Skrining Staphylococcus aureus dengan Resistansi Berperantara MecA dari Sediaan Usap Hidung pada Dokter Muda di Instalasi Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

(1)

SKRINING Staphylococcus aureus DENGAN RESISTANSI BERPERANTARA MecA DARI SEDIAAN USAP HIDUNG PADA DOKTER MUDA DI INSTALASI PERAWATAN INTENSIF RUMAH

SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

Oleh:

MUNGUNTHANII KRISHNAMOORTHY 100100310

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

SKRINING Staphylococcus aureus DENGAN RESISTANSI BERPERANTARA MecA DARI SEDIAAN USAP HIDUNG PADA DOKTER MUDA DI INSTALASI PERAWATAN INTENSIF RUMAH

SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh:

MUNGUNTHANII KRISHNAMOORTHY 100100310

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

HALAMAN PERSETUJUAN

Karya Tulis Ilmiah

Skrining Staphylococcus aureus dengan Resistansi Berperantara MecA dari Sediaan Usap Hidung pada Dokter Muda di Instalasi Perawatan Intensif Rumah

Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

Yang dipersiapkan oleh:

MUNGUNTHANII KRISHNAMOORTHY 100100310

Hasil Karya Tulis Ilmiah ini telah diperiksa dan disetujui untuk dilanjutkan

Medan, 9 Desember 2013 Disetujui,

Dosen Pembimbing


(4)

ABSTRAK

Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan isolat S.aureus yang resistan terhadap semua antibiotika ß-laktam termasuk penicillin. Gen MecA yang mengkode protein pengikat penicillin 2a (PBP 2a) menentukan sifat resistansi tersebut. MRSA merupakan penyebab infeksi yang signifikan seperti infeksi kulit dan jaringan lunak (SSTI), bakteremia, endokarditis, pneumonia, osteomyelitis dan artritis infektif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah S.aureus dengan resistansi berperantara MecA yang dijumpai dari skrining sediaan usap hidung pada dokter muda yang bertugas di Instalasi Perawatan Intensif RSUP. Haji Adam Malik Medan dan mengetahui profil sensitivitas isolat S.aureus terhadap antibiotika.

Penelitian ini bersifat deskriptif observasional dengan pendekatan cross sectional (potong lintang). Skrining S.aureus dengan resistansi berperantara MecA dilakukan terhadap 30 dokter muda yang bertugas di Instalasi Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Sampel berupa sediaan usap hidung dikumpulkan dari bagian depan di dalam hidung kiri dan kanan. Metode skrining adalah difusi cakram menggunakan Cefoxitin. Kemudian dilakukan juga uji kepekaan isolat S.aureus tersebut terhadap 15 jenis antibiotika dengan metode difusi cakram.

Sebanyak 10 (33.3%) dari 30 sampel yang diuji berhasil diidentifikasi sebagai isolat S.aureus, dan 6 (60%) dari 10 isolat S.aureus tersebut positif membawa sifat resistansi berperanta MecA. Hasil uji kepekaan menunjukkan bahwa isolat S.aureus resistan (100%) terhadap antibiotik Ampicillin, Amoxicillin, Ceftazidime, Cefepime, Clindamycin dan Piperacillin-tazobactam. Pada penelitian ini, ditemukan S.aureus dengan resistansi berperantara MecA sejumlah 20% dari seluruh sampel dan uji kepekaan menunjukkan bahwa isolat S.aureus resistan terhadap antibiotik golongan penicillin, kombinasi penicillin dan inhibitor ß-laktam, cephem dan lincosamide.

Kata kunci : Staphylococcus aureus, dokter muda, pola kepekaan antibiotik, resistansi berperantara MecA


(5)

ABSTRACT

Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) are S.aureus isolates resistant to all ß-lactam antibiotics including penicillins. The MecA gene which encodes penicillin-binding protein 2a (PBP2a) is responsible for this resistance. MRSA is a significant cause of infections including skin and soft tissue infections (SSTI), bacteremia, endocarditis, pneumonia, osteomyelitis and infective arthritis. The aim of this study is to establish the incidence of S.aureus with MecA mediated resistance from the nasal swabs of healthcare workers in the Intensive Care Unit of RSUP Haji Adam Malik Medan and to study their antimicrobial susceptibility patterns.

This is a descriptive observational study with a cross sectional design. Screening of S.aureus with MecA mediated resistance was conducted on 30 healthcare workers working in the Intensive Care Unit of Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. The sample of this study is nasal swabs collected from the anterior part of the left and right nostril. The screening method used is Cefoxitin disc diffusion test. The antibiotic susceptibility patterns of the S.aureus isolates were also tested on 15 different antibiotics.

Staphylococcus aureus was isolated in 10 (33.3%) out of the 30 samples, and 6 (60%) of the 10 S.aureus isolates were positive for MecA mediated resistance. The antibiotic susceptibility test showed that the S.aureus isolates were resistant (100%) to the antibiotic Ampicillin, Amoxicillin, Ceftazidime, Cefepime, Clindamycin dan Piperacillin-tazobactam.

The results of this study is 20% of the sample is positive for S.aureus with MecA mediated resistance and the S.aureus isolates are resistant to antibiotics from the class penicillin, ß-lactam inhibitor combination, cephems and lincosamide.

Keywords : Staphylococcus aureus, healthcare workers, antibiotic susceptibility pattern, MecA mediated resistance


(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “SKRINING Staphylococcus aureus DENGAN RESISTANSI BERPERANTARA MecA DARI SEDIAAN USAP HIDUNG PADA DOKTER MUDA DI INSTALASI PERAWATAN INTENSIF RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN’’. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu area kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang dokter umum, yaitu mengembangkan diri serta belajar sepanjang hayat, maka penyusunan karya tulis ilmiah ini dimaksudkan untuk melengkapi salah satu persyaratan yang harus dipenuhi tersebut dalam memperoleh gelar Sarjana Kedokteran dalam menyelesaikan pendidikan di program studi Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dosen pembimbing saya, dr. Evita Mayasari, M.Kes yang telah meluangkan waktu beliau untuk memberi bimbingan dan saran serta bantuan selama penulisan karya ilmiah ini. Juga kepada dr. Andrina Rambe, SpTHT dan dr. Badai Buana Nasution, M.Ked(Ped), SpA selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang membangun untuk penelitian ini.

Saya juga ingin menyampaikan terima kasih dan mencurahkan rasa cinta, kasih, dan sayang saya kepada kedua orang tua saya, Krishnamoorthy Nadesan dan Vanitha Ponniah yang telah mencurahkan kasih sayang, memberikan dukungan moril maupun materil, serta doa yang merupakan dorongan motivasi terbesar bagi saya untuk menyelesaikan pendidikan selama ini.

Kepada Salini Nallappen, Vishalini Sreetharan, Thivyashwini Komaran dan Natisha Divya serta rekan-rekan yang turut membantu dan memberi motivasi kepada saya dalam pelaksanaan karya tulis ilmiah ini, saya mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya.


(7)

Ucapan terima kasih juga kepada RSUP Haji Adam Malik, Medan yang telah memberikan izin dan membantu saya dalam melakukan penelitian ini.

Saya menyadari bahwa dalam menyusun karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna sempurnanya skripsi ini. Saya berharap semoga karya tulis ini bisa bermanfaat bagi saya khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Medan, 03 Desember 2013,

Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN... i

ABSTRAK... ii

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Rumusan Masalah... 3

1.3. Tujuan Penelitian... 3

1.4. Manfaat Penelitian... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Staphylococcus aureus... 5

2.1.1. Struktur Dinding Sel... 6

2.1.2. Faktor Virulensi... 6

2.2. Antibiotik ß-laktam... 9

2.2.1. Mekanisme kerja antibiotik ß-laktam... 9

2.2.2. Mekanisme resistansi... 9

2.3. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA)... 10


(9)

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 14

3.1. Kerangka Konsep Penelitian... 14

3.2. Definisi Operasional... 14

BAB 4 METODE PENELITIAN 17 4.1. Rancangan Penelitian... 17

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... 17

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian... 17

4.4. Metode Pengumpulan Data... 18

4.5. Metode Analisis Data... 21

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 22

5.1. Hasil Penelitian... 22

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 22 5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel Penelitian... 22 5.1.3. Hasil Uji Laboratorium... 22

5.2 Pembahasan... 24

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan... 27

6.2. Saran... 27

DAFTAR PUSTAKA……… 28 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

2.1. Faktor-faktor virulensi yang disekresi oleh Staphylococcus aureus

8

5.1. Distribusi isolat S.aureus berdasarkan jenis kelamin 22 5.2. Hasil skrining S. aureus dengan resistansi berperantara MecA 23 5.3. Profil sensitivitas sampel S.aureus terhadap 15 antibiotik 24


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 Lembar Penjelasan Lampiran 3 Lembar Persetujuan

Lampiran 4 Diameter zona hambat dan standar interpretasi MIC untuk Staphylococcus spp. sesuai dengan pedoman Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI)

Lampiran 5 Hasil kultur usap hidung

Lampiran 6 Hasil uji kepekaan isolat S. aureus terhadap antibiotika Lampiran 7 Profil sensitivitas sampel S. aureus terhadap 15 antibiotika Lampiran 8 Gambar Hasil Penelitian

Lampiran 9 Surat Izin Penelitian Lampiran 10 Ethical Clearance


(13)

ABSTRAK

Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan isolat S.aureus yang resistan terhadap semua antibiotika ß-laktam termasuk penicillin. Gen MecA yang mengkode protein pengikat penicillin 2a (PBP 2a) menentukan sifat resistansi tersebut. MRSA merupakan penyebab infeksi yang signifikan seperti infeksi kulit dan jaringan lunak (SSTI), bakteremia, endokarditis, pneumonia, osteomyelitis dan artritis infektif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah S.aureus dengan resistansi berperantara MecA yang dijumpai dari skrining sediaan usap hidung pada dokter muda yang bertugas di Instalasi Perawatan Intensif RSUP. Haji Adam Malik Medan dan mengetahui profil sensitivitas isolat S.aureus terhadap antibiotika.

