TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

(1)

commit to user

TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM

SISTEM HUKUM INDONESIA

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Oleh:

Amalia Taufani

E0007071

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2011


(2)

commit to user

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

Oleh Amalia Taufani NIM. E 0007071

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, April 2011 Dosen Pembimbing

Rahayu Subekti, S.H.,M.Hum NIP. 19711102 200604 2 001


(3)

commit to user

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

Oleh Amalia Taufani NIM. E 0007071

Telah diterima dan diperatahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Marer Surakarta

Pada: Hari : Kamis

Tanggal : 14 April 2011

DEWAN PENGUJI

1. Pius Triwahyudi, S.H., M.Si : ...

Ketua

2. Purwono Sungkowo Raharjo, S.H : ...

Sekretaris

3. Rahayu Subekti, S.H.,M.Hum : ...

Anggota

Mengetahui Dekan,

Mohamad Yamin, S.H.,M.Hum NIP. 196109301986011001


(4)

commit to user

PERNYATAAN

Nama : Amalia Taufani

NIM : E 0007071

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :

“TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

HUKUM INDONESIA” adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan

karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 28 Maret 2011 Yang membuat pernyataan

Amalia Taufani


(5)

commit to user

ABSTRAK

Amalia Taufani, E 0007071. 2011. TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan dan ketentuan yuridis bila terjadi malpraktek medis sesuai sistem hukum Indonesia dilihat dari ketentuan peraturan perundang-undangan menurut hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif dengan pendekatan perundang-undangan. Penelitian ini menggunakan jenis dan sumber penelitian sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Teknik pengumpulan sumber penelitian dilakukan dengan teknik kepustakaan dan cyber media. Teknik analisis sumber penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik berfikir deduksi dan interpretasi.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan kesimpulan, sampai saat ini Indonesia belum memiliki Undang-Undang tentang malpraktek medis. Dari sistem hukum Indonesia, tidak semua mengatur malpraktek medis. Yang mengaturnya, yaitu Hukum Perdata, Hukum Pidana dan Hukum Administrasi. Undang-Undang yang bersangkutan, antara lain : UU No 23 Tahun 1992, UU No 29 Tahun 2004, UU No 36 Tahun 2009, UU No 44 Tahun 2009. Serta UUPK memberikan dasar bagi pasien untuk mengajukan upaya hukum. Peraturan yang tidak masuk dalam hierarki sistem hukum Indonesia tetapi berkaitan dengan malpraktek medis antara lain: Peraturan Menteri Kesehatan No 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis, Peraturan Menteri Kesehatan No 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran, Peraturan Menteri Kesehatan No: 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik. Dari pengaturan tersebut yang sudah tidak berlaku lagi yakni, UU No 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan yang sudah diganti dengan UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Secara yuridis kasus malpraktek medis di Indonesia dapat diselesaikan dengan bersandar pada beberapa dasar hukum yaitu: KUHP, KUHPerdata, UU No 23 Tahun 1992, UU No 8 Tahun 1999, UU No 29 Tahun 2004, UU No 36 Tahun 2009, UU Nomor 44 Tahun 2009, Peraturan Menteri Kesehatan No 585/Menkes/Per/IX/1989, Peraturan Menteri Kesehatan No 512/Menkes/Per/IV/2007, Peraturan Menteri Kesehatan No 269/Menkes/Per/III/2008.


(6)

commit to user

ABSTRACT

Amalia Taufani, E 0007071. 2011. REVIEW JURIDICAL MEDICAL MALPRACTICE LEGAL SYSTEM IN INDONESIA. Faculty of Law, Sebelas Maret University.

This study aims to determine how the regulatory and legal provisions in case of medical malpractice according to Indonesian legal system viewed from the provisions of the legislation according to the hierarchy of laws and regulations are governed by Act No. 10 of 2004 concerning the establishment of laws and regulations.

This research is a normative law is prescriptive approach to legislation. This research uses secondary research and sources which consist of primary and secondary legal materials. Engineering studies conducted by collecting source library research techniques and cyber media. Technical analysis of research sources used in this study is the technique of deductive thinking and interpretation.

Based on the results of research and discussion of the resulting conclusions, until recently Indonesia has not had the Law on medical malpractice. From the Indonesian legal system, not every set of medical malpractice. That govern it, namely the Civil Law, Criminal Law and Administrative Law. Law is concerned, among other things: Act No. 23 of 1992, Act No. 29 of 2004, Act No. 36 of 2009, Act No. 44 of 2009. And UUPK provide the basis for patients to file legal action. Regulations that are not included in the hierarchy of the Indonesian legal system, but related to medical malpractice, among others: Regulation of the Minister of Health No 269/Menkes/Per/III/2008 of Medical Record, Health Minister 512/Menkes/Per/IV/2007 of Practice Permit No. and Implementation of Medical Practice, Regulation of the Minister of Health No: 585/Menkes/Per/IX/1989 About Action Medical Approval. From the settings that are no longer valid ie, Law No. 23 of 1992 on Health which has been replaced by Law No. 36 Year 2009 concerning Health. Legally medical malpractice cases in Indonesia can be solved by relying on some legal basis, namely: KUHP, KUHPerdata, Law No. 23 of 1992, Law No. 8 of 1999, Law No. 29 Year 2004, Law No. 36 of 2009, Law Number 44 Year 2009, Regulation of the Minister of Health No 585/Menkes/Per/IX/1989, , Ministry of Health Regulation No. 512/Menkes/Per/IV/2007, the Minister of Health Regulation No. 269/Menkes/Per/III/2008.


(7)

commit to user

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat dan karuniaNya sehingga penulisan hukum (skripsi) yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA” ini dapat terselesaikan. Penulisan hukum ini membahas mengenai pengaturan malpraktek medis dalam sistem hukum Indonesia serta ketentuan yuridis terhadap terjadinya malpraktek medis sesuai sistem hukum Indonesia.

Keberhasilan dan kesuksesan bukan hanya dari kerja keras semata, melainkan kekuatan dan dukungan dari berbagai pihak. Dengan terselesainya penulisan hukum ini, penulis hendak mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Allah SWT, atas nikmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini.

2. Keluargaku tercinta, Bapak, Ibu, kakak-kakak ku tersayang untuk setiap doa, pengorbanan, dukungan dan kasih sayang yang selalu diberikan.

3. Bapak Mohammad Jamin, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum UNS dan seluruh jajaran dekanat Fakultas Hukum UNS.

4. Ibu Rahayu Subekti, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing atas segala kesabaran dan arahannya sehingga penulisan hukum ini dapat terselesaikan. 5. Bapak Wasis Sugandha, S.H.,M.H selaku Pembimbing Akademik selama

menimba ilmu di Fakultas Hukum UNS.

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS, atas segala ilmu dan bimbingan yang diberikan kepada penulis selama perkuliahan di Fakultas Hukum UNS. 7. Perpustakaan Fakultas Hukum UNS dan perpustakaan Pusat UNS atas

keramahan dan bantuannya.

8. Andria Luhur Prakosa yang telah memberikan dukungan, kasih sayang dan batuannya selama ini.

9. Teman-teman terbaik, Yuni Asih, Sri Wahyu, Ardatila Intan, Ayu Agustina dan Amelia Intiastuti atas persahabatan, keceriaan, kasih sayang, dukungan dan semuanya selama ini yang telah menemani hari-hari selama di solo.


(8)

commit to user

10.Rekan-rekan seperjuangan angkatan 2007 Fakultas Hukum UNS yang tidak dapat disebutkan satu per satu dimana penulis tidak hanya mendapatkan kawan tetapi juga keluarga

11.Serta semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan hukum ini.

Surakarta, 28 Maret 2011 Penulis


(9)

commit to user

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………..ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI………...iii

HALAMAN PERNYATAAN………iv

ABSTRAK………...v

ABSTRACT………vi

KATA PENGANTAR………...vii

DAFTAR ISI………...ix

DAFTAR GAMBAR……….xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………1

B. Rumusan Masalah………..7

C. Tujuan Penelitian………...7

D. Manfaat Penelitian……….7

E. Metode Penelitian………...8

F. Sistematika Penulisan Hukum……….13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori…...15

1. Tinjauan Tentang Malpraktek...15

a. Pengertian Malpraktek………..……...15

b. Unsur-Unsur Malpraktek………...………..15

c. Aspek Hukum Malpraktek...………17

2. Tinjauan Tentang Medis...………17

3. Tinjauan Tentang Malpraktek Medis...………...18

a. Pengertian Malpraktek Medis……...………...18

b. Kategori Malpraktek Medis..………...18

4. Tinjauan Tentang Sistem...20

5. Tinjauan Tentang Sistem Hukum Indonesia...20

a. Pengertian Sistem Hukum Indonesia...20

b. Jenis Sistem Hukum Indonesia...21

c. Hierarki Sistem Hukum Indonesia...23

d. Fungsi Hukum...24

6. Teori Hukum Mengenai Efektivitas Peraturan Perundang- undangan...25

a. Teori Fuller...25

b. Teori J.B.J.M. Ten Berge...26

c. Teori Hans Kelsen (Prinsip Validitas)...28

B. Kerangka Pemikiran….………30

BAB III PEMBAHASAN A. Pengaturan Malpraktek Medis Dalam Sistem Hukum Indonesia...………33


