PENERAPAN REKAM MEDIS DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA MALPRAKTEK KEDOKTERAN

PENERAPAN REKAM MEDIS DALAM PENEGAKAN
HUKUM PIDANA MALPRAKTEK KEDOKTERAN

(Skripsi)

Oleh
Arief Chandra Gutama

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014

Arief Chandra Gutama
ABSTRACT

THE APPLICATION OF MEDICAL RECORD IN MEDICINE
MALPRACTICE CRIMINAL LAW ENFORCEMANT
By
Arief Chandra Gutama, Heni Siswanto, Tri Andrisman
Email: Chandraneon@yahoo.Com


The axistence of medical record is needed in every healty facility sevice, both
observe from operation aspect of practice service and law aspect. The rule of
justice is relation with impementation of healt service, such as criminal of justice
aspect, court of justice and administration justice. From the justice aspect, medical
record can be used as the proof in medical case, that consistance with passage 184
verse (1) KUHAP. The problem in this research is how the strength of proof
instrument authentication in malpractice madicine criminal law enforcement. The
approach the be used in this reasearch is the approach normatif yuridis and
empiris yuridis. The strength of proof instrument authentication medical record is
the clue for adjudicator in the act of medicine malpractice criminal to be basic to
make the punishment heavier or lighten consideration from adjudicator justice at
the moment to adjudicate the case in the cort session.

Key Woerd: Medical Record, Proof, Medicine Malpractice.

ABSTRAK

PENERAPAN REKAM MEDIS DALAM PENEGAKAN
HUKUM PIDANA MALPRAKTEK KEDOKTERAN


Oleh

ARIEF CHANDRA GUTAMA
Keberadaan rekam medis sangat diperlukan dalam setiap sarana pelayanan kesehatan, baik
ditinjau dari segi pelaksanaan praktik pelayanan kesehatan maupun dari aspek hukum.
Peraturan hukum berhubungan dengan pelaksanaan pelayanan kesehatan mencakup aspek
hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi. Dari aspek hukum, rekam medis
dapat dipergunakan sebagai alat bukti dalam perkara medis, sesuai dengan Pasal 184 ayat (1)
KUHAP. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kekuatan pembuktian alat
bukti rekam medis dalam penegakan hukum pidana malpraktek kedokteran.
Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah pendekatan
secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Metode pengumpulan data diperoleh melalui
studi kepustakaan dan wawancara. Metode penyajian data dilakukan melalui proses editing,
sistematis, dan klasifikasi. Metode analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis
kualitatif dan menarik kesimpulan secara deduktif.
Kekuatan pembuktian alat bukti rekam medis merupakan alat bukti yang kuat berbentuk
surat, alat bukti rekam medis merupakan petunjuk bagi hakim di dalam tindak pidana
malpraktek kedokteran untuk menjadi dasar memperberat atau memperingan dalam
pertimbangan hukum hakim pada saat memutuskan perkara di persidangan.

Adapun saran yang diberikan terkait dugaan malpraktek medis, Pengaturan Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, diperlukan adanya revisi ulang tentang
ketentuan pidana untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum pasien sebagai korban
malpraktek kedokteran.

Kata kunci: Rekam Medis, Alat Bukti, Malpraktek Kedokteran.

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sritejo Kencono Kec. Kota Gajah,
Lampung Tengah, pada tanggal 22 Mei 1992, anak pertama
dari dua bersaudara, pasangan Bapak Soyo Teguh dan Ibu
Siti Sopiah. Penulis menyelesaikan pendidikan Taman
Kanak-Kanak (TK) di TK Pertiwi pada tahun 1998. Sekolah
Dasar (SD) di SD N 3 Sritejo Kencono pada tahun 2004, kemudian melanjutkan
studinya di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 1 Kota Gajah yang
diselesaikan pada tahun 2007 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 3
Metro yang diselesaikan pada tahun 2010.

Pada tahun 2010 penulis diterima masuk Perguruan Tinggi Negeri dan sekaligus

terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung, melalui jalur
SNMPTN.

MOTO

Barang siapa menginginkan kebahagiaan di dunia maka haruslah dengan
ilmu, barang siapa yang menginginkan kebahagiaan di akhirat haruslah
dengan ilmu, dan barang siapa yang menginginkan kebahagiaan pada
keduanya haruslah dengan ilmu
(H.R. Ibnu Asakir)
Jatuh terinjak bangun dan lari mengejar kesuksesan
(Arief Chandra Gutama)

Kupersembahkan Karyaku ini Kepada:

ALLAH SWT
Yang selalu memberikan ku kesabaran, kekuatan dan pertolongan
ketika aku menghadapi masa-masa sulit hingga akhirnya dapat
kulewati dengan baik, serta selalu memberikan aku nikmat dan
anugerah yang tidak terkira.


Kedua Orang Tuaku
Terima kasih atas doa, kasih sayang, dukungan dan pengorbanan yang
selalu diberikan dalam situasi dan kondisi apapun, aku selalu sayang
kalian.

Adikku satu-satunya
Terima kasih atas doa, dukungan dan kasih sayang yang telah
diberikan kepadaku.

Almamater tercinta Universitas Lampung

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat, karunia dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul:
Penerapan Rekam Medis Dalam Penegakan Hukum Pidana Malpraktek
Kedokteran.
Penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat
dorongan, bantuan, arahan serta masukan dari berbagai pihak baik secara langsung
maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih

kepada:
1.

Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto selaku Rektor Universitas Lampung.

2.

Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung.

3.

Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung.

4.

Bapak Dr. Heni Siswanto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang dengan
penuh kesabaran meluangkan waktunya membimbing dan mengarahkan
penulisan skripsi ini.


5.

Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H, selaku Dosen Pembimbing II yang dengan
penuh kesabaran meluangkan waktunya membimbing dan mengarahkan
penulisan skripsi ini.

