9 Pustaka

Pustaka 359
359

Pustaka
Ahmad Husnul Hakim, Mengintip Takdir Ilahi, Mengungkap Makna
Sunnatullah dalam Al-Qur’an, Depok: El-SiQ, 2011, xxxii+277 halaman.
Selama ini, sejumlah orang mengidentikkan istilah ‘sunnatullah’
dengan ‘hukum alam’. Pemahaman demikian di antaranya bersumber dari
kutipan Q.S. al-Fath/48: 23, ‘Dan pasti kamu tidak akan menemukan
sunnatullah mengalami perubahan’. Prof. Ahmad Baiquni, seorang
fisikawan yang juga kosmolog, misalnya menyatakan bahwa sunnatullah
di kalangan fisikawan dipahami sebagai hukum alam; ilmuwan yang lain
menjelaskan bahwa semua gerak yang terjadi di alam semesta merupakan
bukti konklusif dari adanya sunnatullah (natural law). Di sebagian
kalangan umat Islam sendiri, pemahaman tentang sunnatullah sering
overlapping dengan pamahaman istilah lain yang senada, yaitu ‘takdir’
dan ‘qada’.
Buku Mengintip Takdir Ilahi: Mengungkap Makna Sunnatullah
dalam Al-Qur’an karya Husnul Hakim ini mencoba menjelaskan secara
komprehensif makna sunnatullah melalui penjelasan Al-Qur’an. Buku
yang awalnya merupakan disertasi penulis di UIN Syarif Hidayatullah ini

menjelaskan istilah sunnatullah melalui ayat-ayat Al-Qur’an dan buktibuktinya dalam kesejarahan manusia masa silam, utamanya kisah umat
nabi-nabi terdahulu yang banyak diceritakan Al-Qur’an.
Mengawali buku ini, penulis mencoba menjelaskan pengertian
sunnatullah secara etimologis, kemudian memaparkan pemaknaan sejumlah ulama terhadap konsep ini. Secara umum, para ulama membedakan
sunnatullah dalam dua bentuk, yaitu sunnah kauniah (hukum alam) dan
sunnah ijtima’iyyah (hukum kemasyarakatan). Sunnah kauniyah adalah
hukum Allah yang berlaku di alam semesta, sedangkan sunnah
ijtima‘iyyah adalah hukum Allah yang diberlakukan bagi manusia dalam
kehidupan sosial. Kedua sunnah ini, menurut sejumlah ulama, memiliki
kesamaan karakter, yaitu senantiasa berlaku konsisten dan tidak akan
pernah mengalami penyimpangan, berlaku bagi semua manusia, muslim
maupun non-muslim. Nurcholish Madjid, di sisi lain, mendefinisikan
bahwa sunnatullah adalah hukum sejarah terkait dengan kehidupan sosial
manusia yang tidak akan pernah berubah. Pendapat yang sedikit lebih
menukik dikemukakan Mahmud Syaltut. Menurutnya, sunnatullah pada

360
360 ¢u¥uf, Vol. 4, No. 2, 2011: 359 – 365
hakikatnya merupakan hukum Allah yang terkait dengan bangkit dan
runtuhnya suatu bangsa.

Pengertian terakhir inilah tampaknya yang ingin dibangun oleh
penulis melalui sejumlah penjelasan ayat, tafsir dan logika-logika
pendukungnya. Sunnatullah, dengan demikian, tidak mengarah pada
pengertian tentang hukum keteraturan alam sebagaimana dijelaskan
sejumlah pakar dan ulama. Sunnatullah, dalam pandangan penulis hanya
ditujukan bagi perilaku manusia dalam kehidupan sosial, sehingga
aktivitas manusia yang bersifat individu tidak termasuk di dalamnya,
demikian juga dengan keteraturan alam sebagaimana dipahami oleh
sebagian orang. Istilah yang digunakan untuk keteraturan alam menurut
penulis adalah qada dan taqdir. Karena itu, meskipun memiliki kemiripan
makna, namun kedua konsep ini berbeda dengan konsep sunnatullah
dalam kontekstualisasinya.
Untuk membangun pendapatnya, penulis memaparkan ayat-ayat
yang berkaitan dengan sunnatullah, yang kesemuanya berkait dengan
kisah kesejarahan umat terdahulu. Kisah Nabi Nuh misalnya. Dalam
memaparkan kisah ini penulis memulai penjelasannya dengan perjalanan
dakwah Nabi Nuh, proses penyampaian risalah yang dilakukan selama
berpuluh-puluh tahun, hingga pembangkangan yang dilakukan kaumnya.
Berbagai cara telah dilakukan Nabi Nuh untuk menyadarkan mereka,
namun semuanya sia-sia. Mereka tetap pada pendiriannya, tidak mau