(10)

commit to user

1. Pengaturan Aspek Hukum Perdata Malpraktek Medis...………...35

2. Pengaturan Aspek Hukum Pidana Malpraktek Medis…...36

3. Pengaturan Aspek Hukum Administrasi Malpraktek Medis...38

4. Pengaturan Malpraktek Medis Berdasar Sistem Hierarki Hukum Indonesia...40

a. UU No 23 Tahun 1992...40

b. UU No 29 Tahun 2004...42

c. UU No 36 tahun 2009...49

d. UU No 44 tahun 2009...51

5. Pengaturan Malpraktek Medis di Luar Hierarki Sistem Hukum Indonesia...54

a. Permen No 585/Menkes/Per/IX/1989...54

b. Permen No 512/Menkes/Per/IV/2007...55

c. Permen No 269/Menkes/Per/III/2008...56

6. Upaya Hukum Bagi Pasien Terhadap Malpraktek...56

a. Ditinjau Dari UU No 23 Tahun 1992...56

b. Ditinjau Dari UU No 8 Tahun 1999...58

c. Ditinjau Dari UU No 36 Tahun 2009...62

B. Ketentuan Yuridis Malpraktek Medis Sesuai Sistem Hukum Indonesia...63

1. Ketentuan Yuridis Malpraktek Medis Dalam Hukum Perdata...63

a. Hubungan Hukum dokter dan Pasien dalam Kontrak Terapeutik...63

b. Wanprestasi dalam Malpraktek Medis...64

c. Perbuatan Melawan Hukum dalam Malpraktek Medis...66

d. Zaakwarneming...67

2. Ketentuan Yuridis Malpraktek Medis dalam Hukum Pidana...68

a. Perbuatan Salah dalam Malpraktek Medis...68

b. Sikap Batin dalam Malpraktek Medis...68

c. Adanya Akibat Kerugian Pasien...71

d. Penerapan Pasal 351, 359, 360, 344, 346, 347 dan 348 KUHP...72

3. Ketentuan Yuridis Malpraktek Medis dalam Hukum Administrasi...80

a. Pelanggaran Hukum Administrasi Kedokteran...80

b. Pelanggaran Hukum Administrasi tentang Kewenangan...81

c. Pelanggaran Hukum Administrasi tentang Pelayanan Medis...82

4. Pertanggungjawaban Hukum Malpraktek Medis...87

a. Pertanggungjawaban Hukum Dokter...88

b. Pertanggungjawaban Perdata dalam Pelayanan Kesehatan....89

c. Pertanggungjawaban Pidana dalam Pelayanan Kesehatan...91

d. Pertanggungjawaban Hukum Administrasi dalam Pelayanan Kesehatan...93


(11)

commit to user

f. Pertanggungjawaban Hukum dan Etik dalam Pelayanan Kesehatan...98 BAB IV PENUTUP

A. Simpulan………...…….100

B. Saran………..102


(12)

commit to user

DAFTAR GAMBAR


(13)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau, dengan populasi sebesar 222 juta jiwa pada tahun 2006, dan negara berpenduduk terbesar keempat di dunia. Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Luas daratan Indonesia adalah 1.922.570 km² yang terdiri dari daratan non-air: 1.829.570 km² dan daratan berair: 93.000 km² serta memiliki luas perairan 3.257.483 km² (http://id.wikipedia.org/wiki/Geografi_Indonesia ).

Berdasarkan hal tersebut maka Indonesia layak disebut negara besar yang memiliki sumber daya alam dan manusia yang melimpah. Ketersediaan potensi yang melimpah tersebut merupakan modal awal dan bekal yang sangat potensial untuk mendukung pembangunan nasional di segala bidang. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional dan cita-cita bangsa Indonesia yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.

Pembangunan nasional adalah pembangunan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang dilaksanakan di semua aspek kehidupan bangsa, termasuk juga pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu yang didukung oleh sistem kesehatan nasional. Untuk mencapai pembangunan kesehatan tersebut diselenggarakan upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu dibidang


(14)

commit to user

pelayanan kesehatan. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan yang besar, bagi pembangunan dan pembinaan sumber daya manusia dan sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional. Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan melalui berbagai upaya kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan.

Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Landasan bagi dokter untuk dapat melaksanakan tindakan medis terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan kompetensi yang dimiliki yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Pengetahuan yang dimilikinya, harus terus menerus dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dokter dengan perangkat keilmuan yang dimilikinya mempunyai karakteristik yang khas. Kekhasannya terlihat dari pembenaran yang dibenarkan oleh hukum yaitu diperkenankannya melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kemanusiaan.

Maraknya tuntutan hukum yang diajukan masyarakat dewasa ini, menunjukkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter, selain itu sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memicu masyarakat gemar menuntut, ataupun sebab lain yang seringkali diidentikkan dengan kegagalan upaya penyembuhan yang dilakukan dokter. (Kayus Koyowuan Lewloba, 2008:181)

Seseorang yang mengalami ganguan kesehatan pasti mendatangi seorang dokter untuk mendapatkan penyembuhan penyakit yang dideritanya. Kemudian muncul hubungan hukum antara dokter dan pasien, yang menimbulkan hak dan kewajiban. Dalam melaksanakan kewajiban bagi dokter itulah dapat menimbulkan penderitaan bagi pasien, akibat kelalaian atau kekurang hatian-hatian dokter dalam menjalankan profesinya. Dikenal dengan istilah malpraktek (malpractice)


(15)

commit to user

medis dan dapat membebani tanggung jawab hukum terhadap akibat buruk bagi pasien.

Malpraktek adalah istilah untuk dunia kedokteran yang artinya mal atau mala artinya buruk, sedang praktek artinya pelaksanaan pekerjaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia; 1999:620;785). Sedangkan malpractice “an instance of negligence on incompetence on the part of a profesional (Black Law Dictionary, 2004:978), terjemahan bebas oleh penulis yaitu kelalaian merupakan bagian dari ketidakkompetenan sebuah profesionalitas. Dari sudut harfiah istilah malpraktek artinya praktek yang buruk.

Semakin terdidiknya masyarakat dan banyaknya buku pengetahuan tentang kesehatan menjadikan masyarakat semakin kritis terhadap pelayanan medis yang diterimanya. Perbuatan dalam pelayanan medis yang dapat menjadi malpraktek medis terletak pada pemeriksaan, cara pemeriksaan, alat yang dipakai pada pemeriksaan, menarik diagnosis atas fakta hasil pemeriksaan, wujud perlakuan terapi, maupun perlakuan untuk menghindari kerugian dari salah diagnosis dan salah terapi serta tidak sesuai standar profesi. (Adami Chazawi, 2007:5).

Bila diamati secara umum, Indonesia sekarang ini memasuki era “krisis malpraktek”. Hubungan dokter dan pasien yang awalnya saling percaya, sekarang menjadi hubungan yang saling curiga. Tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya kepada pihak rumah sakit dan atau dokternya semakin meningkat. Tuntutan hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana maupun perdata, dengan hampir selalu mendasarkan kepada teori hukum kelalaian. Perilaku yang dituntut merupakan kumpulan dari kelompok perilaku profesional medis yang “menyimpang” dari standar profesi medis dan mengakibatkan cedera, kematian atau kerugian bagi pasiennya. Kasus-kasus dugaan malpraktek yang pernah terekspos media antara lain kasus malpraktek terhadap Pramita Wulansari. Wanita ini meninggal dunia tidak lama setelah menjalani operasi caesar di Rumah Sakit Surabaya Medical Service. Korban mengalami infeksi pada saluran urin dan kemudian menjalar ke otak. (www.indosiar.com/tags/malpraktek).


(16)

commit to user

“In most countries the prevailing rule of liability for medical injuries is same farm of negligence rule (Schwartz, 1992). Many countries, including the UK, the US, and Canada, are increasingly dissatisfied with this traditional system. In theory, the tort system is designed to deter medical negligence and compensate patients injured as a result of negligent care” (Patricia M. Donzon, 2011:1).

Terjemahan bebas oleh penulis yaitu “bahwa di sebagian besar negara, aturan yang berlaku untuk malpraktek medis adalah aturan yang sama dengan bentuk aturan kelalaian (Schwartz, 1992). Banyak negara, termasuk Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada, semakin tidak puas dengan sistem tradisional. Dalam teori, yang terakhir sistem kerugian dirancang untuk mencegah kelalaian medis dan kompensasi trauma pasien sebagai akibat kelalaian perawatan”.

Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja profesi dokter terus berkembang. Tuntutan masyarakat untuk membawa kasus dugaan malpraktek medis ke pengadilan, dapat dipahami mengingat sangat sedikit jumlah kasus malpraktek medis yang diselesaikan di pengadilan. Baik secara hukum perdata, hukum pidana atau dengan hukum administrasi. Padahal media massa nasional juga daerah berkali-kali melaporkan adanya dugaan malpraktek medis yang dilakukan dokter tetapi tidak berujung pada penyelesaian melalui sistem peradilan.

Masyarakat sering beranggapan keliru bahwa tindakan medis yang menimbulkan kerugian dapat dikategorikan sebagai malpraktek medis. Hal tersebut dikarenakan, hukum kedokteran Indonesia belum dapat merumuskan secara mandiri sehingga batas-batas tentang malpraktek medis belum dapat dirumuskan, akibatnya isi, pengertian, dan batasan-batasan malpraktek medis belum seragam bergantung pada sisi mana orang memandangnya. (Adami Chazawi, 2007: 4).

