Peningkatan kualitas tanah sawah dan air buangan di saluran drainase pada tanah sulfat masam

PENINGKATAN KUALITAS TANAH SAWAH DAN
AIR BUANGAN DI SALURAN DRAINASE
PADA TANAH SULFAT MASAM

KHAIRIL ANWAR

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

2

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Peningkatan Kualitas Tanah
Sawah dan Air Buangan di Saluran Drainase pada Tanah Sulfat Masam” adalah
karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun.

Sumber infor masi yang berasal atau dikutip dari karya yang


diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Mei 2006

Khairil Anwar
NRP.A226010031

3

ABSTRAK
KHAIRIL ANWAR. Peningkatan Kualitas Tanah Sawah dan Air Buangan di
Saluran Drainase pada Tanah Sulfat Masam. (Dibimbing oleh Supiandi Sabiham
sebagai ketua; dan Basuki Sumawinata, Asep Sapei, dan Trip Alihamsyah
sebagai anggo ta).
Oksidasi pirit pada tanah sulfat masam menurunkan kualitas tanah dan air
buangan dari sawah. Peningkatan kualitas tanah pada pertanaman padi dapat
dilakukan dengan pemberian bahan organik disertai dengan pengaturan air agar
selalu dalam keadaan reduktif. Perbaikan kualitas air petakan dilakukan dengan

pemberian air berkualitas baik (pH = 5,0) melalui pemanfaatan pasang besar
dimusim kemarau dan air hujan pada musim hujan, sedangkan untuk
memperbaiki kualitas air buangan dikembangkan sebuah sistem saluran
drainase.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui: (1) kemampuan kompos jerami padi
dalam meningkatkan kualitas tanah dan produksi padi; dan (2) kemampuan
biofilter dalam memperbaiki kualitas air buangan di saluran drainase; serta (3)
periode waktu drainase air petakan sawah yang tepat.
Penelitian dilakukan pada tanah sulfat masam (Typic Sulfaquept), terluapi
pasang besar (tipe B), di Kebun Percobaan Belandean, Balai Penelitian
Pertanian Lahan Rawa (BALITTRA), Kalimantan Selatan, pada musim kemarau
2003 dan musim hujan 2003/2004. Perlakuan untuk peningkatan kualitas tanah
berupa takaran pemberian kompos jerami padi, sedangkan perlakuan untuk
peningkatan kualitas air buangan berupa biofilter purun tikus (Eleocharis dulcis ),
bulubabi (Eleocharis retroflaxa), dan kombinasinya dengan batu kapur kalsit atau
zeolit. Media filter tersebut ditempatkan pada saluran drainase.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kompos jerami mampu
memperbaiki kualitas tanah pada fase vegetatif, berupa peningkatan pH dan
bahan organik tanah serta penurunan Al-dd. pH tanah pada fase tersebut
merupakan indikator produksi padi pada musim kemarau dan hujan. Pemberian

kompos jerami sebesar 2,7 t/ha (setara berat kering) mampu meningkatkan hasil
gabah sebesar 48% pada musim kemarau dan 132% pada musim hujan.
Kualitas air buangan sangat ditentukan oleh kualitas air petakan sawah yang
akan dibuang. Kualitas air buangan dapat ditingkatkan setelah dialirkan melalui
biofilter purun tikus dan bulubabi seluas 6,25% dari luas tanam padi, dilanjutkan
melalui batu kapur kalsit (diameter 0,5-1,0 cm) seberat 78,125 kg/ha.
Sifat kimia tanah pada fase vegetatif sangat menentukan produksi padi,
karena itu air petak sawah pada pertanaman musim hujan perlu dibuang secara
intensif pada fase tersebut.

4

ABSTRACT
KHAIRIL ANWAR. Quality Improvement of Paddy Soil and Discharged Water in
Drainage Channel at Acid Sulphate Soil. (Under academic advisory of Supiandi
Sabiham as chairman, and Basuki Sumawinata, Asep Sapei, and Trip
Alihamsyah as members of advisory committee).
Oxidation of pyrite in acid sulphate soil reduced the quality of soil and
discharged water from paddy field. Improvement of soil quality in paddy
cultivation could be managed by addition of organic matter together with

regulating water to maintain its reductive condition. Water quality improvement
in the paddy field was conducted by addition of good quality water (pH= 5,0)
through utilization of high tide water in dry season and rain water during rainy
season while for improvement of discharged water, a system of drainage channel
was developed.
The objective of this research was to obtain information on: (1) the ability of
rice straw compost in improving soil quality and rice production; (2) the ability of
biofilter in improving the quality of discharged water in drainage channel; and (3)
the appropriate period for water drainage in rice field plot.
The research was conducted in acid sulphate soil (Typic Sulfaquept), with
flooding during high tide (B type) at experimental field Belandean, Research
Institute for Swamp Land Agriculture (BALITTRA), South Kalimantan, during dry
season of 2003 and rainy season of 2003/2004. Treatment for improving soil
quality was in the form of the rate of application of rice straw compost whereas
treatment for improving discharged water quality was in the form of biofilters
using purun tikus (Eleocharis dulcis), bulubabi (Eleocharis retroflaxa), and their
combination with calcite limestone and zeolite. Those media filters were placed
in drainage channel.
Research results indicated that the application of rice straw compost was
capable of improving soil quality during vegetative phase substantiated by

increasing soil pH and organic matter content, and decreasing exchangeable Al.
Soil pH in that phase constituted an indicator of rice production during dry and
rainy seasons. Application of rice straw compost as much as 2.7 t/ha (dry
weight equivalent) was capable of increasing the yield of rice by 48% in dry
season and 132% in rainy season.
Quality of discharged water was determined mostly by quality of water in the
plot of paddy field which would be discharged. Quality of discharged water could
be improved after being flowed through biofilter of purun tikus and bulubabi as
wide as 6.25% of the rice planting area and continued by flowing through calcite
limestone (diameter 0.5 -1.0 cm) of as much as 78.125 kg/ha.
Soil chemical properties during vegetative phase highly affected rice
production. Therefore water in experimental plot of paddy field during rainy
season should be discharged intensively during that phase.

