Profil Pasien Pneumonia Komunitas di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng Tahun 2013-2014

(1)

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG

TAHUN 2013-2014

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

OLEH:

AHMAD NABIL ATIYYUL JALIL

1112103000076

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v

Bismillahirrahmanirrahim.

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat, rahmat dan inayah-Nya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan judul “Profil

Pasien Pneumonia Komunitas di RSUD Cengkareng Tahun 2013-2104”.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit untuk menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini kami ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. DR. Arif Sumantri, SKM, M. Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. dr. Achmad Zaki, M.Epid, SpOT selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Dokter.

3. dr. Sayid Ridho, Sp.PD, FINASIM dan dr. Dwi Tyastuti, MPH, PhD selaku dosen pembimbing yang telah banyak menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan kami dalam penyusunan penelitian ini.

4. dr. Nouval Shahab, SpU, PhD, FICS, FACS selaku penanggung jawab riset mahasiswa PSPD 2012.

5. Kepala Rekam Medik Rumah Sakit Daerah Cengkareng Bu Gadis yang telah mengizinkan kami untuk melakukan penelitian ini.

6. Kedua Orang tuaku tercinta, Aminin dan Mufarokhah yang selalu mencurahkan kasih sayangnya, mendukung dalam suka dan duka, dan selalu mendoakan yang terbaik untuk putra-putrinya.

7. Kepada adik yang tercinta Khobiroh Li Ilmillah dan Qonita Izzati yang

telah banyak mendukung, semangat dan do’anya, sehingga tugas ini


(6)

vi

untuk menyelesaikan penelitian ini.

9. Teman-teman Program Studi Pendidikan Dokter angkatan 2012, dan semua pihak yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

Saya sadari penyusunan laporan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat saya harapkan demi kesempurnaan penelitian ini.

Akhir kata Wallahul Muwaffiq ila aqwamit thoriq


(7)

vii 2013-2014.

Pneumonia komunitas merupakan penyakit infeksi parenkim paru yang terjadi pada masyarakat atau di luar lingkungan rumah sakit. Di Indonesia pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6. Hal ini menjadikan diagnosis dini pneumonia sangat penting untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profil penyakit pneumonia komunitas. Jenis penelitian yang digunakan adalah potong lintang yang menggunakan sampel sebanyak 97 pasien yang dirawat di RSUD Cengkareng dari bulan Januari 2013 sampai Desember 2014. Dari hasil penelitian didapatkan, jenis kelamin laki-laki berjumlah 47 pasien (48,5%) dan jenis kelamin perempuan 50 pasien (51,5%). Dengan kelompok umur remaja akhir (17-25 tahun) sebanyak 11 pasien (11,3%), kelompok umur dewasa (26-45 tahun) 31 pasien (32%), dan kelompok umur pertengahan (45-59 tahun) 55 pasien (56,7%). Gambaran gejala klinis yang menonjol, sesak napas 76 keluhan (78,4%), batuk 75 keluhan (77,3%), dahak 52 keluhan (53,6%), demam 54 keluhan (55,7%), nyeri dada 21 keluhan (21,6%), suara napas ronkhi 46 keluhan (47,4%), mual 72 keluhan (74,2%), muntah 43 keluhan (44,3%), lemas 42 keluhan (43,3%), dan nyeri perut 27 keluhan (27,8%). Penyakit penyerta tersering adalah penyakit paru kronik 30,9% pasien. Sedangkan angka mortalitas penelitian adalah sebanyak 16 pasien (16,5%).

Kata kunci : Pneumonia komunitas, Gambaran klinis ABSTRACT

Ahmad Nabil Atiyyul Jalil. Medical Student Program. Profile of Community-Acquired Pneumonia at the General Hospital of Cengkareng period 2013-2014.

Community-acquired pneumonia is an infectious disease of lung parenchym that occurs in the community or outside the hospital environment. In Indonesia pneumonia is the sixth leading cause of death. It makes early diagnosis of CAP is critical to reduce morbidity and mortality. This study was conducted to determine the profile of community-acquired pneumonia. This is cross-sectional research with samples were 97 patients who admitted to Cengkareng Hospital. From the results, the male gender amounts to 47 patients (48.5%) and female gender of 50 patients (51.5%). At the end of the adolescent age group (17-25 years) of 11 patients (11.3%), adult age group (26-45 years) 31 patients (32%), and the middle age group (45-59 years) 55 patients ( 56.7%). Most common clinical manifestation are, dyspneu 76 complaints (78.4%), cough 75 complaints (77.3%), sputum 52 complaints (53.6%), fever 54 complaints (55.7%), chest pain 21 complaints (21.6%), ronchi breath sound 46 complaints (47.4%), nausea 72 complaints (74.2%), vomiting 43 complaints (44.3%), fatigue 42 complaints (43.3%), and 27 complaints of abdominal pain (27.8%). The most common comorbid disease is chronic lung disease 30,9% patients, while the mortality rate of the study was 16 patients (16.5%).


(8)

viii

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI...viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ...xiii

DAFTAR GRAFIK ...xiv

DAFTAR SINGKATAN... xv

DAFTAR LAMPIRAN ...xvi

BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 2

1.3.Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1. TujuanUmum... 3

1.3.2. TujuanKhusus... 3

1.4.ManfaatPenelitian ... 3

1.4.1. Bagi Peneliti ... 3

1.4.2. Bagi Masyarakat ... 3

1.4.3. Bagi Institusi... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori... 4

2.1.1. Mekanisme Pertahanan Tubuh ... 4

2.1.2. Definisi dan Klasifikasi ... 6

2.1.2.1. Klasifikasi Pneumonia Komunitas Berdasarkan Mikroorganisme... 7

2.1.2.2. Klasifikasi Pneumonia Komunitas Berdasarkan Pajanan Lingkungan ... 7

2.1.2.3. Klasifikasi Pneumonia Komunitas Berdasarkan Predileksi Infeksi ... 7

2.1.3. Epidemiologi ... 14

2.1.4. Etiologi ... 15

2.1.4.1. Streptococcus pneumoniae... 17

2.1.5. Patogenesis dan Patofisiologi ... 24

2.1.6. Manifestasi Klinis... 27

2.1.6.1. Batuk dan Sputum Abnormal ... 27

2.1.6.2. Batuk Darah (Hemoptisis) ... 30

2.1.6.3. Sesak Napas (Dispneu) ... 30

2.1.6.4. Nyeri Pleura ... 32


(9)

ix

2.1.7.2. Diagnosis Etiologi ... 37

2.1.8. Prognosis ... 39

2.1.9. Pencegahan ... 39

2.2. Kerangka Teori ... 41

2.3. Kerangka Konsep ... 42

2.4. Definisi Operasional ... 43

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian... 59

3.2. Tempat dan WaktuPenelitian ... 59

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 59

3.3.1. Populasi Target ... 59

3.3.2. Populasi Terjangkau ... 59

3.3.3. Jumlah Sampel... 59

3.3.4. Teknik Sampling... 60

3.3.5. Kriteria Sampel... 60

3.4. Alat dan Bahan ... 61

3.4.1. Alat ... 61

3.4.2. Bahan ... 61

3.5. Alur Kerja... 62

3.6. Cara Kerja Penelitian ... 62

3.7. Variabel ... 62

3.8. Managemen Data ... 64

3.8.1. Pengolahan Data ... 64

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Pasien dengan Pneumonia Komunitas di RSUD Cengkareng Tahun 2013-2014 ... 65

4.2. Karakteristik Demografi Subjek Penelitian ... 65

4.2.1. Karakteristik Usia Subjek Penelitian ... 66

4.2.2. Karakteristik Jenis Kelamin Subjek Penelitian ... 67

4.2.3. Karakteristik Status Pernikahan Subjek Penelitian ... 68

4.2.4. Karakteristik Tingkat Pendidikan Akhir Subjek Penelitian ... 69

4.2.5. Karakteristik Pekerjaan Subjek Penelitian ... 70

4.2.6. Karakteristik Jalur Masuk Subjek Penelitian... 71

4.2.7. Karakteristik Lama Hari Inap Subjek Penelitian ... 72

4.2.8. Karakteristik Indeks Massa Tubuh Subjek Penelitian ... 73

4.3. Karakteristik Kebiasaan dan Penyakit Penyerta Subjek Penelitian ... 74

4.3.1. Karakteristik Kebiasaan Subjek Penelitian... 74

4.3.2. Karakteristik Penyakit Penyerta Subjek Penelitian ... 76

4.4. Karakteristik Tanda Vital, Gejala Klinis, Pemeriksaan Laboratorium, dan Pemeriksaan Penunjang Subjek Penelitian ... 77

4.4.1. Karakteristik Tanda Vital dan Gejala Klinis Subjek Penelitian ... 77

4.4.2. Karakteristik Pemeriksaan Radiologi Subjek Penelitian ... 83 4.4.3. Karakteristik KriteriaPneumonia Severity Index(PSI) Penyerta


(10)

x

4.6. Karakteristik Status Akhir Subjek Penelitian... 89

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan ... 90

5.2. Saran... 91

5.3. Keterbatasan Penelitian... 91

DAFTAR PUSTAKA... 92


(11)

xi

Tabel 2.1. Mekanisme Pertahanan Saluran Pernapasan... 4 Tabel 2.2. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Gambaran Anatomi Parenkim . 12 Tabel 2.3. Perbedaan Pneumonia Lobaris dan Bronkopneumonia ... 14 Tabel 2.4. Perbedaan Tanda dan Gejala dari Pneumonia Atipik dan

Pneumonia Tipik... 16 Tabel 2.5. Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Komunitas Berdasarkan

Tempat Perawatan ... 17 Tabel 2.6. Pneumonia Severity Index(PSI) ... 35 Tabel 2.7. Pneumonia Severity Index(PSI) Sambungan ... 36 Tabel 4.1. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng

Tahun 2013-2014 Berdasarkan Kelompok Umur ... 66 Tabel 4.2. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng

Tahun 2013-2014 Berdasarkan Jenis Kelamin ... 67 Tabel 4.3. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng

Tahun 2013-2014 Berdasarkan Status Pernikahan ... 68 Tabel 4.4. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng

Tahun 2013-2014 Berdasarkan Tingkat Pendidikan Akhir ... 69 Tabel 4.5. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng

Tahun 2013-2014 Berdasarkan Pekerjaan ... 70 Tabel 4.6. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng

Tahun 2013-2014 Berdasarkan Jalur Masuk ... 71 Tabel 4.7. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng

Tahun 2013-2014 Berdasarkan Lama Hari Inap ... 72 Tabel 4.8. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng

Tahun 2013-2014 Berdasarkan Indeks Massa Tubuh ... 73 Tabel 4.9. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng

Tahun 2013-2014 Berdasarkan Penyakit Penyerta... 76 Tabel 4.10. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng

Tahun 2013-2014 Berdasarkan Kriteria Diagnosis ... 77 Tabel 4.11. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng

Tahun 2013-2014 Berdasarkan Status Kesadaran dan Tekanan

Darah ... 79 Tabel 4.12. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng

Tahun 2013-2014 Berdasarkan Karakteristik Sesak Napas ... 82 Tabel 4.13. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng

Tahun 2013-2014 Berdasarkan Pemeriksaan Radiologi ... 83 Tabel 4.14. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng

Tahun 2013-2014 Berdasarkan Orientasi Infiltrat Pemeriksaan

Radiologi ... 84 Tabel 4.15. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng

