ISOLASI DAN KARAKTERISASI SENYAWA BIOAKTIF ALKALOID DARI SPONS SEBAGAI ANTIBAKTERI TERHADAP STAPHYLOCOCCUS AUREUS-RESISTEN KLORAMFENIKOL

(1)

ISOLASI DAN KARAKTERISASI SENYAWA BIOAKTIF ALKALOID DARI SPONS SEBAGAI ANTIBAKTERI TERHADAP

STAPHYLOCOCCUS AUREUS-RESISTEN KLORAMFENIKOL

(Skripsi)

Oleh

MIFTAHUR RAHMAN

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(2)

ABSTRACT

ISOLATION AND CHARACTERIZATION OF BIOACTIVE ALKALOID COMPOUND FROM SPONGE AS ANTIBACTERIAL

TO CHLORAMPHENICOL-RESISTANT STAPHYLOCOCCUS AUREUS

By

MIFTAHUR RAHMAN

The study of isolation, characterization, and bioactivity tests of alkaloid compound from sponge have been carried out. Bioactivity test was examined by using chloramphenicol-resistant Staphylococcus aureus. The result of screening toward five types of sponges showed that sponge of Callyspongia sp. has the greatest antibacterial activity. The bioactive metabolite was isolated through several steps chromatography and was purified by Medium Pressure Liquid Chromatography (MPLC) acquired 2 mg (0.001%) of bioactive substance M4T. M4T revealed as an amorphous crystal. Identification using Thin Layer Chromatography (TLC) with Dragendorff’s reagent showed orange spot which indicated as alkaloid compound. The characterization of M4T using UV-Vis spectrophotometer exhibited maximum absorption at a wavelength of 202 nm (transition of n → π *) and 279 nm (transition of π → π *). Interpretation of IR spectrum indicated the presence of hydroxyl functional groups O-H (3441 cm-1, 1057 cm-1), alkane C-H (2924 cm-1, 2854 cm-1), carbonyl C=O (1720 cm-1), alkene C=C (1651 cm-1, 1558 cm-1), and tertiary amines C-N (1381 cm-1, 1249 cm-1). The result of bioactivity test at dose 50 µg showed inhibition zone with a diameter of 14 mm against Staphylococcus aureus which resistant to chloramphenicol. Based on the results, M4T is an alkaloid compound which potential as antibacterial.


(3)

ABSTRAK

ISOLASI DAN KARAKTERISASI SENYAWA BIOAKTIF ALKALOID DARI SPONS SEBAGAI ANTIBAKTERI TERHADAP

STAPHYLOCOCCUS AUREUS-RESISTEN KLORAMFENIKOL

Oleh

MIFTAHUR RAHMAN

Telah dilakukan studi isolasi, karakterisasi, dan uji bioaktivitas senyawa alkaloid dari spons. Uji bioaktivitas dilakukan terhadap bakteri Staphylococcus aureus yang resisten terhadap kloramfenikol. Hasil skrining terhadap lima jenis spons diperoleh bahwa spons Callyspongia sp. memiliki aktivitas antibakteri paling besar. Proses isolasi bioaktif metabolit dilakukan melalui beberapa tahapan kromatografi dan pemurnian menggunakan Medium Pressure Liquid Chromatography (MPLC) diperoleh zat aktif M4T sebanyak 2 mg (0,001%). Senyawa M4T berbentuk kristal amorf. Identifikasi menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan pereaksi Dragendorff, menunjukkan bercak warna jingga yang mengindikasikan golongan alkaloid. Karakterisasi M4T mengggunakan spektrofometer UV-Vis menunjukkan adanya serapan pada panjang gelombang maksimum 202 nm (transisi n → π*) dan 279 nm (transisi π → π*). Hasil interpretasi spektrum IR menunjukkan adanya gugus fungsi hidroksi O-H (3441 cm-1, 1057 cm-1), alkana C-H (2924 cm-1, 2854 cm-1), karbonil C=O (1720 cm-1), alkena C=C (1651 cm-1, 1558 cm-1), dan amina tersier C-N (1381 cm-1, 1249 cm-1). Hasil uji bioaktivitas M4T memberikan zona hambat dengan diameter 14 mm terhadap bakteri Staphylococcus aureus resisten terhadap kloramfenikol pada dosis 50 µg. Berdasarkan data yang diperoleh, M4T merupakan senyawa alkaloid yang memiliki potensi sebagai antibakteri.


(4)

ISOLASI DAN KARAKTERISASI SENYAWA BIOAKTIF ALKALOID DARI SPONS SEBAGAI ANTIBAKTERI TERHADAP

STAPHYLOCOCCUS AUREUS-RESISTEN KLORAMFENIKOL

Oleh

MIFTAHUR RAHMAN

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA SAINS

pada Jurusan Kimia

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Subang Jaya pada tanggal 27 Mei 1993, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari Bapak Dodi Suandi dan Ibu Warsiah. Penulis mulai menempuh

pendidikan di TK Aisyah Bandar Surabaya 1998-1999 dan melanjutkan pendidikan di SD Negeri Subang Jaya hingga tahun 2005. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Seputih Surabaya dan selesai pada tahun 2008. Pada tahun yang sama, penulis

melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Kotagajah dan lulus pada tahun 2011. Pendidikan penulis dilanjutkan di Jurusan Kimis FMIPA Universitas Lampung pada tahun 2011 melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Jalur Undangan sebagai penerima beasiswa Bidikmisi.

Selama menempuh pendidikan di kampus, penulis pernah menjadi asisten praktikum Sains Dasar Jurusan Imu Komputer, Kimia Dalam Kehidupan, dan Kimia Organik I & II jurusan Kimia. Pengalaman organisasi penulis dimulai sejak menjadi Kader Muda Himaki tahun 2011-2012. Penulis pernah menjadi Sekretaris Forum Komunikasi Mahasiswa Bidikmisi Universitas Lampung Angkatan II pada tahun 2011. Penulis juga pernah menjadi anggota Bidang Sains dan Penalaran Ilmu Kimia (SPIK) Himaki FMIPA Unila tahun 2012-2013, anggota Bidang Sosial dan Masyarakat Himaki FMIPA Unila pada tahun


(8)

2013-2014, Sekretaris Dinas Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa BEM FMIPA Unila 2013-2014, Kepala Dinas Penalaran dan Kajian Publik BEM FMIPA Unila 2013-2014, dan Kepala Komisi Kelembagaan DPM FMIPA Unila 2014-2015.


(9)

-PERSEMBAHAN-Dengan Kerendahan hati dan mengharap ridho Allah SWT

kupersembahkan karya sederhana ini untuk:

Ayahanda Dodi Suandi dan Ibunda Warsiah yang selalu

kucinta dan kusayangi

Adik-adikku tersayang penyemangat jiwaku Nurul Latifah dan

Rizal Mukhlisin

Segenap keluarga besarku yang selalu mendoakan keberhasilanku

Dengan rasa hormat kepada Guru-guruku, Khususnya Bapak

Andi Setiawan, Ph. D. yang telah membimbingku

Seluruh sahabat dan teman yang selalu menyemangatiku

Seseorang yang disiapkan Allah SWT untuk menjadi

pelengkap hidupku

Dan Almamater tercinta


(10)

Renungan...

“Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah pengetahuan Allah Maha Meliputi segala

sesuatu.” (Q.S. An-Nisa; 126)

“Tuntutlah ilmu dan belajarlah ketenangan dan kehormatan diri, dan bersikaplah rendah hati kepada orang yang

mengajar kamu. (H.R. Ath-Thabrani)

“Keridhaan semua manusia adalah satu hal yang mustahil untuk dicapai, dan tidak ada jalan untuk terselamatkan dari

lidah mereka. Maka lakukanlah apa yang bermanfaat untuk

dirimu dan berpegangteguhlah denganya.”(Imam Syafi’i)


(11)

SANWACANA

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirobbil alamiin, segala puji hanya bagi Allah SWT, Rabb semesta alam yang telah memberikan nikmat-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ISOLASI DAN KARAKTERISASI SENYAWA BIOAKTIF ALKALOID DARI SPONS SEBAGAI

ANTIBAKTERI TERHADAP STAPHYLOCOCCUS AUREUS-RESISTEN KLORAMFENIKOL”. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang memberikan syafa’atnya kepada seluruh umatnya di dunia dan di akhirat, Aamiin.

Teriring do’a yang tulus, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Andi Setiawan, Ph.D. selaku pembimbing penulis yang telah membimbing, mendidik, dan mengarahkan penulis dengan kesabaran dan kasih sayang yang tulus sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

2. Bapak Mulyono, Ph.D. selaku pembahas I penulis yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan nasihat kepada penulis demi terselesaikannya skripsi ini.


(12)

3. Bapak Prof. Dr. Yandri AS, M.S. selaku pembahas II penulis yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan keikhlasan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Bapak Andi Setiawan, Ph.D. selaku pembimbing akademik penulis yang telah memberikan motivasi, arahan, dan nasihat sehingga penulis dapat menempuh pendidikan dengan baik di Jurusan Kimia FMIPA Unila.

5. Bapak Prof. Suharso, Ph.D. selaku dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

6. Bapak Dr. Eng. Suripto Dwi Yuwono, M.T. selaku Ketua Jurusan Kimia FMIPA Unila.

7. Seluruh Staff Dosen dan karyawan di Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

8. Terimakasih yang tak terhingga untuk yang tercinta Ayahanda Dodi Suandi dan Ibunda Warsiah yang telah membesarkan, merawat, dan mendidik penulis dengan segala cinta, kasih sayang, dan kesabaran yang tulus.

9. Adik-adikku tersayang adinda Nurul Latifah dan Rizal Mukhlisin yang telah memberikan semangat, motivasi, dan keceriaan kepada penulis.

10.Terimakasih juga kepada Eyang, Abah, Uwak, Mamang, Bibi, Kakak-kakak dan Adik-adik keluarga besar yang selalu memberikan semangat dan

dorongan kepada penulis.

11.Sahabat seperjuanganku Wagiran yang telah menemani penulis dalam suka dan duka serta memberikan banyak pelajaran kepada penulis sejak awal perkuliahan hingga selesai.


(13)

12.Lusi Meliyana yang memberikan semangat, nasihat, dan motivasi kepada penulis untuk menjadi lebih baik lagi.

13.Partner penelitian Arik Irawan atas kerjasama dan pembelajaran yang telah diberikan. Juga untuk Ridho Nahrowi S.Si. telah menjadi partner belajar dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

14.Kakak-kakakku semua Mbak Diah Astika W., S.Si., Mbak Yulistia Anggraini, S.Si., Kak Vicky, S.Kel., M.Si., Kak Ari Bowo Selamet, Mbak Lia, Mbak Fajria Faiza, dan Mbak Sifa Kusuma W. yang telah memberikan arahan, wejangan, dan motivasi kepada penulis.