5

ABSTRACT
KHAIRIL ANWAR. Quality Improvement of Paddy Soil and Drained Water at
Acid Sulphate Soil. (Under academic advisory of Supiandi Sabiham as chairman,
and Basuki Sumawinata, Asep Sapei, and Trip Alihamsyah as members of

advisory committee).
Oxidation of pyrite in acid sulphate soil reduced the quality of soil and
drained water from paddy field. Improvement of soil quality in paddy cultivation
could be managed by addition of organic matter together with regulating of water
to maintain its reductive condition. Water quality improvement in the paddy field
was conducted by addition of good quality water (pH= 5,0) through utilization of
high tide water in dry season and rain water during rainy season while for
improvement of drained water, a system of drainage canal was developed.
The objective of this research was to obtain information on: (1) the ability of
rice straw compost in improving soil quality and rice production; (2) the ability of
biofilter in improving the quality of drained water, and (3) the appropriate period
for drained water in rice field plot.
This research was conducted in acid sulphate soil (Typic Sulfaquept), with
flooding during high tide (B type) at experimental field Belandean, Research
Institute fo r Swamp Land Agriculture (BALITTRA), South Kalimantan, during dry
season of 2003 and rainy season of 2003/2004. Treatment for improving soil
quality was in the form of the rate of application of rice straw compost whereas
treatment for improving drained water quality was in the form of biofilters using
purun tikus (Eleocharis dulcis), bulubabi (Eleocharis retroflaxa), and their
combination with calcite limestone and zeolite. Those media filters were placed

in drainage canal.
Research results indicated that the application of rice straw compost was
capable of improving soil quality during vegetative phase substantiated by
increasing soil pH and organic matter content, and decreasing exchangeable Al.
Soil pH in that phase constituted an indicator of rice production during dry and
rainy seasons. Application of rice straw compost as much as 2.7 t/ha (dry
weight equivalent) was capable of increasing the yield of rice by 48% in dry
season and 132% in rainy season.
Quality of drained water was determined mostly by quality of water in the
plot of paddy field, which would be drained. Quality of drained water could be
improved after being flowed through biofilter of purun tikus and bulubabi as wide
as 6.25% of the rice planting area and continued by flowing through calcite
limestone (diameter 0.5 -1.0 cm) of as much as 78.125 kg/ha.
Soil chemical properties during vegetative phase highly affected rice
production. Therefore, water in experimental plot of paddy field during rainy
season should be drained intensively during that phase.

6

PENINGKATAN KUALITAS TANAH SAWAH DAN

AIR BUANGAN DI SALURAN DRAINASE
PADA TANAH SULFAT MASAM

KHAIRIL ANWAR

Disertasi
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Doktor pa da
Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

7

Judul Disertasi : Peningkatan Kualitas Tanah Sawah dan Air Buangan
di Saluran Drainase pada Tanah Sulfat Masam
Nama


: Khairil Anwar

NRP

: A226010031

Program Studi : Ilmu Tanah

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Basuki Sumawinata, M.Agr.
Anggota

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr.
Ketua

Prof.Dr. Ir. Asep Sapei, M.S.
Anggota


Dr.Ir. Trip Alihamsyah, M.Sc.
Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Tanah

Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Dr, Ir. Komaruddin Idris, M.S.

Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MSc.

Tanggal Ujian: 5 Mei 2006

Tanggal Lulus :

8

PRAKATA

Penelitian yang berjudul “Peningkatan Kualitas Tanah Sawah dan Air
Buangan di Saluran Drainase pada Tanah Sulfat Masam” dipersiapkan dan
dilaksanakan di KP. Belandean, dan Laboratorium tanah, air dan tanaman Balai
Penelitian Pertani an Lahan Rawa (Balittra), Banjarbaru, Kalimantan Selatan,
sejak Maret 2003 hingga April 2004.
Pada

kesempatan

ini,

dengan

segala

ketulusan

hati,

penulis

mengucapkan terima kasih atas segala bimbingan, nasehat, dorongan dan
fasilitas, kepada Bapak Prof. Dr. Supiandi Sabiham, M.Agr. selaku Ketua Komisi
Pembimbing; dan Bapak Dr. Ir. Basuki Sumawinata, M.Agr.; Bapak Prof. Dr. Ir.
Asep Sapei, M.S; dan Bapak Dr. Ir. Trip Alihamsyah M.Sc. sebagai anggota
komisi pembimbing.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Achmadi
Jumberi M.S. dan kepala Balittra (Dr. Ir. Trip Alihamsyah M.Sc.) yang telah
memberikan fasilitas penelitian, saran-saran dan dorongan dalam penelitian dan
penyelesaian disertasi ini.

Kepada staf laboratorium tanah dan staf KP.

Belandean, yang telah membantu penelitian di lapangan dan laboratorium
diucapkan terima kasih. Kepada teman-teman peneliti Balittra dan rekan-rekan
mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Tanah IPB yang senantiasa
memberi

bantuan dan doa, serta dorongan dalam penyelesaian disertasi

diucapkan terima kasih.
Kepada orang tua yang selalu mendoakan, dan ibu mertua, saudara ipar
dan keluarga besar isteri yang membantu tenaga dan materi kepada anak dan
isteri penulis yang ditinggalkan di Banjarmasin, diucapkan banyak terima kasih.
Mudah-mudahan semua amal baik yang telah diberikan kepada penulis
tersebut mendapat balasan dari Allah SWT. Semoga hasil penelitian ini dapat
dijadikan informasi dan bermanfaat bagi peningkatan produktivitas tanah sulfat
masam.

Bogor, Mei 2006

Khairil Anwar

9

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Negara, sebuah kota kecil yang berdiri diatas lahan
rawa lebak, di Kalimantan Selatan, pada 4 Juni 1960 sebagai anak ketiga dari
enam bersaudara dari Ibu Bastiah (alm.) dan ayah Mursid.
Pendidikan sarjana pertanian bidang keahlian ilmu tanah ditempuh di Institut
Pertanian Bogor (IPB), dan lulus pada tahun 1983. Pada tahun 1986 mendapat
kesempatan sekolah S2 di Universitas Padjadjaran Bandung dengan bidang
kajian utama kesuburan tanah dan gizi tanaman, lulus tahun 1989.
Penulis adalah Peneliti Madya bidang peningkatan produktivitas lahan pada
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) yang berkedudukan di
Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Ia bekerja di Balai tersebut sejak Januari 1984.
Kegiatan berkaitan dengan keilmuan yang telah dilakukan, antara lain sebagai
kepala Laboratorium

tanah, air dan tanaman (1984-1986 dan 1995-2001),

melakukan penelitian pemupukan dan tata air, serta penelitian pengembangan
teknologi tata air skala hamparan tersier untuk tanaman pangan di lahan sulfat
masam, sebagai asisten surveyor pada survei lahan rawa Delta Pulau Petak
(kerjasama Belanda-Indonesia) dan survei
Kalimantan Selatan.

lahan kering di Pulau Laut,

Dalam periode tahun 1994-2005 telah melakukan survei

kesesuaian lahan rawa pasang surut, rawa lebak dan lahan kering untuk
Rencana Tata Ruang Satuan Pemukiman (RTSP) Transmigrasi Kalimantan
Selatan sebanyak 28 lokasi UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi).
Pada tahun 2001 ia ditugaskan oleh Badan Litbang Pertanian dengan biaya
PAATP untuk mengikuti Program Doktor di IPB, mengambil bidang kajian ilmu
tanah.

Penelitian pada

S1,

S2 dan

S3 semuanya mengenai tanah sulfat

masam.
Penulis menikah dengan Ir. Trisnawati pada tahun 1989 dan dikaruniai dua
orang puteri, yaitu Khairina Nadya dan Andini Rezeki.

