Dampak Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Pertanian dan Industri terhadap Degradasi Lingkungan (Studi Kasus: Negara Berkembang dan Maju)

(1)

By GURUH HERMAN WAS’AN ABSTRACT

This study analyzes the impact of economic growth in industry and agriculture on environmental quality as measured by greenhouse gas emissions in the Developing and Developed Countries. In analyzing the impact of the use of the Environmental Kuznets Curve model approach (EKC) or the shape of the curve obtained. This study uses secondary data, which include annual quantitative data in the period between the years 1980-2008 from developing countries and developed. The analytical method used is panel data approach with weighting Fixed Effect Cross section SUR. In the analysis it was found that a significant relationship to form the Environmental Kuznets Curve models (EKC) between CO2 and CH4 emissions with economic growth in the industrial sector and there is no significant relationship with the model of the Environmental Kuznets Curve (EKC) between greenhouse gas emissions (CO2 , N2O and CH4) with economic growth in the agricultural sector and N2O emissions with economic growth in the industrial sector.

Keywords: agriculture, industry, developing and developed countries, greenhouse gas emissions, EKC, and Fixed Effect with weighting Cross section SUR.


(2)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Peranan pertanian dan industri dalam pembangunan selalu menjadi topik diskusi politik dan kebijakan pembangunan yang hangat di negara berkembang, bahkan di negara maju. Sektor pertanian yang kokoh adalah syarat perlu (necessary condition) bagi keberhasilan transformasi struktural perekonomian menuju ke industrialisasi terutama pada negara berkembang. Sedangkan untuk negara maju menganggap sektor industri merupakan motor penggerak bagi pertumbuhan perekonomian karena mampu memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor lain seperti pertanian (Priyarsono, 2011). Namun, hal yang sering terlupakan dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian dari beberapa sektor tersebut, nilai lingkungan hidup tidak diperhitungkan dalam perencanaan pembangunan sehingga pembangunan sektor pertanian dan sektor industri tidak lagi memperhatikan opportunity cost. Akibatnya, pada tahun-tahun belakangan ini, terjadi peningkatan konsentrasi polutan atmosfir global yaitu emisi gas rumah kaca, mengancam kerusakan lingkungan yang parah pada lapisan ozon.

Gas rumah kaca (GRK) menjadi salah satu topik lingkungan yang amat penting akhir-akhir ini. Dampaknya pada perubahan iklim menjadikannya salah satu isu permasalahan lingkungan di dunia. Sifat gas rumah kaca adalah menaikkan suhu bumi dengan cara menangkap radiasi gelombang pendek dari matahari dan memantulkannya ke bumi. Gas rumah kaca juga memantulkan radiasi gelombang panjang ke bumi, sehingga bumi seakan-akan mendapatkan pemanasan dua kali. Dampak dari gas rumah kaca adalah pemanasan global dan


(3)

efek rumah kaca. Sedangkan dampak turunan dari pemanasan global salah satunya adalah perubahan iklim. Naiknya suhu rata-rata bumi adalah salah satu bukti telah terjadi perubahan iklim. Pemanasan global ini pun mendapatkan radiasi matahari tambahan lagi karena terdapatnya lubang ozon. Penipisan ozon mengakibatkan radiasi sinar ultraviolet dari matahari yang masuk ke bumi semakin besar intensitasnya  (Trismidianto, et al , 2008).

Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (2007), volume emisi gas rumah kaca antropogenik di lingkungan global dari yang terbesar sampai yang terkecil yaitu emisi karbondioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen

oksida (N2O), dan gas lainnya. Gas lainnya yang mempunyai sifat rumah kaca

yaitu sulfurheksaflorida (SF6), perflorokarbon (PFCs), dan hidroflorokarbon (HFCs).

76.70% 14.30%

7.90% 1%

Karbondioksida Metana Nitrogen Oksida Gas Lainnya

Sumber: Intergovernmental Panel on Climate Change (IIPC), 2007

Gambar 1.1. Persentase Volume Gas Rumah Kaca Antropogenik Global Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan memang telah menjadi sumber kontroversi yang cukup besar dalam waktu yang cukup lama. Sejumlah penelitian telah menganalisis hubungan antara pendapatan per kapita yang mencerminkan kesejahteraan masyarakat di negara tertentu dengan


(4)

beberapa indikator lingkungan dan berbagai hasil telah diperoleh, termasuk dalam beberapa kasus bukti dari hubungan terbalik-U yang dikenal dengan konsep Environmental Kuznets Curve (EKC). Sebuah konsep yang diciptakan oleh Kuznets dengan suatu hipotesisnya mengenai hubungan pertumbuhan ekonomi dengan lingkungan. Dalam hipotesisnya dikatakan bahwa pada awal perkembangan ekonomi, industri banyak melepaskan bahan polutan ke udara. Industri di negara-negara miskin dan berkembang yang berpenghasilan per kapita rendah atau pada fase awal pertumbuhan industrialisasi sangat besar fokusnya pada bagaimana ekonomi berkembang pesat dan banyak menyerap tenaga kerja. Namun, pada tingkat pendapatan tertentu terjadi titik balik. Pada fase ini kesadaran pentingnya kualitas lingkungan sudah mulai berkembang dan terdapat income yang cukup untuk melakukan usaha-usaha perbaikan lingkungan.

Pada bulan Juni 1992, Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Converence on Environment and Development/ UNCED) yang dikenal dengan Earth Summit yang diadakan di Rio de Jenairo, Brasil, mempertemukan 118 pemimpin negara-negara industri dan negara berkembang. Pertemuan tersebut menghasilkan Agenda 21, sebuah cetak biru 800 halaman untuk membersihkan lingkungan global dan mendorong pembangunan yang ramah lingkungan. Pertemuan selanjutnya diadakan pada bulan Desember 1997 di Kyoto, Jepang, yang menghasilkan sebuah perjanjian yang dikenal dengan Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change, dibuka untuk penandatanganan perjanjian pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November


(5)

2004. Persetujuan ini menghasilkan komitmen oleh 141 negara pada saat pemberlakuan persetujuan pada Februari 2005 untuk mengurangi emisi karbon dan lima gas rumah kaca lainnya atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global.

Menurut Todaro (2000), secara keseluruhan penduduk di negara-negara berkembang yang merupakan tiga perempat populasi dunia hanya menghasilkan sepertiga emisi CO2 yang berasal dari industri. Tingkat pendapatan dan tingkat

konsumsi negara-negara maju yang jauh lebih tinggi menyebabkan emisi CO2

yang mereka hasilkan jauh lebih tinggi daripada yang ada di negara-negara berkembang. Meskipun negara-negara berkembang relatif lebih sedikit menimbulkan emisi CO2 dari produksi industri, akan tetapi negara-negara

berkembanglah yang paling bertanggung jawab atas adanya emisi CO2 dalam

kategori yang kedua. Pembakaran hutan-hutan untuk membuka lahan-lahan pertanian baru, yang tentu saja menimbulkan emisi gas rumah kaca, hampir seluruhnya terjadi di negara-negara berkembang.

Berdasarkan Tabel 1.1, GDP Cina sebesar 4,521.8 US$ milyar dan apabila dibandingkan dengan emisi gas rumah kacanya, Cina merupakan negara penghasil emisi GRK terbesar dibanding 9 negara berkembang lainnya yang ditinjau dari emisi CO2, CH4, dan N2O yang dihasilkan negara tersebut. Cina merupakan

negara dengan pertumbuhan industrinya sangat pesat dan memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia menjadi konsumen energi kedua terbesar setelah Amerika Serikat dengan konsumsi sebesar setara 1,386.2 juta ton minyak atau sekitar 13,6 persen dari total energi dunia (International Energy Agency, 2011).


(6)

Sektor energi, khususnya dengan kegiatan pembakaran bahan bakar fosil terutama batubara, minyak bumi dan gas bumi adalah penyebab utama emisi CO2. Sumber

utama penghasil emisi CO2 di Cina berasal dari kegiatan pembakaran bahan bakar

batubara. Produksi batu bara di Cina merupakan yang terbesar di dunia yang merupakan 36.2 persen dari total produksi batubara di seluruh dunia (International Energy Agency, 2011). Sumber utama penghasil emisi CH4 dan

N2O di Cina dapat dihasilkan oleh sektor pertanian melalui sawah-sawah

tergenang, pemanfaatan pupuk, pembakaran sisa-sisa tanaman, dan pembusukan kotoran ternak. Sama halnya dengan Cina yaitu Indonesia, India, dan Brasil yang memiliki jumlah penduduk yang besar, konsumsi energi yang cukup besar serta kontribusi sektor pertanian dan industri terhadap GDP yang cukup tinggi menghasilkan emisi gas rumah kaca yang relatif tinggi pula.

Tabel 1.1. Indikator Makroekonomi dan Perbandingan Emisi Total Gas Rumah Kaca di 10 Negara Berkembang, Tahun 2008

Negara GDP (US$ milyar) CO2 (Kt) CH4 (Kt) N2O (Kt) Share Sektor Industri pada GDP Share Sektor Pertanian pada GDP

Indonesia 510.2 406029 10282.7 328.6 48.0 14.4

Thailand 272.6 285733 4650.5 68.7 44.0 11.5

Cina 4521.8 7031916 73200.9 1764.4 47.4 10.7

India 1215.9 1742698 28874.5 763.6 28.2 17.5

Brasil 1652.6 393220 20069.5 618.9 27.9 5.9

Argentina 326.6 192378 4661.7 174.9 32.2 9.8

Meksiko 1094.4 475834 5505.2 142.3 36.7 3.6

Mesir 162.8 210321 2476.3 88.4 37.5 13.2

Afrika Selatan 275.2 435878 3201.6 75.9 32.6 3.2

Turki 730.3 283980 3602.4 110.9 27.6 8.6

Sumber: World Development indicator, EDGAR, 2011

Berdasarkan Tabel 1.2, GDP yang dihasilkan Amerika Serikat sebesar 14,296.9 US$ milyar apabila dibandingkan dengan jumlah emisi GRK yang


(7)

dihasilkan, Amerika Serikat merupakan negara penghasil emisi GRK terbesar dibanding 9 negara maju lainnya yang ditinjau dari emisi CO2, N2O, dan CH4

yang dihasilkan negara tersebut. Amerika Serikat merupakan konsumen terbesar energi dunia yang mencapai setara 2,331.6 juta ton minyak atau memakan lebih dari 22.8 persen dari seluruh konsumsi energi dunia. Sama halnya dengan Amerika Serikat yaitu Jepang dan Kanada sebagai konsumen terbesar energi dunia yang keempat dan ketujuh yang memakan lebih dari 5 persen dan 3 persen secara berturut-turut dari seluruh konsumsi energi dunia (International Energy Agency, 2011). Sumber utama penghasil emisi CO2 dan CH4 di Amerika Serikat,

Jepang, dan Kanada berasal dari proses produksi dan hasil pembakaran minyak bumi dan gas alam yang digunakan oleh sektor industri.