6.

Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Pembahas I yang telah memberikan
masukan, arahan, dan bantuan dalam penulisan skripsi ini.

7.

Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H., selaku Pembahas II yang telah
memberikan masukan, arahan, dan bantuan dalam penulisan skripsi ini.

8.

Seluruh Bapak dan Ibu Dosen pengajar, Staf Administrasi maupun karyawankaryawan di bagian Fakultas Hukum Universitas Lampung, terima kasih atas

bantuannya.

9.

Bapak Baharudin Y. selaku Sat Reskrim Polresta Bandar Lampung yang telah
menjadi narasumber dan telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan
pendapat.

10. Bapak Tri Wahyu Agus P. selaku Jaksa dari Kejaksaan Negeri Bandar Lampung
yang telah menjadi narasumber dan telah bersedia meluangkan waktu untuk
memberikan pendapat.
11. Bapak Nelson Panjaitan, S.H., selaku Hakim di Pengadilan Negeri Kelas I A
Tanjung Karang yang telah menjadi narasumber dan telah bersedia meluangkan
waktu untuk memberikan pendapat.
12. Bapak Dr. Muhammad Fakih, S.H., M.H., selaku Pdosen di Universitas
Lampung yang telah menjadi narasumber dan telah meluangkan waktu untuk
memberikan pendapat.
13. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua
ku tercinta Bapak Soyo Teguh dan Ibu Siti Sopiah, dan Adikku Galang Chandra
Wibowo yang senantiasa memberikan motivasi, kasih sayang , dukungan,

perhatian, perhatian, dan selalu mendoakan serta mengharapkan keberhasilanku.

14. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Sonia Malinda yang selalu
memberi semangat, dukungan dan motivasi sehingga skripsi ini bisa
terselesaikan dengan baik.
15. Sahabat-sahabat seperjuangan di Fakultas Hukum, Andi Asmoro, Adi Pangestu,
Cahaya Rama Putra, Bani Parmiza, Indah maulidia, Echo Wardoyo, Ranu
Wibowo, Alfian Bayhaqi, Beri, Aryo Budi, Indra Sukma, Doddy Irwansyah,
Andika Nafi Saputra, dan lain-lain.
16. Teman-teman seperjuangan KKN Desa mulyosari Kec, Pasir sakti Lampung
Timur, Bondan (Teknik), Cristian (FISIP), Rico (Pertanian), Burhain (Pertanian),
Atu Chelvi (Pertanian), Ayu (Hukum), Aisca (FMIPA), Cimeng (Pertanian),
Citut (FISIP).
17. Sahabat-sahabat kostan yang saling mendukung dalam penulisan skripsi, Riyan
Jaya Sumantri, Aan Fahrizki, Aditiya Wiguna, Yuli Prastiyo, Roby setiawan,
Asep Plangton, Rafik Ajegile.
18. Sahabat-sahabat semasa sekolah, Kadex Adi, Aji Teja, Iwan Ariyadi, Asfi
Mavilindo, Wahyu Harjanto, Aggi Bobo, Alfian, Anggi Mutiara, Tri Mery,
Claudia Oktiana, Pratiwi Kusuma Dewi, Anatiya Sinta, Azis Pelo, dll
19. Almamater tercinta, Universitas Lampung yang telah menghantarkanku menuju

keberhasilan
20. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan, semangat, dan dukungan dalam
penyusunan skripsi ini, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT. memberikan balasan yang terbaik atas segala bantuan yang telah
diberikan dan tetap menanamkan semangat untuk berbuat baik dalam diri kita.
Penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan. Semoga hasil skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bandar Lampung, 8 Desember 2014
Penulis

Arief Chandra Gutama

DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul


i

Abstrak

ii

Abstract

iii

Halaman Persetujuan

iv

Halaman Pengesahan

v

Riwayat Hidup

vi

Moto

vii

Persembahan

viii

Sanwacana

ix

Daftar Isi

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .........................................................................................

1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup .....................................................................

5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................................................

5

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual .....................................................................

6

E. Sistematika Penulisan .............................................................................. 11
II . TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Penegakan Hukum Pidana ..................................................... 13
B. Pengertian Rekam Medis ......................................................................... 15
C. Pengertian Malpraktek ............................................................................. 21
D. Alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana .................................................. 27

III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah ........................................................................................... 32
B. Sumber dan Jenis Data ....................................................................................... 32
C. Penentuan Narasumber ....................................................................................... 34
D. Teknik Pengadaan dan Pengolahan Data ........................................................... 34
E. Analisis Data ...................................................................................................... 35

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden .......................................................................... 36
B. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Rekam Medis Dalam Penegakan
Hukum Pidana Malpraktek Kedokteran .................................................. 37
V. PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................................... 62
B. Saran ........................................................................................................ 62
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna karena
dilengkapi oleh penciptanya dengan akal, perasaan, dan kehendak. Akal adalah
alat berpikir, sebagai sumber ilmu dan teknologi, dengan akal manusia menilai
mana yang benar dan yang salah.1 Masyarakat merupakan kumpulan manusia
untuk melakukan interaksi dan komunikasi, yaitu hubungan timbal balik yang
saling mempengaruhi individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan
suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Hubungan dengan sesamanya
merupakan suatu kebutuhan bagi setiap manusia sebab dengan pemenuhan
kebutuhan tersebut, dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya. Misalnya,
kebutuhan agar kedudukannya diakui, kebutuhan akan harga diri, dan seterusnya.
Kebutuhan tersebut harus dipenuhi sebab apabila ada halangan, tidak mustahil
akan timbul rasa cemas, rasa takut, dan seterusnya. Kebutuhan untuk mengadakan
hubungan dengan sesamanya didasarkan pada keinginan manusia untuk
mendapatkan kepuasan dalam inklusi pengawasan dan afeksi.2

1
2

Abdulkadir Muhammad. Etika profesi Hukum, PT Citra Aditya bakti, Bandung, 2006, hlm.1.
Soerjono Soekanto dan Kartono Mohamad. Aspek Hukum dan Etika Kedokteran di Indonesia,
Grafiti Pers, Jakarta, 1983, hlm.1.