mengikuti nasihat dan ajakannya. Mereka zalim, ingkar, memusuhi dan
bahkan menganiaya Nabi Nuh. Al-Qur’an menyebutnya dengan istilah
a§lama wa a¯gā. Inilah kemudian yang menyebabkan mereka diazab oleh
Allah swt.
Kisah-kisah lain, seperti kisah Nabi Hud dan kaum ‘Ad, Nabi Saleh
dengan Kaum Samud, Nabi Lut dengan Kaum Sodom, Nabi Syu’aib
dengan Kaum Madyan, hingga Nabi Musa dengan Fir’aun, juga
dijelaskan dalam pola dan rangkaian yang sama. Kehancuran umat-umat
tersebut terjadi karena kezaliman, kesombongan, kekufuran, dan
penganiayaan yang mereka lakukan. Azab yang diturunkan kepada
mereka adalah respon dari perilaku yang menentang dan menantang. Ini
merupakan sunnatullah yang akan terus berlangsung sepanjang masa,
tidak akan pernah berubah, dan berlaku di semua tempat, tak terkecuali di
Indonesia.
Berbagai malapetaka dan bencana yang menimpa Indonesia belakangan ini, menurut penulis, adalah cermin dari berlakunya sunnatullah.
Tsunami, gempa, banjir bandang dan berbagai jenis bencana lainnya yang
melanda bangsa ini merupakan balasan atas berbagai tindak kezaliman,
kesombongan dan kekufuran yang dilakukan dalam berbagai bentuk,
seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kezaliman ini dilakukan
secara vulgar, besar-besaran, terus-menerus, dan dilakukan oleh banyak


Pustaka 361
361

orang, terutama di kalangan pemangku jabatan, mulai dari yang tertinggi
hingga di tingkat bawah. Padahal mereka telah mendapatkan ajaran dari
para ulama bahwa hal-hal tersebut tidak boleh dilakukan. Pengabaian
risalah-risalah ini sama halnya dengan pengabaian yang dilakukan kaumkaum nabi terdahulu yang kemudian memicu terjadinya bencana. Karena
itu, bencana-bencana tersebut adalah wujud dari berlakunya sunnatullah.
Dan sunnatullah ini akan menimpa kaum dan bangsa lain apabila mereka
melakukan hal yang serupa.[] Mustofa
***
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, Jagad Raya dalam Perspektif AlQur'an dan Sains, Jakarta: LPMA, 2010.
Sebagai firman Tuhan, Al-Qur'an sudah dikaji sejak pertama kali
diwahyukan. Ayat demi ayat terus dihafal, dipelajari, dan dipahami
hingga kajian keilmuan Islam pun mentradisi. Abdurrahman Wahid
mensinyalir bahwa kemunculan tradisi keilmuan Islam berawal dari
kolaborasi antara para penghafal dan penafsir Al-Qur'an dengan penjaga
hukum agama. Hal ini ditandai dengan munculnya al-qurr±' as-sab‘ah
dan al-fuqah± as-sab‘ah. Kelompok pertama merupakan golongan yang