Tabel 1.2. Indikator Makroekonomi dan Perbandingan Emisi Total Gas Rumah Kaca di 10 Negara Maju, Tahun 2008

Negara GDP (US$ milyar) CO2 (Kt) CH4 (Kt) N2O (Kt) Share Sektor Industri pada GDP Share Sektor Pertanian pada GDP

AS 14296.9 5461014 26085.6 1036.1 21.3 1.2

Kanada 1502.6 544091 5135.7 137.9 29.8 1.8

Jepang 4879.8 1208163 1951.9 91.0 28.3 1.4

Korea Selatan 931.4 509170 1479.7 1841.5 36.4 2.6

Australia 1039.4 399219 5821.1 186.0 29.1 2.5

Selandia Baru 117.8 33094 1313.1 43.1 22.9 4.5

Spanyol 1593.9 329286 1737.3 82.5 28.4 2.6

UK 2657.5 522855 2913.1 94.4 22.6 0.8

Italia 2296.5 445119 1780.5 71.5 26.9 2.0

Perancis 2831.8 376986 3947.2 153.6 20.4 2.0

Sumber: World Development indicator, EDGAR, 2011

Berdasarkan Tabel 1.2, Australia menghasilkan emisi CH4 kedua terbesar

setelah Amerika Serikat dibandingkan negara maju lainnya. Australia yang merupakan negara dengan pertumbuhan pertanian terutama peternakan sebagai


(8)

komoditas unggulannya sehingga memungkinkan sebagai sumber penghasil emisi CH4. Sumber utama emisi CH4 di Australia dapat dihasilkan melalui

hewan-hewan tertentu, terutama sapi, sebagai produk samping dari pencernaan.

Berdasarkan Tabel 1.1 dan 1.2, dapat kita lihat bahwa dengan semakin tingginya GDP bisa saja membuat terjadinya penurunan kualitas lingkungan yang ditinjau dari meningkatnya tingkat emisi gas rumah kaca yaitu CO2, CH4, dan

N2O. Akan tetapi, faktor yang mempengaruhi peningkatan emisi GRK tidak

datang dari sektor industri dan pertanian saja. Sektor lain juga memberikan pengaruh terhadap meningkatnya sumbangan emisi GRK suatu negara. Seperti contohnya peningkatan jumlah kendaraan dan pemakaian listrik yang bisa menyebabkan meningkatkan emisi gas rumah kaca.

Meskipun biaya lingkungan yang ditimbulkan oleh berbagai kegiatan ekonomi sekarang ini masih ramai diperdebatkan, namun semakin banyak ahli ekonomi pembangunan yang sepakat bahwa pertimbangan dan perhitungan lingkungan harus dijadikan sebagai bagian integral dari setiap ini inisiatif kebijakan. Tidak dimasukkannya biaya-biaya lingkungan pada kalkulasi GNI merupakan salah satu penyebab masih terabaikannya persoalan lingkungan. Secara sadar dapat dikatakan modernisasi dan pembangunan telah banyak membawa bencana bagi lingkungan hidup dan kemanusiaan, dimana dalam hal ini lingkungan hidup ditafsirkan secara konvensional. Lingkungan hidup harus dipandang dan diperlakukan sebagai subyek, dikelola untuk kehidupan berkelanjutan bukan semata-mata untuk pertumbuhan pembangunan tetapi juga harus memperhatikan kualitas hidup manusia.


(9)

Berdasarkan pada apa yang telah dipaparkan sebelumnya, dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca global, analisis mengenai dampak pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian dan industri negara berkembang dan negara maju terhadap emisi gas rumah kaca dirasakan cukup penting agar dapat mengurangi emisi gas rumah kaca global. Oleh karena itu relevan dilakukan penelitian dengan judul “Dampak Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Pertanian dan Industri terhadap Degradasi Lingkungan (Studi Kasus: Negara Berkembang dan Maju)” mengingat semakin meningkatnya kerusakan lingkungan global yang ditimbulkan akibat emisi gas rumah kaca.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas dapat diketahui bahwa terdapat permasalahan yang berkaitan dengan peningkatan degradasi lingkungan ditinjau dengan meningkatnya emisi gas rumah kaca. Besarnya emisi gas rumah kaca di dunia terutama di negara-negara berkembang dan negara-negara maju merupakan isu yang penting akhir-akhir ini mengingat semakin banyaknya protes terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca. Pembangunan yang sejatinya hanya untuk mengejar angka PDB saja kurang memperhatikan dampak dari aktivitas ekonomi itu sendiri. Akibat yang ditimbulkan oleh sektor industri dan pertanian yang menghasilkan polutan yang jumlahnya sangat besar tentunya akan meningkatkan emisi gas rumah kaca. Tidak semua sektor industri dan pertanian yang memiliki rasa kepedulian terhadap kualitas lingkungan terkait emisi gas rumah kaca. Namun, apabila sektor industri dan pertanian tersebut mulai beralih pada industri dan pertanian yang ramah


(10)

lingkungan, bukan tidak mungkin akan menurunkan emisi gas rumah kaca sehingga tercipta kualitas lingkungan yang lebih baik di masa-masa yang akan datang.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut:

1. Apakah hubungan pertumbuhan ekonomi di sektor industri dan pertanian terhadap degradasi lingkungan yang diukur dengan emisi gas rumah kaca di Negara Berkembang dan Negara Maju signifikan dengan konsep Environmental Kuznets Curve?

2. Bagaimana dampak pertumbuhan ekonomi di sektor industri dan pertanian terhadap degradasi lingkungan yang diukur dengan emisi gas rumah kaca di Negara Berkembang dan Negara Maju?

3. Bagaimana perbandingan besaran nilai emisi gas rumah kaca yang dihasilkan di Negara Berkembang dan Negara Maju?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengestimasi signifikansi dampak pertumbuhan ekonomi di sektor industri dan pertanian terhadap degradasi lingkungan yang diukur dengan emisi gas rumah kaca di Negara Berkembang dan Negara Maju dengan konsep Environmental Kuznets Curve.

2. Menganalisis dampak pertumbuhan ekonomi di sektor industri dan pertanian terhadap degradasi lingkungan yang diukur dengan emisi gas rumah kaca di Negara Berkembang dan Negara Maju.


(11)

3. Mengestimasi perbandingan besaran nilai emisi gas rumah kaca yang dihasilkan di Negara Berkembang dan Negara Maju.

1.4. Manfaat Penelitian

Skripsi ini bermanfaat bagi pemerintah, ekonom, masyarakat, dan bagi kalangan akademisi. Manfaat-manfaat tersebut diantaranya:

1. Pemerintah akan semakin mendorong kebijakan yang tepat dalam membangun kondisi makroekonomi dengan mempertimbangkan kualitas lingkungan.

2. Membantu para ekonom untuk bersikap lebih kritis terhadap permasalahan yang ada, umumnya terkait dengan pembangunan industri dan pertanian di negara-negara berkembang dan maju, dan khususnya yang terkait dengan isu lingkungan yaitu emisi gas rumah kaca di negara-negara berkembang dan maju dalam pembuatan kebijakan nasional.

3. Masyarakat dapat mengetahui dan menyadari mengenai permasalahan lingkungan yaitu emisi gas rumah kaca terutama di kawasan negara-negara berkembang dan negara maju.

4. Kalangan akademisi dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan dan menjadikan skripsi ini sebagai rujukan terwujudnya penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menganalisis dampak pertumbuhan sektor pertanian dan industri pada negara berkembang dan maju terhadap emisi gas rumah kaca. Pertumbuhan sektor pertanian dan industri dilihat dengan menggunakan data GDP


(12)

riil (harga konstan tahun dasar 2000) yaitu GDP riil pertanian dan GDP riil industri, sedangkan degradasi lingkungan yang diukur dengan emisi gas rumah kaca dilihat dengan menggunakan data emisi karbondioksida (CO2) , emisi metana

(CH4), dan emisi nitrogen oksida (N2O) pada tiap-tiap negara berkembang dan

maju. Data yang digunakan merupakan data tahunan dan sekunder pada rentang waktu antara tahun 1980-2008.

Data dalam kajian penelitian ini adalah data dari negara-negara berkembang dan maju. Negara-negara yang merepresentasikan sebagai negara berkembang adalah Indonesia, Thailand, Cina, India, Brasil, Argentina, Meksiko, Mesir, Afrika Selatan, dan Turki. Sedangkan, negara-negara yang merepresentasikan sebagai negara maju adalah Amerika Serikat, United Kingdom, Kanada, Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, Spanyol, Italia, dan Perancis. Pemilihan sampel data tersebut sebanyak 10 negara dari negara-negara berkembang dan 10 negara dari negara-negara maju karena adanya keterbatasan data yang tersedia.


(13)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator yang amat penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara. Istilah pertumbuhan ekonomi bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lain, negara satu dengan negara lainnya.

Menurut Simon Kuznets (1971) dalam Jhingan (2000), pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan dan idiologis yang diperlukannya. Definisi ini mempunyai 3 (tiga) komponen:

1. Pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari meningkatnya secara terus-menerus persediaan barang

2. Teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam penyediaan aneka macam barang kepada penduduk

3. Penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan ideologi sehingga inovasi yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan umat manusia dapat dimanfaatkan secara tepat.

Dengan bahasa lain, Boediono (1999) menyebutkan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output dalam jangka panjang. Pengertian tersebut


(14)

mencakup tiga aspek, yaitu proses, output perkapita, dan jangka panjang. Jadi, pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses, bukan gambaran ekonomi atau hasil pada saat itu. Boediono menyebutkan secara lebih lanjut bahwa pertumbuhan ekonomi juga berkaitan dengan kenaikan ”output perkapita”. Dalam pengertian ini teori tersebut harus mencakup teori mengenai pertumbuhan GDP dan teori mengenai pertumbuhan penduduk. Sebab hanya apabila kedua aspek tersebut dijelaskan, maka perkembangan output perkapita bisa dijelaskan. Kemudian aspek yang ketiga adalah pertumbuhan ekonomi dalam perspektif jangka panjang, yaitu apabila selama jangka waktu yang cukup panjang tersebut output perkapita menunjukkan kecenderungan yang meningkat.

Menurut Todaro (2000), pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai peningkatan hasil (output) masyarakat yang disebabkan oleh makin banyaknya jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi masyarakat. Ada tiga faktor atau komponenutama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa, antara lain:

1. Akumulasi modal, meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal manusia atau sumber daya manusia.

2. Pertumbuhan penduduk, yang beberapa tahun selanjutnya akan memperbanyak jumlah angkatan kerja.

3. Kemajuan teknologi.

Secara umum pertumbuhan ekonomi memiliki arti peningkatan pada Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan dengan peningkatan output dan


(15)

pendapatan riil perkapita memang bukanlah satu-satunya sasaran kebijakan terutama di negara-negara berkembang, namun kebijakan ekonomi menaikkan tingkat pertumbuhan output memang perlu dilakukan. Hal ini berdasarkan alasan, karena pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai suatu syarat yang sangat diperlukan untuk perbaikkan kesejahteraan masyarakat dan mencapai tujuan-tujuan pembangunan lainnya seperti peningkatan pendapatan dan kekayaan masyarakat, ataupun penyediaan fasilitas dan sarana-sarana sosial lainnya.

2.2. Pengertian Degradasi Lingkungan

Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda dan kesatuan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang melangsungkan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Sumber daya lingkungan, seperti udara, air, lahan, dan biota, dapat menyediakan barang dan jasa yang secara langsung maupun tidak langsung mendapatkan manfaat ekonomis. Mengingat bahwa daya dukung alam sangat menentukan bagi kelangsungan hidup manusia, maka kemampuan daya dukung alam tersebut harus dijaga agar tidak terdegradasi.