2

Dalam suatu sistem kesehatan, interaksi yang tampak menonjol adalah interaksi
antara dokter dan pasiennya, yang mungkin melibatkan unsur-unsur lainnya.
Unsur tadi, antara lain juru rawat, pekerja sosial, dan mungkin rumah sakit yang
merupakan suatu subsistem sosial tersendiri yang bagi para ahli sosiologi juga
para ahli hukum dan kalangan lainnya merupakan suatu lembaga yang sangat
menarik untuk diteliti.3

Beberapa tahun terakhir ini sering kita dengar dan dibahas tentang praktik tenaga
kesehatan baik itu dokter atau bidan yang malakukan kelalaian dalam tindakan
medis, sering juga kita dengar pasien yang menjadi cacat dan bahkan meningal
dunia yang ditanggani oleh dokter atau tenaga medis lainya. Kemudian polemik
yang muncul adalah bahwa petugas kesehatan melakukan malpraktek yang
menyebabkan pasien cacat seumur hidup dan bahkan sampai meninggal. Oleh
sebab itu masyrakat, terutama yang terkenan kasus atau yang keluarganya
terkenan kasus tersebut mengajukan tuntutan hukum. Fenomena semacam itu
adalah bagus kalau dilakukan secara proporsional, sebab fenomena ini
menunjukan meningkatnyakesadaran masyarakat terhadap hukum kesehatan. Di
samping itu, fenomena ini juga menunjukan adanya kesadaran masyarakat
terutama pasien tantang hak-haknya atau hak-hak pasien.4

Rekam medis merupakan berkas yang berisikan catatan dan dokumen mengenai
identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan yang telah
diberikan oleh tenaga kesehatan terhadap pasien. Ketentuan rekam medis

3
4

Ibid., hlm.4.
Soekidjo Notoatmodjo. Etika & Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 166.

3

ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor. 749a/Men.
Kes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis/Medical Record .

Keberadaan rekam medis sangat diperlukan dalam setiap sarana pelayanan
kesehatan, baik ditinjau dari segi pelaksanaan praktik pelayanan kesehatan
maupun dari aspek hukum. Peraturan hukum berhubungan dengan pelaksanaan
pelayanan kesehatan mencakup aspek hukum pidana, hukum perdata, dan hukum
administrasi. Dari aspek hukum, rekam medis dapat dipergunakan sebagai alat
bukti dalam perkara medis,5 sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan
ada lima jenis alat bukti yaitu, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk,
dan keterangan terdakwa kelima jenis alat bukti tersebut dapat dianggap cukup
untuk mengungkapkan kebenaran dari suatu tindak pidana konvensional.6

Fungsi rekam medis di bidang hukum dapat dipergunakan sebagai bahan
pembuktian dalam perkara hukum.Di bidang hukum perdata, rekam medis dapat
dipergunakan sebagai dasar pembuktian apabila terjadi gugatan ganti kerugian
terhadap tenaga kesehatan atas dugaan malpraktek medis.7Khusus dalam perkara
pidana, pembuktian tentang terjadinya tindak pidana dapat diberikan pada proses
pemeriksaan penyidikan sampai di tingkat persidangan. Pemaparan isi rekam
medis untuk pembuktian perkara pidana dapat dilakukan oleh dokter yang
merawat pasien, baik dengan izin tertulis maupun tanpa izin dari pasien. Tindakan
tersebut berdasarkan Permenkes Rekam Medis Pasal 11 Ayat (2) yang
menyatakan “pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat memaparkan isi rekam
5

Y.A. Triana Ohoiwutun. Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Bayu Media Publishing, Malang,
2007, hlm. 19.
6
Al. Wisnubroto dan G. Widiartana. Pembaharuan Hukum Acara Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005, hlm. 100.
7
Ibid., hlm. 34.

4

medis tanpa izin pasien berdasarkan peratuan perundang-undangan yang
berlaku”.8
Manfaat rekam medis, yang terpenting adalah aspek legal rekam medis. Pada
kasus malpraktek medis, keperawatan maupun farmasi, rekam medis merupakan
salah satu bukti tertulis yang penting. Berdasarkan informasi dalam rekam medis,
petugas hukum serta Majelis Hakim dapat menentukan benar tidaknya telah
terjadi tindakan malpraktek, bagaimana terjadinyamalpraktek tersebut serta
menentukan siapa sebenarnya yang bersalah dalam perkara tersebut.9

Catatan di dalam rekam medis sangat berguna baik bagi pasien maupun
dokter.Dengan semakin maraknya tuntutan malpraktek, rekam medis yang baik
akan sangat berguna bagi dokter yang terkena tuntutan malpraktek dalam
melakukan pembelaan terhadap dirinya.Karena rekam medis dapat merupakan alat
bukti yang akurat di pengadilan yang akan mengungkapkan bukti bersalah atau
tidaknya dokter dalam melakukan praktik profesionalnya.10

Sehubungan dengan hal tersebut maka di dalam penulisan skripsi ini, penulis
merasa tertarik untuk menganalisa hal-hal yang berkaitantentang rekam medis
sebagai alat bukti tindak pidana malpraktek kedokteran.Berdasarkan uraian diatas,
maka menjadi suatu hal yang menarik untuk diangkat dalam suatu skripsi yang
berjudul:
“Penerapan rekam medis sebagai alat bukti dalam penegakan hukum pidana
malpraktek kedokteran”
8

Ibid., hlm. 35.
Asta Qauliyah.Rekam Medis, Definsi dan Kegunaannya,http://astaqauliyah.blogspot.com
10
Anny Isfandyarie.Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter (Buku I), Prestasi Pustaka
Publisher, Jakarta, 2006, hlm. 166.