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tidak memuat ketentuan tentang malpraktek kedokteran. Pasal 66 Ayat (1) mengandung kalimat yang mengandung pada kesalahan praktik kedokteran, yakni “Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia”. Pasal ini hanya memberi


(17)

commit to user

dasar hukum untuk melaporkan dokter ke organisasi profesinya apabila terdapat indikasi tindakan dokter yang membawa kerugian, bukan dasar untuk menuntut ganti rugi atas tindakan dokter. Pasal tersebut hanya mempunyai arti dari sudut hukum administrasi praktik kedokteran. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pada Pasal 54 ayat (1) merumuskan kalimat yang lebih jelas dari istilah kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter dengan istilah “...melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya...” tetapi tidak dijelaskan apa arti dan isinya sehingga kriterianya tidak jelas. Apalagi norma pasal itu sudah mati karena ditiadakan kekuatan berlakunya oleh Pasal 85 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada Pasal 29 mengandung istilah kelalaian yaitu “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”. Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada Pasal 46 juga mengandung istilah kelalaian, yaitu ”Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan rumah sakit”. Dengan adanya Undang-Undang No 44 Tahun 2009, telah memberikan dasar hukum bagi masyarakat untuk meminta tanggung jawab hukum rumah sakit bila terjadi kelalaian yang menyebabkan kerugian bagi pasien. Dari keempat Undang-Undang tersebut tidak cukup memberikan pengertian, isi, batasan-batasan malpraktek medis. Sedangkan di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dikenal dengan istilah "Kelalaian", dalam KUHPdt (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dikenal dengan istilah “wanprestasi” dan “kerugian”. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan upaya hukum bagi para korban untuk menuntut keadilan melalui jalur pengadilan maupun luar pengadilan.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III/2008


(18)

commit to user

tentang Rekam Medis memberikan pengaturan teknis bagi pasien dan dokter bila timbul kerugian dalam pelayanan medis.

Suatu perundang-undangan dikatakan efektif setelah adanya sistem hukum, penegakan hukumnya kemudian dilihat apakah peraturan itu ditaati dan mengikat bagi masyarakat. Hal tersebut berdasarkan teoti priciples of legality dari Fuller, Teori penegakan hukum oleh Ten Berge dan Teori validitas oleh Hans Kelsen. Untuk melihat apakah aturan malpraktek medis yang ada sudah efektif dan dapat dilaksanakan untuk penegakan hukum malpraktek medis atau tidak.

Kelemahan sistem hukum kesehatan di Indonesia karena Indonesia belum memiliki hukum normatif (Undang-Undang) tentang malpraktek medis sehingga pengaturan dan ketentuan yuridis bila terjadi malpraktek tidak ada. Permasalahan lain yakni, kesediaan dokter yang dijadikan saksi ahli dalam suatu kasus dugaan malpraktek karena diantara dokter itu sendiri terdapat perlindungan korps dan saling berusaha untuk tidak membeberkan kesalahan dokter lainnya. Namun, tidak berarti upaya-upaya hukum untuk menuntut hak pasien berkaitan dengan kasus malpraktek selamanya akan gagal. Pasien dengan bekal pembuktian yang kuat dan bila dokter benar-benar terbukti melakukan malpraktek, pasti hak pasien akan diterima kembali. Oleh karena itu, pasien yang merasa memiliki keluhan atas pelayanan medis yang diterimanya di institusi kesehatan, harus mengumpulkan informasi sebanyak mungkin agar upaya menuntut keadilan atas haknya tidak sia-sia.

Kasus-kasus dugaan malpraktek seperti gunung es, hanya sedikit yang muncul dipermukaan. Ada banyak tindakan dan pelayanan medis yang dilakukan dokter atau tenaga medis lainnya yang berpotensi merupakan malpraktek yang dilaporkan masyarakat tapi tidak diselesaikan secara hukum. Bagi para korban, pertanyaan yang menjadi perhatian untuk penegak hukum mengapa begitu sulit membawa kasus dugaan malpraktek “dari meja operasi ke meja hijau”. Apakah perangkat hukum dan peraturan perundangan yang ada tidak cukup untuk membawa persoalan dugaan malpraktek medis ke ranah hukum.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka hal-hal tersebut yang mendasari dan melatarbelakangi penulis untuk menyajikan penulisan hukum dengan judul


(19)

commit to user

TINJAUAN YURIDIS MALPRAKTEK MEDIS DALAM SISTEM

HUKUM INDONESIA”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam penelitian ini penulis merumuskan dalam dua pokok permasalah, yaitu:

1. Bagaimana pengaturan malpraktek medis dalam sistem hukum Indonesia ? 2. Bagaimana ketentuan yuridis terhadap terjadinya malpraktek medis sesuai

sistem hukum Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah hal-hal tertentu yang hendak dicapai dalam suatu penelitian. Tujuan penelitian akan memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui pengaturan mengenai malpraktek medis dalam sistem hukum Indonesia.

b. Untuk memperoleh jawaban atas permasalan mengenai ketentuan yuridis terhadap terjadinya malpraktek medis sesuai sistem hukum Indonesia.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah pengetahuan penulis di bidang Hukum Administrasi Negara khususnya malpraktek medis dalam sistem hukum Indonesia.

b. Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar akademik sarjana dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.


(20)

commit to user

Suatu penelitian tentunya diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu:

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan bidang Hukum Administrasi Negara pada khususnya. b. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur

dalam dunia kepustakaan tentang kajian mengenai malpraktek medis. c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan terhadap

penelitian sejenis untuk tahap berikutnya. 2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan penalaran, pola pikir dinamis dan untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang diperoleh selama bangku kuliah.

b. Penelitian ini diharapkan dapat membantu, memberikan tambahan masukan dan pengetahuan kepada pihak-pihak terkait dengan masalah yang sedang diteliti, juga kepada berbagai pihak yang berminat pada permasalahan yang sama.

E. Metode Penelitian

Penelitian Hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:35). Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu, penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:41).

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut.


(21)

commit to user

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder (Johny Ibrahim, 2006:44). Maka penulis dalam penelitian ini akan mengkaji tinjauan yuridis malpraktek medis dalam sistem hukum Indonesia.

2. Sifat Penelitian

Ilmu hukum hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan (Peter Mahmud Marzuki: 2005: 22). Dari hasil telaah dapat dibuat opini atau pendapat hukum. Opini atau pendapat dikemukakan oleh ahli hukum merupakan suatu preskripsi. Begitu juga tuntutan jaksa, petitum atau eksepsi dalam pokok perkara di litigasi berisi preskriosi. Untuk dapat memberikan preskripsi itulah guna praktik penelitian hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005:37). Berdasarkan definisi tersebut karakter preskriptif akan dikaji pada ketentuan yuridis bila terjadi malpraktek medis sesuai sistem hukum Indonesia.

3. Pendekatan Penelitian

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (Statute Approach), pendekatan kasus (Case Approach), pendekatan historis (Historical Approach), pendekatan komparatif (Comparative Approach), dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005:93).

Adapun pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang (Statute Approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.


(22)

commit to user

Dalam metode pendekatan perundang-undangan peneliti perlu memahami hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan (Peter Mahmud Marzuki, 2005:93)

4. Jenis Dan Sumber Data Penelitian

Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud Marzuki, mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum. Dalam hal ini Peneliti menggunakan jenis dan sumber penelitian sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah di dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

5) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

6) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

7) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit 8) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik. 9) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran

10)Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis.


(23)

commit to user

b. Bahan Hukum sekunder

Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:141). Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari data yang digunakan dalam penelitian ini ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, kamus hukum dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.

5. Teknik Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan jalan membaca peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi maupun literatur-literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas kemudian dikategorisasi menurut jenisnya.

6. Teknik Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode silogisme dan interpretasi dengan menggunakan pola berpikir deduktif. Pola berpikir deduktif yaitu berpangkal dari prinsip-prinsip dasar, kemudian peneliti tersebut menghadirkan objek yang hendak diteliti. Sedangkan metode silogisme yang menggunakan pendekatan deduksi menurut yang diajarkan Aristoteles yaitu berpangkal dari pengajuan premis mayor. Kemudian diajukan premis minor, dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2005:46).

Mengutip pendapat dari Von Savigny, interpretasi merupakan suatu rekonstruksi buah pikiran yang tak terungkapkan di dalam undang-undang. Untuk kajian akademis, seorang peneliti hukum juga dapat melakukan interpretasi. Bukan tidak mungkin hasil penelitian itu akan digunakan oleh praktisi hukum dalam praktek hukum. Dalam hal demikian, penelitian tersebut telah memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu dan praktek hukum. Interpretasi dibedakan menjadi interpretasi berdasarkan


(24)

commit to user

kata undang-undang, interpretasi berdasarkan kehendak pembentuk undang-undang, interpretasi sistematis, interpretasi historis, interpretasi teleologis, interpretasi antisipatoris, dan interpretasi modern (Peter Mahmud Marzuki, 2005:106-107).