Penelitian ini bersifat deskriptif observasional dengan pendekatan cross sectional (potong lintang). Skrining S.aureus dengan resistansi berperantara MecA dilakukan terhadap 30 dokter muda yang bertugas di Instalasi Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Sampel berupa sediaan usap hidung dikumpulkan dari bagian depan di dalam hidung kiri dan kanan. Metode skrining adalah difusi cakram menggunakan Cefoxitin. Kemudian dilakukan juga uji kepekaan isolat S.aureus tersebut terhadap 15 jenis antibiotika dengan metode difusi cakram.

Sebanyak 10 (33.3%) dari 30 sampel yang diuji berhasil diidentifikasi sebagai isolat S.aureus, dan 6 (60%) dari 10 isolat S.aureus tersebut positif membawa sifat resistansi berperanta MecA. Hasil uji kepekaan menunjukkan bahwa isolat S.aureus resistan (100%) terhadap antibiotik Ampicillin, Amoxicillin, Ceftazidime, Cefepime, Clindamycin dan Piperacillin-tazobactam. Pada penelitian ini, ditemukan S.aureus dengan resistansi berperantara MecA sejumlah 20% dari seluruh sampel dan uji kepekaan menunjukkan bahwa isolat S.aureus resistan terhadap antibiotik golongan penicillin, kombinasi penicillin dan inhibitor ß-laktam, cephem dan lincosamide.

Kata kunci : Staphylococcus aureus, dokter muda, pola kepekaan antibiotik, resistansi berperantara MecA


(14)

ABSTRACT

Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) are S.aureus isolates resistant to all ß-lactam antibiotics including penicillins. The MecA gene which encodes penicillin-binding protein 2a (PBP2a) is responsible for this resistance. MRSA is a significant cause of infections including skin and soft tissue infections (SSTI), bacteremia, endocarditis, pneumonia, osteomyelitis and infective arthritis. The aim of this study is to establish the incidence of S.aureus with MecA mediated resistance from the nasal swabs of healthcare workers in the Intensive Care Unit of RSUP Haji Adam Malik Medan and to study their antimicrobial susceptibility patterns.

This is a descriptive observational study with a cross sectional design. Screening of S.aureus with MecA mediated resistance was conducted on 30 healthcare workers working in the Intensive Care Unit of Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. The sample of this study is nasal swabs collected from the anterior part of the left and right nostril. The screening method used is Cefoxitin disc diffusion test. The antibiotic susceptibility patterns of the S.aureus isolates were also tested on 15 different antibiotics.

Staphylococcus aureus was isolated in 10 (33.3%) out of the 30 samples, and 6 (60%) of the 10 S.aureus isolates were positive for MecA mediated resistance. The antibiotic susceptibility test showed that the S.aureus isolates were resistant (100%) to the antibiotic Ampicillin, Amoxicillin, Ceftazidime, Cefepime, Clindamycin dan Piperacillin-tazobactam.

The results of this study is 20% of the sample is positive for S.aureus with MecA mediated resistance and the S.aureus isolates are resistant to antibiotics from the class penicillin, ß-lactam inhibitor combination, cephems and lincosamide.

Keywords : Staphylococcus aureus, healthcare workers, antibiotic susceptibility pattern, MecA mediated resistance


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk kokus dan biasanya tumbuh berkelompok seperti buah anggur. Bakteri ini juga bersifat non-motil (tidak bisa bergerak) dan tidak menghasilkan spora (Jawetz,2010). S. aureus merupakan penyebab tersering infeksi bakteria yang membahayakan nyawa. Setiap tahun di Amerika Serikat, sebanyak 400.000 pasien di rumah sakit diinfeksi dengan S. aureus dan diperkirakan sebanyak 100.000 daripada pasien ini meninggal disebabkan oleh komplikasi yang muncul akibat infeksi tersebut. Walaupun lebih daripada 8.000 orang yang meninggal dunia setiap bulan dari infeksi S. aureus, masalah ini jarang mendapat perhatian dari media maupun masyarakat karena kasus yang terjadi biasanya sporadik dan terdistribusi di seluruh negara (Freeman-Cook, 2006).

S. aureus bisa menyebabkan infeksi internal yang parah dan merupakan penyebab pneumonia nosokomial tersering kedua. S. aureus juga dapat menyebabkan meningitis, yang biasanya terjadi akibat infeksi setelah pembedahan otak atau bakteremia. Bakteri ini juga dapat menyebabkan infeksi yang amat menyakitkan pada cairan sendi. Infeksi ini disebut artritis infektif atau septik. Lebih parah lagi adalah osteomyelitis (suatu infeksi tulang terlokalisasi yang biasanya terjadi pada anak berusia 12 tahun ke bawah) dan infeksi pada katup jantung yang disebut endokarditis (Freeman-Cook, 2006).

Bakteri dapat menjadi resistan terhadap antibiotik apabila mereka mendapat materi genetik baru yang membawa sifat resistan (Inweregbu, 2005). Pada tahun 1961 di Inggris, muncul laporan tentang S. aureus yang resistan terhadap methicillin, strain ini disebut methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Tidak lama kemudian, isolat MRSA dijumpai di Jepang, Australia, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa lainnya. (Enright et al. 2002). Methicillin adalah antibiotik beta-laktam dari golongan penicillin (Katzung,2009). Methicillin pertama kali digunakan pada tahun 1959 untuk mengobati infeksi


(16)

yang disebabkan oleh strain S. aureus yang resistan terhadap antibiotik penicillin. Resistansi terhadap methicillin ditentukan oleh gen MecA yang mengkode suatu protein pembawa sifat resistan terhadap antibiotik tersebut (Enright et al. 2002). Bakteri Gram positif merupakan penyebab tersering infeksi nosokomial dan S. aureus sebagai patogen predominan (Inweregbu, 2005). Infeksi nosokomial merupakan suatu infeksi yang diperoleh pasien selama pasien tersebut dirawat di rumah sakit (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial dapat disebarkan dengan perantara manusia (pasien, pekerja di rumah sakit, pengunjung) dan lingkungan (air, udara, makanan, alat-alat). Manusia sebagai sumber infeksi nosokomial adalah mereka yang sedang menderita penyakit infeksi, sedang dalam masa inkubasi penyakit infeksi, dan orang sehat yang merupakan pembawa (carrier) mikroorganisme penyebab infeksi (Mims et al. 2004). Manusia dapat menjadi pembawa S. aureus tanpa gejala infeksi, dan hidung merupakan tempat kolonisasi paling sesuai di mana bakteri ini dapat diisolasi (Williams, 1963). Manusia sebagai pembawa S. aureus di rongga hidung mempunyai peran penting dalam epidemiologi dan patogenesis infeksi, terutama di lingkungan rumah sakit. Sekitar 16.8–56.15% pekerja kesehatan (health care workers) adalah pembawa S. aureus di rongga hidung (Kluytmans,1997). Pekerja kesehatan yang membawa strain virulen S. aureus dapat menjadi sumber infeksi nosokomial walaupun mereka tidak menderita penyakit akibat kuman tersebut.

Penggunaan antibiotik multipel adalah salah satu faktor risiko munculnya MRSA. Methicillin-resistant S. aureus sebagai strain virulen biasanya resistan terhadap beberapa kelompok antibiotik berspektrum luas. Flora normal di hidung seseorang akan mengalami modifikasi saat ia menggunakan antibiotik sistemik (Kluytmans,1997). Penelitian oleh Noble (1964), menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik penicillin yang berlebihan merupakan faktor risiko untuk kolonisasi penicillin resistant S. aureus pada rongga hidung pasien dan untuk penularan kuman tersebut ke pasien lain. Mekanisme penyebaran kuman yang berhubungan dengan penggunaan antibiotik ini berperan dalam meningkatnya prevalensi MRSA di rumah sakit. Berdasarkan penelitian Bellows (2013), adanya paparan dengan lingkungan rumah sakit meningkatkan prevalensi kolonisasi


(17)

hidung oleh MRSA pada populasi siswa kedokteran sekitar 0% - 3.2%. Saat ini belum ada data penelitian mengenai kolonisasi hidung oleh strain S. aureus ataupun skrining MRSA pada pekerja kesehatan di lingkungan rumah sakit di Medan, sehingga peneliti berminat untuk melakukan penelitian terhadap dokter muda yang bertugas di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.2. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

Apakah dijumpai S. aureus dengan resistansi berperantara MecA dari skrining sediaan usap hidung dokter muda yang bertugas di Instalasi Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah:

Mengetahui jumlah S. aureus dengan resistansi berperantara MecA yang dijumpai dari skrining sediaan usap hidung dokter muda yang bertugas di Instalasi Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

Mengetahui pola kepekaan bakteri S. aureus yang ditemukan dari sediaan usap hidung dokter muda yang bertugas di Instalasi Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, terhadap beberapa jenis antibiotik.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

- Sumber data dan informasi mengenai prevalensi S. aureus dengan resistansi berperantara MecA berdasarkan hasil skrining dari sediaan usap hidung dokter muda yang bertugas di Instalasi Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.