9

5

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
a. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dan dijelaskan sebelumnya maka
yang menjadi pokok permasalahan adalah bagaimanakah kekuatan pembuktian
alat bukti rekam medis dalam penegakan hukum pidana malpraktek kedokteran ?

b. Ruang Lingkup
Ruang lingkup studi dalam penelitian ini adalah kajian ilmu Hukum Pidana,
khususnya yang berkaitan dengan penggunaan rekam medis sebagai alat bukti
dalam penegakan hukum pidana malpraktek kedokteran. Ruang lingkup lokasi
penelitian meliputi wilayah hukum Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang.
Ruang lingkup waktu penelitian adalah pada tahun 2014.

C. Tujuan dan Kegunaan penelitian
a. Tujuan penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kekuatan
pembuktian rekam medis dalam fungsinya sebagai alat bukti dalam penegakan
hukum pidana malpraktek kedokteran.

b. Kegunaan penelitian
Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan teoritis dan praktis sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis
Dari segi teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pemikiran dan
pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, khususnya hukum kesehatan

6

yang berkaitan dengan permasalahan pelaksanaan rekam medis sebagai alat
bukti.
2. Kegunaa Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara positif bagi aparat
penegak hukum dalam proses penegakan hukum terhadap penggunaan rekam
medis sebagai alat bukti dalam penegakan hukum pidana malpraktek
kedokteran.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
a. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar
yang relevan untuk pelaksanaan penelitian hukum.11 Berdasarkan definisi tersebut
maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Alat bukti
Dalam Pasal 184 ayat (1) KUKAP disebut ada lima jenis alat bukti, yaitu
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Kelima jenis alat bukti tersebut dapat dianggap cukup untuk mengungkap
kebenaran dari suatu tindak pidana konvensional.12 Dalam penerapan rekam
medis sebagai alat bukti dapat digolongkan bahwa rekam medis merupakan alat
bukti surat.

Surat sebagaimana pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan
atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

11

Soerjono soekanto. Pengantar penelitian hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1983, hlm. 72.
Al. Wisnubroto dan G. Widiartana.loc cit., hlm.100.
hlm. 100.

12

7

a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum
yang berwenang atau yang dibuat di hadapanya, yang memuat keterangan
tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya
sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang
menjadi tanggung jawabanya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu
hal atau sesuatu keadaan;
c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi
daripadanya;
d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.13
Nilai kekuatan pembuktian surat secara formal, alat bukti surat pada Pasal 187
huruf a, b, c, adalah alat bukti sempurna sebeb dibuat secara resmi menurut
formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan, sedangkan surat yang
disebut huruf d bukan merupakan alat bukti yang sempurna.14

2. Penegakan Hukum Pidana
Pengertian

sistem

penegakan

hukum

pidana

Indonesia

adalah

sistem

kekuasaan/kewenangan menegakan hukum pidana diwujudkan/diimplementasikan
dalam 4 (empat) subsistem dalam proses peradilan pidana, yaitu:
a) Kekuasaan penyidikan (oleh badan/lembaga penyidik);

13
14

Jur. Andi hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia,Sinar Grafika, jakarta,2008, hlm. 275.
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek,
Gahalia Indonesia, Jakarta, 2002, hlm.128.

8

b) Kekuasaan penuntutan (oleh badan/lembaga penuntut umum);
c) Kekuasaan mangadili dan menjatuhkan putusan/pidana (oleh badan/lembaga
pengadilan);
d) Kekuasaan pelaksanaan putusan/pidana (oleh badan/aparat pelaksana/esekusi).

Keempat tahap/subsistem itu merupakan suatu kesatuan sistem penegakan hukum
pidana yang integral atau sering disebut dengan istilah SPP (sistem peradilan
pidana) terpadu (Integrated Criminal Justice System). Sistem peradilan di
Indonesia pada hakikatnya identik dengan sistem penegakan hukum karena proses
peradilan pada hakikatnya suatu proses menegakkan hukum.15 Apabila difokuskan
pada bidang hukum pidana, maka sistem penegakan hukum dapat dikatakan pula
sebagai sistem peradilan pidana ( SPP atau Criminal Justice System/CJS) yang
merupakan sistem penegakan hukum pidana (SPHP) yang juga identik dengan
sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana.16

Penegakan hukum pidana merupakan bagian (sub-sistem) dari keseluruhan
sistem/kebijakan penegakan hukum nasional, yang pada dasarnya merupakan
bagian dari sistem/kebijakan pembangunan nasional. Dikatakan demikian, karena
pada hakekatnya kebijakan hukum pidana (penal policy) baik dalam arti
penegakan in abstracto dan in concreto, merupakan bagian dari keseluruhan
kebijakan sistem (penegakan) hukum nasional merupakan bagian dari upaya
menunjang kebijakan pembangunan nasional (national development policy).17

15

Heni Siswanto, Rekonstruksi Sistem penegakan Hukum Pidana Menghadapai kejahatan
Perdagangan Orang, Pustaka Magister Semarang, Semarang, 2013, hlm. 108.
16
Ibid., hlm. 109.
17
Ibid., hlm. 116.