10

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................

x

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiii
PENDAHULUAN ..............................................................................................
Latar belakang............................................................................................
Tujuan Penelitian ......................................................................................
Manfaat Penelitian ....................................................................................
Hipotesis.....................................................................................................

1
1
3
3
3

TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................
Tanah sulfat masam...................................................................................
Proses Kimia Tanah Sulfat Masam pada Suasana Oksidasi Reduksi ....
Dampak Oksidasi – Reduksi pada Tanah Sulfat Masam. ........................
Upaya Penanggulangan Dampak Oksidasi Pirit .......................................
Peranan Bahan Organik sebagai Bahan Ameliorasi Tanah ....................
Khemofilter .................................................................................................
Biofilter........................................................................................................

5
5
6
12
15
17
19
21

KARAKTERISTIK LOKASI PENELITIAN .......................................................
Rasional ....................................................................................................
Bahan dan Metode.....................................................................................
Hasil dan Pembahasan..............................................................................

23
23
23
24

KEMAMPUAN BIOFILTER TERHADAP AKUMULASI Fe DAN S, DAN
KHEMOFILTER TERHADAP PENINGKATAN pH AIR...................................
Rasional ....................................................................................................
Bahan dan Metode ....................................................................................
Hasil dan Pembahasan .............................................................................

33
33
34
35

PENGARUH KOMPOS JERAMI TERHADAP KUALITAS TANAH,
KELARUTAN Fe 2+ , SO 42-, DAN PRODUKSI PADI ........................................
Rasional ....................................................................................................
Bahan dan Metode ....................................................................................
Hasil dan Pembahasan .............................................................................

44
44
45
48

PERBAIKAN KUALITAS AIR BUANGAN DARI PETAKAN SAWAH YANG
DIALIRKAN MELALUI BIOFILTER..................................................................
Rasional ....................................................................................................
Bahan dan Metode ....................................................................................
Hasil dan Pembahasan .............................................................................

75
75
75
77

PEMBAHASAN UMUM ................................................................................... 87
KESIMPULAN DAN SARAN............................................................................ 93
Kesimpulan ................................................................................................. 93
Saran . .................................................................................................. …... .94
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 96

11

DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kisaran pH air saat pasang besar pada musim kemarau 2003 dan
musim hujan 2003/2004 ……………………………………………………...
2. Curah hujan selama masa tanam musim kemarau 2003 dan musim
hujan 2003/2004 ……………………………………………………………….

28

32

3. Kandungan Fe dan S gulma rawa yang tumbuh pada saluran tersier
(kondisi tergenang) di KP Belandean, pada MK 2003 .............................. 36
4. Kandungan Fe dan S gulma rawa yang tumbuh pada kondisi
kering di KP Belandean, dan yang tumbuh pada lingkungan kurang
masam (pH>4,0) pada MK 2003 ………………........................................... 37
5. Kandungan Fe batang purun tikus yang tumbuh pada saluran
tersier dengan drainase lancar pada dua kondisi pembersihan …………… 38
6. Debit, pH dan volume jenuh air terfilter melalui media filter ………..…….. 42
7. Pengaruh pemberian kompos jerami terhadap pertumbuhan, komponen
hasil dan hasil padi musim kemarau 2003 .....…………………………….

62

8. Pengaruh pemberian kompos jerami terhadap pertumbuhan, komponen
hasil dan hasil padi musim hujan 2003/2004...…………………………….

74

9. pH air buangan setelah melalui media filter ………………………………… 78
10. Kandungan Fe 2+ air buangan setelah melalui media filter ………………

80

11. Perubahan berat dan kandungan Fe biofilter awal tanam dan saat panen
pada musim hujan 2003/2004 ..…………………………………………….. 81
12. Kandungan SO42- air buangan setelah melalui media filter .……………..

84

13. Perubahan berat dan kandungan S biofilter awal tanam dan saat panen
pada musim hujan 2003/2004 …….………………………………………..

85

12

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Dinamika kedalaman air saluran tersier pada saat pasang besar
pada MK 2003 dan MH 2003/2004 ...........................................................…27
2. Fluktuasi kualitas air pasang besar di saluran sekunder lokasi penelitian
selama 24 jam pada 12 Desember 2003 ……..……………………….......... 30
3. Akumulasi karat Fe pada purun tikus, bulubabi, teratai, dan ganggang
di saluran tersier dengan drainase terhambat dan berlangsung lama,
pada musim hujan 2004………………………………………………………

39

4. Hubungan pH air terfilter dengan ukuran butir khemofilter …………………. 40
5. Hubungan debit air terfilter dengan ukuran butir khemofilter …………….. ..41
6. pH tanah dengan berbagai takaran kompos jerami dan waktu
pengukuran pada musim kemarau 2003 ……….…………………………….. 48
7. Al-dd tanah dengan berbagai takaran kompos jerami dan waktu
pengukuran pada musim kemarau 2003 ……………..……………………… 51
8. Bahan organik tanah (BOT) dengan berbagai takaran kompos jerami
dan waktu pengukuran pada pertanaman musim kemarau 2003 …….……. 54
9. Fe 2+-larut pada tanah dengan berbagai takaran kompos jerami dan
waktu pengukuran pada musim kemarau 2003 ……………………………… 56
10. SO42- -larut pada tanah dengan berbagai takaran kompos jerami dan
waktu pengukuran pada musim kemarau 2003 .…………………………….. 58
11. Penampilan produksi padi pada penelitian musim kemarau 2003………… 63
12. pH tanah dengan berbagai takaran kompos jerami dan waktu
pengukuran pada musim hujan 2003/2004 ………………………………… 64
13. Al-dd pada tanah dengan berbagai takaran kompos jerami dan waktu
pengukuran pada musim hujan 2003/2004 ………….……………………… 66
14. Bahan organik tanah (BOT) dengan berbagai takaran kompos jerami
dan waktu pengukuran pada musim hujan 2003/2004 ……………………. 67
15. Fe 2+-larut pada tanah dengan berbagai takaran kompos jerami dan
waktu pengukuran pada pertanaman musim hujan 2003/2004 …………… 68
16. SO42- -larut pada tanah dengan berbagai takaran kompos jerami dan
waktu penguku ran pada musim hujan 2003/2004 ………………………… 70

13

Halaman
17. Penampilan tanaman padi dengan berbagai takaran kompos jerami
pada minggu ke 3 pertanaman musim hujan 2003/2004 …………………

72

18. Purun tikus dan bulubabi di saluran drainase pada musim hujan,
serta arah aliran air …………………………………………………………….

86

14

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Nilai sifat kimia-fisik tanah lokasi penelitian ………………………………… 103
2. Cara pembuatan dan hasil analisis jerami, pupuk kandang dan kompos