15.Keluargaku tercinta kimia 2011 (Cheven), Ajeng Ayu Miranti, Ana Febrianti W., Anggino Saputra, Aprilia Isma Denila, Arik Irawan, Ari Susanto, Asti Nurul Aini, Ayu Berliana, Ayu Fitriani, Aziez Nur Dwiyansyah, Cindy Moyna Clara L. A., Daniar Febriliani Pratiwi, Dewi Karlina, Dia Tamara, Endah Pratiwi, Eva Dewi N. S., Fatimah Milasari, Fatma Maharani, Febri Windy Asmoro, Frederica Geofanny T. S., Ivan Halomoan, Irkham Bariklana, J. Julianser Nicho, Junaidi Permana, Jelita Siahaan, Jelita Purnamasari S., Lewi Puji Lestari, Lusi Meliyana, Mardian Bagus S., Mega Suci H., Melli Novita W., Melly Antika, Mirfat Salim Abdat, M. Andri Nosya, Yusri Ahmadhani, Nico Mei Chandra, Nira Dwi Puspita, Nopitasari, Pandegani Paratmadja, Ramos Vicher, Ridho Nahrowi, S.Si., Rina Wijayanti, Rio Wicaksono, Sanjaya Yudha G., Umi fadilah, Uswatun Hasanah, Vevi Aristiani, Wagiran, Yulia Ningsih, dan Yunia Hartina yang selalu memberikan keceriaan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Kimia FMIPA Unila.


(14)

17.Rekan-rekan DPM FMIPA 2014-2015 Fahad Almafakir, Dias Putra Pambudi, Faradikha Nitasya, Eko Parias S., dan Putri Rahayu

18.Teman-teman HIMAKI dan seluruh mahasiswa kimia angkatan 2010, 2012, 2013, dan 2014.

19.Kawan-kawan KKN Kebangsaan 2014, Taufik Ramadhan, S.P., Shella Salsabillah, S. Ikom., Daeng Maulana, S.P., Titis Suryaningsih, Risky Kasmaja, Alfis Syahrin, Ali Rido, Junaiddin, Misnawati, Retno Setiowati, Setya Utama, Syaini, dan Zulfa Rofiqa.

20.Personil UPT Laboratorium Terpadu dan Sentra Inovasi Teknologi

Universitas Lampung, Ibu Dra. Nurul Utami, Ibu Dian Septiani, M.Sc., Ibu Rinawatai, Ph.D., Ibu Umi, Bapak Ali, Kak Purna Pirdaus S.Si., Mbak Widyastuti S.Pd.Si., Mbak Putri, Mbak Tri, dan Pak Man.

21.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, penulis memohon maaf kepada semua pihak apabila skripsi ini masih terdapat kesalahan dan kekeliruan, semoga skripsi ini dapat berguna dan

bermanfaat sebagaimana mestinya, Aamiin.

Bandar Lampung, Juni 2015 Penulis


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 4

C. Manfaat Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Spons ... 6

B. Senyawa Metabolit Sekunder pada Spons ... 7

C. Alkaloid ... 8

D. Aktivitas Antibakteri ... 11

E. Resistensi Mikroba ... 12

F. Staphylococcus aureus ... 14

G. Isolasi Senyawa Bioaktif ... 16

1. Ekstraksi ... 16

a. Maserasi ... 16

b. Partisi (ekstraksi cair-cair) ... 17

2. Kromatografi ... 17

a. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ... 18

b. Kromatografi Kolom ... 20

1. Kromatografi kolom fasa normal ... 21

2. Kromatografi kolom fasa terbalik ... 21

c. Medium Pressure Liquid Chromatography (MPLC) ... 21

H. Spektroskopi ... 23

1. Spektroskopi Ultraungu-Tampak (UV-Vis) ... 23

2. Spektroskopi Infrared (IR) ... 24

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 26

A. Waktu dan Tempat ... 26

B. Alat dan Bahan ... 26

C. Prosedur Penelitian... 27

1. Biomaterial ... 27

2. Maserasi ... 27

3. Partisi (ekstrak cair-cair) ... 27


(16)

v

a. Uji resistensi bakteri ... 28

b. Skrining spons aktif antibakteri ... 29

c. Uji aktivitas antibakteri ... 29

5. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ... 30

6. Fraksinasi menggunakan kromatografi kolom ... 30

7. Pemurnian dengan Medium Pressure Liquid Chromatography (MPLC) ... 31

8. Karakterisasi senyawa dengan Spektrofotometer UV-Vis ... 31

9. Karakterisasi senyawa dengan Spektrofotometer Infrared (IR) .... 31

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

A. Uji Resistensi Bakteri ... 33

B. Skrining Spons ... 34

C. Ekstraksi dan Pendeteksian Awal Senyawa Bioaktif ... 36

D. Fraksinasi dan Pemurnian Senyawa Alkaloid ... 40

E. Karakterisasi Senyawa Menggunakan Spektroskopi UV-Vis... 48

F. Karakterisasi Senyawa Menggunakan Spektroskopi Infrared (IR) ... 49

G. Uji Bioaktivitas ... 51

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 53

A. Simpulan ... 53

B. Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Standar zona hambat beberapa antibiotik ... 13

2. Penggolongan kromatografi berdasarkan fase diam dan fase gerak ... 17

3. Perbedaan beberapa teknik kromatografi kolom preparatif ... 22

4. Karakteristik frekuensi uluran beberapa gugus fungsi ... 25

5. Hasil uji resistensi bakteri S. aureus, Proteus sp., dan Pseudomonas sp. terhadap kloramfenikol ... 33

6. Hasil skrining ekstrak spons ... 34

7. Hasil uji bioaktivitas fraksi M1 dan M2 terhadap bakteri S. aureus-resisten kloramfenikol ... 38

8. Interpretasi spektrum IR (bilangan gelombang dan gugus terkait) senyawa M4T. ... 51

9. Hasil uji bioaktivitas senyawa M4T terhadap bakteri resisten kloramfenikol, S.aureus dan E. coli ... 52


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 4

C. Manfaat Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Spons ... 6

B. Senyawa Metabolit Sekunder pada Spons ... 7

C. Alkaloid ... 8

D. Aktivitas Antibakteri ... 11

E. Resistensi Mikroba ... 12

F. Staphylococcus aureus ... 14

G. Isolasi Senyawa Bioaktif ... 16

1. Ekstraksi ... 16

a. Maserasi ... 16

b. Partisi (ekstraksi cair-cair) ... 17

2. Kromatografi ... 17

a. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ... 18

b. Kromatografi Kolom ... 20

1. Kromatografi kolom fasa normal ... 21

2. Kromatografi kolom fasa terbalik ... 21

c. Medium Pressure Liquid Chromatography (MPLC) ... 21

H. Spektroskopi ... 23

1. Spektroskopi Ultraungu-Tampak (UV-Vis) ... 23

2. Spektroskopi Infrared (IR) ... 24

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 26

A. Waktu dan Tempat ... 26

B. Alat dan Bahan ... 26

C. Prosedur Penelitian... 27

1. Biomaterial ... 27

2. Maserasi ... 27

3. Partisi (ekstrak cair-cair) ... 27


(19)

v

a. Uji resistensi bakteri ... 28

b. Skrining spons aktif antibakteri ... 29

c. Uji aktivitas antibakteri ... 29

5. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ... 30

6. Fraksinasi menggunakan kromatografi kolom ... 30

7. Pemurnian dengan Medium Pressure Liquid Chromatography (MPLC) ... 31

8. Karakterisasi senyawa dengan Spektrofotometer UV-Vis ... 31

9. Karakterisasi senyawa dengan Spektrofotometer Infrared (IR) .... 31

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

A. Uji Resistensi Bakteri ... 33

B. Skrining Spons ... 34

C. Ekstraksi dan Pendeteksian Awal Senyawa Bioaktif ... 36

D. Fraksinasi dan Pemurnian Senyawa Alkaloid ... 40

E. Karakterisasi Senyawa Menggunakan Spektroskopi UV-Vis... 48

F. Karakterisasi Senyawa Menggunakan Spektroskopi Infrared (IR) ... 49

G. Uji Bioaktivitas ... 51

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 53

A. Simpulan ... 53

B. Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55


(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Struktur organ spons ... 7

2. Senyawa-senyawa alkaloid yang telah berhasil diisolasi dari spons ... 10

3. Bakteri Staphylococcus aureus ... 15

4. Skema alat MPLC ... 22

5. Spons 0901A03 (Callyspongia sp.) ... 35

6. Partisi spons 0901A03 dengan pelarut etil asetat (a) dan air (b)... 37

7. Hasil uji bioaktivitas fraksi M1 dan M2 terhadap bakteri S. aureus- resisten kloramfenikol. Media Nutrien Agar (NA), (-M1) kontrol negatif M1, (-M2) Kontrol negatif M2, (+) Kontrol positif kloramfenikol 50 µg, (M1) Fraksi air 50 µg, (M2) Fraksi etil asetat 50 µg ... 38

8. Hasil identifikasi KLT fraksi M1 dan M2. Fase diam plat silika dan fase gerak diklorometana-metanol (5:1), (a) M1-Dragendorff, (b) M1-UV, (c) M2-Dragendorff, (d) M2-UV ... 39

9. Kromatogram fraksi M2. Fase diam plat KLT silika dan fase gerak diklorometana 100 %, (a) Pereaksi Dragendorff, (b) Pereakasi serium sulfat, (c) Visualisasi sinar UV 254 nm ... 41

10.Kromatogram fraksi M2F3-M2F6. Fase diam plat KLT silika dan fase gerak n-Heksana-Etanol (7:3), (a) Pereaksi Dragendorff, (b) Pereaksi serium sulfat, (c) Visualisasi sinar UV 254 nm ... 42

11.Kromatogram fraksi M2G. Fase diam plat KLT silika dan fase gerak diklorometana-metanol (20:1) menggunakan pereaksi Dragendorff ... 43

12.Kromatogram fraksi M3F1-M3F4. Fase diam plat KLT silika dan fase gerak diklorometana-metanol (5:1), (a) Pereaksi Dragendorff, (b) Visualisasi sinar UV 254 nm ... 44


(21)

viii

13.Kromatogram fraksi M4F1-M4F4. Fase diam plat KLT silika

dan fase gerak diklorometana-metanol (10:1), (a) Pereaksi Dragendorff,

(b) Pereaksi serium sulfat, (c) Visualisasi sinar UV 254 nm ... 45

14.Kromatogram MPLC fraksi M4F2... 47

15.Spektrum UV-Vis senyawa M4T ... 48

16.Spektrum IR senyawa M4T ... 50

17.Hasil uji bioaktivitas senyawa M4T. (a) S. aureus dan (b) E. coli. Media Nutrien Agar (NA), (-) kontrol negatif etil asetat, (+) Kontrol positif kloramfenikol 50 µg, (M4T) senyawa isolat dengan dosis 25 µg dan 50 µg ... 52


(22)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara maritim dikarenakan banyaknya gugus pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Jumlah pulau di Indonesia mencapai ± 17.508 dengan panjang garis pantainya lebih dari 81.000 km dan luas lautannya sekitar 5,8 juta km2 yang terdiri dari 3,1 juta km2 perairan Nusantara dan 2,7 juta km2 perairan Zona Ekonomi Ekslusif. Bentangan wilayah pesisir dan lautan yang luas serta didukung oleh ekosistem pesisir seperti bakau, terumbu karang (coral reefs) dan padang lamun (sea grass beds) membuat Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia (Dahuri dkk., 1996).

