Indonesia. Bogor : IPB, INAFE, SEANAFE dan ICRAFT. http://worldagroforestry.go.id/BK0065-04[1].pdf [12 Mei 2008].

Permana T. 1980. Perencanaan teknis satuan pemukiman transmigrasi. Bahan Kursus Satgas perencanaan teknis pemukiman transmigrasi. Bandung, 20 – 29 Nopember 1980. Bandung : Kerjasama Departemen Pekerjaan Umum dan ITB.

[PPK Medan] Pusat Penelitian Karet Medan. 1998. Teknologi peremajaan, rehabilitasi dan perluasan tanaman karet. Di dalam: Zainal M, Elna K, DD Tarigans, Syamsu O dan Joko M, editor. Prosiding Pertemuan Komisi Penelitian Pertanian Bidang Perkebunan. Medan, 20 – 21 November 1997. Medan : Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri dan Balitbang Kehutanan dan Perkebunan. Hlmn 89 – 103.

[PPKS Medan] Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan. 1998. Teknologi peremajaan, rehabilitasi dan perluasan tanaman kelapa sawit. Di dalam: Zainal M, Elna K, DD Tarigans, Syamsu O dan Joko M, editor. Prosiding Pertemuan Komisi Penelitian Pertanian Bidang Perkebunan. Medan, 20 – 21 November 1997. Medan : Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri dan Balitbang Kehutanan dan Perkebunan. Hlmn 104 – 115.

[PPKS] Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan. 1999. Pedoman teknis pemupukan tanaman kelapa sawit. No. : 05-1.2-Pub-99 edisi Januari 1999. Medan : Pusat Penelitian Kelapa Sawit.

[PPLH UNJA] Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Jambi. 2003. Analisis dampak lingkungan perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahannya di Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Jambi : PT Aman Pratama Makmur Lestari dan PPLH Universitas Jambi.

Pujianto, Wibawa, A dan Winaryo. 2001. Pengaruh teras dan tanaman penguat teras terhadap erosi dan produktivitas kopi arabika. Pelita Perkebunan Vol 17(1):18-29. Pusat Penelitian Perkebunan Indonesia.

Rahman S. 2000. Model penggunaan lahan untuk pengembangan konservasi alam terpadu (Studi kasus Pulau Siberut-Provinsi Sumatera Barat). [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Rauf A. 2004. Kajian sistem dan optimasi penggunaan lahan agroforestry di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser. [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Reijntjes C, Haberkort B dan Water-Bayer A. 1999. Pertanian masa depan. Pengantar untuk pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah. Jakarta : Kanisius.

Ridwansyah M, Sanim B, Aidi MN dan Saukat Y. 2006. Biaya imbangan ekonomi alih fungsi eks-areal hutan konsesi di sekitar zona penyangga Taman


(4)

Nasional Kerinci Seblat. Makalah Seminar Hasil Penelitian Disertasi. Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB.

Sabiham S. 2005. Manajemen sumberdaya lahan dalam usahat pertanian berkelanjutan. Makalah Seminar Nasional Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah “Save our Land for the Better Environment” Bogor, 10 Desember 2005.

Sajogyo dan P. Sajogyo. 1990. Sosiologi pedesaan. Jilid 2. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada Press.

Salikin KA. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Jakarta : Penerbit Kanisius. Santoso, D, J. Purnomo, I.G.P. Wigena dan E. Tuherkih. 2004. Teknologi

konservasi tanah vegetatif (Teknologi Konservasi Tanah Pada Lahan Kering Berlereng). Bogor : Puslitbangtanak.

Sihite J dan Pasaribu H. 2004. Hidup bersama Banjir. Bahan Kuliah Kapita Selekta DAS pada Bogor : Program Studi Pengelolaan DAS Sekolah Pascasarjana IPB. (Tidak dipublikasikan).

Sinukaban N. 1989. Konservasi tanah dan air di daerah transmigrasi. PT. Indeco Duta Utama International Development Consultants Berasosiasi dengan BCEOM.

Sinukaban N. 1994. Membangun pertanian menjadi industri yang lestari dengan pertanian konservasi. Orasi Ilmiah dalam penerimaan Jabatan Guru Besar. Bogor : Fakultas Pertanian IPB.

Sinukaban N. 1999. Masalah dan konsepsi pengembangan daerah aliran sungai. Makalah pada seminar sehari tentang pengelolaan DAS terpadu di Sulawesi Tenggara. Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, 1 Nopember 1999.

Sinukaban N, Pasaribu H, dan Siagian O. 2001. Pengelolaan Danau Toba : peluang dan ancaman dalam kebijakan konservasi tanah dan air dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Di dalam : Prosiding Kongres IV dan seminar nasional MKTI. Medan, 25 – 27 mei 2000.

Sinukaban N. 2003. Strategi, kebijakan dan kelembagaan pengelolaan lahan kritis. Paper dalam studi Strategi, kebijakan dan kelembagaan pengelolaan lahan kritis di Departemen Kehutanan. (Tidak dipublikasi). Sinukaban N. 2007a. Membangun Pertanian menjadi industri yang lestari dengan

pertanian konservasi. Di dalam : Konservasi Tanah dan Air kunci pembangunan berkelanjutan. Ed ke-1. Jakarta : Dirjen RLPS Departemen Kehutanan. Hlmn : 226 – 241.