berhasil memajukan bacaan Al-Qur'an sedemikian jauh melalui kajian
fonetik dan linguistik yang berkembang pada saat itu. Kelompok kedua
dikenal sebagai peletak dasar ilmu-ilmu agama yang akhirnya bermuara
pada tradisi mazhab fiqih.
Berbeda dengan kelompok pertama, kelompok kedua terus
berkembang hingga mendominasi tradisi keilmuan Islam. Wacana
keilmuan Islam bergerak dengan fiqh sebagai porosnya, meski menurut
Zaglul R±gib Mu¥ammad an-Najj±r, ayat-ayat hukum dalam Al-Qur'an
hanya berjumlah sekitar 250 an. Sementara ayat-ayat yang membincang
persoalan ilmu pengetahuan mencapai kurang lebih 750 - 1000 an. Lalu
mengapa kita mewarisi puluhan ribu buku-buku fikih, sementara bukubuku ilmiah hanya beberapa gelintir saja, padahal Tuhan tidak pernah
membedakan perintah-Nya untuk memahami ayat-ayat Al-Qur'an.
Kalaulah ayat-ayat hukum, muamalat, akhlak, dan akidah merupakan
‘petunjuk’ bagi manusia untuk mengenal dan mencontoh perilaku Tuhan,
bukankah ayat-ayat ilmiah juga petunjuk akan keagungan dan kekuasaaan
Tuhan di alam raya ini?
Buku Jagad Raya dalam Perspektif Al-Qur'an dan Sains hadir dalam
kerangka untuk memperkaya khazanah keilmuan dalam bidang tafsir ayatayat kauniyah. Disusun melalui serangkaian kajian yang dilakukan secara
kolektif dengan melibatkan para ulama dan ilmuwan, baik dari Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, LIPI, LAPAN, Observatorium Bosscha,


362
362 ¢u¥uf, Vol. 4, No. 2, 2011: 359 – 365
dan beberapa perguruan tinggi. Buku ini cukup berhasil dalam
mengharmonisasi pendapat pakar tafsir dan pakar ilmu pengetahuan
dalam bidang sesuai tema yang jadi pokok bahasan. Hasilnya, para
pembaca dimanjakan dengan sajian perspektif tafsir dan ilmu pengetahuan
dalam memahami ayat-ayat kauniyah secara bersamaan.
Diawali dengan pengantar yang bertajuk “Akal dan Fenomena Alam
Semesta”, pembahasan dalam buku ini kemudian terbagi dalam empat
bab. Bab pertama membahas tentang Enam Hari Penciptaan. Di dalamnya
dikupas dua hal pokok, yaitu: pertama, Penciptaan Langit, Bumi, dan
Isinya (Penciptaan langit dan bumi, Penciptaan tujuh langit dalam dua
masa, Penciptaan bumi dalam dua masa, dan Penciptaan isi bumi dalam
dua masa; dan kedua, Kesinambungan Penciptaan dan Kronologinya
(Keberlanjutan penciptaan dan Kronologi penciptaan)
Bab kedua membahas tentang Tujuh Langit Mengungkap Struktur
Alam Semesta. Ada tiga bahasan utama dalam bab ini, yaitu Hakikat dari
Tujuh Langit, Struktur Alam Semesta, dan Tujuh Langit pada Kisah Isra’
Mi`raj. Bab ketiga membahas fenomena alam yang mencakup kajian