Adapun metode interpretasi yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Interpretasi berdasarkan kata undang-undang

Interpretasi ini beranjak dari makna kata-kata yang tertuang di dalam undang-undang. Interpretasi ini akan dapat dilakukan apabila kata-kata yang di gunakan dalam undang-undang itu singkat artinya tidak bertele-tele, tajam, artinya akurat mengenai apa yang dimaksud dan tidak mengandung sesuatu yang bersifat dubious atau makna ganda. Hal itu sesuai dengan karakter undang-undang sebagai perintah atau aturan ataupun larangan. (Peter Mahmud Marzuki, 2005:112)

b. Interpretasi sistematis

Menurut pendapat P.W.C. Akkerman, interpretasi sistematis adalah interpretasi dengan melihat kepada hubungan di antara aturan dalam suatu undang-undang yang saling bergantung. Di samping itu juga harus dilihat bahwa hubungan itu tidak bersifat teknis, melainkan juga harus dilihat asas yang melandasinya. Landasan pemikiran interpretasi sistematis adalah undang-undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satu pun ketentuan di dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri sendiri (Peter Mahmud Marzuki, 2005:111-112).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Sistematika penulisan dalam penelitian hukum ini terdiri dari empat (4) bab yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan, dan penutup. Selain


(25)

commit to user

itu ditambah dengan daftar pustaka dan lampiran. Adapun sistematika yang terperinci adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis mengemukakan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis memaparkan sejumlah landasan teori dari para pakar dan doktrin hukum berdasarkan literatur-literatur yang berhubungan dengan permasalahan penelitian yang diangkat. Tinjauan pustaka dibagi menjadi dua (2) yaitu :

1. Kerangka teori, yang berisikan tinjauan mengenai malpraktek medis dan tinjauan mengenai sistem hukum Indonesia.

2. Kerangka pemikiran, yang berisikan gambaran alur berpikir dari penulis berupa konsep yang akan dijabarkan dalam penelitian ini.

BAB III : PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis hendak menguraikan pembahasan dan hasil perolehan dari penelitian yang dilakukan. Berpijak dari rumusan masalah yang ada, maka dalam bab ini penulis akan membahas dua (2) pokok permasalahan yaitu pengaturan malpraktek medis dalam sistem hukum Indonesia serta ketentuan yuridis terhadap terjadinya malpraktek medis sesuai sitem hukum Indonesia.


(26)

commit to user

Pada bab ini penulis mengemukakan kesimpulan dari hasil penelitian serta memberikan saran yang yang relevan dengan penelitian terhadap pihak-pihak yang terkait dengan penelitian tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA


(27)

commit to user

1. Tinjauan Tentang Malpraktek

a. Pengertian Malpraktek

Ada berbagai istilah yang sering digunakan di Indonesia antara lain, malpraktek, malapraktek, malapraktik, malpraktik dan sebagainya. Akan tetapi, istilah yang benar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional yang diterbitkan Balai Pustaka adalah “malapraktik”, sedangkan menurut kamus kedokteran adalah “malapraktek” (Y.A Triana Ohoiwutun, 2007:47). Secara harfiah istilah “malpraktik” artinya praktek yang buruk (bad practice), praktek yang jelek.

Malapraktek adalah praktik kedokteran yang dilakukan salah, tak tepat, menyalahi Undang-Undang, kode etik (Kamus Kedokteran Indonesia, 2008, 500). Malpraktek adalah pengobatan suatu penyakit atau perlukaan yang salah kerena ketidaktahuan, kesembronoan atau kesengajaan kriminal. (Agus Irianto, 2006:16)

Istilah malapraktek di dalam hukum kedokteran mengandung arti praktek dokter yang buruk. (Danny Wiradharma, 1996:87)

b. Unsur-Unsur Malpraktek

Dikemukakan adanya "Three elements of liability" antara lain: 1) Adanya kelalaian yang dapat dipermasalahkan ("culpability"); 2) Adanya kerugian ("damages"); dan

3) Adanya hubungan kausal ("causal relationship"). (Van der Mijn, dalam Y.A Triana Ohoiwutun, 2007:64)

Perlu diketahui bahwa unsur-unsur tersebut berlaku kumulatif, artinya harus terpenuhi seluruhnya. Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika:

1) Dokter kurang menguasai IPTEK kedokteran yang umum berlaku di kalangan profesi kedokteran;


(28)

commit to user

3) Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan yang tidak hati-hati; dan

4) Melakukan tindak medis yang bertentangan dengan hukum. (M. Jusuf Hanafiah, 1998:88)

Suatu tindakan medis tidak bertentangan dengan hukum apabila dipenuhi ketiga syarat berikut:

1) Mempunyai indikasi medis ke arah suatu tujuan perawatan yang kongkrit;

2) Dilakukan menurut ketentuan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran; dan

3) Telah mendapat persetujuan pasien. (Danny Wiradharma, 1996:87-88) Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran, maka penggugat harus membuktikan 4 (empat) unsur sebagai berikut.

1) Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien;

2) Dokter telah melanggar standar pelayanan medis yang lazim dipergunakan;

3) Pengugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya; dan

4) Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan di bawah standar. (M.Jusuf Hanafiah, 1999:89)

Dalam bidang kedokteran suatu kesalahan kecil dapat menimbulkan akibat berupa kerugian besar. Pada umumnya masyarakat tidak dapat membedakan mana yang merupakan kasus pelanggaran etik dan mana yang dikategorikan melanggar hukum. Tidak semua pelanggaran etik merupakan malpraktek, sedangkan malpraktek sudah pasti merupakan pelanggaran etik profesi medis.

Muncul konsep 4D bertujuan untuk menjembatani adanya kerugian akibat munculnya kejadian tidak diinginkan tersebut apakah benar-benar sebagai kejadian tidak dinginkan yang termasuk malpraktek atau bukan.


(29)

commit to user

Konsep 4D terdiri dari duty, derilection of duty, damage, dan direct causation.

1) Duty artinya tugas atau kewajiban yang dimiliki oleh dokter. Artinya dokter memiliki kewajiban-kewajiban yang muncul asli karena kedokterannya dan juga dokter memiliki kewajiban akibat dari adanya hubungan dokter dan pasien yaitu kontrak terapetik,

2) Derilection of duty artinya dokter menelantarkan tugas yang

dibebankan pada pundaknya. Kewajiban atau tugas tersebut tidak dilaksanakan oleh dokter, padahal dokter harus menyerahkan prestasinya kepada pasien,

3) Damage artinya kerusakan yang terjadi pada pasien. Kerusakan pada pasien diartikan sebagai adanya kejadian tidak diinginkan. Kejadian tidak diinginkan tersebut ada menimbulkan kecurigaan adanya malapraktek, dan

4) Direct causation, artinya hubungan langsung antara Derilection of duty dan Damage yaitu adanya penelantaran kewajiban yang dilakukan oleh dokter secara langsung mengakibatkan adanya kerusakan. (Hari Wujoso, 2008:20)

c. Aspek Hukum Malpraktek

Aspek hukum malpraktek terdiri dari 3 hal, yaitu sebagai berikut: 1) Penyimpangan dari Standar Profesi Medis;

2) Kesalahan yang dilakukan dokter, baik berupa kesengajaan ataupun kelalaian; dan

3) Akibat yang terjadi disebabkan oleh tindakan medis yang menimbulkan kerugian materiil atau non materiil maupun fisik atau mental. (Danny Wiradharma, 1996: 92).

2. Tinjauan Tentang Medis

Pengertian Medis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah termasuk atau berhubungan dengan bidang kedokteran(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 628)

Medis menurut arti kamus adalah merupakan salah satu cabang ilmu kesehatan yang mengupayakan perawatan kesehatan beserta upaya-upayanya untuk menyembuhkan penyakit. Dunia medis merupakan ilmu kedokteran yang juga memiliki cabang-cabang spesialis di bidang organ tubuh manusia tertentu atau penyakit tertentu (pusatmedis.com/pengertianmedis_70htm).


(30)

commit to user

3. Tinjauan Tentang Malpraktek Medis

a. Pengertian Malpraktek Medis

Malpraktek medis menurut WMA (World Medical Association) Tahun 1992 adalah kegagalan dokter untuk memenuhi standar pengobatan dan perawatan yang menimbulkan cedera pada pasien atau adanya kekurangan ketrampilan atau kelalaian dalam pengobatan dan perawatan yang menimbulkan cedera pada pasien (Kayus Koyowuan Lewloba, 2008:183)

Malpraktek medis adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. (M. Yusuf Hanafiah, 1999:87).

Malpraktik kedokteran adalah dokter atau tenaga medis yang ada di bawah perintahnya dengan sengaja atau kelalaian melakukan perbuatan (aktif atau pasif) dalam praktik kedokteran pada pasiennya dalam segala tingkatan yang melanggar standar profesi, standar prosedur, prinsip-prinsip profesional kedokteran atau dengan melanggar hukum (tanpa wewenang) karena tanpa informend consent atau di luar informed consent, tanpa Surat Izin Praktik atau tanpa Surat Tanda Registrasi, tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien dengan menimbulkan (casual verband) kerugian bagi tubuh, kesehatan fisik, mental atau nyawa pasien sehingga membentuk pertanggungjawaban dokter (Adami Chazawi, 2007:10)

b. Kategori Malpraktek Medis

Menurut Kasimin dalam blognya (www.bantuanhukum.info, malpraktek tenaga keperawatan), kategori malpraktek medis secara hukum dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.

1) Criminal malpractice, manakala perbuatan tersebut memenuhi

rumusan delik pidana yakni:

a) Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela;


(31)

commit to user

b) Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).

Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (Pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (Pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis (Pasal 299) KUHP. Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien. Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi. Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.

2) Civil malpractice, apabila tenaga kesehatan tidak melaksanakan

kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:

a) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan;

b) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya;

c) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna; dan

d) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.

Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung jawab atas kesalahan yang


(32)

commit to user

dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

3) Administrative malpractice, manakala tenaga perawatan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.

4. Tinjauan Tentang Sistem

Sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma) adalah suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi. (http://www.google.co.id/search?q="pengertian+sistem)

Sedangkan pengertian sistem menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas; susunan yang teratur dari padangan, teori, asas dsb; metode. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1999:998)

Pengertian yang paling umum, sebuah sistem adalah sekumpulan benda yang memiliki hubungan di antara mereka.

5. Tinjauan Tentang Sistem Hukum Indonesia

a. Pengertian Sistem Hukum Indonesia

Dua cara yang selama ini digunakan untuk mengartikan istilah sistem hukum. Pertama, yang mengartikan sistem hukum sebagai kesatuan dari komponen atau unsur (sub-sistem) sebagai berikut: hukum materiil, hukum formil, hukum perdata, hukum publik. Termasuk di dalam pandangan ini adalah yang melihat sistem hukum sebagai kesatuan antar berbagai peraturan perundang-undangan, atau kesatuan antar peraturan perundang-undangan dengan asas-asas hukum. Kedua, yang mengartikan


(33)

commit to user

sistem hukum sebagai kesatuan dari komponen: struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. (http: //id.wikipedia.org/wiki/Hukum Indonesia)

Sistem hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

b. Jenis-Jenis Sistem Hukum Indonesia

1) Hukum Perdata

Hukum perdata adalah serangkaian peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum anatara orang satu dengan yang lain, dengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan. (Kansil. CST, dalam Amiek Sumindriyatmi, 2007:20)

2) Hukum Pidana

Menurut Kansil, hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum, dimana perbuatan tersebut diancam dengan hukuman yang merupakan siksaan (Kansil CST, dalam Amiek Sumindriyatmi, 2007:84).

3) Hukum Tata Negara

Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur tentang bentuk dan susunan negara, serta alat-alat perlengkapan negara beserta tugasnya masing-masing.


(34)

commit to user

Hukum Administrasi Negara adalah hukum yang mengatur kegiatan administrasi negara. Yaitu mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya.

5) Hukum Acara Perdata

Hukum Acara Perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana cara mempertahankan ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim. Ditinjau dari tugasnya hukum acara perdata berfugsi untuk menyelesaikan perkara perdata, yaitu perkara yang timbul apabila hukum perdata materiil dilanggar atau tidak ditaati.

6) Hukum Acara Pidana

Hukum Acara Pidana adalah peraturan yang mengatur bagaimana cara mempertahankan berlakunya hukum pidana materiel. Hukum acara pidana mengatur bagaimana prosedurnya apabila ada suatu perbuatan pidana yang dilakukan.

7) Hukum Adat

Adanya suatu kenyataan bahwa setiap kesatuan masyarakat tentu ada tingkah laku yang hidup dan terpelihara dalam penyelengaraan kehidupan masyarakat. Sebagai tata cara yang sudah terbiasa atau lazim dilakukan sedari dahulu dan selalu dipakai berdasarkan kenyataan bahwa itu patut maka tingkah laku atau tata cara tersebut dalam masyarakat akan di “adat”kan. Dengan berbagai cara anggota masyarakat melaksanakan, memperlakukan, mempertahankan aturan-aturan tingkah laku itu dengan disertai akibat-akibat tertentu. Pengertian hukum adat menurut R. Sopepomo adalah hukum yang tidak tertulis yang meliputi peraturan hidup yang tidak ditetapkan oleh pihak berwajib, tetapi ditaati masyarakat berdasar keyakinan bahwa peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. (Amiek Sumindriyatmi, 2007: 56).


(35)

commit to user

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Sebagai sistem hukum, hukum islam mempunyai berbagai istilah kunci yaitu: hukum, syari’ah, fiqh. Hukum Islam mengatur hubungan antara mahluk dengan khaliknya, antara manusia yang satu dengan manusia yang lain dan hubungan antara manusia dengan benda-benda yang ada di alam ini.

Hukum Islam di Indonesia belum bisa ditegakkan secara menyeluruh, karena belum adanya dukungan yang penuh dari segenap lapisan masyarakat secara demokratis baik melalui pemilu atau referendum maupun amandemen terhadap UUD 1945 secara tegas dan konsisten. Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang banyak menerapkan hukum Islam melalui Pengadilan Agama, sesuai pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu :

“Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum”.

c. Hierarki Sistem Hukum Indonesia

Hukum di Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai ketertiban masyarakat. Untuk dapat mencapai tujuannya, tidak terlepas begitu saja antara aturan hukum yang satu dengan aturan hukum yang lainnya, dimana aturan-aturan hukum tersebut saling kait mengkait secara tertib teratur dan merupakan tatanan. Aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Oleh sebab itu aturan yang begitu banyak, saling terkait satu sama lain sehingga merupakan tata hukum. Berdasar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat


(36)

commit to user

(1) mengatur tentang Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan, adalah sebagai berikut:

1) Undang-Undang Dasar 1945;

2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3) Peraturan Pemerintah;

4) Peraturan Presiden; dan 5) Peraturan Daerah.

d. Fungsi Hukum

Memahami fungsi hukum, perlu dipahami dulu bidang pekerjaan hukum. Sedikitnya ada 4 (empat) bidang pekerjaan yang dilakukan oleh hukum:

1) Merumuskan hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat dengan menunjukkan perbuatan apa saja yang dilarang dan yang boleh dilakukan;

2) Mengalokasikan dengan menegaskan siapa saja yang boleh melakukan kekuasaan atau siapa berikut prosedurnya;

3) Menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat; dan 4) Mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara

mengatur kembali hubungan-hubungan dalam masyarakat manakala ada. (Satjipto Raharjo, 1984:45 dalam Agus Irianto, 2006:48)

Secara sosiologis terdapat dua fungsi utama hukum yaitu:

a) Social Control (kontrol sosial), merupakan fungsi hukum yang mempengaruhi warga masyarakat agar bertingkah laku sejalan dengan apa yang telah digariskan sebagai aturan hukum, termasuk nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Lingkup kontrol sosial adalah sebagai berikut,

(1) Perbuatan norma-norma hukum, baik yang memberikan peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang dengan orang;


(37)

commit to user

(3) Menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal terjadi perubahan-perubahan sosial.

b) Social Engineering (rekayasa sosial), penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana diinginkan oleh pembuat hukum. Berbeda dengan fungsi kontrol sosial yang lebih praktis, yaitu untuk kepentingan waktu sekarang, maka fungsi rekayasa sosial dari hukum lebih mengarah pada pembahasan sikap dan perilaku masyarakat di masa mendatang sesuai dengan keinginan pembuat Undang-Undang. Perubahan-perubahan yang dikehendaki itu apabila berhasil pada akhirnya melembaga sebagai pola-pola tingkah laku yang baru di masyarakat. (Satjipto Rahardjo, 1984:119-120 dalam Agus Irianto, 2006:48-49).

6. Tinjauan Mengenai Efektivitas Peraturan Perundang-Undangan.

a. Teori Fuller

Fuller mengajukan satu pendapat untuk mengukur apakah kita pada suatu saat dapat berbicara mengenai adanya suatu sistem hukum. Ukuran tersebut diletakkannya pada delapan asas yang dinamakan principles of legality, yaitu (Satjipto Rahardjo, 2000: 51-52) :

1) Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan. Yang dimaksud disini adalah, bahwa ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.

2) Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.

3) Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian itu ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk menjadi pedoman tingkah laku. Membolehkan pengaturan secara berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang.

4) Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.


(38)

commit to user

5) Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.

6) Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.

7) Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga menyebabkan seorang akan kehilangan orientasi.

8) Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.

Fuller sendiri mengatakan, bahwa kedelapan asas yang diajukannya itu sebetulnya lebih dari sekedar persyaratan bagi adanya suatu sistem hukum, melainkan memberikan pengkualifikasian terhadap sistem hukum yang mengandung suatu moralitas tertentu. Kegagalan untuk menciptakan sistem yang demikian itu tidak hanya melahirkan sistem hukum yang jelek, melainkan sesuatu yang tidak bisa disebut sebagai sistem hukum sama sekali.

Prinsip kelima yang berbunyi “Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain” paralel atau ekuivalen dengan sinkronisasi aturan. Sinkronisasi aturan adalah mengkaji sampai sejauh mana suatu peraturan hukum positif tertulis tersebut telah sinkron atau serasi dengan peraturan lainnya.

b. Teori J.B.J.M. Ten Berge

Ten Berge menyebutkan mengenai beberapa aspek yang harus diperhatikan atau dipertimbangkan dalam rangka penegakan hukum, yaitu sebagai berikut (Ridwan H.R., 2006:310).

a) Een regel moet zo weinig mogelijk ruimte laten voor

interpretatiegeschillen;

b) Uitzonderingsbepalingen moeten tot een worden beperkt;

c) Regels moeten zo veel mogelijk zijn gericht op zichtbare dan wel objectief constateerbare feiten;

d) Regels moeten werkbaar zijn voor degenentot wie de regels zijn


(39)

commit to user

Terjemahannya :

a) Suatu peraturan harus sedikit mungkin membiarkan ruang bagi perbedaan interpretasi;

b) Ketentuan perkecualian harus dibatasi secara minimal;

c) Peraturan harus sebanyak mungkin diarahkan pada kenyataan yang secara objektif dapat ditentukan;

d) Peraturan harus dapat dilaksanakan oleh mereka yang terkena peraturan itu dan mereka yang dibebani dengan (tugas) penegakan (hukum).