103

3. Teknik sampling tanah dalam satu petak perlakuan..……………………… 104
4. Pengaruh pemberian kompos jerami terhadap pH tanah pada
Pertanaman padi musim kemarau 2003. ………………………………….. 105
5. Pengaruh pemberian kompos jerami terhadap Al-dd tanah pada
pertanaman padi musim kemarau 2003 …………………………………… 105
6. Pengaruh pemberian kompos jerami terhadap bahan organik tanah
pada pertanaman padi musim kemarau 2003……………………………… 105
7. Pengaruh pemberian kompos jerami terhadap Fe 2+-larut tanah pada
pertanaman padi musim kemarau 2003 …………………………………… 106
8. Pengaruh pemberian kompos jerami terhadap SO42- -larut tanah pada
pertanaman padi musim kemarau 2003 ……………………………….…

106

9. Pengaruh pemberian kompos jerami terhadap pH tanah pada
pertanaman padi musim hujan 2003/2004 …………………………….…

106

10. Pengaruh pemberian kompos jerami terhadap Al-dd tanah pada
pertanaman padi musim hujan 2003/2004 ………………………………..

107

11. Pengaruh pemberian kompos jerami terhadap bahan organik tanah
pada musim hujan 2003/2004 ……………….. …………………………..

107

12. Pengaruh pemberian kompos jerami terhadap Fe 2+-larut tanah pada
pertanaman padi musim hujan 2003/2004 ………….…. ………………

107

13. Pengaruh pemberian kompos jerami terhadap SO42--larut tanah
pada pertanaman padi musim hujan 2003/2004 …………………. ……

108

14. Skor keracunan Fe pada padi ……………………………………… ……

109

15. Nilai K-larut pada tanah dengan beberapa takaran pemberian kompos
jerami pada pertanaman padi musim hujan 2003/2004 ……………….

109

16. Rata-rata kualitas air petakan pada berbagai takaran kompos jerami
pada pertanaman padi musim hujan 2003/2004………………………….. 109
17. Tata letak perlakuan pada penelitian perbaikan kualitas air buangan dari
petakan sawah yang dialirkan melalui biofilter …………………………… 110
18. Teknik filter air buangan pada satu unit petak perlakuan ………………… 111

15

Halaman

19. Rata-rata tinggi muka air petakan dan kecepatan penurunanya melalui
media filter …………………………………………………….……………

112

20. Rata-rata besar penurunan muka air petakan untuk mencapai titik
jenuh media filter pada perlakuan pewakil (2,7 t/ha) ……………………

112

21. Kandungan Fe dan S pada akar dan batang bulubabi ………………….

112

16

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tanah yang mengandung mineral pirit (FeS2) banyak dijumpai pada rawa
pasang surut, dan sering disebut sebagai tanah sulfat masam.

Nugroho et al.

(1992) memperkirakan terdapat sekitar 6,7 juta hektar di seluruh Indonesia.
Adanya oksidasi pirit pada tanah tersebut akan menghasilkan H+ dan SO4 2-,
akibatnya kelarutan ion Al, Fe, dan Mn meningkat sehingga dapat mendesak
kation-kation basa dari kompleks jerapan tanah (Dent 1986).

Hasil penelitian

skala laboratorium dan lapangan menunjukkan bahwa adanya pencucian pada
tanah tersebut akan melarutkan sejumlah ion toksik seperti H + dan Al3+, dan ionion yang diperlukan tanaman seperti Ca 2+ , Mg 2+, dan K + (Anwar et al. 1994 dan
Murtilaksono et al. 2001).

Meningkatnya

ion toksik tersebut pada badan

perairan dapat menyebabkan terjadinya pergeseran dominasi dan penurunan
biota perairan, dapat membunuh dan menimbulkan penyakit bintik merah pada
ikan (Callinan et al. 1993 dan Willet et al. 1993). Kondisi ini menunjukkan bahwa
oksidasi pirit menyebabkan terjadinya penurunan kualitas tanah dan air buangan
sehingga pertumbuhan tanaman terhambat dan produksi rendah,

serta

mengganggu kehidupan biota perairan.
Berbagai upaya perbai kan telah dilakukan, antara lain dengan pemberian
kapur, pencucian, dan penggunaan varietas adaptif, akan tetapi kurang berhasil
dengan baik. Umumnya belum memperbaiki kualitas air buangan yang keluar
dari petak sawah, sehingga hanya akan memunculkan masalah baru berupa
penurunan kualitas air drainase , karena itu perlu dicari alternatif upaya perbaikan
yang bersifat holistik (terpadu) sehingga lahan tetap produktif, kualitas tanah dan
perairan tetap dapat dipertahankan, minimal diperlambat penurunan kualitasnya.

17

Upaya tersebut harus memanfaatkan segala potensi in situ (setempat) agar
petani dapat melaksanakannya. Salah satu alternatif pemecahan masalah diatas
adalah dengan menanam padi varietas adaptif disertai dengan pengaturan air
agar selalu tergenang dengan memberi pasokan air berkualitas baik, serta
melakukan filterisasi air buangan dari petak sawah dengan biofilter setempat.
Hasil jerami padi dikembalikan ke tanah untuk memperbaiki kualitas tanah.
Pemberian jerami padi (kompos) pada penanaman padi disertai pengaturan
air agar selalu tergenang dapat memicu terjadinya proses reduksi Fe. Menurut
Dent (1986), adanya reduksi Fe pada tanah tersebut dapat meningkatkan pH
tanah. Peningkatan pH tersebut dapat meningkatkan produksi padi (Moore dan
Patrick 1993). Selain itu, pemberian jerami padi dapat meningkatkan kandungan
bahan organik tanah, hal ini berarti akan memperlambat proses penurunan
kualitas tanah (Ponnamperuma 1984). Pendekatan tersebut didukung oleh hasil
penelitian Rachim et al. (2000) dan Yuliana (1998).
Pengembalian jerami padi ke tanah asalnya secara tidak langsung turut
serta menciptakan pertanian organik.

Menurut Oh (1984), sebaiknya jerami

diberikan dalam bentuk kompos. Pemberian jerami dalam bentuk kompos (C/N
rendah) dapat mengurangi efek reduksinya, karena itu kompos yang diberi kan
merupakan kompos setengah matang.
Agar air buangan mempunyai kualitas yang baik maka perlu dilakukan
filterisasi dengan biofilter setempat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa purun
tikus/kudung (Eleocharis dulcis) mampu mengakumulasi Fe dan S dalam jumlah
cukup besar (Mulyanto et al. 1999), dan dapat dijadikan tanaman perangkap
untuk hama penggerek batang putih (Asikin dan Thamrin 2001). Selain biofilter,
ada beberapa khemofilter sudah dikenal dapat memperbaiki kualitas air, yaitu
arang, arang aktif, zeolit dan kapur (Pari 1996 dan 2002; Ming dan Mumpton
1989). Khemofilter tersebut perlu diuji pada air yang sangat masam.