Degradasi lingkungan adalah deteriorasi lingkungan dengan hilangnya sumber daya air, udara, dan tanah serta kerusakan ekosistem dan punahnya fauna liar. Menurut Wardhana (1995), Secara umum degradasi lingkungan disebabkan oleh 2 faktor, yaitu faktor internal dimana degradasi lingkungan berasal dari dalam bumi atau alam itu sendiri, dan faktor eksternal dimana degradasi lingkungan berasal dari ulah manusia dalam rangka meningkatkan kualitas dan kenyamanan hidupnya.


(16)

Menurut Thomas (2000), salah satu cara untuk mengidentifikasi polutan sebagai pencemar udara yang menyebabkan kerusakan lingkungan yaitu dengan membedakan polutan itu berasal. Ada 2 sumber polutan itu berasal sebagai faktor penyebab degradasi lingkungan, yaitu:

1. Polutan alami

Polutan alami muncul dari proses nonartifisial di alam, seperti gas yang dikeluarkan oleh hewan dan partikel dari letusan gunung berapi.

2. Polutan anthropogenic

Polutan yang berasal dari pegaruh kegiatan manusia dan mencakup semua residu yang berhubungan dengan konsumsi dan produksi. Contohnya gas dan partikel dari proses industri manufaktur tertentu.

2.3. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Degradasi Lingkungan: Environmental Kuznets Curve (EKC)

Orientasi pertumbuhan ekonomi telah memacu permintaan terhadap sumberdaya alam yang semakin besar. Metode produksi yang tidak memungkinkan adanya substitusi input tersebut berdampak terhadap eksploitasi sumberdaya tersebut sehingga ketersediaannya semakin menipis. Simon Kuznets (1955) peraih penghargaan Nobel membuat suatu hipotesis mengenai hubungan pertumbuhan ekonomi dengan lingkungan yang dikenal dengan hipotesis Environmental Kuznets Curve.

Berdasarkan hipotesis Environmental Kuznets Curve, kerusakan lingkungan yang parah rawan terjadi di negara-negara berkembang yang mayoritas merupakan negara-negara yang berpenghasilan per kapita rendah. Hal


(17)

ini karena pada fase awal ini, pertumbuhan industrialisasi sangat besar fokusnya pada bagaimana ekonomi berkembang pesat dan banyak menyerap tenaga kerja. Isu lingkungan belum menjadi agenda utama dan pemerintah belum banyak terlibat dalam upaya perbaikan sistem pasar. Pada fase ini terjadi korelasi positif antara degradasi lingkungan karena banyak bahan polutan di udara dengan pertumbuhan ekonomi.

Emisi Bahan Polutan

EKC Konvensional EKC Revisi

Pendapatan per kapita Sumber: Kahuthu, 2006

Gambar 2.1. Hipotesis Environmental Kuznets Curve

Namun, pada tingkat pendapatan tertentu terjadi titik balik. Pada fase ini kesadaran pentingnya kualitas lingkungan sudah mulai berkembang. Public goods seperti kualitas lingkungan serta kesehatan telah menjadi bagian permintaan masyarakat. Tekanan atas kebutuhan tersebut baik terpaksa maupun tidak, industri melakukan kebijakan perubahan metode produksi. Pada fase ini terdapat income yang cukup untuk melakukan usaha-usaha perbaikan lingkungan. Penjelasan lebih jelasnya mengenai terjadinya inverted U pada kurva Kuznets adalah sebagai berikut :


(18)

1. Terjadinya pergeseran transformasi dari sektor pertanian ke sektor industri karena adanya dorongan investasi asing. Pada tingkat pendapatan rendah di negara berkembang, pendapatan industri masih rendah dan akan meningkat seiring peningkatan pendapatan. Peningkatan sektor indutri ini menyebabkan polusi di negara sedang berkembang juga akan mengalami peningkatan dan ketika terjadi transformasi dari sektor industri ke sektor jasa, polusi akan menurun seiring peningkatan pendapatan.

2. Permintaan akan kualitas lingkungan akan mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan pendapatan. Hal ini bermula ketika pendapatan masih rendah, sulit bagi pemerintah negara berkembang untuk melakukan proteksi terhadap lingkungan. Ketika pendapatan mulai meningkat, masyarakat mulai mampu untuk membayar kerugian lingkungan akibat dari kegiatan ekonomi. Pada tahap ini masyarakat mau mengorbankan konsumsi barang demi terlindunginya lingkungan (Andreoni & Levinson, 2001).

Menurut Copeland dan Taylor (2003) dalam Hutabarat (2010) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi mempengaruhi lingkungan melalui mekanisme kausal:

1. Efek skala (aktivitas ekonomi meningkatkan polusi, cateris paribus)

2. Efek komposisi (bentuk industri yang bersih atau kotor, jika industri kotor menurun maka polusi juga menurun, cateris paribus)

3. Efek teknologi (teknologi yang maju dan bersih akan mengurangi polusi, cateris paribus)

Mekanisme ini dapat menjelaskan mengapa degradasi lingkungan pada awalnya meningkat kemudian menurun seiring dengan pertumbuhan tingkat


(19)

ekonomi yang disertai dengan kebijakan atau regulasi yang berhubungan dengan degradasi lingkungan. Ketika pendapatan meningkat, skala ekonomi cenderung semakin besar. Negara yang sedang berkembang membutuhkan peningkatan output sehingga dibutuhkan lebih banyak input dan sumber daya alam. Dengan semakin meningkatnya output berimplikasi pada meningkatnya sisa buangan dan emisi sebagai hasil dari aktivitas ekonomi yang mana akan memperburuk kualitas lingkungan. Ini disebut dengan efek skala (scale effect).

Struktur ekonomi juga cenderung berubah seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Panayotou (1993) dalam Hutabarat (2010) mengatakan bahwa degradasi lingkungan cenderung meningkat ketika struktur ekonomi berubah dari desa ke kota, dari pertanian ke industri (composition effect). Namun degradasi lingkungan ini akan menurun ketika struktur yang berikutnya berubah dari industri berat yang berfokus pada energi ke industri yang berfokus pada jasa dan teknologi. Pada akhirnya kemajuan teknologi akan mengarah pada penggunaan alat-alat yang dapat mengurangi pengeluaran emisi yang juga meningkatkan kualitas lingkungan. Hal ini disebut efek teknologi (technology effect). Ketika efek teknologi dominan terhadap efek skala, maka tingkat polutan akan meningkat selama periode pertama dari perubahan struktur ekonomi, dan kemudian menurun selama perubahan struktural tahap kedua.

2.4. Penelitian-Penelitian Terdahulu

Kahuthu (2006) melakukan penelitian yang menganalisis hubungan pertumbuhan ekonomi dengan degradasi lingkungan di 84 negara pada tahun 1960 sampai tahun 2000. Indikator lingkungan yang dipakai yaitu CO2 dan tutupan


(20)

hutan. Menggunakan analisis panel data dengan model Fixed Effect Model (FEM). Hasil penelitian ini membuktikan bahwa adanya hubungan yang signifikan pada model Environmental Kuznets Curve antara emisi CO2 dengan pendapatan

perkapita dan sebaliknya, tidak ada hubungan yang signifikan antara tutupan hutan dengan pendapatan per kapita. Dalam penelitian ini dimasukkan pula efek globalisasi yaitu tingkat integrasi ke dalam analisis. Hasilnya, semakin terintegrasi suatu negara dengan pasar internasional, semakin tinggi pula tingkat emisi CO2

yang dihasilkan dan lebih cepat proses deforestasi pada negara tersebut.

Hutabarat (2010) melakukan penelitian mengenai pengaruh PDB sektor industri terhadap kualitas lingkungan yang ditinjau dari emisi CO2 dan sulfur di 5

negara ASEAN periode 1980-2000. Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan model Fixed Effect Model (FEM) dengan metode Fixed Effect Model Fixed Cross Section. Hasil penelitian ini membuktikan pada tahap awal, emisi sulfur dan CO2 mengalami peningkatan seiring dengan pembangunan

ekonomi. Namun setelah melewati titik balik pertama, dimana kesadaran akan lingkungan semakin meningkat maka pertumbuhan ekonomi akan membawa dampak yang baik bagi lingkungan, yaitu penurunan tingkat emisi sulfur dan CO2.

Namun ternyata dampak positif pertumbuhan ekonomi ini tidak berlangsung lama. Segera setelah itu, pembangunan yang dilaksanakan kembali memperburuk lingkungan seiring dengan peningkatan emisi sulfur dan CO2.

Amiri dan Mehrara (2011) melakukan penelitian mengenai hubungan antara polusi, energi, dan pertumbuhan ekonomi pada negara India, Cina, dan Brazil pada periode 1960-2006. Penelitian ini menerapkan model non linier yaitu panel smooth transition regression (PSTR) model dan memperhitungkan bias


(21)

endogenitas. Hasil penelitian ini menunjukkan konsumsi energi semakin mengarah pada kerusakan lingkungan. Selain itu, konsumsi energi yang tinggi adalah konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang pesat dan perdagangan internasional yang terkait dengan komoditas industri.

2.5. Kerangka Pemikiran

Tahap awal pembangunan yang umumnya terjadi pada negara-negara berkembang yang pertumbuhan ekonominya berorientasi pada pembangunan sektor pertanian dengan harapan dapat memacu lebih lanjut perubahan struktural dalam distribusi lapangan kerja. Sedangkan, negara-negara maju yang pertumbuhan ekonominya berorientasi pada pembangunan sektor industri dengan harapan dapat mengakumulasikan kekayaannya. Sehingga peran pertanian dan industri dalam pembangunan selalu menjadi topik diskusi politik dan kebijakan pembangunan yang hangat di negara-negara berkembang maupun maju.

Orientasi pertumbuhan ekonomi terutama dalam sektor pertanian dan industri telah memacu permintaan terhadap sumberdaya alam yang semakin besar. Metode produksi yang tidak memungkinkan adanya substitusi input tersebut berdampak terhadap eksploitasi sumberdaya tersebut sehingga ketersediaannya semakin menipis. Selain itu, metode produksi yang tidak efisien pada aktivitas produksi di sektor pertanian dan industri akan mengakibatkan terjadinya peningkatan bahan polutan yang dihasilkan seperti emisi gas rumah kaca.

Pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian dan industri pada negara berkembang dan maju diukur dengan besaran nilai GDP pertanian dan GDP industri masing-masing negara tersebut. Apabila adanya asumsi yang mendasari


(22)

kerangka pemikiran teoritis ini adalah bahwa metode produksi yang digunakan adalah metode produksi yang tidak ramah lingkungan, maka pada satu sisi aktivitas produksi pada sektor pertanian dan industri akan menimbulkan degradasi lingkungan. Degradasi lingkungan di dalam penelitian ini mengandung arti adanya emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari sektor pertanian dan industri.

Pertumbuhan Ekonomi (GDP riil)

Memacu Peningkatan Permintaan SDA (ekspolitasi SDA) Pertumbuhan Ekonomi

(GDP Riil)

Sektor Pertanian Sektor Industri

Metode Produksi yang tidak ramah lingkungan

Sektor Industri:

- Pembakaran bahan bakar fosil yang digunakan dalam proses produksi industri

Sektor Pertanian:

- Sawah-sawah tergenang - Penggunaan pupuk

- Pembakaran sisa-sisa tanaman

Degradasi Lingkungan (Emisi gas Rumah Kaca) Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran penelitian


(23)

2.6. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan teori dan hasil penelitian terdahulu serta variabel-variabel yang dijelaskan dalam penelitian ini, maka dalam penelitian ini dirumuskan hipotesis, yaitu:

1. Dampak pertumbuhan ekonomi di sektor industri dan pertanian terhadap kualitas lingkungan hidup yang diukur dengan emisi gas rumah kaca di Negara Berkembang dan Negara Maju signifikan dengan konsep Environmental Kuznets Curve.