Secara geografis, Indonesia terletak di antara dua benua yaitu Benua Asia dan Australia, serta diapit oleh Samudra Hindia dan Samudra Pasifik (Bengen, 2001). Letak geografis yang strategis ini ditambah dengan iklim yang tropis,

memungkinkan Indonesia memiliki potensi sumber daya laut yang beraneka ragam. Seluruh jumlah terumbu karang Asia, 51% di antaranya dimiliki oleh Indonesia, dan jumlah ini merupakan 18% jumlah terumbu karang di dunia. Indonesia juga diketahui memiliki spons dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dimana ada lebih dari 1.500 jenis spons yang telah teridentifikasi (Harsono, 2001).


(23)

2

Telah banyak senyawa bioaktif yang berhasil diisolasi dari berbagai jenis spons perairan Indonesia. Contohnya senyawa agosterol, suatu MDR (Multi Drug Resistence) modulator, berhasil diisolasi dari Spongia sp. di perairan Lombok (Aoki et al., 1998). Kemudian senyawa lembehynes, senyawa neuritogenik yang diisolasi dari spons Heliclona sp. yang hidup di perairan Teluk Lembeh (Izumi et al., 2006). Selain itu, senyawa disidiamin dan bolinakuinon secara bersamaan diisolasi dari spons Dysidea sp. yang menunjukkan efek neuroprotective terhadap kematian sel yang diinduksi asam iodoasetat (IAA) pada sel neural tikus HT22 hippocampal dengan konsentrasi 10 µM (Suna et al., 2009) dan masih banyak senyawa lainnya yang dimanfaatkan untuk pengembangan sains maupun dalam bidang farmasi.

Joseph dan Sujatha (2010) menyatakan bahwa spons memproduksi golongan senyawa terpenoid, poliketida, steroid, dan alkaloid. Senyawa-senyawa tersebut dilaporkan memiliki aktivitas sebagai antitumor, antijamur, antibakteri, dan lain-lain (Ichiba et al., 1994; Hasan et al., 2004; Arai et al., 2014).

Kajian secara intensif terhadap senyawa metabolit sekunder pada spons banyak difokuskan pada senyawa alkaloid. Beberapa senyawa alkaloid yang telah berhasil diisolasi menunjukkan aktivitas antibakteri. Sebagai contoh, Torres et al. (2002) berhasil mengisolasi haliklosilamin E, arenosklerin A, B, dan C dari spons Arenosklera brasiliensis yang menunjukkan aktivitas antibakteri. Selain itu Arai et al. (2009) mempublikasikan senyawa tetrasiklik alkilpiperidin alkaloid, 22-hidroksihaliklonasiklamin B, bersama dengan dua jenis alkaloid lainnya, yaitu haliklonasiklamin A and B dari spons laut Haliclona sp., perairan Indonesia. Hasil kajian lebih lanjut menunjukkan isolat haliklonasiklamin A and B memiliki


(24)

3

aktivitas antidorman mikrobakterial Mycobacterium smegmatis dan M. bovis. Hasil penelitian terbaru melaporkan bahwa agelas D yang berasal dari spons Agelas juga diketahui sebagai antibakteri (Arai et al., 2014).

Badan kesehatan PBB melaporkan bahwa penyakit yang disebabkan oleh bakteri merupakan penyebab utama kematian di seluruh dunia. Angka kematian yang disebabkan oleh bakteri mencapai 8,6 juta jiwa (WHO, 2014). Hal ini yang menjadi alasan mengapa senyawa yang memiliki aktivitas antibakteri lebih diminati oleh para peneliti di berbagai belahan dunia, terutama senyawa

antibakteri yang berasal dari spons. Senyawa bioaktif yang berasal dari organisme laut ini terbukti memiliki keunikan dalam struktur, selain itu persentase

keaktifannya lebih besar jika dibandingkan dengan senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan darat (Imperatore et al., 2014).

Permasalahan yang dihadapi saat ini yaitu adanya kecenderungan menurunnya efektivitas senyawa antibiotik disebabkan oleh kemampuan bakteri memproduksi enzim yang menjadikan bakteri bersifat resisten (Džidić et al., 2008). Resistensi bakteri terhadap antibiotik ini merupakan salah satu masalah seluruh dunia di negara maju maupun negara berkembang dalam mengembangkan senyawa obat baru (WHO, 2014). Salah satu diantaranya adalah bakteri Staphylococcus aureus dilaporkan memiliki resistensi terhadap antibiotik penisilin sebesar 95,8%, ampisilin 89,6%, tetrasiklin 87,5%, dan kloramfenikol 75,0% (Uwaezuoke and Aririatu, 2004). Bakteri ini dapat menyebabkan infeksi seperti bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranya pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan


(25)

4

nosokomial, keracunan makanan, dan sindrom syok toksik (Ryan, et al., 1994; Warsa, 1994). Namun kajian dalam upaya mencari antibiotik untuk mengatasi resistensi bakteri ini belum begitu intensif.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi masalah resistensi bakteri adalah mendapatkan senyawa dengan struktur baru misalnya senyawa alkaloid haliklosilamin E, arenosklerin A, B, dan C yang diisolasi dari spons Arenosklera brasiliensis menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap bakteri resisten Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, dan beberapa jenis bakteri resisten lainnya (Torres et al., 2002). Selain itu agelasin D, yaitu suatu senyawa diterpen alkaloid dari spons genus Agelas yang mampu menghambat bakteri resisten Mycobacterium tuberculosis (Arai et al., 2009).

Mempertimbangkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini dilakukan upaya mengisolasi dan mengkarakterisasi serta menguji bioaktivitas senyawa alkaloid dari spons terhadap bakteri Staphylococcus aureus yang telah resisten terhadap kloramfenikol. Secara singkat rangkaian penelitian meliputi ekstaksi spons, pemurnian dengan teknik kromatografi, serta karakterisasi struktur menggunakan metode spektroskopi.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi senyawa

alkaloid dari spons, serta menguji bioaktivitas pada bakteri Staphylococcus aureus yang resisten terhadap kloramfenikol.


(26)

5

C. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang potensi senyawa bioaktif yang terkandung dalam spons yang dapat digunakan untuk pengembangan di bidang ilmu kimia, farmasi, dan kedokteran.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Spons

Spons merupakan hewan multi sel dari filum porifera yang fungsi jaringan dan organnya masih sangat sederhana. Hewan ini hidupnya menetap pada suatu habitat pasir, batu-batuan atau pada karang-karang mati di dalam laut. Dalam mendapatkan sumber makanan, hewan ini aktif menghisap dan menyaring air yang melalui seluruh permukaan tubuhnya. Struktur organ spons (Gambar 1) tersusun dari dinding luar berpori (ostia) yang berfungsi menghisap air dan materi-materi kecil di sekelilingnya kemudian disaring oleh sel-sel berbulu cambuk atau sel kolar (choanocytes), kemudian air tersebut dipompakan keluar melalui lubang tengah (oskulum) (Amir dan Budiyanto, 1996). Pada umumnya, spons mampu memompakan air rata-rata sebanyak 10 kali volume tubuhnya dalam waktu 1 menit, sehingga hewan ini dikenal sebagai hewan filter feeder yang paling efisien dibandingkan hewan laut lainnya (Bergquist, 1978).

Spons hidup dengan cara melekat pada habitat daerah berpasir atau bebatuan. Untuk mempertahankan diri dari serangan predator dan infeksi bakteri pathogen, spons mengembangkan sistem biodefense yaitu dengan menghasilkan zat racun dari dalam tubuhnya. Zat ini umumnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan farmasi (Motomasa, 1998).


(28)

7

Gambar 1. Struktur organ spons (Reece et al., 2014).

Menurut Becerro et al. (2003), habitat spons mulai pada kedalaman 2 meter sampai 3.000 meter. Perbedaan kedalaman spons dapat mengakibatkan perbedaan struktur dan komposisi dari spons tersebut. Hal ini disebabkan karena perbedaan intensitas cahaya, densitas dan tingkat adaptasi terhadap lingkungan sekitar (Pawlik, 1999; Burns et al., 2003).

B. Senyawa Metabolit Sekunder pada Spons

Senyawa metabolit sekunder dari beberapa spons terbukti mengandung senyawa-senyawa aktif sebagai lead compound dalam pengembangan obat antibiotik, antikanker, antivirus dan Iain-lain. Hal ini membuktikan bahwa spons sangat potensial dalam pengembangan industri farmasi, mengingat senyawa-senyawa aktif yang dihasilkan mempunyai perbedaan dengan senyawa yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan darat yang selama ini merupakan sumber utama bahan obat-obatan (Murniasih, 2003). Sebagian besar senyawa metabolit sekunder yang ditemukan pada spons merupakan golongan terpenoid, steroid, dan alkaloid.


(29)

8

Terpenoid yang telah berhasil diisolasi dari spons, diantaranya yaitu disidiamin dan bolinakuinon yang secara bersamaan diisolasi dari spons laut Indonesia Dysidea sp. Kedua senyawa tersebut menunjukkan efek neuroprotective terhadap kematian sel yang diinduksi asam iodoasetat (IAA) pada sel neural tikus HT22 hippocampal dengan konsentrasi 10 µM (Suna et al., 2009). Terpenoid dengan aktivitas antibakteri juga berhasil diisolasi oleh Gupta et al. (2012) yaitu clathrimide A dan clathrimide B.

Steroid merupakan golongan senyawa metabolit sekunder yang dapat ditemukan juga pada organisme spons. Aoki et al. (1998) telah berhasil mengisolasi suatu senyawa agosterol A dari spons laut Spongia sp. Senyawa tersebut diketahui sebagai substansi multidrug resistance (MDR) pada sel karsinoma manusia. Penelitian lebih lanjut ditemukan senyawa agosterol B, C, A4, D2, A5 dan C6 dari jenis spons yang sama (Aoki et al., 1999).

C. Alkaloid

Alkaloid merupakan suatu golongan senyawa organik yang bersifat basa dan sebagian besar atom nitrogennya merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Secara umum, senyawa alkaloid di alam mempunyai sifat bioaktivitas, seperti antioksidan dan anti bakteri (Suhanya et al., 2009). Menurut kajian Imperatore et al. (2014) senyawa alkaloid dari biota laut dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu indol, pirol, pirazin, kuinolin, dan piridoakridin.

Senyawa alkaloid merupakan senyawa metabolit yang paling banyak ditemukan pada spons laut. Berbagai jenis senyawa alkaloid telah berhasil diisolasi dari


(30)

9

spons, disajikan pada Gambar 2. Calcul et al. (2003) mengisolasi senyawa alkaloid aaptamin (1) dari spons Aaptos aaptos. Kemudian Aoki et al. (2006) berhasil mengisolasi senyawa yang sama dari spons laut Aaptos subritoides yang diambil di perairan Carita, Jawa Barat.

Alkaloid jenis bromotirosin telah berhasil diisolasi oleh Tilvi et al. (2004) dari spons Psammaplysilla purpurea. Beberapa senyawa yang berhasil diidentifikasi dan diketahui bioaktivitasnya antara lain 16-debromoaplisamin-4 (2), purpuramin I (3), dan purpurealidin B (4) menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri Eschirecia coli, Staphylococcus aureus, dan V. cholera. Senyawa (1) dan (3) juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri Shigella flexineri dan Salmonella typhi. Sedangkan senyawa yang lain yaitu purealidin Q (5) hanya memiliki aktivitas antibakteri terhadap Salmonella typhi.

