Tradisi Muhammadiyah? Pembaharuan Parsial, Berdasarkan Rasio

mengembangkan free and open discourse. Karena hanya dengan toleransi dan kebebasan memungkinkan kita mengadopsi unsur-unsur peradaban lain yang positif bagi upaya mengembangkan peradaban Islam sendiri dan memang kegiatan budaya dan intelektual bersifat lintas budaya. Sebenarnya permasalahan umat Islam tidak bersifat filosofis karena al-Qur’an tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern. Persoalannya terkait dengan permasalahan “sosia-kultural”, berkaitan dengan hasil interpretasi terhadap al-Qur’an, yang seharusnya bersifat relatif karena sebagai hasil pemikiran manusia yang terikat oleh ruang dan waktu; namun pemikiran keagamaan itu dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak yang tidak boleh dikritik karena diyakininya sebagai teologi. Dengan demikian suatu persoalan sosio- kultural telah diganti peran sebagai persoalan teologi, sehingga persoalan itu menjadi sulit untuk diurai benang kusutnya. Contohnya, sampai awal abad ke-19 Kekhalifahan Turki melarang penggunaan mesin print untuk menulis huruf Arab yang dianggapnya sebagai bahasa Tuhan, namun bisa digunakan untuk mencetak huruf dari bahasa lainnya. Hal ini berakibat pada mandegnya intelektual Islam, dan sebaliknya huruf Latin menjadi berkembang pesat Huff, 1998: 46. C. Tradisi Muhammadiyah? Selama ini orang selalu menentangkan istilah modern dengan tradisi, tidak terkecuali dengan Muhammadiyah yang mengklaim dirinya sebagai organisasi Islam modern. Konsekuensinya, apakah Muhammadiyah mengembangkan suatu tradisi, karena tradisi selalu berakar dari masa lalu. Dalam bidang kebudayaan Muhammadiyah meniru ide-ide kebudayaan modern tentang pertumbuhan growth dan kemajuan progress, yang merupakan turunan dari materialisme. Dengan demikian Muhammadiyah mgadopsi struktur masyarakat modern. Dalam melakukan pembaharuan, kaitannya dengan upaya dinamisasi, Muhammadiyah mengembangkan pendekatan strukturalisme transendental di dalam pemikiran keagamaannya, yaitu bertujuan ‘menerapkan ajaran-ajaran sosial yang terkandung dalam teks lama pada konteks sosial masa kini tanpa mengubah strukturnya’, sebagaimana diyakini oleh cendekiawan Muhammadiyah Prof. Dr. Kuntowijoyo 2001: 9- 29. Dengan begitu Muhammadiyah meniru struktur masyarakat modern untuk 8 mengimplementasikan ajaran Islam itu. Memang Muhammadiyah telah berhasil mengisi struktur masyarakat modern di Indonesia dalam birokrasi, industri, perdagangan, pendidikan, militer, dll. Cendekiawan dari Muhammadiyah Abdul Munir Mulkhan 2000: v-xiv menyebut ada dua konsekuensi dari arah kebudayaan seperti itu, yaitu: Pertama adalah sifat elitisme yang telah menjadikan Muhammadiyah sebagai privilege golongan menengah-ke-atas. Kedua adalah pergeseran dari gerakan pembaharu sosial budaya menjadi gerakan yang terjebak pada persoalan-persoalan fiqhiah. Hal itu terjadi karena orang modernis telah melangkah terlalu jauh dengan menjadikan materialisme dan rasionalisme bukan lagi sekedar perangkat analisis, melainkan sebagai ideologi. Lebih lanjut Kuntowijoyo menjelaskan dampak negatif lainnya, kalu Muhammadiyah sebagai “gerakan kebudayaan tanpa kebudayaan”, karena kebudayaan yang dikembangkan oleh Muhammadiyah bersifat elitis sehingga tidak dapat menjangkau lapisan bawah umat Islam. Hal itu terjadi karena Muhammadiyah tidak berusaha merubah tradisi dari dalam, melainkan dengan membentuk gerakan baru yang berbasis masyarakat kota. Dan untuk waktu yang lama tidak mengakomodasi masyarakat di daerah pedesaan yang masih memegang tradisi. Kuntowijoyo menganalisa keringnya misi kebudayaan dalam Muhammadiyah pada struktur yang melatar belakangi para pendukung awal Muhammadiyah, yaitu masyarakat kampung-kota, yang perhatiannya lebih tertuju pada pemenuhan tuntutan modernisasi yang bersifat materialistis. Muhammadiyah cenderung bersifat pragmatis, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan sesaat dalam masyarakat modern dan belum sempat mengupas hakekat kemanusiaan. Seolah-olah hidup ini hanya dapat dibereskan secara teknis formal dan organisatoris Kuntowijoyo, 1991: 269. Berdasarkan kritik-kritik dari kalangan intern di atas kita tahu ada unsur plus minus yang inheren dalam hampir setiap tindakan. Dan kita konsisten untuk meminimalkan segi minusnya dengan serangkaian kegiatan yang reformatif. Modal sudah ada. Eksistensi Muhammadiyah sendiri suatu yang luar biasa. Hal ini tentu akan lain bila Muhammadiyah 9 mengambil bentuk organisasi politik. Bukankah partai politik Islam mengalami pasang surut, timbul dan tenggelam. Muhammadiyah relatif sukses dalam menarik jumlah anggota maupun simpatisan dan menjadi ormas keagaman terbesar kedua. Secara tidak langsung Muhammadiyah mendorong lahirnya berbagai organisasi lain seperti Nahdlatul Ulama NU demi menggairahkan modernisasi dalam agama Islam. Selanjutnya warna pembaharuan Islam lebih menonjol ditentukan oleh proses dialektika Muhammadiyah dan NU di pentas sejarah Indonesia.

III. Pembaharuan Konstektual, Mempertimbangkan Tradisi