2. Pertumbuhan ekonomi dalam sektor industri dan pertanian akan mendorong penurunan kualitas lingkungan hidup dengan meningkatkan emisi gas rumah kaca di Negara Berkembang dan Negara Maju.

3. Besaran nilai emisi gas rumah kaca yaitu melalui emisi Karbondioksida, Metana, dan Nitrogen Oksida yang dihasilkan di Negara Maju lebih besar daripada Negara Berkembang.


(24)

III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder, yang meliputi data kuantitatif tahunan dan sekunder pada rentang waktu antara tahun 1980-2008. Data dalam penelitian ini adalah data dari negara-negara berkembang dan maju. Negara-negara berkembang yang dimaksud dalam studi empiris ini adalah 10 Negara-negara berkembang yaitu Indonesia, Thailand, Cina, India, Brasil, Argentina, Meksiko, Mesir, Afrika Selatan, dan Turki. Sedangkan, untuk negara-negara maju yang dimaksud dalam studi empiris ini adalah 10 negara maju yaitu Amerika Serikat, United Kingdom, Kanada, Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, Spanyol, Italia, dan Perancis. Pengolahan data dilakukan dengan perangkat lunak Microsoft Excel 2007, Minitab dan Eviews 6.

Tabel 3.1. Data, Satuan, Simbol, dan Sumber Data

Variabel Satuan Simbol Sumber

GDP Pertanian Juta US$ GDPP WDI

GDP Industri Juta US$ GDPI WDI

CO2 Kilotonne CO2 WDI

CH4 Kilotonne CH4 EDGAR

N2O Kilotonne N2O EDGAR

Keterangan: WDI (World Development Indicator)

EDGAR (Emission Database for Global Atmospheric Research)

3.2. Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif dan kuantitatif. Metode deskriptif adalah metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna. Proses deskripsi data pada dasarnya meliputi upaya penelusuran dan pengungkapan


(25)

informasi yang lebih relevan yang terkandung di dalam data dan penyajian hasilnya dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana, sehingga pada akhirnya mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran.

Metode penelitian ini juga mengandalkan proses kuantitatif untuk mendapatkan gambaran yang terstruktur dan jelas mengenai fenomena perekonomian yang terjadi. Penelitian kuantitatif berlandaskan interpretasi terhadap hasil olahan model dengan metode analisis panel data.

3.2.1. Metode Analisis Regresi dan Panel Data

Ketersediaan data untuk mewakili variabel yang akan digunakan dimana kondisinya yaitu data time series pendek dan unit cross section terbatas dapat diatasi dengan menggunakan metode panel data (pooled data). Penggunaan model panel data tersebut digunakan dengan tujuan agar diperoleh hasil estimasi yang lebih baik (efisien) dengan meningkatnya jumlah observasi yang berimplikasi pada meningkatnya derajat kebebasan (degree of freedom).

Penggunaan data panel telah memberikan banyak keuntungan secara statistik maupun teori ekonomi. Manfaat penggunaan panel data adalah sebagai berikut:

1. Mampu mengontrol heterogenitas individu

2. Mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatnya degree of freedom, lebih bervariasi dan lebih efisien

3. Mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dari data cross section murni atau time series murni


(26)

5. Lebih baik untuk study of dynamic adjustments

Model analisa data panel memiliki tiga macam pendekatan, yaitu pendekatan kuadrat terkecil (pooled least square), pendekatan efek tetap (fixed effect), dan pendekatan efek acak (random effect). Selain itu, di dalam melakukan pengolahan data panel terdapat juga kriteria pembobotan yang berbeda-beda yaitu No weighting (semua observasi diberi bobot sama), Cross section weight (GLS dengan menggunakan estimasi varians residual cross section, digunakan apabila ada asumsi terdapat cross section heteroskedasticity), dan Seemingly Uncorrelated Regression/SUR (GLS dengan menggunakan covariance matrix cross section). Metode ini mengoreksi baik heteroskedastisitas maupun autokorelasi antar unit cross section.

3.2.2. Pemilihan Pendekatan: Uji Hausman

Alur pengujian statistik untuk memilih pendekatan yang digunakan dapat diperlihatkan pada Gambar 3.1. Penggunaan pendekatan Pooled Least Square dirasakan kurang sesuai dengan tujuan digunakannya data panel maka dalam penelitian ini hanya mempertimbangkan pendekatan fixed effect dan random effect. Dalam memilih apakah fixed atau random effect yang lebih baik, dilakukan pengujian terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara regresor dan efek individu. Untuk menguji asumsi ini dapat digunakan Hausman Test. Dalam uji ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H0 : Model Random Effect


(27)

Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausman dan

membandingkannya dengan Chi Square. Statistik Hausman dirumuskan dengan: H = (βREM – βfEM)’ (MREM – MfEM)-1 (βREM – βfEM) ~ χ2 (k)

dimana:

M adalah matriks kovarians untuk parameter β k adalah degrees of freedom

Jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah

model fixed effect, begitu juga sebaliknya.

Fixed Effect Chow Test

Pooled Least Square  Hausman Test 

Random Effect Sumber: Firdaus, 2012

Gambar 3.1. Pengujian Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel

3.2.3. Model Ekonometrika

Dengan memasukkan variabel-variabel yang akan dianalisis dalam penelitian ini, maka persamaan regresi akan terbentuk salah satu model terbaik sesuai variabel yang akan dianalisis, diantaranya:

Linear : Yit = βi + β1 Xit + εit


(28)

Syarat: β2 ≠0, Jika β1 > 0 dan β2 < 0 maka membentuk kurva-U

terbalik (EKC), sedangkan jika β1 < 0 dan β2 > 0 maka

membentuk kurva-U.

Turning point = , jika β1 > 0 dan β2 > 0 atau β1 < 0

dan β2 < 0 maka tidak ada Turning point karena X > 0. ∆Y/∆X ≈β1+ 2β2

Kubik : Yit = βi + β1 Xit + β2 (Xit)2 + β3 (Xit)3 + εit

Syarat: β3 ≠ 0, Jika β3 < 0 maka membentuk kurva-N terbalik,

sedangkan jika β3 > 0 maka membentuk kurva-N.

Turning point 1 = ²

Turning point 2 = ²

dimana:

Yit : emisi gas rumah kaca (CO2, N2O, dan CH4) untuk negara i pada

tahun t

Xit : GDP riil sektor industri atau pertanian untuk negara i pada tahun t βi : konstanta

β1,β2,β3 : koefisien regresi

εit : error term untuk negara i pada tahun t

3.2.4. Perumusan Model

Setelah melewati tahapan uji pemilihan pendekatan analisis pada data panel dengan memasukkan variabel-variabel yang dianalisis dalam penelitian ini,


(29)

maka penelitian ini menggunakan pendekatan fixed effect cross section SUR sebagai analisis data panel terbaik. Dengan pendekatan fixed effect cross section SUR, maka terbentuk model terbaik sesuai variabel-variabel yang dianalisis. Adapun 6 model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Sektor Pertanian:

CO2 = βi + β1 GDPP + β2 (GDPP)2 + εit... (1)

N2O = βi + β1 GDPP + β2 (GDPP)2 + εit... (2)

CH4 = βi + β1 GDPP + β2 (GDPP)2 + εit... (3)

Sektor Industri:

CO2 = βi + β1 GDPI + β2 (GDPI)2 + εit... (4)

N2O = βi + β1 GDPI + εit... .... (5)

CH4 = βi + β1 GDPI + β2 (GDPI)2 + εit... .... (6)

dimana:

CO2 = karbondioksida (kilotonne)

N2O = nitrogen oksida (kilotonne)

CH4 = metana (kilotonne)

GDPP = Pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian (US$) GDPI = Pertumbuhan ekonomi di sektor industri (US$)

3.2.5. Uji Beda (Uji-t)

Uji beda disebut pula dengan uji t karena merupakan huruf terakhir dari nama pencetus uji ini yaitu, Grosett. Sesuai dengan namanya, uji beda, maka uji


(30)

ini dipergunakan untuk mencari perbedaan, baik antara dua sampel data atau antara beberapa sampel data. Dalam kasus tertentu, juga bisa mencari perbedaan antara suatu sampel dengan nilai tertentu. Terdapat jenis uji beda lain selain berdasarkan jumlah kelompok sampel yang diuji. Misalnya jumlah sampel pada masing-masing kelompok juga menentukan jenis uji beda yang digunakan. Jika dua kelompok mempunyai anggota yang sama dan mempunyai korelasi maka dipergunakan uji sampel berpasangan (paired test), dan jika jumlah anggota kelompok berbeda maka memerlukan uji beda, misalnya Uji Wilcoxon, atau Mann-Whitney U-Test.

Beberapa ahli beranggapan bahwa uji beda merupakan uji statistik non parametrik dan ada pula yang beranggapan uji statistik parametrik. Uji t dengan distribusi normal maka tetap merupakan statistik parametrik, akan tetapi jika distribusi data tidak normal, barulah merupakan statistik non parametrik. Jadi penentuan parametrik atau bukan, tidak didasarkan pada jenis uji tetapi tergantung dari distribusi data, apakah normal atau tidak.

3.2.6. Pengujian Kriteria Ekonomi dan Statistik

Setelah mendapatkan parameter estimasi, langkah selanjutnya adalah melakukan berbagai macam pengujian terhadap parameter estimasi tersebutserta pengujian terkait model terbaik mana yang akan dipilih diantara pooled, fixed, dan random. Pengujian tersebut bisa berupa pengujian ekonomi, statistik, dan ekonometrik.

Pengujian dapat dilakukan dengan kriteria ekonomi dan statistik. Pengujian ekonomi dilakukan untuk melihat besaran dan tanda parameter yang


(31)

akan diestimasi, apakah sesuai dengan teori atau tidak. Sedangkan uji kriteria statistik dilakukan dengan uji koefisien regeresi secara individual (uji t), uji sihgnifikansi simultan (uji F), dan uji koefisien determinasi (R2)

3.2.6.1. Uji Koefisien Regresi Secara Individual (Uji t)

Uji t – statistik dilakukan untuk menguji apakah variabel independen secara individu mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependennya. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui sacara parsial variabel independen berpengaruh secara signifikan atau tidak terhadap variabel dependen. Dalam pengujian ini dilakukan uji dua arah dengan hipotesa :

H0: βi = 0 (tidak ada pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen)

H1: βi ≠ 0 (ada pengaruh variabel independen terhadap variabel dependennya)

Kriteria pengujian :

1. Ho diterima dan Ha ditolak apabila t tabel > t hitung < t tabel, artinya variabel independen tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen.

2. Ho ditolak dan Ha diterima apabila t tabel < t hitung > t tabel, artinya variabel independen berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen.

Sedangkan nilai t hitung adalah : T hitung = βi


(32)

3.2.6.2. Uji Signifikansi Simultan (Uji f)

Uji F statistik digunakan untuk menguji apakah keseluruhan variabel independen secara simultan berpengaruh terhadap variabel dependen. Pengujian ini dilakukan dengan hipotesa :

H0 = β1 = β2 = β3 = β4 = 0

(variabel independen secara bersama – sama tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen).

H1≠β1 ≠β2 ≠β3 ≠β4 ≠ 0

(variabel independen secara bersama – sama berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen).