(18)

- Sumber data pola kepekaan kuman S. aureus dari sediaan usap hidung dokter muda yang bertugas di Instalasi Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

- Meningkatkan dan memperluas pengetahuan peneliti tentang proses penelitian kesehatan khususnya di bidang Mikrobiologi medik.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Staphylococcusaureus

Terdapat sekurang-kurangnya 40 spesies dalam genus Staphylococcus. Tiga spesies yang selalu ditemukan dengan kepentingan klinis adalah Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus saprophyticus. Staphylococcus aureus merupakan salah satu patogen utama pada manusia. Hampir setiap orang akan mengalami infeksi yang disebabkan oleh S. aureus dalam hidup mereka dengan tahap keparahan yang berbeda; dari keracunan makanan atau infeksi kulit minor hingga infeksi yang membahayakan nyawa (Jawetz, 2010). Staphylococcus aureus biasanya mengkolonisasi kulit dan membran mukosa manusia. Daerah depan (anterior) hidung merupakan habitat utama S. aureus, namun bakteri ini dapat dijumpai pada kulit, perineum, pharynx, saluran pencernaan (gastrointestinal), vagina dan ketiak (axilla) manusia (Wertheim, 2005).

Staphylococcus aureus pertama kali digambarkan oleh Anton Rosenbach seorang dokter asal Jerman pada tahun 1884 (Freeman-Cook, 2006). Staphylococcus aureus bersifat non-motil (tidak bisa bergerak), tidak membentuk spora dan tumbuh secara berkelompok menyerupai buah anggur. Bakteri Gram-positif ini mempunyai diameter 1µ m dan berbentuk kokus (bulat) (Jawetz, 2010). Secara biokimia, semua Staphylococci dapat memproduksi katalase (katalase dapat mendegradasi H2O2 menjadi O2 dan H2O). Katalase merupakan suatu faktor virulensi yang penting karena H2O2 bersifat mikrobisidal dan degradasi katalase membatasi kemampuan neutrofil untuk membunuh. Staphylococcus aureus dapat memproduksi koagulase yaitu suatu enzim yang dapat menyebabkan plasma menggumpal dengan mengaktivasi protrombin. (Levinson et al. 2002)

Batas suhu untuk pertumbuhan S. aureus adalah antara 15°C hingga 45°C dan bakteri ini dapat tumbuh pada lempeng agar yang mengandung NaCl sehingga konsentrasi 15% (Todar, 2012). Staphylococcus aureus dapat


(20)

memfermentasi manitol dan menghemolisis sel darah merah (Levinson et al. 2002). Pada lempeng agar, koloni yang terbentuk berwarna kuning keemasan (Todar, 2012).

2.1.1. Struktur Dinding Sel

Dinding sel bakteri terdiri dari jaringan makromolekul yang disebut peptidoglikan (dikenal juga sebagai murein) dan jaringan ini bisa tersusun tunggal atau dengan kombinasi zat lain. Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif. Dinding sel bakteri Gram positif mempunyai lapisan peptidoglikan yang banyak sehingga struktur yang terbentuk tebal dan kaku (Tortora, 2013). Peptidoglikan merupakan suatu target yang bagus untuk obat antibakteri karena peptidoglikan hanya dijumpai pada bakteri, bukan pada manusia (Levinson et al. 2002). Dinding sel kebanyakan bakteri gram positif mengandung asam teichoic dan asam teichuronic yang mengatur fungsi elastisitas, porositas, kekuatan tarik dan sifat elektrostatik dinding sel. Dinding sel bakteri memberi proteksi osmotik bagi bakteri, mempertahankan bentuk bakteri, meregulasi proses pembelahan sel dan menentukan karakteristik antigen bakteri (Jawetz, 2010).

2.1.2. Faktor Virulensi

Virulensi suatu organisme adalah derajat patogenisitas organisme tersebut. Virulensi bakteri bergantung pada struktur sel, eksotoksin dan endotoksin yang dimiliki bakteri tersebut, sehingga keseluruhan komponen itu disebut sebagai faktor virulensi (Gladwin, 2001). Staphylococcus aureus dapat memproduksi sejumlah besar faktor virulensi untuk memfasilitasi patogenesisnya. Pada awalnya, penelitian terfokus pada peran faktor virulensi protein permukaan seperti kapsul; namun sejak kebelakangan ini, peneliti mula memperhatikan pentingnya keseluruhan eksoprotein Staphylococcus, seperti sitolisin dan superantigen, dalam inisiasi dan perkembangan infeksi melalui kerusakan jaringan langsung ke membran mukosa dan kulit.


(21)

A. Faktor permukaan sel: Kapsul dan protein pengikat-fibronektin (Fibronectin-binding protein).

Faktor virulensi yang terkait dengan dinding sel Staphylococcus aureus mencakup polisakarida kapsuler (capsular polysaccharides, CPs), staphyloxanthin (pigmen karotenoid) dan sekelompok protein yang dikenal sebagai microbial surface components recognizing adhesive matrix molecules (MSCRAMMs).

Polisakarida kapsuler diproduksi oleh kira-kira 90% S. aureus isolat klinis, dan 2 serotipe (CP5 dan CP8) menyumbang sekitar 75% isolat yang ditemukan dari manusia. Fungsi utama kapsul pada virulensi Staphylococcus adalah untuk mencegah fagositosis oleh neutrofil, tetapi kapsul Staphylococcus juga telah ditunjukkan dapat meningkatkan kolonisasi bakteri dan ketahanan pada permukaan mukosa. Pigmen keemasan S. aureus yaitu staphyloxanthin, juga berfungsi untuk melawan neutrofil (fagositosis berbasis-oksidan reaktif). MSCRAMMs seperti faktor penggumpalan (Clumping factors, Clf), protein pengikat-fibronektin (fibronectn-binding proteins, FnBP), pengikat kolagen dan Protein A, mempunyai peran penting dalam pelekatan mikroba pada protein sel inang (antara lain: fibronektin, fibrinogen dan kolagen) dan menetapkan langkah pertama terjadinya infeksi. Protein-protein ini juga mencegah pengenalan organisme oleh sistem kekebalan tubuh inang. Sebagai contoh, faktor penggumpalan (Clf) dan protein pengikat-fibronektin (FnBP) dapat menyebabkan aktivasi platelet, yang mengakibatkan pembekuan. Protein A mengikat pada bagian Fc immunoglobulin untuk mencegah opsonisasi.

B. Faktor disekresi : Lipase, Sitolisin, Superantigen dan Protease

Berbeda dengan peran protektif dan pasif faktor virulensi yang terkait dengan dinding sel, faktor virulensi yang disekresi oleh S. aureus memainkan peran aktif dalam mengganggu sistem kekebalan tubuh inang dengan merusak sel inang dan jaringan, menghalangi sistem kekebalan tubuh inang melepaskan nutrisi dan memfasilitasi penyebaran bakteri. Faktor virulensi yang disekresi terdiri dari empat kategori utama: superantigen, toksin pembentuk-pori, berbagai eksoenzim dan bermacam-macam protein (Lin, 2010).


(22)

Tabel 2.1. Faktor-faktor virulensi yang disekresi Staphylococcus aureus

FAKTOR VIRULENSI FUNGSI

Toxic shock syndrome toxin 1; staphylococcal enterotoxins; staphylococcal enterotoxin-like toxins

Mengaktivasi sel T dan makrofag

Cytolysins (α-, β-, γ-, δ-toxins); phenolsoluble

modulin-like peptides;

leukocidins (Panton-Valentine leukocidin, PVL ; LukD/E)

Menyebabkan apoptosis (pada konsentrasi rendah) dan lisis berbagai sel termasuk eritrosit, limfosit, monosit, sel epitel; variasi target spesifik

Lipase Inaktivasi asam lemak

Hyaluronidase Degradasi asam hyaluronik Serine proteases; cysteine

proteases (termasuk staphopains); aureolysin

Menginaktifkan aktivitas proteolitik neutrofil; inaktivasi peptida antimikroba

Staphylokinase Aktivasi plasminogen; Inaktivasi peptida antimikroba

Exfoliative toxins Bertindak sebagai protease serine; mengaktivasi sel T

Chemotaxis inhibitory protein of S. aureus; Staphylococcal inhibitor of complement

Menghambat komplemen

Staphylococcal superantigen-like proteins; extracellular adherence protein

Menghambat komplemen C5 dan IgA; menghambat migrasi neutrofil


(23)

2.2. Antibiotik Betalaktam (ß-laktam) 2.2.1. Mekanisme kerja antibiotik ß-laktam

Penicillin, seperti semua antibiotik ß-laktam, menghambat pertumbuhan bakteri dengan mengganggu reaksi transpeptidasi sintesis dinding sel bakteri. Dinding sel bakteri berfungsi untuk menjaga bentuk sel dan integritas sel, dan mencegah terjadinya lisis sel yang disebabkan oleh tekanan osmotik tinggi. Dinding sel bakteri diperbuat daripada polimer kompleks polisakarida dan polipeptida serta peptidoglikan yang dihubungkan bersilangan (cross-linked). Polisakarida tersebut mengandung gula amino, acetylglucosamine dan asam N-acetylmuramic. Satu pentapeptida terhubung pada asam N-acetylmuramic; peptida ini akan terminasi pada D-alanyl-D-alanine. Dalam proses membentuk cross-link dengan peptida yang berdekatan, enzim penicillin binding protein (PBP) akan mengeluarkan alanine terminal tersebut. Antibiotik ß-laktam mempunyai struktur analog substrat alami D-Ala-D-Ala, mengikat secara kovalen pada active site PBP. Ini akan menyebabkan terjadi hambatan sintesis dinding sel bakteri karena proses transpeptidasi antara rantai peptidoglikan terganggu dan membawa kepada kematian sel. Mekanisme kematian sel yang tepat tidak diketahui, namun terdapat penglibatan autolisin dan gangguan pada morfogenesis dinding sel. Antibiotik ß-laktam hanya dapat membunuh sel bakteri pada waktu bakteri masih aktif tumbuh dan mensintesis dinding sel (Katzung, 2009)

2.2.2. Mekanisme Resistansi

Resistansi bakteri terhadap penicillin dan antibiotik ß-laktam lain dapat disebabkan oleh satu dari empat mekanisme umum: (a) inaktivasi antibiotik oleh enzim betalaktamase (ß-laktamase), (b) modifikasi target PBP, (c) gangguan penembusan obat ke target PBP, dan (d) effluks. Produksi enzim ß-laktamase merupakan mekanisme resistansi yang tersering. Terdapat ratusan enzim ß-laktamase yang telah diidentifikasi, bahkan ada enzim ß-ß-laktamase yang diproduksi oleh spesies bakteri tertentu yang mempunyai spesifisitas terhadap suatu substrat. Pengubahan target PBP merupakan dasar resistansi terhadap methicillin dalam Staphylococci. Organisme (bakteri) yang resistan ini akan memproduksi PBP dengan afinitas rendah pada pengikatan antibiotik ß-laktam.