Tahun 2013-2014 Berdasarkan Lokasi Infiltrat Pemeriksaan

Radiologi ... 85 Tabel 4.16. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng


(12)

xii

Tabel 4.18. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng Tahun 2013-2014 Berdasarkan Pengobatan Antibiotik... 87 Tabel 4.19. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng


(13)

xiii

Gambar 2.1. Patologi Pneumonia Lobaris ... 10

Gambar 2.2. Gambaran Histologi Patologi Pneumonia Lobaris... 10

Gambar 2.3. Gambaran Histologi Bronkopneumonia ... 11

Gambar 2.4. Gambaran Histologi Pneumonia Intersisial... 12

Gambar 2.5. Perbedaan Penampakan antara Pneumonia Lobaris dan Bronkopneumonia ... 13


(14)

xiv

Grafik 4.1. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng Tahun 2013-2014 Berdasarkan Kebiasaan ... 74 Grafik 4.2. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng

Tahun 2013-2014 Berdasarkan Gejala Klinis ... 80 Grafik 4.3. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng

Tahun 2013-2014 Berdasarkan Warna Dahak... 81 Grafik 4.4. Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas RSUD Cengkareng


(15)

xv

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian... 97

Lampiran 2. Lembar Penelitian... 98

Lampiran 3. Daftar Riwayat Hidup...101


(16)

xvi

ATS :American Thoracic Society

BTS :British Thoracic Society

CAP :Community Acquired Pneumonia

SEAMIC : Southeast Medical Information Center CHF :Congestive Heart Failure

DM : Diabetes Melitus

HAP :Hospital Acquired Pneumonia

VAP :Ventilator Acquired Pneumonia

HIV :Human Immunodeficiency Virus

ICU :Intencive Care Unit

IDSA :Infectious Disease Society Of America

IGD : Instansi Gawat Darurat IMT : Indeks Massa Tubuh Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar RR :Respiratory Rate

RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah TB : Tuberkulosis

WHO :World Health Organization

SLE :Systemic Lupus Erythematosus

PPOK : Penyakit Paru Obstruktif Kronik SSP : Sistem Saraf Pusat


(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pneumonia adalah peradangan pada paru yang disebabkan oleh mikroorganisme dengan beberapa gejala yang timbul seperti panas tinggi, batuk berdahak, napas cepat, sesak dan gejala lainnya (mual, muntah, lemas, sakit perut, nafsu makan berkurang dan sakit kepala). Pneumonia merupakan penyakit infeksi saluran napas bawah yang menjadi masalah utama dalam bidang kesehatan baik di negara berkembang maupun maju.1

Dari data SEAMIC Health Statistic tahun 2001, pneumonia adalah penyebab nomor 6 kematian di Indonesia. Sedangkan laporan WHO tahun 1999, menjelaskan bahwa penyebab kematian tertinggi dari penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Adapun di Amerika, insidensi pneumonia komunitas adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun. Selain itu, pneumonia juga merupakan penyakit infeksi penyebab kematian utama pada orang dewasa, sedangkan angka kematian pneumonia di Amerika yaitu 10 %.2

Adapun data di Indonesia yang dikeluarkan oleh Riskesdas tahun 2013 menyebutkan,period prevalencedan prevalensi pada tahun 2013 adalah 1,8 % dan 4,5 %, sedangkan sebaran provinsi, terdapat lima provinsi yang memiliki insidensi dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua umur yaitu Nusa Tenggara Timur (4,6% dan 10,3%), Papua (2,6% dan 8,2%), Sulawesi Tengah (2,3% dan 5,7%), Sulawesi Barat (3,1% dan 6,1%), dan Sulawesi Selatan (2,4% dan 4,8%). Sementara pada hasil Riskesdas 2013, prevalensi pneumonia berdasarkan kelompok umur penduduk, di mana pneumonia tinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun, kemudian mulai meningkat pada umur 45-54 tahun dan terus meninggi pada kelompok umur berikutnya. Hal ini tidak menyingkirkan bahwa pneumonia pun terjadi pada usia remaja dan dewasa.1

Walaupun pada data tersebut, menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyebab yang signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas, namun sering kali


(18)

pneumonia ini diremehkan. Sehingga pneumonia tidak dapat terdiagnosis. Padahal dalam mendiagnosis dan mengetahui penyebabnya, harus dilakukan pemeriksaan penunjang yang menjadi standar utama untuk menyingkirkan diagnosis lain, di mana pemeriksaannya memerlukan beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya dan sulit untuk menemukan penyebabnya. Bahkan di Amerika dengan cara invasif pun, penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Sedangkan jika pneumonia tidak segera diobati, dapat menyebabkan kematian.1

Padahal pada pasien pneumonia, ada beberapa gejala klinis dan pemeriksaan fisik serta lab yang menunjukkan indikasi pneumonia, sehingga seorang klinisi dapat memprediksikan penyakit pneumonia sebelum dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiologi dan dahak. Pada akhirnya pengobatan dapat dimulai lebih awal dan mencegah kematian

Menilik dari beberapa data epidemiologi pneumonia baik dari morbiditas maupun mortalitas serta data yang menunjukkan bahwa sulitnya mendiagnosis pneumonia secara signifikan, akurat dan cepat, maka diperlukan adanya sebuah penelitian yang membahas tentang data gambaran klinis, pemeriksaan penunjang pada pasien pneumonia di setiap rumah sakit di wilayah Indonesia, sehingga nantinya dari data tersebut, didapatkan prevalensi masing-masing gambaran klinis, pemeriksaan penunjang pada pasien pneumonia. Rekomendasi tersebut diperlukan agar kedepannya, kualitas dan kemudahan dalam mendiagnosa pasien lebih baik lagi sehingga penatalaksanaan pada pasien dapat secara spesifik dituntaskan dan harapannya angka mortalitas akan menurun dan angka kesintasan akan meningkat. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin melakukan sebuah penelitiancross sectional untuk mengetahui profil pasien pneumonia komunitas di RSUD Cengkareng tahun 2013-2014. Besar harapan dari penelitian ini, dapat berguna untuk menunjang diagnosis pneumonia secara signifikan, akurat dan cepat untuk memaksimalkan pengobatan dengan pengobatan yang optimal dan menurunkan angka mortalitas.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana profil pasien dengan pneumonia komunitas di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng tahun 2013-2014 ?


(19)

1.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui profil pasien pneumonia komunitas di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng tahun 2013-2014.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran status sosio-demografi pneumonia komunitas di RSUD Cengkareng.

b. Mengetahui gambaran klinis pasien pneumonia komunitas yang dirawat di RSUD Cengkareng.

c. Mengetahui penyakit penyerta pasien dengan pneumonia komunitas di RSUD Cengkareng.

d. Mengetahui angka kematian pasien dengan pneumonia komunitas di RSUD Cengkareng tahun 2013-2014.

1.4. Manfaat 1.4.1. Bagi Institusi

Penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan institusi mengenai profil pasien dengan pneumonia komunitas.

1.4.2. Bagi Masyarakat

Memberikan informasi tambahan kepada masyarakat pada umumnya tentang gambaran klinis pasien dengan pneumonia komunitas sehingga dapat diketahui lebih dini.

1.4.3. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan menjadi bahan referensi bagi peneliti berikutnya.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Mekanisme Pertahanan Tubuh3,4,5

Mekanisme pertahanan sistem pernapasan diperantarai oleh baik dari sistem imun maupun sistem non-imun, keduanya berkerja secara efektif pada level yang berbeda untuk menjaga sistem pernapasan tetap normal dan terhindar dari infeksi. Adapun mekanisme pertahanan tubuh, dijelaskan pada tabel berikut.

Tabel 2.1. Mekanisme Pertahanan Saluran Pernapasan4

Lokasi Mekanisme Pertahanan

Nasofaring Bulu hidung dan gaya putar turbin

Aparatus mukosiliar Sekresi IgA

Trakea/bronkus Batuk, refleks epiglottis Aparatus mukosiliar

Sekresi immunoglobulin (IgG, IgM, IgA) Bronkus terminal/alveolus Makrofag alveolus

Limfatik paru

Lapisan cairan alveolus (surfaktan, komplemen, Ig, fibronektin)

Sitokin (interleukin-1, TNF) Leukosit polimorfonuklear Imunitas selular

Sumber. Singh YD. Pathophysiology of community acquired pneumonia. Supplement to JAPI.2012;60. P7

Kegagalan pada mekanisme pertahanan tersebut dan adanya faktor predisposisi, menyebabkan seseorang rentan terhadap infeksi penyebab pneumonia komunitas. Di bawah ini beberapa kondisi yang mengakibatkan seseorang rentan terhadap infeksi pneumonia komunitas:

A. Perubahan flora normal orofaring

Pada orofaring terdapat beberapa mekanisme pertahanan, yaitu immunoglobulin lokal khususnya IgA, komplemen, dan flora normal pun turut


(21)

berkontribusi untuk mencegah kolonisasi mikroorganisme pada orofaring. Akan tetapi seseorang yang memiliki diabetes, malnutrisi, minum alkohol, dan kelainan sistem kronik lainnya dapat menurunkan fibronektin dan meningkatkan kolonisasi bakteri basil Gram negatif. Selain itu, antibiotik juga dapat menekan flora normal sehingga antibiotik tersebut dapat memfasilitasi terjadinya infeksi dengan cara resistensi terhadap bakteri Gram negatif.

B. Menekan refleks batuk dan glottis

Penekanan pada refleks batuk dan glottis ini menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk mengeluarkan benda asing atau aspirasi yang menuju ke saluran napas. Kejadian ini lebih sering terjadi pada usia tua, penderita PPOK, operasi torakoabdominal atau penyakit neuromuskular.

C. Perubahan tingkat kesadaran

Orang dewasa memiliki 10 sampai 100 juta bakteri per millimeter sekret orofaring dan dapat meningkat sampai 50% ketika tidup terlelap melalui aspirasi sekret faring. Sekret orofaring teraspirasi lebih sering pada kondisi koma, kejang, kejadian cerebrovaskular, peminum alkohol dan overdosis obat penghambat SSP.

D. Kerusakan mekanisme apparatus mukosiliar

Keefektifan klirens mukosiliar bergantung pada keefektifan pergerakan siliar dan kandungan mukus. Kelenjar submukosa dan sel goblet epitel permukaan memproduksi cairan permukaan jalur napas. Cairan ini terdiri dari lapisan atasnya berupa gel seperti musin dan lapisan bawahnya berupa cairan non-gel. Silia akan bergerak pada media ini ke arah mulut, sehingga aspirasi benda asing dapat dikeluarkan. Namun proteksi ini dapat rusak pada banyak kondisi seperti kebiasaan lama merokok, infeksi virus saluran napas, pajanan terhadap udara panas, dingin atau gas berbahaya, sindrom silia immotil, obstruksi endobronkial, dan usia tua. Situasi-situasi ini lah yang menjadikan individu rentan terhadap mikroorganisme yang masuk ke parenkim paru.