Atau dengan kata lain, dalam penelitian ini bila hasil F hitung menunjukkan hasil yang signifikan berarti variabel pertumbuhan ekonomi, aglomerasi dan variabel moderat secara bersama – sama berpengaruh terhadap kualitas lingkungan.

Untuk menghitung F hitung digunakan rumus (Gujarati, 1995) F hitung = R2 / (k-1)

(1 – R2) / (n-k) Dimana :

R2 = koefisien determinasi n = jumlah observasi

k = jumlah variabel independen termasuk konstanta Kriteria Pengujian:

1. H0 diterima dan H1 ditolak apabila F hitung < F tabel, artinya variabel

independen secara bersama – sama tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen.


(33)

2. H0 ditolak dan H1 diterima apabila F hitung > F tabel, artinya variabel

independen secara bersama – sama berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen.

3.2.6.3. Uji Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui besarnya daya menerangkan dari variabel independen terhadap variabel dependen pada model tersebut. Nilai R2 berkisar antara 0 < R2 < 1 sehingga kesimpulan yang diambil adalah:

• Nilai R2 yang kecil atau mendekati nol, berarti kemampuan variabel-variabel bebas dalam menjelaskan variabel-variabel-variabel-variabel tak bebas sangat terbatas.

• Nilai R2 mendekati satu, berarti variabel-variabel bebas memberikan hampir semua informasi untuk memprediksi variasi variabel tak bebas. Dalam penelitian ini berarti, bila nilai R2 memberikan hasil yang mendekati angka 1 , artinya kualitas lingkungan yang ditinjau dari tingkat emisi CO2, CH4, dan N2O dapat dijelaskan dengan baik oleh variasi variabel independen

GDPI dan atau GDPI2,GDPP dan atau GDPP2. Sedangkan sisanya (100% - nilai R2) dijelaskan oleh sebab-sebab lain diluar model.

3.2.7. Uji Ekonometrika 3.2.7.1. Uji Autokorelasi

Istilah autokorelasi bisa didefinisikan sebagai korelasi di antara anggota observasi yang diurut menurut waktu (seperti data deret berkala) atau ruang


(34)

(seperti data lintas sektoral). Autokorelasi biasanya berhubungan dengan data deret berkala (time series) walaupun memungkinkan terdapat pada data cross section.

Uji yang paling dikenal untuk pendeteksian autokorelasi adalah uji yang dikembangkan oleh Durbin dan Watson, yang populer dikenal sebagai statistik d Durbin-Watson (DW Test). Pengujian dengan DW Test hanya digunakan untuk autokorelasi tingkat satu (first order autocorrelation) dan mensyaratkan adanya intercept (konstanta) dalam model regresi dan tidak ada variabel lag diantar variabel independen.

Hipotesis yang akan diuji adalah: H0 : tidak ada autokorelasi (r = 0)

H1 : ada autokorelasi (r ≠ 0)

Tabel 3.2. Uji d Durbin-Watson: Aturan Keputusan

Hipotesis nol Keputusan Nilai DW

Tidak ada autokorelasi positif Tidak ada autokorelasi positif Tidak ada autokorelasi negatif Tidak ada autokorelasi negatif Tidak ada autokorelasi positif

atau negatif

Tolak

Tidak ada keputusan Tolak

Tidak ada keputusan Tidak ditolak

0 < d < dL

dL≤ d ≤ dU

4 - dL < d < 4

4 - dU≤ d ≤ 4 - dL

dU < d < 4 - dU

Sumber: Gujarati, 2003

3.2.7.2. Uji Heterokedastisitas

Suatu asumsi kritis dari model regresi linear klasik adalah bahwa gangguan ui semuanya mempunyai varians yang sama. Jika asumsi ini tidak dipenuhi, maka mempunyai heteroskedasitas. Heteroskedasitas tidak merusak


(35)

sifat ketidakbiasan dan konsistensi dari penaksir OLS. Tetapi penaksir ini tidak lagi mempunyai varians minimum atau efisien . Dengan perkataan lain, sehingga tidak lagi memenuhi asumsi BLUE.

Untuk mendeteksi ada tidaknya pelanggaran ini dengan menggunakan White Heterocdasticity Test (Gujarati, 2003). Nilai probabilitas Obs*R-squared dijadikan sebagai acuan untuk menolak atau menerima H0. Hipotesis yang akan

diuji:

H0 : homoskedastisitas

H1 : heteroskedastisitas

Kriteria pengujiannya adalah:

1. Probabilitas Obs*R-squared < taraf nyata , maka tolak H0

2. Probabilitas Obs*R-squared > taraf nyata , maka terima H0

Uji heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan uji grafik plot dan uji statistik. Uji grafik plot yang digunakan dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel terikat yaitu ZPRED dengan residualnya SRESID. Deteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada scatterplot antara SRESID dan ZPRED.

Uji statistik yang digunakan adalah uji Glejser. Uji Glejser dilakukan dengan meregresikan nilai absolute residualnya terhadap variabel independen (Gujarati, 2003). Jika variabel independen signifikan secara statistik mempengaruhi variabel dependen, maka ada indikasi terjadi heteroskedastisitas.


(36)

3.2.7.3. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak. Dalam penelitian ini menggunakan Jarque-Bera test (J-B test) untuk melihat apakah data terdistribusi normal atau tidak. Uji ini menggunakan hasil residual dan chi-square probability distribution, hipotesis yang akan diuji adalah:

H0 : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal

H1 : Sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal

Kriteria pengujian adalah:

1. Bila nilai JB hitung > nilai X2tabel, maka H0 yang menyatakan residual, ut

adalah berdistribusi normal ditolak.

2. Bila nilai JB hitung < nilai X2tabel, maka H0 yang menyatakan residual, ut

adalah berdistribusi normal diterima.

3.3. Definisi Operasional

Untuk memahami secara jelas variabel-variabel yang dituliskan dalam Tabel 3.1, maka definisi operasional variabel-variabel tersebut adalah:

1. Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Pertanian (GDPP)

Variabel ini diperoleh dari Gross Domestic Product (GDP) riil di sektor pertanian dengan menggunakan tingkat harga konstan tahun dasar 2000 yang dinyatakan dalam US$. GDP pertanian merupakan penjumlahan total terhadap barang-barang dan jasa akhir pada sektor pertanian yang mencakup pertanian dalam arti sempit yaitu pertanian rakyat, kehutanan, perkebunan, perikanan, dan peternakan.


(37)

2. Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Industri (GDPI)

Variabel ini diperoleh dari Gross Domestic Product (GDP) riil di sektor industri dengan menggunakan tingkat harga konstan tahun dasar 2000 yang dinyatakan dalam US$. GDP industri merupakan penjumlahan total terhadap barang-barang dan jasa akhir pada sektor industri yang mencakup manufaktur, pertambangan, konstruksi, listrik, air, dan gas.

3. Emisi Karbondioksida (CO2)

Variabel ini diperoleh dari emisi karbondioksida (CO2) yang dinyatakan

dalam kilotonne. Karbondioksida adalah gas rumah kaca yang penting karena ia menyerap gelombang inframerah dengan kuat. Karbondioksida dihasilkan oleh semua makhluk hidup pada proses respirasi dan digunakan oleh tumbuhan pada proses fotosintesis. Oleh karena itu, karbondioksida merupakan komponen penting dalam siklus karbon. Karbondioksida juga dihasilkan dari hasil samping pembakaran bahan bakar fosil. Karbondioksida anorganik dikeluarkan dari gunung berapi dan proses geotermal lainnya seperti pada mata air panas.

4. Emisi Metana (CH4)

Variabel ini diperoleh dari emisi metana (CH4) yang dinyatakan dalam

kilotonne. Metana merupakan komponen utama gas alam yang termasuk gas rumah kaca. Ia merupakan insulator yang efektif, mampu menangkap panas 20 kali lebih banyak bila dibandingkan karbondioksida. Metana dilepaskan selama produksi dan transportasi batu bara, gas alam, dan minyak bumi. Metana juga dihasilkan dari pembusukan limbah organik di tempat


(38)

pembuangan sampah (landfill), bahkan dapat keluarkan oleh hewan-hewan tertentu, terutama sapi, sebagai produk samping dari pencernaan.

5. Emisi Nitrogen Oksida (N2O)

Variabel ini diperoleh dari emisi nitrogen oksida (N2O) yang dinyatakan

dalam kilotonne. Nitrogen oksida adalah gas insulator panas yang sangat kuat. Ia dihasilkan terutama dari pembakaran bahan bakar fosil dan oleh lahan pertanian. Nitrogen oksida dapat menangkap panas 300 kali lebih besar dari karbondioksida. Nitrogen Oksida (N2O) dapat dihasilkan melalui penggunaan

pupuk pada pertanian dan dari industri nilon dan asam nitrat serta pembakaran bahan bakar pada mesin pembakaran internal.


(39)

IV. GAMBARAN UMUM

4.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Pertanian Negara Berkembang dan Maju Periode 1980-2008

Berdasarkan Gambar 4.1, periode 1980 hingga 2008 perkembangan GDP pertanian negara-negara berkembang dalam sampel cenderung mengalami peningkatan terutama Cina dan India. Pada tahun 1980 GDP pertanian Cina sebesar 68,23 miliar US$ dan pada tahun 2008 GDP pertanian Cina sebesar 251,2 miliar US$ sehingga telah terjadi peningkatan pertumbuhan sektor pertanian sebesar 368,16 persen. Pada tahun 1980 GDP pertanian India sebesar 53,78 miliar US$ dan pada tahun 2008 GDP pertanian India sebesar 123,3 miliar US$ sehingga telah terjadi peningkatan pertumbuhan sektor pertanian sebesar 229,28 persen.

0 5E+10 1E+11 1.5E+11 2E+11 2.5E+11 3E+11 GDP   Riil   Pertanian   (US$) Tahun Indonesia Thailand Cina India Brasil Argentina Meksiko Mesir Afrika Selatan Turki

Sumber: World Development Indicator, diolah

Gambar 4.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Pertanian Negara Berkembang, 1980-2008

Sedangkan untuk Indonesia dan Thailand pada tahun 1998 mengalami penurunan GDP pertanian akibat krisis moneter yang dialami kedua negara. Pada tahun 1997 GDP pertanian Indonesia sebesar 25,07 miliar US$ dan pada tahun


(40)

1998 GDP pertanian Indonesia sebesar 24,74 miliar US$ sehingga telah terjadi penurunan pertumbuhan sektor pertanian sebesar 1,33 persen. Pada tahun 1997 GDP pertanian Thailand sebesar 10,25 miliar US$ dan pada tahun 1998 GDP pertanian Thailand sebesar 10,1 miliar US$ sehingga telah terjadi penurunan pertumbuhan sektor pertanian sebesar 1,47 persen. Memasuki tahun 1999, GDP pertanian Indonesia dan Thailand sudah mulai stabil dan cenderung mengalami peningkatan. Besaran GDP pertanianrata-rata per tahun yang dihasilkan negara berkembang dalam sampel pada periode 1980 hingga 2008 bila diurutkan dari yang terbesar ke terkecil yaitu Cina, India, Brasil, Indonesia, Turki, Meksiko, Mesir, Argentina, Thailand, dan Afrika Selatan.