(24)

Sebagai konsekuensinya, organisme ini tidak terhambat kecuali pada konsentrasi obat tinggi yang biasanya tidak tercapai secara klinis (Katzung, 2009). Semua bakteri termasuk S. aureus mempunyai membran plasma dan dinding sel. Kebanyakan zat obat memasuki sel melalui pori pada membran sel. Konsentrasi obat di dalam sel adalah sebanding dengan jumlah pori pada sel. Ada bakteri yang menjadi resistan terhadap obat (antibiotik) dengan mekanisme mengurangi jumlah pori pada membran sel. Pada bakteri dimaksud, jumlah obat yang memasuki sel tidak cukup untuk merusak atau membunuh bakteri tersebut. Ada pula bakteri yang memproduksi pompa efluks yang mengeluarkan antibiotik dari sel sebelum antibiotik tersebut dapat merusaknya. Terdapat pompa khusus untuk obat tertentu saja dan pompa yang dapat mengekspor berbagai obat. Pompa yang dapat mengekspor berbagai obat ini dikenal sebagai pompa multi-drug resistance (MDR) dan bakteri yang mempunyai pompa ini resistan terhadap berbagai antibiotik. Pompa MDR ini juga bisa mengeluarkan disinfektan dan antiseptik yang biasanya digunakan untuk membunuh bakteri pada permukaan. Pompa-pompa ini kemungkinan telah berevolusi dari fungsi aslinya yaitu mengekspor substansi kimia toksik yang dijumpai bakteri di alam (Freeman-Cook, 2006).

2.3. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA)

Wabah infeksi didapat di rumah sakit (hospital-acquired infections) yang disebabkan oleh methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) diakui dengan frekuensi meningkat di Amerika Serikat. Dua pertiga dari kasus infeksi ini berjangkit di instalasi perawatan intensif. Pasien rawat inap terinfeksi dan dikolonisasi MRSA menjadi reservoir utama, dimana tangan petugas rumah sakit sebagai pembawa transien MRSA merupakan mekanisme yang paling penting pada seri penularan kuman dari satu pasien ke pasien lain. Pada lebih dari 85% rumah sakit di mana MRSA telah ditemukan, strain MRSA telah menjadi patogen nosokomial endemik (Thompson, 1982).

Strain MRSA ditemukan segera setelah methicillin diperkenalkan dalam praktek klinis. Resistansi tersebut disebut intrinsik karena kerusakan yang terjadi bukan disebabkan oleh antibiotik ß-laktam. Wabah pertama infeksi yang


(25)

disebabkan oleh MRSA terjadi di rumah sakit Eropa pada awal tahun 1960. Sejak itu, strain MRSA dan methicillin-resistant coagulase-negative Staphylococci telah menyebar di seluruh dunia dan telah menjadi mapan di luar lingkungan rumah sakit, terutama dalam kalangan pasien di fasilitas perawatan penyakit kronis dan pencandu obat parenteral. Terjadi peningkatan yang stabil dalam prevalensi MRSA yang diisolasi di rumah sakit di Amerika Serikat sehingga sekarang, sekitar 25% dari isolat klinis S. aureus merupakan strain resistan methicillin (MRSA).

Sekitar 30 sampai 50 kb DNA kromosom tambahan, mec, tidak ditemukan pada methicillin-sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) namun terdapat pada MRSA. Mec selalu ditemukan dekat kelompok gen pur-nov-his pada kromosom S. aureus. Mec mengandung MecA, gen struktural untuk protein pengikat penicillin 2a (Pencillin-binding protein 2a, PBP 2a); mecI dan mecR1, elemen yang mengontrol transkripsi MecA; dan 20 sampai 45 kb DNA terasosiasi mec. MecA mengkode PBP 2a (juga dikenal sebagai PBP 2’), suatu 76-kDa PBP yang dapat diinduksi dan menentukan sifat resistan terhadap methicillin. Strain S.aureus yang rentan terhadap methicillin (MSSA) tidak memiliki gen MecA. Kedua MRSA dan MSSA menghasilkan empat PBP utama, PBPs 1, 2, 3, dan 4 dengan perkiraan massa molekul 85, 81, 75, dan 45 kDa. Penicillin-binding protein (PBP) adalah membran terikat DD-peptidase yang telah berevolusi dari protease serin (serine), dan mekanisme aktivitas biokimianya mirip dengan yang protease serin. Enzim-enzim ini mengkatalisis reaksi transpeptidasi yang membentuk cross-links pada peptidoglikan dinding sel bakteri. Antibiotik ß-laktam adalah analog substrat yang mengikat PBP secara kovalen di situs-aktif serin dan mengakibatkan inaktivasi enzim pada konsentrasi yang kurang lebih sama dengan minimum inhibitory concentration (MIC). Penicillin-binding proteins (PBP) 1,2 dan 3 memiliki afinitas tinggi untuk sebagian besar antibiotik ß-laktam, dan pengikatan antibiotik ß-laktam oleh PBP ini mematikan bagi sel bakteri. Pada sel bakteri yang resistan terhadap methicillin, PBP 2a, dengan afinitas rendah untuk mengikat antibiotik ß-laktam dapat menggantikan fungsi penting dari PBP dengan afinitas tinggi untuk mengikat antibiotik dalam konsentrasi antibiotik yang dinyatakan letal. (Chambers,1997).


(26)

2.4. Infeksi nosokomial

Infeksi nosokomial menurut World Health Organization (WHO) adalah adanya infeksi yang tampak pada pasien ketika pasien berada di dalam rumah sakit atau fasilitas kesehatan; dimana infeksi tersebut tidak tampak pada saat pasien diterima di rumah sakit. Pasien yang menunjukkan tanda-tanda infeksi setelah keluar dari rumah sakit dan infeksi pada petugas-petugas kesehatan yang bekerja di fasilitas kesehatan juga disebut sebagai infeksi nosokomial. Infeksi yang tampak setelah 48 jam pasien diterima dirumah sakit biasanya diduga sebagai suatu infeksi nosokomial.

Menurut Darmadi (2008), infeksi nosokomial merupakan suatu infeksi yang diperoleh pasien selama pasien tersebut dirawat di rumah sakit. Infeksi nosokomial dapat terjadi karena ada transmisi mikroba patogen dari lingkungan rumah sakit. Salah satu penyebab meningkatnya angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) di rumah sakit adalah infeksi nosokomial, sehingga ini dapat menjadi suatu masalah kesehatan di negara berkembang maupun di negara maju. Infeksi nosokomial juga dijadikan landasan mengukur mutu pelayanan rumah sakit, malah jika angka kejadian infeksi nosokomial di sebuah rumah sakit tinggi, maka izin operasional rumah sakit tersebut bisa ditarik kembali. Pihak asuransi juga tidak bersedia menanggung biaya yang ditimbulkan akibat infeksi nosokomial dan ini amat merugikan bagi pihak pasien.

World Health Organization (WHO) telah mengelola suatu survei mengenai prevalensi infeksi nosokomial dalam 55 rumah sakit di 14 negara. Negara-negara ini mewakili 4 wilayah WHO yaitu Eropa, wilayah Mediterania Timur, Asia Tenggara dan wilayah Pasifik Barat. Hasil dari survei ini menyatakan rata-rata 8,7% pasien di rumah sakit mengalami infeksi nosokomial. Lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia menderita akibat komplikasi infeksi yang didapat di rumah sakit. Frekuensi terjadinya infeksi nosokomial yang paling tinggi dilaporkan pada rumah sakit di wilayah Mediterania Timur sebesar 11,8%. Ini diikuti dengan wilayah Asia Tenggara dengan frekuensi 10.0%, wilayah Pasifik Barat dengan frekuensi 9,0% dan wilayah Eropa dengan frekuensi 7,7%.


(27)

Infeksi nosokomial yang paling sering terjadi adalah infeksi luka bedah, infeksi saluran kemih dan infeksi saluran pernafasan bagian bawah. Menurut studi yang dijalankan oleh WHO dan lain-lain, prevalensi terjadinya infeksi nosokomial adalah paling tinggi di instalasi perawatan intensif dan di bangsal bedah akut serta bangsal ortopedi. Tingkat infeksi lebih tinggi pada kalangan pasien dengan peningkatan kerentanan disebabkan oleh usia lanjut, penyakit yang mendasari atau kemoterapi.