Teori yang dikemukakan J.B.J.M. Ten Berge pada huruf a tersebut diatas paralel atau ekuivalen dengan prinsip keempat dari Prinsip-Prinsip Legalitas (Principles Of Legality) teori Fuller yaitu, “Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti”. Keparalelan dari teori tersebut terletak pada bagaimana suatu peraturan hukum dapat menampilkan norma hukum sehingga dapat ditangkap oleh masyarakat.

Berkaitan dengan hal di atas, Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa suatu peraturan hukum merupakan pembadanan dari norma hukum. Peraturan hukum menggunakan berbagai unsur atau kategori sarana untuk menampilkan norma hukum sehingga dapat ditangkap oleh masyarakat. Unsur-unsur peraturan hukum tersebut meliputi; Pengertian Hukum atau Konsep Hukum, Standar Hukum, dan Asas Hukum (Satjipto Rahardjo, 2000: 41)

Peraturan hukum menggunakan pengertian-pengertian atau konsep-konsep untuk menyampaikan kehendaknya. Pengertian-pengertian tersebut merupakan abstraksi dari barang-barang yang pada dasarnya bersifat konkrit dan individual, ada yang diangkat dari pengertian sehari-hari dan ada pula yang diciptakan secara khusus sebagai suatu pengertian teknik (Satjipto Rahardjo, 2000: 42-43)

Pengertian hukum mempunyai isi dan batas-batas yang jelas serta dirumuskan secara pasti. Dalam hal pengertian hukum memiliki kadar kepastian yang relatif kurang, maka pengisiannya untuk menjadi pasti


(40)

commit to user

diserahkan kepada praktek penafsiran, terutama oleh pengadilan. Pengertian hukum yang mempunyai kadar kepastian yang kurang itu disebut sebagai Standar Hukum. Menurut Paton standar tersebut merupakan suatu sarana bagi hukum untuk berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya (Satjipto Rahardjo, 2000: 43-45)

Unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum adalah Asas Hukum. Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Asas hukum bukan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya, karena hal inilah yang memberi makna etis kepada peraturan-peraturan hukum serta tata hukum (Satjipto Rahardjo, 2000: 45-47)

c. Teori Hans Kelsen (Prinsip Validitas)

Validitas hukum berarti bahwa norma hukum itu mengikat, bahwa orang harus berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma hukum, bahwa orang harus mematuhi dan menerapkan norma hukum (Hans Kelsen, 2007: 47). Norma hukum satuan tetap valid selama norma tersebut merupakan bagian dari suatu tata hukum yang valid. Jika konstitusi yang pertama ini valid, maka semua norma yang telah dibentuk menurut cara yang konstitusional adalah valid juga.

Untuk menilai apakah peraturan perundang-undangan dapat mendorong alih pengetahuan digunakan indikator validitas kewajiban hukum dan sanksi. Konsep kewajiban merupakan suatu konsep khusus dari lapangan moral yang menunjuk kepada norma moral dalam hubungannya dengan individu terhadap siapa tindakan tertentu diharuskan atau dilarang oleh norma tersebut, konsep ini pun tidak lain kecuali sebagai pasangan dari konsep norma hukum (Hans Kelsen, 2007: 72). Kewajiban hukum semata-mata merupakan norma hukum dalam hubungannya dengan individu yang terhadap perbuatannya sanksi dilekatkan di dalam norma hukum tersebut (Hans Kelsen, 2007: 73).


(41)

commit to user

Sedangkan sanksi diberikan oleh tata hukum dengan maksud untuk menimbulkan perbuatan tertentu yang dianggap dikehendaki oleh pembuat undang-undang. Sanksi hukum memiliki karakter sebagai tindakan memaksa (Hans Kelsen, 2007: 61)

B. Kerangka Pemikiran

Pembangunan Bidang Pembangunan


(42)

commit to user

Gambar 1. Kerangka Berfikir

Keterangan:

Kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum yaitu tinjauan yuridis malpraktek medis dalam sistem hukum di Indonesia.

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dapat dijelaskan bahwa pembangunan nasional adalah agenda wajib yang harus dilaksanakan oleh pemerintah guna mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera sesuai amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Untuk meraih cita-cita mulia bangsa tersebut, diperlukan upaya maksimal melalui pembangunan nasional yang berkelanjutan yaitu pembangunan nasional yang berkesinambungan secara merata dan menyeluruh di segala aspek kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara, tak terkecuali di bidang kesehatan. Pembangunan di bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup bagi setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.

Permasalahan Hukum

Tinjauan Yuridis Malpraktek Medis Dalam Sistem Hukum

Indonesia

Teori Hukum

1. Principles of Legality ( Teori Fuller)

2. Aspek-aspek penegakan hukum (Teori J.B.J.M. Ten Berge) 3. Validitas (Teori Hans Kelsen) Peraturan Perundang-undangan

1. KUHP 2. KUHPerdata

3. UU No. 23 Tahun 1992 4. UU No. 8 Tahun 1999 5. UU No. 29 Tahun 2004 6. UU No. 36 Tahun 2009 7. UU No. 44 Tahun 2009 8. Permen No.

585/Menkes/Per/IX/1989 9. Permen No

512/Menkes/Per/IV/2007

1. Bagaimana pengaturan malpraktek medis dalam sistem hukum Indonesia ?

2. Bagaimana ketentuan yuridis terhadap terjadinya malpraktek medis Kesimpulan :

Kepastian Hukum Pengaturan Malpraktek Medis Dalam Sistem Hukum


(43)

commit to user

Upaya untuk menciptakan kesehatan di tengah masyarakat tersebut seringkali menciptakan gesekan antara tenaga medis/dokter dengan konsumen kesehatan/pasien. Kemudian muncul hubungan hukum antara dokter dan pasien, yang menimbulkan hak dan kewajiban. Dalam melaksanakan kewajiban bagi dokter itulah dapat menimbulkan penderitaan bagi pasien, akibat kelalaian atau kekurang hatian-hatian dokter dalam menjalankan profesinya. Yang dikenal dengan istilah malpraktek medis. Dari sudut harfiah istilah malpraktek artinya praktek yang buruk. Tindakan yang salah dari profesi medis disebut malpraktek medis. Makin terdidiknya masyarakat dan semakin banyaknya buku pengetahuan tentang kesehatan menjadikan masyarakat semakin kritis terhadap pelayanan medis yang diterimanya.

Pemerintah sebagai penyelenggara negara mengeluarkan beberapa peraturan untuk mengatur perihal kesehatan, penyelenggaraan rumah sakit serta praktik kedokteran dan termasuk di dalamnya hubungan antara dokter dan pasien tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit serta para praktisi hukum seringkali menggunakan Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) untuk menjerat para pelaku malpraktek medis tersebut. Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan upaya hukum bagi para korban untuk menuntut keadilan. Peraturan Menteri Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, , Peraturan Menteri Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran, Peraturan Menteri Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis memberikan pengaturan teknis bagi pasien dan dokter bila timbuk kerugian dalam pelayanan medis.

Namun undang itu tidak sempurna. Tidak mungkin undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap dan tidak jelas. Meskipun tidak lengkap atau tidak jelas undang-undang harus dilaksanakan (Sudikno Mertokusumo, 1999:


(44)

commit to user

147). Sehingga perlu adanya pengkajian peraturan perundang-undangan dengan menggunakan teori hukum yaitu :

1. Principles of Legality (Teori Fuller);

2. Aspek-aspek penegakan hukum (Teori J.B.J.M Ten Berge); 3. Validitas (Teori Hans Kelsen).

Ketiga teori ini kemudian dijadikan landasan bagi penulis untuk menganalisis ataupun meninjau secara yuridis normatif terhadap pengaturan malpraktek medis dan ketentuan yuridis terhadap terjadinya malpraktek medis sesuai sitem hukum Indonesia hingga nantinya akan muncul beberapa fakta hukum yang mengarahkan penulis pada suatu kesimpulan yaitu bagaimanakah kepastian hukum dalam menyelesaikan masalah hukum berupa malpraktek medis sesuai dengan sistem hukum di Indonesia.

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan Malpraktek Medis Dalam Sistem Hukum Indonesia

Pelaksanaan praktik kedokteran banyak menghadapi kendala, salah satunya dikenal dengan istilah malpraktek medis. Belum adanya hukum normatif (Undang-Undang) yang mengatur malpraktek medis menyebabkan malpraktek medis sulit dibuktikan yang tentunya menimbulkan kerugian bagi korban. Hal tersebut juga merugikan pihak tenaga kesehatan, karena tidak terdapat ketentuan yang jelas bagaimana kriteria perlakuan medis yang dinyatakan sebagai malpraktek medis.

