Pilpres Tanpa Siapa-siapa

Universitas Muhammadiyah Malang
www.umm.ac.id

Pilpres Tanpa Siapa-siapa
Surya : Rabu, 2009-03-11 | 09:02 WIB
Jangan salahkan jika golput meningkat. Bukannya rakyat tak peduli pada proses demokrasi dan nasib bangsa dan
negara, tapi fakta dan kenyataan : tidak ada siapa siapa dalam Pilpres 2009. Ketika siapa-siapa saja tidak ada, maka
apa dan bagaimana yang akan dilakukan itu, mustahil menjadi ada.
DI negara yang pemerintahannya dijalankan secara parlementer, penentu siapa yang menjadi perdana menteri
berdasar pada konvensi ketatanegaraan, yakni ketua partai politik (parpol) pemenang pemilu. Siapapun yang jadi ketua
parpol dapat dipastikan menjadi perdana menteri bila parpol yang dipimpinnya memenangi pemilu. Kecuali tidak ada
mayoritas dalam parlemen, perdana menteri ditentukan atas dasar koalisi parpol, di antara parpol yang ada.
Lain halnya di negara presidensil, pemilihan presiden dilakukan secara langsung dari calon yang diajukan oleh parpol
yang ada di parlemen. Calon yang maju sebagai kandidat presiden biasanya yang telah memenangi persaingan untuk
menjadi calon presiden secara internal parpol lewat konvensi.
Di negara monarki, pemilihan kepala negara lebih sederhana, sebab siapa yang menggantikan raja yang berkuasa
atas dasar pewarisan. Di negara ini, raja dilahirkan dari permaisuri, tidak dipilih oleh rakyat. Putra mahkota naik tahta
dan berkuasa tanpa ada gugatan, tanpa ada yang menentang.
Senang Kuasa
Montesquieu (1688-1755), pernah berujar bahwa orang itu senang akan kekuasaan, apabila kekuasaan itu
diperuntukan bagi kepentingan dirinya sendiri. Kalimat di atas sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana

kekuasaan itu sangat disukai oleh elite politik Indonesia, dinamika pemilu anggota legislatif (Pileg) dan pemilihan
presiden (Pilpres), menegaskan hal itu.
Banyak calon presiden (capres) dalam Pilpres 2009, tidak menunjukan tersedianya tokoh Indonesia yang pantas tampil
menjadi pemimpin. Justru semakin banyak capres, semakin menunjukan tidak adanya siapa-siapa dalam Pilpres. Hal
ini karena para calon itu hanya menyukai kekuasaan untuk kepentingan diri dan teman-temannya. Persis kata
Montesqueu tiga abad yang lalu.
Jika tulisan ini berpandangan, bahwa Pilpres yang akan diselenggarakan pada Juli (putaran pertama) dan September
2009 (putaran kedua) itu, menjadi terasa pemilu tanpa siapa siapa. Bukan berarti meremehkan capres yang sudah
ada, namun faktanya kepada calon yang telah siap itu tidak ada yang perlu dipertanyakan siapa-siapakah sebenarnya
mereka itu.
Megawati Soekarnopoetri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) , Amien Rais, Sultan Hamengkubuwono X, Prabowo
Subianto dan Wiranto serta nama yang lainnya itu, bukan figur baru, sekaligus tanpa visi baru, sehingga tidak ada
pertanyaan baru untuk mengetahui siapakah mereka itu.
Dikarenakan tanpa adanya siapa-siapa itu, penyelenggara pemilu, para kandidat, dan bahkan para ulama
mengkhawatirkan banyak warga yang tidak akan menggunakan hak pilihnya. Dalam bahasa lazim disebut golongan
putih (golput), sehingga kandidat capres, Megawati dan SBY seringkali menganjurkan agar warga Indonesia
menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.
Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa golput adalah haram. Tak urung fatwa ini
memunculkan kontroversial di berbagai forum dan media.
Balas Pantun

Ketiadaan siapa-siapa dalam Pilpres 2009, juga ditandai dengan para capres yang sibuk berbalas pantun politik atas
tema kampanye yang ditawarkan masing masing calon. Ketika SBY mengklaim turunnya harga BBM sampai tiga kali
itu merupakan prestasi dirinya sebagai presiden, yang kemudian menjadi tema kampanye Partai Demokrat.
PDIP tidak bisa menerima klaim itu, dengan alasan bahwa turunnya harga BBM sekadar mengikuti harga minyak
mentah dunia yang memang sedang turun, jadi bukan persoalan kebijakan pemerintahan SBY.
Saat Megawati berkampanye menurunkan harga sembako, giliran Jusuf Kalla, ketua umum Partai Golkar yang juga
wapres bereaksi agar para kadernya tidak memilih parpol yang mengampanyekan harga sembako turun, dengan
alasan hal itu akan merugikan para petani.

page 1 / 2

Universitas Muhammadiyah Malang
www.umm.ac.id

Materi bahasan yang mengikuti proses terselenggaranya pemilu menjadi terasa garing, sebab perbincangan yang
kemudian muncul hanya pada taraf bagaimana cara memberikan suara dalam pemilu kelak, dicontreng atau dicoblos?
Untuk pileg hanya gambar parpolnya atau gambar caleg, boleh salah satu atau dua-duanya yang mesti dicoblos atau
dicontreng? Bahkan isu terakhir, suara ketiga dalam parpol diberikan kepada perempuan, dengan catatanan suara
terbanyak pertama dan kedua jatuh pada calon berjenis kelamin laki laki.
Makna Pilpres

Pilpres 2009 menjadi tanpa makna karena didalamnya tak mengandung perubahan yang diharapkan warga Indonesia.
Siapapun yang kelak memenangi, tidak memberikan harapan yang berarti bagi kemajuan bangsa dan negara ini.
Pergantian presiden persoalan kemiskinan , pengangguran, pendidikan yang mahal, layanan yang tidak memadai,
sarana dan prasarana yang buruk akan tetap menjadi persoalan yang tak terselesaikan.
Jika Pemilu 2009 golput meningkat, itu bukan berarti warga Indonesia tidak mengindahkan keinginkan para capres
agar tidak golput , juga bukan berarti mengabaikan fatwa MUI yang mengharamkan golput haram, namun hal itu
merupakan kecerdasan warga untuk mengingatkan pada presiden terpilih kelak, agar tidak adigang adigung adiguna,
merasa menang dan diberi mandat oleh rakyat terus semaunya dalam menjalankan kekuasaan.
Hakikatnya, jika meinginkan warga memberikan suara dalam Pilpres maupun Pileg, akan lebih effektif dan berhasil
guna jika para kandidat itu memberikan harapan cerah bagi perubahan nasib bangsa. Kalau tidak mampu, jangan
salahkan jika golput meningkat. Bukannya rakyat tak peduli pada proses demokrasi dan nasib bangsa dan negara, tapi
fakta dan kenyataan : tidak ada siapa siapa dalam Pilpres 2009. Ketika siapa-siapa saja tidak ada, maka apa dan
bagaimana yang akan dilakukan itu, mustahil menjadi ada.
Sulardi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

page 2 / 2