0 2E+10 4E+10 6E+10 8E+10 1E+11 1.2E+11 1.4E+11 GDP   Riil   Pertanian   (US$) Tahun AS UK Kanada Jepang Korea Selatan Australia Selandia Baru Spanyol Italia Perancis

Sumber: World Development Indicator, diolah

Gambar 4.2. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Pertanian Negara Maju, 1980-2008

Berdasarkan Gambar 4.2, periode 1980 hingga 2008 perkembangan GDP pertanian negara-negara maju dalam sampel cenderung mengalami peningkatan terutama Amerika Serikat. Pada tahun 1980 GDP pertanian Amerika Serikat


(41)

sebesar 120,9 miliar US$ sehingga telah terjadi peningkatan pertumbuhan sektor pertanian sebesar 266,1 persen. Sedangkan GDP pertanian Jepang cenderung mengalami penurunan. GDP pertanian Jepang terbesar yaitu pada tahun 1987 sebesar 90,95 miliar US$ dan pada tahun 2008 sebesar 83,07 miliar US$ sehingga telah terjadi penurunan pertumbuhan sektor pertanian sebesar 8,2 persen. Besaran GDP pertanian rata-rata per tahun yang dihasilkan negara maju dalam sampel pada periode 1980 hingga 2008 bila diurutkan dari yang terbesar ke terkecil yaitu Amerika Serikat, jepang, Perancis, Italia, Korea Selatan, Spanyol, Kanada, United Kingdom, Australia, dan Selandia Baru.

4.2. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Industri Negara Berkembang dan Maju Periode 1980-2008

Berdasarkan Gambar 4.3, periode 1980 hingga 2008 perkembangan GDP industri negara-negara berkembang dalam sampel cenderung mengalami peningkatan terutama Cina. Pada tahun 1980 GDP industri Cina sebesar 62,33 miliar US$ dan pada tahun 2008 GDP industri Cina sebesar 1318,7 miliar US$ sehingga telah terjadi peningkatan GDP industri sebesar 2115,65 persen. Sedangkan untuk Indonesia dan Thailand pada tahun 1998 mengalami penurunan GDP industri akibat krisis moneter yang dialami kedua negara. Pada tahun 1997 GDP industri Indonesia sebesar 81,57 miliar US$ dan pada tahun 1998 GDP industri Indonesia sebesar 70,19 miliar US$ sehingga telah terjadi penurunan pertumbuhan sektor industri sebesar 13,95 persen. Pada tahun 1997 GDP industri Thailand sebesar 51,33 miliar US$ dan pada tahun 1998 GDP industri Thailand sebesar 44,66 miliar US$ sehingga telah terjadi penurunan pertumbuhan sektor industri sebesar 13 persen. Memasuki tahun 1999, GDP industri Indonesia dan


(42)

Thailand sudah mulai stabil dan cenderung mengalami peningkatan. Besaran GDP industri rata-rata per tahun yang dihasilkan negara berkembang dalam sampel pada periode 1980 hingga 2008 bila diurutkan dari yang terbesar ke terkecil yaitu Cina, Brasil, Meksiko, India, Turki, Indonesia, Argentina, Thailand, Afrika Selatan, dan Mesir.

0 2E+11 4E+11 6E+11 8E+11 1E+12 1.2E+12 1.4E+12 GDP   Riil   Industri   (US$) Tahun Indonesia Thailand Cina India Brasil Argentina Meksiko Mesir Afrika Selatan Turki

Sumber: World Development Indicator, diolah

Gambar 4.3. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Industri Negara Berkembang, 1980-2008

Berdasarkan Gambar 4.4, periode 1980 hingga 2008 perkembangan GDP industri negara-negara maju dalam sampel cenderung mengalami peningkatan terutama Amerika Serikat dan Jepang. Pada tahun 1980 GDP industri Amerika Serikat sebesar 1285,4 miliar US$ dan pada tahun 2008 GDP industri Amerika Serikat sebesar 2245,8 miliar US$ sehingga telah terjadi peningkatan pertumbuhan sektor industri sebesar 74,7 persen. Pada tahun 1980 GDP industri Jepang sebesar 1032,22 miliar US$ dan pada tahun 2008 GDP industri Jepang sebesar 1616,43 miliar US$ sehingga telah terjadi peningkatan pertumbuhan sektor industri sebesar 56,5 persen. Besaran GDP industri rata-rata per tahunyang


(43)

dihasilkan negara maju dalam sampel pada periode 1980 hingga 2008 bila diurutkan dari yang terbesar ke terkecil yaitu Amerika Serikat, jepang, United Kingdom, Italia, Perancis, Kanada, Spanyol, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. 0 5E+11 1E+12 1.5E+12 2E+12 2.5E+12 GDP   Riil   Industri   (US$) Tahun AS UK Kanada Jepang Korea Selatan Australia Selandia Baru Spanyol Italia Perancis

Sumber: World Development Indicator, diolah

Gambar 4.4. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Industri Negara Maju, 1980-2008

4.3. Perkembangan Emisi Gas Rumah Kaca di Negara Berkembang dan Maju Periode 1980-2008

4.3.1. Perkembangan Emisi Karbondioksida (CO2) di Negara Berkembang dan Maju Periode 1980-2008

Berdasarkan Gambar 4.5, periode 1980 hingga 2008 perkembangan emisi CO2 negara-negara berkembang dalam sampel cenderung mengalami peningkatan

terutama Cina dan India. Pada tahun 1980 emisi CO2 Cina sebesar 1467192,4

kilotonne dan pada tahun 2008 emisi CO2 Cina sebesar 7031916,2 kilotonne

sehingga telah terjadi peningkatan pertumbuhan emisi CO2 sebesar 479,28 persen.


(44)

2008 emisi CO2 India sebesar 1742697,7 kilotonne sehingga telah terjadi

peningkatan pertumbuhan emisi CO2 sebesar 499,9 persen. Besaran emisi CO2

rata-rata per tahunyang dihasilkan negara berkembang dalam sampel pada periode 1980 hingga 2008 bila diurutkan dari yang terbesar ke terkecil yaitu Cina, India, Meksiko, Afrika Selatan, Brasil, Indonesia, Turki, Thailand, Argentina, dan Mesir.

0 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000 7000000 8000000

CO2

 

(kilotonne)

Tahun

Indonesia Thailand Cina India Brasil Argentina Meksiko Mesir Afrika Selatan Turki

Sumber: World Development Indicator, diolah

Gambar 4.5. Perkembangan Emisi Karbondioksida di Negara Berkembang, 1980-2008

Berdasarkan Gambar 4.6, periode 1980 hingga 2008 perkembangan emisi CO2 negara-negara maju dalam sampel cenderung mengalami peningkatan

terutama Amerika Serikat. Pada tahun 1980 emisi CO2 Amerika Serikat sebesar

4721170,8 kilotonne dan pada tahun 2008 emisi CO2 Amerika Serikat sebesar

5461013,2 kilotonne sehingga telah terjadi peningkatan pertumbuhan emisi CO2


(45)

0 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000

CO2

 

(kilotonne)

Tahun

AS UK Kanada Jepang Korea Selatan Australia Selandia Baru Spanyol Italia Perancis

Sumber: World Development Indicator, diolah

Gambar 4.6. Perkembangan Emisi Karbondioksida di Negara Maju, 1980-2008

Sedangkan United Kingdom dan Perancis cenderung mengalami penurunan, pada tahun 1980 emisi CO2 United Kingdom dan Perancis

berturut-turut sebesar 579290,7 kilotonnne dan 505363,9 kilotonnne dan pada tahun 2008 emisi CO2 United Kingdom dan Perancis berturut-turut sebesar 522855,5

kilotonne dan 376985,9 kilotonnne sehingga telah terjadi penurunan pertumbuhan emisi CO2 sebesar 9,7 persen dan 25,4 persen. Besaran emisi CO2 rata-rata per

tahunyang dihasilkan negara maju dalam sampel pada periode 1980 hingga 2008 bila diurutkan dari yang terbesar ke terkecil yaitu Amerika Serikat, Jepang, United Kingdom, Kanada, Korea Selatan, Italia, Perancis, Australia, Selandia Baru, dan Spanyol.


(46)

4.3.2. Perkembangan Emisi Nitrogen Oksida (N2O) di Negara Berkembang dan Maju Periode 1980-2008

Berdasarkan Gambar 4.7, periode 1980 hingga 2008 perkembangan emisi N2O negara-negara berkembang dalam sampel cenderung mengalami peningkatan

terutama Cina dan India. Pada tahun 1980 emisi N2O Cina sebesar 765,11

kilotonne dan pada tahun 2008 emisi N2O Cina sebesar 1764,38 kilotonne

sehingga telah terjadi peningkatan pertumbuhan emisi N2Osebesar 230,6 persen.

Pada tahun 1980 emisi N2O India sebesar 370,32 kilotonne dan pada tahun 2008

emisi N2O India sebesar 763,55 kilotonne sehingga telah terjadi peningkatan

pertumbuhan emisi N2O sebesar 206,2 persen. Besaran emisi N2O rata-rata per

tahun yang dihasilkan negara berkembang dalam sampel pada periode 1980 hingga 2008 bila diurutkan dari yang terbesar ke terkecil yaitu Cina, India, Brasil, Indonesia, Meksiko, Argentina, Turki, Afrika Selatan, Mesir, dan Thailand.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008

N2O   (kilotonne) Tahun Indonesia Thailand Cina India Brasil Argentina Meksiko Mesir Afrika Selatan Turki

Sumber: EDGAR, diolah

Gambar 4.7. Perkembangan Emisi Nitrogen Oksida di Negara Berkembang, 1980-2008


(47)

Berdasarkan Gambar 4.8, periode 1980 hingga 2008 perkembangan emisi N2O negara-negara maju dalam sampel memiliki kecenderungan yang menurun

kecuali Korea Selatan. Periode 2002 hingga 2008 perkembangan emisi N2O

Korea Selatan memiliki kecenderungan yang sangat meningkat mencapai 1843,24 kilotonne pada tahun 2005. Amerika Serikat sebagai penghasil rata-rata emisi N2O

terbesar periode 1980 hingga 2008 diantara negara-negara maju lainnya dalam sampel, pada tahun 1980 merupakan tahun dimana Amerika Serikat menghasilkan emisi N2Oterbesar yaitu sebesar 1215,22 kilotonne. Besaran rata-rata emisi N2O

per tahunyang dihasilkan negara maju dalam sampel pada periode 1980 hingga 2008 bila diurutkan dari yang terbesar ke terkecil yaitu Amerika Serikat, Korea Selatan , Australia, Perancis, Kanada, United Kingdom, Jepang, Italia, Spanyol, dan Selandia Baru.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008

N2O   (kilotonne) Tahun AS UK Kanada Jepang Korea Selatan Australia Selandia Baru Spanyol Italia Perancis

Sumber: EDGAR, diolah

Gambar 4.8. Perkembangan Emisi Nitrogen Oksida di Negara Maju, 1980-2008


(48)

4.3.3. Perkembangan Emisi Metana (CH4) di Negara Berkembang dan Maju Periode 1980-2008

Berdasarkan Gambar 4.9, periode 1980 hingga 2008 perkembangan emisi CH4 negara-negara berkembang dalam sampel cenderung mengalami peningkatan

terutama Cina dan India. Pada tahun 1980 emisi CH4 Cina sebesar 41387,4

kilotonne dan pada tahun 2008 emisi CH4 Cina sebesar 73200,9 kilotonne

sehingga telah terjadi peningkatan pertumbuhan emisi N2O sebesar 76,9 persen.