18

Dari uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian

mengenai: (1)

kemampuan kompos jerami dalam meningkatkan kualitas tanah dan hasil padi
pada musim kemarau maupun musim hujan; (2) kemampuan biofilter dalam
memperbaiki kualitas air buangan; dan (3) waktu yang tepat melakukan drainase
air petakan sawah sesuai dinamika sifat kimia tanah.
Penelitian diatas dibagi menjadi beberapa topik, yaitu (1) karakteristik lokasi
penelitian; (2) kemampuan biofilter terhadap akumulasi Fe dan S, serta
khemofilter terhadap peningkatan pH air; (3) pengaruh kompos jerami terhadap
kualitas tanah, kelarutan Fe2+ dan SO4 2-, serta produksi padi; dan (4) perbaikan
kualitas air buangan dari petakan sawah yang dialirkan melalui biofilter.

Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk mendapatkan: (1) takaran kompos jerami yang
mampu memperbaiki kualitas tanah dan meningkatkan produksi padi, (2) media
filter yang mampu meningkatkan kualitas air buangan di saluran drainase, dan
(3) untuk mengetahui periode waktu drainase air petakan yang tepat sesuai
dinamika kimia tanah dan air, dan hubungannya dengan produksi padi.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat sebagai sumber informasi bagi pengelolaan
sawah pada tanah sulfat masam tipe luapan B secara holistik,

berdasarkan

potensi dan masalah utama pada tanah, air dan tanaman.

Hipotesis
1. Pemberian kompos jerami mampu memperbaiki kualitas tanah dan meningkatkan produksi padi .

19

2. Biofilter mampu meningkatkan kualitas air buangan di saluran drainase.
3. Fase vegetatif merupakan periode waktu yang tepat melakukan drainase
intensif air petakan.

20

TINJAUAN PUSTAKA
Tanah Sulfat Masam
Tanah sulfat masam di dunia terdapat sekitar 24 juta ha (Bosh et al. 1998),
sedangkan yang masih tertutup lapisan gambut terdapat sekitar 20 juta ha
(Breemen 1980), yang tersebar di beberapa negara. Terdapat 1,6 juta ha di
delta Mekong Vietnam (Sterk 1993), 1,6 juta ha di Thailand (Cho et al. 2002); 6,6
juta ha di Afrika (Khouma dan Toure 1982), 200.000 ha diantaranya di Afrika
Barat (Agyem-Sampong et al. 1988). Di Cina diperkirakan terdapat 67 ribu ha
(Qifan 1981), sedangkan di Australia sekitar 40.000 km2 (Hick et al. 2002). Di
Indonesia, tanah yang berpirit tersebut ada sekitar 6,7 juta ha (Nugroho et al.
1992), yang tersebar di dataran pantai Sumatera, Kalimantan, Irian Barat,
Sulawesi,

dan sedikit di pulau-pulau lainnya. Sebagian tanah tersebut telah

dibuka untuk usaha pertanian, baik oleh petani lokal maupun untuk program
transmigrasi.

Sebagian besar tanah tersebut diusahakan untuk tanaman

pangan, terutama tanaman padi dengan hasil yang bervariasi. Proses
pembentukan tanah sulfat masam atau pirit tersebut telah banyak diuraikan,
antara lain oleh Dent (1986), Wada dan Seisuwan (1988).
Tanah tersebut pada kondisi aktual bervariasi baik antar tempat maupun
kedalaman, tergantung proses pembentukan tanah yang terjadi. Tanah-tanah
sulfat masam dicirikan oleh adanya lapisan sulfidik atau horison sulfurik.
Menurut Soil Survey Staff (1998), bahan sulfidik merupakan bahan yang
mengandung senyawa belerang dan dapat teroksidasi. Bahan tersebut dapat
berupa bahan tanah mineral atau bahan tanah organik yang mempunyai nilai pH
> 3,5, dan apabila suatu lapisan setebal 1 cm diinkubasi dalam kondisi aerobik
dan lembab (pada kapasitas lapang) pada suhu kamar, selama 8 minggu,
menunjukkan suatu penurunan pH ≥ 0,5 unit sampai mencapai nilai pH ≤ 4,0

21

(diukur dalam rasio air dan tanah 1:1, atau menggunakan jumlah air lebih sedikit
yang memungkinkan pengukuran), sedangkan horison sulfurik merupakan
horison yang mempunyai ketebalan ≥ 15 cm, dan tersusun dari bahan mineral
atau bahan tanah organik, yang mempunyai nilai pH ≤ 3,5, serta menunjukkan
tanda-tanda bahwa rendahnya nilai pH disebabkan oleh asam sulfat, yaitu
dengan menunjukkan salah satu/lebih ciri berikut: (1) konsentrasi jarosit, (2)
secara langsung berada diatas bahan sulfidik, dan atau (3) mengandung sulfat
larut air ≥ 0,05 %.
Tanah-tanah sulfat masam yang telah mengalami oksidasi disebut juga
sebagai tanah sulfat masam aktual, sedangkan yang belum mengalami oksidasi
disebut tanah sulfat masam potensial. Pada klasifikasi tanah PPT-P3MT tanah
berpirit tersebut dimasukan kedalam macam tanah Gleisol Tionik atau Aluvial
Tionik (Suhardjo et al. 1983). Menurut klasifikasi FAO-UNESCO (1985), tanah
berpirit tersebut dimasukan kedalam Thionic Fluvisol. Tanah berpirit tersebut
sering juga disebut dengan cat clay, mud clay atau pyritic soil .

Proses Kimia Tanah Sulfat Masam pada Suasana Oksidasi-Reduksi

Tanah sulfat masam umumnya berada pada lahan rawa. Pada lahan rawa
pasang suru t, secara alamiah terjadi perbedaan topograpi lahan dari daerah
pantai ke hulu sungai. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan jangkauan air
pasang pada suatu kawasan sehingga memunculkan perbedaan tipe luapan.
Adanya variasi luapan dan perbedaan curah hujan menyebabkan perbedaan
ketinggian muka air tanah antara musim kemarau dan hujan.

Hal ini dapat

menyebabkan terjadinya suasana oksidasi-reduksi atau oksidasi/reduksi saja,
pada suatu lahan dengan
lahan masing-masing.

tingkat yang bervariasi sesuai dengan karakteristik
Konsekuensinya terjadi proses-proses kimia yang

22

berbeda antara kedua suasana tersebut.

Untuk mempercepat peningkatan

kualitas lahan maka proses-proses tersebut penting dipelajari.