(28)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka konsep

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Gambar 3.1. Kerangka konsep

3.2. Definisi Operasional

1. Usap hidung ataupun nasal swab merupakan cara untuk mengambil sampel klinis, salah satunya dengan cara menyeka kapas lidi steril pada bagian anterior rongga hidung.

2. Dokter muda adalah seorang mahasiswa atau mahasiswi fakultas kedokteran yang sudah mendapat gelar sarjana kedokteran dan menjalani program pengembangan profesi dokter.

3. Instalasi Perawatan Intensif merupakan suatu bagian di rumah sakit yang melakukan perawatan kesehatan secara lengkap dan terus-menerus; dan kegiatan pendukung kehidupan serta terapi pasti pada penderita dengan penyakit/kondisi yang mengancam kehidupan.

Pengambilan sampel swab hidung

Identifikasi S. aureus

Skrining MRSA

MRSA MSSA


(29)

4. Kultur merupakan pembiakan kuman dengan menggunakan media yang sesuai.

5. Pewarnaan gram merupakan pewarnaan diferensial yang menggunakan lebih dari satu macam zat warna untuk mengidentifikasi bakteri dengan mewarnai bakteri.

6. Identifikasi spesies merupakan suatu cara untuk mengetahui spesies dari bakteri yang ditemukan dengan melakukan uji katalase.

7. Staphylococcus aureus adalah suatu bakteri gram positif berbentuk kokus. Isolat S. aureus dapat tumbuh pada media kultur Mannitol Salt Agar (MSA) dan akan memfermentasi mannitol dalam media tersebut. Koloni S. aureus yang tumbuh berwarna kuning keemasan dan media berubah dari merah menjadi berwarna kuning hasil reaksi fermentasi manitol.

8. Resistansi berperantara MecA adalah resistansi S. aureus terhadap methicillin yang dibawa oleh gen MecA.

•Cara ukur : uji kepekaan metode difusi menggunakan cakram cefoxitin pada media agar Mueller Hinton.

•Alat ukur : Jangka sorong (caliper) •Hasil ukur :

o Bila zona hambat di sekitar cakram cefoxitin ≤21 mm maka dinyatakan positif MecA setelah disesuaikan dengan pedoman Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) dokumen M100-S23.

o Bila zona hambat di sekitar cakram cefoxitin ≥22 mm maka dinyatakan negatif MecA setelah disesuaikan dengan pedoman CLSI dokumen M100-S23.

9. Zona hambat merupakan daerah di sekitar/sekeliling cakram antimikroba yang jernih dan tidak ditumbuhi koloni bakteri. Diameter zona hambat yang diukur dalam satuan milimeter dapat digunakan untuk menentukan sensitivitas bakteri terhadap suatu zat yang diuji.

• Cara ukur: uji kepekaan metode difusi cakram • Alat ukur : Jangka sorong (kaliper)


(30)

• Hasil ukur:

o Jika terdapat zona hambat, maka zat yang digunakan kemungkinan mempunyai daya antibakteri terhadap organisme yang diuji.

o Jika tidak ada zona hambat, maka zat yang digunakan tidak mempunyai daya antibakteri terhadap organisme yang diuji.


(31)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif observasional dengan desain kros-seksional (potong lintang), yaitu suatu penelitian yang bersifat mengumpulkan informasi berdasarkan hasil skrining S. aureus dengan resistansi berperantara MecA dari sediaan usap hidung dokter muda di Instalasi Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, menggunakan metode standar yang dikerjakan di Laboratorium Mikrobiologi Klinis.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan di Instalasi Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Identifikasi dan skrining S. aureus dengan resistansi berperantara MecA dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Peneliti memilih Instalasi Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan sebagai tempat dilakukannya penelitian karena berdasarkan referensi, lokasi tersebut mempunyai prevalensi tertinggi untuk terjadinya infeksi nosokomial.

4.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 10 bulan, mulai dari peneliti menentukan judul, menyusun proposal hingga seminar hasil yang berlangsung dari bulan Maret 2013 hingga Desember 2013.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah dokter muda yang bertugas di Instalasi Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Terdapat beberapa jenis Instalasi Perawatan Intensif di Rumah Sakit Umum Pusat Haji


(32)

Adam Malik Medan yaitu Instalasi Perawatan Intensif Anak, Instalasi Perawatan Intensif Jantung, Instalasi Perawatan Intensif Bedah dan Instalasi Perawatan Intensif Dewasa.

4.3.2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian ini ialah usap hidung semua dokter muda yang sedang bertugas di Instalasi Perawatan Intensif Anak, Instalasi Perawatan Intensif Bedah dan Instalasi Perawatan Intensif Dewasa pada saat peneliti melakukan skrining. Kriteria inklusi penelitian ini adalah persetujuan dokter muda untuk menjadi sampel penelitian dan bersedia menandatangani persetujuan setelah penjelasan (informed consent).

4.4. Metode Pengumpulan Data

Data yang diambil selama penelitian berlangsung di Instalasi Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan merupakan data primer yaitu sediaan usap hidung dokter muda yang bertugas di Instalasi Perawatan Intensif Anak, Instalasi Perawatan Intensif Bedah dan Instalasi Perawatan Intensif Dewasa.

4.4.1. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: - Agar darah

- Cawan petri

- Mannitol salt agar (MSA) - Mueller Hinton Agar - Nutrient agar plate - Cakram Cefoxitin

- Cakram antibiotika (Ampicillin 10 µg, Amoxicillin-Clavulanic acid 10 µg, Amoxicillin 10 µg, Ceftazidime 30 µg, Ciprofloxacin 5 µg, Cefotaxime 30 µg, Cefepime 30 µg, Gentamicin 10 µg, Clindamycin 2 µg, Imipenem 10 µg, Levofloxacin 5 µg, Meropenem 10 µg, Sulfamethoxazole 23.75 µg, Piperacillin-tazobactam 10 µg)


(33)

- Ose - H2O2

- Test kit Koagulase - Bunsen

- Saline (NaCl fisiologis) - Jangka sorong

- Pinset

- Tabung reaksi + rak

- BD® culture swab + Amies media

Prosedur pengambilan sampel menggunakan swab (usap) hidung:

1. Menggunakan swab steril (BD® culture swab + Amies media) yang digerakkan memutar pada bagian depan di dalam hidung kiri dan kanan 2. Spesimen segera dibawa ke lab dan diproses untuk identifikasi

Prosedur inokulasi dan identifikasi S. aureus (Leboffe, 2012):

1. Plat agar dilabel dengan nama, tarikh dan sampel menggunakan spidol 2. Pegang swab dengan satu tangan dan angkat penutup cawan petri

menggunakan tangan yang lain. Gunakan penutup cawan petri untuk memproteksi agar dari kontaminan yang terdapat di udara. Cawan petri juga bisa diangkat ketika goresan swab dilakukan.

3. Goreskan swab tersebut pada permukaan agar darah dan MSA dengan pola zigzag. Tekan dan putar kapas lidi steril saat melakukan goresan tetapi hindari merusak permukaan agar.

4. Kembalikan semula penutup cawan petri.

5. Lakukan pembuangan swab mengikuti protokol laboratorium 6. Lalu eramkan dalam inkubator pada suhu 35°C selama 24 jam.

7. Setelah keesokan harinya, diamati koloni yang tumbuh pada media kultur, dibuat pewarnaan Gram lalu dilakukan pengamatan mikroskopis dari sediaan yang diwarnai.


(34)

8. Lakukan uji katalase & koagulase terhadap koloni yang tumbuh

9. Isolat dinyatakan sebagai S. aureus berdasarkan pengamatan makroskopis, pengamatan mikroskopis dan hasil uji katalase & koagulase positif.

Prosedur skrining MRSA (CLSI, 2013):

1. Dilakukan prosedur uji kepekaan metode difusi cakram menggunakan cakram cefoxitin 30µg

2. Inkubasi pada suhu 33-35 ºC selama 24 jam

3. Bila zona hambat di sekitar cakram cefoxitin ≤ 21 mm maka dinyatakan positif MecA

4. Bila zona hambat di sekitar cakram cefoxitin ≥ 22 mm maka dinyatakan negatif MecA

Prosedur uji kepekaan metode difusi cakram (Vinisia, 2010) :

1. Siapkan lempeng plat agar (Mueller Hinton Agar), tebal lempeng agar lebih kurang 4 mm dan bisa disimpan pada suhu 4°C. Bila permukaan agar basah, keringkan dulu dengan memasukkannya ke dalam inkubator 37°C selama setengah jam.

2. Membuat inokulum bakteri: koloni bakteri diambil menggunakan

ose/sengkelit dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi medium

cair NaCl dan dieramkan selama 30 menit pada suhu 36°-37°C.

Kekeruhan inokulum bakteri disesuaikan dengan kekeruhan standar 0,5 McFarland.

3. Kapas lidi steril dicelupkan ke dalam inokulum bakteri yang

kekeruhannya telah sesuai dengan standar 0,5 McFarland. Tekan kapas lidi pada dinding sebelah dalam tabung reaksi. Oleskan pada permukaan medium Mueller Hinton Agar hingga rata (dioleskan 2 arah). Biarkan lempeng agar tersebut mengering selama 3-5 menit.

4. Letakkan cakram antimikroba di atas permukaan lempeng agar dengan


(35)

permukaan lempeng agar. Lalu eramkan pada suhu 37°C selama 18-24 jam.

5. Amati daerah jernih di sekitar cakram yang tidak ditumbuhi bakteri (zona hambat), lalu zona hambat diukur dengan alat kaliper (jangka sorong). Ukur zona hambat di sekitar cakram dengan menggunakan kaliper dalam satuan milimeter.