(22)

E. Disfungsi makrofag alveolus

Monosit setelah transmigrasi dari pembuluh darah, maka dengan cepat berdeferensiasi menjadi makrofag inflamator, untuk membantu aktivitas dan fungsi dari makrofag yang sudah terlebih dahulu ada. Respon ini dapat diinduksi melalui interleukin-10 dan serum 1-25-Dihydroxyvitamin D. Makrofag alveolus sangat efektif dalam fungsi fagositosis terhadap mikroorganisme. Banyak mikroorganisme dengan cepat, mati karena sistem lisosom makrofag alveolus. Mekanisme mikrobisidal penting lain yang turut berperan untuk makrofag adalah protein Toll Like Receptor (TLR), spesies oksigen reaktif (ROS), dan pembentukan nitrit oksida. Namun proteksi ini dapat rusak pada situasi tertentu seperti kebiasaan merokok lama, anemia kronik, kelaparan yang berkepanjangan, hipoksemia, dan infeksi virus sistem pernapasan, semua itu dapat menyebabkan kerusakan pada makrofag alveolar dan membantu untuk terjadinya pneumonia komunitas.

F. Disfungsi sistem imun

Respon imun merupakan pertahanan tubuh utama dalam melawan infeksi yang disebabkan mikroorganisme pathogen, baik mikroorganisme yang residen maupun yang transien pada saluran pernapasan. Respon imun bergantung pada limfosit B dan limfosit T yang mampu mengenali antigen spesifik. Ada juga respon imun yang terbentuk dari sel inflamasi tidak spesifik, seperti sel dendritik paru, makrofag, neutrofil, eosinofil, dan sel mast. Kerusakan pada granulosit, limfosit, imunodefisiensi didapat atau kongenital, dan terapi imunosupresi dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya pneumonia komunitas.

2.1.2. Definisi dan Klasifikasi

Pneumonia komunitas terdiri dari dua kata, yaitu pneumonia dan komunitas. Pneumonia adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru. Sedangkan komunitas menurut KBBI adalah kelompok orang yang hidup dan saling berinteraksi di dalam daerah tertentu. Adapun definisi dari pneumonia komunitas itu sendiri adalah suatu infeksi pada parenkim paru yang terjadi di


(23)

komunitas bukan di rumah sakit, fasilitas perawatan intensif, atau kontak dengan fasilitas kesehatan lain. Meskipun penyebab pneumonia sudah diketahui baik diakibatkan oleh infeksi bakteri, virus maupun mikroorganisme lainnya, seringkali pneumonia tidak terdiagnosis atau tidak terobati dengan optimal, karena gejala klinis pneumonia hampir serupa dengan penyakit infeksi saluran napas bawah lainnya.3

Pneumonia merupakan penyakit yang masuk dalam klasifikasi infeksi saluran napas bawah akut (ISNBA). Meskipun pneumonia dapat terjadi sebagai penyakit primer, namun pneumonia juga dapat menjadi penyakit lanjutan manifestasi ISNBA lainnya, seperti perluasan bronkiektasis yang terinfeksi.6,7

Lokasi peradangan pada penyakit pneumonia tidak hanya sebatas parenkim paru, akan tetapi juga mengenai distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, yang mengakibatkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas.8

2.1.2.1. Klasifikasi Pneumonia Komunitas Berdasarkan Mikroorganisme Pada beberapa tahun yang lalu, klasifikasi pneumonia hanya terbatas oleh dua yaitu pneumonia tipikal yang disebabkan Streptococcus pneumoniae dan atipikal yang disebabkan kuman atipik Mycoplasma pneumonia. Namun, dalam perkembangannya, beberapa pathogen lain, menimbulkan gejala klinis yang identik dan sama dengan pneumonia akibat Streptococcus pneumonia, diantaranya H. influenza, S. aureus, bakteri Gram negatif dan virus. Lain halnya dengan

Legionella spp. dan virus menimbulkan gejala klinis pneumonia yang bervariasi luas. Maka dari itu, klasifikasi tersebut tidak dipergunakan lagi.3,7

2.1.2.2. Klasifikasi Pneumonia Komunitas Berdasarkan Pajanan Lingkungan Akibat tidak dipergunakannya lagi klasifikasi tipikal dan atipikal, maka diperlukan suatu klasifikasi terhadap pneumonia, yang nantinya mempermudah seorang dokter mendiagnosis pneumonia berdasarkan etiologi, gejala klinis dan pemeriksaan penunjang sehingga nantinya pengobatan pneumonia dapat dilakukan secara spesifik dan akurat. Terbentuklah suatu klasifikasi berdasarkan pajanan lingkungannya, yaitu community-acquired (CAP) atau pneumonia komunitas,


(24)

hospital-acquired (HAP) atau pneumonia nosokomial, dan ventilator-associated (VAP)atau pneumonia akibat pemakaian ventilator.3

Namun, pada beberapa pasien yang menjalani pengobatan rawat jalan, ditemukan beberapa pasien terinfeksi pathogen akibat resistensi obat (MDR) yang berhubungan dengan pneumonia nosokomial. Fenomena ini diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu penggunaan antibiotik oral yang meluas, pemulangan pasien yang terlalu dini, penyediaan fasilitas yang terbatas, peningkatan penggunaan terapi antibiotik IV pada pasien rawat jalan, pasien lansia, dan perluasan terapi imunomodulator. Keterlibatan pathogen MDR ini, menyebabkan kategori baru pada pneumonia yaitu pneumonia yang didapat di pusat perawatan kesehatan atau disebuthealthcare associated pneumonia (HCAP).3,9

Pneumonia komunitas (CAP) adalah pneumonia yang terjadi akibat infeksi di masyarakat atau di luar lingkungan rumah sakit. Adapun pneumonia nosokomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi akibat infeksi setelah dirawat di rumah sakit dalam kurun waktu 48 jam atau lebih, baik pasien di rawat di ruang umum ataupun ICU yang mana pasien sedang tidak menggunakan ventilator, sedangkan pneumonia akibat pemakaian ventilator (VAP) adalah pneumonia yang terjadi akibat infeksi setelah pasien dilakukan intubasi endotrakeal dalam kurun waktu 48-72 jam.7

2.1.2.3. Klasifikasi Pneumonia Komunitas Berdasarkan Predileksi Infeksi Berdasarkan predileksi infeksi, pneumonia dibagi menjadi 3 tipe, yaitu:6,9,10,11,12,,13

A. Penumonia Lobaris

Pneumonia ini terjadi karena infeksi bakteri akut pada salah satu lobus atau semua lobus. Jika mengenai semua lobus, maka sering kali disebabkan penyebaran inflamasi melalui lubang Khon dan kanal Lambert. Etiologi tersering adalah Streptococcus pneumonia, Staphylococcus aureus, B

Haemolytic streptococci dan yang jarang adalah Haemophilus influenza, Klebisella pneumonia.


(25)

a. Kongesti

Lobus yang terinfeksi menjadi berat, merah, dan kotor. Gambaran histologinya, terlihat kongesti pada pembuluh darah dengan cairan proteinaceous, sebaran neutrofil, dan banyak bakteri di dalam alveolus.

b. Hepatisasi merah

Lobus yang terinfeksi memiliki konsistensi yang mirip dengan liver, ruang alveolus terisi dengan neutrofil, sel darah merah, dan fibrin

c. Hepatisasi abu-abu

Lobus menjadi kering, abu-abu, dan padat, karena adanya lisis pada sel darah merah. Dibarengi dengan eksudat fibrinospuratif di alveolus.

d. Resolusi

Terjadi ketika pneumonia tidak mengalami komplikasi. Adanya proses enzimatik mencerna eksudat alveolus untuk menghasilkan granular. Debris-debris cairan juga diserap dan dicerna melalui makrofag, batuk, atau fibroblast.


(26)

Gambar 2.1. Patologi Pneumonia Lobaris11

Sumber. Mohan H. Textbook of Pathology. 6thed. Jaypee Brothers Medical Publishers. 2010. P469.

Adapun pada gambaran histologi tahap patologi pneumonia lobaris ditemukan beberapa gambaran khas (Gambar 2.2).

Gambar 2.2. Gambaran Histologi Patologi Pneumonia Lobaris11

Sumber. Mohan H. Textbook of Pathology. 6thed. Jaypee Brothers Medical Publishers. 2010.


(27)

B. Bronkopneumonia

Disebabkan infeksi bakteri akut yang mengenai bronkiolus terminal, memiliki ciri eksudat purulent, yang meluas ke sekitar alveolus melalui rute endobronkial, yang menghasilkan gambaran konsolidasi. Hal ini sering terlihat pada usia lanjut usia yang berhubungan dengan kelemahan kronik. Etiologi penyebabnya biasanya disebabkan olehStaphylococcus aureus, B

Haemolytic streptococci,Haemophilus influenza, Klebsiella pneumoniadan

Pseudomonas.

Gambar 2.3. Gambaran Histologi Bronkopneumonia11

Sumber. Mohan H. Textbook of Pathology. 6thed. Jaypee Brothers Medical Publishers.

2010. P472.

C. Pneumonia Intersisial

Proses inflamasi yang disebabkan oleh infeksi virus atau mikoplasma, dapat mengakibatkan terjadinya pneumonia intersisial tanpa eksudat alveolar. Karakteristik tipe pneumonia ini adalah adanya edema pada septal alveolar dan infiltrat mononuklear. Etiologinya disebabkan oleh

Mycoplasma pneumonia,virus sinsitial sistem pernapasan, virus influenza, adenovirus, citomegalovirus, Chlamydia, dan Coaxiella.


(28)

Gambar 2.4. Gambaran Histologi Pneumonia Intersisial11

Sumber. Mohan H. Textbook of Pathology. 6thed. Jaypee Brothers Medical Publishers. 2010. P473.

Tabel 2.2. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Gambaran Anatomi Parenkim Paru13

Varian Mikroorganisme Penyebab Karakteristik

Pneumonia Lobaris TerseringS. pneumoniae Eksudasi intra-alveolus sebagian besar menghasilkan konsolidasi,

Dapat melibatkan seluruh lobus, Jika tidak diobati, morfologinya dibagi 4 tahap: kongesti, hepatisasi merah, hepatisasi abu, dan resolusi

Bronkopneumonia Banyak mikroorganisme, termasuk Staphylococcus aureus, Haemophilus influenza, Klebsiella pneumoniae, dan

Streptococcus pyogenes

Infiltrat inflamasi akut meluas dari bronkiolus ke percabangan alveolus, Distribusi patchy melibatkan satu atau lebih lobus

Pneumonia Intersisial

Tersering virus atau

Mycoplasma pneumoniae

Difus, patchy terlokalisasi di area intersisial dinding alveolus,

Penyebaran melibatkan satu atau lebih lobus

Sumber. Schneider AS, Szanto PA. BRS Pathology. 5thed. Wolters Kluwer. 2014. P211.

Secara klinis menggolongkan pneumonia kepada pasien harus dilakukan dengan hati-hati bergantung pada tempat terjadinya infeksi pneumonia, karena hal


(29)

ini dapat membantu seorang dokter dalam menatalaksana pasien dengan memberikan terapi antibiotik yang tepat.

Gambar 2.5. Perbedaan Penampakan antara Pneumonia Lobaris dan Bronkopnuemonia11


(30)

Tabel 2.3. Perbedaan Pneumonia Lobaris dan Bronkopneumonia11

Perbedaan Pneumonia Lobaris Bronkopneumonia

Definisi Infeksi bakteri akut pada sebagian lobus atau satu lobus penuh pada satu paru atau keduanya.