tentang Pergantian Malam dan Siang, Perhitungan Waktu, dan Isyarat
Adanya Kehidupan di Luar Bumi. Bahasan demi bahasan ini kemudian
ditutup dengan bab keempat yang membahas tentang Akhir Alam
Semesta. Di dalamnya ada dua bahasan pokok, yaitu Proses Kehancuran
Lingkungan dan Proses Kehancuran Alam Semesta.
Demikian buku ini hadir memperkaya khazanah pengetahuan kita
tentang Penciptaan Jagad Raya dalam Perspektif Al-Qur'an dan Ilmu
Pengetahuan. Dengan membaca buku ini, kita diajak untuk membukabuka kembali buku-buku tafsir yang sudah pernah terbit sebelumnya dan
bahkan buku-buku ulumul-Qur’an.[] Moh. Khoeron.
***
Kartum Setiawan, Masjid-masjid Bersejarah di Jakarta
Jakarta: Erlangga, 2011, 223 halaman.
Kata “masjid” berasal dari bahasa Arab, sajada-yasjudu-sujūdan,
yang berarti “sujud”, menundukkan kepala sampai ke tanah. Dari kata
sajada kemudian terbentuk kata “masjid” (jamak: masājid) yang artinya
“tempat sujud”. Pengertian tempat sujud di sini tidak mengacu pada
bangunannya, apakah beratap atau tidak, berbatas atau tidak, yang pokok
adalah tempat sujud. Ada juga yang menghubungkan kata sajada itu
dengan tunduk atau patuh, sehingga masjid pada hakikatnya adalah
tempat untuk melakukan segala aktivitas yang berkaitan dengan

kepatuhan kepada Allah semata. Tetapi dalam kenyataannya, masjid
bukan hanya sekadar tempat bersujud, tetapi tempat kaum muslimin

Pustaka 363
363

melaksanakan berbagai aktivitas lain seperti pendidikan, dakwah, dan
kegiatan budaya Islam. Pada bangunan masjid tertentu, selain ruang
utama yang berfungsi sebagai tempat salat, disediakan ruangan tersendiri
untuk berbagai keperluan, seperti ruangan untuk pertemuan (aula), kantor
pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM), perpustakaan, bahkan
ruang kuliah seperti pada Masjid Syuhada Yogyakarta. Pada zaman
Rasulullah dan Khulafa’ Rasyidin masjid berfungsi juga sebagai tempat
mengendalikan pemerintahan negara, termasuk menyusun strategi perang.
Di Indonesia, kata masjid dilafalkan berbeda-beda seperti mesigit
(Jawa Tengah), masigit (Jawa Barat), meuseugit (Aceh), dan mesigi
(Sulewesi Selatan). Tidak hanya itu, ada penamaan tersendiri untuk
bangunan masjid atau bangunan tempat salat yang tidak dipakai untuk
salat Jumat. Masjid-masjid seperti ini berukuran tidak terlalu besar,
dengan berbagai nama atau sebutan, seperti meunasah (Aceh), surau

(Minang), langgar (Jawa), tajuk (Sunda), bale (Banten), langgara
(Sulawesi), suro atau mandersa (Batak), dan santren (Lombok).
Selain itu dikenal juga istilah musala, sebagai tempat salat seharihari, namun tidak untuk salat Jum‘at. Dalam khazanah kebudayaan Islam
dikenal istilah mashad (masjid-makam), yaitu masjid yang dibangun di
kompleks makam, dan masjid-madrasah (masjid-pesantren) yaitu masjid
yang dibangun di kompleks pesantren. Bahkan di Iran dan India dikenal
idgah, bahasa Parsi untuk menyebut musala atau tempat salat yang
terbuka, biasanya dipergunakan untuk salat Idul Fitri dan Idul Adha.
Menurut G.F. Pijper, ada enam ciri masjid-masjid Jawa: (l) mempunyai bentuk denah dasar persegi, (2) berdiri di atas pondasi yang padat
yang agak tinggi, (3) atapnya meruncing, terdiri dari 2 sampai 5 tingkat
dan mengecil ke atas, (4) di sisi barat atau barat laut, ada bangunan
menonjol untuk mihrab, (5) di bagian depan dan kadang-kadang di kedua
sisinya, ada serambi terbuka atau tertutup, 6) halaman sekitar masjid
dikelilingi tembok dengan satu atau dua pintu gerbang yang disebut
gapura. Ditambahkan pula bahwa ciri khas masjid Jawa ialah dibangun di
sebelah barat alun-alun. Berdasarkan bentuk atapnya, masjid-masjid di
Nusantara dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bangunan masjid
beratap tumpang dan bangunan masjid beratap kubah.
Buku ini tidak membahas masjid-masjid tua di Jawa, apalagi
Nusantara. Tetapi lebih khusus masjid tua di Jakarta. Ada 19 (sembilan