6. Untuk menentukan bakteri peka atau resistan terhadap antibiotik

disesuaikan diameter zona hambat dengan pedoman CLSI dokumen M100-S22 untuk Staphylococcus spp. (CLSI, 2012).

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dari setiap pengukuran dicatat lalu ditabulasi untuk mempermudah pengolahan dan pembahasan.


(36)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Instalasi Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan yang berlokasi di Jalan Bunga Lau No.17, Medan Selayang Sumatera Utara dan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU) yang berlokasi di Jalan Universitas No.1 Kampus USU, Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru, Provinsi Sumatera Utara.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah usap hidung semua dokter muda yang bertugas di Instalasi Perawatan Intensif Anak, Instalasi Perawatan Intensif Bedah dan Instalasi Perawatan Intensif Dewasa RSUP HAM Medan pada saat peneliti melakukan skrining, dengan jumlah sebanyak 30 sampel.

5.1.3. Hasil Uji Laboratorium

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FK USU diperoleh data-data yang terangkum dalam tabel berikut:

Tabel 5.1. Distribusi isolat S.aureus berdasarkan jenis kelamin Positif S.aureus

f (%)

Negatif S.aureus f (%)

Jumlah f (%)

Laki-laki 3 (21,4%) 11 (78,6%) 14 (46,7%)

Perempuan 7 (43,8%) 9 (56,2%) 16 (53,3%)

Total 10 (33,3%) 20 (66,7%) 30 (100%)

Keterangan: f = frekuensi

Dari tabel 5.1 dapat diketahui bahwa isolat S. aureus ditemukan pada 10 orang (33,3%) dokter muda yang bertugas di Instalasi Perawatan Intensif RSUP HAM Medan yaitu pada 3 (21,4%) laki-laki dan 7 (43,8%) perempuan.


(37)

Tabel 5.2. Hasil skrining S. aureus dengan resistansi berperantara MecA.

No. Sampel MecA

3 Negatif

5 Positif

10 Positif

17 Positif

19 Negatif

20 Positif

23 Positif

25 Negatif

26 Positif

29 Negatif

Dalam penelitian ini, diketahui bahwa diameter zona hambat terkecil Cefoxitin terhadap S.aureus adalah 11,0 mm dan diameter zona hambat terbesar adalah 27,5 mm dimana rata-rata zona hambat Cefoxitin terhadap pertumbuhan S. aureus adalah 19,6 mm.

Pada penelitian ini, S. aureus dikatakan positif MecA apabila zona hambat di sekitar cakram cefoxitin ≤ 21 mm dan negatif MecA bila zona hambat di sekitar cakram Cefoxitin ≥ 22 mm setelah disesuaikan dengan pedoman CLSI. Dari tabel 5.2 dapat diketahui 6 (60%) dari 10 isolat S. aureus yang berhasil diidentifikasi adalah strain positif MecA.

Dari hasil uji kepekaan dengan metode difusi cakram terhadap 15 jenis antibiotika, didapatkan hasil seperti berikut :


(38)

Tabel 5.3. Profil sensitivitas sampel S.aureus terhadap 15 antibiotik ANTIBIOTIK SENSITIF

f (%)

INTERMEDIATE f (%)

RESISTAN f (%)

Ampicillin 0 (0%) - 10 (100%)

Amoxicillin-Clavulanic acid

7 (70%) - 3 (30%)

Amoxicillin 0 (0%) - 10 (100%)

Ceftazidime 0 (0%) 0 (0%) 10 (100%)

Ciprofloxacin 8 (80%) 0 (0%) 2 (20%)

Cefotaxime 4 (40%) 4 (40%) 2 (20%)

Cefepime 0 (0%) 0 (0%) 10 (100%)

Gentamicin 10 (100%) 0 (0%) 0 (0%)

Clindamycin 0 (0%) 0 (0%) 10 (100%)

Imipenem 10 (100%) 0 (0%) 0 (0%)

Levofloxacin 8 (80%) 0 (0%) 2 (20%)

Meropenem 0 (0%) 1 (10%)

Trimethoprim-Sulfamethoxazole

9 (90%) 0 (0%) 1 (10%)

Piperacillin- tazobactam

0 (0%) - 10 (100%)

Cefoxitin 4 (40%) - 6 (60%)

Keterangan: f = frekuensi

Dari uji kepekaan isolat S. aureus terhadap 15 antibiotika, ditemukan bahwa isolat tersebut telah resistan terhadap beberapa antibiotik. Antibiotika tersebut adalah Ampicillin, Amoxicillin, Ceftazidime, Cefepime, Clindamycin dan Piperacillin-tazobactam.

5.2. Pembahasan

Pada penelitian ini telah dilakukan skrining terhadap 30 sampel usap hidung dokter muda yang bertugas di Instalasi Perawatan Intensif RSUP HAM Medan. Dari 30 sampel tersebut, sebanyak 10 sampel telah diidentifikasi sebagai isolat S. aureus (33,3%) dan 6 isolat S. aureus dari 10 sampel tersebut positif untuk resistensi berperantara MecA (60%). Dari 30 sampel tersebut sebanyak 20% sampel adalah positif untuk S. aureus dengan resistansi berperantara MecA. Menurut penelitian Rongpharpi, S.R et al. (2013), persentase S. aureus yang


(39)

diisolasi dari petugas kesehatan sebanyak 22,22% dan sebanyak 11,43% positif untuk resistensi berperantara MecA. Penelitian lain di Ethiopia mendapatkan 28,8% isolat S. aureus dari petugas kesehatan dan 44,1% dari isolat tersebut adalah MRSA (Shibabaw, 2013). Persentase isolat S. aureus dan S. aureus dengan resistansi berperantara MecA yang diisolasi pada penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian tersebut, hal ini dapat disebabkan perbedaan jumlah sampel penelitian.

Dari hasil penelitian ini, diperoleh jumlah dokter muda laki-laki sebanyak 14 orang (46,7%) dan 3 dari mereka positif untuk isolat S.aureus (21,4%). Jumlah dokter muda perempuan pula sebanyak 16 orang (53,3%) dan 7 dari mereka positif untuk isolat S.aureus (43,8%). Penelitian yang dilakukan oleh Rongpharpi, S.R et al. (2013) melaporkan sebanyak 54,3% pekerja kesehatan yang positif untuk isolat S.aureus adalah laki-laki dan 45,7% adalah perempuan. Dalam penelitian ini, hanya 1 (16,7%) laki-laki yang positif skrining MRSA dan sebanyak 5 (83,3%) perempuan yang positif skrining MRSA. Penelitian yang dilakukan oleh Gebreyesus (2013) melaporkan persentase pekerja kesehatan perempuan yang positif skrining MRSA sebanyak 14,1% dan laki-laki sebanyak 6,2%. Menurut penelitian lain di Iran, sebanyak 34,4% petugas kesehatan laki-laki positif skrining MRSA dan sebanyak 65,6% petugas kesehatan wanita positif skrining MRSA (Askarian, 2009). Perbedaan persentase jumlah hasil skrining MRSA positif antara laki-laki dengan perempuan ini dapat disebabkan adanya perbedaan komitmen dalam usaha pengendalian infeksi dan usaha masing-masing dalam menjaga kebersihan diri ataupun faktor-faktor lain yang dapat diselidiki pada penelitian lebih lanjut (Shibabaw, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian ini, isolat S. aureus telah resistan (100%) terhadap 6 dari 15 antibiotik yang diuji. Antibiotik yang dimaksud yaitu Ampicillin, Amoxicillin, Ceftazidime, Cefepime, Clindamycin dan Piperacillin-tazobactam. Pada penelitian Rongpharpi, S.R et al. (2013), tidak ada isolat S. aureus yang 100% resistan terhadap antibiotik, dimana hasil profil sensitivitas Ampicillin menunjukkan resistansi sebanyak 88,6%. Resistansi isolat S. aureus terhadap Amoxicillin menurut penelitian Monem, (2012) adalah sebanyak 82,1%


(40)

pada strain MRSA dan 23,8% pada strain MSSA. Menurut penelitian Ahmed MO et al. (2012), resistansi terhadap antibiotik Clindamycin adalah 30%. Resistansi isolat S.aureus terhadap 6 jenis antibiotik ini mungkin terjadi oleh karena penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Di negara-negara berkembang, resep dokter tidak diperlukan untuk membeli antibiotik, bahkan antibiotika dapat diperoleh dengan mudah sebab diperjualbelikan layaknya seperti obat bebas. Peresepan antibiotika yang tidak rasional oleh dokter juga menyumbang pada berkembangya sifat resistan bakteri terhadap antibiotika.

Dalam penelitian ini, ditemukan isolat S.aureus sensitif (100%) terhadap 2 dari 15 antibiotik yang digunakan yaitu Gentamicin dan Imipenem. Menurut penelitian Monem (2012), sensitivitas isolat S. aureus strain MRSA terhadap Gentamicin sebanyak 97,4% dan 95,2% pada strain MSSA. Penelitian yang dilakukan oleh Fadeyi et al. (2010) pula melaporkan sensitivitas antibiotik isolat MRSA sebanyak 36,7% terhadap antibiotik Gentamicin. Berdasarkan pedoman CLSI dokumen M100-S23, Staphylococcus spp. yang sensitif terhadap Cefoxitin dapat dianggap sensitif pula terhadap antibiotika Carbapenem (termasuk Imipenem) dan berlaku sebaliknya (CLSI, 2013). Namun pada penelitian ini seluruh isolat S. aureus (termasuk MRSA) sensitif terhadap Imipenem, dengan demikian sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kadar sensitivitas MRSA terhadap antibiotika golongan Carbapenem. Berdasarkan pedoman yang sama dinyatakan pula bahwa pada Staphylococcus spp. yang sensitif terhadap antibiotika golongan Aminoglikosida (termasuk Gentamicin), antibiotik ini hanya boleh digunakan dalam kombinasi dengan antibiotik lain yang hasil uji kepekaannya juga sensitif (CLSI, 2013). Hal ini sebaiknya diperhatikan dalam penggunaan antibiotika untuk mengatasi infeksi yang disebabkan Staphylococcus spp., untuk menghindari munculnya strain MDR dari bakteri ini.