Infeksi bakteri akut di bronkiolus terminal meluas ke alveolus

Kelompok Usia Lebih sering pada dewasa Lebih sering pada bayi dan usia tua

Faktor Predisposisi Lebih sering pada individu sehat

Penyakit sebelumnya, kelemahan, flu, campak

Etiologi Pneumokokkus,Klebsiella

pneumoniae,Staphilokokkus, Streptokokkus

Staphilokokkus,

Streptokokkus, Pseudomonas,

Haemophilus influenza

Patologi Morfologinya dibagi 4 tahap: kongesti, hepatisasi merah, hepatisasi abu, dan resolusi

Konsolidasi patchy dengan granular sentral, eksudasi alveolus, septa menebal Diagnosis Leukositosis neutrofil, kultur

darah positif, konsolidasi pada X-ray

Leukositosis neutrofil, kultur darah postif, keruh berbintik X-ray

Prognosis Respon baik pada

pengobatan, resolusi sering terjadi, prognosis baik

Respon terhadap pengobatan tertentu, prognosis jelek

Komplikasi Jarang terjadi: efusi pleura, empyema, abses paru

Bronkiestasis, dan komplikasi seperti pneumonia lobaris Sumber. Mohan H. Textbook of Pathology. 6thed. Jaypee Brothers Medical Publishers. 2010. P473

2.1.3. Epidemiologi

Data epidemiologi pneumonia komunitas di Amerika, menunjukkan bahwa insidensi pneumonia terdapat 12 kasus dari 1000 orang. Akan tetapi kejadian pneumonia dapat meningkat pada usia di bawah 4 tahun , yaitu berkisar 12-18 kasus dari 1000 balita dan juga meningkat pada usia lebih dari 60 tahun, yaitu berkisar 20 dari 1000 orang dan akan terus meningkat seiring bertambahnya usia. Adapun sebagian besar pasien yaitu 80% dari 4 juta pasien pneumonia komunitas yang terjadi tiap tahun, ditangani sebagai pasien rawat jalan, dan 20% ditangani di rumah sakit. Sedangkan kematian pneumonia komunitas di Amerika berkisar 45.000 setiap tahunnya.2


(31)

Faktor risiko pneumonia komunitas penting untuk diketahui, karena berhubungan dengan pengobatan yang akan diambil oleh pasien. Faktor risiko pneumonia komunitas adalah alkohol, asma, immunosupresi, pengaruh adat, dan pada usia lansia. Sedangkan faktor resiko pneumococcus yaitu infeksi S. pneumoniae meliputi demensia, kejang, gagal jantung, penyakit cerebrovaskular, alkohol, merokok, PPOK, dan HIV. Enterobakter cenderung menginfeksi pasien yang sudah pernah masuk rumah sakit atau yang menerima terapi antibiotik, atau merupakan penyakit komorbid dari alcohol, gagal jantung dan gagal ginjal. P. aeruginosa sering timbul pada pasien yang memiliki gangguan paru structural berat, seperti bronkiektasis, fibrosis sistik, atau PPOK berat. Adapun faktor risiko

Legionellaberupa diabetes, keganasan hematologi, kanker, gagal ginjal berat, HIV, merokok, pria, atau tinggal di hotel.

Kejadian pneumonia semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Maka pneumonia lebih sering dijumpai pada orang lanjut usia. Hal ini berkaitan dengan penurunan kualitas dan kuantitas dari saluran pernapasan itu sendiri, sehingga lebih rentan terjadinya infeksi.3

2.1.4. Etiologi

Pneumonia komunitas disebabkan oleh berbagai mikroorganisme termasuk bakteri, jamur, virus dan protozoa. Meskipun penyebab yang tersering adalah S. pneumonia, mikroorganisme lain perlu dipertimbangkan sebagai faktor resiko dan factor keparahan penyakit. Menurut klasifikasi terdahulu, penyebab patogen pneumonia dibagi dua, yaitu pathogen tipikal dan atipikal. Patogen tipikal berupa

S. pneumoniae, S. aureus, Haemophilus influenza,dan bakteri Gram-negatif seperti

Klebsiella pneumonia danPseudomonas aeruginosa. Sedangkan patogen atipikal biasanya disebabkan oleh Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, dan

Legionella sp. serta beberapa virus yang menyerang pernapasan seperti influenza dan adenovirus.3

Tanda dan gejala dari patogen atipikal dan patogen tipikal dapat dibedakan berdasarkan gambar berikut:


(32)

Tabel 2.4. Perbedaan Tanda dan Gejala dari Pneumonia Atipik dan Pneumonia Tipik3

Tanda dan Gejala Pneumonia Atipikal Pneumonia Tipikal

Onset Gradual Akut

Suhu Kurang tinggi Tinggi, menggigil

Batuk Non produktif Produktif

Dahak Mukoid Purulent

Gejala lain Nyeri kepala, myalgia, sakit tenggorokan, suara parau, nyeri telinga

Jarang

Gejala di luar paru Sering Lebih jarang

Pewarnaan Gram Flora normal atau spesifik Kokkus Gram (+) atau (-)

Radiologi Patchy atau normal Konsolidasi lobar

Laboratorium Leukosit normal kadang rendah

Lebih tinggi

Gangguan fungsi hati Sering Jarang

Sumber. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, dkk. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th

ed. Mc Graw Hill Medical. 2012. P2130.

Namun, terdapat juga klasifikasi yang membagi penyebab mikroorganismenya berdasarkan tempat perawatannya. Klasifikasi ini membagi tiga tempat perawatan menjadi rawat jalan dan rawat inap, rawat inap kemudian dibagi kembali menjadi ICU dan non-ICU. Berikut klasifikasi tersebut,


(33)

Tabel 2.5. Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Komunitas Berdasarkan Tempat Perawatan.3

Rawat Jalan Rawat Inap

Non-ICU ICU

S. pneumoniae S. pneumonia S. pneumonia Mycoplasma pneumonia M. pneumonia S. aureus Haemophilus influenza Chlamydia pneumonia Legionella sp. C. pneumonia H. influenza Bakteri Gram-negatif Virus saluran pernapasan

(influenza, parainfluenza dan adenovirus)

Legionella sp. H. influenza

Virus saluran pernapasan (influenza, parainfluenza dan adenovirus)

Sumber. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, dkk. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th

ed. Mc Graw Hill Medical. 2012. P2131.

Mikroorganisme atipikal tidak dapat dikultur dengan media yang standar, maupun dengan pewarnaan Gram. Adapun pengobatan terhadap pathogen atipikal ini, hakekatnya resisten terhadap anti-biotik B-laktam dan harus diobati dengan makrolid, fluoroquinolone, atau tetrasiklin. Akan tetapi, pada 10-15% kasus pneumonia komunitas, merupakan polimikroba di mana etiologinya disebabkan oleh kombinasi pathogen tipikal dan atipikal.

Meskipun, pada zaman ini, sudah dilakukan anamnesis yang menyeluruh, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologi yang rutin, tetap saja untuk menentukan patogen penyebab pneumonia komunitas masih sulit, terbukti lebih dari setengah kasus, tidak teridentifikasi penyebabnya yang spesifik. Akan tetapi, berdasarkan data epidemiologi dan faktor resiko tertentu, mungkin dapat ditemukan hubungan dengan pathogen tertentu.3

2.1.4.1 Streptococcus pneumonia

Penyebab paling sering dari pneumonia bakteri, baik yang didapat dari komunitas (sekitar 75% dari seluruh kasus) maupun dari rumah sakit. Patogenesisnya berawal dari bakteri pneumokokus mencapai alveoli melalui


(34)

percikan mukus atau saliva. Paru bawah menjadi lokasi tersering karena efek gaya gravitasi. Setelah masa inkubasi, dalam 4 – 12 jam awal terjadi kongesti yakni eksudat sukrosa dari pembuluh darah yang vasodilatasi keluar menuju alveoli. 48 jam berikutnya, hepatisasi merah yakni paru tampak merah karena sel-sel darah merah, fibrin dan PMN mengisi alveoli. Setelah 3-8 hari, hepatisasi kelabu akibat fibrin dan leukosit mengisi alveoli. Terakhir, terjadi resolusi dalam waktu 7 – 11 hari akibat eksudat mengalami lisis dan reabsoprsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali utuh seperti semula.6,9,10,11,12,,13

Infeksi pneumococcal terjadi lebih sering frekuensinya pada pasien yang memiliki beberapa kondisi, yaitu:

a. Memiliki penyakit penyerta terutama penyakit kronik seperti chronic heart failure (CHF),

b. Memiliki kelainan kongenital atau defek immunoglobulin bawaan (seperti AIDS),

c. Memiliki penurunan atau tidak ada fungsi limpa (seperti penyakit sel sabit atau sehabis splenektomi).

Pada kondisi yang terakhir, lebih rentan terhadap infeksi karena limpa mengandung sel imun dalam jumlah besar dan juga limpa merupakan organ yang dapat mendegradasi pneumokokkus dari darah. Selain itu, limpa juga merupakan organ penting yang memproduksi antibodi melawan polisakarida , di mana polisakarida merupakan kapsul yang melapisi bakteri. Pemeriksaan pewarnaan Gram sputum adalah pemeriksaan penting untuk mendiagnosis pneumonia komunitas ini. Adanya sejumlah neutrofil dan gambaran khas Gram-positif, bentuk batang diplokokkus merupakan bukti adanya pneumonia pneumokokkus. Akan tetapi, yang perlu diingat, S. pneumonia juga merupakan flora normal endogen, sehingga sewaktu-waktu hasil pemeriksaan dapat menjadi positif palsu. Pemeriksaan lebih spesifik, yaitu isolasi terhadap pneumokokkus. Pada fase awal sakit, kultur darah mungkin postif sampai 20-30% pada pasien dengan pneumonia. Ketika hasilnya merupakan patogen S. pneumonia, maka pemberian antibiotik harus spesifik. Adapun pencegahan terhadap penyakit ini, berupa vaksin pneumokokkus yang berisi kapsul polisakarida yang diambil dari beberapa serotype


(35)

bakteri, dan hasilnya efektif, terutama pada pasien yang memiliki risiko terhadap infeksi pneumokokkus. 14,15

Manifestasi yang muncul dari pneumonia akibat pneumokokus yakni mendadak mengalami menggigil, demam, nyeri pleuritik (dada), batuk, mengeluarkan sputum yang berwarna seperti karat. Pada pemeriksaan fisik terdengancracklesakibat dari gesekan pleura yang diisi eksudat dan fibrin baik di dalam alveolus maupun permukaan pleura. Sesak juga bisa dapat dirasakan pasien akibat hipoksemia karena berkurangnya permukaan ventilasi oksigen oleh eksudat. Pada pemeriksaan foto toraks dapat beberapa area konsolidasi; dan mungkin tampak gelap. Penegakan diagnosis dapat melakukan pemeriksaan radiogram dada, hitung leukosit, dan pemeriksaan sputum (makroskopik, mikroskopik dan biakan). Koloni S. pneumonia mulai terbentuk di nasofaring pada awal bulan kehidupan. Perkembangan saluran pernapasan manusia melalui beberapa mekanisme untuk melindungi saluran napas dari koloni dan infeksi pneumokokkus invasif. Mekanisme tersebut adalah pertahanan imun bawaan, termasuk refleks batuk, mukosiliar, dan pattern recognition receptors (PRRs). PPRs ini akan mengenali pathogen-assocaited molecular patterns (PAMPs). Sebagai tambahan, sel-sel yang terinfeksi akan mengeluarkan damage-associated molecular patterns

(DAMPs) atau alarmin. Ketika terjadi infeksi, DAMPs dan PAMPs akan bersinergi untuk mensintesis dan mensekresi sitokin-sitokin pro-inflamasi dan kemokin-kemokin, seperti IL-1B dan IL-8, yang juga menstimulasi diferensiasi sel dan kematian sel.5

Meskipun mekanisme-mekanisme ini memprotekasi saluran napas dari S. pnuemoniae, namun mekanisme antibodi humoral dan selular adalah yang terpenting dalam membersihkan patogen saluran napas bawah. Resolusi yang diperantarai sel pada kolonisasi nasofaring melibatkan respon Th1 dan Th17 yang diinisiasi oleh berbagai virulensi determinan seperti kapsul bakteri, pili, dan determinan adhesi lain, seperti toksin, pneumolisin. Berikut beberapa determinan virulensi olehS. pneumoniaedan mekanisme pertahanan tubuhnya.5


(36)

A. Kapsul Polisakarida

Kapsul polisakarida antifagosit merupakan determinan utama dan essensial dari virulensi pneumokokkus. Selain itu berguna juga untuk pembentukan koloni di nasofaring. Identifikasi terhadap kapsul ini ditemukan 92 serotipe yang berbeda. Kapsul tersebut akan bergantian morfologi antara dua tahap yang berbeda, yaitu fenotip transparent dan opaque. Perbedaan antara keduanya, pada fenotip transparent ketebalan kapsular lebih tipis dan ekspresi protein A (PspA) ke permukaan pneumokokkus lebih rendah serta meningkatkan ekspresi adhesion, choline-binding protein A (CbpA), autolysin, LytA, adhesi pendukung, dan kolonisasi.