Pada tahun 1980 emisi CH4 India sebesar 21168 kilotonne dan pada tahun 2008

emisi CH4 India sebesar 28874,5 kilotonne sehingga telah terjadi peningkatan

pertumbuhan emisi CH4 sebesar 36,4 persen. Besaran emisi CH4 rata-rata per

tahun yang dihasilkan negara berkembang dalam sampel pada periode 1980 hingga 2008 bila diurutkan dari yang terbesar ke terkecil yaitu Cina, India, Brasil, Indonesia, Meksiko, Argentina, Thailand, Turki, Afrika Selatan, dan Mesir.

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 80000

1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008

CH4   (kilotonne) Tahun Indonesia Thailand Cina India Brasil Argentina Meksiko Mesir Afrika Selatan Turki

Sumber: EDGAR, diolah

Gambar 4.9. Perkembangan Emisi Metana di Negara Berkembang, 1980-2008


(49)

Berdasarkan Gambar 4.10, periode 1980 hingga 2008 perkembangan emisi CH4 negara-negara maju dalam sampel cenderung berfluktuasi. Selama periode

1980 hingga 2008, Amerika Serikat sebagai penyumbang emisi CH4 terbesar

diantara negara-negara maju dalam sampel. Tahun 1990 merupakan tahun dimana Amerika Serikat menghasilkan emisi CH4 terbesar yaitu sebesar 30363,6

kilotonne. Besaran rata-rata emisi CH4 per tahun yang dihasilkan negara maju

dalam sampel pada periode 1980 hingga 2008 bila diurutkan dari yang terbesar ke yang terkecil yaitu Amerika Serikat, Australia, United Kingdom, Kanada, Perancis, Jepang, Italia, Spanyol, Selandia Baru, dan Korea Selatan.

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000

1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008

CH4

 

(kilotonne)

Tahun

AS UK Kanada Jepang Korea Selatan Australia Selandia Baru Spanyol Italia Perancis

Sumber: EDGAR, diolah


(50)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Estimasi Fungsi Dampak Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Pertanian dan Industri Terhadap Emisi Gas Rumah Kaca

Dalam penelitian ini berusaha untuk menganalisis 6 buah model regresi yang didapat tentang kualitas lingkungan ditinjau dari emisi gas rumah kaca yaitu CO2, N2O, dan CH4.

Tabel 5.1. Hasil Estimasi dengan Fixed Effect (cross section SUR) Sektor

Ekonomi

Variabel Dependen

Variabel

Independen Koefisien Std. Error t-Statistik

Turning Point (miliar US$) Sektor Pertanian CO2

GDPP 0.669943 0.104504 6.410682

-

GDPP2 9.19E-05 9.99E-07 92.05541

C 482334.6 2891.146 166.8316

N2O

GDPP 0.003961 5.35E-05 73.98600

-

GDPP2 4.05E-09 3.90E-10 10.37394

C 157.8713 1.425229 110.7690

CH4

GDPP -0.035092 0.000672 -52.20475

31.1

GDPP2 5.64E-07 5.95E-09 94.75305

C 8777.112 19.15967 458.1035

Sektor Industri

CO2

GDPI 4.959568 0.009292 533.7378

2250

GDPI2 -1.10E-06 5.11E-09 -216.0724

C -313656.6 2317.000 -135.3719

N2O GDPI 0.000470 1.62E-06 290.6054 -

C 169.1472 0.454451 372.2009

CH4

GDPI 0.028428 0.000142 200.6526

1600

GDPI2 -8.86E-09 5.30E-11 -167.0856

C 3763.894 27.69002 135.9296

Sumber: Lampiran 11-16

Berdasarkan hasil estimasi regresi pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian terhadap emisi gas rumah kaca, maka diperoleh persamaan regresi kuadratik sebagai berikut:

CO2 = 482334.6 + 0.669943GDPP + 9.19e-05GDPP2 ... (1)

N2O = 157.8713 + 0.003961GDPP + 4.05e-09GDPP2 ... (2)


(51)

Berdasarkan hasil estimasi regresi pertumbuhan ekonomi di sektor industri terhadap emisi gas rumah kaca, maka diperoleh persamaan regresi linear dan kuadratik sebagai berikut:

CO2 = -313656.6 + 4.959568GDPI - 1.10e-06GDPI2 ... (4)

N2O = 169.1472 + 0.000470GDPI ... (5)

CH4 = 3763.894 + 0.028428GDPI - 8.86e-09GDPI2 ... (6)

dimana:

CO2 = karbondioksida (kilotonne)

N2O = nitrogen oksida (kilotonne)

CH4 = metana (kilotonne)

GDPP = Pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian (US$) GDPI = Pertumbuhan ekonomi di sektor industri (US$)

5.2. Kriteria Statistik

5.2.1. Uji Signifikansi Simultan (Uji f)

Berdasarkan Tabel 5.2, nilai probabilitas F statistik pada delapan persamaan regresi untuk variabel dependen karbondioksida, nitrogen oksida, dan metana, masing-masing persamaan memiliki nilai 0.0000. Mengacu pada probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0.0000 yang lebih kecil pada taraf nyata lima persen, maka seluruh persamaan ini lulus uji-F. Nilai ini menandakan bahwa minimal ada satu parameter dugaan yang tidak nol dan berpengaruh nyata terhadap keragaman variabel dependennya (karbondioksida, nitrogen oksida, dan metana) pada taraf nyata lima persen.


(52)

Tabel 5.2. Nilai Probabilitas t-statistic, Probabilitas F-statistic, dan Adjusted R-square Sektor Ekonomi Variabel Dependen Variabel Independen Prob. t-statistic Prob. F-statistic Adjusted R-square Sektor Pertanian CO2 GDPP 0.0000 0.000000 0.998893

GDPP2 0.0000

C 0.0000 N2O

GDPP 0.0000

0.000000 0.996823

GDPP2 0.0000

C 0.0000 CH4

GDPP 0.0000

0.000000 0.999663

GDPP2 0.0000

C 0.0000 Sektor Industri CO2 GDPI 0.0000 0.000000 0.999602

GDPI2 0.0000

C 0.0000

N2O GDPI 0.0000 0.000000 0.999542

C 0.0000 CH4

GDPI 0.0000

0.000000 0.999616

GDPI2 0.0000

C 0.0000

Sumber: Lampiran 11-16

5.2.2. Uji Koefisien Regresi Secara Individual (Uji t)

Uji-t statisik digunakan untuk mengetahui apakah koefisien masing-masing variabel independen secara individu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependennya. Berdasarkan Tabel 5.2, nilai statistik uji-t menunjukkan bahwa seluruh variabel independen pada delapan persamaan tersebut berpengaruh secara nyata dan signifikan terhadap variabel dependennya pada tingkat kepercayaan lima persen.

5.2.3. Koefisien Determinasi (Adjusted R-squared)

Berdasarkan Tabel 5.2, persamaan kuadratik hubungan emisi karbondioksida (CO2), nitrogen oksida (N2O), dan metana (CH4) dengan pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian tersebut (GDPP dan GDPP2) memiliki


(53)

variabel penjelas (Adjusted R-squared) berturut-turut sebesar 99.89, 99.68, dan 99.97 persen. Artinya yaitu variasi variabel dependen dari persamaan kuadratik emisi CO2, N2O, dan CH4 dapat dijelaskan oleh variabel independen pada

masing-masing persamaan berturut-turut sebesar 99.89, 99.68, dan 99.97 persen.

Sedangkan, persamaan linear dan kuadratik hubungan emisi karbondioksida (CO2), nitrogen oksida (N2O), dan metana (CH4) dengan

pertumbuhan ekonomi di sektor industri tersebut (GDPI dan GDPI2) memiliki variabel penjelas (Adjusted R-squared) berturut-turut sebesar 99.96, 99.95, dan 99.96 persen. Artinya yaitu variasi variabel dependen dari persamaan emisi CO2, N2O, dan CH4 dapat dijelaskan oleh variabel independen di dalam persamaan berturut-turut sebesar 99.96, 99.95, dan 99.96 persen.

5.3. Kriteria Ekonometrika 5.3.1. Uji Autokorelasi

Pengujian asumsi autokorelasi dapat dilakukan dengan melihat angka Durbin Watson pada tabel hasil regresi, kemudian disesuaikan dengan tabel DW (Tabel 3.2). Berdasarkan Tabel 5.3, hasil regresi tiga persamaan kuadratik dengan variabel dependen yaitu karbondioksida (CO2), nitrogen oksida (N2O), dan

metana (CH4) dan variabel independen pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian

(GDPP dan GDPP2) menunjukkan nilai DW berturut-turut sebesar 1.788580, 1.876952, dan 1.800434. Jika disesuaikan dengan tabel DW, angka tersebut masuk dalam kategori tidak terdapat autokorelasi. Sedangkan, hasil regresi tiga persamaan dengan variabel dependen yaitu karbondioksida (CO2), nitrogen oksida

(N2O), dan metana (CH4) dan variabel independen pertumbuhan ekonomi di


(54)

1.762220, 1.827206, dan 1.721550. Jika disesuaikan dengan tabel DW, angka tersebut masuk dalam kategori tidak terdapat autokorelasi.

Tabel 5.3. Nilai DW-statistic dan Probabilitas Jarque Bera

Sektor Ekonomi Variabel

Dependen

Variabel

Independen DW-statistic

Prob. Jarque Bera Sektor Pertanian CO2 GDPP 1.788580 0.901770 GDPP2 C N2O GDPP 1.876952 0.000036 GDPP2 C CH4 GDPP 1.800434 0.000028 GDPP2 C Sektor Industri CO2 GDPI 1.762220 0.910426 GDPI2 C

N2O GDPI 1.827206 0.131748

C CH4 GDPI 1.721550 0.000001 GDPI2 C

Sumber: Lampiran 11-16 dan Lampiran 23-27.

5.3.2. Uji Heteroskedastisitas

Berdasarkan Lampiran 17 sampai 23, kesimpulan yang diperoleh adalah regresi model tidak mengalami gejala heteroskedastisitas. Kesimpulan ini didapat dari karakterisitik plot grafik pada seluruh persamaan yang membentuk pola horizontal atau konstan beraturan yang menandakan regresi model sudah memenuhi asumsi homoskedastisitas.

5.3.3 Uji Normalitas

Untuk menguji kenormalan digunakan Jarque-Bera Test. Berdasarkan Tabel 5.3, hasil uji normalitas tiga persamaan kuadratik dengan variabel dependen yaitu karbondioksida (CO ), nitrogen oksida (N O), dan metana (CH ) dan


(55)

variabel independen pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian (GDPP dan GDPP2) menunjukkan bahwa probabilitas jarque bera berturut-turut sebesar 0.90170, 0.000036, dan 0.000028 sehingga dapat disimpulkan bahwa residual (error terms) terdistribusi normal pada persamaan regresi dengan variabel dependen karbondioksida (CO2), sedangkan persamaan regresi pada variabel

dependen nitrogen oksida (N2O) dan metana (CH4) memiliki residual (error terms)

tidak terdistribusi normal ditandai dengan nilai probabilitas jarque bera kurang dari taraf nyata lima persen. Untuk permasalahan asumsi normalitas pada model bisa diabaikan, karena tidak mempengaruhi parameter pendugaan pada model.