(41)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :

- Sebanyak 10 dari 30 sampel usap hidung dokter muda yang bertugas di Instalasi Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan positif untuk isolat S. aureus (33,3%) dan berdasarkan hasil skrining, 6 dari 10 (60%) isolat tersebut positif membawa sifat resistansi berperantara MecA.

- Dari hasil uji kepekaan bakteri terhadap 15 jenis antibiotik, ditemukan bahwa isolat S. aureus telah resistan (100%) terhadap Ampicillin, Amoxicillin, Ceftazidime, Cefepime, Clindamycin dan Piperacillin-tazobactam.

6.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, dapat dibuat saran-saran sebagai berikut : - Perlu dilakukan skrining S. aureus dengan resistansi berperantara MecA

terhadap petugas kesehatan yang bertugas di Instalasi Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan secara berkala.

- Sebaiknya peresepan antibiotika diberikan secara rasional dan sesuai dengan hasil uji kepekaan.

- Hendaknya dilakukan pemantauan penggunaan antibiotika dan efektivitasnya terutama di lingkungan rumah sakit.


(42)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, M., Elramalli, A., Amri, S., Abuzweda, A. and Abouzeed, Y. 2012. Isolation and screening of methicillin-resistant Staphylococcus aureus from health care workers in Libyan hospitals. Eastern Mediterranean Health Journal, 18 (1), pp. 37-42. [Accessed: 2 Dec 2013].

Askarian, M., Zeinalzadeh, A., Japoni, A., Alborzi, A. and Memish, Z. A. 2009. Prevalence of nasal carriage of methicillin-resistant Staphylococcus aureus and its antibiotic susceptibility pattern in healthcare workers at Namazi Hospital, Shiraz, Iran. International Journal of Infectious Diseases, 13 (5), pp. 241--247.

Bellows, C., Smith, A., Wheeler, J. and Morici, L. 2013. Nasal carriage of methicillin-resistant Staphylococcus aureus among students at a Louisiana medical university. The Brazilian Journal of Infectious Diseases, 17 (1), pp.118-119. Available at:

Broekema, N. (2009) Comparison of Cefoxitin and Oxacillin Disk Diffusion Methods for Detection of mecA-Mediated Resistance in Staphylococcus aureus in a Large-Scale Study. Journal of Clinical Microbiology, 47 (1), p.217-219.

Chambers, H. 1997. Methicillin Resistance in Staphylococci: Molecular and Biochemical Basis and Clinical Implications. Clinical Microbiology Reviews, 10 (4), pp.781-791.

Clinical and Laboratory Standards Institute (2012) Clinical and Laboratory Standards Institute. Performance Standards for Antimicrobial Susceptibility Testing; Twenty-Second Informational Supplement. CLSI document M100-S22; 32 (3), p.70-83.

Clinical and Laboratory Standards Institute (2013) Clinical and Laboratory Standards Institute. Performance Standards for Antimicrobial Susceptibility Testing; Twenty-Third Informational Supplement. CLSI document M100-S23;33 (1), p.74-81.

Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial : Problematika dan Pengendaliannya. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.


(43)

Enright, M., Robinson, D., Randle, G., Fell, E., Grundmann, H. and Spratt, B. 2002. The evolutionary history of methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). PNAS, 99 (11), pp.7687-7692. Available at:

Fadeyi, A., Bolaji, B., Oyedepo, O., Adesiyun, O., Adeboye, M., Olanrewaju, T., Aderibigbe, A., Salami, A., Desalu, O., Fowotade, A., Nwabuisi, C., Akanbi II, A., Raheem, R. and Olalere, A. 2010. Methicillin Resistan Staphylococcus aureus Carriage amongst Healthcare Workers of the Critical Care Units in a Nigerian Hospital. American Journal of Infectious Diseases, 6 (1), pp. 18-23. [Accessed: 2 Dec 2013].

Freeman-Cook, L. and Freeman-Cook, K. 2006. Staphylococcus aureus infections. Philadelphia: Chelsea House Publishers.

Gebreyesus, A., Gebre-Selassie, S. and Mihert, A. 2013. Nasal and hand carriage rate of methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) among health care workers in Mekelle Hospital, North Ethiopia. Ethiopia Medical Journal, 51 (1), pp. 7-41.

Haddadin, A. (2002) Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) in the intensive care unit. Postgrad Med J, 78 p.385-392. Available at: pmj.bmj.com [Accessed: 31 May 2013].

Gladwin, M. and Trattler, B. 2001. Clinical microbiology made ridiculously simple. Miami, Fla.: MedMaster.

Inweregbu, K., Dave, J. and Pittard, A. 2005. Nosocomial infections. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain, 5 (1), pp.14-17. Available at: http://ceaccp.oxfordjournals.org/ [Accessed: 10th May 2013].

Jawetz, E., Melnick, J., Adelberg, E., Brooks, G., Carroll, K., Butel, J. and Morse, S. 2010. Jawetz, Melnick & Adelberg's Medical Microbiology. New York: McGraw-Hill Medical.

Katzung, B., Masters, S. and Trevor, A. 2009. Basic & Clinical Pharmacology. New York: McGraw-Hill Medical.

Kluytmans, J., Belkum, A. and Verbrugh, H. 1997. Nasal Carriage of Staphylococcus aureus: Epidemiology, Underlying Mechanisms, and Associated Risks. Clinical Microbiology Reviews, 10 (3), pp.505-520. Available at: http://cmr.asm.org/ [Accessed: 29 April 2013].


(44)

Levinson, W. and Jawetz, E. 2002. Medical Microbiology & Immunology. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill.

Lin, Y. and Peterson, M. 2010. New Insights into the Prevention of Staphylococcal Infections and Toxic Shock Syndrome. Expert Reviews Clinical Pharmacology, 3 (6), pp.753-767. Available at:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3102526/ [Accessed: 3rd June 2013].

Mims, C. 2004. Medical Microbiology. Edinburgh: Mosby.

Monem, A. 2012. Nasal Carriage of Staphylococcus aureus among Healthcare Workers in Althawra Hospital, Taiz City, Republic of Yemen. Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 6 (7), pp. 417-424. [Accessed: 2 Dec 2013].

Noble, W., Williams, R., Jevons, M. and Shooter, R. 1964. Some aspects of nasal carriage of staphylococci. J. clin. Path., 17 pp.79-83.

QA Committee of Mt Sinai Hospital. (2011) Pre-analytical Procedure - Specimen Collection . [online] Available at: http://www.mountsinai.on.ca/ [Accessed: 4 Jun 2013].

Rongpharpi, S., Hazarika, N. and Kalita, H. 2013. The Prevalence of Nasal Carriage of Staphylococcus aureus among Healthcare Workers at a Tertiary Care Hospital in Assam with Special Reference to MRSA. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 7 (2), pp. 257-260. [Accessed: 2 Dec 2013].

Shibabaw, A., Abebe, T. and Mihret, A. 2013. Nasal carriage rate of methicillin resistant Staphylococcus aureus among Dessie Referral Hospital Health Care Workers; Dessie, Northeast Ethiopia.Antimicrobial Resistance and Infection Control, 2 (25), pp. 1-5. Available at: http://www.aricjournal.com/content/2/1/25 [Accessed: 7 Jan 2014].

Swenson, J., Lonsway, D., Mcallister, S., Thompson, A., Jevitt, L. and Patel, J. 2005. Detection of mecA-mediated Resistance Using Cefoxitin Disk Diffusion (DD) in a Collection of Staphylococcus aureus (SA) Expressing Borderline Oxacillin MICs. Interscience Conference on Antimicrobial Agents and Chemotherapy.

Textbookofbacteriology.net. 2012. Staphylococcus aureus. [online] Available at: http://textbookofbacteriology.net/staph.html [Accessed: 3 Jun 2013].


(45)

Thompson, R., Cabezudo, I. and Wenzel, R. 1982. Epidemiology of Nosocomial Infections Caused by Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. Annals of Internal Medicine, 97 (3), pp.309-317. Available at:

Vinisia. 2010. Profil Kondisi Sterilitas dan Uji Kepekaan Antibiotik Terhadap Bakteri yang Ditemukan pada Peralatan Medis Instalasi Perawatan Intensif RSUP. H. Adam Malik. Available at:

Wertheim, H., Melles, D., Vos, M., Leeuwen, W., Belkum, A., Verbrugh, H. and Nouwen, J. 2005. The role of nasal carriage in Staphylococcus aureus infections. Lancet Infect, 5 pp.751-762. Available at:

Williams, R. 1963. Healthy carriage of Staphylococcus aureus. Bacteriol. Rev., 27 pp.56-71.

World Health Organization. 2002. Prevention of hospital-acquired infections.