Proses pada Kondisi Oksidasi
Lahan berada dalam kondisi tanpa genangan sering dijumpai pada saat air
laut/sungai

surut pada musim kemarau atau pada lahan-lahan yang sumber

utama airnya berasal dari curah hujan. Kondisi tersebut dapat menyebabkan
terjadinya proses-proses oksidasi terhadap unsur/senyawa yang berada dalam
tanah. Diantara proses oksidasi yang sangat penting pada tanah tersebut adalah
oksidasi pirit.
Proses oksidasi pirit telah banyak diuraikan, antara lain oleh Dent (1986),
Alloway dan Ayres (1997). Mereka mengemukakan bahwa proses oksidasi pirit
pada tanah sulfat masam terjadi dalam beberapa tahap dan melibatkan proses
kimia serta biokimia. Mula-mula oksigen terlarut dalam air tanah bereaksi lambat
dengan pirit, menghasilkan besi fero (Fe2+) dan sulfat atau unsur belerang.
Reaksi tersebut adalah sebagai berikut :

FeS 2 + ½ O2 + 2 H +

Fe2+ + 2 S + H2 O

Oksidasi belerang oleh oksigen terjadi sangat lambat, tetapi dengan bantuan
bakteri autotrop yang berperan sebagai katalisator proses berjalan lebih cepat,
dengan reaksi sebagai berikut:

S + 3/2 O2 + H2O

SO4 2- + 2 H +

Kemasaman yang ditimbulkan ditambahkan dengan kemasaman yang
terjadi oleh adanya oksidasi besi monosulfat amorf mengakibatkan tanah menjadi

23

masam. Jika pH tanah menjadi lebih rendah dari 4, Fe 3+ larut dan mengoksidasi
pirit dengan kecepatan tinggi. Persamaan reaksi oksidasi pirit oleh Fe3+ sebagai
berikut :
FeS2 + 14 Fe 3+ + 8 H2 O

15 Fe2- + 2 SO4 2- + 16 H+

Dengan adanya oksigen, Fe 2+ yang dihasilkan dapat berubah menjadi Fe 3+.
Namun pada pH kurang dari 3,5 oksidasi melalui proses kimia berlangsung
lambat. Pada pH rendah, bakteri Thiobacillus ferrooxidans mengoksidasi Fe2+
menjadi Fe3+ dengan cepat dan selanjutnya Fe3+ yang dihasilkan terlibat lagi
dalam proses oksidasi pirit. Wako et al. (1984) dan Jaynes et al. (1984 diacu
dalam Mensvoort dan Dent 1998) menyebutkan bahwa kondisi optimum untuk
oksidasi pirit sama dengan kondisi optimum untuk oksidasi besi oleh Thiobacillus
ferrooxidans yaitu konsentrasi oksigen > 0,01 Mole fraksi (1%), temperatur
5-55 oC (optimal 30 oC), pH 1,5-5,0 (optimal 3,3). Reaksi oksidasi Fe2+ menjadi
Fe 3+ dengan bantuan Thiobacillus ferrooxidans adalah sebagai berikut :

Thioba cillus ferrooxidans
Fe

2+

+ 1/4 O2 + H

+

Fe 3+ + ½ H2O

Dari persamaan diatas, terlihat bahwa sebagian besar kemasaman (H+)
yang dihasilkan dalam proses oksidasi pirit oleh Fe 3+, digunakan dalam proses
oksidasi Fe2+ dengan bantuan Thiobacillus ferrooxidans. Reaksi oksidasi pirit
yang terja di dalam beberapa tahap dengan hasil akhir feri hidroksida secara
ringkas dapat dinyatakan dalam persamaan reaksi sebagai berikut :

FeS2 + 15/4 O2 + 7/2 H2 O

Fe(OH) 3 + 2 SO4 2- + 4 H+

24

Menurut

Breemen (1993), kecepatan penurunan pH akibat oksidasi pirit

ditentukan oleh jumlah pirit, kecepatan oksidasi, kecepatan perubahan hasil
oksidasi, dan kapasitas netralisasi.
Oksidasi pirit pada tanah sulfat masam akibat drainase telah banyak
dipelajari. Pada penelitian kolom tanah sulfat masam

yang berasal dari

Nieuwikoop, Netherland dan Pulau Petak, Kalimantan Selatan, diketahui bahwa
potensial redoks (Eh) meningkat setelah didrainase dan mengakibatkan pirit
teroksidasi. Pada tanah dari

Nieuwikoop, pirit teroksidasi 1% bobot setelah

didrainase selama 450 hari dan pH tanah relatif konstan setelah didrainase 100
hari. Sedangkan pada tanah Pulau Petak, pH terus menurun segera setelah
didrainase. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan kandungan karbonat,
dimana tanah Nieuwikoop mengandung lebih banyak karbonat yang dapat
menahan terjadinya penurunan pH (Ritsema et al. 1992).
Hasil penelitian Le Ngoc Sen (1988) pada tanah sulfat masam dari
Mijdrecht Polder, Netherland, menunjukkan bahwa kedalaman air tanah dan ada
tidaknya lapisan bahan gambut diatas permukaan tanah mempengaruhi tingkat
penurunan pH dalam penampang tanah.

Adanya lapisan bahan organik

(gambut) pada permukaan tanah mineral menurunkan kecepatan pemasaman
yang diduga akibat kurangnya suplai oksigen, sedangkan kedalaman air tanah
menaikkan ketinggian lapisan yang mengalami pemasaman.

Hasil penelitian

Yuliana (1998) pada tanah sulfat masam Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan
menunjukkan bahwa semakin dalam penurunan muka air tanah dari permukaan
lapisan pirit semakin turun pH tanah.
Oksidasi pirit mengakibatkan perubahan kandungan ion-ion di dalam
larutan tanah dan kompleks jerapan.

Selama proses oksidasi, SO42- dalam

larutan tanah meningkat cepat, dan sebaliknya Fe 2+ menurun. Penurunan
kandungan besi tersebut karena terjadinya presipitasi besi dalam bentuk besi feri

25

yang sukar larut dan sebagian lagi terpresipitasi dalam bentuk jarosit. Setelah
periode oksidasi, kompleks jerapan didominasi oleh Al3+ yang menggantikan Ca2+
dan Mg2+ (Ritsema et al. 1992). Hasil penelitian Yuliana (1998) menunjukkan
bahwa drainase tanah sulfat masam meningkatkan Al-dd, dan Fe3+ serta
menurunkan Fe 2+.