Sinukaban N. 2007b. Agricultural Dvelopment In Indonesia. Di dalam : Soil and Water Conservatioan in Sustainable Development. Ed ke-1. Bogor: Direktorat Jenderal RLPS. Hlmn 97–119.

Sinukaban N. 2007c. Conservation Farming Systems For Sustainable Development in Java, Indonesia. Di dalam : Soil and Water Conservatioan in Sustainable Development. Ed ke-1. Bogor: Direktorat Jenderal RLPS. Hlmn 120–130.


(5)

Soekartawi, Soehardjo A, Dillon JL dan Hardaker JB. 1986. Ilmu usahatani dan penelitian untuk pengembangan petani kecil. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia Press.

Soekartawi. 2002. Analisis usahatani. Yakarta : Universitas Indonesia Press. Soil Survey Staff. 2000. Key of soil taxonomy. United Status Departement of

agricultural. Natural Resources Conservation Service.

Subagyono, K., U. Haryati dan S.H. Tala’ohu. 2004. Teknologi konservasi air pda pertanian lahan kering. Prosiding Teknologi konservasi lahan kering berlereng. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Balitbang Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.

Sumarna Y. 2005. Budidaya Gaharu. Jakarta : Penebar Swadaya.

Suprayogo D, Widianto, Purnomosidi P, Widodo RH, Rusiana F, Aini ZZ, Khasanah N, Kusuma Z. 2007. Degradasi sifat fisik tanah sebagai akibat alih guna lahan hutan menjadi sistem kopi monokultur : kajian perubahan makroporositas tanah. http: //icraf /cgiar/ org/sea/ publication/ files/journal/JA0021-04. [21 September 2007].

Suratman W, Suharyadi dan Suharyanto. 1993. Evaluasi kemampuan lahan untuk perencanaan penggunaan lahan dengan metode GIS di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM. Susswein PM, Noordwijk MV, dan Verbist B. 2001. forest watershed functions

and tropical land use change. Di dalam Noordwijk MV, Williams S dan Verbist B, editor. Towards integrated natural resources management in forest margins of the humic tropics:local action and global concerní. Bogor: Internacional Cetre for resesarch in Agroforestry.

Sutarta ES, Pulpa W dan Lubis AU. 1999. Iklim dan teknik budidaya kelapa sawit. Pedoman Teknis No. 08-1.2-Pub-99. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.

Sutaryanto. 1999. Budidaya kelapa sawit (Elaeis guineensis). MMA-IPB. Bogor. Sutono S, Kusnadi H dan Djunaedi MS. 2001. Soil prediction in paddy field and

upland of Citarik sub-watershed ang Garang watershed. Proceedings National Seminar on the Multifunction of Sawah. Bogor, 1 Mei 2001. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Terra JA, Shaw JN, Reeves DW, Raper RL, Van Santen E, Schwab EB, dan

Mask PL. 2006. Soil Management and Landscape Variability Affects Fiel-Scale Cotton Productivity. Soil Sci. Soc. Am. J 70:98–110.

Thahar N dan Khoiri I. 2006. Runyam sejak penyediaan benih. Harian Kompas tanggal 25 Pebruari 2006.

Thrupp LA 1996. New pathnerships for sustainable agriculture. New York : World Resources Institute.

Tim Peneliti Bioregion DAS Batanghari. 2003. Membangun kesepahaman bersama menuju pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat dengan pendekatan bioregion pada DAS Batanghari. Di dalam : Prosiding Konsultasi Publik DAS Batanghari di Sawahlunto.

Tim Penulis Penebar Swadaya. 2004. Karet : budidaya dan pengolahan strategi pemasaran. Penebar Swadaya. Jakarta


(6)

United State Society of Agronomy. 2005. Soil erosion by Water. http://www.agronomy.org [3 Juli 2005].

Weischmeier WH dan Smith DD. 1978. Predicting ranfall-erosion losses. A guide to conservation planning. USDA. Agric. Eng 29 : 458 – 462.

Wibawa G dan Hendratno S. 2006. Faktor apa yang mempengaruhi petani dalam pengambilan keputusan atas pengelolaan sistem usahataninya di Jambi. Lembar Informasi Seri Wanatani Karet Nopember 2001. http://www.icraf.cgiar.org/sea. [2 Maret 2006].

Widianto, Hairiah K, Suharjito D dan Sardjono MA. 2003. Fungsi dan peran agroforestri. Bahan Ajaran Agroforestri 3. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF). http://www.worldagroforestrycentre.org.pdf2.pdf. [27 September 2007]

Winarna ES, Sutarta dan Purba P. 2001. Konservasi tanah berliat aktivitas rendah (LAR) di perkebunan kelapa sawit : aplikasi pelepah dan tandan kosong kelapa sawit. Di dalam : Prosiding Kongres IV dan seminar nasional MKTI; Medan, 25 – 27 mei 2000.

Wood SR dan Dent FJ 1983. A land evaluation computer system methodology. AGOF/INS/78/006. Manual 5 Versi 1. Ministry of Agriculture Govern of Indonesia in corporation with UNDP and FAO.

Zheng FL, Merill SD, Huang CH, Tanaka DL, Darboux F, Leibig MA dan Halvorson AD. 2004. Run Off, Soil Erosion, and Erodibility of Conservation Reverse Program Land under Crop and High Production. Soil Sci. Soc. Am. J 68:1332-1341.