Penurunan lebih lanjut pada ketebalan kapsul mendahului perpindahan dari kolonisasi ke invasi epitelium. Bentuk opaque adalah bentuk utama yang ditemukan di sirkulasi. Varian yang sangat tahan terhadap fagositosis ini dapat meningkatkan ketebalan kapsul dan ekspresi PspA serta menurunkan ekspresi CbpA, pendukung diseminasi paru.

Fragmen sel dinding dan polisakarida kapsul dariS. pneumoniadikenal dan berikatan dengan antibodi menjadi ikatan complement, diikuti dengan ikatan C1q dan deposisi C3b dan C3bi pada permukaan bakteri. Perbedaan pada serotip kaspul, berbeda juga pada mekanisme invasifnya. Hal ini dikarenakan perbedaan deposisi komplemen yang mengikat pada polisakarida kapsul, serta pengikatan komplemen factor H.

B. Pili Pneumokokkus

Pili juga merupakan virulensi pneumokokkus. Pili pneumokokkus hanya diekspresikan oleh strain tertentu dan memungkinkan bakteri hidup di paru dan mengikat sel epitel. Strain pili juga menginduksi respon inflamasi TNF-dependen lebih besar, meningkatkan potensi cedera paru dan menyerang jaringan host.


(37)

C. Biofilm

Meskipun kemampuan S. pneumonia untuk tumbuh dan bertahan sebagai biofilm tidak muncul untuk mencerminkan virulensi yang potensial, akan tetapi hal ini tetap menguntungkan, karena sebagai bakteri yang dilapisi biofilm, terdapat penurunan kerentanan terhadap agen antimikroba dan penurunan resistensi dari pengenalan sistem imun. Pada suatu penelitian didapatkan biofilm pneumokokkus dapat menurunkan fagositosis karena terdapat gangguan pada deposisi C3b. Pembentukan biofilm S. pneumonia

juga efektif untuk mencegah respon imun, tidak hanya pada jalur klasik komplemen yang disebabkan penurunan ikatan proten reaktif C dan C1q komponen komplemen, tetapi juga menekan aktivasi dependent

pneumococcal surface protein(PspC) pada jalur alternatif komplemen. Penelitian terkini menyatakan bahwa biofilm tidak berkontribusi pada perkembangan penyakit pneumokokkus invasif, akan tetapi lebih pada pertumbuhan diam-diam sewaktu kolonisasi. Peran kapsul polisakarida pada pembentukan biofilm belum dapat ditentukan secara yakin, meskupun terdapat laporan bahwa tidak adanya kapsul polisakarida untuk membantu pertumbuhan biofilm. Akan tetapi pada penelitian lain, menunjukkan bahwa penurunan pembentukan kapsul polisakarida berhubungan dengan penurunan pembentukan biofilm. Penelitian terkini menunjukkan peningkatan pembentukan biofilm pneumokokkus dikarenakan kebiasaan merokok yang mana dapat mendukung terjadinya kolonisasi dan persistensi mikrobial.

D. Hidrogen Peroksida

Pneumokokkus adalah pembentuk utama hidrogen peroksida sebagai konsekuensi dari aktivitas piruvat oksidase, yang mengejutkan, mengingat bahwa patogen katalase-negatif ini dilengkapi untuk detoksikasi oksidan. Pnuemokokkus tidak hanya menggunakan hidrogen peroksida sebagai faktor virulensi, yang dapat menyebabkan kerusakan signifikan pada silia epitel saluran napas dan gangguan aktivitas proteksi dari escalator mukosiliar, tetapi juga untuk mengeliminasi pesaing mikroba di nasofaring.


(38)

Selain itu, piruvat oksidase dapat bertindak sebagai sensor status oksigenasi dari lingkungan mikroba, pengatur asupan gizi dan ketebalan kapsul anti-fagosit.

E. Protein Permukaan

Penempelan dan kolonisasi pneumokokkus ke jaringan host diperantarai oleh adhesion permukaan dan enzim yang juga berperan penting sebagai faktor virulensi S. pnuemoniae. Protein permukaan yang paling signifikan adalah:

a. Autolisin

Autolisin adalah protease pendegradasi dinding sel.enzim ini merusak tulang belakang peptidoglikan yang berfungsi sebagai pertumbuhan dan pembelahan sel. Akan tetapi, aktivitas berlebih autolisin dapat menghasilkan peningkatan degradasi dinding sel yang akhirnya sel akan lisis. N-acetylmuramic acid L-alanine amidase(LytA amidase) merupakan autolisin utamaS. pneumoniae.

Lisis sebagian dinding sel bakteri oleh LytA dapat meningkatkan virulensiS. pneumoniaedengan cara melepaskan toksin mematikan seperti pneumolisin.

b. Kolin Pengikat Protein A

Choline binding protein A(CbpA) berikatan dengan residu kolin terminal, yaitu asam teikoik atau asam lipoteikoik yang terdapat pada permukaan S. pneumoniae, menempatkan pathogen pada glikokonjugat sel manusia, yang mendukung transisi dari kolonisasi ke invasi.

c. Protein A Permukaan Pneumokokkus

Pneumococcal surface protein A (PspA) juga merupakan factor virulensi penting pada S. pneumoniae, yang dapat menghambat deposisi C3b pada permukaan bakteri, sehingga mengganggu aktivasi komplemen dan fagosit diperantarai komplemen. PspA juga


(39)

berikatan dan mengganggu laktoferin, sehingga meningkatkan ketersediaan besi bebas yang dibutuhkan pertumbuhan bakteri. d. Faktor A dan B Aderensi dan Virulensi Pneumokokkus

Adesin, PavA dan PavB S. pneumoniae,berfungsi untuk invasi dan penyebaran pneumokokkus ke sel host. PavA akan berikatan dengan komponen matriks ektraselular, fibronektin, sedaangkan PavB akan berikatan dengan fibronektin dan plasminogen. Efek adesi atau penempelan ini diperantarai oleh sekuens berulang dari

streptococcal surface repeats (SSURE). Hal ini mengemukakan bahwa PavA dapat mempengaruhi kolonisasi pneumokokkus dengan memodulasi ekspresi atau fungsi factor virulensi.

e. Neuraminidase

Tiga bentuk neuraminidase yang dapat diidentifikasi pada pneumokokkus, yaitu NanA, NanB, dan NanC. NeuraminidaseA

memotong asam sialik terminal dari glikan permukaan sel seperti musin, glikolipid, dan glikoprotein yang berkontribusi untuk adesi dan kolonisasi pneumokokkus. NanA juga berperan penting pada pembentukan biofilm. NanB terlibat pada metabolism pemanfaatan asam sialik sebagai karbon dan sumber energi oleh pneumokokkus, sementara NanC memegang peran regulasi.

f. Hialuronidase

Hialuronidase disekresikan oleh pneumokokkus dan berfungsi memecah komponen asam hialuronat dari jaringan ikat host dan matriks ekstraselular. Peningkatan permeabilitas epitel disebabkan oleh aktivitas hialuronidase yang akan mendukung penyebaran dan kolonisasi S.pneumoniae, khususnya ketika beraktivitas bersama dengan pneumolisin.


(40)

g. Pneumolisin

Toksin protein pneumokokkus, pneumolisin, adalah anggota dari keluarga thiol-activated cytolysinsdan virulensi penting untuk factor patogen. Toksin akan berikatan dengan kolesterol pada membrane sitoplasmik sel eukariotik, diikuti oleh insersi ke membrane, yang menyebabkan pembentukan pori besar dan sitolisis. Pada tahap awal infeksi, pneumolisin membantu kolonisasi nasofaring melalui efek inhibitor pada epitel silia respirasi. Selain itu, toksin juga berefek mengganggu taut antar sel yang mengakibatkan integritas epitel selapis terganggu. Hal ini akan membantu terjadinya invasi patogen.

Pada konsentrasi sitotoksik yang tinggi, pneumolisin juga menghambat fungsi protektif imunitas sel baik bawaan maupun didapat, serta pematangan sel dendritic. Akan tetapi pada konsentrasi non-sitolitik yang lebih rendah, toksin memiliki aktivitas pro-inflamasi sebagai konsekuensi pembentukan pori sublitik dan masuknya kalsium kedalam imunitas dan sel-sel inflamasi. Hal ini, pada gilirannya, mengakibatkan hiperaktivitas fagositosis, induksi untuk memproduksi sitokin-sitokin pro-inflamasi.

2.1.5. Patogenesis dan Patofisologi3,10

Pneumonia merupakan hasil dari reaksi antara imun host terhadap bakteri yang berpoliferasi di alveolar paru. Jalur tersering masuknya infeksi ke saluran napas bawah adalah melalui aspirasi sekret orofaring, maka nasofaring dan orofaring berkontribusi sebagai pertahanan lini pertama untuk mencegah infeksi. Mikroorganisme dapat mencapai saluran pernapasan bawah melalui berbagai cara, namun umumnya mikroorganisme ini masuk dengan cara aspirasi orofaring via droplet, dalam jumlah yang sedikit dan tersering pada saat pasien sedang tidur (khususnya pasien tua) dan pada pasien yang mengalai penurunan kesadaraan. Jalur infeksi lain adalah melalui inhalasi udara yang sudah tercemar dengan mikroorganisme ketika penderita lain batuk, bersin, atau berbicara, atau juga


(41)

inhalasi air aerosol yang terkontaminasi dari peralatan terapi respirasi. Jalur infeksi ini merupakan jalur utama pada pneumonia viral, mikobakterial, dan wabah

Legionella. Selain itu, walaupun jarang terjadi pneumonia juga dapat muncul dan menyebar melalui peredaran darah (seperti pneumonia dari endokarditis trikuspid), penyebaran infeksi yang berasal dari infeksi pleura dan ruang mediatinum, atau penggunaan obat-obatan intravena.