Arai et al. (2009) melaporkan bahwa telah ditemukan suatu senyawa tetrasiklik alkilpiperidin alkaloid, 22-hidroksihaliklonasiklamin B (6), bersama dengan dua jenis alkaloid lainnya, haliklonasiklamin A (7) and B (8) yang diisolasi dari spons laut Haliclona sp. di perairan Indonesia yang diketahui sebagai antidorman mikrobakterial. Senyawa (2) dan (3) menunjukkan aktivitas yang kuat sebagai antimikrobakterial terhadap Mycrobacterium smegmatis dan M. bovis Bacille de Calmatte et Guérin (BCG), dan penelitian terbaru, Arai et al. (2014).berhasil mengisolasi senyawa antibakteri dari spons laut genus Agelas di perairan Indonesia yaitu agelasin B (9), agelasin C (10), dan agelasin D (11).


(31)

10


(32)

11

D. Aktivitas Antibakteri

Antimikroba meliputi golongan antibakteri, antimikotik, dan antiviral (Ganiswarna, 1995). Antibakteri adalah senyawa yang digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan bakteri yang bersifat merugikan. Pengendalian pertumbuhan mikroorganisme bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit dan infeksi, membasmi mikroorganisme pada inang yang terinfeksi, dan mencegah pembusukan serta perusakan bahan oleh mikroorganisme (Sulistyo, 1971).

Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antimikroba yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik dan ada yang dikenal sebagai aktivitas bakterisid. Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuhnya, masing-masing dikenal sebagai Kadar Hambat Minimal (KHM) dan Kadar Bunuh Minimal (KBM). Antimikroba tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar antimikrobanya ditingkatkan melebihi KHM (Ganiswarna, 1995).

Mekanisme penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri oleh senyawa antibakteri dapat berupa perusakan dinding sel dengan cara menghambat pembentukannya atau mengubahnya setelah selesai terbentuk, perubahan permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan keluarnya bahan makanan dari dalam sel, perubahan molekul protein dan asam nukleat,

penghambatan kerja enzim, dan penghambatan sintesis asam nukleat dan protein. Di bidang farmasi, bahan antibakteri dikenal dengan nama antibiotik, yaitu suatu


(33)

12

substansi kimia yang dihasilkan oleh mikroba dan dapat menghambat pertumbuhan mikroba lain (Pelczar dan Chan, 1988).

Uji aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode disc diffusion test atau uji difusi dalam media agar (Bauer et al., 1966). Metode ini dilakukan dengan

mengukur diameter zona bening (clear zone) yang merupakan petunjuk adanya respon penghambatan pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri dalam ekstrak.

Metode difusi merupakan salah satu metode yang sering digunakan. Metode difusi dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu metode silinder, metode lubang/sumuran dan metode cakram kertas. Metode lubang/sumuran yaitu membuat lubang pada agar padat yang telah diinokulasi dengan bakteri. Jumlah dan letak lubang disesuaikan dengan tujuan penelitian, kemudian lubang diinjeksikan dengan ekstrak yang akan diuji. Setelah dilakukan inkubasi, pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada tidaknya daerah hambatan di sekeliling lubang.

E. Resistensi Mikroba

Resistensi sel mikroba ialah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroba oleh antimikroba. Faktor yang menentukan sifat resistensi atau sensitivitas

mikroba terhadap antimikroba terdapat pada elemen yang bersifat genetik.

Didasarkan pada lokasi elemen untuk resistensi ini, dikenal resistensi kromosomal dan resistensi ekstrakromosomal. Sifat genetik dapat menyebabkan suatu mikroba sejak awal resisten terhadap suatu antimikroba (resistensi alamiah). Contohnya bakteri gram negatif yang resisten terhadap penisilin G (Ganiswarna, 1995).


(34)

13

Mikroba yang semula peka terhadap antimikroba, dapat berubah sifat genetiknya menjadi tidak atau kurang peka. Perubahan sifat genetik terjadi karena bakteri memperoleh elemen genetik yang membawa sifat resisten; keadaan ini dikenal sebagai resistensi didapat (acquired resistance). Elemen resistensi ini dapat diperoleh dari luar dan disebut resistensi yang dipindahkan (transferred

resistance), dapat pula terjadi akibat adanya mutasi genetik spontan atau akibat rangsang antimikroba (induced resistance) (Ganiswarna, 1995).

Untuk mengetahui suatu bakteri telah resisten terhadap antibiotik tertentu, maka dilakukan pengujian menggunakan metode dan standar Baurer et al. (1966). Standar zona hambat beberapa antibiotik yang menunjukkan suatu bakteri bersifat resisten atau sensitif terhadap antibiotik disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Standar zona hambat beberapa antibiotik (Baurer et al., 1966)

Antibiotik Dosis Diameter zona hambat (mm)

Resisten Intermediet Sensitif Ampisilin Kepalostin Kloramfenikol Kolistin Metisilin Neomisin Streptomisin Tetrasiklin Vankomisin

10 µg 30 µg 30 µg 10 µg 5 µg 30 µg 10 µg 30 µg 30 µg

≤ 20 ≤ 14 ≤ 12 ≤ 8 ≤ λ ≤ 12 ≤ 11 ≤ 14 ≤ λ 21-28 15-17 13-17 9-10 10-13 13-16 12-14 15-18 10-11

≥ 29 ≥ 18 ≥ 18 ≥ 11 ≥ 14 ≥ 17 ≥ 15 ≥ 1λ ≥ 12


(35)

14

F. Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat

berdiameter 0,7-1,2 m, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur seperti terlihat pada Gambar 3. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25 ºC). Koloni pada perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol, dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S. aureus yang mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi bakteri (Jawetz et al., 1995).

Sebagian bakteri S. aureus merupakan flora normal pada kulit, saluran pernafasan, dan saluran pencernaan makanan pada manusia. Bakteri ini juga ditemukan di udara dan lingkungan sekitar. S. aureus yang patogen bersifat invasif,

menyebabkan hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu meragikan manitol (Warsa, 1994).

Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai abses bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalah bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranya

pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan endokarditis. S. aureus juga merupakan penyebab utama infeksi nosokomial, keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Ryan et al., 1994; Warsa, 1994).


(36)

15

Klasifikasi ilmiah dari bakteri Staphylococcus areus adalah sebagai berikut: Domain : Bacteria

Kerajaan : Eubacteria Filum : Firmicutes Kelas : Bacili Ordo : Bacillales

Famili : Staphylococcaceae Genus : Staphylococcus Spesies : Staphylococcus areus

Gambar 3. Bakteri Staphylococcus aureus (CDC/ Matthew J. Arduino, DRPH, 2001).

Pengobatan terhadap infeksi S. aureus dilakukan melalui pemberian antibiotik, yang disertai dengan tindakan bedah, baik berupa pengeringan abses maupun nekrotomi. Pemberian antiseptik lokal sangat dibutuhkan untuk menangani furunkulosis (bisul) yang berulang. Pada infeksi yang cukup berat, diperlukan pemberian antibiotik secara oral atau intravena, seperti penisilin, metisillin, sefalosporin, eritromisin, linkomisin, vankomisin, dan rifampisin. Sebagian besar


(37)

16

bakteri ini sudah resisten terhadap berbagai antibiotik tersebut, sehingga perlu diberikan antibiotik berspektrum lebih luas seperti kloramfenikol, amoksilin, dan tetrasiklin (Ryan et al., 1994; Warsa, 1994; Jawetz et al., 1995).

G. Isolasi Senyawa Bioaktif

1. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses penarikan komponen atau senyawa aktif pada suatu simplisia dengan menggunakan pelarut tertentu. Prinsip ekstraksi didasarkan pada distribusi senyawa yang terlarut (Khopkar, 2002). Menurut Harborne (1984) bahwa metode ekstraksi yang umum digunakan maserasi, sokletasi, refluks, dan ekstraksi cair-cair (partisi). Metode ekstraksi yang dilakukan pada penelitian ini yaitu metode ekstraksi maserasi dan ekstraksi cair-cair (partisi).

a. Maserasi

Maserasi merupakan metode ekstraksi dengan perendaman sampel menggunakan pelarut organik pada suhu ruang. Metode ekstraksi ini sangat menguntungkan dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam karena struktur senyawa dari suatu sampel tidak mudah rusak. Prinsip metode maserasi didasarkan bahwa sampel yang direndam dengan menggunakan pelarut organik akan terjadi

pemecahan dinding dan membran sel akibat dari perbedaan tekanan yang terdapat di luar dan di dalam sel sehingga metabolit sekunder yang terkandung di dalam sitoplasma akan terlarut kedalam pelarut organik (Harborne, 1996).


(38)

17

b. Partisi (ekstraksi cair-cair)

Ekstraksi cair-cair merupakan metode ekstraksi yang didasarkan pada sifat kelarutan komponen target dan distribusinya dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur. Senyawa polar akan terbawa dalam pelarut polar, senyawa semipolar akan terbawa dalam pelarut semipolar, dan senyawa nonpolar akan terbawa dalam pelarut nonpolar (Khopkar, 2002).

2. Kromatografi

Kromatografi merupakan metode pemisahan komponen pada suatu sampel yang didasarkan atas perbedaan laju perpindahan dari komponen-komponen dalam campuran. Pemisahan dengan metode kromatografi dilakukan dengan cara memanfaatkan sifat-sifat fisik dari sampel, seperti kelarutan, adsorbsi, keatsirian, dan kepolaran. Kelarutan merupakan kecenderungan molekul untuk melarutkan dalam cairan. Adsorbsi penjerapan adalah kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk halus (Johnson dan Stevenson, 1991).

Berdasarkan jenis fase diam dan gerak yang dipartisi, kromatografi dapat digolongkan menjadi beberapa golongan seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Penggolongan kromatografi berdasarkan fase diam dan fase gerak (Johnson dan Stevenson, 1991)

Fase diam Fase gerak Sistem kromatografi

Padat Padat Cair Cair Cair Gas Cair Gas Cair-adsorbsi Gas-adsorbsi Cair-partisi Gas-partisi


(39)

18

Pada sistem kromatografi, pemilihan eluen (fase gerak) merupakan faktor yang sangat penting dalam mengisolasi senyawa organik. Berikut ini adalah urutan eluen pada kromatografi berdasarkan tingkat kepolarannya menurut Gritter et al. (1991):

Air Metanol Asetonitril Etanol n-propanol Aseton Etil asetat Kloroform Metilen klorida Toluene

Benzene

Karbon tetraklorida Sikloheksana

n-heksana Kepolaran meningkat

a. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah metode pemisahan fisiokimia yang terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga pelat gelas, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita. Setelah pelat atau lapisan diletakkan di dalam bejana


(40)

19

tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (dideteksi) (Stahl, 1985).