Berdasarkan Tabel 5.3, hasil uji normalitas tiga persamaan linear dan kuadratik dengan variabel dependen yaitu karbondioksida (CO2), nitrogen oksida

(N2O), dan metana (CH4) dan variabel independen pertumbuhan ekonomi di

sektor industri (GDPI dan GDPI2) menunjukkan bahwa probabilitas jarque bera berturut-turut sebesar 0.910426, 0.131748, dan 0.000001 sehingga dapat disimpulkan bahwa residual (error terms) terdistribusi normal pada persamaan regresi dengan variabel dependen karbondioksida (CO2) dan nitrogen oksida

(N2O), sedangkan persamaan regresi pada variabel dependen metana (CH4)

memiliki residual (error terms) tidak terdistribusi normal ditandai dengan nilai probabilitas jarque bera kurang dari taraf nyata lima persen. Untuk permasalahan asumsi normalitas pada model bisa diabaikan, karena tidak mempengaruhi parameter pendugaan pada model.


(56)

5.4. Kriteria Ekonomi

Tabel 5.4 menunjukkan perbandingan pengaruh pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian dan industri negara-negara berkembang dan maju terhadap emisi gas rumah kaca. Berdasarkan Tabel 5.4, emisi karbondioksida disumbang sebagian besar oleh sektor industri sedangkan emisi nitrogen oksida dan metana disumbangkan sama rata oleh sektor industri maupun sektor pertanian.

Tabel 5.4. Nilai Cross Section Effects Hasil Estimasi dengan Fixed Effect (cross section SUR)

Cross Section

Effect

Sektor Pertanian Sektor Industri

CO2 N2O CH4 CO2 N2O CH4

Indonesia -333548 165.63 4916.20 238569 220.27 7776.55

Thailand -346500 -138.33 -4354.39 267876 -128.45 -763.36

Cina 426210 365.15 32986.81 1893880 853.80 37692.19

India -332198 72.72 15242.33 787255 386.67 19107.49

Brasil -312779 273.79 8225.90 -116598 307.71 8805.52

Argentina -373575 -73.03 -3754.96 104419 -69.83 -1004.13

Meksiko -180885 -103.35 -3453.00 107641 -85.84 -2099.51

Mesir -402561 -144.61 -6876.01 300220 -113.33 -2911.32

Afrika Selatan -136529 -95.21 -6037.39 478469 -109.88 -2197.09

Turki -383472 -158.73 -5843.77 189955 -99.60 -3019.90

AS 3854522 604.41 17901.20 220077 121.69 2811.65

UK 51514 -48.71 -3687.08 -597402 -159.95 -7173.62

Kanada -37832 -51.69 -3981.51 -85913 -93.15 -4254.18

Jepang -42766 -401.19 -6905.40 -3305760 -716.90 -23058.89

Korea Selatan -211034 235.29 -6812.45 -10439 242.04 -5924.23

Australia -198199 5.24 -2932.95 199783 -4.20 -585.86

Selandia Baru -458950 -135.81 -7364.95 284244 -138.09 -2794.20

Spanyol -267105 -146.77 -6766.65 -59375 -146.30 -5775.81

Italia -129736 -158.49 -6147.70 -447944 -192.04 -8262.83

Perancis -184569 -66.28 -4354.17 -448958 -74.61 -6368.40

Sumber: Lampiran 11-16

5.4.1. Dampak Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Pertanian Negara Berkembang dan Maju terhadap Emisi Karbondioksida

Berdasarkan model dan analisis data yang didapat, adanya hubungan yang tidak signifikan dengan model Environmental Kuznets Curve (EKC) antara emisi CO2 dengan pendapatan di sektor pertanian. Model regresi kuadratik:


(1)

Lampiran 23. Uji Normalitas Model Hasil Estimasi Regresi Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Emisi Karbondioksida (CO2)

0 10 20 30 40 50 60 70

-3 -2 -1 0 1 2 3

Series: Standardized Residuals Sample 1980 2008

Observations 580 Mean -1.69e-15 Median 0.010589 Maximum 3.043328 Minimum -2.784323 Std. Dev. 0.999224 Skewness -0.028901 Kurtosis 3.072221 Jarque-Bera 0.206792 Probability 0.901770

Lampiran 24. Uji Normalitas Model Hasil Estimasi Regresi Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Emisi Nitrogen Oksida (N2O)

0 10 20 30 40 50 60 70

-3 -2 -1 0 1 2 3 4

Series: Standardized Residuals Sample 1980 2008

Observations 580 Mean 4.14e-16 Median -0.045276 Maximum 3.989819 Minimum -3.001102 Std. Dev. 0.998867 Skewness 0.287260 Kurtosis 3.718223 Jarque-Bera 20.44298 Probability 0.000036


(2)

95 

 

   

Lampiran 25. Uji Normalitas Model Hasil Estimasi Regresi Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Emisi Metana (CH4)

0 10 20 30 40 50 60 70 80

-3.75 -2.50 -1.25 0.00 1.25 2.50 3.75

Series: Standardized Residuals Sample 1980 2008

Observations 580 Mean 7.40e-16 Median 0.077969 Maximum 4.187589 Minimum -4.155017 Std. Dev. 1.000372 Skewness 0.047687 Kurtosis 3.926985 Jarque-Bera 20.98628 Probability 0.000028

Lampiran 26. Uji Normalitas Model Hasil Estimasi Regresi Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Industri terhadap Emisi karbondioksida (CO2)

0 10 20 30 40 50 60 70

-3 -2 -1 0 1 2

Series: Standardized Residuals Sample 1980 2008

Observations 580 Mean 2.25e-15 Median 0.021543 Maximum 2.694900 Minimum -3.379948 Std. Dev. 1.000517 Skewness -0.022675 Kurtosis 3.075562 Jarque-Bera 0.187685 Probability 0.910426


(3)

Lampiran 27. Uji Normalitas Model Hasil Estimasi Regresi Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Industri terhadap Emisi Nitrogen Oksida (N2O)

0 10 20 30 40 50 60 70

-3 -2 -1 0 1 2 3 4

Series: Standardized Residuals Sample 1980 2008

Observations 580 Mean 1.75e-16 Median 0.001413 Maximum 3.963077 Minimum -3.654263 Std. Dev. 1.000824 Skewness 0.037371 Kurtosis 3.402684 Jarque-Bera 4.053723 Probability 0.131748

Lampiran 28. Uji Normalitas Model Hasil Estimasi Regresi Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Industri terhadap Emisi Metana (CH4)

0 10 20 30 40 50 60 70

-2 -1 0 1 2 3 4

Series: Standardized Residuals Sample 1980 2008

Observations 580 Mean 9.26e-16 Median -0.070142 Maximum 4.173622 Minimum -2.666002 Std. Dev. 0.999829 Skewness 0.419770 Kurtosis 3.658591 Jarque-Bera 27.51543 Probability 0.000001


(4)

97 

 

   

Lampiran 29. Hasil Uji Beda (Uji-t) Emisi CO2 Pada Negara berkembang

dan Negara Maju

Difference = mu (CO2 Negara Berkembang) - mu (CO2 Negara Maju) Estimate for difference: -299849

95% CI for difference: (-505613; -94084)

T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2,86 P-Value = 0,004 DF = 578

Both use Pooled StDev = 1261526,3235

Lampiran 30. Hasil Uji Beda (Uji-t) Emisi N2O Pada Negara berkembang

dan Negara Maju

Difference = mu (N2O Negara Berkembang) - mu (N2O Negara Maju) Estimate for difference: 68,7476

95% CI for difference: (5,9547; 131,5406)

T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2,15 P-Value = 0,032 DF = 578

Both use Pooled StDev = 384,9783

Lampiran 31. Hasil Uji Beda (Uji-t) Emisi CH4 Pada Negara berkembang

dan Negara Maju

Difference = mu (CH4 Negara Berkembang) - mu (CH4 Negara Maju) Estimate for difference: 7004,00

95% CI for difference: (5050,93; 8957,06)

T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 7,04 P-Value = 0,000 DF = 578


(5)

GURUH HERMAN WAS’AN. Dampak Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Pertanian dan Industri terhadap Degradasi Lingkungan (Studi Kasus: Negara

Berkembang dan Maju) (dibimbing oleh WIDYASTUTIK)

Sektor pertanian yang kokoh adalah syarat perlu (necessary condition)

bagi keberhasilan transformasi struktural perekonomian menuju ke industrialisasi terutama pada negara berkembang. Sedangkan untuk negara maju menganggap sektor industri merupakan motor penggerak bagi pertumbuhan perekonomian karena mampu memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor lain seperti pertanian (Priyarsono, 2011). Namun, hal yang sering terlupakan dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian dari beberapa sektor tersebut, nilai lingkungan hidup tidak diperhitungkan dalam perencanaan pembangunan. Akibatnya, pada tahun-tahun belakangan ini, terjadi peningkatan konsentrasi polutan atmosfir global yaitu emisi gas rumah kaca. Terkait dengan hal tersebut, sejumlah penelitian telah menganalisis hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan dan berbagai hasil telah diperoleh, termasuk dalam beberapa kasus bukti dari hubungan terbalik-U yang dikenal dengan konsep

Environmental Kuznets Curve (EKC) yang diciptakan oleh Kuznets.

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis dampak pertumbuhan ekonomi di sektor industri dan pertanian terhadap kualitas lingkungan hidup yang diukur dengan emisi gas rumah kaca di negara berkembang dan negara maju. Dalam menganalisis dampak tersebut menggunakan pendekatan model

Environmental Kuznets Curve (EKC) atau bentuk kurva yang didapat.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

diperoleh dari World Development Indicator (WDI) dan Emission Database for

Global Atmospheric Research (EDGAR). Data sekunder yang diperoleh berupa data GDP riil pertanian, GDP riil industri, dan emisi gas rumah kaca (karbondioksida, metana, dan nitrogen oksida) yang meliputi data kuantitatif tahunan pada rentang waktu antara tahun 1980-2008 dari negara-negara berkembang dan maju. Negara-negara berkembang yang dimaksud adalah 10 negara berkembang yaitu Indonesia, Thailand, Cina, India, Brasil, Argentina, Meksiko, Mesir, Afrika Selatan, dan Turki. Sedangkan untuk negara-negara maju yang dimaksud adalah 10 negara maju yaitu Amerika Serikat, United Kingdom, Kanada, Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, Spanyol, Italia, dan Perancis.

Metode analisis yang digunakan adalah panel data dengan pendekatan

Fixed Effect dengan pembobotan Cross section SUR. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan yang membentuk model

Environmental Kuznets Curve (EKC) antara emisi CO2 dan CH4 dengan pertumbuhan ekonomi di sektor industri dan adanya hubungan yang tidak


(6)

Pada sektor pertanian, dampak pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian

memiliki increasing effect pada emisi CO2 dan N2O, sedangkan untuk emisi CH4,

dampak pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian memliki diminishing effect

pada emisi CH4 sebelum melewati turning point dan increasing effect pada emisi

CH4 setelah melewati turning point.

Pada sektor industri, dampak pertumbuhan ekonomi di sektor industri

memiliki increasing effect pada emisi CO2 dan CH4 sebelum melewati turning

point dan diminishing effect pada emisi CO2 dan CH4 setelah melewati turning point pada kurva EKC. Sedangkan dampak pertumbuhan ekonomi di sektor industri akan meningkatkan emisi N2O, apabila GDP riil industri meningkat 1

US$ maka akan meningkatkan emisi N2O sebesar 4.70e-10 kilotonne, cateris

paribus.

Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, untuk mengurangi laju emisi gas rumah kaca perlu adanya sanksi khusus bagi negara yang tidak mematuhi

perjanjian lingkungan seperti perjanjian The Kyoto Protocol dan Reducing

Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) serta

diperhitungkannya dampak lingkungan dalam kalkulasi Gross National Product