Pada individu yang sehat, patogen yang masuk ke paru akan dieliminasi oleh mekanisme pertahanan tubuh. Jika mikroorganisme tersebut mampu melewati pertahanan tubuh saluran napas atas, seperti reflex batuk dan klirens mukosiliar, lini pertahanan selanjutnya adalah sel epitel saluran napas. Sel epitel saluran napas dapat mengenali beberapa patogen secara langsung (seperti P. aeruginosa dan S. aureus). Tetapi sel pertahanan tubuh utama pada saluran napas bawah adalah makrofag alveolus. Makrofag ini dapat mengenali patogen melalui reseptor pengenal yaitu Toll-like receptors (TLR) yang dapat mengaktivasi respon imun bawaan dan didapat. Pelepasan TNF-α dan IL-1 dari makrofag berkontribusi untuk penyebaran inflamasi paru dengan merekrut neutrofil polimorfonuklear (PMN). PMN akan bermigrasi dari kapiler paru ke alveolus. PMN juga memiliki fungsi fagosit yang dapat membunuh mikroba melalui pembentukan fagolisosom yang terisi enzim degradatif, protein antimikroba, dan radikal oksigen toksik. PMN juga dapat menginduksi protein neutrophil extracellular trap (NET) yang dapat menangkap dan membunuh bakteri yang belum terfagositosis. Sayangnya banyak patogen, seperti pneumokokkus, dapat melepaskan DNase yang dapat memecah NET sehingga dapat melepaskan diri dari pertahanan PMN. Sebagai tambahan, untuk mengaktivasi PMN, makrofag juga menyajikan antigen infeksius ke system imun adaptif yaitu dengan aktivasi sel T dan sel B yang nantinya menginduksi imunitas selular dan humoral. Pelepasan mediator inflamasi dan kompleks imun dapat merusak membrane mukus bronkus dan membrane alveolokapiler, yang menyebabkan asinus dan bronkiolus terminal terisi dengan debris infeksius dan eksudat. Sebagai tambahan, beberapa mikroorganisme dapat melepaskan toksin dari dinding selnya yang menyebabkan kerusakan paru lebih lanjut. Akumulasi eksudat di asinus dapat menyebabkan sesak napas dan hipoksemia.


(42)

Faktor mekanik sangat berperan dalam pertahanan host terhadap infeksi. Hal ini dapat dilihat dengan adanaya: rambut hidung yang menyaring udara dan mencegah masuknya droplet, percabangan pada trakeobrankial yang dilengkapi dengan mukosiliar clearance dan faktor antibakteri yang dapat membunuh patogen, gag reflex serta reflek batuk yang dapat mencegah aspirasi partikel ke dalam saluran pernapasan bawah. Tidak hanya itu, keberadaan flora normal di saluran pernapasan bawah dapat menghindarkan dari infeksi bakteri patogen yang dapat menimbulkan pneumonia.

Tetapi, saat semua sistem pertahan di atas hilang atau ketika terdapat mikroorganisme berukuran sangat kecil terinhalasi ke dalam alveolar, maka akan terjadi reaksi dari makrofag residen alveolar terhadap mikroorganisme. Makrofag diaktifkan oleh protein lokal (seperti protein surfaktan A dan D) yang memiliki kemampuan opsonisasi terhadap bakteri, antibakteri, antiviral. Setelah dilemahkan oleh makrofag bakteri akan dieliminasi melalui bersihan mukosiliar atau melalui sistem limfatik. Manifestasi pneumonia timbul hanya ketika jumlah makrofag yang melawan mikroorganisme lebih banyak sehingga memicu timbulnya reaksi inflamasi yang menjadi respon umum pertahanan tubuh terhadap infeksi. Pelepasan mediator inflamasi seperti interleukin (IL)-1 dan tumor nekrosis faktor (TNF), akan menimbulkan gejala klinis berupa demam.Chemokins, seperti IL-8 dangranulosit colony-stimulating factor akan menstimulasi pelepasan neutrofil ke paru dan menyebabkan leukosistosis perifer dan meningkatkan sekresi cairan purulen. Mediator inflamasi yang dihasilkan oleh makrofag dan neutrofil yang baru membuat bocornya kapiler alveolar yang serupa denganacute respiratory distress syndrome (ARDS), walaupun pada pneumonia kebocoran ini terlokalisir. Saat terjadi kebocoran, eritrosit dapat melewari membran alveolar-kapiler, dengan gejala klinis berupa hemoptisis. Dari gambaran radiologi, kebocoran ini akan tampak sebagai gambaran infiltrat dan pada auskultasi akan terdengarrales, serta

hipoxemiaakibat dari pengisian alveolar.

Selain itu, beberapa bakteri tampak menggangu dengan hipoxemia

vasokontriksi yang umumnya muncul dengan disertai dengan alveolus yang terisi cairan, dan gangguan ini dapat berujung pada hipoksemia berat. Peningkatan kebutuhan respirasi pada keadaansystemic inflamatory response syndrome (SIRS)


(43)

akan mengakibatkan alkalosis. Penurunan pengembangan paru karena kebocoran kapiler, hipoxemia, peningkatan kebutuhan respirasi, peningkatan sekresi dan bronkospasme yang dipicu infeksi semuanya akan berakibat pada gejala klinis sesak napas. Jika cukup berat, perubahan mekanika paru yang menyebabkan pengurangan volume paru serta kemampuan pengembangan paru dan mengalirnya darah ke dalam ruangintapulmonardapat menjadi penyebab kematian pasien. 2.1.6. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pneumonia komunitas secara umumnya sama dengan pneumonia tipe lainnya, yaitu manifestasi klinis yang sering muncul adalah demam dengan takikardia, memiliki riwayat demam menggigil dan berkeringat. Adapun gejala batuk dapat non-produktif dan produktif, sedangkan sekret yang keluar dapat berupa mukus, purulent, atau darah yang bercampur dengan sputum. Gejala utama lain yang muncul adalah sesak napas. Pada kondisi ringan mungkin pasien masih bisa berbicara dengan kalimat lengkap, namun pada kondisi berat, pasien akan kesulitan dalam bernapas. Jika terdapat penyebaran sampai pleura, pasien akan merasakan sakit dada pleuritik. Lebih dari 20% pasien memiliki gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, dan diare. Gejala lain yang mungkin muncul adalah lemas, sakit kepala, nyeri otot dan nyeri sendi.3

Adapun dari pemeriksaan fisik yang kemungkinan akan didapatkan adalah peningkatan frekuensi pernapasan dan penggunaan otot bantu napas tambahan. Pada palpasi, mungkin akan ditemukan peningkatan dan penurunan fremitus, sedangkan pada perkusi, akan didapatkan perubahan dari tumpul menjadi rata, pada daerah yang mengalami konsolidasi dan efusi pleura. Adapun pada auskultasi, kemungkinan terdengar suara ronkhi dan suara gesekan atau friksi pada pleura. Pada orang tua, gejala-gejala tersebut tidak terlalu nampak.3

2.1.6.1. Batuk dan Sputum Abnormal16

Batuk adalah refleks penting yang membantu membersihkan jalan napas ketika terdapat sejumlah material yang terinhalasi, sekret berlimpah, atau substansi abnormal, seperti edema atau pus. Dalam definisi lain, batuk adalah reflek tiba-tiba, biasanya involunter, pengeluaran udara dari paru dengan karakteristik yang khas


(44)

dan suara yang mudah dikenali. Batuk merupakan gejala paling umum pada gangguan respirasi, yang mana memiliki fungsi pertahanan saluran napas dari substansi asing, dan menjaga patensi jalan napas dengan mengeluarkan sekret dari jalan udara.

Efek dinamis dari batuk adalah pembentukan kecepatan aliran udara pada jalan napas yang cukup kuat untuk mengeluarkan secret yang terakumulasi di permukaan mukosa. Mesikpun pada umumnya batuk merupakan reflek volunteer, namun terkadang batuk dapat menjadi reflek fisiologis. Reflek batuk diperantarai oleh lengkung reflek pada reseptor sensori yang akan terus berjalan ke serabut saraf aferen, sistem saraf pusat, serabut saraf eferen, dan otot efektor.

Reseptor batuk merupakan reseptor iritan. Reseptor-reseptor ini berada pada ujung saraf bebas yang banyak terdapat pada lapisan mukosa laring, carina, trakea, dan bronkus, yang distimulasi oleh iritan mekanik dan kimiawi. Pada tempat-tempat tersebut, batuk merupakan pertahanan tubuh paling efektif untuk membersihkan sekret. Reseptor batuk lain berada di faring, jalan napas perifer, dan intrathorak atau ekstrathorak lain. Ketika reseptor tersebut teraktivasi baik dari iritan mekanik atau kimiawi, impuls akan dihantarkan ke serabut saraf aferen di vagus, mesikpun beberapa ada di glossofaringeal dan trigeminal, tergantung reseptor yang terlibat. Kemudian dilanjutkan ke pusat batuk di medulla. Di sini lah tempat insiasi terjadinya batuk dan modifikasinya. Lalu, dilanjutkan ke serabut saraf eferen di vagi (laring), kemudian pada efektor dilanjutkan ke saraf frenikus dan saraf motoric spinal yang mempersarafi otot-otot ekspirasi napas. Pada pneumonia, reseptor batuk biasanya diinisasi karena adanya akumulasi cairan di saluran napas. Sehingga batuk dapat ditemukan pada hamper semua pasien pneumonia.

Adapun bagaimana batuk terjadi secara mekanise, melewati beberapa tahap, yaitu:

a. Inspirasi awal yang dalam,

b. Penutupan glottis yang ketat, diperkuat dengan struktur supraglottis,


(45)

d. Pembukaan tiba-tiba glottis sedangkan otot ekspirasi kontraksi terus.

Tekanan intrapulmonari yang sangat tinggi yang dihasilkan pada dua fase terakhir menghasilkan aliran udara yang sangat cepat dari paru-paru setelah glottis terbuka. Selain itu, perbedaan tekanan antara bagian luar dan dalam jalur udara intrathorak selama fase ke-4, menyebabkan kompresi yang dinamis dan adanya penyempitan. Kombinasi dari aliran udara yang tinggi dan saluran napas yang menyempit menghasilkan aliran udara dengan kecepatan linier dan terkadang mendekati kecepatan suara.

Karakteristik suara batuk dihasilkan akibat adanya getaran pada pita suara, lipatan mukosa atas, dan bawah glottis, serta akumulasi secret. Perbedaan pada suara batuk dikarenakan beberapa faktor, yaitu sifat dan kuantitas sekret, perbedaan anatomi, dan perubahan patologi laring dan jalur napas lain, serta adanya gaya paksa batuk. Getaran batuk ini juga berguna untuk meluruhkan secret yang berada di dinding jalan napas.

Reflek batuk ini memiliki peran penting dalam membersihkan secret yang berada pada jalan napas perifer di mana kerja dari klirens mukosiliar terganggu. Terdapat mekanisme bagaimana batuk dapat membersihkan secret pada jalan napas perifer yaitu dengan mekanisme“milking”.Mekanisme ini terjadi pada jalan napas terkecil sehingga secret akan terperas ke atas melewati bronkus.

Batuk akut adalah batuk yang pulih dalam waktu 2-3 minggu setelah onset penyakit atau pulih dengan penanganan pada penyakit yang mendasarinya. Sedangkan batuk kronik adalah batuk yang menetap dalam waktu lebih dari 3 minggu, mesikpun penelitian lain berpendapat 7-8 minggu. Pada pneumonia komunitas lebih sering pada batuk akut, namun dapat timbul batuk kronik jika pasien memiliki riwayat merokok.