Pendeteksian suatu senyawa alkaloid dalam teknik KLT dapat dilakukan dengan metode visualisasi menggunakan pereaksi spesifik. Pereaksi yang umum

digunakan adalah dragendorff dan serium sulfat. Pereaksi dragendorff digunakan untuk mengetahui kandungan senyawa alkaloid (N tersier) dalam campuran yang ditandai dengan timbulnya noda merah jingga pada kromatogram KLT.

Sedangkan serium sulfat digunakan untuk mengetahui kandungan senyawa

organik dalam sampel dengan ditandai timbulnya noda berwarna coklat kehitaman (Jóźwiak and Waksmundzka, 2007).

KLT banyak digunakan dalam pengisolasian senyawa bahan alam. Data KLT memberikan informasi seperti komponen di dalam sampel dan tingkat kepolaran komponen dalam suatu senyawa. KLT juga digunakan untuk memilih komposisi eluen yang memberikan pola pemisahan yang paling baik pada kolom

kromatografi.

Distribusi senyawa-senyawa pada sampel, dihitung dengan membandingkan jarak elusi yang ditempuh senyawa dengan jarak yang ditempuh eluen yang digunakan dan disebut sebagai Rf (Retention factor), yang secara sistemtis dinyatakan sebagai berikut:


(41)

20

Menurut Sarker et al. (2006), ada dua faktor yang mempengaruhi nilai R pada kromatografi lapis tipis, yaitu penjerap dan pelarut yang digunakan. Pada kromatografi jerapan dimana penjerapnya adalah silika gel, senyawa polar akan memiliki afinitas besar terhadap penjerap, dan bermigrasi lambat ke atas tidak seperti halnya pelarut.

Untuk pemisahan menggunakan fase diam polar seperti silika gel, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi senyawa yang juga berarti menentukan nilai Rf. Silika gel dapat membentuk ikatan hidrogen dipermukaannya karena pada permukaannya terikat gugus hidroksi. Oleh karena itu silika gel bersifat sangat polar sementara itu fase gerak yang digunakan sifatnya non polar, maka saat campuran dimasukkan senyawa-senyawa yang semakin polar akan semakin lama tertahan di fase stasioner dan senyawa-senyawa yang kurang polar/semakin tidak polar akan terbawa keluar lebih cepat.

b. Kromatografi Kolom

Pada prinsipnya kromatografi kolom digunakan untuk pemisahan campuran beberapa senyawa yang diperoleh dari hasil ekstraksi. Konsepnya sama seperti KLT, perbedaannya Pemisahan komponen-komponen suatu zat dalam eluen yang bergerak melalui fase diam sebagai absorben terjadi akibat adanya perbedaan daya absorpsi pada komponen-komponen tersebut. Fase gerak berupa larutan yang dipilih berdasarkan hasil uji KLT dan fase diam berupa adsorben padat seperti silika gel atau alumina.


(42)

21

Gritter (1985) menjelaskan bahwa berdasarkan kepolaran fase diam dan fase gerak, kromatografi kolom dapat dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu:

1. Kromatografi kolom fase normal (Normal phase)

Pada kromatografi ini, fase diam yang digunakan bersifat polar sedangkan fase gerak bersifat non polar, sehingga komponen yang memiliki kepolaran paling rendah akan terelusi lebih dulu.

2. Kromatografi kolom fase terbalik (Reversed phase)

Pada kromatografi ini, fase diam yang digunakan bersifat non polar sedangkan fase gerak bersifat polar, sehingga komponen yang memiliki kepolaran paling tinggi akan terelusi lebih dulu.

Metode elusi dalam kromatografi kolom dapat dilakukan dengan elusi isokratik dan elusi landaian. Elusi isokratik adalah tidak merubah komposisi eluen selama proses pemisahan, sedangkan elusi landaian merubah komposisi eluen yang dipakai saat proses pemisahan berlangsung (Johnson dan Stevenson, 1991).

c. Medium-Pressure Liquid Chromatography (MPLC)

Medium-Pressure Liquid Chromatography (MPLC) merupakan salah satu dari berbagai jenis teknik kromatografi kolom preparatif yang digunakan untuk memisahkan campuran senyawa organik. MPLC saat ini telah dikembangkan dan dikombinasikan dengan berbagai kromatografi preparatif umum lainnya seperti kolom kromatografi, flash kromatografi, Low Pressure Liquid Chromatography (LPLC), ataupun High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Perbedaan antara tekanan rendah, tekanan sedang, dan tekanan tinggi pada kromatografi cair didasarkan pada rentang tekanan yang digunakan pada teknik kromatografi


(43)

22

tersebut. Tabel 3 memperlihatkan perbedaan antara teknik MPLC dengan kromatografi preparatif lainnya.

Tabel 3. Perbedaan beberapa teknik kromatografi kolom preparatif (Hostettmann and C. Terreaux, 2010)

Metode Tekanan

(bar)

Laju alir (mL min -1)

Jumlah sampel (g) Kolom kromatografi 1 atm 1-5 0,01-100 Flash kromatografi 1-2 2-10 0,01-100

LPLC 1-5 1-4 1-5

MPLC 5-20 3-16 0,05-100

HPLC >20 2-20 0,01-1

MPLC memungkinkan untuk pemurnian senyawa dengan jumlah yang besar dan dapat digunakan dalam waktu yang singkat. Selain itu ukuran partikel yang kecil dengan tekanan mampu memisahkan senyawa dengan lebih baik dan fase diam yang berupa padatan dapat digunakan kembali (Hostettmann and C. Terreaux, 2010). Skema peralatan MPLC disajikan pada Gambar 4.


(44)

23

H. Spektroskopi

Karakterisasi senyawa bioaktif dapat dianalisis dengan menggunakan teknik spektroskopi. Spektroskopi sendiri merupakan ilmu yang mempelajari tentang interaksi antara energi cahaya dan materi. Beberapa keuntungan dari penggunaan metode spektroskopi adalah jumlah zat yang diperlukan untuk analisis relatif kecil dan waktu pengerjaannya cepat (Silverstein et al., 2005). Spektoskopi yang umum digunakan untuk analisis senyawa yaitu UV-Vis, IR, NMR, dan spektrometri massa.

Dalam penelitian ini digunakan UV-Vis dan IR. Spektrofotometer UV-Vis digunakan untuk mengidentifikasi adanya ikatan rangkap terkonjugasi pada senyawa bioaktif dan spektrofotometer IR digunakan untuk menentukan gugus-gugus fungsi yang terkandung dalam senyawa.

1. Spektroskopi Ultraungu-Tampak (UV-Vis)

Spektrum sinar UV terentang pada panjang gelombang 100 - 400 nm, sedangkan untuk spektrum tampak (visible) pada panjang gelombang 400 nm (ungu) hingga 800 nm (merah). Dalam setiap molekul atau atom, foton dari cahaya UV dan tampak memiliki energi untuk menyebabkan transisi antara tingkat energi elektronik yang berbeda. Panjang gelombang dari cahaya yang diserap yaitu mampu memindahkan elektron dari tingkat energi rendah ke tingkat energi yang lebih tinggi, disebut sebagai proses eksitasi elektron (Owen, 2000).

Dalam spektroskopi UV-Vis penyerapan sinar tampak dan ultraviolet oleh suatu molekul akan menghasilkan transisi di antara tingkat energi elektronik molekul


(45)

24

tersebut. Transisi tersebut pada umumnya terjadi antara orbital ikatan, orbital non-ikatan atau orbital anti-non-ikatan. Panjang gelombang serapan yang muncul

merupakan ukuran perbedaan tingkat-tingkat energi dari orbital suatu molekul. Agar elektron dalam ikatan sigma tereksitasi maka diperlukan energi paling tinggi dan akan memberikan serapan pada 120-200 nm. Daerah ini dikenal dengan daerah ultraviolet hampa, karena pada permukaan tidak boleh ada udara, sehingga sukar dilakukan dan relatif tidak banyak memberikan keterangan untuk penentuan struktur. Serapan di atas 200 nm merupakan daerah eksitasi dari orbital p, orbital d, dan orbital � terutama sistem � terkonjugasi (Sudjadi, 1983).

2. Spektroskopi Infrared (IR)

Spektroskopi infrared (IR) merupakan metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsi yang terdapat dalam suatu senyawa. Gugus fungsi ini dapat ditentukan berdasarkan energi vibrasi ikatan antar atom dalam molekul. Senyawa organik memiliki energi ikatan kovalen yang berbeda-beda, sehingga menghasilkan jenis vibrasi dan serapan yang berbeda-beda pada suatu spektrum infra merah. Spektrum IR merupakan grafik antara panjang gelombang (µm) atau bilangan gelombang (cm-1) dan persen transmisi (%T) atau absorbansi (A)

(Silverstein et al., 2005).

Radiasi infra merah antara 10.000-100 cm-1 diserap dan dirubah oleh molekul organik menjadi energi melekular vibrasi. Penyerapan ini juga terkuantisasi, tetapi spektrum vibrasi menunjukkan ikatan-ikatan sebagai garis-garis dikarenakan perubahan suatu energi vibrasi tunggal diikuti dengan perubahan energi rotasi. Sebagian besar hal ini terjadi antara 4.000 sampai 400 cm-1, di sinilah yang perlu


(46)

25

menjadi pusat perhatian. Frekuensi atau panjang gelombang absorpsi tergantung pada masa relatif atom, tetapan gaya dari ikatan-ikatan, dan geometri atom-atom. Daerah antara 1.400-4000 cm-1 merupakan daerah yang khusus berguna untuk identifikasi gugus fungsional penting seperti gugus C=O, O-H, dan N-H. Daerah antara 1.400-900 cm-1 merupakan daerah yang disebut dengan sidik jari sering sangat rumit karena menunjukkan absorpsi yang disebabkan oleh vibrasi uluran dan tekukan. Tiap molekul memberikan serapan yang unik pada daerah sidik jari ini. Daerah antara 900-650 cm-1 menunjukkan klasifikasi umum dari molekul. Adanya absorbansi pada daerah bilangan gelombang rendah dapat memberikan data yang baik akan adanya senyawa aromatik, dimer karboksilat, amina, atau amida (Silverstein et al., 2005). Adapun karakteristik serapan IR beberapa gugus fungsi disajikan pada tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik serapan IR beberapa gugus fungsi (Banwell dan Mc Cash, 1994)

Gugus Serapan (cm-1) Gugus Serapan (cm-1)

OH 3600

CH2

2930 2860 1470

NH2 3400

CH 3300

H

Ar 3060 C O 1200-1000

CH2

3030 2870 1460 1375

C C 1650

C N 1600

C N 1200-1000 C C 1200-1000


(47)

26

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari - Mei 2015 di Laboratorium Terpadu dan Sentra Inovasi Teknologi, Universitas Lampung. Analisis IR dilakukan di laboratorium Kimia Organik FMIPA Universitas Gadjah Mada.

B. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat-alat gelas, mesin pemutar vakum rotavator BUCHI, satu set perlengkapan mikrobiologi, autoclave

TOMY/SX-300, Laminar Air Flow ESCO, inkubator Memert, satu set

perlengkapan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan plat aluminium silika gel 60 F254 (Merck) dan C18, satu set perlengkapan kromatografi kolom, lampu UV, Spektrofotometer UV-Vis cary 100, dan Medium Pressure Liquid

Chromatography (LCMS) BUCHI.

