BAB II PENDAHULUAN HARTA dan PERMASALAHANNYA

BAB II
PENDAHULUAN
HARTA dan PERMASALAHANNYA
A. Pengertian Harta
Harta atau mal jamaknya amwal, secara etimologis mempunyai beberapa arti yaitu
condong, cenderung, dan miring. Karena memang manusia condong dan cenderung untuk
memiliki harta. Ada juga mengartikan al-mal dengan sesuatu yang menyenangkan manusia dan
mereka menjaganya, baik dalam bentuk materi maupun manfaat. Ada juga yang mengartikan
dengan sesuatu yang dibutuhkan dan diperoleh manusia baik berupa benda tampak seperti emas,
perak, binatang, tumbuhan, maupun yang tidak tampak, yakni manfaat seperti kendaraan,
pakaian, dan tempat tinggal. Oleh karena itu,menurut etimologis,sesuatu yang tidak dikuasai
manusia tidak bisa dinamakan harta, seperti burung di udara, ikan di dalam air, pohon di hutan,
dan barang tambang yang ada di bumi.
Adapun pengertian harta secara terminologis, yaitu sesuatu yang diinginkan manusia
berdasarkan tabiatnya, baik manusia itu akan memberikannya atau menyimpannya. Sesuatu yang
tidak dapat disimpan tidak bisa disebut harta. Karena itu, menurut Hanafiah manfaat dan milik
tidak disebut harta. atau harta adalah sesuatu zat (‘ain), yang berharga bersifat materi yang
berputar di antara manusia. Menurut kompilasi hukum ekonomi syariah pasal 1 ayat (9) amwal
(harta) adalah benda yang dapat dimiliki, dikuasai, diusahakan, dan dialihkan, baik benda
berwujud maupun tidak berwujud, baik benda terdaftar maupun tidak terdaftar, baik benda yang
bergerak maupun tidak bergerak dan hak yang mempunyai nilai ekonomis. Pengertian harta

dalam kompilasi hukum ekonomi syariah lebih lengkap dan lebih luas.1
Adapun konsep harta yang berkembang di kalangan jumhur fuqaha mazhab Malikiyah,
syafi’iyah dan Hanabilah adalah: sesuatu yang naluri manusia cenderung kepadanya dan dapat
diserahterimakan dan orang lain terhalang mempergunakannya.
Pengertian diatas mengisyaratkan pandangan mereka bahwa harta tidak terbatas pada materi
melainkan juga manfaat.
Implikasi dari perbedaan konsep harta terlihat pada dua contoh berikut ini. Apabila
seseorang mengambil manfaat harta orang lain (Ghasab), menurut jumhur fuqaha’ pemilik harta
berhak menurut ganti rugi.karena menurut pandangan jumhur manfaat atau kegunaan barang
1 Mardani, Fiqh ekonomi Syariah, (Jakarta: kencana), 2012. Hlm.59-60.

merupakan unsure terpenting dari harta. Nilai harta sangat bergantung pada kualitas dan
kuantitas manfaatnya.
Dari beberapa pengertian yang disampaikan di atas dapat disimpulkan bahwa unsure
harta ada empat:
1. Bersifat materi (‘aniyah), atau mempunyai wujud nyata.
2. Dapat disimpan untuk dimiliki (qabilan lit-tamlik)
3. Dapat dimanfaatkan (qabilan lil-intifa’)
4. Uruf (adat atau kebiasaan) masyarakat memandangnya sebagai harta.2
B. Macam-macam Harta