Warna, konsistensi, bau, dan jumlah sputum berbeda-beda pada setiap gangguan paru. Warna dan bau yang khas dapat menunjukkan suatu infeksi mikroorganisme yang spesifik. Sputum yang dikeluarkan biasanya berisikan material endogen dan eksogen, termasuk transudasi atau eksudasi, mikroorganisme,


(46)

sel atau jaringan nekrosis, muntah yang teraspirasi, atau partikel asing lain. Penampakan kasar dan pemeriksaan fisik lain pada sputum, tergantung pada material yang terdapat pada sputum. Sputum mukoid biasanya jernih dan kental, hanya mengandung sedikit elemen mikroskopis. Sedangkan sputum purulent biasanya berwarna, seperti kuning atau hijau, dan keruh. Ini menandakan adanya sel darah putih dalam jumlah besar, khususnya granulosit neutrofil.

Sputum dapat memprediksi etiologi pada penyakit pneumonia berdasarkan warnanya dan konsistensinya. Pada patogenS. pneumoniasputum yang dihasilkan berwarna kuning tua, Pseudomonas, Haemophillus, dan spesies pneumokokkus menghasilkan sputum berwarna hijau, Klebsiella berwarna merah, tebal dan konsistensinya seperti jelly, dan pada infeksi anaerobik sputum yang dihasilkan memiliki baud an rasa yang buruk.

2.1.6.2. Batuk Darah (Hemoptisis)10,16

Hemoptisis adalah batuk yang dikeluarkan mengandung darah atau sekret berdarah. Seringkali hemoptisis ini dibuat bingung dengan hematemesis, yaitu muntah darah. Darah yang dibatukkan biasanya merah cerah, memiliki pH basa, dan bercampur dengan busa, sedangkan jika darah yang dimuntahkan biasanya berwarna gelap, memiliki pH asam, dan bercampur zat makanan.

Hemoptisis terjadi karena adanya kerusakan pada parenkim paru dengan ruptur pembuluh darah atau inflamasi, cedera, atau kanker dari organ pernapasan. Jumlah dan durasi perdarahan dapat menunjukkan sumber perdarahan. Untuk mendeteksi penyebab hemoptisis dapat menggunakan bronkoskopi dan CT scan. Sedangkan pada pasien yang berat, akan terjadi syok sepsis dan kegagalan organ Berikut alur penilaian dari keparahan penumonia.

2.1.6.3. Sesak Napas (Dispneu)3,6,12,13

Ketika mikroorganisme mampu bertahan dari mekanisme pertahanan saluran napas atas, maka makrofag alveolus yang akan menjadi pertahanan selanjutnya. Makrofag alveolus memiliki kemampuan fagositosis untuk mengeliminasi mikroorganisme tanpa merangsang respon inflamasi atau imun yang signifikan. Sehingga tidak merusak jaringan sekitar. Namun, ketika


(47)

mikroorganisme tersebut berjumlah banyak, maka makrofag alveolus akan mengaktivasi mekanisme pertahanan lain. Mekanisme pertahanan tersebut adalah pelepasan mediator inflamasi kimiawi, infiltrasi sel darah putih, dan aktivasi respon imun. Namun pada beberapa bakteri (Pseudomonas), memiliki virulen determinan yang membuatnya sulit untuk dieliminasi. Pada pasien pneumonia komunitas, terdapat 4 rute bakteri dapat masuk ke paru:

a. Inhalasi mikroorganisme.

b. Aspirasi bakteri dari saluran napas atas. c. Penyebaran dari tempat infeksi lain. d. Penyebaran hematogen.

Pada reaksi inflamasi, ruang udara alveolus akan terisi dengan cairan eksudasi kaya protein. Sel-sel inflamasi (pada fase akut neutrofil, kemudian makrofag, dan limfosit pada fase kronik) akan secara bertahap menginvasi dinding alveolus. Akibat adanya akumulasi eksudasi inflamasi ini pada ruang alveolus, sehingga membuat dinding alveolus menjadi tebal, yang mengakibatkan terjadinya gangguan difusi oksigen dan karbondioksida di alveolus. Gangguan difusi ini menyebabkan terjadinya hipoksemia dan hiperkapnia pada pembuluh darah arteri disertai penurunan pH. Ketika terjadi hipoksemia, maka kemoreseptor yang berada di badan aorta dan badan karotis akan teraktivasi, sehingga merangsang pusat pernapasan di medulla. Di medulla terdapat dua kelompok neuron, yang dikenal sebagai kelompok respiratorik dorsal (KRD) dan ventral (KRV). Pada hipoksemia akan teraktivasi KRV yang mana akan memperkuat ventilasi, sehingga pada pasien pneumonia akan terlihat frekuensi pernapasan meningkat. KRV ini akan merangsang neuron motorik yang menyarafi otot-otot abdomen dan interkosta, sehingga kebutuhan oksigen tercukupi. Keadaan hiperkapnia pun juga merangsang peningkatan ventilasi melalui peningkatan H+ yang dihasilkan oleh karbondioksida. Hal ini bertujuan untuk mengeluarkan kelebihan CO2, jika tidak maka kelebihan CO2 dapat mengakibatkan kematian dan juga asidosis respiratorik. Mekanisme kompensasi lainnya yaitu vasodilatasi jaringan pembuluh darah dan juga peningkatan frekuensi nadi yang akan meningkatkan volume sekuncup jantung sehingga oksigenasi jaringan dapat diperbaiki.


(48)

Pada infeksi pneumokokkus, kerusakan juga terjadi pada sel alveolus tipe II dan menempel pada dinding alveolus, sehingga terjadi penyampuran eksudasi, sel darah merah, sel darah putih, dan fibrin. Hal ini yang menyebabkan eksudasi menjadi padat atau yang lebih dikenal konsolidasi. Sehingga memperparah gangguan proses difusi pada kapiler alveolus. Eksudasi pada alveolus juga merupakan tempat yang tepat untuk terjadinya multiplikasi bakteri dan penyebaran infeksi melalui pori Kohn ke jaringan sekitarnya.

Tanda klinis sesak napas meliputi penggunaan cuping hidung, otot tambahan pernapasan, dan retraksi ruang intercostal. Pada pneumonia, retraksi jaringan antara tulang rusuk (retraksi subcostal dan intercostal) lebih sering terjadi daripada retraksi suprakostal. Sesak napas dapat diukur dengan skala penilaian ordinal atauvisual analog scales(VAS).

2.1.6.4. Nyeri Pleura17

Nyeri pada gangguan pernapasan biasanya diakibatkan pleura, saluran napas, atau dinding dada. Nyeri pleura merupakan nyeri tersering yang disebabkan oleh penyakit paru. Karaktersitik khasnya biasanya adalah nyeri yang tajam dan menusuk. Infeksi dan inflamasi pada pleura parietal menyebabkan nyeri ketika pleura mengalami peregangan saat inspirasi. Nyerinya biasanya terlokalisir, dan ketika terdapat suara napas yang khas saat nyeri hebat, dinamakan friksi pleura. Aktivitas tertawa dan batuk membuat nyeri pleura makin hebat. Nyeri pleura ini biasanya terdapat pada infeksi paru.

2.1.6.5. Demam18

Demam adalah suatu pertahanan tubuh berupa peningkatan suhu tubuh akibat infeksi atau peradangan. Demam merupakan sebuah respon terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh. Pada pneumonia, ketika mikroorganisme masuk setelah lolos dari mekanisme pertahanan tubuh saluran napas atas, akan merangsang makrofag alveolus untuk melakukan fagositosis. Pada proses fagositosis ini, akan dikeluarkan suatu bahan kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen (IL-1, TNFα, IL-6, dan INF) yang memiliki fungsi melawan infeksi. Kemudian pirogen endogen ini akan merangsang sel-sel epitel hipotalamus


(49)

untuk mengeluarkan suatu substansi yakni asam arakidonat. Asam arakidonat yang dikeluarkan akan merangsang pengeluaran prostaglandin (PGE2). Prostaglandin inilah yang akan mempengaruhi kerja dari thermostat hipotalamus untuk meningkatkan patokan thermostat. Hipotalamus sekarang mempertahankan suhu di tingkat yang baru dan tidak mempertahankannya di suhu normal tubuh. Setelah suhu baru tercapai maka suhu tubuh diatur sebagai normal dalam respons terhadap panas dan dingin tetapi dengan patokan yang lebih tinggi.

Menggigil ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan produksi panas, sementara vasokonstriksi kulit juga berlangsung untuk dengan cepat mengurangi pengeluaran panas. Kedua mekanisme tersebut mendorong suhu naik. Dengan demikian, pembentukan demam sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik adalah sesuatu yang disengaja dan bukan disebabkan oleh kerusakan mekanisme termoregulasi.

2.1.6.6. Mual dan Muntah19

Muntah adalah pengeluaran isi lambung dengan kekuatan secara aktif akibat adanya kontraksi abdomen, pilorus, elevasi kardia, disertai relaksasi sfingter esofagus bagian bawah dan dilatasi esofagus. Muntah merupakan respon somatik refleks yang terkoordinir secara sempurna oleh karena bermacam-macam rangsangan, melibatkan aktifitas otot pernapasan, otot abdomen dan otot diafragma.

Gambar 2.6. Mekanisme Mual dan Muntah19


(50)

a. Nausea (Mual)

Merupakan sensasi psikis akibat rangsangan pada organ viseral, labirinth dan emosi. Tidak selalu berlanjut dengan retching dan ekspulsi. Keadaan ini ditandai dengan keinginan untuk muntah yang dirasakan di tenggorokan atau perut, seringkali disertai dengan gejala hipersalivasi, pucat, berkeringat, takikardia dan anoreksia. Selama periode nausea, terjadi penurunan tonus kurvatura mayor, korpus dan fundus. Antrum dan duodenum berkontraksi berulang-ulang, sedangkan bulbus duodeni relaksasi sehingga terjadi refluks cairan duodenum ke dalam lambung. Pada fase nausea ini belum terjadi peristaltik aktif. Muntah yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial dan obstruksi saluran gastrointestinal tidak didahului oleh fase nausea.

b. Retching

Retchingdapat terjadi tanpa diikuti muntah. Pada faseretching, terjadi kekejangan dan terhentinya pernafasan yang berulang-ulang, sementara glotis tertutup. Otot pernapasan dan diafragma berkontraksi menyebabkan tekanan intratorakal menjadi negatif. Pada waktu yang bersamaan terjadi kontraksi otot abdomen dan lambung, fundus dilatasi sedangkan antrum dan pilorus berkontraksi. Sfingter esofagus bawah membuka, tetapi sfingter esofagus atas masih menutup menyebabkan chyme masuk ke dalam esofagus. Pada akhir fase retching terjadi relaksasi otot dinding perut dan lambung sehingga chyme yang tadinya sudah masuk ke dalam esofagus kembali ke lambung. Fase ini dapat berlangsung beberapa siklus.

c. Ekspulsi

Apabila retching mencapai puncaknya dan didukung oleh kontraksi otot abdomen dan diafragma, akan berlanjut menjadi muntah, jika tekanan tersebut dapat mengatasi mekanisme anti


(51)

refluks dari LES (lower esophageal sphincter). Pada fase ekspulsi ini pilorus dan antrum berkontraksi sedangkan fundus dan esofagus relaksasi serta mulut terbuka. Pada fase ini juga terjadi perubahan tekanan intratorakal dan intraabdominal serta kontraksi dari diafragma.

Pada episode ekspulsi tunggal terjadi tekanan negatif intratorakal dan tekanan positif intraabdominal, dan dalam waktu bersamaan terjadi kontraksi yang cepat dari diafragma yang menekan fundus sehingga terjadi refluks isi lambung ke dalam esofagus. Bila ekspulsi sudah terjadi, tekanan intratorakal kembali positif dan diafragma kembali ke posisi normal.