Bahan biomaterial terdiri dari spesimen spons dan spesimen bakteri. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi dan kromatografi berkualitas teknis yang telah

didestilasi sedangkan untuk analisis spektrofotometer berkualitas pro-analisis (p.a). Bahan kimia yang dipakai yaitu etil astet (EtOAc), metanol (CH3OH), etanol (C2H5OH), akuades (H2O), diklorometana (CH2Cl2), n-heksana (n-C6H14),


(48)

27

asam sulfat(H2SO4), barium klorida (BaCl2), media Nutrien Agar (NA),

kloramfenikol, Kalium Iodida (KI), pereaksi Dragendorff, dan serium (IV) sulfat.

C. Prosedur Penelitian

1. Biomaterial

Pada penelitian ini digunakan lima jenis spons dengan kode 0902C25, 0902D39, 0901A03, 0904H61, dan 0901A07. Kelima jenis spons tersebut bersumber dari Perairan Kupang dan dideposit di Laboratorium Terpadu dan Sentra Inovasi Teknologi, Universitas Lampung. Bakteri Staphylococcus aureus, Pseudomonas sp., dan Proteus sp. diperoleh dari koleksi Laboratorium Mikrobiologi RSUD Abdul Moeloek, Bandar Lampung.

2. Maserasi

Maserasi dilakukan dengan merendam sampel spons dalam pelarut metanol selama 3 x 24 jam (Aoki et al., 2006), kemudian dipekatkan dengan mesin

pemutar vakum rotavator pada temperature 38 °C dan tekanan 103 mbar sehingga diperoleh ekstrak kasar spons. Ekstrak yang diperoleh disimpan dalam wadah tertutup lalu disimpan pada tempat yang bersih dan kering hingga mendapat perlakuan lebih lanjut.

3. Partisi (ekstraksi cair-cair)

Ekstrak metanol spons dilarutkan dalam larutan partisi etil asetat-air (4:3) dalam corong pisah. Larutan dikocok beberapa kali dan didiamkan hingga terbentuk dua fasa. Masing-masing fasa dipisahkan sehingga diperoleh dua fraksi, yaitu fraksi


(49)

28

air dan fraksi etil asetat. Kedua fraksi tersebut dipekatkan menggunakan mesin vakum ratavator hingga diperoleh ekstrak pekat.

4. Uji Bioaktivitas

Uji bioaktivitas terdiri dari tiga tahap, yaitu uji resistensi, skrining spons aktif antibakteri, dan uji aktivitas antibakteri senyawa hasil isolasi. Ketiga uji ini dilakukan dengan menggunakan metode disc diffusion test (Bauer et al., 1966) atau uji difusi yang dilakukan dalam media agar.

a. Uji resistensi bakteri

Untuk menguji resistensi bakteri Staphylococcus aureus dilakukan pengujian menggunakan kloramfenikol dalam media agar. Sebagai pembanding digunakan bakteri Proteus sp. dan Pseudomonas sp. Media Nutrien Agar (NA) disterilkan terlebih dahulu dalam autoclave bersamaan dengan petri dish, tabung reaksi, dan ring selama 2 jam pada suhu 121 oC. Media NA yang telah steril dituangkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan bakteri uji, kemudian dituang ke petri dish dan didiamkan beberapa saat hingga media NA membentuk semi padat.

Kloramfenikol dengan dosis 12,5 µg, 25 µg, dan 50 µg dimasukkan ke dalam cincin yang berbeda di atas media NA yang telah diinokulasi bakteri. Kultur dimasukkan kedalam inkubator selama ± 18 jam pada suhu 37 oC dan diamati zona hambat yang dihasilkan. Bakteri bersifat resisten terhadap kloramfenikol jika zona hambat yang dihasilkan ≤ 12 mm (Bauer et al., 1966).


(50)

29

b. Skrining spons aktif antibakteri

Skrining dilakukan untuk menguji dan memilih spesimen spons yang paling aktif. Media NA yang telah steril dituangkan ke tabung reaksi dan dinokulasikan bakteri resisten S. aureus. Kultur dituangkan ke petri dish dan didiamkan beberapa saat hingga membentuk semi padat. Metanol digunakan sebagai kontrol negatif dan kloramfenikol sebagai kontrol positif dengan dosis 50 µg. Masing-masing sampel uji dimasukkan ke dalam cincin yang berbeda. Dosis untuk masing-masing ekstrak metanol dari lima jenis spons adalah 100 µg. Kultur dimasukkan kedalam inkubator selama ± 18 jam pada suhu 37 oC dan diamati zona hambat yang dihasilkan.

c. Uji aktivitas antibakteri

Uji aktivitas antibakteri dilakukan pada fraksi hasil partisi dan senyawa isolat. Dalam pengujian pada tahap ini, untuk mendifusikan sampel uji digunakan paper disk whatman no.41 berdiameter 6 mm.

Dalam pengujian bioaktivitas fraksi hasil partisi dan senyawa isolat, pelarut yang digunakan (etil asetat dan air) digunakan sebagai kontrol negatif dan sebagai kontrol positif digunakan kloramfenikol 50 µg. Sebanyak 2 ml dari masing-masing fraksi diuapkan kemudian dilarutkan kembali dengan pelarut terkait untuk mendapatkan dosis total 50 µg (fraksi hasil partisi), 25 µg dan 50 µg (senyawa isolat). Semua sampel uji disuntikkan menggunakan mikropipet pada paper disk yang berbeda sebanyak 10 µl. Disamping itu, sebanyak 1 ose bakteri resisten S. aureus diambil dari biakan lalu disuspensikan dalam tabung reaksi yang


(51)

30

mengandung 5 ml NaCl 0,9%. Kekeruhan suspensi dibandingkan dengan larutan standar McFarland 0,5. Cotton steril dicelupkan dalam suspensi dan ditiriskan dipinggir-pinggir tabung lalu dioleskan pada media NA kering. Paper disk kering yang telah mengandung sampel uji diletakkan di atas kultur. Kultur dimasukkan kedalam inkubator selama ± 18 jam pada suhu 37 oC dan diamati zona hambat yang dihasilkan dengan menggunakan mistar.

5. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Ekstrak spons ditotolkan pada plat KLT-silika yang kemudian dielusi dengan campuran pelarut organik. Elusi dilakukan dalam wadah tertutup. Kromatogram yang dihasilkan diamati dan dihitung nilai Rf-nya. Untuk menganalisis komponen senyawa alkaloid dalam sampel ekstrak spons, dilakukan uji kualitatif dengan menggunakan pereaksi uji spesifik visualisasi KLT. Zat visualisasi yang

digunakan adalah pereaksi Dragendorff dan serium sulfat. Pereaksi Dragendorff digunakan untuk mengetahui kandungan senyawa alkaloid (N tersier) dalam campuran yang ditandai dengan timbulnya noda merah jingga pada kromatogram KLT. Sedangkan serium sulfat digunakan untuk mengetahui kandungan senyawa organik dalam sampel dengan ditandai timbulnya noda berwarna coklat

kehitaman.

6. Fraksinasi menggunakan kromatografi kolom

Ekstrak kasar spons difraksinasi menggunakan metode kromatografi kolom. Kolom kromatografi dibuat dengan silika gel sebagai fasa diam, dan dielusi menggunakan pelarut yang disesuaikan dengan hasil uji pada KLT. Fraksi-fraksi


(52)

31

yang diperoleh dianalisis kembali dengan KLT dan diulangi hingga diperoleh komponen yang murni. Fraksi yang menunjukkan uji positif alkaloid dan memiliki aktivitas antibakteri selanjutnya dimurnikan dengan MPLC.

7. Pemurnian dengan Medium Pressure Liquid Chromatography (MPLC) MPLC digunakan untuk memurnikan senyawa dari fraksi hasil pemisahan sebelumnya pada kromatografi kolom. Sampel disuntikkan pada sistem pelarut metanol dan air, kemudian dipompa dengan tekanan 5-20 mbar melewati kolom (RP-18) dengan laju alir 25 ml/menit. Detektor yang digunakan adalah detektor

UV 220 nm, 254nm . Hasil pemurnian/pemisahan puncak yang muncul

dikumpulkan menggunakan tabung reaksi kemudian diuji bioaktivitasnya dan dikaraterisasi dengan spektrofotometer UV-Vis dan spektrofotometer IR.

8. Karakterisasi senyawa dengan spektrofotometer UV-Vis

Fraksi yang telah murni diidentifikasi menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Hasil analisis spektrofotometri UV-Vis dari isolat akan memberikan informasi suatu pita serapan, panjang gelombang, dan absorbansi. Senyawa yang

mempunyai transisi n→π* mengabsorpsi cahaya pada panjang gelombang 200-400 nm sedangkan senyawa yang mempunyai transisi n→σ* mengabsorpsi cahaya pada panjang gelombang sekitar 200 nm (Creswell dkk., 1982).

9. Karakterisasi senyawa dengan spektrofotometer Infrared (IR)

Spektrofotometer IR digunakan untuk mengetahui kandungan gugus fungsi pada senyawa isolat. Analisis gugus fungsi pada struktur alkaloid didasarkan pada spektrum serapan IR pada daerah bilangan gelombang 4000 - 600 cm-1.


(53)

32

Interpretasi spektrum diamati untuk karakteristik gugus fungsi N tersier pada vibrasi renggang di daerah sekitar 1300-900 cm-1 yang merupakan serapan karakteristik senyawa alkaloid (Silverstein et al., 2005).


(54)

53

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Senyawa M4T hasil isolasi dari spons Callyspongia sp. memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus resisten terhadap kloramfenikol dengan zona hambat 14 mm pada dosis 50 µg.

2. Karakterisasi menggunakan UV-Vis menunjukkan bahwa M4T memiliki dua serapan pada daerah UV dengan maks 202 nm dan 279 nm.

3. Karakterisasi menggunakan IR menunjukkan bahwa senyawa mengandung gugus fungsi hidroksi O-H (3441 cm-1, 1057 cm-1), alkana C-H (2924 cm-1, 2854 cm-1), karbonil C=O (1720 cm-1), alkena C=C (1651 cm-1, 1558 cm-1), dan amina tersier C-N (1381 cm-1, 1249 cm-1).


(55)

54

B. Saran

Untuk memperbaiki kekurangan dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini, maka penelitian selanjutnya disarankan:

1. Melakukan elusidasi struktur senyawa dengan menambahkan data pendukung seperti spektrometri massa (MS), 1H NMR dan 13C NMR.

2. Perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai interaksi antara senyawa isolat dengan protein target Staphylococcus aureus resisten terhadap kloramfenikol.


(56)

DAFTAR PUSTAKA

Amir, I. dan A. Budiyanto. 1996. Mengenal Spons Laut (Demospongiae) Secara Umum. Oseana. 21. 15-31.

Aoki, S., Y. Yoshioka, Y. Miyamoto, K. Higuchi, A. Setiawan, N. Murakami, Z. Chen, T. Sumizawa, S. Akiyama, and M. Kobayashi. 1998. Agosterol A, a Novel Polyhydroxylated Sterol Acetate Reversing Multidrug Resistence from a Marine Sponge of Spongia sp. Tetrahedron Lett. 39. 6303-6306. Aoki, S., A. Setiawan, Y. Yoshioka, K. Higuchi, R. Fudetani, Z. Chen, T.