Proses pada Kondisi Reduksi
Lahan sulfat masam dalam kondisi reduksi umumnya terjadi pada tanah
tergenang, sering dijumpai pada lahan rawa tipe luapan A yang selalu diluapi
oleh air pasang, tipe luapan B pada saat pasang besar dimusim hujan dan tipe C
yang menggunakan sistim tabat pada musim hujan. Menurut Dent (1986), dalam
proses reduksi, pH tanah dapat meningkat karena adanya penggunaan H+ dalam
reaksi tersebut. Sebagai contoh penggunaan H+ oleh Fe(OH) 3 yang dihasilkan
dalam oksidasi pirit, dengan persamaan reaksi sebagai berikut :

Fe(OH) 3 + 2 H+ + ¼ CH2O

Fe2+ + 1 ¼ H2 O + ¼ CO2

Reaksi reduksi tersebut berlangsung dengan bantuan bakteri anaerob dan
adanya bahan organik sebagai penyumbang elektron. Oleh sebab itu,
dibandingkan pada tanah biasa, kecepatan reduksi pada tanah sulfat masam
yang digenangi lebih lambat karena kemasaman yang tinggi, rendahnya
ketersediaan hara dan bahan organik yang mudah terdekomposisi, atau
kombinasi dari kondisi-kondisi tersebut yang mengakibatkan bakteri anaerob
kurang mampu berkembang.
Peningkatan pH tanah menurunkan tingkat aktifitas Al3+. Penurunan
aktivitas Al akan menurunkan tingkat toksisitasnya, tetapi dilain pihak kondisi

26

reduktif tersebut dapat mengakibatkan timbulnya ion atau senyawa lain yang juga
dapat bersifat toksik (racun) bagi tanaman, yaitu Fe2+, H2S , asam organik, dan
CO2 yang larut dalam jumlah tinggi dalam larutan tana h. Hasil penelitian Moore
dan Patrick (1993) menunjukkan bahwa serapan Fe pada tanaman padi
berkorelasi dengan aktivitas Fe 2+ dalam larutan tanah, sedangkan pertumbuhan
tanaman berkorelasi dengan pH tanah dan A Fe (rasio aktivitas Fe 3+ terhadap
jumlah aktivitas kation divalent).
Keracunan H 2S tidak bersifat spesifik pada tanah sulfat masam.

Mitsui

1964 (diacu dalam Breemen 1993) menyebutkan bahwa pada konsentrasi 0,1
mg/l H2S sudah dapat meracuni tanaman padi.

Keracunan terjadi umumnya

pada tanah yang kaya bahan organik dan rendah besi. Keracunan H2S hanya
muncul setelah pH mencapai 5, hal ini berkaitan dengan aktivitas bakteri
pereduksi sulfat (Desulfovibrio). Timbulnya H2S tersebut menurut Dent (1986),
Konsten et al. (1990) dan Breemen (1993) karena proses reduksi SO42- dan
jumlah yang terbentuk berhubungan langsung dengan bahan organik dengan
reaksi sebagai berikut :

SO42- + 2 CH 2O + H+

H2S + 2 CO2 + 2 H2 O

Reaksi reduksi sulfat tersebut selain membutuhkan bahan organik sebagai
sumber elektron, juga pH yang sesuai agar berjalan cepat yaitu pH antara 4-5.
Reduksi sulfat berjalan sangat lambat pada pH dibawah angka tersebut, karena
itu pada tanah sulfat masam muda, reduksi sulfat berjalan lebih cepat dibanding
pada tanah sulfat masam tua. Tanaman padi yang mengalami keracunan H2S
sangat mudah terinfeksi penyakit dan akar kurang berkembang (Puslitbangtan
Pangan, 2002).

27

Hasil

penelitian

Yuliana

(1998)

menunjukkan

bahwa

perlakuan

penggenangan 3 bulan setelah tanah sulfat masam didrainase 8 minggu dengan
kedalaman air bawah tanah 40 cm dari lapisan pirit meningkatkan pH tanah dan
kandungan Fe 2+, menurunkan Al-dd dan SO42-. Hasil penelitian Ritsema et al.
(1992) dengan penggenangan kembali selama 300 hari pada tanah sulfat masam
dari Pulau Petak setelah didrainase selama 450 hari mengakibatkan kandungan
Fe 2+ pada tanah tersebut meningkat dengan cepat. Diduga peningkatan tersebut
disebabkan oleh adanya proses reduksi Fe 3+ yang berbentuk amorf menjadi Fe2+.

Dampak Oksidasi-Reduksi pada Tanah Sulfat Masam

Permasalahan utama pada tanah sulfat masam adalah adanya oksidasireduksi senyawa -senyawa yang terdapat dalam tanah tersebut, terutama
oksidasi senyawa pirit yang menghasilkan asam sulfat. Dihasilkannya asam
sulfat tersebut, membuat pH tanah menjadi sangat rendah sehingga terjadi
degradasi mineral liat oleh ion hidrogen tersebut. Gambaran reaksi degradasi
mineral liat menurut Breemen (1976) sebagai berikut:

M.Al-silicate + (3+a) H+ + b H2O Ma+ + Al3+ + cH4SiO 4o

Dalam suasana dengan konsentrasi ion hidrogen yang tinggi ini, sejumlah Al, Fe,
dan Mn dibebaskan oleh proses degradasi tersebut diatas, sehingga logamlogam tersebut meningkat kelarutannya dan dapat meracuni tanaman. Hasil
penelitian Phung dan Lieu (1993) menunjukkan bahwa pH yang rendah dan
kelarutan

yang

tinggi

dari

unsur

meracun

tersebut

menurunkan

total

mikroorganisme dan membuat jumlah bahan organik tidak berkorelasi dengan
total mikroorganisme. Menurut Breemen (1976), maksimum aktivitas Al3+ yang

28

larut tergantung langsung pada pH dan aktivitas ion sulfat. Aktivitas ion Al
meningkat 10 kali tiap penurunan pH satu unit. Pada tanah sulfat masam di
Thailand, konsentrasi Al3+ pada air tanah meningkat dari 0,4 ppm pada pH 5,5
menjadi

54 ppm pada pH 2,8, sedangkan Hicks et al. (2002) menyebutkan

bahwa aktivitas Al dikontrol oleh kelarutan berbagai Alunimium-hidroksi-sulfat.
Ion Al dapat menjadi beracun pada konsentrasi rendah (1-2 ppm), tergantung
toleransi

tanaman.

Menurut Rorison (1973) kelarutan Al yang

tinggi

menghambat perkembangan jaringan, pemanjangan akar, dan pembelahan sel
akar. Selain itu, kelarutan Al yang tinggi mengakibatkan P terfiksasi menjadi
bentuk yang lebih stabil dan sukar larut, sehingga tidak tersedia bagi tanaman.
Dent (1986) menyebutkan bahwa pada pH kurang dari 3,5,

ion H+ dapat

menghambat pertumbuhan tanaman, tetapi yang sangat prinsip adalah kelarutan
ion Al.
Adanya peristiwa oksidasi-reduksi pada tanah sulfat masam berdampak
terhadap tanaman yang tumbuh diatasnya dan perairan yang dilalui air drainase
dari kawasan tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sylla et al. (1993)
menunjukan bahwa produksi padi pada tanah sulfat masam di Sierra Leone,
Senegal dipengaruhi oleh kemasaman, salinitas dan tingkat keracunan besi.
Dampak oksidasi pirit terhadap lingkungan telah menjadi perhatian banyak
peneliti. Menurut hasil pengkajian Breemen (1993), dampak proses oksidasi pirit
adalah (1) pelepasan unsur-unsur mikro Ni, Co, Cu, Zn, Pb, dan As. Menurut
Alloway dan Ayres (1997) adanya pemasaman melarutkan logam-logam berat
seperti Pb, Hg dan Cd.; (2) pelepasan Al3+, sehingga mempunyai potensi untuk
meracuni akar tanaman dan ikan, tergantung kepada varietas/spesies dan tahap
pertumbuhan; (3) pelepasan SO2,

gas ini ter lepas selama oksidasi sulphide,

karena itu merupakan sumber polusi udara melalui hujan asam; (4) Oksidasi besi
(II) yang akan menghasilkan FeOOH(s) bila terlarut pada daerah kaya asam