Tabel 2.6.Pneumonia Severity Index (PSI)20

Variabel Poin PSI

Demografi

Laki-laki n

Perempuan n-10

Nursing Home Resident +10 Penyakit Penyerta

Neoplasma +30

Penyakit Liver +20

Congestive Heart Failure +10

Stroke +10

Penyakit Ginjal +10

Sumber. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, dkk. Infectious diseases society of america/american thoracic society consensus guidelines on the management of community-acquired pneumonia in adults. CID.2007;44:S54.


(52)

Tabel 2.7.Pneumonia Severity Index (PSI)(Sambungan)20

Variabel Poin PSI

Tanda Vital Abnormal

Perubahan Status Mental +20

Frekuensi Napas≥ 30/menit +20

Tekanan Darah Sistolik < 90 mmHg +20

Suhu < 350C atau≥ 400C +15

Takikardi, Frekuensi Nadi≥ 125/menit +10 Pemeriksaan Lab Abnormal

Sodium < 130mmol/L +20

Blood Urea Nitrogen≥ 30/mg/dl +20

GD≥ 250mg/dL +10

Hematokrit < 30% +10

Trombosit <100.000 sel/mm3 +10

Leukosit <4.000 sel/mm3 +10

Pemeriksaan Radiologi Abnormal

Efusi Pleura +10

Parameter Oksigenasi

pH arteri <7,35 +30

pO2<60 mmHg +10

SaO2< 90% +10

Sumber. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, dkk. Infectious diseases society of america/american thoracic society consensus guidelines on the management of community-acquired pneumonia in adults. CID.2007;44:S54.

2.1.7. Diagnosis2,3,21

Diagnosis pada kasus pneumonia komunitas, terdapat dua pertanyaan yang seorang dokter harus tanyakan: Apakah ini pneumonia, dan apakah etiologinya? Kedua pertanyaan ini, dapat dijawab dengan diagnosis klinis dan diagnosis etiologi. 2.1.7.1 Diagnosis Klinis

Dignosis banding pneumonia berkaitan dengan beberapa penyakit, baik yang infeksius maupun non-infeksius, seperti bronchitis akut, bronchitis kronik eksaserbasi akut, gagal jantung, emboli paru, dan pneumonitis radiasi. Dengan


(53)

beberapa data epidemiologi, dapat diketahui pathogen endemik pada perjalanan terakhir pasien, sehingga dapat menspesifikan berbagai kemungkinan.

Meskipun pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan klinis untuk mendiagnosis pneumonia, namun tingkat sensitif dan spesifisitasnya masih di bawah ideal, yaitu sekitar 58% dan 67%. Maka dari itu, pemeriksaan radiologi thoraks menjadi yang tersering untuk membedakan pneumonia dengan kondisi klinis lain yang serupa. Adapun radiologi yang ditemukan adanya infiltrat. Terkadang, pemeriksaan radiologi dapat juga menjadi diagnosis etiologi untuk menentukan penyebab infeksi. Contohnya, pneumatocele menunjukkan infeksi S. aureus, dan lesi cavitas lobus atas menunjukkan tuberculosis. Sedangkan untuk pemeriksaan CT jarang dilakukan, tetapi dapat menunjukkan pneumonia obstruktif yang disebabkan oleh tumor dan benda asing.

2.1.7.2 Diagnosis Etiologi

Dalam mendiagnosis pneumonia tidak hanya cukup berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan fisik. Maka seorang dokter juga harus memeriksa pemeriksaan lab untuk menentukan etiologi sehingga pengobataan lebih spesifik. Walaupun begitu, tidak ada data statistik yang menunjukkan bahwa pengobatan ke pathogen spesifik lebih superior dari terapi empiris. Hal inilah yang menyebabkan peningkatan resistensi antibiotik pada pasien. Berikut beberapa pemeriksaan untuk diagnosis etiologi.

A. Pewarnaan Gram dan Kultur Sputum

Tujuan utama dilakukan pewarnaan Gram pada sputum adalah untuk memastikan apakah sampel cocok untuk dikultur. Akan tetapi pewarnaan Gram dapat juga mengidentifikasi beberapa pathogen, seperti S. pneumonia, S. aureus,

dan bakteri Gram-negatif sesuai dengan penampakan setiap pathogen. Untuk membuat kultur yang adekuat, sampel sputum harus memiliki >25 neutrofil dan <10 sel epitel skuamos dalam satu lapang pandang. Adapun tingkat sensitif dan spesifik dari pemeriksaan pewarnaan Gram dan kultur memiliki tingkat yang tinggi, sehingga menjadi diagnosis penunjang utama. Walaupun begitu, hanya kurang dari setengah sampel sputum yang dapat memberikan hasil positif kultur.


(54)

Namun, pada pasien-pasien usia tua, mereka tidak dapat mengeluarkan sampel sputum. Sehingga ada beberapa pasien yang sudah diberikan terapi antibiotic, padahal terapi tersebut dapat mengubah hasil kultur. Ketidakmampuan mengeluarkan sputum merupakan konsekuensi dari dehidrasi. Maka ketika dehidrasi terkoreksi, produksi sputum akan meningkat, namun juga memberikan penampakan yang nyata pada infiltrat di pemeriksaan radiologi thorak.

Pada pasien yang terpasang intubasi atau dirawat di ICU, samel dapat diambil dari bronkoskopi atau non-bronkoskopi yang dimasukkan ke bronkoalveolar pasien. Sampel tersebut memiliki hasil yang lebih akurat ketika dalam pengiriman ke laboratorium mikrobiologi secepat mungkin. Manfaat yang paling utama dan terbesar, seorang dokter melakukan pemeriksaan pewarnaan Gram dan kultur sputum adalah untuk tetap berhati-hati terhadap pathogen yang tidak diduga sebelumnya dan pathogen yang resisten. Sehingga membutuhkan modifikasi dalam terapinya.

B. Kultur Darah

Hasil dari pemeriksaan kultur darah, bahkan yang sampelnya dikumpulkan sebelum terapi antibiotic, sangat rendah. Hanya sekitar 5-14% dari kultur darah pada pasien di rumah sakit yang positif PK, dan pathogen yang terbanyak adalahS. pneumonia. Karena kultur darah memiliki hasil yang rendah dan tidak ada hasil yang signifikan, kultur darah tidak dipertimbangkan kembali di rumah sakit pada pasien-pasien PK. Namun, pada pasien yang memiliki risiko tinggi seperti asplenia, defisiensi komplemen, penyakit liver kronik, dan PK berat, perlu untuk dilakukan kultur darah.

C. Tes Antigen

Tes antigen dapat dilakukan untuk mendeteksi pneumococcus dan

Legionella pada urin. Sensitif dan spesifisitas dari tes antigen urin Legionella

memiliki nilai yang tinggi, yaitu 90% dan 99%. Tes antigen urin pneumococcus juga memiliki sensitif dan spesifik yang tinggi, yaitu 80% dan 90%. Kedua tes dapat mendeteksi antigen walaupun telah dilakukan terapi antibiotik. Meskipun hasil positif palsu dapat muncul dari sampel koloni pneumococcus anak kecil, namun tes


(1)

Pekerjaan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak Bekerja 2 2.1 2.2 2.2

IRT 31 32.0 33.3 35.5

Karyawan Swasta 33 34.0 35.5 71.0

Pegawai Negeri Sipil 5 5.2 5.4 76.3

Wiraswasta 8 8.2 8.6 84.9

Buruh 8 8.2 8.6 93.5

Petani 1 1.0 1.1 94.6

Pelajar 5 5.2 5.4 100.0

Total 93 95.9 100.0

Missing System 4 4.1

Total 97 100.0

Indeks Massa Tubuh

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Underweight 18 18.6 21.7 21.7

Normal 53 54.6 63.9 85.5

Pre-Obesitas 10 10.3 12.0 97.6

Obesitas Grade I 1 1.0 1.2 98.8

Obesitas Grade II 1 1.0 1.2 100.0

Total 83 85.6 100.0

Missing System 14 14.4

Total 97 100.0

Batuk

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 22 22.7 22.7 22.7

Ya 75 77.3 77.3 100.0


(2)

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 45 46.4 46.4 46.4

Ya 52 53.6 53.6 100.0

Total 97 100.0 100.0

Warna

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak Ada 46 47.4 47.4 47.4

Putih 34 35.1 35.1 82.5

Hijau 4 4.1 4.1 86.6

Kuning 7 7.2 7.2 93.8

Kemerahan 6 6.2 6.2 100.0

Total 97 100.0 100.0

Demam

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 43 44.3 44.3 44.3

Ya 54 55.7 55.7 100.0

Total 97 100.0 100.0

Sesak Napas

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 21 21.6 21.6 21.6

Ya 76 78.4 78.4 100.0

Total 97 100.0 100.0

Otot Bantu Pernapasan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(3)

Irama

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Teratur 79 81.4 81.4 81.4

Tidak Teratur 18 18.6 18.6 100.0

Total 97 100.0 100.0

Kedalaman

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Normal 66 68.0 68.0 68.0

Dalam 20 20.6 20.6 88.7

Dangkal 11 11.3 11.3 100.0

Total 97 100.0 100.0

Nyeri Dada

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 76 78.4 78.4 78.4

Ya 21 21.6 21.6 100.0

Total 97 100.0 100.0

Gangguan Suara Napas Ronkhi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 51 52.6 52.6 52.6

Ya 46 47.4 47.4 100.0

Total 97 100.0 100.0

Mual

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 25 25.8 25.8 25.8


(4)

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 54 55.7 55.7 55.7

Ya 43 44.3 44.3 100.0

Total 97 100.0 100.0

Lemas

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 55 56.7 56.7 56.7

Ya 42 43.3 43.3 100.0

Total 97 100.0 100.0

Nyeri Perut

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 70 72.2 72.2 72.2

Ya 27 27.8 27.8 100.0

Total 97 100.0 100.0

Sulit Tidur

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 88 90.7 90.7 90.7

Ya 9 9.3 9.3 100.0

Total 97 100.0 100.0

BB Turun

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 69 71.1 71.1 71.1

Ya 28 28.9 28.9 100.0


(5)

Infiltrat

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 32 33.0 33.0 33.0

Ya 65 67.0 67.0 100.0

Total 97 100.0 100.0

Pneumonia Severity Index

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid I 43 44.3 44.3 44.3

II 23 23.7 23.7 68.0

III 11 11.3 11.3 79.4

IV 18 18.6 18.6 97.9

V 2 2.1 2.1 100.0

Total 97 100.0 100.0

Meninggal

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 81 83.5 83.5 83.5

Ya 16 16.5 16.5 100.0

Total 97 100.0 100.0

Gagal Napas

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 84 86.6 86.6 86.6

Ya 13 13.4 13.4 100.0

Total 97 100.0 100.0

Sepsis

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 90 92.8 92.8 92.8


(6)

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 87 89.7 89.7 89.7

Ya 10 10.3 10.3 100.0

Total 97 100.0 100.0

Tuberkulosis Paru

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 77 79.4 79.4 79.4

Ya 20 20.6 20.6 100.0

Total 97 100.0 100.0

Diabetes Mellitus

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 79 81.4 81.4 81.4

Ya 18 18.6 18.6 100.0

Total 97 100.0 100.0

Chronic Heart Failure

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 84 86.6 86.6 86.6

Ya 13 13.4 13.4 100.0

Total 97 100.0 100.0

Ceftizoxime

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 58 59.8 59.8 59.8

Ya 39 40.2 40.2 100.0