Ulama membagi harta dilihat dari segi antara lain :
1. Dilihat dari aspek kebolehan memanfaatkannya oleh syara’, harta dibagi kepada
mutaqawwim dan ghairu mutaqawwim. Yang di maksud mutaqawwim yaitu sesuatu yang
boleh dimanfaatkannya menurut syara’. Adapun ghairu mutaqawwim yaitu sesuatu yang
tidak boleh dimanfaatkannya menurut ketentuan syara’, baik jenisnya, cara
memperolehnya, maupun cara penggunaanya, seperti babi dan khamar termasuk harta
ghairu mutaqawwim karena jenisnya. Sandal yang diperoleh dari hasil mencuri termasuk
ghairu mutaqawwim karena cara memperolehnya yang haram. Uang disumbangkan
untuk membangun tempat pelacuran, termasuk harta ghairu mutaqawwim karena
penggunaannya.
2. Dilihat dari segi jenisnya, harta dibagi menjadi harta manqul dan harta ghairu manqul.
Harta manqul yaitu harta yang dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain,
seperti emas, perak, perunggu, pakaian, kendaraan, dan lain-lain. adapun harta ghairu
manqul yaitu harta yang tidak dapat dipindahkan dan dibawa dari satu tempat ke tempat
lain, seperti tanah dan bangunan yang ada diatasnya.
3. Dilihat dari segi pemanfaatannya, harta dibagi kepada harta isti’mali dan istihlaki. Harta
isti’mali yaitu harta yang apabila digunakan atau dimanfaatkan benda itu tetap utuh,
sekalipun manfaatnya sudah banyak digunakan, seperti kebun, tempat tidur, rumah,
sepatu, dan lain sebagainya. Adapun harta istihlaki yaitu harta yang apabila
dimanfaatkan berakibat akan menghabiskan harta itu, seperti sabun, makanan, dan lain

sebagainya.
4. Dilihat dari segi ada atau tidak adanya harta sejenis di pasaran, harta dibagi kepada harta
mitsli dan qimi. Harta mitsli adalah harta yang ada jenisnya dipasaran, yaitu harta yang
ditimbang atau ditakar seperti gandum, beras, dan lain-lain. adapun harta qimi adalah
2 Ghufron A.Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 11-12.

harta yang tidak ada jenisnya tetapi pada setiap unitnya berbeda dalam kualitasnya,
seperti satuan pepohonan, logam mulia, dan alat-alat rumah tangga.
5. Dilihat dari status harta, harta dibagi kepada mamluk, mubah, dan

mahjur. Harta

mamluk adalah harta yang telah dimiliki, baik milik perorangan atau milik badan hukum
atau milik negara. Harta mubah adalah harta yang asalnya bukan milik seseorang seperti,
mata air, binatang buruang darat,laut, pohon-pohonan di hutan, dan buah-buahnya. Harta
semacam ini boleh dimanfaatkan oleh setiap orang, dengan syarat tidak merupakan
kelestarian alam. Adapun harta mahjur adalah harta yang ada larangan syara’ untuk
memilikinya, baik karena harta itu dijadikan harta wakaf maupun diperuntukkan untuk
kepentingan umum. Harta ini tidak dapat dijualbelikan, diwariskan, dihibahkan, atau
dipindahtangankan.

6. Harta dilihat dari segi boleh tidak, harta dikelompokkan kepada; mal qabil li al-qismah
(harta yang dapat dibagi) dan mal ghair qabil li al-qismah (harta yang tidak dapat
dibagi). mal qabil li al-qismah adalah harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian atau
kerusakan apabila harta itu dibagi-bagi dan manfaatnya tidak hilang, seperti beras
tepung, gandum, duku, anggur,dan lain sebagainya. Harta ini tidak rusak dan mafaatnya
tidak hilang. Adapun mal ghair qabil li al-qismah adalah harta yang menimbulkan suatu
kerugian atau kerusakan atau hilang manfaatnya, bila harta itu dibagi-bagi, misalnya
gelas, kursi, meja, mesin,dan lain sebagainya.
7. Dilihat dari segi berkembang atau tidaknya harta itu, baik hasilnya itu melalui upaya
manusia maupun dengan sendirinya berdasarkan ciptaan Allah, maka harta dibagi
kepada: harta ashl (pokok) dan harta al-samar (harta hasil). Harta ashl adalah harta yang
menghasilkan misalnya: rumah,tanah, pepohonan, dan susu kambing atau sapi.
8. Dilihat dari segi pemiliknya, harta dibagi kepada harta khas dan harta ‘am. Harta khas
adalah harta pribadi, tidak bersekutu dengan yang lain, tidak boleh diambil manfaatnya
tanpa disetujui pemiliknya. Adapun harta ‘am adalah harta milik umum (bersama) yang
boleh diambil mafaatnya, misalnya sungai, jalan raya, masjid, dan lain sebagainya. Harta
ini disebut dengan fasilitas umum.
9. Dilihat dari segi harta yang berbentuk benda dan harta yang berbentuk tanggungan, harta
dibagi kepada: harta ‘ain dan harta dayn. Harta ‘ain adalah harta yang berbentuk benda
seperti rumah,mobil, beras, dan lain sebagainya. Harta ‘ain terbagi menjadi dua, yaitu