belas) masjid bersejarah yang dibahas dalam buku ini. Kalau merujuk
pada SK Gubenur DKI Jakarta No: 474 tahun l993, ada 16 buah masjid
yang ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya: tiga di wilayah Jakarta
Pusat, yaitu Masjid Al-Makmur di Jalan Raden Saleh No. 30; Masjid atTa’ibin di Jalan Kalilio, dan Masjid Istiqlal di Jalan Pintu Air; empat di
wilayah Jakarta Utara, yaitu Masjid dan Makam Kramat Luar Batang,
Masjid Kampung Bandan, Masjid al-Alam Marunda, dan Masjid al-Alam

364
364 ¢u¥uf, Vol. 4, No. 2, 2011: 359 – 365
Cilincing; delapan di Jakarta Barat, yaitu Masjid Jami' an-Nawier
Pekojan, Langgar Tinggi Pekojan, Masjid Jami al-Mansur Sawah Lio,
Masjid Jami' al-Anshor Pengukiran, Masjid Kampung Baru Bandengan
Selatan, Masjid Jami' Kebon Jeruk Jalan Hayam Wuruk no. 83, Masjid
Angke, dan Masjid Tambora di Jalan Kampung Tambora. Kemudian di
wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur masing-masing ada satu yaitu
Masjid al-Azhar Jalan Sisingamangaraja, Kebayoran dan Masjid
Jatinegara Kaum, di Jalan Jatinegara Kaum Raya 208.
Secara kronologis, masjid dapat dibagi menjadi tiga periode.
Pertama, masjid-masjid tua abad ke-17, yaitu Masjid Al-Anshar, Jalan
Pengukiran II (Kelurahan Pekojan), Masjid Al-Alam Cilincing, Masjid

Al-Alam Marunda dan Masjid as-Shalafiah Jantinegara Kaum. Kedua,
masjid-masjid tua abad ke-18, yaitu Masjid al-Mansur (l7l7), Masjid Luar
Batang (1736), Masjid Kampung Baru Bandengan Selatan (1748), Masjid
an-Nawier, Pekojan (1760), Masjid Angke (1761), Masjid Tambora
(176l), Masjid Krukut (1785), Masjid Kebon Jeruk (1786) dan Masjid alMukarromah, di Jalan Lodan (1789). Ketiga, masjid-masjid tua abad ke19 dan ke-20, yaitu Masjid at-Taibin Senen (1815), Langgar Tinggi
Pekojan (1829), Masjid Nurushshabah, Bidaracina (1839), Masjid
Menteng (1370), Masjid Hidayatullah di Karet (l92l), Masjid Jami’ alMakmur Tanah Abang (l9I7), Masjid al-Makmur Jalan Raden Saleh
(1932), dan Masjid Boplo atau Masjid Cut Mutia (1935).
Ada empat masjid yang tidak ditetapkan sebagai Bangunan Cagar
Budaya (BCB) dalam SK Gubernur tetapi dalam bukunya Adolf Heuken
tergolong ke dalam masjid tua, yaitu Masjid Nurushahabah, Bidaracina
(1839), Masjid Krukut (1786), Masjid Cut Mutia (1912), dan Masjid
Menteng (1870) yang kemudian dipindahkan ke Jalan Tangkuban Perahu
(1903). Demikian juga foto lama masjid di Gang Tengah, dekat Salemba.
Ada dua buah masjid yang ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya,
tetapi dalam buku Adolf Heuken tidak dimasukkan sebagai masjid tua,
yaitu: Masjid Agung Al-Azhar (1953-1958) dan Masjid lstiqlal (196l l978). Bahkan ada sejumlah masjid yang tergolong masjid tua yaitu
Masjid Cililitan, Masjid Mangga Dua dan Masjid Matraman, tidak
ditetapkan sebagai BCB dan tidak dimasukkan Adolf Heuken sebagai
masjid tua di Jakarta. Padahal foto lama Masjid Mangga Dua dimuat
dalam tulisan P.H. S.van Ronkel (1916), sedangkan foto lama Masjid
Cililitan dan Masjid Matraman dimuat dalam bukunya H. Abu Bakar
(1955), sehingga dari segi usia sudah lebih dari lima puluh tahun.
Masjid tua paling banyak ditemukan di wilayah Jakarta Barat, kalau
diperhatikan peta lama bangunan masjid di tepi barat Sungai Ciliwung
memang lebih banyak dibandingkan dengan di tepi timur. Mungkin hal
itu ada kaitannya dengan kebijakan pemerintah kolonial pada waktu itu
yang mengalokasikan permukiman penduduk Muslim di tepi barat