9

Penegakan hukum pidana terdiri dari dua tahap inti, yaitu:
a) Penegakan hukum pidana in abstracto, penegakan hukum pidana ini
merupakan tahap pembuatan/perumusan (formulasi) undang-undang oleh
badan legislatif (dapat disebut tahap legislasi). Penegakan hukum pidana
in concreto terdiri dari tahap penerapan/aplikasi dan pelaksanaan UndangUndang oleh aparat penegak hukum, yang dapat disebut tahap judisial dan
tahap esekusi.
b) Penegakan hukum pidana in concreto, pada hakikatnya merupakan proses
penjatuhan pidana atau proses pemidanaan.18Terdiri dari tahap
penerapan/aplikasi dan pelaksanaan undang-undang oleh aparat penegak
hukumyang dapat disebut tahap judisial dan tahap esekusi.19
b. Konseptual
Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan
dalam melaksanakan penelitian.20 Berdasarkan konseptual dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Hukum Pidana adalah bagian dar ipada keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk
menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan dan yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi
barang siapa yang melanggar larangan tersebut.21
b. Rekam medis adalah suatu catatan yang sangat berguna baik bagi pasien
maupun dokter. Rekam medis hanya dianggap berguna untuk mengingatkan
dokter pada keadaan pasien waktu sakit, pemeriksaan dan pengobatan yang
pernah dilakukannya pada saat pasien berobat ulang beberapa lama
kemudian.22 Namun, dengan semakin maraknya tuntutan malpraktek, rekam
medis yang baik akan sangat berguna bagi dokter yang terkena tuntutan
18

Ibid., hlm. 121.
Ibid., hlm. 117.
20
Soerjono soekanto. Op cit, hlm .63.
21
Moeljatno, perbuatan Pidana dan Pertanggang jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara,
Jakarta, 1993, hlm. 7.
22
AnnyIsfandyarie. Op cit., hlm.165.
19

10

malpraktek dalam melakukan pembelaan terhadap dirinya. Karena rekam
medis dapat merupakan alat bukti yang akurat di pengadilan yang akan
mengungkapkan bukti bersalah atau tidaknya dokter dalam melakukan praktik
profesionlnya.23
c. Alat bukti menurut hukum acara pidana kita (dan Belanda), yang biasa disebut
“barang bukti”. Barang bukti berupa objek materil ini tidak bernilai jika tidak
diidentifikasi oleh saksi (dan terdakwa). Menurut Pasal 184 KUHAP, alat-alat
bukti ialah:
1)
2)
3)
4)
5)

Keterangan saksi
Keterangan ahli
Surat
Petunjuk
Keterangan terdakwa.24

d. Penegakan hukum pidana adalah suatu proses yang dapat menjamin kepastian
hukum, ketertiban dan perlindungan hukum dengan menjaga keselarasan,
keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilainilai aktual di dalam masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah
merupakan keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu
sistem peradilan pidana.25
e. Dari sudut harafiah, istilah malpraktek atau malpractice, atau malapraxis
artinya praktik yang buruk (bad practice), praktik yang jelek.26 Malpraktek
kedokteran bisa masuk lapangan hukum pidana, apabila memenuhi syarat-

23

Ibid., hlm. 166.
Jur. Andi hamzah. Op cit., hlm. 259.
25
Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 23.
26
Hermin Hadiati Koeswadji. Hukum Kedokteran, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm.
123.
24

11

syarat tertentu dalam tiga aspek, yakni syarat dalam sikap batin dokter, syarat
dalam perlakuan medis, dan syarat mengenai hal akibat.27
f. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam
proses pemerikasaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah ditentukan
nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang
ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya,
kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang
disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus dinyatakan bersalah.
Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, para hakim harus hatihati, cermat, dan matang menilai dalam mempertimbangkan masalah
pembuktian.28

E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika dalam penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 bab yang
meliputi :

I. PENDAHULUAN
Dalam bab ini dijelaskan tentang alasan pemilihan judul, latar belakang
permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan diakhiri
dengan sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini membahas tentang penegakan hukum pidana, rekam medis,
hubungan
27
28

hukum

antara

dokter

dengan

rumah

sakit

H. Adami chazawi. Malpraktik Kedokteran, Bayumedia, Malang, 2007, hlm. 81.
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril. Op cit., hlm.103.

dan

pasien,

12

pertanggungjawaban dokter menurut hukum pidana, malpraktek, dan alat-alat
bukti dalam hukum acara pidana.

III. METODE PENELITIAN
Dalam bab ini membahas tentang metode/cara pelaksanaan penelitian, mulai dari
merumuskan

pendekatan

penelitian

yang

digunakan

hingga

bagaimana

menganalisis hasil penelitian.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab pembahasan ini penulis akan membahas dan menguraikan semua
jawaban dari semua permasalahan yaitu membahas tentang kekuatan pembuktian
dari rekam medis sebagai alat bukti dalam penegakan hukum pidana malpraktek
kedokteran.

V. PENUTUP
Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan
penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada
pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.

13

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penegakan Hukum Pidana
Sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk
menangulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban
kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehinga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan
mereka yang pernah melakukan kejahatn tidak mengulangi lagi kejahatanya.1

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang
mengunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil,
hukum pidana formil maupun pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan
subtansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang
terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja
akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang
dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat umum benarbenar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.

Satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, menurut
Muladi yaitu due process of law yang dalam bahasa Indonesia dapat di
terjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari
proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikatakan dengan

1

Romli Atmasasmita. Sistem peradilan Pidana, Binacipta, Bandung, 1996, hlm.2.

14

penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu negara pada seorang tersangka
atau terdakwa. Padahal arti dari due prosess of law ini lebih luas dari sekedar
penerapan hukum atau perundang-undanan secara formil.2

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung suatu sikap
batin penghormatan terhadap hak-hak warga masyarakat meski ia menjadi pelaku
kejahatan, namun kedudukanya sebagai manusia memungkinkan dia untuk hakhaknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar pandanganya
dalam suatu pristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum dalam setiap
tahap pemeriksaan, hak mengajukan pembelaan dan hak untuk disidang di muka
pengadilan yang bebas dan hakim yang tidak memihak.

Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum pidana yang adil dan layak ialah
sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana
sesuai asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap penegak hukum yang
menghormati hak-hak masyarakat dengan mengutamakan perlindungan hak asasi
manusia dalam mekanisme sistem peradilan pidana.