Pada prinsipnya, malpraktek medis dapat dicegah apabila pihak tenaga kesehatan menaati aturan praktik kedokteran dengan baik. Menurut Patricia M. Danzon,

“Physicians and other medical providers are subject to a negligence rule of liability. To prevail, a plaintiff must show that he or she sustained damages that were caused by the failure of the physician to take due care, defined as a customary practice of physicians in good standing with the profession, or a significant minority of such physicians. In a simple model, with perfect information and homogeneous physicians, a negligence rule of


(45)

commit to user

liability with an appropriately defined due care standard should induce complete compliance: there should be no malpractice, no malpractice claims and no demand for malpractice insurance” (“Patricia M. Daanzon, 1991:51-69”).

Terjemahan bebas oleh penulis sebagai berikut “Dokter dan penyedia pelayanan medis lainnya tunduk terhadap ketentuan hukum yang mengatur pertanggungjawaban medis. Untuk dapat mengajukan gugatan, penggugat harus mampu membuktikan terjadinya kelalaian yang disebabkan oleh ketidakhati-hatian dokter, dalam melakukan perawatan yang tepat, pasti sebagaimana praktik dokter yang sesuai standar profesi medis secara umum atau dalam hubungannya dengan profesi dokter itu sendiri. Secara sederhana, dengan adanya informasi yang lengkap dan seragam sebuah kelalaian terhadap hukum dengan batas peraturan yang jelas dan standar yang tepat akan menyebabkan pemenuhan hukum yang lengkap. Itu seharusnya bukan menjadi malpraktek, tidak ada klaim malpraktek dan tidak ada tuntutan untuk asuransi malpraktek”.

Sistem hukum Indonesia sebagai kesatuan dari komponen atau unsur (sub-sistem) terdiri dari: hukum materiil, hukum formil, hukum perdata, hukum publik. Sistem hukum Indonesia terdiri dari: (“http: //id.wikipedia.org/wiki/Hukum Indonesia”)

1. Hukum Perdata; 2. Hukum Pidana; 3. Hukum Tata Negara;

4. Hukum Administrasi Negara; 5. Hukum Acara Perdata; 6. Hukum Acara Pidana; 7. Hukum Adat; dan 8. Hukum Islam.

Hierarki sistem hukum Indonesia terdiri dari (Undang-Undang No 10 tahun 2004 Pasal 7 ayat (1):

1)Undang-Undang Dasar 1945;


(46)

commit to user

3)Peraturan Pemerintah;

4)Peraturan Presiden; dan 5)Peraturan Daerah.

Aturan hukum untuk pengaturan malpraktek medis sudah dapat dikatakan sebagai sistem hukum karena sudah memenuhi sebagian besar ukuran yang ditetapkan oleh Fuller. Setelah peraturan hukum dinyatakan sebagai sitem hukum kemudian dilihat penegakan hukumnya, apakah aturan tersebut sudah dapat ditegakkan di masyarakat. Bedasarkan teori Ten Berge dalam rangka penegakan hukum peraturan tersebut harus dapat diimplementasikan langsung untuk kasus di masyarakat. Pengaturan menngenai malpraktek medis memenuhi ketentuan penegakan hukum karena aturan tersebut dapat diselesaikan untuk menyelesaikan kasus yang terjadi dalam sengketa konsumen dan produsen contohnya: Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

1. Pengaturan Aspek Hukum Perdata Malpraktek Medis

Dua kemungkinan yang dapat dipakai untuk dijadikan sebagai dasar yuridis gugatan malpraktek medis yaitu:

a. Gugatan berdasarkan adanya wanprestasi terhadap suatu kontrak; b. Gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad)

Apabila gugatan berdasarkan wanprestasi, diberlakukan ketentuan Pasal 1329 KUHPerdata yang berbunyi:

“Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu atau, untuk tidak berbuat sesuatu, apakah si berhutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan pergantian biaya, rugi dan bunga”.

Hukum mensyaratkan setiap gugatan yang berdasarkan wanprestasi adalah adanya perjanjian terapeutik yang dilanggar. Perjanjiannya meliputi perjanjian tertulis maupun tidak tertulis. Menurut hukum yang berlaku asal syarat-syarat sahnya perjanjian dipenuhi maka perjanjian tersebut sudah berlaku dan mempunyai konsekuensi yuridis. Syarat sahnya perjanjian tersebut, terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu


(47)

commit to user

jika memenuhi unsur-usur: kesepakatan kedua belah pihak, kecakapan berbuat, suatu hal tertentu, kausa yang diperbolehkan. (Salim H.S, 2003:33).

Gugatan yang didasari atas perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi:

“Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”

Salah satu unsur dari perbuatan melawan hukum adalah dokter yang melakukan malpraktek medis haruslah benar-benar melanggar hukum, artinya dokter melanggar hukum dengan kesengajaan atau kurang hati-hati, misal; salah memberikan obat atau tidak memberikan informed consent.

Tuntutan Perdata harus memenuhi 5 (lima) unsur yaitu:. 1. Adanya suatu kontrak antara penggugat dan tergugat;

2. Salah atau pelaksanaan buruk dari kewajiban oleh penggugat;

3. Kegagalan tergugat untuk mempergunakan standar yang lazim dipakai;

4. Penggugat menderita kerugian karenanya; dan

5. Tindakan atau sikap tergugat menyebabkan timbulnya kerugian yang diderita penggugat. (Achmad Biben, 1994: 31 dalam Agus Irianto, 2006:40)

2. Pengaturan Aspek Hukum Pidana Malpraktek Medis

Suatu perbuatan merupakan perbuatan pidana apabila memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan secara limitatif dalam perundang-undangan pidana. Dalam hukum pidana maka kesalahan dapat disebabkan karena kesengajaan atau karena kelalaian (culpa).

Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengenai perbuatan yang dapat dipidana antara lain:

1. Melakukan praktek kedokteran tanpa memiliki Surat Tanda Register (Pasal 75 ayat (1));


(48)

commit to user

2. Melakukan Praktek kedokteran tanpa memiliki Surat Ijin Praktek (Pasal 76);

3. Menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi (Pasal 77);

4. Menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi (Pasal 78);

5. Tidak memasang papan nama (Pasal 79 huruf a); 6. Tidak membuat rekam medis (Pasal 79 huruf b);

7. Tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan Pasal 51 (Pasl 79 huruf c), dan;

8. Korporasi atau perseorangan yang mempekerjakan dokter atau dokter gigi tanpa tidak memiliki surat tanda registrasi dan ijin praktek (Pasal 80).

Ketentuan perbuatan yang dapat dipidana diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan antara lain:

1. Melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan (Pasal 80 ayat 1);

2. Melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfusi darah (Pasal 80 ayat 3);

3. Tanpa keahlian dan kewengangan melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh (pasal 81 ayat 1 huruf a);

4. Tanpa keahlian dan kewenangan melakukan implan alat kesehatan (Pasal 81 ayat 1 huruf b);

5. Tanpa keahlian dan kewenangan melakukan bedah plastik dan rekontruksi (pasal 81 huruf c);

6. Mengambil organ dari seorang donor tanpa memperhatikan kesehatan donor atau tanpa persetujuan donor dan ahli waris dan keluarganya (Pasal 82 ayat 2 huruf c);


(49)

commit to user

7. Tanpa keahlian atau kewenangan untuk melakukan pengobatan dan perawatan (pasal 82 ayat 1 huruf a);

8. Tanpa keahlian dan kewenangan melakukan transfusi darah (Pasal 62 ayat 1 huruf b);

9. Tanpa keahlian dan kewenangan melakukan implan obat (Pasal 82 ayat 1 huruf c);

10.Tanpa keahlian dan kewenangan melakukan bedah mayat (Pasal 82 ayat 1 huruf e);

11.Melakukan upaya kehamilan di luar cara lain yang tidak sesuai ketentuan (Pasal 82 ayat 2 huruf a);

12.Menyelenggarakan sarana kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan (Pasal 84 point 5).

Pengaturan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang terkait malpraktek medis antara lain:

1. Menipu pasien (pasal 378);

2. Membuat surat keterangan palsu (Pasal 263, 267);

3. Abortus Provokatus Kriminalis (Pasal 299, 348, 349, 350);

4. Melakukan kealpaan (culpa) yang mengakibatkan kematian atau luka (Pasal 359, 360, 361);

5. Melakukan pelanggaran kesopanan (Pasal 290 ayat (1), 294 ayat (2), pasal 285 dan Pasal 286);

6. Membocorkan rahasia pasien dengan pengaduan pasien (Pasal 322); 7. Tidak memberikan pertolongan atau bantuan (Pasal 351);

8. Memberikan atau membuat obat palsu (Pasal 386); 9. Euthanasia (Pasal 344).

3. Pengaturan Aspek Hukum Administrasi Malpraktek Medis

Hukum Administrasi memandang seorang dokter melakukan pelanggaran bila:


(50)

commit to user

b. Melanggar wajib simpan rahasia kedokteran yang tidak dapat dikenakan.

Kelalaian/kealpaan dalam arti luas dalam melakukan tindakan profesi medis antara lain: (Agus Irianto, 2006:41-43)

1. Keahlian tidak merujuk

Apabila dokter mengetahui seharusnya kondisi atau kasus pasien itu berada di luar kemampuannya dan dengan merujuknya kepada dokter spesialis akan dapat menolongnya maka ia wajib melakukannya. Hal ini sesuai Kode Etik Kedokteran Indonesia dalam Pasal 11 yang berbunyi:

“Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan maka ia wajib merujuk penderita kepada dokter lain yang mempunyai keahlian penyakit tersebut”

Seorang dokter dianggap telah melakukan wanprestasi dimana lalai merujuk kepada dokter spesialis apabila ia mengetahui bahwa kasus tersebut diluar jangkauan kemampuannya, bahwa ilmu pengetahuan yang dimilikinya tidak cukup untuk dapat memberikan pertolongan kepada pasien dan seorang spesialis akan dapat melakukannya.