[online] Available at: http://www.who.int/csr/resources/publications/whocdscsreph200212.pdf


(46)

Lampiran 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : MUNGUNTHANII KRISHNAMOORTHY Tempat / Tanggal lahir : SELANGOR/ 15 DISEMBER 1992

Agama : Hindu

Alamat : Jln Kangkung No. 36, Kelurahan Petisah Hulu, Kecamatan

Medan Baru, Kota Medan

Riwayat Pendidikan : 1. Sekolah Tinggi Port Dickson (2005-2009) 2. Fakultas Kedokteran USU (2010-2015) Riwayat Pelatihan : 1. Pengawas (2006-2009)

2. Lembaga Disiplin Pengawas (2008-2009) Riwayat Organisasi : 1. Ahli St. John Ambulance (2005-2009) 2. Pengerusi Kelab Bahasa Inggeris (2006-2007) 3. Bendahari Kelab Koir (2008-2009)

4. AJK Loker (2008-2009)

5. Fasilitator Pengawas (2008-2009)

6. Ahli Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia di


(47)

Lampiran 2 Lembar Penjelasan

LEMBAR PENJELASAN

Saya yang bernama Mungunthanii Krishnamoorthy adalah Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang akan melakukan penelitian yang berjudul “Skrining Staphylococcus aureus dengan Resistansi Berperantara MecA dari Sediaan Usap Hidung pada Dokter Muda di Instalasi Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan”. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu kegiatan dalam rangka menyelesaikan proses belajar dan mengajar pada semester ketujuh.

Untuk keperluan tersebut saya mohon kesediaan Ibu/Bapa menjadi responden dalam penelitian ini . Partisipasi Ibu/Bapa dalam penelitian ini bersifat sukarela sehingga Ibu/Bapa bebas mengundurkan diri setiap saat tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Data pribadi dan jawaban yang diberikan akan dirahasiakan dan hanya digunakan untuk penelitian ini. Jika Ibu/Bapa bersedia menjadi responden, silahkan menandatangani lembar persetujuan.

Atas perhatian dan kesediaan Ibu/Bapa menjadi responden dalam penelitian ini saya ucapkan terima kasih.

Medan, 2013 Peneliti,


(48)

Lampiran 3 Lembar Persetujuan

FORMULIR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

SURAT PERNYATAAN BERSEDIA IKUT PENELITIAN

Saya yang betanda tangan dibawah ini : Nama :

Umur : Jenis Kelamin : Alamat : Telp/ HP :

Setelah mendapat penjelasan dari peneliti tentang manfaat penelitian “Skrining Staphylococcus aureus dengan Resistansi Berperantara MecA dari Sediaan Usap Hidung pada Dokter Muda di Instalasi Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Meda ” dan telah memahaminya, maka saya menyatakan secara sukarela dan tanpa paksaan bersedia untuk ikut serta dalam penelitian ini.

Demikian surat pernyataan bersedia ikut dalam penelitian ini saya buat untuk dapat dipergunakan sepenuhnya.

Medan, 2013 Saksi Peserta


(49)

Lampiran 4 Diameter zona hambat dan standar interpretasi MIC untuk Staphylococcus spp. Sesuai dengan pedoman Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI)

Antibiotic Sensitive Intermediate Resistant

Ampicillin ≥29 - ≤28

Clavulanic acid ≥20 - ≤19

Amoxicillin ≥20 - ≤19

Ceftazidime ≥18 15-17 ≤14

Ciprofloxacin ≥21 16-20 ≤15

Cefotaxime ≥23 15-22 ≤14

Cefepime ≥18 15-17 ≤14

Gentamicin ≥15 13-14 ≤12

Clindamycin ≥21 15-20 ≤14

Imipenem ≥16 14-15 ≤13

Levofloxacin ≥19 16-18 ≤15

Meropenem ≥16 14-15 ≤13

Sulfametoxazole ≥16 11-15 ≤10

Piperacillin-tazobactam

≥18 - ≤17


(50)

Lampiran 5 Hasil kultur usap hidung

No.Sampel S. aureus

1 -

2 -

3 +

4 -

5 +

6 -

7 -

8 -

9 -

10 +

11 -

12 -

13 -

14 -

15 -

16 -

17 +

18 -

19 +

20 +

21 -


(51)

23 +

24 -

25 +

26 +

27 -

28 -

29 +


(52)

Zona Hambat (mm) Antibiotik Sampel

3 Sampel 5 Sampel 10 Sampel 17 Sampel 19 Sampel 20 Sampel 23 Sampel 25 Sampel 26 Sampel 29

Ampicillin 6.0 13.5 15.0 13.5 13.0 .0 7.5 9.0 12.0 .0

Amoxicillin-Clavulanic acid 21.0 15.5 14.0 13.0 30.0 21.0 20.5 25.5 30.5 31.0

Amoxicillin .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0

Ceftazidime .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0

Ciprofloxacin 23.0 4.0 21.0 21.0 26.0 26.0 5.5 24.0 28.5 25.5

Cefotaxime 23.5 16.0 12.5 12.0 30.0 15.5 16.0 24.5 18.5 26.5

Cefepime .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0

Gentamicin 19.5 17.5 17.5 17.0 23.5 20.5 18.5 20.5 25.5 22.5

Clindamycin .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0

Imipenem 41.0 28.5 41.0 29.0 43.5 34.0 26.0 44.5 32.5 42.5

Levofloxacin 24.0 12.5 25.0 24.0 26.0 28.0 10.5 29.0 29.5 25.0

Meropenem 33.0 24.0 14.0 21.5 34.5 22.5 23.5 36.0 21.0 32.0

Trimethoprim-Sulfamethoxazole 28.0 16.0 30.0 26.5 31.5 28.0 27.5 29.0 7.5 28.0

Piperacillin-

tazobactam .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0


(53)

Antibiotik Sampel 3 Sampel 5 Sampel 10 Sampel 17 Sampel 19 Sampel 20 Sampel 23 Sampel 25 Sampel 26 Sampel 29

Ampicillin R R R R R R R R R R

Amoxicillin-Clavulanic

acid S R R R S S S S S S

Amoxicillin R R R R R R R R R R

Ceftazidime R R R R R R R R R R

Ciprofloxacin S R S S S S R S S S

Cefotaxime S I R R S I I S I S

Cefepime R R R R R R R R R R

Gentamicin S S S S S S S S S S

Clindamycin R R R R R R R R R R

Imipenem S S S S S S S S S S

Levofloxacin S R S S S S R S S S

Meropenem S S I S S S S S S S

Trimethoprim-Sulfamethoxazole S S S S S S S S R S

Piperacillin-tazobactam R R R R R R R R R R

Cefoxitin S R R R S R R S R S


(54)

Lampiran 8 Gambar Hasil Penelitian

Gambar usap hidung steril (BD® culture swab + Amies media)


(55)

Gambar koloni S.aureus di media Mannitol Salt Agar (MSA)


(1)

Lampiran 5 Hasil kultur usap hidung

No.Sampel S. aureus

1 -

2 -

3 +

4 -

5 +

6 -

7 -

8 -

9 -

10 +

11 -

12 -

13 -

14 -

15 -

16 -

17 +

18 -

19 +

20 +

21 -


(2)

23 +

24 -

25 +

26 +

27 -

28 -

29 +


(3)

Lampiran 6 Hasil uji kepekaan isolat S. aureus terhadap antibiotika Zona Hambat (mm) Antibiotik Sampel

3 Sampel 5 Sampel 10 Sampel 17 Sampel 19 Sampel 20 Sampel 23 Sampel 25 Sampel 26 Sampel 29

Ampicillin 6.0 13.5 15.0 13.5 13.0 .0 7.5 9.0 12.0 .0

Amoxicillin-Clavulanic acid 21.0 15.5 14.0 13.0 30.0 21.0 20.5 25.5 30.5 31.0

Amoxicillin .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0

Ceftazidime .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0

Ciprofloxacin 23.0 4.0 21.0 21.0 26.0 26.0 5.5 24.0 28.5 25.5

Cefotaxime 23.5 16.0 12.5 12.0 30.0 15.5 16.0 24.5 18.5 26.5

Cefepime .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0

Gentamicin 19.5 17.5 17.5 17.0 23.5 20.5 18.5 20.5 25.5 22.5

Clindamycin .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0

Imipenem 41.0 28.5 41.0 29.0 43.5 34.0 26.0 44.5 32.5 42.5

Levofloxacin 24.0 12.5 25.0 24.0 26.0 28.0 10.5 29.0 29.5 25.0

Meropenem 33.0 24.0 14.0 21.5 34.5 22.5 23.5 36.0 21.0 32.0

Trimethoprim-Sulfamethoxazole 28.0 16.0 30.0 26.5 31.5 28.0 27.5 29.0 7.5 28.0

Piperacillin-

tazobactam .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0 .0


(4)

Lampiran 7 Profil sensitivitas sampel S. aureus terhadap 15 antibiotika

Antibiotik Sampel

3 Sampel 5 Sampel 10 Sampel 17 Sampel 19 Sampel 20 Sampel 23 Sampel 25 Sampel 26 Sampel 29

Ampicillin R R R R R R R R R R

Amoxicillin-Clavulanic

acid S R R R S S S S S S

Amoxicillin R R R R R R R R R R

Ceftazidime R R R R R R R R R R

Ciprofloxacin S R S S S S R S S S

Cefotaxime S I R R S I I S I S

Cefepime R R R R R R R R R R

Gentamicin S S S S S S S S S S

Clindamycin R R R R R R R R R R

Imipenem S S S S S S S S S S

Levofloxacin S R S S S S R S S S

Meropenem S S I S S S S S S S

Trimethoprim-Sulfamethoxazole S S S S S S S S R S

Piperacillin-tazobactam R R R R R R R R R R

Cefoxitin S R R R S R R S R S


(5)

Lampiran 8 Gambar Hasil Penelitian

Gambar usap hidung steril (BD® culture swab + Amies media)


(6)

Gambar koloni S.aureus di media Mannitol Salt Agar (MSA)