harta ‘ain dzati qimah,yaitu benda yang memiliki bentuk yang dipandang sebagai harta
karena memiliki nilai. Harta ‘ain dzati qimah meliputi: benda yang dianggap harta dan

boleh diambil manfaatnya, benda yang dianggap harta dan tidak boleh diambil
manfaatnya, benda yang dianggap sebagai harta yang ada sebangsanya, benda yang
dianggap harta yang tidak ada atau sulit dicari seumpamanya, benda yang dianggap harta
yang berharga dan dapat dipindahkan (bergerak), benda yang dianggap harta yang
berharga dan tidak dapat dipindahkan (benda tidak bergerak). Adapun ‘ain ghair azati
qimah, yaitu benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta karena tidak memiliki
harga, misalnya sebiji beras.
C. Kedudukan Harta
Pandangan Islam mengenai harta dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah
milik Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan
amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya (QS al-Hadiid: 7).
Dalam sebuah Hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda:
”Seseorang pada Hari Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa
dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan dan untuk apa
dipergunakan, serta ilmunya untuk dipergunakan”.
Kedua, status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut:

1) Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah
karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada.
2) Harta sebagai perhiasan perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa
menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan (Al-Imran: 14). Sebagai perhiasan
hidup harta sering menyebabakan keangkuhan, kesombongan serta kebanggaan diri (AlAlaq: 6-7)
3) Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan dan
memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak (Al-Anfal: 28)
4) Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan
muamalah bagi antar sesama manusia, malaui zakat, infak, dan sedekah (At-Taubah: 41,
60: Al Imran: 133-134)

Ketiga, pemilikan narta dapat dilakukan melalui usaha atau mata pencarian yang halal
dan sesuai dengan aturan-Nya (Al-Baqarah: 267)
”Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yng bekerja. Barang siapa yang bekerja keras
mencari nafkah yang halal untuk keluarganya maka sama dengan mujahid di jalan Allah” (HR
Ahmad).
”Mencari rezeki adalah wajib setelah kewajiban yang lain” (HR Thabrani)
”Jika telah melakukan sholat shubuh janganlah kalian tidur, maka kalian tidak akan sempat
mencari rezeki” (HR Thabrani).
Keempat, dilarang mencari harta, berusaha atau bekerja yang melupakan mati (atTakatsur: 1-2), melupakan Zikrullah/mengingat Allah (al-Munafiqun: 9), melupakan sholat dan

zakat (an-Nuur: 37), dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang saja (al-Hasyr: 7).
Kelima, dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba, perjudian,
jual beli barang yang haram, mencuri, merampok, curang dalam takaran dan timbangan, dan
melalui suap menyuap (HR Imam Ahmad)
D. Fungsi Harta Dalam Islam
Fungsi harta sesuai ketentuan syariat Islam adalah sebagai berikut :
1. Kesempurnaan ibadah mahdhah, karena ibadah memerlukan sarana, seperti kain dan
mukena untuk menutup aurat.
2. Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, karena
kefakiran dapat membawa kepada kekufuran.
3. Meneruskan estafet kehidupan, karena Allah melarang meninggalkan generasi penerus
yang lemah dalam bidang ekonomi. (QS. An-Nisa/4:9)
4. Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat.
5. Bekal mencari dan mengembangkan ilmu.
6. Keharmonisan hidup bernegara dan bermasyarakat, sehingga orang kaya dapat
memberikan pekerjaan kepada orang miskin.
Sebenarnya bisa saja diperluas fungsi harta, akan tetapi tidak boleh dalam
penggunaannya bertentangan dengan syariat Islam, karena harta itu akan dipertanggungjawabkan
kepada Allah di akhirat kelak.3


3 Mardani, Fiqh Ekonomi Syari’ah, (Jakarta : Kencana, 2012), hlm. 61-65.