Sistem peradilan pidan merupakan arti seperangkat elemen yang secara terpadu
bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract sistem dalam arti
gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain
berbeda dalam ketergantungan.

Dalam sistem peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu:
a. Pendekatan Normatif
2

Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP,
Semarag, 1997, hlm.62.

15

Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum
(kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai
institusipelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga
keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem penegakan hukum.
b. Pendekatan administratif
Pendekatan ini memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai
suatu organisasi manajeman yang memiliki mekanisme kerja, baik bersifat
horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi
yang berlaku dalam sistem tersebut.
c. Pendekatan sosial
Pendekatan administratif memandang keempat aparatur tidak terpisahkan
dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut
bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidak berhasilan dari keempat
aparatur penegak hukum tersebut dalam pelaksanaan tugasnya sistem
yang digunakan adalah sistem sosial.3
Komponen-komponen yang bekerja sama dalam sistem ini dikenal dalam lingkup
praktek penegak hukum, terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
lembaga pemasyarakatan. Empat komponen ini diharapkan bekerja sama
membentuk suatu integrated criminal justice sistem.

B. Pengertian Rekam Medis
1. Isi Rekam Medis
Rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas
pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan terhadap pasien pada
sarana pelayanan kesehatan.4

Secara umum isi rekam medis dapat dibagi dalam dua kelompok data yaitu:
a. Data medis atau data klinis
3
4

Ibid., hlm. 6.
M. Jusuf Hannafiah & Amri Amir. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta, 1999,
hlm. 250.

16

Data medis adalah segala data tentang riwayat penyakit, hasil pemeriksaan
fisik, diagnosis, pengobatan serta hasilnya, laporan dokter, perawat, hasil
pemeriksaan laboratorium, ronsen dan sebagainya. Data-data ini merupaka data
yang bersifat rahasia (confidential) sehinga tidak dapat dibuka kepada pihak
ketiga tanpa seizin pasien yang bersangkutan kecuali jika ada alasan lain
berdasarkan peraturan atau perundang-undangan yang memaksa dibukanya
informasi tersebut.
b. Data sosiologis atau data non-medis
Data ini adalah data yang tidak berkaitan langsung dengan data medis, seperti
data identitas, data sosial ekonomi, alamat dan sebagainya. Data ini oleh
sebagian orang diangap bukan rahasia, tetapi menurut sebagian lainya
merupakan data yang juga bersifat rahasia (confidential)

Berdasarkan Permenkes Nomor. 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medis bahwa
dirumah sakit terdapat 3 jenis rekam medis, yaitu:
a. Rekam medis untuk pasien rawat jalan
b. Rekam medis untuk pasien rawat inap
c. Rekam medis untuk pasien rawat darurat

Berdasarkan Pasal 11, 12 dan 13 Permenkes Nomor.749a/Men. Kes/per/XII/1989
tentang rekam medis atau medical record menyebutkan bahwa:

1. Pasal 11

17

(1)Pemaparan isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter yang
merawat pasien dengan izin tertulis dari pasien.
(2)Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat memaparkan isi rekam medis
tanpa izin pasien berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pasal 12
Pimpinan saran kesehatan bertanggung jawab atas:
a. Hilangnya, rusaknya, atau pemalsuan rekam medis
b. Pengunaan oleh orang/ badan yang tidak berhak
3. Pasal 13
Rekam medis dapat dipakai sebagai:
a. Dasar pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien
b. Bahan pembuktian dalam perkara hukum
c. Bahan untuk keperluan penelitian dan pendidikan
d. Dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan
e. Bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan.5

Adapun isi rekam medis yang tercantum dalam Pasal 3 Permenkes 269 tahun
2008 terdiri dari:
1. Isi rekam medis untuk pasien rawat jalan pada sarana kesehatan sekurangkurangnya harus memuat:
a. Identitas pasien;
b. Tangal dan waktu;
c. Hasil anamnesis, mencangkup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat
penyakit pasien;
d. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medis;
e. Diagnosis;
f. Rencana penataklasana;
5

Ibid., hlm. 251.

18

g.
h.
i.
j.

Pengobatan dan/ atau tindakan;
Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien;
Untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik; dan
Persetujuan tindakan bila diperlukan.

2. Isi rekam medis untuk pasien rawat inap dan perawatan satu hari sekurangkuranya memuat:
a. Identitas pasien;
b. Tanggal dan waktu;
c. Hasil anamnesis, mencangkup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat
penyakit pasien;
d. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medis;
e. Diagnosis;
f. Rencana penatalaksanaan;
g. Pengobatan dan/ atau tindakan;
h. Persetujuan tindakan bila diperlukan;
i. Catatan obsrvasi klinis dan hasil pengobatan
j. Ringkasan pulang (disharge summary);
k. Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi, atau tenaga kesehatan tertentu
yang memberikan pelayanan kesehatan;
l. Pelayanan lain yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu;
m. Untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontgram klinik;
3. Isi rekam medis untuk pasien gawat darurat, sekurang-kurangnya memuat:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.

Identitas pasien;
Kondisi pasien saat tiba di sarana pelayanan kesehatan;
Identitas pengantar pasien;
Tanggal dan waktu;
Hasil anamnesis, mencangkup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat
penyakit pasien;
Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medis;
Diagnosis;
Pengobatan dan/ atau tindakan;
Ringkasan kondisi pasien sebelum meninggalkan pelayanan unit gawat
darurat dan rencana tindak lanjut;
Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi, atau tenaga kesehatan,terntentu
yang yang memberikan pelayanan kesehatan;
Sarana transportasi yang digunakan bagi pasien yang akan dipindahakan ke
sarana pelayanan kesehatan lain.