29

organik menyebabkan munculnya karatan yang berwarna coklat pada tumbuhan
air atau pinggir-pinggir tanggul saluran air.
Hasil penelitian Callinan et al. (1993) di Australia menunjukkan bahwa
adanya pencucian lahan sulfat masam pada saat hujan lebat menyebabkan pH
air menjadi rendah dan meningkatnya konsentrasi Al terlaru t sehingga
menyebabkan banyak ikan yang mati dan terkena penyakit akibat meningkatnya
populasi jamur Aphanomyces sp.

Hasil pengukuran Hick et al. (2002) selama

20 tahun menunjukkan produksi rata-rata asam sebesar 7 x 105 mole H+/ha/th,
sedangkan dampak pada proses reduksi adalah (1) reduksi besi (III) menjadi besi
II sehingga terjadi peningkatan konsentrasi besi (II), akibatnya dapat meracuni
tanaman, dan bila didrainase akan menambah kadar besi di badan perairan; (2)
reduksi sulfat menghasilkan H2S, dalam konsentrasi tinggi bersifat racun bagi
tanaman padi.
Hasil pengukuran Anda dan Siswanto (2002) menunjukkan bahwa dampak
oksidasi pirit pada lahan sawah di Kalimantan Tengah, selain menurunkan pH
dan kandungan Ca serta Mg, juga meningkatkan kelarutan dan kejenuhan Al,
serta menyebabkan berubahnya kimia saluran primer dan skunder, dimana pH
menjadi lebih rendah, dan Al3+, EC, SO4 2-, dan Cl- meningkat dibanding inlet.
Oksidasi tersebut berdampak terhadap tanaman dan merupakan faktor
pembatas. Cho et al. (2002) menyebutkan bahwa faktor pembatas terhadap
produksi pertanian (utamanya padi) di lahan sulfat masam Dataran Tengah
Thailand adalah kemasaman yang tinggi, defisiensi P, dan kelarutan Al, Fe, dan
Mn yang tinggi , dan menyebabkan tanaman keracunan. Tanpa perbaikan,
produksi sangat rendah berkisar 1-1,5 t/ha, dan hanya pertanian tradisional dapat
berkelanjutan. Penurunan kemasaman melalui pemberian kapur dan pencucian
(melalui pengenangan) dapat memperbaiki produktivitas tanah.

30

Pada kondisi reduksi , besi ferro (Fe 2+) yang dominan (Dent 1986).
Kelarutan Fe yang tinggi dapat meracuni tanaman padi. Kadar ion Fe 2+ yang
dapat meracuni bervariasi, terjadi pada 20-40 mg/l.

Mensvoort et al. (1991)

menyebutkan angka 30 mg/l sebagai awal terjadinya keracunan besi. Munculnya
gejala keracunan besi juga dipengaruhi kadar hara lain dalam tanah seperti P, K,
Ca dan Mg. Selain itu tergantung kepada toleransi varietas padi yang ditanam.

Upaya Penanggulangan Dampak Oksidasi Pirit

Adanya proses oksidasi senyawa pirit dan proses reduksi dari hasil oksidasi
tersebut membawa berbagai dampak negatif bagi pertumbuhan tanaman dan
lingkungan sekitarnya. Karena itu perlu dilakukan upaya penanggulangan agar
dampak negatif tersebut dapat ditekan seminimal mungkin tanpa banyak
mengurangi tingkat produksi padi. Menurut Breemen (1993), beberapa tindakan
yang dapat digunakan untuk menurunkan kemasaman, adalah (1) pencegahan
oksidasi pirit, dengan jalan membatasi suplai oksigen atau mempengaruhi
kecepatan satu atau lebih dari tahap oksidasi, misalnya dengan: (i) mengurangi
kecepatan oksidasi Fe 2+ ke Fe 3+ melalui penambahan bakteri sida atau ligand
pengkomplek Fe 2+;

(ii)

pengkomplekan

atau

pengendapan

Fe 3+ melalui

penambahan pengkelat organik atau fosfat. Pencegahan suplai O2 dapat
dilakukan dengan penggenangan; (2) Pencucian, dilakukan sebelum pemberian
amelioran. Pencucian dengan air segar sangat efesien mencuci H2SO4 bebas,
Fe terlarut dan garam-garam Al. Pencucian dengan air payau atau garam
menyebabkan Al-dd diganti oleh Na dan Mg dari air yang ditambahkan, dan
hanya efisien dalam kondisi oksidasi, tidak pada kondisi reduksi. Pencucian
tersebut dipengaruhi juga oleh kemudahan perkolasi (struktur tanah); (3)

31

pemberian kapur untuk menetralkan kemasaman.

Pemberian kapur hanya

efisien jika kemasaman terlarut telah dicuci.
Hasil penelitian Murtilaksono et al. (2001) menunjukkan bahwa pencucian
mampu meningkatkan pH dan menurunkan Al-dd, sulfat, Fe-dd dan Mn-dd,
namun produksi padi menurun. Hasil penelitian Didi Ardi et al. (1992)
menunjukkan bahwa pencucian dengan air pasang lebih efektif meningkatkan pH
dibanding air hujan, hal ini diduga berkaitan jumlah air hujan yang relatif terbatas.
Namun pencucian juga membawa dampak negatif, yaitu tercucinya basa-basa
yang berguna bagi tanaman. Hasil penelitian Subagyono et al. (1997)
menunjukkan bahwa pencucian menurunkan nilai DHL dan menaikkan Fe2+.
Mensvoort

et al. (1991) melaporkan

bahwa air payau atau air laut mampu

mencuci/mengendapkan Al.
Menurut

Dent

(1986),

pencucian

dengan

air

payau/laut

tersebut

menyebabkan Al dan Fe terdesak keluar komplek jerapan dan digantikan oleh Na
dan Mg. Al tersebut kemudian dapat mengendap. Reaksi tersebut digambarkan
sebagai berikut:

clay –Al(s) + Mg 2+ (aq) + Na + (aq)
Al3+ (aq) + 3 H2 O

clay-Mg, Na(s) + Al3+ (aq)
Al(OH) 3(s) + 3H+ (aq)

Pemberian kapur menurunkan kemasaman tanah.

Dari hasil penelitian

Anwar (1983 dan 1989) menunjukkan bahwa pemberian kapur dapat mengurangi
aktifitas Al, Fe, Mn, S O42- dalam larutan tanah, serta m