Pustaka 365
365

Ciliwung. Berbicara mengenai ciri-ciri masjid tua di Jakarta, hampir sama
dengan ciri-ciri masjid-masjid yang dinyatakan oleh Pijper di atas. Daerah
Khusus Ibukota Jakarta masjidnya tidak hanya dibangun di atas pondasi
yang masif, juga di atas tiang-tiang kolong seperti Langgar Tinggi,
Pekojan. Atap bangunan masjid tidak hanya bertumpang, juga dengan
atap kubah (dome). Yang memprihatinkan, sebagain besar masjid tua atau
yang tergolong tua sudah berubah dari bentuk aslinya.
Hal yang menonjol pada masjid tua di Jakarta adalah pengaruh
budaya luar, terutama Cina dan Eropa. Pengaruh Cina antara lain tampak
pada jurai atap yang mencuat ke atas seperti pada rumah atau kelenteng
Cina. Hal itu nampak dengan jelas pada Masjid Angke. Demikian juga
dengan cat warna merah darah dan kuning emas. Contoh lain adalah
roster-roster porselen Cina pada Masjid Marunda. Pengaruh Eropa antara
lain terlihat pada motif hias bergaya barok pada lubang angin di atas pintu
(fan light) yang dipahat tembus (trawangan) seperti pada Masjid Kebon
Jeruk dan Masjid Angke. Kehadiran tiang-tiang bergaya dorik dan
pemasangan kusen pintu yang keluar (menonjol) dari tembok, yang
mengingatkan pada rumah-rumah Belanda di Jakarta tempo dulu dapat
kita saksikan pada pintu utama Masjid Angke.
Demikian juga dengan pemakaian tralis pada jendela (tanpa daun
jendela) sehingga bangunan masjid menjadi agak terbuka, seperti pada
Masjid Angke, Masjid Marunda, Masjid Cilincing, Masjid Tambora dan
Masjid Sawah Lio mengingatkan pada rumah-rumah Belanda tempo dulu.
Sebaliknya, kehadiran atap kubah dan kaligrafi Arab dapat dipandang
sebagai pengaruh negara-negara Timur Tengah. Demikian juga dengan
digunakannya lengkung sempura atau lengkung moor pada beberapa
mibrab masjid tua di Jakarta. Kalau kita memperhatikan foto-foto lama,
ciri lain dari masjid tua di Jakarta, atapnya dua lapis (atap tumpang satu)
seperti pada Masjid Angke, Masjid Mangga Dua, Masjid Tambora,
Masjid Krukut, Masjid Bandengan, Masjid Meester Cornelis, Masjid
Marunda, dan Masjid Cilincing. Mungkin hal itu berkaitan dengan ukuran
masjid yang tidak terlalu besar. Kadang-kadang ada panggar langkan
yang membatasi atap puncak dan atap lapis kedua seperti pada Masjid
Angke, Masjid Tambora, Masjid Krukut, dan Masjid Kebun Jeruk. Semua
bahasan tentang masjid dalam buku ini dilengkapi dengan gambar foto
resolusi tinggi yang membuat pembaca akan betah menikmati buku ini.[]
Hakim Syukrie
***