2. Pemanfaatan Rekam medis

19

Berdasarkan Permenkes Nomor. 269 tahun 2008 tentang rekam medis, adapun
pemanfaatanya ialah:
(1) Pemanfaatan rekam medis dapat dipakai sebagai:
a. Pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien;
b. Alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran dan
kedokteran gigi dan penegakan etika kedokteran dan etika kedokteran gigi;
c. Keperluan pendidikan dan penelitian;
d. Dasar pembayar pelayanan kesehatan;dan
e. Data statistik kesehatan.
(2) Pemanfaatan rekam medis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c yang
menyebutkan identitas pasien harus mendapat persetujuan secara tertulis dari
pasien atau ahli warisnya dan harus dijaga kerahasianya.
(3) Pemanfaatan rekam medis untuk keperluan pendidikan dan penelitian tidak
diperlukan persetujuan pasien, bila dilakukan untuk kepentingan negara.

3.

Penyelenggaraan Rekam medis

Membuat rekam medis merupakan salah satu kewajiban dokter yang tercantum
dalam Pasal 46 ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan Pasal 47 ayat (1) sampai
dengan ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran apabila kewajiban ini dilanggar, dokter akan terkena sanksi pidana
berdasarka Pasal 79 b Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran.6

Penyelenggaraan rekam medis pada suatu sarana pelayanan kesehatan merupakan
salah satu indikator mutu pelayanan pada institusi tersebut, berdasarkan data pada
rekam medis tersebut akan dapat dinilai apakah pelayanan yang diberikan sudah
cukup baik atau belum mutuya, serta apakah sudah sesuai standar atau tidak.
6

Hj. AnnyIsfandyarie, Op cit., hlm.164.

20

Untuk itulah, maka pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan merasa perlu
mengatur tata cara penyelenggaraan rekam medis dalam suatu peraturan mentri
kesehatan agar jelas rambu-rambunya, yaitu berupa Permenkes Nomor.
269/Men.kes/per/III/2008.

Secara garis besar penyelenggaraan rekam medis dalam Permenkes tersebut diatur
sebagai berikut:
1. Rekam medis harus dibuat segera dan dilengkapi seluruhnya setelah
pasien menerima pelayanan Pasal 5 ayat(2). Hal ini dimaksudkan agar data
yang dicatat masih original dan tidak ada yang terlupakan karena adanya
tenggang waktu.
2. Setiap pencatatan dalam rekam medis harus dibubuhi nama, waktu dan
tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang
memberikan pelayanan kesehatan secara langsung. Hal ini diperlukan
untuk memudahkan sistem pertanggung jawaban atas pencatatan tersebut
Pasal 5 ayat (4).
3. Dalam hal terjadi kesalahan dalam melakukan pencatatan pada rekam
medis dapat dilakukan pembetulan. Pembetulan hanya dapat dilakukan
dengan cara pencoretan tanpa menghilangkan catatan yang dibetulkan dan
dibubuhi paraf dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang
bersangkutan Pasal 5 ayat (6).

C. PengertianMalpraktek

21

Malpraktek kedokteran adalah istilah hukum yang dari sudut harfiah artinya
praktik kedokteran yang buruk atau yang jelek karena salah atau menyimpang dari
yang semestinya dan sebagainya. Malpraktek yang diberi arti penyimpangan
dalam menjalankan suatu profesi dari sebabnya, baik karena disadari maupun
tidak/kelalaian dapat terjadi dalam lapangan profesi apa pun, seperti advokat,
akuntan, dan bisa jadi wartawan.7

Pandangan terhadap malpraktek kedokteran juga dapat dilihat dari sudut
kewajiban dokter.8 Pandangan malpraktek kedokteran ini dikaitkan dengan
kewajiban dokter bahwa tidak ada malpraktek kedokteran tanpa kewajiban yang
dibebankan kepada dokter dalam hubungan dokter-pasien. Pandangan ini benar
karena tidak mungkin ada malpraktek kedokteran apabila tidak dalam hubungan
dokter-pasien yang artinya ada hubungan hak dan kewajiban antara dokter dengan
pasien (kontrak terapeutik) dimana kewajiban dokter itu dilanggar.

Ada standar umum bagi kelakuan malpraktek kedokteran dari sudut hukum yang
dapat membentuk pertanggungjawaban hukum, khususnya hukum pidana.9
Standar umum itu menyangkut tiga aspek sebagai kesatuan yang tidak
terpisahkan, yakni aspek sikap batin dokter adalah syarat sengaja atau culpa,
aspek perlakuan medis pada dasarnya adalah perlakuan medis yang menyimpang
dari standar profesi kedokteran, dan aspek akibat perlakuan adalah syarat
mengenai timbulya kerugian bagi kesehatan tubuh, yakni luka-luka atau nyawa
pasien sehinga menjadi unsur tindak pidana tertentu.10

7

H. Adami Chazawi, Op cit., hlm. 2.
Ibid., hlm. 3.
9
Ibid., hlm. 4.
10
Ibid., hlm. 25.

8

22

Perbuatan dalam perlakuan medis dokter dapat berupa perbuatan aktif dan dapat
perbuatan pasif. Praktik kedokteran suatu kegiatan yang mengandung berbagai
wujud konkrit tingkah laku. Malpraktek yang terjadi dapat terletak pada satu
wujud perbuatan atau beberapa rangkaian perbuatan. Perbuatan aktif, artinya
perbuatan yang memerlukan gerakan tubuh atau bagian tubuh tertentu untuk
mewujudkanya, sedangkan perbuatan pasif adalah tidak berbuat yang seharusnya
dokter perbuat.11 Keharusan berbuat karena kedudukanya, jabatannya, tugas
pekerjaanya, dan lain-lain menyebabkan dokter dalam keadaan tertentu secara
hukum diwajibkan untuk berbuat. Karena dokter tidak berbuat sesuai kewajiban
hukum yang diembanya, ia bersalah dan dibebani pertanggungjawaban hukum
apabila menimbulkan kerugian.