Sumizawa, S. Akimaya, and M. Kobayashi. 1999. Reversal of Multidrug Resistance in Human Carcinoma Cell Line by Agosterols, Marine Spongean Sterols. Tetrahedron. 55. 13965-13972.

Aoki, S., D. Kong, H. Suna, Y. Sowa, T. Sakai, A. Setiawan and M. Kobayashi. 2006. Aaptamine, a Spongean Alkaloid, Activates p21 promotor in a p53-independent Manner. BBRC. 342. 101-106.

Arai, M., S. Ishida, A. Setiawan, and M. Kobayashi. 2009. Haliclonacyclamines, Tetracyclic Alkylpiperidine Alkaloids, as Anti-dormant Mycobacterial Substances from a Marine Sponge of Haliclona sp. Chem. Pharm. Bull. 57. 1136—1138

Arai, M., T. Kawachi, A. Setiawan, and M. Kobayashi. 2010. Hypoxia-selective Growth Inhibition of Cancer cells by Furospinosulin - 1, a

furanosesterterpene isolated from an Indonesian Marine Sponge. ChemMedChem. 5. 1919-26.

Arai, M., Y. Yamano, and M. Kobayashi. 2014. Identification of the target protein of agelasine D, a marine sponge diterpene alkaloid, as an anti-dormant mycobacterial substance. Journal ChemBioChem. 15. 177.

Banwell, C. N. and E. M. McCash. 1994. Fundamental of Molecular Spectroscopy. Mc Graw-Hill Book Company. London

Bauer, A. W., W. M. M. Kirby, J. C. Sherris, and M. Turck. 1966. Antibiotic Susceptibility Testing by a Standardized Single Disk Method. American Journal of Clinical Pathology. 45:493–496.


(57)

56

Becerro, M., A. Thacker, R. W. Turon, X. Uriz, M. J, and Paul, V. J. 2003. Biogeography of sponge chemical ecology: comparisons of tropical and temperate defenses. Oecologia. 135. 91-101.

Bengen, D.G. 2001. Makalah Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir & Lautan. IPB. Bogor.

Bergquist, P.R. 1978. Sponges. Hutchinson. London.

Burns, E., I. Ifrach, S. Carmeli, J. R. Pawlik, and M. Ilan. 2003. Comparison of anti-predatory defenses of Red Sea and Caribbean sponges. I. Chemical defense. Marine Ecology-Progress Series. 252. 105-114.

CDC/ Matthew J. Arduino, DRPH. 2001. Public Healt Image Library (PHIL). http://phil.cdc.gov/phil/details.asp?pid=11157. Diakses pada 16 Juni 2015. Creswell, J. Cliford, O. A. Runquist, dan M. M. Campbell. 1982. Analisis

Spektrum Senyawa Organik. ITB. Bandung

Culcul, L., A. Longeon, A. A. Mourabit, M. Guyot, and M. L. Bourguet-Kondrachi. 2003. Novel Alkaloids of the Aaptamine Class from an Indonesian Marine Sponge of the Genus Xestospongia. Cheminform. 34. 79-83.

Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting, dan M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan

Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Džidić, S., S. Jagoda, and B. Kos. 2008. Antibiotic Resistance Mechanisms in Bacteria: Biochemical and Genetic Aspects. Food Technol. Biotechnol. 46. 11–21.

Ganiswarna S. G. 1995. Farmakologi dan Terapi edisi 4. UI-Fakultas Kedokteran, Jakarta.

Goudie, L. 2011. Spoge, Callyspongia, in Taxonomic Toolkit for Marine Life of Port Philip Bay. http://portphilipmarinelife.net.au/species/7655. Diakses pada 04 Juni 2015.

Gritter, R.J., J. M. Bobbitt, and A. E. Schwarting. 1985. Introduction to Chromatography. Holden-Day INC. Oakland. USA.

Gupta, P., U. Sharma, C. S. Thomas, B. M. Amanda, J. R. Allan, and M. W. Lyndon. 2012. Bicyclic C21 Terpenoids from the Marine Sponge Clathria compressa. Journal Natural Products. 75. 1223-1227.


(58)

57

Harsono, B. 2001. Makalah Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional: dalam Hubungannya dengan TAP MPR RI IX/MPR/2001. Universitas Trisakti. Jakarta.

Hasan, W., Edrada R., Ebel R., Wray V., Berg A., van Soest R., Wiryowidagdo S., and Proksch P. 2004. New imidazole alkaloids from the Indonesian sponge Leucetta chagosensis. Journal of Natural Products. 67: 817-22. Hostettmann, K. and C. Terreaux. 2000. Medium-Pressure Liquid

Chromatography. Academic Press. University of Lausanne. Ichiba, T., Corgiat J.M., Scheuer P.J., and Kelly-Borges M. 1994.

8-Hydroxymanzamine A, a beta-carboline alkaloid from a sponge, Pachypellina sp. Journal of Natural Products. 571: 168-70. Imperatore, C., A. Aiello, F. D’Aniello, M. Senese and M. Menna. 2014.

Alkaloids from Marine Invertebrates as Important Leads for Anticancer Drugs Discovery and Development. Molecules. 19. 20391-20423. Izumi, M., S. Yogosawa, S. Aoki, H. Watanabe, J. Kamiyama, Y. Takahara, Y.

Sowa, M. Kobayashi, H. Hosoi, T. Sugimoto, and T. Sakai. 2006. A novel Synthetic Drug, LB-18, Closely Related to lembehyne-A Derived from a Marine Sponge, Induced Caspase-Independent Cell Death to Human Neuroblastoma Cells. Int. J. Onc. 29. 169-173.

Jawetz, E., J.L. Melnick., E.A. Adelberg., G.F. Brooks., J.S. Butel., dan L.N. Ornston. 1995. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi ke-20 (Alih bahasa: Nugroho & R.F.Maulany). Buku Kedokteran EGC. Jakarta. hal. 211,213,215.

Johnson, L.E. dan R. Stevenson. 1991. Dasar Kromatografi Cair. Alih bahasa Kosasih Padmawinata. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Joseph, B., and S. Sujatha. 2010. Pharmacologically Important Natural products from Marine Sponges. Journal of Natural Products. 4: 05-12

Jóźwiak, G. W. and M. Waksmundzka – Hajnos. 2007. Preparative-Layer

Chromatography of an Extract of Alkaloids from Fumaria officinalis. Acta Chromatographica. 18. 207-218.

Khopkar, S. M. 2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. Diterjemahkan oleh Saptorahardjo, A. Universitas Indonesia. Jakarta.

Motomasa, K. 1998. Search for Biologically Active Substances from Marine Sponges. Puslit Oseanologi LIPI. Jakarta.

Murniasih, Tutik. 2003. Metabolit Sekunder dari Spons Sebagai Bahan Obat-Obatan. Oseana. 28. 27-33.


(59)

58

Owen, Tony. 2000. Fundamentals of modern UV-Visible spectroscopy. Agilent Technology. Germany.

Pawlik, J. R. 1999. Predation on Caribbean sponges: The importance of chemical defenses. Memoirs of the Queensland Museum. 44. p. 426.

Pelczar, M. J. dan E. S. Chan. 1988. Dasar – Dasar Mikrobiologi. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Reece, Jane B., Lisa A. Urry, Michael L. Cain, Steven A. Wasserman, Peter V. Minorsky, and Robert B. Jackson. 2014. Campbell Biology Tenth Edition. Pearson Education, Inc. USA.

Ryan, K.J., J.J. Champoux, S. Falkow, J.J. Plonde, W.L. Drew, F.C. Neidhardt, and C.G. Roy. 1994. Medical Microbiology An Introduction to Infectious Diseases. Appleton&Lange. Connecticut. p. 254.

Sarker, S. D., Z. Latif, and A. I. Gray. 2006. Method In biotechnologys Natural Product Isolation Second Edition. Humana Press. New Jersey.

Satari. RR, 1999. Penelitian Produk Bahan Alam Laut di Indonesia. Arah dan prospek: Seminar Nasional Kimia Bahan Alam. Jakarta.

Shaw, W. V., and R. F. Brodsky. 1967. Characterization of Chloramphenicol Acethyltransferase from Chloramphenicol-resistant Staphylococcus aureus. Journal of Bacteriology. 95. 28-36.

Silverstein, R. M., F.X. Webster, and D.J. Kiemle. 2005. Spectrometric Identification of Organic Compounds Seventh Edition. John Wiley & Sons, Inc. New York.

Stahl, E. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi.

Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Sudjadi. 1983. Penentuan Struktur Senyawa Organik. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hlm. 283.

Suhanya, P., B. A. Juzaili, R. Surash, I. Sabariah, S. Sreenivasan, I. Mohd, Said, and M. M. Sharif. 2009. Evaluation of Antioxidant and Antibacterial Activities of Aqueous, Methanolic and Alkaloid Extracts from Mitragyna Speciosa (Rubiaceae Family) Leaves. Molecules Journal. 14. 964-3974. Sulistyo. 1971. Farmakologi dan Terapi. EKG. Yogyakarta.

Suna, H., M. Arai, Y. Tsubotani, A. Hayashi, A. Setiawan, and M. Kobayashi. 2009. Dysideamine, A New Sesquiterpene Aminoquinone, Protects

Hippocampal Neuronal Cells Against Iodoacetic Acid-induced Cell Death. Bioorganic & Medicinal Chemistry. 17. 3968–3972.


(60)

59

Tilvi S., C. Rodrigues, C. G. Naik, P. S. Parameswaran and S. Wahidhulla. 2004. New bromotyrosine alkaloids from the marine sponge Psammaplysilla purpurea. Tetrahedron. 60. 10207–10215.

Torres, Y. R., R. G. B. Berlinck, G. G. F. Nascimento, S. C. Fortier, C. Pessoa, Manoel O, and de Moraes. 2002. Antimicrobial activity against resistant and cytotoxicity of four alkaloid toxins isolater from the marine sponge Arenosclera brasiliensis. Toxicon. 40. 885-891.

Uwaezuoke, J. C. and Aririatu, L. E. 2004. A Survey of Antibiotic Resistant Staphylococcus Aureus Strains from Clinical Sources in Owerri. J. Appl. Sci. Environ. Mgt. Vol. 8. 67-69.

Warsa, U.C. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara. Jakarta. WHO. 2014. Global Health Observatory. http://www.who.int/. Diakses pada 04

Januari 2015.

Yang, B., H. Tao, X. Zhou, Xiu-Ping Lin, and Y. Liu. 2013. Two New Alkaloid from Marine Sponge Callyspongia sp. Natural Product Research. 27. 433-437.


(1)

54

B. Saran

Untuk memperbaiki kekurangan dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini, maka penelitian selanjutnya disarankan:

1. Melakukan elusidasi struktur senyawa dengan menambahkan data pendukung

seperti spektrometri massa (MS), 1H NMR dan 13C NMR.

2. Perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai interaksi antara senyawa isolat


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Amir, I. dan A. Budiyanto. 1996. Mengenal Spons Laut (Demospongiae) Secara

Umum. Oseana. 21. 15-31.