2. Lalai tidak konsultasi dengan dokter terlebih dahulu

Terkadang pasien sudah pernah mendapat pengobatan dari seorang dokter atau beberapa dokter, maka dokter berikutnya dianjurkan untuk mengadakan konsultasi kepada dokter-dokter terdahulu guna mencegah salah penerapan pengobatan berikutnya.

3. Lalai Tidak Merujuk Pasien Ke Rumah Sakit dengan Peralatan/Tenaga yang Terlatih

Seorang dokter bukan saja harus sadar akan ilmu pengetahuannya secara pribadi dan keterbatasannya, tetapi juga akan peralatan yang sesuai dalam mengobati pasien. Dalam praktik kedokteran memerlukan instrumen khusus dan prosedur yang tidak dipunyainya. Dalam keadaan ini dokter dituntut untuk merujuk ke rumah sakit yang tersedia peralatan dan asisten terlatih.


(51)

commit to user

4. Tidak Mendeteksi adanya Infeksi

Kegagalan dokter untuk mendeteksi bahwa pasien menderita semacam infeksi tidaklah berarti kelalaian. Apabila tidak ditemukan infeksi tersebut disebabkan karena keadaan yang tidak memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan yang singkat, maka tanpa adanya justifikasi yang dapat diterima dapat dipersalahkan karena kurang ketelitian.

5. Lalai karena kurang pengalaman

Kurangnya pengalaman tidak dapat dipakai sebagai pemaaf kelalaian, karena adanya standar profesi yang harus dilakukan dokter dalam merawat/mengobati pasien.

Bentuk pelanggaran lain yang dapat dikategorikan sebagai kesalahan dokter yaitu penelantaran, tindakan dokter dengan tanpa memberikan kesempatan kepada pasien untuk mencari dokter lain sehingga menyebabkan pasien menderita cedera atau meninggal dunia.

Hal ini dapat dikenakan Pasal 304 KUHP, yang menyatakan:

“Barang siapa yang dengan sengaja terhadap siapapun ia berkewajiban untuk memelihara, merawat atau mengurusnya berdasarkan peraturan yang berlaku padanya atau berdasarkan perjanjian, menyebabkan orang tersebut dalam keadaan tidak berbahaya, dihukum penjara selama-lamanya dua tahu delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-“

Tindakan yang dapat dikategorikan sebagai penelantaran antara lain:

1. Penolakan dokter untuk mengobati sesudah ia memeriksa pasien; 2. Menolak untuk memegang suatu kasus dan ia sudah menerima

tanggungjawab;

3. Tidak memberikan perhatian;

4. Tidak menyediakan dokter pengganti pada waktu dokter tidak ada atau tidak dapat dihubungi.


(1)

commit to user

pelanggaran terhadap hak pasien maka dapat dilakukan tuntutan ganti rugi kepada produsen yang telah menimbulkan kerugian konsumen.

d. Dari Undang-Undang diatas terdapat Undang-Undang yang sudah

tidak berlaku lagi yakni, Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Hal tersebut berdasarkan Pasal 85 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang memberikan rumusan:

“ Dengan disahkannya Undang ini maka Pasal 54 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang berkaitan dengan dokter dan dokter gigi dinyatakan tidak berlaku lagi”

Dan lahirnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dalam Pasal 204 berbunyi:

“Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

2. Secara yuridis, kasus malpraktek medis di Indonesia dapat diselesaikan dengan bersandar pada pengaturan-pengaturan:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;

d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan

Konsumen;

e. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;

f. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

g. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;

h. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik;

i. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


(2)

commit to user

j. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

512/Menkes/Per/IV/2007 Tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran.

B. SARAN

1. Belum adanya hukum dan kajian hukum khusus tentang malpraktek medis yang dapat dijadikan pedoman dalam menentukan adanya malpraktek medis, maka perlu disusun peraturan perundang-undangan tentang malpraktek medis yang jelas, tertata secara sitematis, tersusun komprehensif dan aplikatif tentang malpraktek medis guna menjamin terciptanya tertib hukum di Indonesia, yang didalamnya mencakup mulai dari ketentuan umum malpraktek medis, kriteria, hingga sanksi yang diterapkan bila terjadi malpraktek medis.

2. Minimnya pengetahuan masyarakat akan kesehatan, dan kepercayaan

masyarakat yang tinggi terhadap dokter menyebabkan masyarakat awam belum memahami perbuatan-perbuatan dan kesalahan dokter yang dapat dilaporkan sebagai dugaan malpraktek medis, sehingga masyarakat perlu mendapat sosialisasi dan pemberitahuan mengenai hak-hak dan kewajiban baik yang dilakukan oleh dokter maupun rumah sakit serta perlunya mendapat pendampingan hukum bila terhadap malpraktek medis yang menimbulkan kerugian pasien.

3. Adanya pembenahan terhadap pola hubungan antar stakeholders (dokter, perawat, bidan, rumah sakit, klinik, pasien) yang ada sehingga kejadian malpraktek medis bisa dicegah atau diminimalisir. Pencegahan yang diberikan berupa adanya lembaga independen yang melakukan pembinaan dan pengawasan antar stakeholder tersebut bila terjadi malpraktek medis.


(3)

commit to user

DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi. 2007. Malpraktik Kedokteran. Malang: Bayumedia.

Agus Irianto. 2006. Analisis Yuridis Kebijakan Pertanggungjawaban Dokter

Dalam Malpraktik. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret.

Amiek Sumindriyatmi, 2007. Pengantar Hukum Indonesia. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Anonim. Geografi Indonesia. (http://id.wikipedia.org/wiki/Geografi_Indonesia) [5 Oktober 2010 pukul 16.00].


(4)

commit to user

_______. (http://www.google.co.id/search?q="pengertian+sistem”) [5 Oktober 2010 pukul 16.05].

_______. (www.indosiar.com/tags/malpraktek) [5 Oktober 2010 pukul 16.23]. _______. http: //id.wikipedia.org/wiki/Hukum Indonesia . [9 Oktober 2010 pukul

19.56].

_______. Pusatmedis.com/pengertian medis_70htm). [10 Oktober 20101 pukul 12.40 WIB].

Bahder Johan Nasution. 2005. Hukum Kesehatan dan Pertanggungjawaban

Dokter. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Bryan A Garner. 2004. Black Law Dictionary Eight Edition. West: Thomson. Danny Wiradharma. 1996. Hukum Kedokteran. Jakarta: Binarupa Aksara.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. Kamus Kedokteran Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Hans Kelsen, 2007. Teori Hukum Murni Dasar Ilmu Hukum Normatif. Bandung: Nusamedia&nuansa.

Hari Wujoso. 2008. Analisis Hukum Tindakan Medik. Surakarta: UNS Press.

J. Guwandi. 2006. Dugaan Malpraktek Medis dan Draft RPP “Perjanjian

Terapetik Antara Dokter dan Pasien”. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Johny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia.

Kasimin. www.bantuanhukum.info, malpraktek tenaga keperawatan. [8 Oktober 2010 pukul 20.00].

Kayus Koyowuan Lewloba. 2008. “Malpraktek Dalam Pelayanan Kesehatan

(Malpraktek Medis)”. Bina Widya. Vol. 19, No 3. Jakarta.

http://jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=53789& idc=21 [14 Maret 2011 pukul 20.00].

Lilik Purwastuti Yudaningsih. 2007. Tinajuan Yuridis Terhadap Malpraktek

Medik Dilihat Dari Aspek Hukum Pidana. Majalah Hukum Forum

Medika. Vol. 15, No 1. Jambi.

http://jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=53569& idc=21 [14 Maret 2011 pukul 20.50].


(5)

commit to user

M. Jusuf Hanafiah. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC..

Patricia M. Danzon. 1991. “Liabillity For Medical Malpractice”. Journal Of

Economic Perspectives. Vol 5, No 33. Pennsylvania.

http://hc.wharton.upenn.edu/danzon/html/CV%20pubs/1991_Danzon_Lia bilityForMedicalMalpractice_JEconPerspectives5.3.pdf. [14 Maret 2011 pukul 19.00].

________________. 2011. “Tort Reform : The Case Of medical Malpractice”.

Oxford Review of Economic Policy Ltd and Oxford University Press. Vol.

10 No 1. Oxford. http://oxrep.oxfordjournals.org/content/10/1/84.extract. [ 15 Maret 2011 Pukul 16.00].

Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press.

R. Subekti. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Salim HS. 2003. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika.

Satjipto Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Sudikno Mertokusumo. 1999. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar).Yogyakarta: Liberty.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Pusat Bahasa. 1999.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Pusat Bahasa. 2005.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Titik Triwulan Tutik. 2010. Perlindungan Hukum Bagi Pasien. Jakarta: Prestasi Pustaka Publiser.

Y.A. Trianan Ohoiwutun. 2007. Bunga Rampai Hukum Kedokteran. Malang:


(6)