Perbuatan dalam pelayanan/perlakuan medis dokter yang dapat dipersalahkan
pada pembuatanya harus mengandung sifat melawan hukum. Sifat melawan
hukum yang timbul disebabkan oleh beberapa kemungkinan antara lain:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Dilanggarnya standar profesi kedokteran;
Dilanggarnya standar profesi operasional;
Dilanggarnya hukum, misalnya praktik tanpa STR atau SIP;
Dilanggarnya kode etik kedokteran (kodeki);
Dilanggarnya prinsip-prinsip umum kedokteran;
Dilanggarnya kesusilaan umum;
Praktik kedokteran tanpa informed consent;
Terapi tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien;
Terapi tidak sesuai dengan informed consent, dan lain sebagainya.

Ada dua doktrin yang mengatur akibat kesalahan profesi, pertama adalah doktrin
Respondeat Superior yang meletakan tanggung jawab pada rumah sakit terhadap
kesalahan profesi yang dilakukan staf medis yang bersetatus karyawan tetap, serta

11

Ibid., hlm. 6.

23

doktrin Corporate Liability dimana rumah sakit juga bertanggung jawab untuk
kelalaian dari karyawan dan bertugas atas nama rumah sakit. “Dokter tamu
sepenuhnya bertanggung jawab atas pengobatan pasien sehingga bila terjadi
kesalahan kekeliruan yang merugikan pasien dapat digugat. Sementara rumah
sakit tidak diangep bertanggung jawab atas kesalahan dan kelalaian dokter tamu,
karena hubunga terapeutik dilakukan oleh pasien dengan dokter tamu dan bukan
dengan rumah sakit”.12
a. Jenis Malpraktek
1. Malpraktek Etik
Yang dimaksud malpraktek etik adalah dokter yang melakukan tindakan
bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang
dituangkan dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan
atau norma yang berlaku untuk dokter.

Ngesti lestari berpendapat bahwa malpraktek etik ini merupakan dampak negatif
dari kemauan teknologi kedokteran. Kemajuan teknologi kedokteran yang
sebenarnya bertujuan untuk memberikan kemudahan kenyamanan bagi pasien,
dan membuat dokter untuk mempermudah menentukan diagnosis dengan lebih
cepat, lebih tepat dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat,
ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan, adapun dampak negativ
dari kemajuan tersebut antara lain:
a.

Kontak atau komunikasi antara dokter dengan pasien semakin berkurang

b.

Etika kedokteran terkontaminasi dengan kepentingan bisnis.

12

Waluyadi, Op cit., hlm. 104.

24

c.

Harga pelayanan medis semakin tinggi, dsb.

Contoh konkrit penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran yang merupakan
malpraktek etik antara lain:
a. Dibidang diagnostic
Pemerikasaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak
diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena
laboratorium memberikan janji untuk memberikan “hadiah” kepada dokter yang
mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga
mendapatkan hadiah tersebut.

b. Dibidang terapi
Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotik kepada dokter dengan janji
kemudahan yang akan diperolah dokter bila mau mengunakan obat tersebut,
kadang-kadang kemudahan juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter untuk
memberikan terapi kepada pasien. Orientasi terapi berdasarkan janji-janji pabrik
obat yang sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan pasien
juga melpraktek etik.

Soedjatmiko

berpendapat

malpraktik

yuridik

menjadi

beberapa

bagian,

diantaranya:

1. Malpraktek Perdata (Civil Malpraktek)
Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi
perjanjian (wanprestasi) di dalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga

25

kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad)
sehingga menimbulkan kerugian pada pasien.
Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa :
a.

Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.

b.

Melakukan apa yang menurut kesepakatanya wajib dilakukan tetapi terlambat
melaksanakannya.

c.

Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak
sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.

d.

Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.

Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah
memenuhi beberapa syarat seperti :
Harus ada perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat).
Perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis maupuntidak tertulis).
Ada kerugian.
Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan yang melanggar
hukum dengan kerugian yang diderita.
e. Adanya kesalahan (schuld).
a.
b.
c.
d.

Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian karena kelalaian dokter,
maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsur berikut :
a.

Adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien.

b.

Dokter telah melanggar standar pelayanan medis yang lazim.

c.

Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti
ruginya.

d.

Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.

Namun adakalanya seorang pasien tidak perlu membuktikan adanya kelalaian
dokter. Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi “res ipsa loquitor” yang artinya

26

fakta telah berbicara. Misalnya karena kelalaian dokter terdapat kain kasa yang
tertinggal dalam perut sang pasien tersebut akibat tertinggalnya kain kasa tersebut
timbul komplikasi paksa bedah sehingga pasien harus dilakukan operasi kembali.
Dalam hal demikian, dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian
pada dirinya.

2. Malpraktek Pidana (Criminal malpractice)
Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau
tenaga kesehatan lainya kurang hati-hati atau kurang cermat dalam melakukan
upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.

3. Malpraktek pidana karena kesengajaan (Intensional)
Misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia,
membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat
padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta
memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar.

4. Malpraktek pidana karena kecerobohan (Recklessness)
Misalnya melakukan tindakan yang tidak legeartis atau tidak sesuai dengan
standar profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan
medis

5. Malpraktek pidana karena kealpaan (Negligence)

27

Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter
yang kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam
rongga tubuh pasien.

6. Malpraktek Administratif (Administrative Malpractice)
Terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap
Hukum Administrasi Negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter
tanpa lisensi atau izinnya, manjalankan praktek dengan izin yang sudah
kadaluarsa dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medis.13

D. Alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib
terdakwa, apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan
undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukum. Sebaliknya, kalo kesalahan terdakwa
dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184
KUHAP, terdakwa harus dinyatakan bersalah.14

Baik dalam perkar