Aoki, S., Y. Yoshioka, Y. Miyamoto, K. Higuchi, A. Setiawan, N. Murakami, Z. Chen, T. Sumizawa, S. Akiyama, and M. Kobayashi. 1998. Agosterol A, a Novel Polyhydroxylated Sterol Acetate Reversing Multidrug Resistence

from a Marine Sponge of Spongia sp. Tetrahedron Lett. 39. 6303-6306.

Aoki, S., A. Setiawan, Y. Yoshioka, K. Higuchi, R. Fudetani, Z. Chen, T. Sumizawa, S. Akimaya, and M. Kobayashi. 1999. Reversal of Multidrug Resistance in Human Carcinoma Cell Line by Agosterols, Marine

Spongean Sterols. Tetrahedron. 55. 13965-13972.

Aoki, S., D. Kong, H. Suna, Y. Sowa, T. Sakai, A. Setiawan and M. Kobayashi. 2006. Aaptamine, a Spongean Alkaloid, Activates p21 promotor in a

p53-independent Manner. BBRC. 342. 101-106.

Arai, M., S. Ishida, A. Setiawan, and M. Kobayashi. 2009. Haliclonacyclamines, Tetracyclic Alkylpiperidine Alkaloids, as Anti-dormant Mycobacterial

Substances from a Marine Sponge of Haliclona sp. Chem. Pharm. Bull.

57. 1136—1138

Arai, M., T. Kawachi, A. Setiawan, and M. Kobayashi. 2010. Hypoxia-selective Growth Inhibition of Cancer cells by Furospinosulin - 1, a

furanosesterterpene isolated from an Indonesian Marine Sponge.

ChemMedChem. 5. 1919-26.

Arai, M., Y. Yamano, and M. Kobayashi. 2014. Identification of the target protein of agelasine D, a marine sponge diterpene alkaloid, as an anti-dormant

mycobacterial substance. Journal ChemBioChem. 15. 177.

Banwell, C. N. and E. M. McCash. 1994. Fundamental of Molecular

Spectroscopy. Mc Graw-Hill Book Company. London

Bauer, A. W., W. M. M. Kirby, J. C. Sherris, and M. Turck. 1966. Antibiotic

Susceptibility Testing by a Standardized Single Disk Method. American


(3)

56

Becerro, M., A. Thacker, R. W. Turon, X. Uriz, M. J, and Paul, V. J. 2003. Biogeography of sponge chemical ecology: comparisons of tropical and

temperate defenses. Oecologia. 135. 91-101.

Bengen, D.G. 2001. Makalah Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.

Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir & Lautan. IPB. Bogor.

Bergquist, P.R. 1978. Sponges. Hutchinson. London.

Burns, E., I. Ifrach, S. Carmeli, J. R. Pawlik, and M. Ilan. 2003. Comparison of

anti-predatory defenses of Red Sea and Caribbean sponges. I. Chemical

defense. Marine Ecology-Progress Series. 252. 105-114.

CDC/ Matthew J. Arduino, DRPH. 2001. Public Healt Image Library (PHIL).

http://phil.cdc.gov/phil/details.asp?pid=11157. Diakses pada 16 Juni 2015.

Creswell, J. Cliford, O. A. Runquist, dan M. M. Campbell. 1982. Analisis

Spektrum Senyawa Organik. ITB. Bandung

Culcul, L., A. Longeon, A. A. Mourabit, M. Guyot, and M. L. Bourguet-Kondrachi. 2003. Novel Alkaloids of the Aaptamine Class from an

Indonesian Marine Sponge of the Genus Xestospongia. Cheminform. 34.

79-83.

Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting, dan M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan

Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Džidić, S., S. Jagoda, and B. Kos. 2008. Antibiotic Resistance Mechanisms in

Bacteria: Biochemical and Genetic Aspects. Food Technol. Biotechnol. 46.

11–21.

Ganiswarna S. G. 1995. Farmakologi dan Terapiedisi 4. UI-Fakultas

Kedokteran, Jakarta.

Goudie, L. 2011. Spoge, Callyspongia, in Taxonomic Toolkit for Marine Life of

Port Philip Bay. http://portphilipmarinelife.net.au/species/7655. Diakses pada 04 Juni 2015.

Gritter, R.J., J. M. Bobbitt, and A. E. Schwarting. 1985. Introduction to

Chromatography. Holden-Day INC. Oakland. USA.

Gupta, P., U. Sharma, C. S. Thomas, B. M. Amanda, J. R. Allan, and M. W.

Lyndon. 2012. Bicyclic C21 Terpenoids from the Marine Sponge Clathria

compressa. Journal Natural Products. 75. 1223-1227.


(4)

Harsono, B. 2001. Makalah Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional:

dalam Hubungannya dengan TAP MPR RI IX/MPR/2001. Universitas

Trisakti. Jakarta.

Hasan, W., Edrada R., Ebel R., Wray V., Berg A., van Soest R., Wiryowidagdo S., and Proksch P. 2004. New imidazole alkaloids from the Indonesian

sponge Leucetta chagosensis. Journal of Natural Products. 67: 817-22.

Hostettmann, K. and C. Terreaux. 2000. Medium-Pressure Liquid

Chromatography. Academic Press. University of Lausanne. Ichiba, T., Corgiat J.M., Scheuer P.J., and Kelly-Borges M. 1994.

8-Hydroxymanzamine A, a beta-carboline alkaloid from a sponge, Pachypellina sp. Journal of Natural Products. 571: 168-70. Imperatore, C., A. Aiello, F. D’Aniello, M. Senese and M. Menna. 2014.

Alkaloids from Marine Invertebrates as Important Leads for Anticancer

Drugs Discovery and Development. Molecules. 19. 20391-20423.

Izumi, M., S. Yogosawa, S. Aoki, H. Watanabe, J. Kamiyama, Y. Takahara, Y. Sowa, M. Kobayashi, H. Hosoi, T. Sugimoto, and T. Sakai. 2006. A novel Synthetic Drug, LB-18, Closely Related to lembehyne-A Derived from a Marine Sponge, Induced Caspase-Independent Cell Death to Human

Neuroblastoma Cells. Int. J. Onc. 29. 169-173.

Jawetz, E., J.L. Melnick., E.A. Adelberg., G.F. Brooks., J.S. Butel., dan L.N.

Ornston. 1995. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi ke-20 (Alih bahasa:

Nugroho & R.F.Maulany). Buku Kedokteran EGC. Jakarta. hal. 211,213,215.

Johnson, L.E. dan R. Stevenson. 1991. Dasar Kromatografi Cair. Alih bahasa

Kosasih Padmawinata. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Joseph, B., and S. Sujatha. 2010. Pharmacologically Important Natural products

from Marine Sponges. Journal of Natural Products. 4: 05-12

Jóźwiak, G. W. and M. Waksmundzka – Hajnos. 2007. Preparative-Layer

Chromatography of an Extract of Alkaloids from Fumaria officinalis. Acta

Chromatographica. 18. 207-218.

Khopkar, S. M. 2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. Diterjemahkan oleh

Saptorahardjo, A. Universitas Indonesia. Jakarta.

Motomasa, K. 1998. Search for Biologically Active Substances from Marine

Sponges. Puslit Oseanologi LIPI. Jakarta.

Murniasih, Tutik. 2003. Metabolit Sekunder dari Spons Sebagai Bahan


(5)

58

Owen, Tony. 2000. Fundamentals of modern UV-Visible spectroscopy. Agilent

Technology. Germany.

Pawlik, J. R. 1999. Predation on Caribbean sponges: The importance of chemical

defenses. Memoirs of the Queensland Museum. 44. p. 426.

Pelczar, M. J. dan E. S. Chan. 1988. Dasar – Dasar Mikrobiologi. Universitas

Indonesia Press. Jakarta.

Reece, Jane B., Lisa A. Urry, Michael L. Cain, Steven A. Wasserman, Peter V.

Minorsky, and Robert B. Jackson. 2014. Campbell Biology Tenth Edition.

Pearson Education, Inc. USA.

Ryan, K.J., J.J. Champoux, S. Falkow, J.J. Plonde, W.L. Drew, F.C. Neidhardt,

and C.G. Roy. 1994. Medical Microbiology An Introduction to Infectious

Diseases. Appleton&Lange. Connecticut. p. 254.

Sarker, S. D., Z. Latif, and A. I. Gray. 2006. Method In biotechnologys Natural

Product Isolation Second Edition. Humana Press. New Jersey.

Satari. RR, 1999. Penelitian Produk Bahan Alam Laut di Indonesia. Arah dan

prospek: Seminar NasionalKimia Bahan Alam. Jakarta.

Shaw, W. V., and R. F. Brodsky. 1967. Characterization of Chloramphenicol

Acethyltransferase from Chloramphenicol-resistant Staphylococcus

aureus. Journal of Bacteriology. 95. 28-36.

Silverstein, R. M., F.X. Webster, and D.J. Kiemle. 2005. Spectrometric

Identification of Organic Compounds Seventh Edition. John Wiley & Sons, Inc. New York.

Stahl, E. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi.

Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Sudjadi. 1983. Penentuan Struktur Senyawa Organik. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Hlm. 283.

Suhanya, P., B. A. Juzaili, R. Surash, I. Sabariah, S. Sreenivasan, I. Mohd, Said, and M. M. Sharif. 2009. Evaluation of Antioxidant and Antibacterial

Activities of Aqueous, Methanolic and Alkaloid Extracts from Mitragyna

Speciosa (Rubiaceae Family) Leaves. Molecules Journal. 14. 964-3974.

Sulistyo. 1971. Farmakologi dan Terapi. EKG. Yogyakarta.

Suna, H., M. Arai, Y. Tsubotani, A. Hayashi, A. Setiawan, and M. Kobayashi. 2009. Dysideamine, A New Sesquiterpene Aminoquinone, Protects

Hippocampal Neuronal Cells Against Iodoacetic Acid-induced Cell Death. Bioorganic & Medicinal Chemistry. 17. 3968–3972.


(6)

Tilvi S., C. Rodrigues, C. G. Naik, P. S. Parameswaran and S. Wahidhulla. 2004.

New bromotyrosine alkaloids from the marine sponge Psammaplysilla

purpurea. Tetrahedron. 60. 10207–10215.

Torres, Y. R., R. G. B. Berlinck, G. G. F. Nascimento, S. C. Fortier, C. Pessoa, Manoel O, and de Moraes. 2002. Antimicrobial activity against resistant and cytotoxicity of four alkaloid toxins isolater from the marine sponge Arenosclera brasiliensis. Toxicon. 40. 885-891.

Uwaezuoke, J. C. and Aririatu, L. E. 2004. A Survey of Antibiotic Resistant Staphylococcus Aureus Strains from Clinical Sources in Owerri. J. Appl. Sci. Environ. Mgt. Vol. 8. 67-69.

Warsa, U.C. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara. Jakarta.

WHO. 2014. Global Health Observatory. http://www.who.int/. Diakses pada 04

Januari 2015.

Yang, B., H. Tao, X. Zhou, Xiu-Ping Lin, and Y. Liu. 2013. Two New Alkaloid

from Marine Sponge Callyspongia sp. Natural Product Research. 27.